You are on page 1of 6

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGADILI SENGKETA PEMILUKADA

Oleh : Priyatmanto Abdoellah, SH.MH. Penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) secara langsung oleh rakyat berdasarkan Undang-Undang (UU) No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 Tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah (PP) No.6 Tahun 2005, dipandang sebagai suatu langkah maju dalam sistem demokrasi politik di negara kita, demi terwujudnya cita-cita Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI) yang aman, tertib, adil dan makmur. Namun demikian, setelah lima tahun pemilukada secara langsung dilaksanakan di republik ini (terhitung mulai bulan Juni 2005 berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004), ternyata hampir selalu diwarnai ekses negatif dengan terjadinya berbagai pelanggaran-pelanggaran yang melahirkan sengketa dan pertikaian, baik yang dilakukan oleh para kontestan dan pendukungnya maupun yang dilakukan oleh pihak penyelenggara (KPUD) sendiri. Seringnya terjadi pelanggaran dan sengketa dalam penyelenggaraan pemilukada beserta segala dampak negatifnya, selain diperlukan upaya pembinaan kesadaran politik bagi masyarakat (khususnya para kontestan) dan pembekalan profesionalitas yang memadai bagi pihak penyelenggara pemilukada (KPU/KPUD), juga sangat diperlukan adanya sosialisasi hukum dan peraturan perundang-undangan mengenai pemilukada bagi pihak-pihak terkait guna memahami secara jelas dan benar tentang prosedur dan tatacara penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilukada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut PP No.6/2005, untuk pelanggaran pemilukada yang ringan cukup dilaporkan dan diselesaikan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), sedangkan pelanggaran yang berat atau menimbulkan sengketa dapat diajukan ke pengadilan. Pelanggaran pemilukada yang dapat diajukan ke pengadilan adalah pelanggaran yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana, pelanggaran (sengketa) administratif, dan sengketa mengenai hasil pemilukada. Adapun pengadilan yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus pelanggaran tersebut dibedakan menurut jenis kasusnya, yaitu : 1. Pelanggaran pemilukada yang mengandung unsur tindak pidana menjadi wewenang Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, berdasarkan ketentuan Pasal 114 Peraturan Pemerintah (PP) No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana telah diubah dengan PP No.49 Tahun 2009 ; 2. Pelanggaran (sengketa) yang bersifat administratif yang bukan mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun), berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 2 huruf (g) Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No.7 Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010 ;

2 3. Sengketa mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 236-c UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang Mahkamah Konstitusi ini merupakan pengalihan dari wewenang Mahkamah Agung (cq. Pengadilan Tinggi) yang semula diatur dalam Pasal 89 dan Pasal 94 PP No.6 Tahun 2005. Mengenai ruang lingkup wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun/PTUN) dalam memeriksa dan memutus sengketa pemilukada, sebenarnya relatif paling sedikit dibandingkan dengan Peradilan Umum maupun Mahkamah Konstitusi. Boleh jadi, karena wewenang PTUN yang relatif kecil tersebut, di dalam UU maupun PP tentang Pemilukada sama sekali tidak disebut adanya kewenangan Peratun/PTUN disitu, melainkan yang disebut hanyalah kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) dan Mahkamah Konstitusi (dulu Mahkamah Agung cq. Pengadilan Tinggi). Bahkan sebelum terbitnya SEMA No.7 Tahun 2010, menurut SEMA No.8 Tahun 2006 ditentukan bahwa PTUN sama sekali tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa yang menyangkut pemilukada, baik yang berupa sengketa administratif maupun sengketa mengenai hasil pemilukada. Prinsip bahwa pelanggaran pemilihan umum (termasuk pemilukada) dipandang lebih condong pada sengketa politis daripada sengketa administratif, sebenarnya sudah dapat dibaca sejak lahirnya UU Peratun itu sendiri, dimana dalam UU No.5/1986 (yang telah diubah dengan UU No.9/2004 dan UU No.51/2009) dicantumkan ketentuan dalam Pasal 2 huruf (g) yang berbunyi : Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini : Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Berdasarkan ketentuan di atas, pada tahun 2005 terbit SEMA No.8 Tahun 2005 Tentang Petunjuk Teknis Tentang Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serta Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No.482 K/TUN/2003 tangggal 18-08-2004 yang intinya menyatakan bahwa semua keputusan Komisi Pemilihan Umum (Pusat/Daerah) baik yang menyangkut hasil pemilukada maupun yang bersifat administratif, bukan termasuk wewenang Peratun. Jika terjadi sengketa pemilukada, maka penyelesaiannya pada waktu itu diarahkan ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan umum. Setelah lima tahun berlakunya SEMA No.8 Tahun 2005, ternyata barubaru ini terbit SEMA No.7 Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010 yang intinya membedakan sengketa pemilukada dalam dua jenis, yaitu yang bersifat administratif menjadi wewenang Peratun, sedangkan yang mengenai hasil pemilukada bukan wewenang Peratun. Ketentuan SEMA No.7 Tahun 2010 ini sebenarnya bukan hal baru, melainkan menegaskan kembali penafsiran Pasal 2 huruf (g) UU No.5/1986 jo UU No.9/2004. Untuk lebih jelasnya, disini dikutip sebagian isi pokok dari SEMA No.7/2010 antara lain sebagai berikut : bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan tersebut secara tegas dan eksplisit menyebutkan hasil pemilihan umum, hal mana menunjukkan bahwa yang dituju adalah

