You are on page 1of 32

BAGIAN 3 MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN (PPh) ________________________________________________________________________

A. MENGHITUNG PPH WP BADAN, WP ORANG PRIBADI, DAN BUT Dalam kegiatan belajar ini, Anda perlu menguasai dahulu materi sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan subyek dan obyek pajak penghasilan, tarif pajak penghasilan, PTKP, dan penghasilan kena pajak. Pertama kali yang harus anda lakukan dalam menghitung pajak penghasilan (PPh) adalah mencari penghasilan kena pajak. Setelah itu dikalikan tarif pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU tentang Pajak Penghasilan.

1. Untuk Wajib Pajak yang menggunakan Pembukuan Untuk Wajib Pajak (WP) badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan neto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh undang-undang PPh. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Jika dirumuskan, maka untuk mencari penghasilan kena pajak dapat dikemukakan sebagai berikut :

a Penghasilan kena pajak WP Orang Pribadi Penghasilan Bruto Biaya yang diperkenankan UU PPh Penghasilan Neto. Penghasilan neto PTKP Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak X Tarif Pajak Pajak Penghasilan Terutang
b. Penghasilan Kena Pajak WP Badan

Penghasilan bruto biaya yang diperkenankan UU PPh \penghasilan neto. Penghasilan Neto X Tarif Pajak Pajak terutang penghasilan yang

Menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, biaya-biaya (pengeluaran) dapat digolongkan menjadi dua yaitu : 1. 2. yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (pelajari kembali Bagian tentang obyek pajak dan Bagian tentang penghasilan kena pajak).

Perhitungan PPh untuk wajib pajak orang pribadi Contoh : Peredaran bruto Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara Penghasilan Rp. 255.000.000,00Rp. 45.000.000,00 Penghasilan lainnya Biaya untuk mendapatkan, Menagih dan memelihara Penghasilan Rp. 3.000.000,00Rp. Jumlah seluruh penghasilan Neto Kompensasi kerugian Rp. Rp. Rp. Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : WP sendiri: Rp. 2.880.000,00 Kawin Rp. 1.440.000,00 2.000.000,00+ 47.000.000,00 2.000.000,0045.000.000,00 Rp. 5.000.000,00 Rp. 300.000.000,00

Anak 3 (tiga)Rp. 5.320.000,00+ Rp. Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan PPh Terutang ; 5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00 10%X Rp.11.360.000,00 = Rp. 1. 136.000,00+ Rp. 2.386.000,00 Rp. 8.640.000,0036.360.000,00

Perhitungan PPh untuk Wajib Pajak Badan

Contoh :

Peredaran bruto Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara Penghasilan

Rp. 300.000.000,00

Rp. 255.000.000,00Rp. 45.000.000,00

Penghasilan lainnya Biaya untuk mendapatkan, Menagih dan memelihara Penghasilan

Rp. 5.000.000,00

Rp. 3.000.000,00Rp. 2.000.000,00+ 47.000.000,00 2.000.000,0045.000.000,00

Jumlah seluruh penghasilan neto Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak

Rp. Rp. Rp.

PPh yang terutang : 10% X Rp. 45.000.000,00 = Rp. 4.500.000,00

2. Wajib Pajak yang Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang boleh menggunakan Norma Perhitungan adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut : a b c Peredaran Bruto kurang dari Rp. 600.000.000,00 per tahun Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku Menyelenggarakan pencatatan Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang menggunakan Norma Perhitungan adalah sebagai berikut :

Persentase (%) Norma Perhitungan X jumlah peredaran Usaha atau penerimaan Bruto Pekerjaan bebas setahun Penghasilan Neto PTKP penghasilan Neto penghasilan kena pajak Pajak penghasilan yang terutang

Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh

Contoh : Wajib Pajak Irfan, status kawin dan mempunyai 4 orang anak (K/4) bekerja sebagai dokter bertempat tinggal di jakarta dengan penerimaan bruto setahun sebesar Rp. 75.000.000,00 dan memiliki usaha di bidang industri rotan dicirebon dengan peredaran usaha Rp. 400.000.000,00 setahun. Misal besarnya persentase Norma untuk industri rotan di Cirebon = 12,5% dan Dokter di Jakarta = 40%, maka pajak penghasilan yang terutang adalah :

Penghasilan Neto : Dari industri rotan : = Rp. 50.000.000,00

12,5% X Rp. 400.000.000,00 sebagai dokter :

40% X Rp. 75.000.000,00 jumlah penghasilan Neto PTKP : WP sendiri Kawin Anak = Rp. 2.880.000,00 = Rp. 1.440.000,00 = Rp. 4.320.000,00+

= Rp. 30.000.000,00+ Rp. 80.000.000,00

Rp. Penghasilan kena pajak PPh terutang : 5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00 10%X Rp.25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 25%X Rp. 21.360.000,00= Rp. 5.340.000,00+ Rp. 9.090.000,00 Rp.

