You are on page 1of 6

HIPOTALAMUS-HIPOFISIS POSTERIOR

1.

ANATOMI HIPOTALAMUS-HIPOFISIS POSTERIOR

1.1. ANATOMI HIPOTALAMUS Hipofisis merupakan kelenjar yang berada pada otak bagian dasar, tepatnya pada sella tursika dan dilapisi oleh selaput dural (diafragma sellae). Kelenjar hipofisis pada orang dewasa beratnya 500-600 mili gram, diameter 1,2 -1,5 cm dengan tebal 0,5 cm. kelenjar ini terhubung dengan hipotalamus melalui infundibulum atau tangkai pituitary. Hipofisis terbagi menjadi dua lobus yaitu lobus anterior atau adenohipofisis dan lobus posterior atau neurohipofisis.

1.2. ANATOMI HIPOFISIS POSTERIOR Kelenjar hipofisis terletak pada dasar tengkorak pada bagian tulang sphenoid yang disebut sella tursika (Turkish Saddle). Bagian anterior yaitu tuberkulum sella tursika, diapit oleh dua tonjolan posterior sayap tulang sphenoid yaitu prosesus klinoideus anterior, dorsum sellae membentuk dinding posterior, pada sudut atasnya menonjol ke prosesus klinoideus posterior. Kelenjar dilapisi oleh dura dan atapnya dibentuk oleh lipatan dura yang melekat pada prosesus klinoideus, yaitu diafragma sellae. Dalam keadaan normal, membrane arakhnoidea dan cairan serebrospinal tidak dapat masuk sella tursika dengan adanya diafragma sellae. Tangkai hipofisis dan pembuluh darahnya melewati lubang pada diafragma ini. Dinding lateral kelenjar secara tidak langsung berhadapan dengan sinus kavernosus dan dipisahkan oleh duramater. Kiasma optikum terletak 5-10 mm diatas diafragma sellae dan didepan tangkai kelenjar (Greenspan and Baxter, 1998). Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional berbeda, hipofisis posterior dan hipofisis anterior. Hipofisis posterior terdiri dari jaringan saraf dan karenanya dinamai neurohipofisis. Hipofisis anterior terdiri dari jaringan epitel kelenjar dan karenanya juga dinamai adenohipofisis (adeno artinya kelenjar). Hipofisis anterior dan posterior hanya memiliki kesamaan lokasi (Sherwood, 2011). Besarnya kelenjar hipofisis berbeda-beda, dimana lobus anterior terdiri dari dua pertiga bagian. Ukuran hipofisis kira kira 15 X 10 X 6 mm dan beratnya 500-900 mg. pada kehamilan ukurannya bisa dua kali lipat. Karena bentuk sella tursika menyesuaikan diri dengan bentuk dan ukuran kelenjar, maka struktur tulang ini berbeda beda (Greenspan and Baxter, 1998).

Hubungan anatomis antara hipofisis dan nukleus-nukleus utama hipotalamus terlihat pada gambar 2-2. Lobus posterior hipofisis (neurohipofisis) berasal dari jaringan saraf, secara embrional dari evaginasi hipotalamus ventral dan ventrikel ketiga. Neurohipofisis terdiri dari akson dan ujung saraf dari neuron yang badannya berada di supraoptik dan nukleus paraventrikel dari hipotalamus dan jaringan penyokong. Traktus nervus hipotalamo-neurohipofiseal terdiri dari kurang lebih 100.000 serat saraf. Tebal serat saraf berkisar antara 1 sampai 50 mikrometer terdapat pada saraf terminalis (Greenspan and Baxter, 1998). 2. HISTOLOGI

