You are on page 1of 1

Dengan hormat,

Peristiwa demi peristiwa situasi perkembangan gejolak kehidupan kekeluargaan semakin mengeruh, suasana sangat memprihatinkan antara anak dengan orang tua dimana tidak ada yang mau mengerti dan mempertahankan masing-masing hak diluar garis kelayakan membuat onar keributan dilingkungan pondok mahasiswa sangat memalukan bukan pada tempatnya hanya dikarenakan milik mbok de Welas suaminya namanya pak Tanu bapak dari Wasono. Bukan pemberian dari ayahanda Triyoso Sukiman mbahnya Mulyadi, sedangkan namanya pak Triyoso Sukiman menjual sawah ibu saya namanya Tukinem anak dari Atmo Pawiro, berdekatan sama ibu Welas turut terjual juga sekalian pada tahun 1962 guna biaya pengangkutan ke Makasar keluarga besar Atmo Pawiro sekeluarga paklek Sugiyo, paklek Suparmen, Sagiman sekeluarga, bersama tiga anaknya, mbah Arjo dari Solo bapaknya Katri. Hasil kedua petak sawah membangun rumah di Makasar ditempati anak cucu saya jalan Baji Ati I Nomer 20 kelurahan Baji Ati Mapasunggu. Tidak masuk akal serta pikiran dikasih lagi mengingat tukang jual milik wanita tiada berdaya, sedangkan di Klebengan menjual sepetak tanah tanpa sepengetahuan anaknya Mulyadi. Bila membangun di atas tanah area Welas uang dari mana hasilnya, sedangkan pergi dari makasar uang pas-pasan hasil dari jualan tempe tahu bersama istrinya Jiyem. Jadi namanya pak Sukiman tidak mempunyai peninggalan warisan dari mbah kakung, semua ludes tertelan bumi itu semua kelakuannya ayah Mulyadi. Pada prinsipnya mati tidak membawa harta mengapa harus bersitegang membuang malu, dimana letaknya disebut mbah sebagai pengabdiannya sama cucu buyutnya, dimana tanggung jawabnya punya istri banyak penghancur dan perusak turunan yang memberi contoh dan pelajaran di lembah kehinaan.

Yogyakarta, 06 Februari 2013 Hormat kami,

(Mulyadi)

You might also like