8.640.000,0071.360.000,00

Perhitungan PPh untuk wajib pajak BUT

Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (Baik orang pribadi maupun badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Contoh : PT. Foodland yang merupakan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia mempunyai penghasilan kena pajak dalam tahun 2004 sebesar Rp. 1.050.000.000,00 Perhitungan pajak penghasilan atas BUT tersebut adalah :

Penghasilan Kena Pajak PPh terutang : 10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% X Rp 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00

= Rp. 1.050.000.000,00

30% X Rp. 950.000.000,00 = Rp.285.000.000,00+ PPh terutang = Rp. 297.500.000,00-

Penghasilan Kena Pajak BUT sesudah dikurangi Dengan Pajak Penghasilan = Rp. 752.500.000,00

Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar : 20% X Rp. 752.500.000,00 = Rp. 150.500.000,00

Catatan : Jika atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak penghasilan tersebut sebesar Rp. 752.500.000,00 ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak lagi. Jadi tidak ada pemotongan pajak penghasilan sebesar 20% atau sebesar Rp. 150.500.000,00. Sesuai Keputusan Menkeu Nomor 602/KMK.04/1994, bahwa penanaman kembali atas penghasilan BUT di Indonesia tidak dikenai pemotongan PPh pasal 26 sebesar 20%

B. MENGHITUNG PPh PASAL 21 Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1994 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 17 tahun 2000 menyebutkan bahwa pasal 21 mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan 1. Wajib Pajak PPh pasal 21 : a. b. c. d. Pegawai Tetap Pegawai Tidak Tetap Penerima honorarium Penerima upah

Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis. Termasuk dalam pengertian pegawai adalah orng pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri (pejabat Negara, PNS), atau BUMN dan atau BUMD. Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan. Pegawai tidak tetap adalah orang pribadi yang bekerja dan hanya menerima upah, apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. Penerima honorarium adalah orang pribadi atau persekutuan orang pribadi yang memberikan jasa menerima atau memperoleh imbalan tertentu sesuai jasanya tersebut. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah borongan, maupun upah satuan. Upah harian adalhupah yang terutang atau dibayarkan atas dasar hari kerja. Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu. Sedangkan upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang dihasilkan.

2. Obyek Pajak PPh Pasal 21 a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur : gaji, uang pensiun bulanan, upah. Honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pension, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja dan penghasil teratur lainnya dengan nama apapun. b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur : jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan. d. Uang tebusan pension, uang tunjangan hari tua (THT), uang pesangon. e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri. f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh pejabat Negara dan PNS. g. Uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pension yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anakanaknya. h. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan wajib pajak.

3. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 108.000 per bulan atau Rp. 1.296.000 per tahun

Biaya pensiun adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya Rp. 36.000 per bulan atau Rp. 432.000 pertahun.

4. Cara Menghitung PPh Pasal 21 Untuk menghitung PPh pasal 21, Anda diharapkan untuk mempelajari dan menguasai sistematika perhitungan PPh berikut ini : Penghasilan Bruto (PB) : Gaji Tunjangan tunjangan Iuran ditanggung oleh Pemberi kerja : Asuransi kecelakaan kerja Asuransi kematian c d a b

Jumlah Pengurangan-pengurangan : Biaya jabatan ; 5% X PB, maks. Rp 108.000/bulan Iuran dibayar oleh pegawai : Iuran pensiun Iuran tabungan hari tua (THT)

(a+b+c+d)

f g

Jumlah

(e+f+g)

B ___________

Penghasilan neto (PN) sebulan : Penghasilan neto setahun : Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) :

(A-B) = C 12 C D ___________

Penghasilan kena pajak (PKP) : PPh pasal 21 : Setahun : Sebulan :

(12C-D) = E

F G

Untuk lebih menguasai sistematika perhitungan PPh 21 tersebut diatas, anda harus mempelajari contoh-contoh perhitungan PPh berikut ini secara seksama.

Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Bulanan Contoh 1 : Sandi R. Firdaus bekerja pada PT. Tongkitu dengan gaji sebulan Rp. 1.500.000,00 PT. Tongkitu mengikuti program jamsostek, premi Asuransi Kecelakaan Kerja dan Premi Asuransi kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing Rp. 40.000,00 dan Rp. 10.000,00 sebulan PT Tongkitu menanggung iuran THT dan iuran pension masing-masing Rp. 10.000,00 dan Rp. 50.000,00 sebulan. Sandi firdaus sudah menikah dan punya 4 anak. (K/4)

Perhitungan PPh pasal 21 :

Gaji sebulan Premi Asuransi Kecelakaan Kerja Premi Asuransi kematian Penghasilan Bruto Pengurangan : 1. Biaya Jabatan 5% X Rp. 1.550.000,00 = 2. Iuran Pensiun : 3. Iuran THT Rp 77.500,00 Rp 50.000,00 Rp 10.000,00 +

Rp. Rp. Rp. Rp.