3 keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungutan suara dan yang dilanjutkan dengan penghitungan suara. Dalam hal ini perlu dibedakan dengan tegas antara dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan PILKADA, dan di lain pihak keputusankeputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Di dalam kenyataan pelaksanaan penyelenggaraan PILKADA di lapangan, sebelum meningkat pada tahap pemungutan suara dan penghitungan suara (pencoblosan atau pencontrengan), telah dilakukan berbagai pentahapan, misalnya tahap pendaftaran pemilih, tahap pencalonan peserta, tahap masa kampanye, dan sebagainya. Pada tahap-tahap tersebut sudah ada keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (beschikking), yaitu keputusan Komisi Pemilihan Umum di tingkat Pusat dan Daerah. Keputusan-keputusan tersebut yang belum atau tidak merupakan hasil pemilihan umum dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan, dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Pasal 1 butir 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka tetap menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan-keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum adalah pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut, sehingga tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan mengacu pada SEMA No.7/2010 tersebut di atas, maka ruang lingkup kewenangan Peratun terhadap sengketa administratif yang berkaitan dengan pemilukada tersebut pada hakekatnya hanya mencakup proses administratif sebelum (pra) pelaksanaan pemilukada (vide Bab V, PP No.6/2005) , antara lain : - Keputusan TUN mengenai proses pendaftaran dan verifikasi bakal calon peserta (kontestan) pemilukada, termasuk keputusan mengenai penerimaan atau penolakan bakal calon ; - Keputusan TUN mengenai penetapan/pengumuman calon yang dapat mengikuti pemilukada. Jenis-jenis keputusan TUN tersebut dimungkinkan untuk digugat di Peratun. Namun gugatan tersebut tentu saja harus memenuhi syarat prosedural-formal atau tidak terkena dismissal process (vide Pasal 62 ayat 1). Gugatan yang terkena dismissal (tidak dapat diterima), adalah dalam hal : a) pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan ; b) syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan ; c) gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak ; d) apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan TUN yang digugat ; e) gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya ( menurut Pasal 55, jangka waktu pengajuan gugatan adalah 90 hari sejak