Neurohipofisis terdiri atas pars nervosa dan tangkai neural. Pars nervosa yang tidak mengandung sel-sel sekretorik, terdiri dari 100.000 akson-akson yang tidak bermielin dari neuron-neuron sekretorik dari nukleus supraoptik dan paraventrikel. Neuron-neuron sekretorik mempunyai semua karakteristik dari neuron-neuron sejenis, termasuk kemampuan untuk melakukan potensial aksi, tetapi lebih banyak mempunyai badan-badan nissl yang berhubungan dengan pembentukan neurosekretorik. Selain itu, akson dan badan sel mengandung granula-granula inklusi yang dapat dipelajari dengan memakai teknik khusus (contoh dengan pewarnaan hematoksilin khrom gomori) (Junqueira et al., 1997). Mikroskop elektron mengungkapkan bahwa granula-granula neurosekretorik ini bergaris tengah 100-200 nm, dikelilingi membran, dan lebih banyak dijumpai pada bagian ujung akson yang melebar, yang berbatasan dengan kapiler darah yang bertingkap. Disini kapiler-kapiler berkumpul, dikenal sebagai badan herring, yang tampak dengan mikroskop cahaya. Hormon-hormon yang terdapat didalam granula-granula sekretorik ini dilepaskan sewaktu dibutuhkan oleh organisme (Junqueira et al., 1997). Kelenjar hipofisis posterior, yang juga disebut neurohipofisis, terutama terdiri dari sel-sel glia yang disebut pituisit. Namun, pituisit ini tidak mensekresi hormon; sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali ujung-ujung serat saraf dan bagian terminal akhir serat dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan paraventrikel hipotalamus. Jaras saraf ini berjalan menuju ke neurohipofisis melalui tangkai hipofisis. Bagian akhir saraf merupakan knop bulat yang mengandung banyak granula-granula sekretorik, yang terletak pada permukaan kapiler tempat granula- granula tersebut mensekresi hormon hipofisis posterior berikut ini: (1) hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut sebagai vasopressin, dan (2) oksitosin (Guyton and Hall, 1997). 3. FISIOLOGI HIPOTALAMUS-HIPOFISIS POSTERIOR

Hipotalamus, mempunyai jaras komunikasi dua arah yang berhubungan dengan semua tingkat sistem limbik. Sebaliknya, hipotalamus dan struktur-struktur yang

berkaitan dengannya mengirimkan sinyal-sinyal keluaran dalam tiga arah: (1) kebelakang dan kebawah menuju batang otak terutama ke area reticular mesenchepalon, pons, dan medulla, dan dari area tersebut ke perifer sistem saraf otonom; (2) ke atas menuju sebagian besar area yang lebih tinggi di diensefalon dan serebrum, khususnya bagian anterior talamus dan bagian limbik korteks serebri; dan (3) ke infundibulum hipotalamus untuk mengatur atau mengatur secara sebagian dari fungsi sekretorik pada bagian posterior dan anterior kelenjar hipofisis (Guyton and Hall, 1997). Hipotalamus dan hipofisis posterior membentuk suatu sistem neuroendokrin yang terdiri dari suatu populasi neuron neuroskretoris yang badan selnya terletak di dua kelompok di hipotalamus (nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikel). Akson dari neuron-neuron ini turun melalui tangkai penghubung tipis untuk berakhir di kapiler di hipofisis posterior. Hipofisis posterior terdiri dari ujung-ujung saraf ini plus sel penunjang mirip glia. Secara fungsional dan anatomis, hipofisis posterior sebenarnya hanya perpanjangan dari hipotalamus (Sherwood, 2011). Hipofisis posterior sebenarnya tidak menghasilkan hormon apapun. Bagian ini hanya meyimpan dan, setelah mendapat rangsangan yang sesuai, mengeluarkan dua hormon peptida kecil. Vasopresin dan oksitosin, yang disintesis oleh badan sel neuron di hipotalamus, kedalam darah. Kedua peptida hidrofilik ini dibuat di nukleus supraoptikus dan paraventrikel, tetapi satu neuron hanya dapat menghasilkan salah satu dari kedua hormon ini. Hormon yang disintesis dikemas dalam granula sekretorik yang diangkut melalui sitoplasma akson dan disimpan di terminal neuron dihipofisis posterior. Setiap ujung saraf ini menyimpan vasopresin atau oksitosin, tidak keduanya. Karena itu, hormon-hormon ini dapat dikeluarkan secara independen sesuai kebutuhan. Akibat sinyal stimulatorik ke hipotalamus, vasopresin atau oksitosin dilepaskan ke dalam darah sistemik dari hipofisis posterior melalui proses eksositosis granula sekretorik yang sesuai. Pelepasan hormon ini terjadi sebagai respon terhadap potensial aksi yang berasal dari badan sel di hipotalamus dan merambat ke ujung saraf dihipofisis posterior. Seperti pada neuron lainnya, potensial aksi dihasilkan di neuron sekretorik ini sebagai respon terhadap sinyal sinaptik ke badan sel saraf (Sherwood, 2011). Baik oksitosin dan ADH (vasopresin) kedua-duanya merupakan polipeptida yang mengandung sembilan asam amino. Rangkaian asam aminonya adalah sebagai berikut: Vasopresin: Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-Cys-Pro-Arg-GlyNH Oksitosin: Cys-Tyr-Ile-Gln-Asn-Cys-Pro-Leu-GlyNH Perhatikan bahwa kedua hormon ini hampir identik kecuali pada vasopresin, fenilalanin, dan arginin menggantikan isoleusin dan leusin pada molekul

oksitosin. Kesamaan dari kedua molekul ini dapat menjelaskan fungsinya yang kadang kala mirip (Guyton and Hall, 1997). a) Vasopressin