1.500.000,00 40.000,00 10.000,00+ 1.550.000,00

Rp Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun: 12 X Rp. 1.412.500,00 = 4. PTKP WP sendiri : Rp. 2.880.000,00

137.500,00 -

Rp. 1.412.500,00

Rp. 16.950.000,00

Tambahan kawin Tambahan 3 Anak

Rp. 1.440.000,00 Rp. 4.320.000,00 + Rp. 8.640.000,00 8.310.000,00

Penghasilan kena pajak setahun PPh Pasal 21 terutang : 5% X Rp. 8.310.000,00 = Rp. 415.500,00 PPh Pasal 21 sebulan : Rp. 415.500,00 : 12 = Rp. 34.625,00

Rp.

Contoh 2 : Rayzan Hafidz Rinaldi Bekerja sebagai pegawai tetap di PT. Piraku sejak 1 Agustus 2004. gaji sebulan Rp. 1.500.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp. 25.000,00. Rayzan sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. (K/-)

Perhitungan PPh Pasal 21 :

Gaji sebulan Pengurangan : 1. Biaya Jabatan 5% X Rp. 1.500.000,00 = 2. Iuran Pensiun : Rp 75.000,00 Rp.25.000,00 +

Rp. 1.500.000,00

Rp Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun :

. 100.000,00 -

Rp. 1.400.000,00

1. Agustus s.d 31 Desember 2004 : 5 bulan 5 X Rp. 1.400.000,00 = 3. PTKP WP sendiri : Tambahan Kawin Rp. 2.880.000,00 Rp. 1.440.000,00 + Rp. 4.320.000,00 Rp. 7.000.000,00

Penghasilan Kena Pajak Setahun PPh Pasal 21 terutang : 5% X Rp. 2.680.000,00 = PPh Pasal 21 sebulan : Rp. 134.000 : 5 = Rp. 26.800,00 Rp. 134.000,00

Rp. 2.680.000,00

Contoh 3 : Lazuardi Imani mulai bekerja pada tanggal 1 mei 2000. Ia bekerja sampai dengan 30 juni 2003. Selama Tahun 2003 menerima gaji Rp. 4.000.000,00 sebulan dan pada tahun 2003 menerima bonus sebesar Rp. 10.000.000,00 Lazuardi sudah menikah dan punya anak 3 (K/3) Perhitungan PPh Pasal 21 :

Gaji 6 bulan : 6 X Rp. 4.000.000,00 Pengurangan : 1. Biaya Jabatan 5% X Rp. 24.000.000,00 = Rp. 1.200.000,00 Maksimum diperkenankan : 6 X Rp. 108.000,00 =

Rp. 24.000.000,00

Rp. -

648.000,00 -

Penghasilan Neto atas gaji 6 bulan Penghasilan Neto setahun : Sampai dengan 30 juni 2003 12/6 X Rp. 23.352.000,00 = Bonus Penghasilan Neto atas gaji dan bonus 2 PTKP WP sendiri : Tambahan Kawin Tambahan 3 Anak Rp. 2.880.000,00 Rp. 1.440.000,00 Rp. 4.320.000,00 +

Rp. 3.352.000,00

Rp. 46.704.000,00 Rp. 10.000.000,00 + Rp. 56.704.000,00

Rp.

8.640.000,00

Penghasilan Kena Pajak Setahun PPh Pasal 21 terutang : 5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00 10%X Rp. 23.064.000,00 = Rp. 2.306.400,00 + Rp. 3.556.400,00 PPh pasal 21 sebulan : Rp. 3.556.400,00 :12/6 = 6/12 X Rp. 3.556.400,00= Rp. 1.778.200,00

Rp. 48.064.000,00

Catatan : Cara perhitungan seperti dalam contoh 3, berlaku juga untuk pegawai yang meninggal dunia dalam tahun berjalan.

