You are on page 1of 8

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan menekankan daerah. Dalam menghadapi perkembangan keadaan serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara profesional. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan daerah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tegas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. kepada pada daerah untuk menyelenggarakan demokratis, otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah tersebut dipandang perlu untuk lebih prinsip-prinsip peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperbaiki potensi dan keanekaragaman

2
Perlu diingat bahwa otonomi tidak dapat dilaksanakan secara efektif tanpa otonomi dalam basis perekonomian komunitas. Selama perekonomian suatu komunitas bergantung kepada perekonomian nasional dan/ atau internasional dan warga komunitas tidak mempunyai wewenang untuk mengaturnya, maka tentu akan terjadi pembatasan otonomi dalam pengambilan keputusan. Konsekuensi dari adanya otonomi adalah desentralisasi dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputuan. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip pemberdayaan (empowerment), didalam keputusan-keputusan suatu sistem yang terdesentralisasi, maka struktur/ organisasi dan proses/ kegiatan akan lebih terbuka (accessible) bagi warga, dan kapasitas warga untuk berpartisipasi serta mempengaruhi struktur dan proses tersebut akan meningkat dengan nyata. Hubungan antara otonomi dengan desentralisasi juga konsisten dengan prinsip keberlanjutan atau kelestarian, karena struktur-struktur sosial yang kecil cenderung lebih tahan hidup dan mudah berintegrasi dengan lingkungannya. Otonomi dan desentralisasi mempunyai kaitan erat dengan kemandirian (self-reliance). Kemandirian komunitas diartikan bahwa komunitas mengutamakan nilai-nilai sosial untuk dapat hidup terus bersandar pada sumberdaya yang dimilikinya. Otonomi yang dimiliki desa merupakan kesempatan bagi masyarakat desa untuk mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan potensi lokal yang tersedia di desa. Berbagai potensi sumberdaya yang tersedia dapat dikelola, dimanfaatkan, dan dikembangkan secara berkelanjutan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, berbagai program pengembangan masyarakat telah di lakukan oleh pemerintah, yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui berbagai pendekatan partisipatif. Pada era pembangunan masa lalu proses pengembangan masyarakat mulai dari tahap identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi program dilakukan oleh pemerintah dengan orientasi pada hasil atau produksi (production centered development) tanpa melibatkan masyarakat, sehingga telah mengakibatkan kerusakan terhadap sumberdaya alam yang mengancam keberlanjutan pembangunan itu sendiri serta mengabaikan aspek-aspek pemerataan dan

3
keadilan sosial bagi masyarakat, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat, seperti kemiskinan dan ketimpangan struktur sosial yang tajam antara lapisan masyarakat bawah yang semakin miskin dan termarjinalkan dengan lapisan masyarakat atas yang semakin kaya. Tetapi dengan diberlakukannya otonomi daerah pada semua tahap pengembangan masyarakat sekarang diserahkan pada masyarakat dengan paradigma pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat keseluruhan (people centered development), sedangkan pihak pemerintah berfungsi memfasilitasi terciptanya lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menggali inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal serta memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya alam sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable development). Partisipasi masyarakat desa dapat dikembangkan dengan lebih luas, tidak terbatas sebagai pelaksana dan penerima manfaat dari program pengembangan masyarakat, tetapi diharapkan secara aktif dapat terlibat langsung dalam proses pelaksanaan program-program dan kegiatan yang dilaksanakan di desa. Untuk merealisasikan hal tersebut diperlukan peran aktif dari berbagai kelembagaan yang ada di desa, terutama yang dapat mewadahi aspirasi masyarakat serta melakukan evaluasi dan kontrol atas pelaksanaan berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan desa. Untuk menunjang peran partisipasi aktif dari masyarakat desa, diperlukan adanya kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat sendiri (bottom up), bukan lagi bentukan dari pemerintah (top down). Sehubungan dengan itu, diperlukan langkah-langkah baik oleh pemerintah maupun masyarakat (stakeholders) sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dalam mengembangkan potensi sumberdaya alam yang tersedia pada tingkat lokal, dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian potensi sumberdaya alam tersebut. Hal ini dapat dijadikan model bagi terciptanya pembangunan berbasis kompetensi masyarakat lokal dan model pembangunan berkelanjutan. Fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa Glandang dengan tipologi desa sekitar hutan, kerusakan sumberdaya alam hutan, keluarga miskin dan pengangguran merupakan masalah sosial desa ini yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan dari pemerintah, swasta dan LSM (stakeholders). Berbagai program pengembangan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan kemandirian

4
masyarakat melalui berbagai pendekatan. Langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi ini telah dilakukan diantaranya munculnya beberapa program pengembangan masyarakat diantaranya JPS, RASKIN, BLT, PHBM dan