Impuls neural yang memicu pelepasan ADH diaktifkan oleh sejumlah stimulus yang berlainan. Peningkatan osmolalitas dalam plasma merupakan stimulus fisiologik yang primer. Peristiwa ini diperantarai oleh osmoreseptor yang terletak dalam hipotalamus dan baroreseptor yang terletak dalam jantung serta region lainnya pada sitem vaskuler. Peristiwa hemodilusi (penurunan osmolalitas) memberikan efek yang berlawanan. Stimulus lainnya adalah stres emosional serta stres fisik dan preparat farmakologik yang mencakup asetilkolin, nikotin, serta morfin. Sebagian besar efek ini meliputi peningkatan sintesis ADH dan neurofisin II, mengingat deplesi hormone yang tersimpan tidak berkaitan dengan kerja ini. Epinefrin dan preparat yang memperbesar volume plasma akan menghambat sekresi ADH, sebagaimana halnya dengan etanol (Murray et al.,1999). Vasopresin (hormone antidiuretik, ADH) memiliki dua efek utama yang sesuai dengan namanya: (1) meningkatkan retensi HO oleh ginjal (efek antidiuretik), dan (2) menyebabkan kontraksi otot polos arteriol (suatu efek presor pembuluh). Efek pertama memiliki peran fisiologik lebih penting. Pada kondisi normal, vasopresin adalah faktor endokrin utama yang mengatur pengeluaran HO secara keseluruhan. Sebaliknya, vasopresin dalam kadar biasa hanya berperan minimal dalam mengatur tekanan darah melalui efek presornya (Sherwood, 2011). Kontrol utama pelepasan vasopresin dari hipofisis posterior adalah masukan dari osmoreseptor hipotalamus, yang meningkatkan sekresi vasopresin sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas plasma. Masukan yang lebih lemah dari reseptor volume atrium kiri meningkatkan sekresi vasopresin sebagai respon terhadap penurunan volume CES dan tekanan darah arteri (Sherwood, 2011). b) Oksitosin

Impuls neural yang terbentuk dari perangsangan papilla mammae merupakan stimulus primer bagi pengeluaran oksitosin. Distensi vagina dan uterus merupakan stimulus sekunder. PRL dilepaskan oleh banyak stimulus yang melepaskan oksitosin, dan fragmen oksitosin pernah dikemukakan sebagai faktor pelepasanprolaktin. Estrogen merangsang produksi oksitosin serta neurofisin I, dan progesterone menghambat produksi senyawa ini (Murray et al.,1999). Oksitosin merangsang kontraksi otot polos uterus untuk membantu mengeluarkan janin selama persalinan, dan hormon ini juga merangsang penyemprotan (ejeksi) susu dari kelenjar mamaria (payudara) selama menyusui. Sekresi oksitosin

ditingkatkan oleh refleks-refleks yang berasal dari jalan lahir selama persalinan dan oleh refleks yang terpicu ketika bayi menghisap payudara (Sherwood, 2011). Selain kedua efek fisiologik utama tersebut, oksitosin terbukti juga mempengaruhi berbagai perilaku, terutama perilaku ibu. Sebagai contoh, hormon ini meningkatkan ikatan batin antara ibu dan bayinya (Sherwood, 2011).

DAFTAR PUSTAKA Greenspan, F.S., Baxter, J.D., 1994. Basic and Clinical Endocrinology (4th ed.). Wijaya, Caroline et al. 1998 (alih bahasa), EGC: Jakarta. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical Physiology (9th ed.). Setiawan, Irawati et al. 1997 (alih bahasa), EGC: Jakarta. Junqueira, L.C., Carneiro, J., Kelley, R.O., 1995. Basic Histology (8th ed.). Tambayong, Jan. 1997 (alih bahasa), EGC: Jakarta. Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W., 1996. Harpers Biochemistry (24th ed.). Hartono, Andry. 1999 (alih bahasa), EGC: Jakarta. Sherwood, L., 2007. Human Physiology: from Cells to Systems (6th ed.). Pendit, B.U. 2011 (alih bahasa), EGC: Jakarta.

You might also like