Contoh 4 : Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawati kawin, cara perhitungannya sama dengan PPh pasal 21 atas pegawai laki-laki. Perbedaanya hanya pada PTKP. Untuk karyawati yang suaminya bekerja, maka PTKPnya hanya untuk WP sendiri (RP. 2.880.000,00), sedangkan jika suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun (harus dilaporkan ke perusahaan berdasarkan surat keterangan pemda setempat), maka PTKPnya selain WP sendiri juga tambahan kawin dan tambahan anak (jika punya anak) Perhitungan PPh Pasal 21 terhadap Penghasilan Pegawai Harian , Tenaga Harian Lepas, Penerima Upah Satuan, dan Penerima Upah Borongan Contoh 1 : Erik bekerja pada perusahaan tenun dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan januari 2004, Erik hanya bekerja 20 hari dan upah sehari Rp. 40.000,00.Erik menikah tetapi belum punya anak (K/-). Perhitungan PPh Pasal 21 :

Upah januari 2004 : 20 X Rp. 40.000,00 = Rp. 800.000,00 Penghasilan Neto setahun : 12 X Rp. 800.000,00 = Rp. 9.600.000,00

PTKP (K/-) : Penghasilan Kena Pajak PPh Pasal 21 setahun : 5% X Rp. 5.280.000,00 = PPh Pasal 21 sebulan : Rp. 264.000,00 : 12 = Rp. 22.000,00 Rp. 264.000,00

Rp. 4.320.000,00 Rp. 5.280.000,00

Contoh 2 : Yesi karyawan perusahaan elektronika bekerja sebagai perakit radio dengan upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp. 15.000,00 perbuah radio dan dibayarkan tiap minggu. Dalam 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah radio.

Perhitungan PPh Pasal 21

Upah satuan sehari : (Rp. 15.000,00 X 24 unit) : 6 = Rp. 60.000,00 Upah diatas Rp. 24.000,00 sehari : Rp. 60.000,00 Rp. 24.000,00 Upah seminggu terutang pajak : 6 X Rp. 36.000,00 PPh Pasal 21 : 5% X Rp. 216.000,00 = Contoh 3 : Yusa mengerjakan dekorasi ruang kantor denga upah borongan Rp, 600.000,00 pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari. Rp. 10.800,00 (mingguan) Rp. 216.000,00 Rp. 36.000,00

Perhitungan PPh Pasal 21 :

Upah borongan sehari : Rp. 600.000,00 : 2 = Upah sehari di atas Rp. 24.000,00 Rp. 300.000,00 Rp. 24.000,00

Rp. 300.000,00

Rp. 276.000,00

Upah borongan terutang pajak : 2 X Rp. 276.000,00 PPh Pasal 21 : 5% X Ro, 552.000 = Rp. 27.600,00 Rp. 552.000,00

Contoh 4 : Feri (tidak menikah) pada bulan September 2003 bekerja pada PT. Motah dengan menerima upah sebesar Rp. 30.000,00 per hari Perhitungan PPh Pasal 21 : Upah sehari Upah sehari di atas 24.000,00 Rp. 30.000,00 Rp. 24.000,00 Rp 6.000,00 Rp. 30.000,00

PPh Pasal 21 : 5% X Rp. 6.000,00 = Rp. 300,00 (harian)

Pada hari kesembilan dalam bulan takwim yang bersangkutan, Feri telah menerima penghasilan sebesar Rp. 270.000,00 sehingga telah melebihi Rp. 240.000,00. dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan F eri pada bulan September dihitung sebagai berikut : Upah sembilan hari kerja PTKP : 9 X (Rp. 2.880.000,00/360) Upah harian pajak terutang PPh Pasal 21 : 5% X Rp.198.000,00 = PPh yang telah dipotong (selama 8 hari) : 8 X Rp. 300,00 Rp. 2.400,00 Rp. 9.900,00 Rp. 72.000,00 + Rp. 270.000,00

Rp. 198.000,00

Pada hari kerja ke 10 dan seterusnya dalam bulan takwim yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah : Upah sehari PTKP : Rp. 30.000,00

Rp. 2.880.000,00 : 360 Upah harian terutang pajak PPh Pasal 21 : 5% X Rp. 22.000,00 = Rp. 1.100,00

Rp. Rp.

8.000,00 22.000,00

Catatan : Upah harian yang tidak dipotong PPh Pasal 21 : sampai dengan Rp. 24.000,00 per hari. Batas penghasilan bruto untuk dapat diberikan PTKP harian : tidak melebihi Rp. 240.000,00 per bulan.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 yang bersifat final

Contoh 1 : Candra karyawan PT. Bungah. Pada bulan maret behenti bekerja karena pengurangan pegawai dan menerima pesangon sebesar Rp. 40.000.000,00 PPh Pasal 21 terutang : 5% X Rp. 40.000.000,00 = Rp 2.000.000,00

Contoh 2 : Afka pada tanggal 1 september 2004 telah memasuki usia pensiun dan menerima tebusan dari Dana Pensiun Purna Karya sebesar Rp. 60.000.000,00 PPh Pasal 21 terutang 10% X Rp. 60.000.000,00 = Rp 6.000.000,00

