You are on page 1of 256

BUKU PANDUAN SKILLS LAB

SEMESTER GENAP 2012/2013

SEMESTER 4

PEMERIKSAAN SISTEM ORGAN II

LABORATORIUM KETERAMPILAN MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA Alamat: Darussalam - Banda Aceh Telepon: (0651) 7555184

Copyright@2010 oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Pertama kali dicetak : Februari 2008 Edisi revisi I: Pebruari 2009 Edisi revisi II: Januari 2010 Edisi revisi III: November 2011 Edisi revisi IV: November 2012 Desain sampul oleh : Rahmawati, S.Si Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Semua Hak Cipta Terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin oleh penerbit sebelum memperbanyak, disimpan, atau disebarkan dalam bentuk elektronik, mekanik, fotocopy, dan rekaman atau bentuk lainnya. ii

PENYUSUN BUKU
dr. Tgk. Puspa Dewi, Sp.OG Bagian lmu Kebidanan & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Azharuddin Sp.BO, FICS K-Spine Bagian Ilmu Bedah/Orthopedi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA Dr. dr. Endang Mutiawati R, Sp.S Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Dessi Rakhmawaty Emril, Sp.S Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Nanda Earlia, Sp KK Bagian Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Devi HP, Sp.M Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Lili Setiani Sp.THT-KL Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. Iskandar Zakaria, Sp.R Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUZA dr. T.H. Makmur Mohd. Zein, SKM, PKK Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dr. Roziana Bagian Anatomi Laboratorium Keterampilan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dr. Teuku Renaldi Tim Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rahmawati, S.Si Tim Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Dewi Malahayati, SH Laboratorium Keterampilan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dr. Hirsa Agriani Tim Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

iii

PENANGGUNG JAWAB Dr. dr. Mulyadi, Sp P (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

dr. Teuku Mamfaluti, M. Ke, Sp PD Laboratorium Keterampilan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

iv

KATA PENGANTAR

Buku Panduan skills lab ini memuat tentang Keterampilan Pemeriksaan Genitalia Pria, Pemeriksaan Genitalia Wanita, Teknik Pemasangan Kateter Uretra, Urologic Radiology, Komunikasi Kasus Sensitif, Pemeriksaan Fisik Muskuloskeletel, Pemeriksaan Neurologi, Pemeriksaan Fisik Diagnostik THT, Pemeriksaan Fisik Diagnostik Mata, dan Pemeriksaan Fisik Diagnostik Kulit Kami berharap buku panduan ini dapat mempermudah mahasiswa dalam melatih kemampuan dasar ilmu kedokteran di laboratorium keterampilan medik. Kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesarbesarnya atas segala konstribusi Teman Sejawat Penulis dalam penyelesaian dan penyempurnaan materi di dalam buku panduan ini sehingga dapat tercapai tujuan kita bersama yaitu menghasilkan dokter yang berkompetensi.

Banda Aceh, November 2012 Tim Skills Lab & Tim Kurikulum

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................. Daftar Isi .......................................................................................

v vi

Benang Merah Klinis .................................................................... vii 1. Pemeriksaan Genitalia Pria ..................................................... 1

2. Pemeriksaan Genitalia Wanita ................................................ 13 3. Teknik Pemasangan Kateter Uretra ........................................ 27 4. Pemeriksaan Perineum dan Rectal .......................................... 35 5. Urologic Radiology ................................................................ 41 6. Komunikasi Kasus Sensitif ..................................................... 50 7. Pemeriksaan Fisik Muskuloskeletel ....................................... 61 8. Pemeriksaan Neurologi ........................................................... 120 9. Pemeriksaan Fisik Diagnostik THT ........................................ 157 10. Pemeriksaan Fisik Diagnostik Mata ....................................... 186 11. Pemeriksaan Fisik Diagnostik Kulit ....................................... 206

vi

BENANG MERAH KLINIS

Pada hari selasa, 24 Januari 2010, suasana IGD sangatlah sibuk. Jam 09.00 seorang Kakek berumur 65 tahun datang ke RS dengan keluhan tidak bisa kencing sejak 8 jam yang lalu. Sejak 2 bulan terakhir si Kakek sudah sering mengeluhkan kencing tidak tuntas. Saat ini Kakek merasa nyeri di daerah bawah pusatnya. Tidak lama kemudian, datang sepasang suami isteri ke IGD setelah jatuh dari sepeda motor. Sang suami datang sambil mengendong isterinya yang terlihat sangat lemas. Menurut sang suami, isterinya tadi sampai tidak sadar diri sesaat setelah jatuh dari motor, dan ia sendiri mengeluh kedua kakinya terasa sulit berjalan terutama tungkai kanan. Pada jam 11.45 datang lagi pasien bernama Yuli, 14 tahun mengeluh sering hidungnya gatal dan berair, bersin > 5x dalam sehari terutama pagi hari, yang disertai kedua matanya terasa gatal, perih & berair. Pada kulit kedua lipatan lututnya tampak luka kecil bekas garukan & tampak pula kulit menebal bekas garukan berulang. Menurut Yuli, Ibu & kakaknya juga mengeluh gejala serupa. Ayahnya telah lama menderita asma. Anda sebagai dokter jaga di IGD saat ini, 1. Prosedur tindakan apa yang harus anda lakukan untuk membantu menegakkan diagnosa dan membantu si Kakek 2. Tindakan apa yang dapat lakukan dalam menentukan ada/tidak kelainan pada mereka, lakukan pemeriksaan yang tepat atas kedua pasangan tersebut secara sistematis dan benar. 3. Apa yang tejadi pada Yuli? Deskripsikan tanda yang terdapat di kedua lipatan lututnya! Lakukan pemeriksaan fisik yang tepat pada hidung, mata & kulit Yuli agar diagnosis yang tepat dapat anda tegakkan !

vii

1. PEMERIKSAAN GENETALIA PRIA (MALE GENITALIA EXAM) Tujuan belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik pada genetalia pria secara sistematis dan benar, sehingga dapat mengaitkan dengan kemungkinan diagnosis pasien. Anatomi & Fisiologi Penampang lintang dan pandangan frontal genetalia pria, sebagai berikut :

Penampang Lintang Genetalia Pria

Genetalia Pria

Penis terdiri dari 3 struktur memanjang : dua pasang korpora kavernosa dan satu buah korpus spongiosum. Uretra melintasi korpus spongiosum. Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan fibroelastik tunika albuginea sehingga merupakan satu kesatuan, sedangkan di sebelah proksimal terpisah menjadi dua sebagai krura penis. Korpora kavernosa mengandung otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi. Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis dan di sebelah proksimal dilapisi otot bulbokavernosus. Korpus spongiosum ini berakhir di bagian distal sebagai glans penis. Kedua korpora dibungkus oleh fasia Buck dan lebih superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos. Penis mempunyai 2 permukaan, dorsal dan ventral (uretral), dan terdiri dari pangkal, batang dan kepala. Batang penis terdiri dari jaringan erektil, yang menimbulkan ereksi bila terisi penuh oleh pembuluh darah. Kulit penis halus, tipis dan tidak berambut. Pada ujung distal penis, terdapat suatu lipatan kulit bebas yang disebut preputium. 2

Sekresi mukus dan lapisan sel epitel yang disebut smegma terkumpul di antara preputium dan glans, memberikan efek lubrikasi selama koitus. Selama sirkumsisi, preputium di insisi. Suplai darah ke penis berasal dari arteri pudendus interna, yang mempercabangkan arteri dorsal dan arteri profunda pada korpora kavernosa. Vena-vena bermuara ke dalam vena dorsalis penis. Dalam keadaan ereksi, saluran arteriovenosa tertutup dan arteri-arteri terbuka lebar. Dalam keadaan tidak ereksi, saluran vena dan anastomosis arteriovenosa terbuka lebar, sedangkan arteri menyempit sebagian. Uretra terbentang mulai dari meatus urinarius internus di vesika urinaria, hingga meatus eksternus di penis. Uretra pria dewasa, memiliki panjang 23-25 cm dan dibagi atas : Pars prostatika Pars membranasea Posterior Pars kavernosa AnteriorZ Sfingter uretra eksterna mengelilingi uretra membranasea dan pada kedua sisinya terletak kelenjar bulbouretral Cowper. Skrotum adalah kantong yang mengandung testis, yang tergantung di luar dari perineum. Skroum di bagi menjadi dua oleh septum interskrotal. Dinding skrotum mengandung otot polos involunter dan otot lurik volunter. Peranan utama skrotum adalah mengatur suhu testis, yang dipertahankan kira-kira 2C di bawah suhu rongga peritoneum, suatu keadaan yang penting untuk spermatogenesis. Testis berbentuk oval, halus dan panjangnya kira-kira 3,5-5 cm. Testis kiri biasanya terletak lebih rendah dibandingkan kanan. Testis di bungkus oleh suatu lapisan fibrosa kuat, disebut tunika albugenia testis. Masing-masing testis mengandung tubulus seminiferus yang panjang, mikroskopis dan berkelok-kelok yang menghasilkan sperma. Tubulus ini berakhir di dalam epididimis, yang berbentuk koma, dan terletak di batas posterior testis. Pars inferior epididimis melanjutkan diri sampai vas deferens. 3

Arteri testis memasuki testis pada bagian tengah posteriornya, sedangkan vena yang berfungsi sebagai drainase testis membentuk jaringan padat yang disebut pleksus pampiniformis, yang mengalir ke dalam vena testis. Vena testis kanan mengalir langsung ke dalam vena kava inferior, sedangkan kiri mengalir ke dalam vena renalis kiri. Vas deferens adalah suatu struktur seperti tali, yang dapat diraba dengan mudah di dalam skrotum. Di dekat basis prostat, vas deferens bergabung dengan duktus vesikula seminalis membentuk duktus ejakulatorius, yang menembus kelenjar prostat. Vas deferens, arteriarteri testis dan vena-vena membentuk korda spermatika, yang memasuki kanalis inguinalis. Kelenjar prostat kira-kira berukuran, panjang 3,5 cm dan lebar 3 cm. Di bagian tengah ditembus uretra posterior. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen cairan ejakulat. Volume cairan prostat merupakan 25 % dari seluruh volume ejakulat. Pemeriksaan Fisik Genetalia Pria Pemakaian sarung tangan karet yang disposible harus dipakai. Jika pemeriksaan dilakukan secara objektif, tidak akan menjadi sumber rangsangan bagi pasien, sehingga kemungkinan munculnya ereksi yang dapat mengganggu pemeriksaan dapat dihindarkan. Pemeriksaan genetalia pria dilakukan mula-mula pada saat pasien dalam posisi berbaring, kemudian dilanjutkan pada posisi berdiri. Perubahan sikap tubuh ini penting karena hernia atau massa skrotum mungkin tidak terlihat jelas dalam posisi berbaring. Pemeriksaan genetalia pria terdiri atas : Inspeksi dan palpasi dengan pasien berbaring Inspeksi dan palpasi dengan pasien berdiri Pemeriksaan hernia

1. Inspeksi dan Palpasi dengan Pasien Berbaring Inspeksi Kulit dan Rambut Kulit lipat paha harus diperiksa untuk melihat adanya infeksi jamur superfisial, ekskoriasi atau ruam lainnya. Ekskoriasi mungkin menunjukkan infeksi skabies. Perhatikanlah distribusi rambut. Periksalah rambut pubis untuk melihat adanya kutu rambut atau nits (kumpulan telur) yang melekat pada rambut tersebut. Inspeksi Penis dan Skrotum Pada pemeriksaan penis dan skrotum, perhatikanlah hal-hal berikut : Apakah pria ini disunat ? Perhatikan ukuran penis dan skrotum. Apakah terdapat lesi dan edema di penis dan skrotum ? Lesi telengiektasis kecil, merah tua, agak menonjol pada skrotum lazim ditemukan pada pria di atas 50 tahun, disebut angiokeratoma dan bersifat jinak. Skrotum diangkat oleh pemeriksa untuk memeriksa perineum dengan cermat, melihat adanya peradangan, ulserasi, kutil, abses, atau lesi lain. Pembesaran skrotum karena hidrokel dapat diperiksa dengan transluminasi. Inspeksi Massa di Lipat Paha Pasien di suruh untuk batuk, atau mengejan sementara anda memeriksa lipat paha. Suatu tonjolan yang timbul secara tiba-tiba mungkin menunjukkan suatu hernia inguinal atau femoral. Palpasi Nodus Inguinal Dengan menggerakkan jari secara memutar sepanjang ligamentum inguinal, pemeriksa dapat menentukan adanya adenopati inguinal. Biasanya nodus-nodus limfe berukuran kecil (0,5 cm) dan dapat digerakkan dengan bebas ditemukan di daerah ini. 5

2. Inspeksi dan Palpasi Dengan Pasien Berdiri Pasien kemudian diminta berdiri sementara pemeriksa duduk di depannya. Inspeksi Penis Jika pasien tidak disunat, kulupnya (preputium) harus diretraksikan, untuk menentukan keketatan katup. Parafimosis merupakan suatu keadaan dimaa kulup dapat diretraksikan tetapi tidak dapat dikembalikan ketempat semula dan tertahan di belakan korona. Bahan putih seperti keju di bawah kulup adalah smegma dan itu adalah normal. Fimosis ada jika kulup tidak dapat diretraksikan dan meghalangi pemeriksaan glans secara memadai. Karena glans juga tidak dapat dibersihkan, smegma tertumpuk, sehingga dapat menimbulkan peradangan glans, yang disebut balanitis. Bila juga melibatkan peradangan preputium, disebut balanopostitis. Iritasi kronis ini dapat menjadi faktor penyebab kanker penis. Glans diperiksa untuk melihat adanya ulkus, kutil, nodulus, parut atau tanda peradangan. Inspeksi Meatus Eksternus Pemeriksa harus memperhatikan posisi meatus uretra eksternus. Letaknya harus ditengah glans. Meatus diperiksa oleh pemeriksa dengan meletakkan kedua tangannya di sisi glans penis dan membuka meatus.

Meatus harus diperiksa untuk melihat adanya sekret, kutil atau stenosis. Kutil venereal, yang disebut kondiloma akuminata, dapat ditemukan di dekat meatus, di glans, perineum, anus atau batang penis. Secara khas, kutil ini mempunyai permukaan verukosa yang menyerupai kembang kol.

Kadang-kadang meatus uretra akan bermuara pada permukaan ventral penis, suatu keadaan yang disebut hipospadia. Keadaan yang jarang ditemukan adalah epispadia, yaitu suatu keadaan diamana meatus terletak pada permukaan dorsal penis.

Palpasi Penis Palpasi batang mulai dari glans sampai basis penis. Adanya parut, ulkus, nodulus, indurasi, atau tanda-tanda peradangan harus dicatat. Palpasi korpora kavernosa dilakukan dengan memegang penis diantara jari-jari kedua tangan dan memakai jari telunjuk untuk memeriksa indurasi. Adanya indurasi yang tidak nyeri tekan atau daerah fibrotik di bawah kulit batang penis mengarah ke penyakit Peynorie. Pasien dengan keadaan ini mungkin mengeluh deviasi penis selama ereksi. 7

Palpasi Uretra Uretra harus dipalpasi mulai dari meatus eksternus, melalui korpus spongiosum sampai ke pangkalnya. Untuk palpasi pangkal uretra, pemeriksa mengangkat penis dengan tangan kiri sementara jari telunjuk kanan menekan skrotum di garis tengah dan mempalpasi jauh ke pangkal korpus spongiosum. Bantal jari telunjuk kanan harus mempalpasi seluruh korpus spongiosum mulai dari meatus sampai ke pangkalnya. Jika terdapat sekret, pemerahan uretra dapat menghasilkan setetes sekret yang harus ditempatkan di atas gelas objek untuk pemeriksaan mikroskopis. Palpasi Skrotum Skrotum diperiksa kembali dalam posisi berdiri. Perhatikan kontur dan isi skrotum. Harus ada 2 testis. Biasanya testis kiri lebih rendah dibandingkan yang kanan. Adanya massa yang tidak terlihat ketika pasien berbaring harus dicatat. Palpasi Testis Tiap testis di palpasi secara terpisah. Pakailah kedua tangan untuk memegang testis dengan lembut. Sementara tangan kiri memegang kutub superior dan inferior testis, tangan kanan melakukan palpasi permukaan anterior dan posterior. Perhatikan ukuran, bentuk dan konsistensi tiap testis. Nyeri tekan dan nodularis tidak boleh ada. Testis normal mempunyai konsistensi seperti karet. Ukuran dan konsistensi satu testis di bandingkan dengan testis 8

lainnya. Apakah satu testis terasa lebih berat di banding lainnya ? Jika ada massa, dapatkah jari pemeriksa masuk di atas massa di dalam skrotum ? Jika hernia ingunalis, tangan pemeriksa tidak dapat masuk karena massa berasal dari rongga perut, namun bila berasal dari dalam skrotum, tangan pemeriksa dapat masuk. Palpasi Epididimis dan Vas deferens Tentukan lokasi dan palpasi epididimis pada bagian posterior testis. Tentukan adanya nyeri tekan, nodul, atau massa dari bagian superior (kepala) hingga inferior epididimis (ekor). Korda spermatika di palpasi mulai dari epididimis pada sampai ke cincin abdomen eksternal. Pasien diminta untuk mengangkat penisnya dengan hati-hati. Jika penisnya di angkat terlalu tinggi, kulit skrotum akan berkurang dan pemeriksaan akan lebih sulit. Pemeriksa harus memegang skrotum di garis tengah dengan meletakkan kedua ibu jari di depan dan kedua telunjuk pada sisi perineal skrotum. Dengan memakai kedua tangan, pemeriksa secara serentak harus melakukan palpasi kedua korda spermatika di antara ibu jari dan jari telunjuk ketika jari-jari itu digerakkan ke arah lateral pada permukaan skrotum. Struktur yang paling menonjol pada korda spermatika adalah vas deferens. Vasa ini teraba sebagai tali yang keras kira-kira berdiameter 2-4 mm dan teraba sebagai spaghetti seperti setengah di masak. Ukurannya dibandingkan dan setiap nyeri atau benjolan di catat. Pembesaran korda spermatika yang lazim dijumpai yang disebabkan oleh dilatasi pleksus pampiniformis adalah varikokel, biasanya timbul di sisi kiri seperti meraba sekantong/kumpulan cacing. Hanya terlihat pada saat pasien berdiri oleh karena pengaruh gravitasi. Pasien diminta memutar kepalanya dan batuk sementara korda spermatika

3. Pemeriksaan Hernia Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral Suruhlah pasien memutar kepalanya kesamping dan batuk atau mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang menunjukkan adanya hernia. Jika teraba, ulang kembali untuk membandingkan dengan sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah kembali daerah tersebut. Palpasi Hernia Inguinalis Dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk kanan pemeriksa di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke dalam kanal inguinal sejajar dengan ligamentum inguinal dan digerakkkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna (kanalis inguinalis) dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.

10

Dengan jari telunjuk di kanalis inguinal, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang meyentuh jari pemeriksa. Jika ada hernia, minta pasien berbaring terlentang dan perhatikan apakah hernia dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus pada massa itu. Ulangi pada sisi lainnya. Bila ditemukan bunti usus di dalam skrotum pada pemeriksaan auskultasi, memastikan adanya hernia inguinalis indirek.

11

Checklist Skills : Male Genetalia Exam


No
1. a. b. 2. a. b.

Aspek yang dinilai


Persiapan : Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan & efek yang ditimbulkan Pemeriksa mencuci tangan & memakai sarung tangan Melakukan inspeksi dan palpasi pada saat berbaring : Mempersilahkan pasien untuk berbaring & Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien Melakukan inspeksi : - kulit dan rambut : tanda peradangan, ekskoriasi, ruam, kutu rambut, nits - penis : di sunat/tidak, ukuran, lesi (peradangan, ulserasi, kutil, abses), angiokeratoma - Scrutum : Rugae (tada/tidak), simetris (ada/tidak), massa (ada/tidak), radang (ada/tidak) - massa di lipat paha : terdapat nodus/tidak Melakukan palpasi : ada/tidaknya massa/tonjolan di inguinal, single/multiple, nyeri tekan (ada/tidak) Melakukan inspeksi dan palpasi saat pasien berdiri : Mempersilahkan pasien untuk berdiri Pemeriksa duduk di depan pasien Melakukan inspeksi : - penis : fimosis, smegma(bila tdk disunat), ulkus, kutil, nodul, parut, tanda peradangan warna hipopigmentasidiglan penis - meatus uretra eksternus : letak ( normal/dorsal,ventral), sekret, kutil, stenosis) Melakukan palpasi : - penis : parut, ulkus, nodulus, indurasi, tanda peradangan, nyeri tekan. - uretra : sekret - skrotum : kontur, isi testis, bandingkan kiri dan kanan, testis (ada/tidak) - testis : ukuran (bentuk, konsistensi, nodul, nyeri tekan - epididimis & vas deferens : ada/tidaknya pembesaran (varikokel), nyeri tekan - funiculus specmaticus : vas deveren (ada/tidak), pembesaran vena (ada/tidak), massa(ada/tdk) Pemeriksaan Hernia, varikokel, hidrokel : (posisi berdiri/tidur) Melakukan inspeksi inguinal, femoral, scrotum : benjolan Melakukan palpasi inguinal, scrotum : adanya benjolan, nyeri tekan Melakukan auskultasi skrotum : terdengar/tidak bunyi usus (hanya pada hernia scrotalis) Hidrokel : Transicuminasi (ada/tidak) Memberikan informasi mengenai hasil pemeriksaan dan follow up lebih lanjut

Skor 1

c. 3. a. b. c.

d.