4 diterimanya keputusan obyek sengketa bagi pihak yang dituju, atau 90 hari sejak diketahuinya keputusan tersebut bagi pihak yang tidak dituju). Beberapa permasalahan yang pernah terjadi dalam kasus gugatan sengketa pemilukada di PTUN, antara lain : 1. Gugatan Lewat Waktu. Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut Pasal 55 adalah 90 (sembilan puluh) hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Mengingat bahwa pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada tersebut dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan tersebut baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Gugatan TUN Diajukan Setelah Pelaksanaan Pemilukada. Meskipun tidak diatur secara eksplisit, pengajuan gugatan TUN yang obyek sengketanya berupa keputusan administratif mengenai penetapan penerimaan atau penolakan Calon Peserta Pemilukada seharusnya diajukan ke PTUN sebelum lewat pelaksanaan pemungutan suara. Mengapa demikian ? Sebab, jika gugatan itu diajukan dan dapat diputus sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara, maka bagi calon yang dinyatakan sah oleh putusan PTUN bisa segera diikutkan dalam pemungutan suara, begitupun sebaliknya, bagi calon yang dinyatakan tidak sah oleh putusan PTUN bisa segera dicoret atau ditunda keikutsertaanya dalam pemungutan suara. Jika gugatan TUN itu baru diajukan setelah (terlanjur) dilaksanakan pemungutan suara dan hasilnya sudah diumumkan (atau sudah ditetapkan Calon Terpilih), maka akan timbul masalah yaitu : Obyek sengketa pokoknya bukan lagi penetapan calon melainkan penetapan calon terpilih hasil pemilukada yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, sehingga meskipun seandainya obyek sengketa penetapan calon telah dibatalkan oleh PTUN, tetapi putusan PTUN itu tidak secara mutatis-mutandis membatalkan penetapan calon terpilih yang berada diluar kewenangan PTUN. Obyek sengketa penetapan calon adalah termasuk jenis keputusan yang bersifat einmalig (hanya berlaku sekali), yaitu hanya berlaku sampai dengan pelaksanaan pemilukada (satu kali, atau dua kali dalam hal terjadi dua putaran ulangan). Jika pemilukada itu telah selesai, maka penetapan calon itu praktis tidak berlaku atau tidak berfungsi lagi.

3. Gugatan TUN Didasarkan Alasan Tindak Pidana.

5 Masalah atau kendala lain yang muncul di dalam sengketa TUN, adalah dalam hal suatu gugatan didasarkan atas alasan bahwa obyek sengketa dianggap cacad hukum karena terkait dengan dugaan tindak pidana. Dalam hal demikian, maka terhadap obyek sengketa atau surat-surat bukti yang terkait dengan tindakpidana harus dibuktikan dan diputus terlebih dahulu oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum sampai adanya putusan pidana tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Contoh mengenai hal ini, misalnya obyek sengketa TUN yang terkait dengan tindakpidana pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (4) UU No.5/1986 yang berbunyi sebagai berikut : Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa tata usaha negara dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan (inkrachtpen.). Dengan adanya ketentuan Hukum Acara Peratun di atas, maka proses pemeriksaan perkara di PTUN harus ditunda (tootnader) dalam waktu yang cukup lama karena menunggu putusan pidananya inkracht. Hal ini tentunya akan menjadi kendala jika gugatan TUN tersebut berkaitan dengan pemilukada, karena akan berdampak pada berlarut-larutnya proses penyelenggaraan dan hasil akhir dari pemilukada itu sendiri. Apabila dicermati ketentuan UU No.12 Tahun 2008, untuk kasus pemalsuan surat yang berkaitan dengan pemilukada, dianggap sebagai pelanggaran pidana, bukan pelanggaran administratif (tata usaha negara). Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pidana Pasal 115 ayat (6) yang berbunyi sebagai berikut : Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan, dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan, dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,(tujuh puluh dua juta rupiah). Adapun penyelesaian atas pelanggaran pidana dalam pemilukada, menurut ketentuan Pasal 111 PP No.6/2005 disebutkan antara lain sebagai berikut : Ayat (5) : Dalam hal laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik Ayat (6) : Laporan yang mengandung unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah memperoleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berakibat calon terpilih tidak memenuhi persyaratan, ditindaklanjuti dengan pembatalan pasangan calon oleh DPRD.

6 Berdasarkan ketentuan UU No.12/2008 dan PP No.6/2005 tersebut di atas, dapat dipahami secara jelas bahwa pemalsuan surat dalam pemilukada adalah termasuk dalam ranah pelanggaran pidana, bukan pelanggaran administratif. Demikian pula proses penyelesaiannya secara yuridis adalah melalui peradilan pidana, bukan melalui gugatan (sengketa) administratif. Makassar, 20 September 2010

---o0o---

You might also like