Contoh 3 : Adit yang memasuki usia pensiun menerima uang THT pada tanggal 1 November 2004 sebesar Rp. 50.000.000,00 PPh Pasal 21 terutang : 10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

Contoh 4 :

Reza memperoleh hadiah undian dari sebuah perusahaan sebesar Rp. 80.000.000,00 PPh Pasal 21 terutang : 25% X Rp. 80.000.000,00 = Rp. 20.000.000,00

C. MENGHITUNG PPh PASAL 22 PPh pasal 22 adalh pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembagalembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atau penyerahan barang, dan badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

1. Subyek dan Obyek PPh Pasal 22 Subyek PPh Pasal 22 adalah orang pribadi atau badan yang berkewajiban membayar PPh Pasal 22, yaitu : a. Rekanan pemerintah, yang menyerahkan barang kepada bendaharawan

pemerintah, baik pemerintah pusat atau daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. b. Pihak-pihak yang melaksanakan kegiatan di bidang impor (importir) atau kegiatan usaha di bidang lain.

2. Obyek, Tarif dan Dasar Pemungutan PPh Pasal 22 Adapun yang menjadi obyek, tariff dan dasar pemungutan PPh Pasal 22, dapat anda lihat dalam tabel berikut :

NO.

OBYEK

TARIF

DASAR PEMUNGUTAN

Pembayaran atas Pembelian Barang oleh Direktorat Jenderal Anggaran Bendaharawan Pemerintah,

1,5%

Harga Pembelian

BUMN/D yang dananya dari belanja

Negara/daerah

Impor : a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) b. Yang API c. Yang tidak dikuasai 7,5% Harga Jual Lelang tidak menggunakan 2,5% 7,5% Nilai Impor Nilai Impor

Penjualan hasil produksi didalam negeri a. Industri semen b. Industri kertas c. Industri baja d. Industri otomotif e. Industri rokok 0,25% 0,1% 0,3% 0,45% 0,15% DPP PPN DPP PPN DPP PPN DPP PPN Harga Bandrol

Penyerahan gula dan tepung terigu oleh Bulog a. Gula Pasir : Penyerahan kepada penyalur penyerahan kepada grosir b. Tepung Terigu : Penyerahan kepada penyalur penyerahan kepada grosir Rp. 650 Rp. 650 Per kuintal Per kuintal Rp. 380 Rp. 270 Per kuintal Per kuintal

Penyerahan hasil produksinya

Perta mina

Swasta nisasi Penjualan Penjualan

a. Premium, Premix, Solar b. Minyak Tanah

c. Gas LPG d. Pelumas

0,25% 0,3% 0,3% 0,3%

0,3% 0,3% 0,3% 0,3%

Penjualan Penjualan

3. Tata Cara, saat pemungutan, penyetoran dan pelaporan

a. Untuk impor yang dilakukan tanpa LKP, maka PPh Pasal 22 dipungut oleh Dirjen Bea Cukai Bukti Pemungutan dibuat rangkap 3 n didistribusikan kepada Importir (Wajib Pajak), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan pemungut. Sedangkan jika impor dengan LKP, maka PPh Pasal 22 dilunasi sendiri oleh importir ke bank devisa, dengan bukti pemungutan berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang dibuat rangkap 5 untuk Importir, KPP, melalui kantor kas dan Perbendaharaan Negara (KPKN), KPP melalui bank devisa, dan Dirjen Bea Cukai. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi/dipungut pada saat pembayaran bea masuk atau penyelesaian dokumen. b. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan Bulog dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (DO: delivery order). Pelunasan dilakukan dengan cara pembeli atau penerima penyerahan barang menyetor ke bank persepsi atau kantor pos dan giro. c. Pelunasan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil industri semen, kertas, baja, dan otomotif dilakukan pada saat penjualan. d. PPh Pasal 22 pembelian barang dari belanja Negara/daerah dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran. Hasil pemungutan tersebut harus disetor dengan SSP pada hari yang sama ke bank persepsi/kantor pos. SSP diisi oleh dan atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendaharawan dan dibuat rangkap lima.

4. Cara Menghitung PPh Pasal 22

Untuk menghitung PPh Pasal 22, Anda harus memperhatikan dengan seksama siapa yang menjadi subyeknya; apa yang menjadi obyeknya; apa yang menjadi dasar pemungutannya; serta berapa tarifnya. Misalnya untuk menghitung PPh Pasal 22 atas obyek pajak impor, maka anda harus tahu apakah subyeknya memiliki API atau tidak (karena yang memiliki dan yang tidak berbeda dalam tarif pajaknya), apa yang menjadi dasar pemungutan pajaknya yaitu berapa besar nilai impornya; dan terakhir berapa tarif pajak yang dikenakan. Sehingga secara sederhana dapat anda rumuskan sebagai berikut : PPh Pasal 22 atas Impor : 2,5% X Nilai Impor.