4. a. b. c. d. 5.

Keterangan: 0 = tidak dilakukan 1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna instruktur Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../40 x 100% =

12

2. PEMERIKSAAN GENETALIA WANITA (FEMALE GENETALIA EXAM) Tujuan belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik pada genetalia wanita secara sistematis dan benar. Anatomi & Fisiologi 1. Alat Genetalia Eksterna - Mons Veneris : tonjolan bulat dari jaringan lunak diatas simfisis pubis, ditutupi rambut kemaluan - Labia Mayor - Labia Minor - Klitoris, terdiri atas jaringan yang dapat mengembang, penuh dengan urat saraf, sangat sensitif - Vulva - Bulbus vestibuli sinistra et dekstra - Introitus vagina - Perineum

2. Alat Genetalia Interna - Vagina - Uterus - Tuba fallopi - Ovarium

13

Persiapan Pemeriksaan - Pasien seharusnya disuruh untuk mengosongkan kandung kemih dan rektum sebelum pemeriksaan - Pasien dibantu menaiki meja pemeriksaan dengan bokong pasien diletakkan didekat ujungnya - Pijakan meja pemeriksaan dikembangkan dan pasien disuruh meletakkan tumitnya pada tempat berpijak tersebut - Kepala meja pemeriksaan ditinggikan sehingga terjadi kontak mata dengan pasien - Lutut ditarik ke atas untuk merelaksasikan otot-otot perut ketika paha diabduksikan - Minta pasien untuk membiarkan tungkainya jatuh pada sisi tubuhnya. - Pemeriksa memakai sarung tangan dan duduk diatas bangku diantara kedua tungkai pasien - Atur pencahayaan yang baik, termasuk sumber cahaya yang diarahkan kedalam vagina Pemeriksaan genetalia wanita terdiri dari : - Inspeksi dan palpasi genetalia eksterna - Pemeriksaan spekulum - Palpasi bimanual - Palpasi rektovaginal 14

Inspeksi & Palpasi Genetalia Interna Untuk membuat pasien wanita merasa lebih nyaman selama pemeriksaan, seringkali akan bermanfaat jika pemeriksa menyentuh tungkainya dengan menggunakan sisi punggung tangan. Beritahukan pasien sewaktu akan menyentuh tungkainya. Genetalia eksterna harus diinspeksi dengan cermat. - Mons veneris diperiksa untuk melihat adanya lesi atau pembengkakan. - Rambut pubis diperiksa untuk melihat polanya dan adanya kutu pubis - Kulit vulva diperiksa untuk melihat adanya kemerahan, ekskoriasi, massa, leukoplakia atau pigmentasi. Setiap lesi harus dipalpasi untuk mengetahui adanya yeri tekan. Kraurosis vulva adalah keadaan dimana kulit vulva kemerahan, halus, berkilat, hampir transparan secara merata (sering pada wanita pasca menopause). Bercak putih karena hiperkeratosis yang dikenal sebagai leukoplakia vulva biasanya mendahului timbulnya karsinoma. - Beritahukan kepada pasien pada saat hendak membuka labia. Dengan tangan kanan, labia mayor dan minor dibuka terpisah di antara ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan. - Catat setiap lesi peradangan, ulserasi, pengeluaran sekret, parut, kutil, trauma, bengkak, perubahan atrofik atau massa yang ditemukan. - Klitoris diperiksa untuk melihat ukuran dan adanya lesi. Biasanya klitoris berukuran 3-4 mm - Melihat hymen : ada/tidaknya, gambaran hymen Macam-macam bentuk hymen :

15

Inspeksi meatus uretra: apakah ada pus atau peradangan? Jika ada pus, tentukan sumbernya. Celupkan kapas lidi kedalam sekret dan oleskan pada slide mikoskop untuk pemeiksaan lebih lanjut. Beritahukan pasien ketika anda hendak melakukan palpasi kelenjar-kelenjar labia. Palpasi dilakukan pada area jam 7-8 untuk daerah kelenjar kanan, dengan memegang bagian posterior labia kanan di dalam vagina dan ibu jari kanan diluar. Apakah ada nyeri tekan, bengkak atau pus? Biasanya kelenjar Bartholin tidak dapat dilihat maupun diraba. Selanjutnya memakai tangan kiri untuk memeriksa daerah kelenjar kiri (jam 4-5). Perineum : perineum dan anus diperiksa untuk melihat adanya massa (termasuk hemorroid), parut, fissura, atau fistel. Pemeriksaan relaksasi pelvis : dengan kedua labia terpisah lebar, pasien dimita untuk mengejan atau batuk. Jika ada relaksasi vagina, mungkin akan terlihat penggembungan dinding anterior atau poterior. Penonjolan dinding anterior berkaitan dengan sistokel ; penonjolan dinding posterior menunjukkan adanya suatu rektokel. Jika ada inkontinensia stres, batuk atau mengejan dapat menyebabkan menyemprotnya urin dari uretra.

16

Pemeriksaan Spekulum Persiapan Pemeriksaan spekulum dilakukan untuk mengamati vagina dan serviks. Ada beberapa macam spekulum : spekulum metal Cusco atau bivalve, adalah yang paling populer digunakan. Spekulum ini terdiri dari dua daun yang dimasukkan dalam keadaan tertutup dan kemudian di buka dengan menekan pegangannya. Dinding vagina dipisahkan oleh kedua daun spekulum, sehingga dapat tercapai visualisassi vagina dan serviks secara memadai. Pada dasarnya ada dua macam spekulum dua daun ; graves dan Pedersen. Spekulum Graves adalah spekulum yang lebih umum dan dipakai untuk kebanyakan wanita dewasa. Daun-daunnya lebih lebar dan melengkung pada sisi-sisinya. Spekulum Pedersen mempunyai daun yang lebih sempit dan rata, dan dipakai untuk wanita dengan introitus kecil. Spekulum dua daun yang terbuat dari plastik dan sekali pakai. Kekurangan alat ini adalah bunyi klik yang keras yang timbul ketika daun bawah dilepaskan selama dikeluarkan dari vagina. Jika memakai spekulum plastik, pasien harus diberitahukan bahwa akan timbul bunyi klik ini.

Dari kiri ke kanan : spekulum logam Pedersen ukuran kecil, spekulum logam Pedersen ukuran sedang, spekulum logam Graves ukuran sedang, spekulum logam Graves ukuran besar dan spekulum Pedersen plastik ukuran besar. 17

Prosedur pemeriksaan : - Sebelum memakai spekulum, berlatihlah membuka dan menutupnya. Jika pasien belum pernah menjalani pemeriksaan dengan spekulum, sebaiknya spekulum diperlihatkan terlebih dahulu kepada pasien. Spekulum dihangatkan terlebih dahulu dengan air hangat, dan kemudian menyentuhnya dengan punggung tangan untuk menentukan bahwa suhunya sudah tepat. - Lubrikasi jeli sebaiknya jangan dipakai karena dapat mengganggu pemeriksaan sitologi serviks dan biakan gonococcus. - Beritahukan pasien ketika akan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan spekulum - Jari telunjuk dan tengah kiri pemeriksa memisahkan labia dan menekan perineum - Spekulum yang masih tertutup, dengan dipegang oleh tangan kanan pemeriksa, dimasukkan secara miring dengan perlahanlahan ke dalam introitus di atas jari-jari tangan kiri. Spekulum tidak boleh dimasukkan secara vertikal, karena dapat timbul cedera pada uretra dan meatus.

A Posisi saat hendak masuk

B Posisi saat di dalam

18

Langkah-langkah masuknya spekulum hingga serviks jelas terlihat

19

Serviks : spekulum dimasukkan sejauh mungkin kedalam vagina, kemudian spekulum diputar ke posisi transversal, dengan pegangannya sekarang mengarah ke bawah, dan di buka dengan perlahan-lahan. Serviks harus berada di dalam daun-daun spekulum. Untuk menjaga agar spekulum tetap terbuka, sekrupnya dapat dikencangkan. Jika serviks tidak segera terlihat, dengan hati-hati daun spekulum diputar ke berbagai arah untuk melihat serviks. Jika ada sekret yang mengaburkan setiap bagian dinding vagina atau serviks, harus dihilangkan dengan kapas lidi dan dihapuskan di atas slide. Perhatikan : sekret, eritema, erosi, ulserasi, leukoplakia atau massa. Apa bentuk orrifisium ekterna servicis ? Apa warna seviks ? Orrifisium eksterna servicis bentuk linier, merupakan ciri serviks wanitaa yang telah melahirkan melalui vagina. Warna kebiru-biruan mungkin menunjukkan kehamilan atau tumor berukuran besar. Cara membuat apusan PAP : diperoleh dengan memakai spatula kayu yang dimasukkan melalui spekulum. Ujung spatula yang lebih panjang dimasukkan ke dalam orrifisium eksterna servicis, kemudian spatulanya diputar 3600 sementara mengerok sel-sel dari orifisium eksterna servicis. Contoh lain diambil dengan memakai kapas lidi dari forniks posterior dan lateral vagina, dan dari endoserviks. Apuskan di atas slide kaca dan difiksasi dengan memasukkannya ke dalam larutan yang mengandung campuran metil alkohol 95% dan eter dengan perbandingan 1:1. Atau dengan menyemprotkan fiksatif yang mengering dengan cepat. Dinding vagina : beritahukan pasien bahwa spekulum sekarang akan diangkat. Sekrup spekulum dikendurkan dengan jari telunjuk kanan dan spekulum diputar kembali ke posisi semula (miring). Ketika spekulum perlahan-lahan ditarik dan ditutup, dinding vagina diperiksa untuk melihat adanya massa, laserasi, leukoplakia, atau laserasi. Dinding vagina harus halus dan tidak nyeri tekan. Biasanya ada mukus tak berwarna atau putih dalam jumlah cukup banyak.

20

Palpasi Bimanual Dipakai untuk palpasi uterus dan adneksanya. Teknik pemeriksaan : - Posisi dokter harus berada diantara kedua tungkai pasien - Jika tangan kanan dimasukkan kedalam vagina, pemeriksa meletakkan kaki kanannya diatas bangku kecil - Lubrikasi jelli, dipegang dengan tangan kiri, dan sejumlah kecil diteteskan ke atas jari telunjuk dan tengah tangan kanan pemeriksa yang sudah memakai sarung tangan. Tangan kanan yang telah memakai sarung tangan tidak boleh menyentuh tube jelli - Pasien diberitahukan bahwa pemeriksaan dalam akan segera dimulai - Perhatikan ekspresi wajah pasien, ketika pemeriksaan dilakukan - Beritahukan kembali bahwa pemeriksa akan menyentuh kembali tungkainya ketika memulai pemeriksaan. Punggung tangan kiri harus menyentuh sisi dalam paha kanan pasien. - Labia dibuka lebar dan jari telunjuk telunjuk dan tengah tangan kanan yang berpelumas dimasukkan secara vertikal kedalam vagina. Kemudian dilakukan penekanan ke bawah ke arah perineum. Jari keempat dan kelima kanan difleksikan ke dalam telapak tangan. Ibu jari kanan diekstesikan. - Tangan kiri diletakkan di atas abdomen kira-kira sepertiga jarak simfisis pubis dengan umbilikus. - Pergelangan tangan yang berada di abdomen tidak boleh difleksikan atau disupinasikan. - Tangan kanan (di dalam vagina) mengangkat organ-organ pelvis ke atas pelvis dan menstabilkannya, sementara organ-organ itu di palpasi oleh tangan kiri (di abdomen). Tangan yang diperut, bukan yang di dalam vagina, yang melakukan palpasi.

21

Pemeriksaan Bimanual

A. Palpasi Serviks dan Korpus Uterus Palpasi bimanual dapat dilakukan jika uterus anteversi dan antefleksi yang merupakan posisi uterus yang paling lazim. - Beritahukan pasien sebelum dilakukan perabaan serviks - serviks di palpasi, perhatikan : konsistensinya (lunak, keras, nodular, rapuh)? - Gerakkan serviks ke berbagai arah. Biasanya serviks dapat digerakkan 2-4 cm dalam segala arah. Serviks di dorong kebelakang dan ke atas ke arah tangan yang berada di permukaan perut ketika tangan itu mendorong ke bawah. Setiap keterbatasan gerakan atau timbulnya nyeri karena pergerakan tersebut harus di catat. Mendorong serviks ke atas dan ke belakang cenderung menggerakkan uterus yang berada dalam posisi anteversi dan antefleksi ke dalam posisi yang lebih mudah di palpasi. - Uterus kemudian di palpasi diantara kedua tangan. Dengan cermat, perhatikan : posisi, ukuran, bentuk, konsistensinya, mobilitas dan nyeri tekan. Tentukan uterus anteversi atau retroversi, membesar, keras dan mobilitas. Apakah teraba ketidakaturan ? Apakah ada nyeri tekan pada saat uterus digerakkan ? 22

Pemeriksaan Bimanual

B. Palpasi Adneksa - Palpasi dilakukan di adneksa kanan dan kiri - Jika pasien sudah mengeluh nyeri pada satu sisi, mulailah pemeriksaan pada sisi lainnya - Tangan kanan pemeriksa dipindahkan ke forniks lateral kiri, sementara tangan kiri (yang dipermukaan perut) pindah ke kuadran kiri bawah pasien. Jari-jari di dalam vagina mengangkat adneksa ke arah tangan yang dipermukaan perut, yang berusaha melakukan palpasi struktur-struktur adneksa. - Perhatikan : ukuran, bentuk, konsistensi, mobilitas dan nyeri tekan struktur-struktur adneksa. - Ovarium normal peka terhadap tekanan. - Setelah memeriksa sisi kiri, adneksa kanan dipalpasi dengan memindahkan tangan kanan (vagina) ke forniks lateral kanan dan tangan kiri (perut) ke kuadran kanan bawah pasien - Setelah pemeriksaan adneksa, jari pemeriksa yang berada di dalam vagina dipindahkan ke forniks posterior untuk melakukan palpasi ligamentum uterosakral dan kantong Douglas. Nyeri tekan yang jelas dan nodularitas mengarah kepada adanya endometriosis. - Jika pasiennya seorang gadis, pakailah jari tengah kanan saja. 23

Palpasi Rektovaginal - Beritahukan pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan vagina dan rektum - Tangan kanan, masih di dalam vagina, ditarik ke luar sedikit sehingga jari tengah kanan secara perlahan-lahan dimasukkan ke dalam rektum. Jari telunjuk kanan diletakkan sejauh mungkin ke atas pada permukaan posterior vagina - Septum rektovagina dipalpasi, apakah menebal atau nyeri tekan ? Apakah nodulus atau massa ? Jari tengah kanan harus meraba untuk mencari nyeri tekan, massa atau ketidakaturan di dalam rektum. - Pasien diberitahukan bahwa pemeriksaan dalam sudah selesai dan bahwa tangan pemeriksa akan segera dikeluarkan. - Pada saat tangan pemeriksa dikeluarkan, periksa apakah ada sekret atau darah.

24

Checklist Skills : Female Genetalia Exam


Skor No 1. a. b. c. 2. a. b. c. d. Persiapan Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan serta efek yang ditimbulkan Menyuruh pasien mengosongkan rektum & kandung kemih, kemudian mempersilahkan untuk tidur dengan posisi litotomi Mempersiapkan alat termasuk mengatur pencahayaan kemudian pemeriksa mencuci tangan & memakai sarung tangan steril secara aseptik Melakukan Inspeksi & Palpasi Genetalia Eksterna Mons veneris : melihat adanya lesi atau pembengkakan Rambut pubis : melihat polanya dan adanya kutu pubis Kulit vulva : melihat adanya kemerahan, ekskoriasi, massa, leukoplakia atau pigmentasi. Palpasi : adan/tidak nyeri tekan. Memberitahukan kepada pasien pada saat hendak membuka labia : lesi peradangan, ulserasi, pengeluaran sekret, parut, kutil, trauma, bengkak, perubahan atrofik atau massa yang ditemukan. Klitoris : melihat ukuran dan adanya lesi. Melihat hymen : ada/tidak, gambaran hymen Inspeksi meatus uretra : apakah ada pus atau peradangan ? Jika ada pus, tentukan sumbernya. Palpasi kelenjar bartholin kiri & kanan. Apakah ada nyeri tekan, bengkak atau pus? Perineum & anus : melihat adanya massa (termasuk hemorroid) Pemeriksaan relaksasi pelvis : rektokel, sistokel, penyemprotan urine Pemeriksaan dengan Spekulum Pemeriksa duduk diantara tungkai pasien Memberitahukan pasien ketika akan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan spekulum Memisahkan labia dengan satu jari Dengan tangan kanan, memasukkan secara miring spekulum yang masih tertutup dengan perlahan-lahan ke dalam introitus di atas jari-jari tangan kiri Serviks : sekret, eritema, erosi, ulserasi, leukoplakia atau massa. Apa bentuk orrifisium ekterna servicis ? Apa warna seviks ? Dinding vagina : massa, laserasi, leukoplakia, laserasi, permukaaan, nyeri tekan Aspek yang dinilai 0 1 2

e. f. g. h. i. j. 3. a. b. c. d. e. f.

25

Skor No 4. a. b. Palpasi Bimanual Dokter berdiri diantara kedua tungkai pasien, lubrikasi jelli dan memberitahukan pasien bahwa pemeriksaan dalam akan segera dimulai Labia dibuka lebar dengan jari telunjuk & ibu jari tangan kiri, jari telunjuk dan tengah tangan kanan dimasukkan secara vertikal kedalam vagina. Kemudian dilakukan penekanan ke bawah ke arah perineum. Jari keempat dan kelima kanan difleksikan ke dalam telapak tangan. Ibu jari kanan diekstensikan. Tangan kiri diletakkan di atas abdomen kira-kira sepertiga jarak simfisis pubis dengan umbilikus & pergelangan tangannya tidak boleh difleksikan atau disupinasikan Tangan kanan (di dalam vagina) mengangkat organ-organ pelvis ke atas pelvis dan menstabilkannya A. Palpasi Serviks dan Korpus Uterus a. b. c. Memberitahukan pasien sebelum dilakukan perabaan serviks Melakukan palpasi serviks : konsistensinya (lunak, keras, nodular, rapuh)? Menggerakkan serviks ke berbagai arah. Serviks di dorong kebelakang dan ke atas ke arah tangan yang berada di permukaan perut ketika tangan itu mendorong ke bawah : gerakan terbatas/tidak, nyeri/tidak Palpasi corpus uterus : posisi, ukuran, bentuk, konsistensinya, mobilitas dan nyeri tekan. Tentukan uterus anteversi atau retroversi, membesar, keras dan mobilitas. Apakah teraba ketidakaturan ?, apakah ada nyeri tekan pada saat uterus digerakkan ? B. Palpasi Adneksa a. b. 5. a. b. Palpasi dilakukan di adneksa kanan dan kiri, perhatikan : ukuran, bentuk, konsistensi, mobilitas dan nyeri tekan struktur-struktur adneksa Palpasi cavum Douglas : Nyeri tekan dan nodularitas Palpasi Rektovaginal Memberitahukan pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan vagina dan rektum Tangan kanan, masih di dalam vagina, ditarik ke luar sedikit sehingga jari tengah kanan secara perlahan-lahan dimasukkan ke dalam rektum. Jari telunjuk kanan diletakkan sejauh mungkin ke atas pada permukaan posterior vagina Septum rektovagina dipalpasi, apakah menebal atau nyeri tekan ? Apakah nodulus atau massa ? Jari tengah kanan harus meraba untuk mencari nyeri tekan, massa atau ketidakaturan di dalam rektum. Memberitahukan pasien bahwa pemeriksaan dalam sudah selesai dan bahwa tangan pemeriksa akan segera dikeluarkan, perhatikan : darah/sekret di sarung tangan kemudian membersihkan sisa jelly pada pasien. Memberikan informasi mengenai hasil pemeriksaan dan follow up lebih lanjut Aspek yang dinilai 0 1 2

c. d.

d.

c.

d.

6.

Keterangan: 0 = tidak dilakukan 1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna

Banda Aceh,................................2012

Instruktur

26

3. TEKNIK PEMASANGAN KATETER URETRA Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemasangan kateter urine secara aseptik dan tepat Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam bulibuli melalui uretra. Tujuan kateterisasi : 1. Tujuan diagnosis : - Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine untuk pemeriksaan kultur urine. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya kontaminasi sample urine oleh bakteri komensal yang terdapat disekitar kulit vulva atau vagina - Mengukur residu (sisa) urine yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi - Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain : sistografi atau pemeriksaan adnya refluks vesicoureter melalui pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG) - Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika - Menilai produksi urine pada saat dan setelah operasi besar 2. Tujuan terapi : - Mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal baik yang disebabkan oleh hiperplasi prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang menyumbat uretra - Mengeluarkan urine pada disfungsi buli-buli - Diversi urine setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah yaitu pada prostektomi, vesikolitotomi - Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra - Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain : sitostatika atau antiseptik untuk buli-buli 27

Kateter yang dipasang untuk tujuan diagnostik secepatnya di lepas setelah tujuan selesai, tetapi yang ditujukan untuk terapi, tetap dipertahankan hingga tujuan terpenuhi. Indikasi kateterisasi : 1. Retentio urine 2. Monitoring ketat produksi urin 3. Operasi urethra / bladder outlet 4. Buli-buli neuropathy 5. Urine sampling 6. Instilasi ke dalam buli-buli 7. Spalk urethra Indikasi kontra : Radang akut urethra Macam-macam kateter Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian, system retaining (pengunci) dan jumlah percabangan.