P2MBG. Pada umumnya program pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan di Desa Glandang bersifat top down. Kebijakan yang dilaksanakan kecenderungan berasal dari pemerintah. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dalam pelaksanaan program-programnya didasarkan pada inisiatif dan prakarsa dari masyarakat, jadi bersifat bottom up. Di Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, terdapat sebuah sistem pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dibentuk pada tanggal 30 Nopember 2004. Ide pembentukan LMDH berasal dari aspirasi warga Desa Glandang sendiri secara bottom up, dengan difasilitasi oleh pemerintah Desa Glandang. Tujuan didirikannya LMDH adalah pengelolaan sumber daya hutan pangkuan Desa Glandang yang mengarah kepada peningkatan ekonomi masyarakat dan keseimbangan ekologi. Berdasarkan pemetaan sosial dan evaluasi program pengembangan masyarakat yang dilakukan pada Praktek Lapangan I dan II, ternyata pengelolaaan hutan bersama masyarakat melalui LMDH dinilai belum efektif. Hal ini antara lain karena struktur akses dan kontol sumberdaya alam hutan dalam PHBM belum optimal, dan rendahnya kinerja LMDH terhadap peningkatan taraf hidup para pesanggem (penggarap), hal ini disebabkan karena pelayanan, pengelolaan, kepemimpinan serta manajemen LMDH belum berjalan dengan baik, serta belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam mengimplementasikannya. Ditinjau dari aspek pemahaman masyarakat Desa Glandang terhadap keberadaan program PHBM melalui LMDH, pada umumnya pesanggem (penggarap) belum memahami maksud dan tujuan PHBM serta fungsi LMDH. Secara umum hubungan program PHBM melalui LMDH dengan

pemerintah Desa Glandang berjalan lancar. Namun, ditinjau dari pelaksanaan fungsinya, belum terlihat produk kebijakan dan hasil kerjasama antara LMDH dan pemerintah desa, khususnya untuk pengembangan masyarakat Desa Glandang. Produk kebijakan yang dimaksud disini berupa dukungan tertulis (misalnya Surat Keputusan dari Pemerintah Desa) dan bantuan keuangan. Padahal produk

5
kebijakan tersebut sangat mendukung dalam pencapaian keberhasilan

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan program pembangunan di desa, baik oleh LMDH maupun pemerintah desa. Potensi lokal dan partisipasi masyarakat akan dapat digali dan diberdayakan secara optimal sebagai kekuatan pembangunan. Walau bagaimanapun dengan adanya program PHBM melalui LMDH, paling tidak akan menjadi pembelajaran bagi pesanggem (penggarap) dalam melaksanakan proses perencanaan program pengembangan masyarakat. Berdasarkan pengalaman dalam melaksanakan proses perencanaan di dalam LMDH tersebut diharapkan nantinya pesanggem (penggarap) dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di desanya. Peran aktif LMDH sebagai suatu kelembagaan di Desa Glandang, merupakan aspek yang strategis dalam meningkatkan peran serta masyarakat dan mewujudkan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kenyataan diatas, diperlukan berbagai upaya untuk

menguatkan kapasitas LMDH dan meningkatkan efektivitas PHBM dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesanggem (penggarap) di Desa Glandang. Oleh karena itu, pertanyaan kajian ini adalah Bagaimana strategi dan agenda pengembangan masyarakat dalam program PHBM melalui LMDH untuk merubah taraf hidup pesanggem (penggarap) di Desa Glandang Kecamatan Bantarbolang Kabupaten Pemalang. Sehubungan dengan hal itu maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang kegiatan dan keberadaan kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui LMDH dari aspek kelembagaan, yang pada akhirnya akan bermuara pada perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) Desa Glandang, dan kelestarian sumberdaya alam hutan atau keseimbangan ekologi. Kajian ini merupakan satu rangkaian yang diawali dari kegiatan Praktek Lapangan satu (PL.I) berupa pemetaan sosial dan Praktek Lapangan dua (PL.II) berupa evaluasi program pengembangan masyarakat, yang pengkaji lakukan pada lokasi penelitian yang sama dengan mengambil judul PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT MELALUI LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH) (Suatu Kajian Penguatan Kapasitas LMDH dan Peningkatan Efektivitas PHBM di Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang).