Catatan : a. Dikenakan tariff 2,5% karena importir memiliki API, jika tidak memiliki API dikenakan tarif 7,5% (lihat tabel) b. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan Bea Masuk. Nilai Impor dihitung sebesar Cost, Insurance and Freight (CIF) + Bea Masuk + Pungutan Pabean lainnya (jika ada)

Contoh 1 : PT. Murag sebagai Importir dan telah memiliki API membeli suku cadang kendaraan bermotor dari jepang sebesar Rp. 1.000.000.000,00 Asuransi yang dibayar dari luar negeri sebesar 2% dari harga impor, Bea Masuk yang dikenakan sebesar 4% dari harga impor, maka PPh Pasal 22 :

Harga Impor Asuransi : 2% X Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 1.000.000.000,00

Rp.

20.000.000,00 +

Rp. 1.020.000.000,00 Bea Masuk : 4% X Rp. 1.020.000.000,00 Nilai Impor PPh Pasal 22 Impor : Rp. 40.800.000,00 +

Rp. 1.060.000.000,00

2,5% X Rp. 1.060.000.000,00 = Rp. 26.500.000,00

Contoh 2 : PT. Brekele pada bulan maret 2004 mendapat pekerjaan pembangunan gedung kantor dari pemkot bandung. Nilai proyek tersebut sebesar Rp. 800.000.000,00 maka PPh Pasal 22 : Nilai Penyerahan PPh Pasal 22 Bendaharawan 1,5% X Rp. 800.000.000,00 = Rp. 12.000.000,00 Catatan : Untuk menghitung PPh Pasal 22 yang lainnya, Anda dapat melakukannya dengan cara mengalikan Tarif dengan Dasar Pemungutan sebagaimana tercantum dalam tabel di atas, misal PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi semen : 0,25% X DPP PPN; atas penjualan hasil industri rokok : 0,15% X Harga Bandrol; atas penebusan premium, solar: 0,25% X Penjualan. Rp. 800.000.000,00

D. MENGHITUNG PPh PASAL 23 PPh pasal 23 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

1. Subyek, Obyek, dan Tarif PPh Pasal 23 Subyek pajak atau yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah : Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sedangkan yang menjadi obyek pemotongan PPh pasal 23 meliputi : a. Dividen b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang

c. Royalty d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi f. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Tariff pemotongan PPh pasal 23 sebesar 23% sebesar 15% dan jenisnya dibedakan atas dua dasar pemotongan yaitu : a. 15% dari jumlah Bruto yaitu : 1. Dividen 2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. 3. royalty 4. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21

b. 15% dari perkiraan penghasilan Neto, yaitu : 1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 2. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud pasal 21

2. Cara Menghitung PPh Pasal 23 Jika anda akan menghitung PPh pasal 23, maka hal-hal yang perlu diperhatikan selain tarif , adalah apa yang menjadi obyek pajaknya dan apa yang menjadi dasar pemotongannya. Contoh 1 : PPh Pasal 23 atas obyek : dividen; bunga, dan atas royalty dapat dihitung sebagai berikut :Tarif X Dasar Pemotongan : 15% X Bruto Contoh 2 :

PPh Pasal 23 atas obyek : sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan bangunan) dapat dihitung sebagai berikut : Misal atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat : Tarif X Dasar Pemotongan : 15% X Perkiraan Penghasilan Neto 15% X (20% X Bruto)

Catatan : Besarnya perkiraan penghasilan Neto untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.

E. MENGHITUNG PPh PASAL 24 Ketentuan pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terhutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Pada dasarnya wajib pajak dalam negeri terutang pajak penghasilan atas seluruh penghasilan, baik yang diterima atau diperoleh dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Oleh karena itu untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri diatur dalam pasal 24 Undang-undang pajak penghasilan.

1. Penggabungan Penghasilan Untuk penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dapat dilakukan sebagai berikut : a. Penggabungan Penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut.

b.

Penggabungan Penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

c.