Keterangan : A, B : kateter Nelaton C, D : kateter Tiemann E : kateter Malecot empat sayap F : kateter Malecot dua sayap G : kateter Pezzer H : Foley two way catheter I : Folley three way catheter

28

Ukuran kateter Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cherieres (French). Ukuran ini merupakan ukuran diameter luar kateter. 1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 mm, atau 1 mm = 3 FR Jadi kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter tersebut adalah 6 mm. Kateter yang mempunyai ukuran sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada keteter itu. Bahan kateter Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks dengan lapisan silicon (siliconized) dan silicon. Perbedaan bahan kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam buli-buli, sehingga akan mempengaruhi pula daya tahan kateter yang terpasang di buli-buli. Persiapan kateterisasi 1. Informasi lengkap dan informed consent 2. Memperhatikan prinsip pemasangan kateter : - Dilakukan secara aseptik dengan melakukan desinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genetalia - Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien - Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk melakukan drainase urine, yaitu untuk orang dewasa ukuran 16Fr-18Fr. Kateter logam tidak digunakan pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan menimbulkan kerusakan uretra - - Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai sistem tertutup yaitu dengan menghubungkan kateter pada saluran penampung urine (urine bag) - Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urine. Makin lama kateter dipasang, penyulit berupa infeksi atau cedera uretra semakin mungkin terjadi. 29

Teknik Kateterisasi 1. Pada Pria - Baringkan pasien - Dokter berdiri disebelah kiri pasien - Dokter memakai sarung tangan steril - Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genetalia dipersempit dengan kain steril (doek steril) - Kateter yang telah diolesi dengan pelicin/jelly dipegang seperti memegang pensil, kemudian dimasukkan ke dalam orrifisium uretra eksterna

Pelan-pelan kateter di dorong masuk dan kira-kira pada daerah bulbomembranasea (daerah sfingter uretra eksterna) akan terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk mengambil napas dalam/menelan supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus di dorong hingga masuk ke dalam buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter. Perhatikan urine : jernih, keruh, merah, vo lume total (dicatat) Sebaiknya kateter terus di dorong hingga masuk ke buli-buli lagi hingga percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna Balon kateter dikembagkan dengan 5-10 ml air steril Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan urine bag 30

Kateter di fiksasi dengan plester di daerh inguinal atau paha bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak tepat, yaitu yang mengarah ke kaudal, akan menyebabkan terjadinya penekanan pada uretra bagian peno skrotal sehingga terjadi nekrosis. Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura uretra atau fistel uretra.

2.

Pada Wanita Berbeda dengan pria, teknik pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan, karena uretra wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks.

31

Kesulitan dalam memasukkan kateter : - Pada pria kateter sering tertahan d uretra pars bulbosa yang bentuknya seperti huruf S - Ketegangan dai sfingter uretra eksterna karena pasien merasa kesakitan dan ketakutan - Terdapat sumbatan organik di uretra yang disebabkan batu uretra, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli, atau tumor uretra Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi dengan : - Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter sampai terjadi relaksasi sfingter dan diharapkan kateter dapat masuk dengan lancar ke buli-buli - Pemberian anastesi topikal berupa campuran lidokain hidroklorida 2% dengan jelly 10-20 ml yang dimasukkan peruretram, sebelum dilakukan kateterisasi - Pemberian sedatif per enteral sebelum kateterisasi Pemakaian kateter menetap akan mengundang timbulnya beberapa penyulit jika pasien tidak merawatnya dengan benar. Karena itu beberapa hal yang perlu dijelaskan pada 32

Pasien adalah : 1. Pasien harus banyak minum untuk menghindari terjadinya enkrustasi pada kateter dan tertimbunnya debris/kotoran dalam buli-buli 2. Selalu membersihkan nanah, darah dan getah/sekret kelenjar periuretra yang menempel pada meatus uretra/kateter dengan kapas basah 3. Jangan mengangkat/meletakkan kantong penampung urine karena dapat terjadi aliran balik urine ke buli-buli 4. Jangan sering membuka saluran penampung yang dihubungkan dengan kateter karena akan mempermudah masuknya kuman 5. Mengganti kateter setiap 2 minggu sekali dengan yang baru untuk kateter jenis lateks atau 4 minggu sekali untuk jenis silikon. Penyulit yang bisa terjadi pada tindakan kateterisasi : - Lesi mukosa - False route - Hematuria - Uninhibitory detrusor contraction - Infeksi - Bakteriuria persisten - Uretritis, abses, fistel - Batu buli-buli Kateter tidak dapat dibuka, mungkin diakibatkan oleh : - kesalahan pabrik, pernah di klem (dijepit) atau karena pemasangan terlalu lama. Dapat diatasi dengan : isi eter 10 ml atau tusuk jarum dengan USG. Kateterisasi gagal mungkin diakibatkan : - Salah teknik - Striktura uretra - Batu impacted - Kontraktur leher buli-buli Apabila kateterisi gagal, maka indikasi untuk dilakukannya sistotomi (pembuatan lubang di daerah buli).
Checklist Skills : Male Catheter Urethtra Exam

33

Checklist Skills : Male Catheter Urethtra Exam


No Aspek yang dinilai 0 1. a. b. Persiapan Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan & efek yang ditimbulkan, serta meminta persetujuan pasien Mempersiapkan alat dan bahan: kateter urine dengan ukuran sesuai, urine bag, spuit 5 cc/10cc, akuades & NaCl 0,9%, doek steril, sarung tangan steril, pinset, jelly yang mengandung obat anestesi, povidone iodine Meminta pasien untuk berbaring Dokter berdiri disebelah kiri pasien (kecuali kidal) Dokter mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril secara aseptik Teknik Melakukan desinfeksi area muara uretra eksterna sampai perineum, kemudian membatasi dengan menggunakan doek steril Membuat larutan lubricant (2cc lidocain+8cc gelly) dalam spuit 10cc lalu menyemprotkan secara gentle kedalam uretra : dewasa (10cc), anak-anak (3-5cc) dan biarkan selama 3-5 menit Memasukkan kateter dengan menggunakan pinset secara perlahan Pada saat terasa tahanan (daerah bulbomembranasea), meminta pasien untuk rileks misalnya dengan bernapas dalam agar sfingter uretra eksternal relaks Mendorong terus katetr hingga percababngan kateter menyentuh meatus uretra eksternal Bila urin keluar dari lubang kateter ditampung dengan kidney basin dan diukur jumlahnya. Perhatikan urine : jernih, keruh, merah Mengembangkan balon kateter sesuai volume kateter bersangkutan (5-10 ml) aquades steril, memasang urin bag lalu kateter ditarik mundur sampai tertahan oleh balon Bila urine tidak keluar, uji coba dengan memasukkan NaCl 0,9 % 10 cc, kemudian tarik kembali. Apabila gagal, kateterisasi dihentikan Membersihkan kembali area genetalia dan doek steril dibuka Daerah antara ujung penis dan kateter ditutup dengan kasa Memfiksasi kateter menggunakan plster di daerah inguinal atau perut bagian bawah (suprapubik) Memberikan informasi bahwa pemasangan telah selesai dan follow up lebih lanjut Menuliskan laporan pemasangan dalam rekam medik (termasuk beberapa volume berapa aquades yang dipakai untuk mengembangkan balon) Skor 1 2

c. d. e. 2. a. b.

c. d. e. f. g. h. i. j. k. 3. 4.

Keterangan: 0 = tidak dilakukan 1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna Instruktur Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../36 x 100% = %

Banda Aceh,................................20121

34

4. PEMERIKSAAN PERINEUM & RECTAL Tujuan belajar Mahasiswa mampu melakukan prosedur pemeriksaan perineum rektal secara sistematis & tepat Posisi Pasien Pemeriksaan rektum dapat dilakukan dengan pasien berbaring terlentang/berbaring pada sisi kiri tubuh atau berdiri, membungkuk, pada meja pemeriksaan 1. Posisi pasien litotomi (pasien terlentang dengan kedua lutut difleksikan) : Pemeriksa menjulurkan tangan kanannya di bawah paha kanan pasien, jari telunjuk di dalam rektum bersamaan dengan tangan kiri pemeriksa yang diletakkan di abdomen, cara pemeriksaan bimanual ini berguna dan menimbulkan gangguan minimal pada pasien yang kesakitan. 2. Posisi berbaring miring ke lateral kiri, yang disebut posisi Sims, biasanya dipakai pada wanita atau jika pasian sangat lemah dan harus terpaku di tempat tidur. Dalam posisi ini tungkai kanan atas harus difleksikan sedangkan tungkai kiri bawah setengah diekstensikan 3. Posisi berdiri merupakan posisi yang paling banyak dipakai dan dengan posisi ini dapat dilakukan inspeksi menyeluruh pada anus dan palpasi rektum. Pasien disuruh berdiri membungkuk dengan bahu dan sikunya di sokong di atas tempat tidur atau meja pemeriksaan. Tangan kanan pemeriksa dengan memakai sarung tangan memeriksa anus dan jaringan ekitarnya sementara tangan kiri dengan hati-hati merentangkan bokong. Jika mencurigai adanya infeksi, kedua tangan pemeriksa harus memakai sarung tangan. Kulit anus iperiksa untuk tanda-tanda peradangan, ekskoriasi, fisura, nodulus, fistula, parut, tumor, atau hemorroid. Setiap daerah abnormal harus dipalpasi. Pasien diminta mengedan sementara pemeriksa menginspeksi anus untuk melihat adanya hemorroid atau fissura.

35

Teknik - Pasien diberitahukan bahwa pemeriksaan rektum sekarang akan segera dilakukan - Pemeriksa memberitahukan pasien bahwa lubrikan yang memberikan sensasi dingin akan dipakai, dan ini akan diikuti dengan sensasi seperti akan buang air besar; pasien harus diberikan jaminan bahwa sebenarnya ia tidak akan buang air besar. - Pemeriksa melaburi pelumas pada jari telunjuk tangan kanan yang bersarung tangan dan meletakkan tangan kirinya pada bokong pasien. Ketika tangan kiri merentangkan bokong pasien, jari telunjuk kanan dengan perlahan-lahan diletakka pada pinggir anus. Sfingternya harus direlaksasikan dengan tekanan lunak oleh permukaan palmar jari telunjuk. -

Pasien di suruh mengambil napas dalam, dan pada saat itu jari telunjuk kanan dimasukkan ke dalam anal anus ketika sfingter anus mengendur. Sfingter harus menutup dengan sempurna disekitar jari pemeriksa. Tonus sfingter harus dinilai. Jari itu harus dimasukkan sejauh mungkin ke dalam rektum, meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan. Tangan kiri kemudian dapat dipindahkan ke bokong kiri pasien, sementara jari telunjuk kanan memeriksa rektum. 36

Palpasi Dinding Rektum - Dinding lateral, posterior dan anterior rektum di palpasi. - Dinding lateral diraba dengan merotasikan jari sepanjang sisi-sisi rektum. - Spina ischiadika, os coccygeus, dan sakrum bawah dapat diraba dengan mudah. - Dinding rektum dipalpasi untuk mengetahui adanya polip, yang dapat melekat pada dasarnya (sesil) atau melekat pada tangkainya (pedunkulus). Setiap ketidakaturan atau nyeri tekan yang tidak semestinya harus dicatat. - Agar seluruh keliling dinding rektum dapat diperiksa, pemeriksa harus memutar punggungnya menghadapi pasien sehingga pemeriksa dapat melakukan hiperrotasi tangannya. Palpasi Kelenjar Prostat - Kelenjar prostat terletak di sebelah anterior rektum, diameter kira-kira 4 cm. - Ukuran, permukaan, konsistensi, simetris/tidak, dan bentuk kelenjar prostat harus diperiksa. Dalam keadaan normal, permukaannya halus dan kokoh, mempunyai konsistensi seperti bola karet keras, berbentuk seperti hati, dimana apeks hati mengarah ke anus. Margo superior biasanya terlalu tinggi untuk dapat dijangkau. - Kenalilah sulkus median dan lobus-lobus lateral. - Catatlah setiap massa, nyeri tekan atau nodulus. - Nodulus keras, asimetris mengarah ke kanker prostat dan paling sering menterang lobus posterior, sedangkan Benign Hipertrofi Prostat (BPH), kelenjar prostat membesar secara simetris dan lunak yang menonjol ke dalam lumen rektum. - Vesikulus seminalis terletak terletak di bagian atas kelenjar prostat dan jarang teraba, kecuali jika membesar. - Pemeriksaan rektum diakhiri dengan memberitahukan pasien bahwa pemeriksa akan segera menarik jari telunjuk pemeriksa. - Dengan perlahan-lahan keluarkan jari pemeriksa.

37

38

Checklist Skills : Perineal & Rectal Exam


No Aspek yang dinilai 0 1. a. b. 2. a. b. c. 3. a. b. Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan perineum & rektal : Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan. Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan, termasuk efek lubrikasi yang diberikan Persiapan Mengatur posisi pasien : sims/litotomi/berdiri Memakai sarung tangan Dokter berdiri di kanan/belakang/di depan tungkai pasien (tergantung posisi pasien) Teknik (posisi pasien :sims) Melaburi pelumas pada jari telunjuk tangan kanan yang bersarung tangan dan meletakkan tangan kiri pada bokong pasien Tangan kiri merentangkan bokong pasien, jari telunjuk kanan dengan perlahan-lahan diletakkan pada pinggir anus. Sfingternya harus direlaksasikan dengan tekanan lunak oleh permukaan palmar jari telunjuk Menyuruh pasien untuk mengambil napas dalam, dan pada saat itu jari telunjuk kanan dimasukkan ke dalam anal anus ketika sfingter anus mengendur. Memasukkan jari telunjuk kanan sejauh mungkin ke dalam rektum, tangan kiri kemudian dapat dipindahkan ke bokong kiri pasien, sementara jari telunjuk kanan memeriksa rektum. Palpasi Dinding Rektum (Dinding lateral, posterior dan anterior rektum) : polip, ketidakaturan atau nyeri tekan yang tidak semestinya, massa intra lumen (ada/tidak) Palpasi Kelenjar Prostat : Ukuran, permukaan, konsistensi dan bentuk kelenjar prostat. Sulkus median dan lobus-lobus lateral : massa, nyeri tekan atau nodulus Memberitahukan pasien bahwa pemeriksa akan segera menarik jari telunjuk pemeriksa secara perlahan-lahan Melihat pada sarung tangan kemungkinan adanya : darah, lendir, feses. Kemudian membersihkan sisa jelly dengan tissue Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan follow up lebih lanjut Skor 1 2

c. d.

e. f. g. h. 4.

Keterangan: 0 = tidak dilakukan 1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna

Banda Aceh,................................2012

Instruktur %

Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../28 x 100% =

39

DAFTAR PUSTAKA Bagian Penyakit Dalam FKUI, 2006, Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Indonesia, FKUI : Jakarta. Bickley LS., 2007. Bates, Guide to Physycal Examination and History Taking. 9th Ed. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkin Despopoulos A, Sulbernagl S., 2003. Kidney, Salt & Water Balance : Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Thieme. Sttugart : New York. L. Willms J, 2005, Diagnosis Fisik Evaluasi : Diagnosis & Fungsi di Bangsal, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Purnomo, B, Basuki,.2003. INFOMEDIKA : Jakarta. Dasar-Dasar Urologi. CV.

R. Norwitz, Errol MD, PhD,. 2001. Obsterics and Gynecology at a Glance, Blackwell Science Ltd : Osney Mead-Oxford. Swartz,MH, 2002, Buku Ajar Diagnostik Fisik, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Tanagho EA, McAninch JW (eds.), 2000. Smiths General Urology, 15th Ed., Lange Medical Books / McGraw-Hill. Vasavada SP, M.D et all. 2005. Female Urology, Urogynecology, and Voiding Dysfunction. Maecel Dekker : New York. Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ I (eds.), 1998. Campbells Urology, 7th Ed., WB Saunders Co.,

40

5. UROLOGIC RADIOLOGY Tujuan Belajar Mahasiswa mampu menganalisa hasil foto plain foto BNO dengan baik dan benar. Pendahuluan Radiologi yang khusus mempelajari traktus urinarius dengan berbagai teknik imaging baik menggunakan sinar x, frekuensi radio dalam medan magnet, radioisotop, gelombang suara maupun gelombang elektromagnetik lainnya dalam usaha menampilkan citra atau image dari tractus urinarius tersebut. Masing-masing teknik mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam pencitraan atau pembangkitan image (gambar) dari saluran kemih. Modalitas radiologi untuk traktus urinarius antara lain adalah : 1. Foto Polos Abdomen 2. Intravenus Pyelography (IVP) 3. Antegrade Pyelography (APG) 4. Retrogade Pyelography (RPG) 5. Urethography 6. Cystography 7. Caversonography 8. Ultrasonography (USG) 9. Computed Tomography Scanning (CT Scan) 10. Magnetic Resonance Imaging (MRI) 11. Kedokteran Nuklir (Renogram) 12. Angiography. 1. FOTO POLOS ABDOMEN Foto abdomen yang dibuat tanpa pemberian bahan kontras. Nama lain dari foto ini adalah : 1. BNO (Buik Nier Overzicht) 2. BOF ( Buik Overzicht Film) 3. KUB ( Kidney Ureter Bladder) 4. Foto Iktisar Rongga Perut 5. Plain Photo Abdomen. 41

Foto akan memberikan hasil yang optimal apabila penderita dipersiapkan terlebih dahulu supaya foto bersih, bebas dari fecal material dan udara yang banyak didalam usus yang akan menggangu interpretasi hasil. Pada keadaan tertentu, foto dibuat tanpa persiapan dari penderita dengan konskwensi beberapa kelainan mungkin tidak terlihat pada film. Persiapan Penderita Prinsipnya adalah usus harus bersih, bebas dari fecal mass dan udara yang banyak. Dua hari sebelum pemeriksaan, penderita makan bubur kecap. Satu malam sebelum foto, diberikan Laxatian (obat pencahar) seperti: garam inggris atau magnesium Sulphat (MgSo4) 25-30 gram; tablet Dulcolax 2-4 tablet atau dapat pula Castor olie 30cc. Setelah minum Laxan (kurang lebih pada jam 21.00), maka penderita sudah tidak boleh makan apa-apa lagi dan hanya boleh minum sedikit saja sampai selesai pemeriksaan besok pagi. Pagi hari sebelum dilakukan pemeriksaan, dapat pula dilakukan Clysma/lavement jika masih ada keraguaan terhadap kebersihan usus Cegah aerophagi dengan cara penderita diminta tidak banyak bicara/ketawa dan tidak boleh merokok. Kemudian dibuat foto polos abdomen, proyeksi AP, hasilnya diinterpretasi. Evaluasi Foto Polos Abdomen - Identitas penderita: nama, umur, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan harus ada. - Data teknis : marker R atau L harus ada, seluruh lapangan abdomen tampak pada film (batas bawah film: harus tampak petrmukaan atas simphisis pubis, batas atas film: harus tampak permukaan atas ginjal,batas lateral film: bayangan abdomen tidak terpotong). - Tidak ada rotasi: Columna vertebralis harus ditengah film dengan pressus spinosus ditengah vertebra, Pelvis dan iliac wing kanan/kiri tampak simetris. 42

Evaluasi bagian-bagian foto: - Gambaran udara usus a. Jumlahnya: tidak meningkat. Pada abdomen yang normal, maka bayangan udara hanya terlihat pada fudus ventriculi (gaster), bulbus duodeni dan colon. Pada usus halus tidak boleh ada bayangan udara, kecuali pada anak-anak (sebab selalu menelan udara), orang tua lanjut usia (>60 tahun), tetapi juga tidak boleh berlebihan. Bila telihat banyak bayangan udara didalam colon atau usus halus, tetapi belum tampak gambaran air fluid level (tanda-tanda ileus), hanya berupa suatu distended abdomen, maka keadaan ini disebut meteorismus atau sub-ileus. b. Distribusinya: sesuai dengan topografi/letak bagian bagian usus/kolon. Bayangan udara kolon tampak seperti bingkai foto (Frame like appearance) segi empat sesuai letak anatomi colon, sedangkan bayangan udara usus halus terdistribusi di bagian tengah abdomen. - Hepar dan Lien Membesar atau tidak - Garis Psoas ( psoas line atau psoas shadow). Harus jelas dan simetris, mulai dari setinggi V T. 12 dan berakhir pada crista iliaca, jika bayangan psoas menghilang, petanda ada suatu proses abdomen. - Ginjal a. Countournya : rata b. Ukurannya : kurang lebih 3- 3 vetebra, kanan relatif lebih kecil dari kiri c. c. Letaknya : kanan lebih rendah dari kiri d. d. Aksisnya : sejajar dengan psoas shadow - Daerah vesica urinaria/ simphisis. Bayangan urine didalam vesica urinaria tampak lebih dens dan jika urine sangat penuh akan memberikan gambaran ground glass appearance. - Bayangan kalsifikasi atau batu Jika ada bayangan kalsifikasi/batu, sebutkan jumlahnya, bentuknya, ukurannya dan lokasinya. 43

Pre- peritoneal fat line Harus terlihat, berupa gasis radioluscent pada dinding abdomen lateral kanan dan kiri yang makin kebawah makin menebal. Vertebrae. a. Corpus vetebra : bentuknya, ada tidak osteofite, ostelitic atau osteoblastic proses. b. Pedicle : harus tampak, bila menghilang: tanda metastasis tumor ganas ketulang belakang. c. Diskus intervertebralis: harus sama jaraknya. Diafragma (jika terlihat) Diafragma kanan letaknya lebih tinggi dari diafragma kiri.