6
1.2 Rumusan Masalah Pelaksanaan pembangunan dengan orientasi pada kepentingan ekonomi yang menjurus pada terjadinya perusakan sumberdaya alam telah terjadi pada wilayah hutan. Hal ini memberikan peluang bagi manusia untuk mengolah lingkungan hidup dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya secara tidak bertanggung jawab. Pengelolaan lingkungan alam yang tidak terarah akan berakibat kemampuan ekosistem untuk mempertahankan kestabilan akan menurun. Apabila stabilitas alam terganggu akan terjadi apa yang disebut perubahan keseimbangan alam. Terganggunya stabilitas ekosistem ini kemudian dalam jangka panjang maupun jangka pendek menimbulkan masalah-masalah lingkungan atau dengan kata lain masalah lingkungan itupun terjadi karena tidak sesuainya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam rangka pembangunan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam hutan untuk mencapai kesejahteraan, hendaknya tetap terjaga keserasian dan kesinambungan secara rasional, sehingga masalah sumberdaya alam hutan dapat dipersempit atau dihindari. Melalui usaha pembangunan saja sebenarnya belum cukup dan akan kurang berhasil untuk mengatasi masalah sumberdaya alam hutan tersebut tanpa memperhatikan keseimbangan dan keserasian dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam hutan bagi pembangunan. Kepentingan-kepentingan ekonomi dimaksudkan agar masyarakat mampu bangkit dari kemiskinan dan memiliki kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak. Kondisi kehidupan dan penghidupan secara layak dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2002 dikutip Suharto, 2005). Salah satu upaya yang dilakukan untuk menciptakan kondisi tersebut yaitu dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dalam hal ini sumberdaya alam hutan. Aktivitas-aktifitas bagi kepentingan ekonomi ini telah menjurus pada penggundulan dan perusakan sumberdaya hutan sehingga mengancam kesinambungan dan keberlanjutan sumberdaya alam tersebut. Fenomena demikian dialami pada salah satu desa sekitar hutan yang ada di Kabupaten Pemalang, tepatnya Desa Glandang Kecamatan Bantarbolang Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Sebelum tahun 2002 wilayah desa

7
sekitar hutan ini masih dilindungi areal hutan jati seluas 458 Ha, namun saat ini area hutan jati kini telah habis gundul dan rusak. Upaya-upaya untuk mencegah penggundulan dan perusakan sumberdaya alam hutan ini secara aktif telah dilakukan oleh Perum Perhutani dan Pemerintah daerah melalui dinas terkait yang membidangi, yaitu Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup kabupaten Pemalang. Dampak PHBM dan peran LMDH dalam perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) di Desa Glandang secara formal telah dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya PHBM melalui LMDH dalam konteks pengembangan masyarakat dan kelembagaan belum dapat berkembang secara optimal dan efektif. Struktur akses dan kontrol sumberdaya hutan dalam PHBM dan kinerja LMDH belum menerapkan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang berorientasi pada kerakyatan dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam, partisipasi masyarakat, dan berdasarkan prakarsa komunitas. Berdasarkan situasi dan kondisi tersebut, diperlukan berbagai upaya untuk merubah taraf hidup para pesanggem (penggarap). Sebagai salah satu upaya melaksanakan perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) dapat dilakukan melalui penguatan kapasitas LMDH dan peningkatan efektivitas PHBM. Dari uraian diatas dapat dijabarkan kedalam rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana peran PHBM melalui kelembagaan LMDH terhadap perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) di Desa Glandang ? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas PHBM di Desa Glandang ? c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan LMDH di Desa Glandang ? d. Bagaimana kinerja kelembagaan LMDH di Desa Glandang ? e. Program-program apa yang perlu direncanakan dalam penguatan kapasitas kelembagaan LMDH dan peningkatkan efektivitas PHBM di Desa Glandang ? 1.3 Tujuan Kajian Tujuan pokok kajian ini adalah merumuskan strategi penguatan kapasitas LMDH dan peningkatan efektivitas PHBM di Desa Glandang Kecamatan Bantarbolang bertujuan : Kabupaten Pemalang melalui program pengembangan masyarakat. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus kajian ini

8
a. Mengetahui peran PHBM melalui kelembagaan LMDH terhadap perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) di desa Glandang. b. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas PHBM di Desa Glandang. c. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan LMDH di Desa Glandang. d. Mengkaji kinerja LMDH di Desa Glandang e. Merumuskan perencanaan program-program pengembangan masyarakat untuk penguatan kapasitas kelembagaan LMDH dan meningkatkan efektivitas PHBM. 1.4 Kegunaan Kajian a. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat menjadi masukan model kebijakan yang partisipatif, bertumpu pada warga masyarakat, khususnya bagi Departemen teknis seperti Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Bapenas/ Bapeda, Perum Perhutani, serta instansi pendukung pembangunan sosial dalam membuat kebijakan agar lebih aplikatif. b. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas

penyusunan strategi pelayanan sosial yang melibatkan banyak pihak dan bertumpu pada kemampuan dan kearifan lokal. Dengan demikian perumusan kerangka strategi penanganan masalah-masalah sosial kemasyarakatan tetap mempertimbangkan konteks lokal dalam perspektif pemberdayaan warga. c. Kegunaan akademis, diharapkan dapat memperkaya referensi tentang praktek-praktek pengembangan masyarakat yang tumbuh secara partisipatif.

You might also like