Penggabungan Penghasilan yang berupa dividen dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Contoh : PT Baraya menerima dan memperoleh penghasilan Neto dari sumber luar negeri dalam tahun 2004 sebagai berikut : a. Hasil usaha di Negara inggris dalam tahun pajak 2004 sebesar Rp. 1.500.000.000,00. b. Memperoleh dividen atas kepemilikan sahamnya di N.VOranje di Negara Belanda sebesar Rp.2.000.000.000,-, yaitu berasal dari keuntungan tahun 2001 yang ditetapkan RUPS tahun 1998, dan baru dibayarkan tahun 2004. c. Memperoleh dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% di MU Ltd Inggris sebesar Rp. 3.000.000.000,-. Dividen tersebut berasal dari keuntungan saham 2002 yang berdasarkan keputusan menteri keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2004. d. Penghasilan berupa tarif bunga dari Bank of Tokyo sebesar Rp. 500.000.000,- dan penghasilan tersebut baru akan diterima pada bulan april 2005. Maka penggabungan penghasilannya adalah : Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan PT Baraya dari dalam negeri dalam tahun pajak 2004 adalah penghasilan pada angka 1, 2, dan 3. sedangkan penghasilan pada angka 4 digabungkan dengan penghasilan PT Baraya dari dalam negeri dalam tahun pajak 2005. 2. Batas Maksimum Kredit Pajak. Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur atau perhitungan berikut ini : a. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri. b. Penghasilan luar negeri X PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17 Seluruh penghasilan kena pajak c. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

Contoh : PT Gaya memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2004 sebagai berikut: 1. 2. Penghasilan dari luar negeri Rp. 400.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35% Penghasilan usaha di Indonesia Rp. 800.000.000,00

Maka jumlah penghasilan neto adalah : Rp. 400.000.000,00 + Rp. 800.000.000,00 = Rp. 1.200.000.000,00

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur atau perhitungan berikut : a. PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah : 35% X Rp. 400.000.000,00 = Rp. 140.000.000,00 b. Rp. 400.000.000,00 X Rp. 342.500.000,00 = Rp. 113.025.000,00 Rp. 1.200.000.000,00 c. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) : 10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 15% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 7.500.000,00

30% X Rp1.100.000.000,00 = Rp.330.000.000,00 + Rp.342.500.000,00

Dengan demikian kredit pajak yang diperkenakan adalah pada poin 2 sebesar Rp. 113.025.000,00

3. Perhitungan PPh Pasal 24 Sebagaimana diuraikan di atas, maka yang perlu anda perhatikan dalam penerapan PPh Pasal 24 adalah aturan tentang penggabungan penghasilan dan batas maksimum kredit pajak. Contoh : PT Surabi dalam tahun 2004 memperoleh penghasilan dari perusahaan cabang yang ada di Negara berikut ini: 1. Penghasilan dari Singapura Rp. 325.000.000,00 dengan tarif 35%

2. Penghasilan dari Hongkong RP. 275.000.000,00 dengan tarif 30% 3. Penghasilan dari Malaysia Rp. 225.000.000,00 dengan tarif 25% 4. Vietnam mengalami kerugian Rp. 250.000.000,00 5. Penghasilan dari kantor pusat di Indonesia Rp. 750.000.000,00 Maka penetapan Kredit Pajak dihitung sebagai berikut : Laba Singapura Laba Hongkong Laba Malaysia Rugi di Vietnam Penghasilan Kena Pajak Luar Negeri Penghasilan Kena Pajak Dalam Negeri Jumlah Penghasilan Kena Pajak PPh terutang menurut pasal 17 10% X Rp. 15% X Rp. 50.000.000,00 = 50.000.000,00 = Rp. Rp. 5.000.000,00 7.500.000,00 Rp. 325.000.000,00 Rp. 275.000.000,00 Rp. 225.000.000,00 (tidak dikompensasi) Rp. 825.000.000,00 Rp. 750.000.000,00 + Rp.1.575.000.000,00

30% X Rp.1.475.000.000,00 =

Rp. 442.500.000,00 + 455.000.000,00

Batas maksimum Kredit Pajak yang diperkenankan untuk masing-masing Negara : 1. Singapura Rp. 325.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 93.888.888,00

Rp.1.575.000.000,00

Pajak yang dibayar di Singapura : 35% X Rp. 325.000.000,00 = Rp. 113.750.000.000,00 Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp. 93.888.888,00

2. Hongkong Rp. 275.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 79.444.444,00

Rp. 1.575.000.000,00

Pajak yang dibayar di Hongkong : 30% X Rp. 275.000.000,00 = Rp. 82.500.000,00 Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp. 79.444.444,00.

3. Malaysia Rp. 225.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 93.888.888,00

Rp. 1.575.000.000,00

Pajak yang dibayar di Malaysia : 25% X Rp. 325.000.000,00 = Rp. 56.250.000,00 Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp. 56.250.000,00 Jumlah maksimum kredit pajak luar negeri :

Singapura Hongkong Malaysia

= Rp. = Rp. = Rp.