Gambar 1. Foto Polos Abdomen 2. INTRAVENOUS PYELOGRAPHY (IVP) Nama lain adalah: - Excrerory Urography (EU) - Pyelografi intravena (PIV) Pemeriksaan radiology terhadap ginjal, ureter dan buli-buli dengan menggunakan bahan kontras larut air (Water Soluble media) yang diinjeksikan melalui intravena untuk menilai bentuk anatomi dari ginjal dan salurannya dan menilai fungsi ekskresi dari ginjal. 44

Indikasinya: Setiap kecurigaan adanya kelainan dari tractus urinarius. Teknik: - Persiapan penderita sama seperti pada foto polos abdomen (BNO) - Dibuat foto pendahuluan atau foto control (BNO) sebelum diinjeksikan bahan kontras. - Dibuat foto empat-lima menit setelah injeksi bahan kontras. - Foto 15 menit - Foto 30 menit - Foto terlambat, jika konsentrasi dan ekskresi bahan kontras pada 1-8 jam. - Jika ada kecurigaan ren mobilis, dibuat foto dalam posisi berdiri (erect)

Gambar 2. IVP

3. ANTEGRADE PYELOGRAPHY (APG) Menilai anatomi tractus urinarius bagian atas dengan menggunakan media kontras yang dimasukkan melalui kateter cystostomi. 45

4. RETROGRADE PYELOGRAPHY (RPG) Menilai anatomi traktus urinarius bagian atas dengan menggunakan media kontras melalui kateter yang dimasukkan kedalam lumen ureter melalui cystoscopy.

Gambar 3. RPG 5. URETHRO-CYSTOGRAPHY. Memasukkan larutan bahan kontras kedalam lumen urethra hingga vesica urinaria, kemudian dibuat foto proyeksi AP, Oblique kanan, Oblique kiri dan Lateral.

Gambar 4. Uretro-cystography 46

6. CT SCAN

Gambar 5. Irisan setinggi ginjal (A), irisan ureter (B) dan irisan setinggi buli-buli (C) Tanda panah menunjukkan ureter yang telah terisi bahan kontras. 7. RENOGRAM Sebanyak 20-30 Ci dari 131 I- hippuran (suatu radiofarmaka) diinjeksikan intravena, kemudian radiasi dari ginjal penderita ditangkap oleh 2 detektor yang diletakkan pada punggung penderita setinggi ginjal kanan dan kiri. Hasil ditampilkan berupa grafik seperti dibawah ini.

A B Gambar 6. Renogram : (A) renogram normal (B) stenosis arteri renalis kiri 47

8. ANGIOGRAPHY Dengan teknik Seldinger, ujung cateter diarahkan ke dalam lumen arteri renalis, kemudian diinjeksikan bahan kontras.

48

Cheklist Urologic Radiology


No 1. 2. a. Aspek yang Dinilai Persiapan penderita Evaluasi teknis Data teknis : marker R atau L harus ada, seluruh lapangan abdomen tampak pada filem (batas bawah filem: harus tampak permukaan atas symphysis pubis, batas atas filem: harus tampak permukaan atas ginjal, batas lateral filem: bayangan abdomen tidak terpotong) Tidak ada rotasi : Columna vertebralis harus ditengah filem dengan processus spinosus di tengah vertebra, pelvis dan iliac wing kanan/kiri tampat simetris Evaluasi bagian-bagian foto: Gambaran udara usus : jumlah, distribusi Hepar dan Lien : membesar atau tidak Garis Psoas (psoas line atau psoas shadow) : harus jelas dan simetris, mulai dari setinggi V T.12 dan berakhir pada os ilium, jika bayangan psoas menghilang, pertanda ada suatu proses abnormal Ginjal : kontur, ukuran, letak, aksis Daerah vesica urinaria/symphysis Bayangan kalsifikasi atau batu, jika ada: jumlah, bentuk, ukuran, lokasi Pre-peritoneal fat line : terlihat garis radioluscent dinding abdomen lateral kiri-kanan, makin ke bawah makin tebal Vertebrae : corpus vertebra, pedicle, discus intervertebralis Diafragma (jika terlihat) : bentuk, letak Menyimpulkan hasil pembacaan foto 0 Skor 1 2

b.

3. a. b. c.

d. e. f. g. h. i. 4.

Keterangan: 0 = tidak dilakukan

Banda Aceh,................................2012

1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna Instruktur %

Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../28 x 100% =

49

6. KOMUNIKASI KASUS SENSITIF Anamnese Pasien menggunakan Ketrampilan Komunikasi untuk Kasus Sensitif Dalam Diagnosis Fisik Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan teknik komunikasi dengan menggali & mengumpulkan informasi seluas mungkin mengenai perjalanan alamiah penyakit yang bersifat sensitif, sehingga berlangsung secara efektif & efisien I. Dalam melakukan Diagnosis Fisik terhadap pasien atau kliennya, dengan urutan pemeriksaan sebagai berikut : anamnese, palpasi, perkusi, auskultasi, kalau perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan, yaitu pemeriksaan melalui, EKG, laboratorium klinik, roentgen, dan lain- lain sesuai dengan kebutuhannya. Tulisan ini hanya membicarakan tentang Anamnese terhadap kasus sensitif dalam sistem Diagnostik Fisis. Dokter dituntut punya ketrampilan dalam melakukan komunikasi dan mampu memotivasi pasiennya, sehingga mau bekerja sama untuk melaksanakan pengobatannya, diet, istirahat, sehingga waktu penyembuhan menjadi lebih singkat. II. Anamnese, yaitu usaha untuk mencari dan mengetahui riwayat penyakit pasien, baik keadaan sekarang, riwayat penyakit masa lalu, maupun Riwayat Sosialnya. Pekerjaan ini dilakukan melalui wawancara (anamnese) dengan pasien atau keluarganya, yang terdiri dari Allonamnese dan Heteroanamnese. Alloanamnese dilakukan melalui tatap muka antara anda sebagai dokter dengan pasien anda (klien medik). Anda dituntut menjadi pendengar yang baik, dalam meminta informasi pada pasien anda, anda bukan sebagai penyidik perkara. Pasien harus diberikan waktu yang cukup untuk menjelaskan riwayat penyakitnya, keluhannya, menggunakan kata-katanya sendiri. Diharapkan perasaan yang tersembunyi didalam dirinya yang menyangkut tentang rahasia penyakitnya. Rahasia penyakit pasien dapat 50

terungkap juga melalui ekspresi wajahnya (wajah sebagai media ekspresi perasaan), kata-katanya yang digunakannya. Dokter harus mampu mengorek keterangan-keterangan khusus dari penderita tentang perjalanan penyakitnya. Pertanyaan yang diajukan makin lama makin mendalam, semakin khusus, sampai mencapai titik klimak. Kemudian lanjutkan lagi wawancara anda kepada pertanyaan-pertanyaan terbuka dan santai. Dalam komunikasi ini anda jangan membuat pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak Menurut Dittman, Saluran Komunikasi Perasaan, manusia menjadikan wajahnya sebagai media ekspresi perasaan, sebagian kecil manusia juga menyatakan perasaan melalui perilaku non verbal lainnya, antara lain gerak-gerik anggota tubuh, ruang antar pribadi, penyuaraan, yang seluruhnya sangat tergantung dari tingkat partisipasi, situasi dan kondisi serta latar belakang kebudayaan komunikan (misalnya parasaan malu). Dittman mengatakan ada 3 saluran yang digunakan untuk menyatakan perasaa, yaitu: 1. Audible, merupakan saluran pernyataan emosi melalui bahasa dari pralinguistik, 2. Visual, merupakn saluran pernyataan emosi melalui tampilan raut wajah dan gerakan anggota tubuh. 3. Pycho-psysiological, merupakan saluran pernyataan emosi berupa tanda yang memancar dari dari fungsi gerakan-gerakan tubuh. Contoh, suara terengah-engah, memukul-mukul kepala (gambaran ketakutan dan kebingungan). Heteroanamnese, adalah keterangan tentang perjalanan penyakit pasien, malalui wawancara malalui orang ketiga (orang lain), yaitu orang-orang yang mengetahui banyak hal ihwal dan perjalanan penyakit si penderita. Pada pasien anak, mungkin si anak tidak mampu berkomunikasi dengan baik tentang masalah penyakitnya, maka orang tuanya yang di wawancarai, mungkin juga saudaranya,, pada pasien dewasa termasuk teman dekatnya. Data yang diperoleh belum tentu valid, maka perlu diadakan cross-check terhadap hasil wawancaranya dan perlu konsistensi jawaban yang diberikan. 51

Pada dasarnya heteroanamnese tidak jauh berbeda dengan anamnese biasa. Perbedaannya terletak orang atau individu yang di wawancarai atau individu yang diminta data atau keterangannya, ialah keluarga atau orang terdekat dengan kliennya dan yang bersangkutan mengetahui benar tentang data penyakit si klien tersebut. Dalam pemeriksaan anamnese dokter meminta bantuan untuk dapat mendatangkan keluarga atau temannya si klien yang benar-benar tahu tentang keadaan si pasien. Hal ini diperlukan untuk kelengkapan data dan penegakan diagnosis yang tepat dan benar. Heteroanamnese banyak digunakan pada pasien anak-anak dan pasien gangguan jiwa. Tahapan-tahapan dalam melakukan heteroanamnese, sama cara melakukan anamnese biasa, yang perlu ditekankan identitas keduanya dicatat, bagaimana hubungan antara pasien dengan sipemberi informasi, bagaimana kedekatannya sehingga keterangan yang didapat betul-betul akurat. III. ANAMNESIS KASUS SENSITIF Anamnesis kasus sensitif meliputi anamnesis yang menyangkut informasi yang berkaitan dengan hal-hal yang tabu, berkaitan dengan hubungan organ seksual, pekerjaan yang memalukan, perbuatan-perbuatan yang dilakukan klien melanggar agama atau melanggar kesusilaan, hal-hal yang tidak umum dibicarakan sehingga dapat menurunkan martabat pribadinya, sehingga pasien sangat enggan memberikan informasinya, walaupun informasi tersebut sangat membantu dokter dalam menegakan diagnosisnya. Dokter maupun pasien sering akan mendapat kesulitan dalam berkomunikasi, dimana si pasien tidak mengemukakan semua keluhannya atau tanda-tanda penyakit yang dideritanya, (pasien tidak berterus terang) dokter enggan untuk menggali informasi lebih lanjut. Pasien dalam menjawab pertanyaan dokter menggunakan bahasa isyarat yang tidak dapat di mengerti oleh dokter. Hal-hal diatas akan dapat merugikan kedua belah pihak, dokter tidak mendapat informasi yang lengkap, sehingga dalam memberi diagnosis tidak tetap, maka terapinya juga tidak maksimal. Keadaan 52

ini akan menimbulkan biaya pengobatan menjadi lebih tinggi dan masa penyembuhan penyakit menjadi lebih lama. Sejak pasien masuk keruang periksa dokter, seharusnya dokter sudah harus mengetahui kemungkinan akan adanya hal-hal yang sangat sensitip dari si pasien maupun dari pengantar pasien, baik sebagai orang tuanya yang mengantar anaknya dengan retardasi mental, pasangan muda-mudi yang belum menikah, sangsi-sangsi dalam mengutarakan keluhannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis pada kasus sensitif, antara lain adalah, - Identitas Penderita Komunikasi antara dokter dengan pasien berlangsung sejak bertemu pertama di kamar dokter, atau di bangsal, timbul sambung rasa awal sampai akhir pelaksanaan anamnesis. Identitas yang diperlukan, meliputi : nama, umur, alamat tempat tinggal, pekerjaan, nama keluarga, serta data pribadi lainnya misalnya teman sekamar, teman sekantor, teman berkencan, cara memperoleh penghasilan tambahan dan sebagainya. Dokter sudah harus siap dengan yang berkemungkinan terhadap hal-hal yang sensitif, keengganan pasien mengungkapkan hal-hal yang tabu, pasien menggunakan bahasa non verbal, ada rasa malu, berbicara lirih, ataupun menggunakan istilah khusus. Hal ini menjadi lebih sensitif atau menjadi lebih peka apabila menyangkut pertanyaan tentang organ kelamin, kemampaun seksual/impotensi, pernah mengunjungi tempat prostitusi, pernah di rawat di rumah sakit jiwa, pernah di penjara, pernah menggunakan narkoba, pernah menggunakan jasa paranormal, penggunaan obat kuat untuk seksual dan sebagainya. Nama seseoang dapat menjelaskan tempat asalnya, keturunannya, pangkat dan keturunannya, sehingga si pasien sering memberi nama samarannya dan enggan memberikan nama lengkap serta pekerjaannya atau kedudukannya. Doker harus berprasangka ada sesuatu yang disembunyikan pasiennya. Sering juga pasien segan menyebutkan umur yang sebenarnya, terutama pada wanita yang belum kawin ataupun kawin dini, minta hanya ditulis umur dewasa. Keadaan ini juga menunjukkan sifat terbuka atau tertutup dari si pasien. 53

Alamat yang disembunyikan si pasien, berkaitan dengan desanya/kampungnya terkenal kampung kambuh, kotor, banyak pemuda nakal dan sebagainya, tetapi dapat sebaliknya, kampung muslim/perumahan elite yang bersangkutan merasa malu atau kampungnya tercemar karena ulahnya. Si pasien memberi alamat lain atau menyebutkan tinggal di sekitar atau seputar terminal. Informasi tentang pekerjaan sering juga di sembunyikan, karena pekerjaannya kurang wajar, misalnya mucikari, pekerja diskotik, wanita penghibur, lelaki penghibur, pemulung dan sebagainya. Status perkawinan pasien juga merupakan hal yang sensitif, misalnya kawin sudah berkali-kali, status janda, duda, atau status pisah ranjang dan sebagainya termasuk dalam hal yang sensitif. Untuk mendapat yang konkrit, dokter punya sifat terbuka, mampu berkomunikasi yang baik dan pasien tidak boleh dihakimi. - Cara melakukan anamnese Hambatan komunikasi, dokter sudah harus mampu mengetahui atau mengidentifikasi sejak awal. Mengatasinya sejak terjalinnya sambung rasa, terlihat adanya sikap malu-malu dari si pasien, sikap pasien yang berusaha untuk menutupi informasi, pasien berbicara lirih atau sangsi-sangsi melihat kiri kiri kanan seakan-akan rahasianya kurang terjamin karena kamar praktek dokter tidak tertutup rapat, mungkin juga menggunakan istilah khusus untuk bagian badannya yang tabu (organ kelamin). Hal-hal diatas memperlihatkan sebagai suatu isyarat bahwa pasien mempunyai masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang sensitif. Kalau si dokter telah memutuskan menghadapi pasien dengan kasus sensitif, maka dokter haruas mampu menyakinkan rahasia yang disampaikan pasien cukup terjamin, ruang praktek juga terjamin kerahasiaannya. Dokter harus dapat menunjukkan sikap formal sebagai dokter, berwibawa dan sopan. Dokter harus serius dalam mendengar keluhan pasien, mampu memperhatikan bahasa non verbal, bahasa ini dapat lebih jujur dalam menyuarakan isi hati. Dokter harus mampu memberikan keyakinan pada pasien, data yang diberikan pasien betul-betul untuk kelengkapan informasi medis, untuk lebih akuratnya diagnosis dan pengobatannya yang diberikan dokter. Perhatikan pola pasien dalam berkomunikasi, apakah suka 54

berbicara terus terang, atau suka berbelit-belit dan sebagainya. Kalau informasi tidak lengkap dokter harus melengkapi pada kunjungannya yang berikutnya. Dalam wawancara jangan dokter bertindak menebak informasi dari si kliennya, biasanya pasien tidak merasa senang bila ditebak, biarkan pasien menjawab dengan bebas. Gunakan pertanyaan terbuka, kecuali bila melakukan cross-check. Penguasaan bahasa non verbal dari dokter sangat diperlukan yaitu membantu dokter dalam menangkap semua informasi yang di sampaikan si pasien. Dokter pria sangat sulit mendapat informasi dari pasien perempuan kalau menyangkut informasi tentang kelainan yang menyangkut organ kelamin, juga sebaliknya kalau dokter perempuan dengan pasien laki-laki. Dokter harus menyampaikan pada pasiennya informasi dari si pasien sangat diperlukan untuk mampu menegakkan diagnosa, pengobatan yang tepat, sehingga waktu pengobatan menjadi lebih singkat. Istilah-istilah diagnostik kedokteran, juga sering bermasalah, pasien anak yang dibawa orang tuanya, malahan pasien orang dewasa juga tidak dapat menerima, kalau di diagnosa sawan atau epilepsy. Orang tua barangkali mengatakan anaknya kena penyakit santet atau kena guna-guna disetai kejang. Dokter tidak boleh memvonis si pasien dengan sakit epilepsi atau ayan, tetapi jelaskan tentang penyakit tersebut dapat diobati, tetapi harus kontrol dan makan obat yang teratur. Dokter sebaiknya menjelaskan perjalanan penyakit tersebut dengan bahasa yang di mengerti si pasien. Istilah atau bahasa-bahasa yang sering dipakai masyarakat, dalam anamnese keluhan sensitif harus di kuasai oleh dokter, misalnya penyakit TBC dikenal dengan istilah flek paru, epilepsi dengan sawan/santet, gonorhoe dengan istilah flek alat kelamin, retardasi mental dengan kurang tanggap atau kurang perhatian. Istilah tersebut harus di mengerti si dokter, barangkali untuk menjaga proses komunikasi yang baik dengan pasiennya, tetapi dokter harus mampu menjelaskan pada kliennya tentang segala resiko dari penyakit tersebut, apalagi kalau pengobatannya tidak benar karena dokter tidak mendapat informasi yang benar dari si pasien. - Penggalian riwayat penyakit dengan kasus sensitif 55

Usaha untuk mengetahui riwayat penyakit yang diderita pasien, terutama penyakit-penyakit yang sensitif dan stressor, harus di anamnesis dengan hati-hati, tidak mengganggu perasaan pasien. Penyakit yang masuk dalam kelompok ini antara lain, anak retardasi mental, epilepsi, kasus-kasus depresi, penyakit kelamin, gangguan seksual, deviasi seksual (lesbian, homoseksual), HIV/AIDS dan lainlain. Dokter sangat mengharapkan keterbukaan pasien sehingga ada kerelaan si pasien dalam memberikan informasi. Dokter harus mampu menyakinkan pasien, semua informasi untuk membantu menegakkan diagnostik penyakitnya, sehingga pengobatan tetap sasaran, waktu penyembuhan/perawatan menjadi singkat, semua informasinya adalah kerahasiaan pasien. - Permohonan pemeriksaan bagian tubuh yang dianggap sensitif Sebagai kelanjutan dari anamnese, dokter perlu memeriksa bagian tubuh tertentu dari pasien yang merupakan daerah tubuh yang dianggap sangat sensitif oleh si pasien, yang meliputi organ vital/kelamin, mammae, dubur dan sebagainya. Dokter harus memberikan penjelasan yang tepat dan pasien harus memberikan persetujuan sebelum tindakan dilaksanakan, beritahukan juga kadang kala pemeriksaan ini menimbulkan rasa sakit, untuk itu si pasien diajak terus berbicara ringan untuk mengalihkan perhatian si pasien - Penyampaian diagnosis kasus sensitif Dalam menginformasikan prognosis penyakit pada si pasien, barangkali dapat menyinggung perasaan pasien, dokter seharusnya mengetahui tingkat sensitivitas pasien dalam menerima diagnostik penyakitnya. Dokter harus mampu menggunakan bahasa yang dipakai masyarakat tentang istilah penyakit tersebut. Yang termasuk kelompok penyakit sensitif, antara lain retardasi mental, epilepsi, gangguan jiwa, kelompok penyakit kelamin, TBC dll. - Penyampaian informasi kasus sensitif Dokter harus mampu berkomunikasi, memotivasi pasien dengan baik. Apabila sudah terjalin sambung rasa yang mantap, biasanya pasien akan mampu menerima dan mau melakukan dengan rela apa yang diminta dokter, untuk kesembuhan penyakitnya. Ajak 56

pasien mau berdiskusi tentang penyakit yang dideritanya, dengan harapan pasien dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan pemberian informasi yang jelas serta tidak menyinggung perasaan dan tidak mengganggu pola sentra si pasien diharapkan menimbulkan ketentraman dalam keluarga si pasien. Hindari hal-hal yang dapat mencetuskan keributan dalam keluarga atau pasangan suami isteri yang berkaiatan dengan terinfeksinya salah seorang dari mereka dengan infeksi penyakit kelamin, misalnya terkena infeksi gonorhoea, jelaskan bagaimana kemungkinan terifeksinya dan karena adanya perselingkuhan. Kasus anak dengan retardasi mental, penyakit ini bukan karena faktor keturunan saja, tetapi juga dapat disebabkan faktor eksternal diluar kemampuan suami-isteri, juga dapat terjadi karena proses pertumbuhan janin dalam kandungan. Konselor (dokter) harus mempunyai sifat kepekaan dalam menerima dan memberi informasi dan penjelasan yang baik pada kasus-kasus sensitif.

57

Daftar Pustaka Adams, (1995) Diagnosis Fisik, Jakarta, EGC Alo Leliweri, (1997) Komunikasi Antarpribadi, Bandung, Citra Aditya Bakti Delp & Manning (1996) Diagnosis Fisik, Jakarta, EGC Gerungan, WA (1994) Psikologi Sosial, Bandung, Eresco M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir (1999), Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta, EGC Parsons, RD (1994) Counseling Strategies And Intervention Techniques For The Human Services, Boston. Allyn and Bacon

58

Cheklist Skill Penilaian Komunikasi Kasus Sensitif


Skor No I 1. Aspek yang dinilai Aspek keterampilan komunikasi : Membina sambung rasa - Memperlihatkan sikap menerima - Mempersilahkan duduk - Menyebutkan nama pasien pada awal anamnesis Keterampilan mengumpulkan informasi : - Melakukan cross check - Menggunakan bahasa verbal yang dipahami dan non verbal - Mengajukan pertanyaan yang tepat - Mampu mencatat/mengutarakan kembali secara sistematis & benar Keterampilan menjaga proses anamnesis : - Menjadi pendengar yang baik - Penampilan baik, ramah, berwibawa 4. Keterampilan menggali dan mendiskusikan hal yang sensitif : - Menunjukkan empati - Menjelaskan kepentingan penggalian data yang sensitif - Meyakinkan kerahasiaan data tersebut - Memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami terhadap hal-hal yang bersifat sensitif 0 1 2

2.

3.

59

Aspek keterampilan menggali informasi : Menanyakan identitas : - Menanyakan nama, umur - Menanyakan alamat dan pekerjaan 6. Menanyakan keluhan utama 7. Menggali riwayat penyakit sekarang : - Kapan mulai - Frekuensi - Sifat - Lama diderita - Letaknya - Penyebaran - Akibatnya - Pengobatannya 8. Menggali riwayat penyakit dahulu - Ada/tidaknya penyakit sebelumnya, khususnya berkaitan dengan keluhan - Penyakit lain yang pernah diderita 9. Menggali penyakit keluarga dan lingkungan - Menanyakan apakah ada anggota keluarga/tetangga yang sakit serupa 10. Melakukan anamnesis sistem - Keluhan sistem yang berkaitan dengan keluhan utama - Sistem lain yang ada Keterangan Banda Aceh, .......................2011 0 = tidak dilakukan 1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna Cakupan penguasaan keterampilan : skor total /58 x 100% = % Instruktur

II 5.

60

7. PEMERIKSAAN FISIK MUSKULOSKELETAL Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik muskuloskeletal secara benar & mampu mengaitkan dengan keadaan klinis pasien sehingga kemungkinan diagnosis dapat ditentukan. Pemeriksaan fisik mempunyai arti yang penting dalam menguatkan data-data yang kita temukan dalam anamnesis dan sekaligus memberikan kepada kita pilihan terhadap pemeriksaanpemeriksaan khusus/tambahan lainnya yang perlu kita lakukan. Pada bidang ilmu bedah ortopedi, pemeriksaan fisik pada dasarnya dibagi atas dua jenis, yaitu: 1. Pemeriksaan fisik umum 2. Pemeriksaan fisik ortopedi a. Pemeriksaan fisik ortopedi umum b. Pemeriksaan fisik ortopedi regional 1. PEMERIKSAAN FISIK UMUM Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana pemeriksaan fisik bidang kedokteran lainnya dan bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik penderita secara umum serta melihat apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan muskuloskeletal. Pemeriksaan dilakukan secara sistematik karena sebagian penderita yang datang adalah penderita yang sudah berumur dan biasanya mempunyai kelainan lain selain kelainan muskuloskeletal yang dikeluhkan. 2. PEMERIKSAAN FISIK ORTOPEDI PEMERIKSAAN FISIK ORTOPEDI UMUM Pemeriksaan fisik pada penderita memerlukan beberapa prinsip pemeriksaan. Teknik pemeriksaan secara alami bervariasi pada setiap individu, tetapi pada dasarnya dibutuhkan suatu pemeriksaan yang rutin atau baku, tahap demi tahap agar pemeriksaan tidak berulang. Pemeriksaan fisik juga disesuaikan dengan keadaan dan kondisi penderita, misalnya penderita yang memerlukan penanganan darurat 61

maka pemeriksaan fisik yang dilakukan seperlunya saja sesuai kebutuhan yang ada. 1. Status generalis Dalam pemeriksaan ortopedi secara umum, saat penderita datang pada kita sudah merupakan suatu pemeriksaan awal menyeluruh secara sambil lalu dengan melihat postur dan cara berjalan penderita. Pemeriksaan fisik ortopedi yang dilakukan meliputi: Pemeriksaan bagian dengan keluhan utama. Pemeriksaan bagian dengan keluhan utama yang dikeluhkan dilakukan secara teliti. Tetapi harus diingat bahwa keluhan pada satu tempat mungkin akibat dari kelainan pada tempat lain, sehingga tidak cukup hanya dengan memeriksa pada tempat dengan keluhan utama. Pemeriksaan kemungkinan nyeri kiriman dari sumber di tempat lain (referred pain) Prinsip-prinsip dasar pemeriksaan ini terdiri atas:
Perlu cahaya yang baik atau terang dan bagian tubuh yang diperiksa tidak tertutup atau telanjang. Anggota gerak yang sehat diperiksa dan harus terbuka Jangan memeriksa secara tergesa-gesa dan hadapkan muka pemeriksa ke muka penderita untuk memberikan kepercayaan. Selalu menyiapkan perlengkapan pemeriksaan (gambar 4.1) Pemeriksaan bagian badan secara hati-hati, sistematik dan terarah Periksa tempat lain yang mungkin ada hubungannya Pemeriksaan secara cepat di daerah lain yang mungkin ada hubungannya untuk menegakkan diagnostik.

Untuk pemeriksaan muskuloskeletal diperlukan peralatan: 1. Stetoskop 5. Kapas 2. Refleks hammer 6. Jarum kecil 3. Pensil untuk kulit (marker) 7. Senter saku 4. Meteran 8. Goniometer

peralatan-

62

Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari penderita. Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting di dalam memperkuat penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat / anamnesis yang telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita lakukan.

63

2. Status Lokalis Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dengan urut-urutan sebagai berikut: Insoeksi (Look) Palpasi (Feel) Kekuatan otot (Power) Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move) Auskultasi Uji-uji fisik khusus

Inspeksi (Look) Inspeksi sebenarnya telah dimulai ketika penderita memasuki ruangan periksa. Pada inspeksi secara umum diperhatikan raut muka penderita, apakah terlihat kesakitan. Cara berjalan sekurangkurangnya 20 langkah, cara duduk dan cara tidur. Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan pada: a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit. b. Jaringan lunak, yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen, jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe. c. Tulang dan sendi. d. Sinus dan jaringan parut : Apakah sinus berasal dari permukaan saja, dari dalam tulang atau dalam sendi. Apakah jaringan parut berasal dari luka operasi, trauma atau supurasi Palpasi (Feel) Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah: a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah denyutan arteri dapat diraba atau tidak. b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovia, penebalan membran jaringan sinovia, adanya tumor dan 64

c.

d.

e.

f.

sifat-sifatnya adanya cairan di dalam/di luar sendi atau adanya pembengkakan. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain (referred pain). Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang normal antara tulang yang satu dengan lainnya. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal yang penting untuk dicermati. Pengukuran juga berguna untuk mengetahui adanya atrofi/pembengkakan otot dengan membandingkannya dengan anggota gerak yang sehat. Penilaian deformitas yang menetap; pemeriksaan ini dilakukan apabila sendi tidak dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.

Kekuatan Otot (Power) Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan, prognosis serta hasil terapi. Penilaian dilakukan menurut Medical Research Council dimana kekuatan otot dibagi dalam grade 0-5 (gambar 4.2), yaitu: Grade 0 Grade 1 : Tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot : Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi : Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi : Di samping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa : Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan : Kekuatan otot normal

Grade 2 Grade 3

Grade 4 Grade 5

65

Pergerakan (Move) Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah yaitu pergerakan yang aktif merupakan pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita sendiri dan pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksaan. Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai: a. Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit. Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi. b. Stabilitas sendi Terutama ditemukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan keadaan ligamen yang mempertahankan sendi. Pemeriksaan stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada ligamen dan gerakan sendi diamati. c. Pemeriksaan ROM (Range of Joint Movement) Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan akti dan batas gerakan pasif. Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi. Di kenal beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu: abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi, fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan eversi. Gerakan sendi sebaiknya dibandingkan dengan mencatat gerakan sendi normal dan abnormal secara aktif dan pasif.

66

Auskultasi Pemeriksaan auskultasi pada bidang bedah ortopedi jarang dilakukan dan biasanya dilakukan bila ada krepitasi misalnya pada fraktur atau untuk mendengar bising fistula arteriovenosa. PEMERIKSAAN FISIK ORTOPEDI REGIONAL

Beberapa Terminologi Dalam Ortopedi Untuk memudahkan pemahaman maka sebelum pemeriksaan regional ortopedi dibahas, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa terminologi yang sering digunakan dalam bidang ilmu bedah ortopedi, yaitu: 1. Terminologi dari gerakan sendi. ROM merupakan istilah baku untuk menyatakan batas/besarnya gerakan sendi dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau menyatakan besarnya gerakan sendi yang abnormal. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dikenal gerakan sendi aktif dan pasif sehingga penilaian ROM juga terbagi dua yaitu ROM pada gerakan sendi aktif dan ROM pada gerakan sendi pasif. 2. Terminologi klinik yang berpasangan dalam bedah ortopedi Abduksi dan Adduksi Gerakan abduksi dan adduksi dapat ditemukan pada sendi bahu, panggul, sendi metakarpo-falangeal dan metatarso-falangeal. Abduksi adalah gerakan yang menjauhi garis tengah tubuh. Adduksi adalah gerakan yang mendekati garis tengah tubuh. Pada tangan dan kaki, garis tengah terletak pada jari tengah tangan dan kaki (gambar 4.3).

67

Dorso Fleksi dan Plantar/palmar Fleksi Dorso fleksi adalah gerakan dari jari-jari kaki atau ibu jari kaki dengan arah permukaan ke dorsal sedangkan gerakan dorso fleksi pada jari-jari tangan dan pergelangan tangan juga terhadap permukaan dorsal. Plantar fleksi adalah gerakan pada jari kaki dan ibu jari kaki ke arah permukaan plantar kaki. Palmar fleksi adalah gerakan pada jari tangan kea arah permukaan palmar (gambar 4.4) Inversi dan Eversi Gerakan eversi dan inversi terjadi secara simultan pada sendi subtalar dan midtarsal kaki. Eversi adalah gerakan berputar permukaan plantar kaki ke arah luar terhadap tungkai bawah. Inversi adalah gerakan berputar permukaan plantar kaki ke arah dalam terhadap tungkai bawah (gambar 4.5)

68

Rotasi Interna dan Rotasi Eksterna Rotasi interna/rotasi media dan rotasi eksterna/lateral dapat terjadi pada sendi bahu, panggul dan sedikit pada lutut. Rotasi interna adalah gerakan berputar dari permukaan depan anggota gerak ke dalam/ke medial. Rotasi eksterna adalah gerakan berputar dari permukaan anggota gerak ke arah luar/lateral (gambar 4.6) Pronasi dan Supinasi Gerakan pronasi dan supinasi terjadi pada anggota gerak lengan bawah melalui sendi siku dan sendi pergelangan tangan (gambar 4.7) serta pada kaki depan (forefoot) melalui sendi midtarsal.

69

3. Terminologi beberapa deformitas pada anggota gerak Beberapa terminologi deformitas yang biasa dipergunakan di klinik pada deformitas sendi adalah: Deformitas Postural Deformitas postural adalah suatu deformitas yang terjadi karena kebiasaan sikap/posisi tubuh. Deformitas ini dapat dikoreksi oleh aksi dari otot penderita sendiri. Deformitas dinamik terjadi oleh karena aksi dari otot penderita sendiri dan biasanya terjadi akibat ketidakseimbangan otot. Deformitas terfiksasi atau struktural adalah deformitas yang tidak dapat dikoreksi dengan bantuan secara pasif.

Kalkaneus dan Ekuinus Deformitas ini hanya terjadi pada pergelangan kaki. Kalkaneus adalah deformitas pada kaki di mana telapak kaki dalam posisi dorso fleksi sehingga beban tubuh (weight bearing) hanya ditopang oleh tumit sewaktu menapak pada lantai. Sedangkan ekuinus adalah deformitas pada kaki dalam keadaan fleksi plantar sehingga beban tubuh hanya ditopang oleh kaki bagian depan sewaktu menapak pada lantai (gambar 4.8) Kavus dan Planus Deformitas ini hanya terjadi pada kaki yang disebut sebagai pes kavus dan pes planus. Pes kavus adalah lengkung telapak kaki meninggi dibandingkan dengan yang normal. Kombinasi antara 70

kalkaneus dan kavus disebut kalkaneokavus. Pes planus adalah hilangnya arkus kaki menjadi rata sehingga membentuk kaki yang disebut kaki ceper (flat feet) (gambar 4.9)

Torsi Interna dan Torsi Eksterna Deformitas ini menunjukkan adanya perputaran aksis longitudinal dari tulang dan biasanya ditemukan pada femur dan tibia. Pada torsi interna, aspek anterior dari bagian distal tulang berputar ke arah dalam/medial terhadap aspek anterior dari tulang proksimal misalnya torsi tibia interna atau torsi femoral interna. Pada torsi eksterna, aspek anterior dari bagian distal tulang panjang berputar keluar/lateral terhadap aspek anterior bagian proksimal ini, misalnya torsi femoral eksterna dan torsi tibial eksterna. Anteversi dan Retroversi Deformitas ini menjelaskan hubungan antara leher dan batang femur. Disebut anteversi femoral bila lutut menghadap ke depan dan leher femur mengarah ke depan dalam derajat tertentu. Disebut retroversi femoral bila lutut menghadap ke depan & leher femur mengarah ke posterior dalam derajat tertentu. Varus dan valgus Istilah varus dan valgus dipergunakan untuk angulasi abnormal dari anggota gerak. Deformitas ini biasanya terjadi pada sendi atau tulang dekat sendi. Varus 71

Varus adalah angulasi secara imajiner yang menunjukkan lingkaran imajiner dimana penderita berada. o Koksa vara adalah berkurangnya sudut leher femur dan batang femur dari normal misalnya sudutnya 900 (normal = 1300) o Kubitus varus adalah berkurangnya sudut normal dari sendi siku (gambar 4.10) o Genu varum (bow legs) adalah lutut berjauhan apabila kaki berdekatan (gambar 4.11) o Talipes ekuinovarus o Deformitas ini terjadi bersama dengan deformitas plantar fleksi dari pergelangan kaki. Kombinasi ini misalnya pada ekuinus varus bawaan (gambar 4.12) o Matatarsus varus (metatarsus adduktus) Deformitas adduksi dari kaki depan terhadap kaki belakang (gambar 4.13) o Haluks varus adalah deformitas adduksi dari ibu jari kaki terhadap sendi metatarsofalangeal.

72

Valgus Valgus adalah angulasi secara imajiner yang tidak ada hubungannya dengan lingkaran imajiner dimana penderita ditempatkan. o Kubitus valgus adalah bertambahnya carryin angle dari sendi siku (gambar 4.10) o Koksa valga adalah bertambahnya sudut leher dan batang femur melebihi normal (1300) misalnya 1700 o Genu valgum (knock knees) adalah bila lutut didekatkan maka kaki akan berjauhan (gambar 4.11) o Metatarsus abduktus adalah deformitas adduksi dari kaki depan terhadap kaki belakang (gambar.13) o Hip valgus adalah bertambahnya sudut antara aksis dari tungkai dan tumit dalam posisi eversi. o Talipes kalkaneovalgus adalah deformitas eversi pada kaki disertai dengan kalkaneus atau deformitas dorsofleksi dan pergelangan kaki (gambar 4.14) o Haluks valgus adalah deformitas abduksi dari ibu jari kaki terhadap metatarsofalangeal. 73

PEMERIKSAAN REGIONAL Pemeriksaan ortopedi regional terdiri atas: Pemeriksaan tulang belakang Pemeriksaan leher dan vertebra servikalis Pemeriksaan vertebra torakal dan lumbal Pemeriksaan sendi bahu Pemeriksaan lengan atas dan sendi siku Pemeriksaan lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari tangan Pemeriksaan sendi panggul Pemeriksaan lutut Pemeriksaan tungkai bawah, pergelangan kaki dan jari-jari kaki

74

PEMERIKSAAN TULANG BELAKANG Pemeriksaan Leher dan Vertebra Servikalis Kelainan yang paling sering ditemukan pada leher adalah degenerasi vertebra servikalis dan osteoartritis sekunder pada diskus intervertebra servikalis yang dapat mengakibatkan prolapsus dari diskus dan spondilosis servikal. Kelainan pada vertebra sevikalis sering disertai dengan kelainan pada pangkal pleksus brakialis yang menyebabkan nyeri, kelemahan otot atau gangguan sensibilitas pada anggota gerak yang bersangkutan.

Tabel 4.1. Pemeriksaan klinik rutin pada kelainan di daerah leher


1.. Pemeriksaan lokal leher disertai pemeriksaan neurologik dan servei vaskuler dari anggota gerak atas Inspeksi Kontur tulang apakah terjadi deformitas Kontur jaringan lunak Warna dan tekstur kulit Ada jaringan parut atau sinus Palpasi Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Pergerakan Fleksi-ekstensi 1300 Fleksi lateral 450 Rotari 800 Apakah ada rasa nyeri pada saat digerakkan Apakah ada krepitasi bila digerakkan Status neurologik anggota gerak atas Sistem muskuler Sistem sensoris Keringat Refleks

Status vaskuler anggota gerak atas Warna Suhu Nadi 2. Pemeriksaan gejala yang bersifat simptomatik pada leher Gangguan pada leher dapat berasal dari kelainan pada telinga atau tenggorokan. Gejala pada anggota gerak atas melibatkan pleksus brakialis berupa gangguan pada bahu, siku atau saraf torakal bagian perifer. 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan daerah bagian tubuh lainnya juga perlu dilakukan. Gangguan pada leher bisa akibat manifestasi klinis dari suatu penyakit sistematik.

75

Anamnesis Yang perlu ditanyakan pada anamnesis adalah: Adakah hubungan antara gejala sekarang dengan keluhan pada leher sebelumnya. Apakah ada trauma pada leher. Apakah ada gejala kekakuan pada leher yang merupakan gejala awal prolapsus diskus intervertebra servikalis. Nyeri pada anggota gerak atas harus diketahui sumbernya. Tekanan saraf pada daerah servikal memberikan gambaran klinis sesuai dengan distribusi sarafnya. Nyeri ini menjalar ke lengan atas dan bawah pada satu jari atau lebih. Gejala saraf bisa berupa parestesia, rasa kram atau rasa seperti tersusuk jarum di tangan. Pemeriksaan Pada pemeriksaan leher, baju harus dibuka dan harus terlihat jelas bagian leher secara keseluruhan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dalam keadaan penderita berdiri ataupun duduk. Deformitas Kolumna vertebra servikalis biasanya sedikit lordosis ke depan. Perubahan kurva ini menjadi lurus atau melengkung kebelakang (kifosis) merupakan tanda adanya kelainan yang mencurigakan. Juga diperhatikan deformitas vertebra ke lateral atau rotasi. Pergerakan Gerakan pada leher yang diperiksa meliputi rotasi, fleksi lateral ke kanan /ke kiri, fleksi-ekstensi. Gerakan fleksi dan ekstensi maksimal terjadi pada sendi oksipito-atlantoid. Besarnya pergerakan pada vertebra servikalis dapat dilihat pada tabel 4.1 yang ada (gambar 4.15).