93.888.888,00 79.444.444,00 56.250.000,00 +

Rp. 229.583.332,00

E. MENGHITUNG PPh PASAL 25 Ketentuan pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara : 1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25) 2. Melalui pemotongan atau pemungutan melalui pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, 24)

Hal yang perlu anda ketahui, bahwa fasilitas angsuran pajak ini merupakan kesempatan yang baik bagi setiap Wajib Pajak, karena dalam penetapan besarnya angsuran pajak perbulannya tidak dikenakan bunga :

Cara Menghitung PPh Pasal 25 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 per bulan dilakukan dengan cara menghitung selisih pajak pada tahun yang lalu dengan kredit pajak berupa PPh Pasal 22, 23 dan PPh Pasal 24 dibagi dengan 12

PPh terutang menurut SPT tahun lalu PPh Pasal 21, 22, 23, 24 tahun lalu 12

Contoh :

Jumlah penghasilan Tn. Diar yang terutang Sesuai dengan SPT tahunan PPh 2003 Pada tahun 2003, telah dibayar dan dipungut : PPh Pasal 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 23 PPh Pasal 25 Rp. 7.000.000,00 Rp. 3.000.000,00 Rp. 4.000.000,00 Rp.15.000.000,00 + Rp. Kurang/lebih bayar PPh yang terutang tahun 2003 Pengurangan : 1. PPh Pasal 21 2. PPh Pasal 22 3. PPh Pasal 23 Rp. 7.000.000,00 Rp. 3.000.000,00 Rp. 4.000.000,00 + Rp. Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 Tahun 2004 14.000.000,00 29.000.000,00 Rp. 50.000.000,00

Rp. 21.000.000,00 Rp. 50.000.000,00

Rp. 36.000.000,00

Besarnya PPh Pasal 25 per Bulan :

Rp. 36.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00 12

G. MENGHITUNG PPh PASAL 26 PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri baik orang pribadi maupun Badan selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).

1. Obyek, Tarif, dan Dasar Pengenaan Pajak No 1 Obyek PPh Pasal 26 Tarif Dasar Pengenaan Jumlah Penghasilan Bruto Sifat Final

Penghasilan yang diterima atau diperoleh 20% Wajip Pajak Luar Negeri atas penghasilan berupa : Dividen Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian uang Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Imbalan sehubungan dengan jasa,

pekerjaan atau kegiatan Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun Pensiun lainnya dan pembayaran berkala

2 Penghasilan berupa : Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri 3 Penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak dari suatu BUT, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang tidak dipotong PPh Pasal 26

20%

Perkiraan Penghasilan Neto

Final

20%

Penghasilan Pajak

Kena Final

2. Cara Menghitung PPh Pasal 26 Agar Anda lebih memahami tentang penerapan tarif dan obyek PPh Pasal 26 tersebut di atas, perlu kiranya untuk mempelajari contoh-contoh berikut ini :

Contoh 1: PT Paraban yang berdomisili di bandung membayar royalty kepada KIA Motors Korea sebesar Rp. 3.500.000.000,00. Perhitungan PPh Pasal 26 yang harus dipotong PT Paraban adalah : 20% X Rp. 3.500.000.000,00 = Rp. 700.000.000,00

Contoh 2 : Petenis USA, Andre Agassi menjuarai Indonesian Open 2004 yang diselenggarakan di Jakarta sehingga berhak menerima hadiah sebesar Rp. 500.000.000,00. Perhitungan PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh panitia lomba adalah : 20% X Rp. 500.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00

Contoh 3: Bon Jovi (kawin dan mempunyai 2 orang anak) adalah pegawai asing yang bekerja di Indonesia kurang dari 183 hari. Ia memperoleh gaji pada bulan September 2004 sebesar US $ 4,000,00 per bulan. Misal kurs yang ditetapkan sebesar Rp. 8500,00 per 1 US $ Perhitungan PPh Pasal 26 yang terutang adalah : Penghasilan Bruto sebulan = Rp. 8.500,00 X 4.000,00 = PPh Pasal 26 : 20% X Rp. 34.000.000,00 = Rp. 6.800.000,00 Rp. 34.000.000,00

Catatan : Bon Jovi merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, karena bekerja di Indonesia kurang dari 183 hari Dalam menghitung PPh Pasal 26, PTKP tidak diperhitungkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardiasmo,. (2003). Perpajakan. Yogyakarta : Penerbit Andi.

2. Mohammad Zain, (2000), Perpajakan, Bandung : Lab. Manajemen FE Unpad

3. , (2000), Kredit Pajak, Bandung : Lab. Manajemen FE Unpad

4. Waluyo (2002), Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.

5. Ridwan Purnama, (2004), Perpajakan, Jakarta : Universitas Terbuka

6. Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, (2002), Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba Empat

7. Yusdianto Prabowo, (2002), Akuntansi Perpajakan Terapan, Jakarta : Grasindo

8. Undang-Undang Pajak Tahun 2000, Jakarta : Salemba Empat

You might also like