76

Pemeriksaan neurologik anggota gerak atas Pemeriksaan neurologik perlu dilakukan pada kelainan di daerah leher karena lesi pada daerah servikal sering menyebabkan gangguan pada pleksus brakhialis. Sistem muskuler Otot bahu, lengan atas, lengan bawah dan tangan harus diperiksa apakah ada kelemahan atau fisikulasi otot. Pemeriksaan meliputi tonus dan kekuatan dari setiap otot dan membandingkannya dengan anggota gerak yang berlawanan. Sistem sensoris Pemeriksasan sensibilitas penderita meliputi rasa raba dan tusuk. Pada kasus tertentu juga dilakukan uji sensibilitas stimulus yang dalam, posisi sendi, vibrasi, rasa panas dan dingin. Daerah lesi sesuai dengan distribusi saraf yang mengalami gangguan sehingga bila terdapat gangguan sensoris pada daerah tertentu, maka kita dapat memperkirakan lesi terjadi pada saraf yang mana sesuai dengan percabangan/distribusi dari saraf yang mengalami gangguan. Kelenjar keringat Keringat timbul bila terjadi hubungan serabut saraf sudomotor. Refleks Pemeriksaan refleks otot dilakukan dengan membandingkan refleks biseps (C6), triseps (C7) dan brakioradialis (C6) dari lengan kiri dan kanan. Refleks yang ditemukan menentukan apakah ada gangguan neurologis dan jika ada apakah jenis upper motor neuron atau lower motorneuron dan asal dari akar atau cabang saraf (gambar 4.16)

77

Pemeriksaan vaskuler anggota gerak atas Kadang-kadang kelainan pada leher terjadi akibat gangguan pada arteri subklavia. Sistem sirkulasi yang efesien dari tiap anggota gerak atas diperhatikan, dibandingkan warna dan rasa hangat pada kedua sisi lengan, tangan dan jari, denyut radialis kiri dan kanan dimana pemeriksaan pertama-tama pada saat anggota gerak dalam keadaan diam, kemudian bahu ditekan dan dilakukan rotasi pada kaput anggota gerak yang diperiksa. Gangguan ekstrinsik yang menyebabkan gangguan pada leher Kadang-kadang gangguan pada daerah sekitar leher misalnya pada telinga, tenggorokan dapat menyebabkan rasa nyeri pada leher dan disebut nyeri kiriman (referred pain). Untuk itu pemeriksaan daerah sekitar leher dilakukan sebagai pemeriksaan rutin bila ditemukan kelainan pada leher. Gangguan pada anggota gerak atas juga dapat bermanifestasi pada leher yang melibatkan pleksus brakhialis.

Tabel 4.2. Klasifikasi gangguan pada leher dan servikal

Tortikolis infantil Kelainan bawaan leher Kelainan bawaan skapula


tinggi pendek

Deformitas

Artritis sendi spinal Artritis reumatoid Ankilosing spondilitis Osteoartritis vertebra servikal (spondilosisi servikal) Gangguan mekanik Prolapsus diskus intervertebralis Kosta servikal Spondilolistesis servikal

Tuberkulosis servikal Infeksi piogenik vertebra


servikal Tumor

Infeksi tulang

Tumor jinak dan ganas yang ada hubungannya dengan vertebra servikal dan akar
saraf

78

Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis rutin vertebra servikal berupa foto polos AP dan lateral. Pemeriksaan radiologis tambahan dilakukan bila dibutuhkan gambaran yang lebih jelas. Untuk mempelajari densitas diperlukan foto polos AP dengan teknik khusus. Foto oblik dilakukan untuk mellihat foramina intervertebra dan permukaan sendi serta melihat ukuran dan bentuk regio servikal yang lebih rendah. Pada kasus dimana tomografi sulit dilakukan, maka dibandingkan foto lateral posisi fleksi dan ekstensi. Dapat pula dilakukan sineradiografi atau stereoskopik radiografi. Mielografi dilakukan bila terjadi lebi intraspinal. Pemeriksan radiologis lainnya adalah radioisotope scanning, Ct-scan dan MRI dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu. PEMERIKSAAN VERTEBRA TORAKAL DAN LUMBAL Nyeri pada punggung terutama punggung bawah merupakan kelainan yang sering ditemukan dalam praktek bedah ortopedi sehari-hari. Sebagian dari kelainan ini gambarannya jelas sehingga penyebab, diagnosis dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan. Sebagian lagi tidak dapat diketahui dengan jelas penyebabnya baik melalui pemeriksaan fisik maupun radiologi sehingga hasil pemeriksaan tidak jelas. Dalam kelompok ini termasuk chronic ligamentous strain atau postural back pain. Nyeri punggung bawah sering disertai penjalaran nyeri ke bokong, tungkai atas dan tungkai bawah baik unilateral maupun bilateral. Nyeri yang bersifat menjalar ini disebut skiatika. Anamnesis Perhatikan terutama harus ditujukan pada kelangsungan/onset penyakit, apakah bersifat periodik atau menetap, bertambah buruk atau bertambah baik dan hal-hal apa yang dapat menyebabkan nyeri bertambah/berkurang. Lokalisasi dari nyeri punggung serta sifatsifatnya juga harus ditentukan secara jelas.

79

Tabel 4.3. Pemeriksaan klinik rutin gangguan pada punggung 1. Pemeriksaan lokal punggung dan servei neurologis anggota gerak bawah a. Penderita berdiri Inspeksi Kontur tulang Kontur jaringan lunak Warna dan tekstur kulit Adanya jaringan parut atau sinus Pergerakan (gambar 4.18) Sendi spinal Fleksi 800 Ekstensi 300 Fleksi lateral 350 Rotasi 450 Palpasi Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Nyeri lokal Sendi konstovertebral Jarak indikasi ekspansi dada Sendi sakroiliaka Nyeri pada pergerakan Status neurologis anggota gerak bawah Uji Straight Leg Raising (SLR) (gambar4.17) Pemeriksaan sistem muskuler Pemeriksaan sistem sensoris Pemeriksaan refleks

Nyeri pada gerakan Spasme otot

b. Penderita berbaring Palpasi fossa ilika Pemeriksaan khusus abses atau adanya massa 2. Pemeriksaan ekstrinsik punggung dan skiatika Hal ini perlu bila tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan lokal. Pemeriksaan meliputi:

Pemeriksaan abdomen Pemeriksaan pelvis


termasuk pemeriksaan rektal

Pemeriksaan anggota gerak bawah Pemeriksaan sistem vaskuler perifer

3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum bagian-bagian tubuh yang lain. Gejala lokal dapat merupakan salah satu manifestasi klinis dari suatu penyakit sistematik.

80

Tanda-tanda Skiatika Nyeri skiatika ditandai dengan perjalanan nyeri sepanjang persarafan nervus skiatika pada tungkai bawah. Ada dua jenis skiatika yang diketahui. Apabila nyeri hebat dan menjalar dengan arah dan lokalisasi yang jelas pada kulit, apalagi bila disertai kelainan motoris, sensoris dan refleks, maka pasti ini merupakan kelainan mekanik yang memberikan gangguan dari serabut saraf pleksus lumbalis atau sakralis. Jenis skiatika lain berupa rasa nyeri yang samar-samar disertai distribusi nyeri yang tidak jelas dan lebih menyerupai suatu nyeri kiriman akibat kelainan sendi/ligamen.

Penilaian deformitas Setiap kelainan bentuk yang ditemukan baik pada inspeksi maupun palpasi harus dicatat dengan baik. Deformitas tulang belakang dapat berbentuk kifosis, lordosis atau skoliosis (gambar 4.19).

81

Tabel 4.4. Klasifikasi gangguan pada vertebra torakal dan lumbal Kelainan kongenital Variasi lumbal dan sakral Hemivertebra Spina bifida Deformitas Skoliosis Kifosis Lordosis Infeksi tulang Tuberkulosis torakal atau lumbal Infeksi piogenik torakal atau lumbal Artritis sendi spinal Artritis reumatoid Osteoartritis Ankilosing spondilitis Lokalisasi lain pada tulang Kifosis Scheuermann Kompresi vertebra Calve Gangguan mekanik Prolapsus diskus lumbal Lumbago akut Spondilolisis Spondilolistesis Stenosis spinal Tumor Tumor yang ada hubungannya dengan kolumna vertebralis, batang & akar saraf medula spinalis Kronik strain Kronik strain ligamentum lumbal Koksidinia Lain-lain Osteoporosis senil Gangguan pada sendi sakroiliaka Tuberkulosis sendi sakroiliaka Ankilosing spondilitis Jenis artritis yang lain Strain ligamentum sakroiliaka

82

Pemeriksaan Radiologis a. Pemeriksaan foto rontgen Foto polos AP dan lateral dilakukan jika gejala vertebra torakal bersifat lokal. Foto polos AP dan lateral dilakukan tidak hanya mencakup daerah vertebra lumbal, tetapi juga mencakup sendi sakroiliaka, panggul dan sendi panggul. Bila terdapat keragukeraguan maka dilakukan foto oblik untuk melihat sendi sakroiliaka dan faset posterior sendi intervertebra dari vertebra lumbal. Pada keadaan yang meragukan pemeriksaan tomografi dapat bermanfaat. Bila ada kecurigaan tumor spinal, dapat dilakukan mielografi atau radikulografi. b. Pemeriksaan radiologis lain yang dapat membantu adalah: Radioisotope bone scanning CT-scan MRI Diskografi Pemeriksaan Sendi Bahu Sendi bahu merupakan suatu sendi yang secara mekanik sangat kompleks dan terdiri atas tiga komponen persendian yaitu sendi glenohumeral, sendi akromioklavikular, sendi sternoklavikular. Sendi glenohumeral memungkinkan untuk gerakan abduksi, fleksi dan rotasi di bawah kontrol otot skapulohumeral. Kedua sendi lainnya bersama-sama memberikan pergerakan 900 berupa rotasi skapula terhadap toraks dan sedikit perputaran anteroposterior skapula. Nyeri pada bahu dan lengan harus dibedakan dengan seksama apakah kelainan ini berasal dari bahu sendiri atau nyeri yang berasal dari vertebra servikalis atau toraks.

83

Tabel 4.5. Pemeriksaan klinik rutin gangguan pada sendi bahu

1. Pemeriksaan lokal sendi bahu Inspeksi Kontur tulang Kontur jaringan lunak Warna dan tekstur kulit Adanya jaringan parut atau sinus Pergerakan Membedakan pergerakan antara sendi glenohumeral dan sendi skapula pada gerakan abduksi, fleksi, ekstensi, rotasi lateral dan rotasi medial (gambar 4.20-21) Nyeri pada saat pegerakan Spasme otot Krepitasi pada saat pergerakan Sendi akromioklavikular Pemeriksaan pembengkakan, rasa panas, nyeri, nyeri bila digerakkan dan stabilitas

Palpasi Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Nyeri lokal Kekuatan Kekuatan otot servikoskapula dan otot torakoskapula Uji elevasi skapula, retraksi skapula, abduksirotasi skapula Otot skapulo-humeral (mengontrol pergerakan sendi glenohumeral) yiatu pergerakan abduksi 1800, adduksi 750, fleksi 1800, ekstensi 600, rotasi lateral 800, rotasi medial 800. Sendi sternoklavikula Pemeriksaan pembengkakan, rasa panas, nyeri, nyeri bila digerakkan dan stabilitas

2. Pemeriksaan gejala yang kemungkinan merupakan faktor ekstrinsik pada sendi bahu Pemeriksaan ini penting untuk menerangkan gejala yang tidak ditemukan pada pemeriksaan lokal. Pemeriksaan meliputi: Pemeriksaan leher dengan pleksus brakialis Toraks, jantung dan pleura Abdomen dan lesi subdiafragma 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum bagian tubuh lainnya.

Anamnesis Pada nyeri bahu harus ditentukan dengan jelas lokasi dan distribusi nyeri. Nyeri biasanya berasal dasri ujung akromion menjalar ke bawah pada lengan atas sampai pada insersi otot deltoid. Jarang sekali nyeri pada bahu yang menjalar melewati sendi siku.

84

Nyeri kiriman pada daerah bahu Nyeri kiriman biasanya berupa iritasi dari pleksus, menjalar dari leher pada bagian atas dari bahu kemudian kelengan. Gerakan sendi bahu Pada pemeriksaan sendi bahu sangat penting diketahui berapa besar gerakan yang terjadi pada sendi glenohumeral dan berapa besar gerakan rotasi skapula. Untuk membedakan maka pemeriksa perlu memegang atau memfiksasi bagian bawah skapula. Dalam keadaan normal gerakan sendi bahu berupa abduksi yang terjadi dari sebagaian sendi glenohumeral dan sebagian dari rotasi sendi skapula sendiri. Kelainan pada sendi bahu akan memberikan hambatan pada gerakan sendi glenohumeral tetapi tidak pada gerakan skapula (gambar 4.22).

85

Estimasi kekuatan otot Untuk memperkirakan besarnya kekuatan, ada dua kelompok otot pada daerah bahu yang harus dibedakan yaitu: 1. Otot servikoskapula dan otot torakoskapula Otot servikoskapula dan otot torakoskapula mengontrol gerakan skapula. Fungsi otot ini untuk gerakan elevasi skapula yaitu levator skapula dan bagian atas dari otot trapezius. Rektaktor dari skapula yaitu otot rhomboid dan bagian tengah dari otot trapezius. Abduktor rotator dari skapula yaitu otot seratus anterior, bagian tengah dan bagian bawah dari otot trapezius. Untuk menguji perlu dilakukan pemeriksaan fungsi dan kekuatan otot dengan pemeriksaan khusus. 2. Otot skapulahumeral Kelompok otot ini mengontrol sendi glenohumeral yaitu gerakan yang berfungsi untuk abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi lateral, rotasi medial. Sendi akromioklavikular dan sternoklavikular Klavikula merupakan suatu jembatan yang menghubungkan skapula dan sternum. Gerakan sendi akromioklavikular dan sternoklavikular terjadi pada umumnya setelah elevasi dari lengan atas sebesar 900 dan gerakan sendi bahu ke belakang atau ke depan. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto polos sendi glenohumeral Pemeriksaan proyeksi AP dalam posisi anatomis anggota gerak atas. Pada keadaan tertentu diperlukan posisi khusus yaitu proyeksi aksiler dimana lengan dalam keadaan abduksi 900. Pemeriksaan radiologis dengan kontras berupa penyuntikan cairan kontras Pemeriksaan radiologis yang lain yaitu radioisotope scanning,CTscan, MRI

86

Tabel 4.6. Klasifikasi kelainan pada daerah bahu Kelainan pada sendi bahu (glenohumeral) Artritis Artritis piogenik Artritis reumatoid Artritis tuberkulosis Osteoartritis Bahu beku (frozenshoulder) Sindroma nyeri arkus (termasuk deposisi kalsifikasi pada tendo) Tenosinovitis dari tendo bisep Ruptur tendo bisep Gangguan mekanik Dislokasi rekuren Robekan lengkap dari tendo rotator cuff Gangguan sendi sternoklavikular

Dislokasi rekuren atau persisten

Gangguan sendi akromioklavikular Artritis Osteoartritis Dislokasi persisten atau subluksasi

Pemeriksaan Lengan Atas dan Sendi Siku Kelainan yang biasa ditemukan pada humerus adalah trauma, infeksi pada tulang, tumor tulang terutama oleh karena metastasis. Sedangkan pada sendi siku biasanya berupa artritis. Kelainan lain yang biasa ditemukan adalah osteoartritis disekans dan bergesernya sendi siku dan beberapa kelainan akibat jepitan pada saraf. Anamnesis Harus diketahui dengan tepat lokalisasi, distribusi dan asal dari nyeri. Nyeri pada lengan atas mungkin merupakan nyeri yang berasal dari bahu. Pada sendi siku sebaiknya ditanyakan adanya riwayat trauma sebelumnya misalnya trauma ketika masih kanak-kanak.

Gerakan sendi siku Pada sendi siku terdapat dua komponen persendian yaitu antara humerus dengan ulna dan antara ulna dengan radius yang memberikan kemungkinan gerakan fleksi dan ekstensi serta rotasi pada lengan bawah. Gerakan fleksi dan ekstensi bervariasi antara 01500 serta pronasi dan supnasi masing-masing sebesar 0-900 (gambar 4.23).

87

Pemeriksaan neurologis Perlu dilakukan pemeriksaan neurologi dari nervus ulnari, nervus medianus dan nervus radialis. Pemeriksaan radiologis Pada foto polo humerus dilakukan foto AP dan proyeksi lateral dengan kedua sendi yaitu sendi bahu dan sendi siku harus dapat terlihat dengan baik pada foto. Pemeriksaan radiologis yang lain yaitu radioisotope scanning dengan 99mTc, CT-scan dan MRI.

88

Tabel 4.7. Tahap-tahap pemeriksaan rutin kelainan lengan atas dan sendi siku

1. Pemeriksaan lokal lengan dan sendi siku Inpeksi Kekuatan Kontur tulang Fleksi 1500 Kontur jaringan lunak Ekstensi 00 Warna dan tekstur kulit Supinasi 800 Adanya jaringan atau Pronasi 900 sinus Stabilitas Palpasi Ligamentum lateral Suhu kulit Ligamentum medial Kontur tulang Nervus medianus Kontur jaringan lunak Fungsi sensoris Nyeri lokal Fungsi motoris (gerakan openen) Kelenjar keringat Pergerakan (aktif dan Nervus radialis pasif) Fungsi sensoris Sendi humero-ulnar Fungsi motoris (ekstensi pergelangan tangan, ibu jari, 0 Fleksi 150 dan jari-jari) 0 Ekstensi 0 Nervus ulnaris Fungsi sensoris Sendi radio-ulnar Fungsi motoris Supinasi 800 Kelenjar keringat Pronasi 900

pergerakan 2. Pemeriksaan nyeri lengan yang disebabkan oleh faktor ekstrinsik Pemeriksaan ini penting untuk menerangkan gejala yang tidak ditemukan pada pemeriksaan lokal, yang meliputi: Leher dan pleksus brakialis Pemeriksaan bahu 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan pada bagian tubuh lainnya. Gejala lokal yang terjadi mungkin merupakan manifestasi dari penyakit lain.

Nyeri pada pergerakan Krepitasi pada

89

Faktor Ekstrinsik Nyeri Lengan Atas Pada nyeri lengan atas harus dipertimbangkan bahwa nyeri ini kemungkinan berasal dari bahu atau leher akibat kelainan kelalaian pada pleksus brakialis

Tabel 4.8. Klasifikasi gangguan lengan atas dan siku

Gangguan pada lengan atas Infeksi Osteomielitis akut Osteomielitis kronik Gangguan pada siku Deformitas Kubitus valgus Kubitus varus

Tumor Tumor jinak tulang Lesi kistik Kista tulang Tumor ganas tulang Gangguan mekanik Osteokondritis disekans Benda asing pada siku Gangguan ekstra-artikuler Tennis elbow Neuritis saraf ulnaris Bursitis elekranon

Artritis Artritis piogenik Artritis reumatoid Artritis tuberkulosis

Osteoartritis Artritis neuropatik Artritis hemofilik

Pemeriksaan Lengan Bawah, Pergelangan Tangan dan Jari-Jari Dalam kehidupan sehari-hari suatu pekerjaan sangat tergantung dan efisiensi fungsi tangan dan akan memberikan implikasi ekonomi apabila terjadi kecatatan pada tangan baik akibat trauma ataupun akibat penyakit. Bedah tangan merupakan suatu seni dan ilmu tersendiri yang pada saat ini merupakan suatu spesialisasi khusus dalam ilmu bedah ortopedi dimana pengetahuan dan pengalaman bedah ortopedi, bedah plastik dan rekonstruksi, bedah mikrovaskuler dan bedah saraf memegang peranan yang sangat penting. Pengobatan pada kelainan ini terutama ditujukan untuk melakukan pemulihan/restorasi fungsi tangan semaksimal mungkin.

90

Gerakan pada pergelangan tangan Pegelangan tangan mempunyai dua komponen utama yaitu sendi radiokarpal (termasuk sendi interkarpal yang memungkinkan fleksi 800, ekstensi 900 abduksi/deviasi 250, adduksi/deviasi ulnar 300) dan sendi radioulnar inferior yang memungkinkan gerakan supinasi 900 dan pronasi 900. untuk melakukan pemeriksaan secara akurat terhadap kedua gerakan ini maka sendi siku difleksikan 900 untuk menghilangkan rotasi pada sendi bahu (gambar 4.24 dan 4.25)

Gerakan pada jari-jari Gerakan pada jari-jari dibagi dalam tiga kelompok sendi, yaitu: 1. Sendi karpometakarpal ibu jari Pada sendi karpometakarpal ibu jari terdapat lima macam gerakan yaitu fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi dan oposisi (gambar 4.26).

91

Tabel 4.9. Pemeriksaan klinik rutin gangguan lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari 1. Pemeriksaan lokal lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari Inspeksi Palpasi Kontur tulang Suhu kulit Kontur jaringan lunak Kontur tulang Warna dan tekstur kulit Kontur jaringan lunak Adanya jaringan parut dan Nyeri lokal sinus Kekuatan Pergerakan (aktif dan pasif) Kekuatan tiap kelompok otot dikontrol oleh: Pergelangan tangan Pergerakan pergelangan tangan Sendi radiokarpal: fleksi Pergerakan ibu jari dan jari-jari ekstensi; adduksiabduksi Stabilitas Sendi radio-ulnar Uji untuk pergerakan abnormal inferior: supinasi dan pronasi Fungsi saraf Uji fungsi sensoris, fungsi motoris dan kelenjar keringat pada Tangan bagian medial saraf ulna dan radius Sendi karpometakarpal ibu jari: fleksi- ekstensi; Sirkulasi adduksi-abduksi; oposisi Denyut arteri, warna dan rasa hangat, pengisian kembali kapiler, sensibilitas kulit Awnsi metakarpofalangeal: fleksi-ekstens; adduksiabduksi Sendi interfalangeal: fleksi-ekstensi

2. Pemeriksaan bagian yang kemungkinan dapat merupakan faktor ekstrinsik gangguan pada lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari Pemeriksaan ini penting untuk menerangkan gejala yang tidak ditemukan pada pemeriksaan lokal. Pemeriksaan meliputi: Pemeriksaan leher dan toraks Pemeriksaan lengan atas secara tersendiri Pemeriksaan siku secara tersendiri 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum pada bagian-bagian tubuh lainnya. Gejala pada tangan mungkin hanya merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit yang lain.

2. Sendi metakarpofalangeal Pada sendi metakarpofalangeal ibu jari dan jari-jari terdapat gerakan fleksi dan gerakan ekstensi sebesar 900 (gambar 4.26 dan 4.27). 3. Sendi interfalangeal Pada sendi interfalangeal ibu jari dan jar-jari hanya terdapat gerakan fleksi dan gerakan ekstensi (gambar 4.26 dan 4.27). 92

Kekuatan otot Pemeriksaan kekuatan otot tangan perlu dilakukan secara teliti dan sabar. Untuk setiap kelompok otot harus dilakukan uji secara tersendiri. Pemeriksaan otot-otot ibu jari meliputi pemeriksaan otot abduktor, adduktor, ekstensor (longus dan brevis), fleksor (longus dan brevis) serta otot-otot oponens. Sementara pada jari-jari dilakukan pemeriksaan otot fleksor profundus dan superfisial, ekstensor digitorum, ekstensor indisis, otot interoseus dan otot lumbrikal.
Tabel 4.10. Klasifikasi gangguan pada lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari

1. Gangguan pada lengan bawah Infeksi tulang Tumor tulang Osteomielitis Tumor akut jinak Osteomielitis Tumor kronik ganas

Lain-lain Iskemik kontraktur Volkmann Tenosinovitis krepitans

2. Gangguan pada sendi pergelangan tangan dan jari-jari Deformitas Artritis Lain-lain Deformitas Artritis Penyakit Kienbock Madelung piogenik (diskondrosteosis Artritis ) reumatoid Osteoartritis 3. Gangguan ekstra-artikuler pergelangan tangan dan jari-jari Infeksi Gangguan neurologis Infeksi akut sarung fasia Penekanan nervus medianus pada terowongan karpal Infeksi kronik tenosinovitis Lain-lain Tumor Ganglion Tumor tulang Kontraktur Dupuytren Tumor jaringan lunak Ruptur tendo Tenovaginitis de Quervain Tenovaginitis stenosis jari-jari

93

Kekuatan pegangan otot Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pegangan yang merupakan kombinasi gerakan otot fleksor dan ekstensor pergelangan tangan serta fleksor jari-jari dan ibu jari. Fungsi saraf Pemeriksaan fungsi ketiga saraf yaitu nervus ulnaris, nervus medianus, nervus radialis harus dilakukan secara tersendiri baik fungsi motoris, sensoris serta fungsi keringat. Sirkulasi Sirkulasi pada jari diamati melalui pemeriksaan denyut nadi pada arteri, suhu dan warna jari-jari. Faktor ekstrinsik pada lengan bawah dan jari-jari Seringkali sulit dibedakan gelaja dan tanda klinis lengan bawah atau jari-jari merupakan gangguan lokal atau bukan. Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan dengan baik agar dapat membedakannya dengan jelas. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis yang rutin dilakukan yaitu foto polos AP dan lateral lengan bawah, pergelangan tangan serta jari-jari. Pada kasuskasus tertentu diperlukan juga pemeriksaan radiologis lainnya yaitu radioisotope scanning. Pemeriksaan Sendi Panggul Pemeriksaan sendi panggul merupakan pemeriksan yang penting dalam ortopedi oleh karena trauma/penyakit pada panggul akan menyebabkan gangguan yang berkepanjangan dan mungkin memberikan kecacatan yang serius atau lebih parah lagi menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja serhingga memberikan dampak ekonomis dalam kehidupan. Daerah panggul ini merupakan suatu daerah yang penting oleh karena sendi panggul merupakan sendi yang sangat kompleks, sulit diperksa secara akurat.

94

Tabel 4.11. Beberapa kelainan pada panggul yang ditemukan pada umur tertentu Umur (tahun) 02 25 5 10 10 20 20 50 50 - 100 Kelainan panggul

Dislokasi kongenital Artritis tuberkulosis, transien sinovitis Penyakit legg-Calve-Perthes Slipped upper femoral epiphysis Osteoartritis sekunder oleh karena trauma atau penyakit Osteoartritis primer

Anamnesis Karakteristik nyeri daerah panggul adalah nyeri tidak selamanya dari panggul itu sendiri tetapi mungkin berasal dari tulang belakang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sendi panggul, sehingga harus diperiksa kemungkinan adanya faktor-faktor ekstrinsik. Nyeri pada sendi panggul biasanya dikeluhkan pada daerah lipa paha bagian dalam dan bagian depan. Sering nyeri ini dirasakan pada daerah lutut dan kadangkala merupakan nyeri yang dominan pada kelainan sendi panggul. Nyeri pada panggul sendiri biasanya akan bertambah berat apabila penderita berjalan atau menggerakkan sendi panggul. Pengukuran panjang anggota gerak dan ukuran-ukurannya Secara ideal pengukuran dilakukan pada aksis gerakan panggul, yaitu titik tengah kaput femur. Tetapi secara klinik hal ini sulit dilakukan, sehingga titik ukur diambil dari titik yang paling mendekati yaitu spina iliaka anterior superior. 1. Pengukuran panjang klinik (panjang sebenarnya=true leg length) Panjang klinik diukur dari spina ilika anterior sampai pinggi bawah maleolus lateralis atau pinggir maleolus medialis (gambar 4.28). Dengan pengukuran ini dibandingkan antara kiri dan kanan. Apabila ditemukan adanya pemendekan maka harus ditentukan apakah ditemukan: Diatas trokanter, melalui pengukuran segitiga dari Bryant, garis dari nelaton, garis dari Schoemaker Di bawah trokanter 95

Tabel 4.12. Pemeriksaan klinik rutin gangguan pada panggul 1. Pemeriksaan lokal sendi panggul a. Penderita berbaring Penderita berbaring dan membentuk sudut terhadap tungkai bila mungkin : Inspeksi Kontur tulang Kontur jaringan lunak Warna dan tekstrur kulit Adanya jaringan parut atau sinus Palpasi Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Nyeri lokal Pergerakan (aktif dan pasif) Fleksi Abduksi saat fleksi Rotasi medial (interna) Rotasi lateral (eksterna) Pemeriksaan adanya deformitas

Dilakukan uji Thomas untuk mendeteksi dan mengukur


deformitas pada posisi fleksi Kekuatan (dilakukan uji yang berlawanan dengan tahanan pemeriksaan) abduktor, adduktor dan rotator Pengukuran panjang tungkai Panjang klinik (true/real length) Panjang yang tampak (apparent length) Pemriksaan pergerakan abnormal Uji pergerakan longitudinal (teleskopik) Uji klik (pada bayi baru lahir)

Estimasi kekuatan pada kelompok otot fleksor, ekstensor,

b. Penderita berdiri Pemeriksaan stabilitas postural Cara berjalan (gait) Uji Trendelenburg 2. Pemeriksaan faktor ekstrinsik yang mungkin memberikan gejal pada panggul Pemeriksaan ini penting untuk menerangkan gejala yang tidak ditemukan pada pemeriksaan lokal, meliputi: Pemeriksaan sendi sakroilika Pemeriksaan abdomen dan pelvis Pemeriksaan pembuluh darah besar (sirkulasi arteri) 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan terhadap bagian tubuh lainnya untuk mencari kemungkinan gangguan merupakan manifestasi dari suatu penyakit sistemik pada tubuh

96

2. Pengukuran panjang tampak (palsu=apparent leg length) Kadang-kadang ditemukan tungkai bawah tampak panjang sebelah tapi sebenarnya ukurannya sama. Pada keadaan ini pemeriksaan diukur dari titik di garis tengah tubuh yaitu dari xiphisternum, dari pusat atau dari pubis ke maleolus medialis. Pemendekan yang palsu dari panjang tungkai biasanya disebabkan oleh karena panggul miring dimana koreksi sepenuhnya tidak dapat dilakukan. Panggul miring umumnya disebabkan oleh deformitas adduksi yang menetap yang membuat sisi tersebut terlihat lebih panjang (gambar 4.29). Pemeriksaan deformitas rotasi yang menetap Adanya deformitas rotasi dapat dinilai dari posisi patela yang dalam keadaan normal merupakan suatu garis lurus dari spina ilika anterior superior, pertengahan patela dan jari kaki kedua. Apabila terdapat rotasi baik ke dalam maupun keluar maka konfigurasi garis ini berubah.

97

Pemeriksaan adanya deformitas menetap Deformitas adduksi yang menetap Deformitas ini dapat diketahui dengan menilai hubungan antara pelvis dan panggul. Apabila terdapat kelainan maka aksis transversal panggul yaitu garis yang menghubungkan kedua spina ilika anterior superior tidak dapat diletakkan dalam garis tegak lurus terhadap anggota gerak yang terkena. Deformitas abduksi yang menetap Sama dengan yang pertama, tetapi sudut antara pelvis dan tungkai melebihi 900 Deformitas fleksi yang menetap Deformitas ini dapat diketahui melalui uji Thomas. Prinsip pelaksanaan uji Thomas: Bilamana penderita mengalami deformitas fleksi menetap pada panggul, maka penderita berusaha mengkompesasikannya sehingga terjadi lordosis pada tulang belakang. Untuk mengukur derajat derformitas ini, penderita dalam keadaan berbaring dan lordosis dihilangkan dengan melakukan fleksi pada tungkai. Sudut antara tungkai ata dan garis horisontal yang terbentuk merupakan derajat besarnya deformitas fleksi (gambar 4.30).

98

99

Pergerakan pada sendi panggul 1. Fleksi Pergerakan fleksi pada sendi panggul sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan fleksi pada lutut. Nilai normal gerakan ini besarnya 1200 (gambar 4.31.A). 2. Ekstensi dengan meluruskan kaki. Dalam keadaan ini diperoleh nilai 00 (gambar 4.31.B). 3. Abduksi dilakukan dengan cara tangan berada di antara spina isiadika anterior superior kiri dan kanan dan tangan yang satu melakukan abduksi kaki. Normal didapatkan abduksi sebesar 30-400 aksial (gambar 4.32). 4. Adduksi dilakukan dengan menyilangkan kedua kaki. Dalam keadaan normal didapatkan besarnya adduksi 300 (gambar 4.32). 5. Rotasi lateral dan medial masing-masing diperkirakan melalui garis imajiner pada patela, yang normalnya sebesar 400 (gambar 4.33).

Pemeriksaan stabilitas postural Pemeriksaan ini untuk menentukan stabilitas panggul terutama kemampuan otot abduktor panggul (otot gluteus medius dan minimus) dalam menstabilisasi panggul terhadap femur. Pemeriksaan ini dilakukan menuru uji Duschene-Trendelenburg. Cara pemeriksaannya: Satu tungkai diangkat dalam keadaan fleksi 900 sambil berdiri di atas kaki yang lain. Panggul akan ditahan oleh otot panggul yaitu muskulus gluteus medius dan minimus. Jika otot-otot ini tidak berfungsi maka pada inspeksi panggul miring/jatuh ke sisi kaki yang diangkat, dengan kata lain otot-otot panggul tidak mampu menstabilisasi panggul dan disebut uji Trendelenburg positif. Sebaiknya disebut uji Trendelenburg negatif apapbila otot-otot abduktor dapat bekerja secara normal mengangkat pelvis ke atas apabila tungkai yang lain diangkat (gambar 4.34).

100

Ada tiga kelainan yang dapat menyebabkan uji Trendelenburg positif, yaitu: 1. Paralisis otot abduksi misalnya pada poliomielitis. 2. Origo dan insersi otot-otot abduktor terlalu berdekatan sehingga daya kontraksinya hilang. Keadaan dapat terjadi pada semua kelainan yang menyebabkan trokanter letak tinggi. 3. Hilangnya stabilitas pada komponen sendi panggul, misalnya fraktur leher femur yang tidak menyambung. Cara berjalan (gait) Gait perlu diperhatikan pada waktu penderita berdiri dan berjalan. Apabila penderita mengalami nyeri pada panggul atau panggul yang tidak stabil, biasanya penderita menggunakan tongkat pada sisi yang sebaliknya. Ada beberapa jenis karakteristik cara berjalan; Cara berjalan antalgik, yaitu cara berjalan dengan berupaya mengurangi berat untuk mengurangi nyeri Cara berjalan kaki pendek Cara berjalan Trendelenburg

101

Faktor intrinsik yang menyebabkan nyeri pada panggul Pemeriksaan yang teliti dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan nyeri panggul berasal dari tulang belakang dan sendi sakroilika. Pemeriksaan yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan neurologis dari anggota gerak bawah, juga pemeriksaan abdomen dan panggul yaitu pemeriksaan rektal dan pemeriksaan bimanual serta pemeriksaan sistem vaskuler. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto polos AP dan lateral meliputi seluruh daerah panggul. Pemeriksan radiologis lainnya pada panggul yaitu tomografi, artrografi, radioisotope scanning tulang, CT-scan dan MRI mungkin diperlukan apabila ada indikasi.

Tabel 4.13. Klasifikasi gangguan tungkai


1. Gangguan artikuler tungkai Kelainan kongenital Osteokondritis

Kelainan kongenital dislokasi


tungkai Artritis Transient sinovitis pada anakanak Artritis piogenik Artritis reumatoid Artritis tuberkulosis Osteoartritis 2. Gangguan ekstra-artikuler tungkai Deformmitas

Penyakit Legg-Calve-Perthes
Gangguan mekanik

Slipped upper femoral epiphysis

Koksa vara

Tuberkulosis bursa trokanter

Infeksi

Gangguan mekanik

Snapping tungkai

102

Pemeriksaan Lutut Stabilitas lutut sangat ditentukan oleh ligamentum dan otot kuadrisep. Otot kuadrisep yang kuat dapat mengontrol stabilitas lutut walaupun terdapat keregangan dari ligamen. Lutut sangat mudah mengalami trauma dan berbagai jenis artritis. Daerah lutut juga termasuk daerah dimana terjadi pertumbuhan anggota gerak bawah (daerah yang aktif) dan ini mungkin sebagai salah satu sebab daerah metafisis dari lutut sering mengalami infeksi osteomielitis atau tumor-tumor ganas primer. Pemeriksaan artroskopi belakangan ini memegang peranan dan merupakan pemeriksaan rutin yang sering dilakukan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan lutut. Pembedahan dengan teknik artroskopi digunakan sebagai prosedur rutin pada robekan meniskus dan adanya benda asing dalam sendi. Keuntungan pembedahan dengan teknik ini adalah tidak dilakukan operasi terbuka pada lutut, penyembuhan lebih baik dan masa pemulihan serta perawatan diperpendek. Anamnesis Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis sendi lutut misalnya pada robekan menikus. Dalam anamnesis harus ditanyakan kapan terjadinya trauma, hal-hal yang terjadi sesudahnya serta mekanisme dari trauma. Keadaan yang perlu ditanyakan yaitu apakah dapat menyelesaikan pertandingan waktu itu, apakah dapat berjalan, dapat meluruskan atau membengkokkan lutut. Beberapa penderita dapat dengan jelas mengutarakan lututnya menjadi terkunci (locking). Menentukan kausa pembengkakan pada sendi Pembengkanan yang difus pada lutut dapat diketahui dengan mudah dengan jelan membandingkan kedua lutut. Pembengkakan pada lutut terutama disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1. Penebalan tulang Penebalan tulang dapat diketahui dengan palpasi pada daerah yang sakit lalu dibandingkan dengan yang normal. Penebalan dapat disebabkan oleh infeksi, tumor atau kista tulang. 2. Efusi sendi 103

Efusi sendi bisa karena penimbunan cairan serosa, pus atau oleh darah. Cairan dalam sendi diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang disebut uji fluktuasi. Pada pemeriksaan ini telapak tangan diletakkan diatas femur distal di bagian atas dari patela pada daerah kantung suprapatelar sementara tangan lainnya diletakkan pada sisi sebaliknya dimana ibu jari telunjuk pada pinggir patela. Tekanan dilakukan oleh tangan yang di proksimal kantung suprapatelar sehingga cairan terdorong ke dalam kantung persendian. Efusi yang terjadi dapat dengan muda dideteksi karena adanya impuls hidraulik pada jari-jari dan ibu jari yang di distal (gambar 4.35). Cairan di dalam sendi dapat pula dideteksi dengan cara aspirasi. 3. Penebalan membran sinovia Penebalan membran sinovia merupakan suatu gambaran artritis inflamasi kronik. Penebalan membran umumnya terjadi di atas patela dan dapat diraba pada palpasi dan biasanya lutut juga terasa hangat oleh karena proses inflamasi yang ada.

Tabel 4.14. Pemeriksan turin kelainan pada lutut

104

1. Pemeriksaan lokal pada lutut Inspeksi

Kontur tulang Kontur jaringan lunak Warna dan tekstrur kulit Adanya jaringan parut atau sinus
Pergerakan (aktif dan pasif dan di bandingkan dengan lutut yang normal)

Palpasi

Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Nyeri lokal


Kekuatan (membandingkan dengan tahanan dari pemeriksaan)

Fleksi Ekstensi Nyeri bila digerakkan Krepitasi bila digerakkan


Stabilitas

Fleksi ekstensi

Uji rotasi Mc Murray Cara berjalan (gait)

Ligamentum medial Ligamentum lateral Ligamentum krusiatum anterior Uji drawer; uji Lachman; uji Ligamentum krusiatum posterior
pivot shift lateral

2. Pemeriksaan gejala yang mungkin merupakan akibat faktor ekstrinsik Pemeriksaan ini penting bila tidak ditemukan kelainan lokal pada pemeriksaan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan tulang belakang dan panggul 3. Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum pada setiap anggota tubuh. Gejala lokal pada lutut dapat ditimbulkan oleh adanya penyakit sistemik.

Gerakan sendi lutut Pemeriksaan gerakan sedi lutut sangat penting oleh karen setiap kelainan pada lutut akan memberikan gangguan pergerakan lutut. Pada pemeriksaan perlu diketahui apakah gerakan disertai nyeri atau krepitasi. Secara normal gerakan fleksi pada sendi lutut sebesar 1201450 dan gerakan ekstensi 00 dan mungkin dapat ditemukan hiperekstensi sebesar 100 (gambar 4.36). Uji stabilitas sendi lutut yang dapat dilakukan: 105

1. Pemeriksaan ligamentum media dan lateral Robekan pada ligamentum medial dapat diperiksa melalui uji abduction stress dan pada ligamentum lateral melalui uji adduction stress. Pada pemeriksaan ini sendi lutut dalam keadaan ekstensi penuh, satu tangan pemeriksaan memegang pergelangan kaki dan satunya pada lutut. Dengan kedua tangan dilakukan abduksi untuk menguji ligamentum medial dan adduksi untuk menguji ligamentum lateral. Apabila ada robekan ligamentum maka dapat dirasakan sendi bergerak melebihi batas normal (gambar 4.37). 2. Pemeriksaan ligamentum krusiatum anterior dan posterior Kedua ligamentum ini berfungsi untuk stabilisasi sendi lutut ke arah depan dan belakang. Ligamentum krusiatum anterior berfungsi untuk mencegah tibia tergelincir ked depan femur. Sedangkan ligamentum krusiatum posterior pada arah sebaliknya. Ara pemeriksaan: Uji Drawer Lutut difleksikan 900 dan pemeriksa duduk pada kaki penderita untuk mencegah gerakan kaki. Dengan meletakkan kedua tangan di belakang tibia bagian proksimal dan kedua ibu jari pada kondilus femur, kemudia dilakukan tarikan pada tibia ke depan dan kebelakang. Kecurigaan adanya robekan pada ligamentum krusiatum apabila ada gerakan yang abnormal, baik ke depan ataupun kebelakang (bandingkan dengan yang normal) (gambar 4.38 ).

106

Uji Lachman Pada pemeriksan ini lutut difleksi 15-200. Satu tangan memegang tungkai atas pada kondilus femur, sedangkan tangan lainnya memegang tibia proksimal. Kedua tangan kemudian digerakkan ke depan dan ke belakang antara tibia proksima dan femur (gambar 4.39). Pemeriksaan pivot shift lateral Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui defisiensi pada ligamentum krusiatum anterior. Caranya kaki yang mengalami kelainan diangkat oleh pemeriksa, dimana kaki kanan diangkat oleh tangn kanan dan kaki kiri diangkat oleh tangan kiri dan lutut dalam keadaan ekstensi maksimal. Dengan satu tangan pemeriksa memutar dari arah luar tungkai bawah persis di sebelah bawah lutut sehingga terjadi tekanan valgus. Pada saat yang bersamaan tibia dirotasi ke medial. Selanjutnya lutut difleksi secara perlahan-lahan dari posisi ekstensi. Pemeriksaan positif apabila kondilus lateralis tibia terelokasi secara spontan pada kondilus femur ketiak fleksi mencapai 30-350 (gambar 4.40).

107

Uji rotasi Uji rotasi dilakukan untuk mengetahui adanya robekan meniskus dan dikenal sebagai uji Mc Murray. Pada pemeriksaan ini lutut di ekstensikan kemudia dilakukan eksorotasi maksimal untum memeriksa meniskus medial atau dengan endorotasi maksimal untuk memeriksa menikus lateral. Penderita berbaring terlentang, tungkai bawah dipegang, lutut difleksikan 900 dan dilakukan eksorotasi maksimal dan kemudian tungkai diluruskan sambil mempertahankan eksorotasi. Pada kerusakan meniskus, maka 108

penderita merasa nyeri, mungkin dapat diraba adanya krepitasi atau terdengar suara klik dari tanduk depan/belakang atau bagian dari meniskus yang lompat keluar dari antara kondilus femur. Pemeriksaan meniskus medial dilakukan dengan endorotasi maksimal dan mempunyai prinsip serta prosedur pemeriksaan yang sama dengan pemeriksaan eksorotasi maksimal (gambar 4.41). Faktor eksterna penyebab nyeri lutut Nyeri pada lutut tidak selalu oleh karena kelainan pada lutut itu sendiri tapi juga mungkin oleh karena kelainan pada panggul atau daerah lain misalnya nyeri skiatika oleh karena adanya prolapsus diskus intervertebralis. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologis rutin pada kelainan sendi lutut yaitu foto polos AP dan alteral dimana bagian dari femur dan tibia harus terlihat. Pemeriksaan lain adalah Sky line atau pemeriksaan tangesial yang berguna untuk mengetahui osteoartritis patelo-femoral. Pemeriksaan radiologis dengan kontras yaitu artrografi kadangkala bermanfaat pada kelainan-kelainan yang tidak jelas pada sendi lutut. Pemeriksaan lainnya yaitu radioisotope scanning.

109

Tabel 4.15. Klasifiksi kelainan pada sendi lutut


1. Kelainan artikuler sendi lutut Artritis Kelainan mekanik

Artritis piogenik Artritis reumatoid Artritis tuberkulosis Osteoartritis Artritis hemofilik Artritis neuropatik Nyeri anterior lutut

Robekan meniskus Kista meniskus Diskoid lateral meniskus Osteokondritis disekans Benda asing intra-artikuler Dislokasi rekuren patela Disloksai habitual patela

2. Kelainan ekstra-artikuler sendi lutut Deformitas Pembengkakan kistik

Genu varum Genu valgum


Trauma kuadriseps

Bursitis pre-patelar Kista poplitea

Ruptur aparatus Apofisitis dari


tuberkel tibia (penyakit OsgoodSchlatter)

Osifikasi pasca trauma Penyakit Pellegrini-Stieda pada kondilus femur medial

Pemeriksaan Tungkai Bawah, Pergelangan Kaki dan Jari-jari Kaki Kelainan pada kaki menempati frekuensi yang kedua setelah kelainan punggung dalam kasus bedah ortopedi. Beberapa penyebab kelainan pada kaki yaitu: Faktor herediter Kaki merupakan bagian dari badan yang relatif cepat berevolusi sebagai konsekuensi untuk mennunjang dan menopong tubuh yang tegak. Oleh karena itu struktur dan bentuk kaki cenderung bervariasi dan mungkin terjadi gangguan dalam efisiensinya. Tekanan postural Beban tubuh yang berlebihan menyebabkan beban yang harus ditanggung oleh kaki bertambah dan dapat menimbulkan kelainan pada kaki. 110

Pemakaian alas kaki Pemakaian alas kaki terutama pada wanita seperti pemakaian sepatu dengan bentuk dan posisi yang tidak sesuai akan mempengaruhi secara mekanik pada kaki.

Anamnesis Pada anamnesis harus ditanyakan secara jelas distribusi nyeri yang terjadi, di samping riwayat pekerjaan, kebiasaan penderita, riwayat trauma sebelumnya serta gangguan yang terjadi pada saat berdiri dan berjalan.

111

Tabel 4.16. Pemeriksaan klinik pada tungkai bawah, pergelangan kaki dan kaki
1. Pemeriksaan klinik pada tungkai bawah, pergelangan kaki dan kaki Pergerakan (aktif dan pasif, dibandingkan Inspeksi dngan sisi yang normal) Kontur tulang Pergelangn kaki Kontur jaringan lunak Plantar fleksi Warna dan tekstur kulit Ekstensi (dorsofleksi) Adanya jaringan parut atau Sendi subtalar sinus Inversi-adduksi Eversi-abduksi Sirkulasi perifer Sendi midtarsal Denyut a. dorsalis pedis Inversi-adduksi Eversi-abduksi Denyut a. tibialis posterior Jari kaki Denyut a. poplitea Fleksi Denyut a. femoral Ekstensi Pemeriksaan adanya sianosis Stabilitas pada kaki Integritas ligamen khususnya ligamentum Kekuatan lateral dari pergelangan kaki Setiap otot harus di uji dan di Cara berjalan (gait) bandingkan dengan sisi yang Keadaan alas kaki (sepatu) sebelah Bandingkan dengan sisi yang sebelah Penapakan kaki saat berdiri Bentuk arkus longitudinal Bentuk kaki Efisiensi jari kaki Efisiensi otot betis

Suhu kulit Kontur tulang Kontur jaringan lunak Nyeri lokal


2. Pemeriksaan umum Pemeriksaan anggota tubuh lainnya untuk menentukan apakah gejala yang terjadi merupakan manifestasi dasri suatu penyakit sistemik tubuh.

Palpasi

112

Evaluasi status sirkulasi perifer Evaluasi klinik yang dilakukan meliputi keadaan kulit dari kaki, kuku, perubahan warna, suhu, denyutan arteri dan toleransi latihan Pencatatan tekanan sistolik. Bila terdapat iskemik, maka kulit menipis dan tidak elastis. Kuku menjadi buram, menebal dan ireguler. Kaki lebih dingin, berwarna merah bata atau kebiruan (sianotik) pada uji Buerger. Pemeriksaan aliaran darah kaki dengan menggunakan prinsip teknik Doppler Pencatatan volume denyut Arteriografi Struktur arterial serta adaya penyumbatan vaskuler dapat terlihat melalui pemeriksaan radiologis setelah penyuntikan zat kontras. Pemeriksaan gerakan pada pergelangan kaki dan sendi tarsal Secara normal pergerakan pergelangan kaki ke arah ekstensi atau dorso fleksi sebesar 15-200 dan plantar fleksi sebesar 40-500 (gambar 4.43).

113

Pergerakan sendi subtalar dan midtarsal Gerakan pada sendi subtalar dan sendi midtarsal terjadi secara bersama-sama sebagai satu uni kesatuan (gambar 4.44). Gerakan ini meliputi: o Kombinasi gerakan inversi dan adduksi (supinasi) sebesar 50 o Kombinasi gerakan eversi dan abduksi (pronasi) sebesar 50 Pada saat kedua kaki menginjak diperhatikan arkus longitudinalis apakah bentuknya normal atau ceper, apakah ada pes kavus, pes planus, pers valgus atau pes varus. Pemakaian alas kaki Pemeriksaan pada kaki tidak lengkap tanpa disertai dengan pemeriksaan alas kaki yang dipakai,apakah ada tekanan-tekanan tertentu pada alas kaki atau alas kaki tidak sesuai/sempit.

114

Tabel 4.17. Klasifikasi kelainan pada tungkai bawah, pergelangan kaki dan kaki
1. Kelainan pada tungkai bawah Trauma Ruptur tendo Achilles Infeksi Osteomielitis akut Osteomielitis kronik Infeksi sifilis 2. Kelainan pergelangan kaki Artritis Artritis piogenik Artritis reumatoid Artritis tuberkulosis Osteoartritis Artritis gout Artritis hemofilik Artritis neuropatik 3. Kelainan pada kaki Deformitas Kongenital club foot (talipes ekuinovarus) Talipes asesoris valgus Tulang asesoris pada kaki (tulang navikular) Pes kavus Pes planus (kaki ceper) Kelainan postural Strain kaki Bentuk artritis tarsal yang lain 4. Kelainan jari-jari kaki Deformitas Haluks valgus Hammer toe Under-riding toe Artritis Artritis reumatoid Osteoartritis Artritis gout Tumor Tumor jinak tulang Tumor ganas tulang Kelainan sirkulasi Klaudikasio intermiten

Gangguan mekanik pasca trauma Subluksasi rekuren

Osteokondritis Osteokondritis tulang navikular (penyakit Kohler) Artritis Osteoartritis sendi tarsal Lain-lain Nyeri tumit Nyeri alas kaki Kutil plantar Kalositis Ganglion Osteokondritis Osteokondritis pada kaput metatarsal (penyakit Freiberg) Lain-lain Pertumbuhan kuku kaki Eksostosis sub-ungualonikogriposis

Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis rutin yang dilakukan adalah pemeriksaan foto polos AP dan lateral pergelangan kaki 115

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Pada penderita kelainan bedah ortopedi perlu dilakukan neurologis lengkap apabila ditemukan adanya gangguan yang berupa kelemahan otot, gangguan kordinasi serta perubahan sensibilitas. Pemeriksaan neurologis disesuaikan dengan kelainan yang didapatkan atau dicurigai seperti kelemahan otot anggota gerak atas pada spondilosis servikal atau tetraparesis/ tetraplegi setelah suatu trauma pada tulang belakang servikal. Pemeriksaan yang sama misalnya pada paraparesis/paraplegi oleh karena adanya kelainan pada tulang belakang torakal atau lumbal. Juga harus diperiksa adanya gambaran kelainan pada anggota gerak misalnya claw hand, drop foot atau adanya atropi otot pada daerah tertentu

116

Checklist : Muskuloskeletal Exam


Skor No I. 1. 2. 3. Persiapan pasien Menyapa/mengucapkan salam dan memperkenalkan diri Memberikan penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan Aspek Yang Dinilai 0 1 2

II. Pemeriksaan daerah leher 1. 2. 3. 4. Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidak jaringan lunak Feel : suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak Move : Fleksi-ekstensi 1300, Fleksi lateral 450, Rotasi 800 Kelainan saat pergerakan : Ada/tidak rasa nyeri, ada/tidaknya krepitasi

III Pemeriksaan punggung (pasien dalam posisi berdiri) 1. 2. 3. Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidak jaringan parut/sinus Feel : suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move : Sendi spinal : fleksi 800, ekstensi 300, fleksi lateral 350, rotasi 450, ada/tidak : nyeri saat pergerakan, spasme otot

IV. Pemeriksaan Sendi Bahu 1. 2. 3. Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidaknya jaringan parut/sinus Feel : suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move : membedakan pergerakan sendi glenohumeral & sendi skapula pada gerakan abduksi, fleksi, ekstensi, rotasi lateral & rotasi medial ada tidaknya kelainan : nyeri saat pergerakan, spasme otot & krepitasi

117

Skor No 4. 5. 6. V. 1. 2. 3. Aspek Yang Dinilai 0 Pemeriksaan sendi akromioklavikular : bengkak, rasa panas, nyeri & stabilitas Pemeriksaan sendi sternoklavikular : bengkak, rasa panas, nyeri & stabilitas Kekuatan otot : otot servikoskapula, torakoskapula, skapulohumeral Pemeriksaan lengan atas & sendi siku Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidak jaringan parut/sinus Feel : suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move (aktif & pasif) : Sendi humero-ulnar : fleksi 1500, ekstensi 00 Sendi radio-ulnar : supinasi 800, pronasi 900 Kelainan saat pergerakan : nyeri, krepitasi 4. 5. Kekuatan otot : fleksi 1500, ekstensi 00, supinasi 800, pronasi 900 Stabilitas : lig. Lateral & lig. Medial 1 2

VI. Pemeriksaan lengan bawah, pergelangan tangan & jari-jari 1. 2. 3. 4. Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidaknya jaringan parut Feel : suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move (aktif & pasif) : pergelangan tangan, tangan, jari-jari Saraf : N. Medianus : fungsi sensorik dan fungsi motorik N. Radialis : fungsi sensorik dan fungsi motorik N. Ulnaris : fungsi sensorik dan fungsi motorik 5. 6. Sirkulasi : denyut arteri, warna, rasa hangat, pengisian kembali kapiler Kekuatan otot & stabilitas

118

Skor No Aspek Yang Dinilai 0 1 2

VII. Pemeriksaan Panggul 1. Pasien berbaring:

a. Look: kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidak jaringan parut b. Feel: suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal c. Move (aktif/pasif) : fleksi, abduksi saat fleksi, rotasi medial (interna), rotasi lateral (eksterna) d. Pemeriksaan adanya deformitas : uji Thomas e. Pengukuran panjang tungkai : panjang klinik & panjang yang tampak f. Kekuatan otot 2. Pasien berdiri :

a. Pemeriksaan stabilitas postural : uji Trendelenburg b. Cara berjalan (gait) VIII Pemeriksaan Lutut 1. 2. 3. 4. 5. 6. Look : kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit, ada/tidak jaringan parut Feel: suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move (aktif&pasif) : fleksi, ekstensi, nyeri bila digerakkan, krepitasi Kekuatan : fleksi-ekstensi Stabilitas : lig. Medial, lig. Lateral, lig. Krusiatum anterior & posterior Uji rotasi Mc Murray

119

Skor No IX. 1. 2. 3. Aspek Yang Dinilai 0 Pemeriksaan tungkai bawah, pergelangan kaki & kaki Look: kontur tulang, kontur jaringan lunak, warna & tekstur kulit Feel: suhu kulit, kontur tulang, kontur jaringan lunak, nyeri lokal Move (aktif&pasif) : - pergelangan kaki : plantar fleksi, dorsofleksi - sendi subtalar : inversi-adduksi, eversi-abduksi - sendi midtarsal : inversi-adduksi, eversi-abduksi - jari kaki : fleksi & ekstensi 4. 5. 6. 7. 8. X Kekuatan otot Stabilitas : integritas ligamen khususnya ligamentum lateral kaki Penapakan kaki saat berdiri : bentuk arkus longitudinal, bentuk kaki Sirkulasi perifer : denyut a. Dorsalis pedis, a. Tibialis posterior, a. Poplitea, a. Femoralis, ada/tidak sianosis kaki Status neurologik anggota gerak bawah : Uji Straight Leg Raising (SLR) Melaporkan hasil pemeriksaan dan follow up 1 2

Keterangan : 0: Tidak dilakukan 1: Dilakukan tapi kurang benar 2: Dilakukan dengan benar % cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/114 x 100% = %

Banda Aceh, ..2012

Nama Instruktur

120

8. PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu & terlatih melakukan pemeriksaan neurologi secara sistematis & tepat, mencakup : Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale) Pemeriksaan Fisik saraf Otak : I, III, IV, V, VI, VII & XII secara sistematis & tepat Mahasiswa mampu menentukan kesimpulan atas pemeriksaan yang dilakukan (normal/terdapat gangguan) & mengaitkannya dengan kemungkinan diagnosis Sistim saraf pada manusia terletak di dalam tubuh, tidak terlihat secara makroskopis. Untuk mengetahui fungsinya apakah normal atau tidak adalah dengan cara memberikan stimulasi pada target organ yang disarafi. Stimulasi tersebut dilakukan dengan menyesuaikan fungsi organ tersebut. Jenis-jenis pemeriksaan neurologi adalah : - pemeriksaan kesadaran, fungsi kortikal luhur - pemeriksaan nervus kranialis - pemeriksaan rangsangan meningeal - pemeriksaan motorik - pemeriksaan sensorik - pemeriksaan koordinasi - pemeriksaan gerak abnormal - pemerikssan otonom Seluruh pemeriksaan ini harus dilakukan dengan sempurna, agar tidak terjadi salah interpretasi. Pemeriksaan neurologi ini tidak dapat untuk mengambil keputusan diagnosis secara tersendiri, akan tetapi diagnosis tetap ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang.

121

Pemeriksaan Kesadaran. Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi dan bila perlu memberikan rangsang nyeri. 1. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespon secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar dan taktil yang ada disekitarnya. 2. Konversasi. Apakah pasien memberi reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan olah suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat. 3. Nyeri. Bagaimana respon pasien terhadap rangsang nyeri. Substrat Anatomik dari Kesadaran Jumlah input susunan saraf pusat menentukan derajat kesadaran sedangkan cara pengolahan input tersebut sehingga menghasilkan pola output susunan saraf pusat menentukan kualitas kesadaran. Input susunan saraf pusat dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan non spesifik. Dengan adanya dua lintasan aferen tersebut maka terdapat penghantaran aferen yang pada pokoknya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada reseptor ke satu titik pada kortek perseptif primer. Sebaliknya lintasan aferen nonspesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi.

122

Neuron-neuron di seluruh kortek serebri yang digalakkan impuls aferen non spesifik biasa disebut sebagai neuron pengemban kewaspadaan. Aktivitas neuron tersebut digalakkan oleh neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminares dan disebut sebagai neuron penggalak kewaspadaan. Tingkat Kesadaran Tingkat kesadaran dapat dinilai berdasarkan respon seseorang terhadap stimulus. Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran normal (kompos mentis), somnolen, sopor, komaringan, dan koma. Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi, obtudansi. Tingkat keasadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita diba ngunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsa ngan nyeri. Sopor. Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat, namun kesadarannya menurun lagi. Ia dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerakan motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik. Koma-ringan (semi koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil, dll) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri dan tidak terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan. Koma (dalam). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

Pembagian tingkat kesadaran seperti di atas merupakan 123

pembagian dalam pengertian klinis dan tidak ada batasan yang jelas antara tingkatan ini. Pembagian tingkat kesadaran tersebut memiliki kemungkinan diinterpretasikan beragam oleh pemeriksa dan agak sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu di bidang neurologi dibuat sebuah skala yang obyektif untuk menentukan tingkat kesadaran yang dikenal sebagai SKALA KOMA GLASGOW (Glasgow Coma Scale). Skala Koma Glasgow Untuk menentukan tingkat perkembangan kesadaran dapat digunakan Skala Koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respons penderita yang perlu diperhatikan adalah : a. Membuka mata (eye) b. Respon verbal (bicara) (verbal) c. Respon motorik (gerakan) (motorik) A. Membuka mata spontan Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) Dengan rangsangan nyeri (tekan pada saraf supraorbita atau kuku jari) Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 4 3 2

124

B. Respon verbal (bicara)


Baik dan tak ada dis orientasi (dapat menjawab dengan kalimat 5 yang baik dan tahu dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan) Kacau (confused) dapat bicara dalam kalimat, namun ada 4 disorderientasi waktu dan tempat. Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa 3 kalimat dan tidak tepat) Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang) Tidak ada jawaban 2 1

C. Respon motorik (gerakan)


Menurut perintah Misalnya, suruh: Angkat tangan) 6

Mengetahui lokasi nyeri 5 (Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supraorbita, bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsang tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri) Reaksi menghindar 4 Reaksi fleksi (dekortikasi) 3 (Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek keras seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak ada Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2 (dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan) Tidak ada reaksi 1 (Sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus diyakinkan bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat diberikan)

Bila kita gunakan skala Glasglow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah nilai = 3. 125

PEMERIKSAAN SKALA KOMA GLASGOW

126

Checklist : Pemeriksaan Tingkat Kesadaran (GCS)

No 1. 2. 3. 4. 5.

Aspek Yang Dinilai Melakukan pemeriksaan SKG komponen mata (eye/E) Melakukan pemeriksaan SKG komponen motorik (M) Melakukan pemeriksaan SKG komponen verbal (V) Menyebutkan hasil pemeriksaan SKG Menginterprestasikan hasil SKG ke dalam kondisi klinis (sadar/penurunan kesadaran)

Skor 0 1 2

Keterangan: 0 : tidak dilakukan 1 : dilakukan tapi kurang benar 2 : dilakukan dengan benar % cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/10 x 100% = %

Banda Aceh, ..2012 Tanda Tangan

Nama Observer

127

PEMERIKSAAN FISIK SARAF OTAK

128

129

N.I ( Nervus Olfaktorius ) Fungsi : Sensorik khusus menghidu Cara pemeriksaan : 1. Periksa kemampuan pasien dalam persepsi, identifikasi dan menamakan zat yang akan dites persepsi lebih penting daripada kemampuan mengidentifikasi 2. Pastikan lubang hidung tidak ada sumbatan atau kelainan setempat 3. Gunakan alat pengetes yg dikenal sehari-hari (mis. Kopi, tembakau, jeruk), jangan gunakan zat yang merangsang mukosa hidung seperti mentol, amoniak, alkohol, cuka 4. Dengan mata tertutup, tutup salah satu lubang hidung, suruh pasien untuk menciumnya 5. Tanyakan apakah dia dapat mencium bau tersebut dan mengidentifikasinya 6. Periksa lubang hidung yang lain, tetapi jangan berikan zat stimulus dan tanyakan seperti diatas. Hal ini untuk menilai perhatian dan kebenaran laporan yang diberikan pasien 7. Selanjutnya periksa lubang hidung tadi dengan zat stimulus dan bandingkan hasil keduanya 8. Tes ini merupakan tes subyektif, berdasarkan penilaian kualitatif, tergantung dari laporan yang diberikan pasien Penilaian : Anosmia : terjadi pada trauma & infeksi lobus frontal, tumor ( meningiomaSindrom Foster Kannedy ), zat toksik (Ca, timah), hidrosefalus, aging, overstimulation (perokok berat, penggunaan amfetamin & coccaino jk.panjang). anosmia sering disertai dengan berkurangnya rasa pengecapan (mis.pd anemia pernisiosa) Hiposmia / anosmia parsial : dapat terjadi dgn lesi di n.trigeminalis Hipersomia : pada histeria, hiperakusis, migrain, ensefalitis, hiperemesis gravidarum, periode haid, Addisons dis, keracunan striknine. 130

Parosmia : salah menghidu terjadi pd gg. Psikiatrik, trauma terutama didaerah unkus Kakosmia : persepsi bau busuk Halusinasi penciuman : pada lesi vaskular & tumor di korteks, epilepsi Cara membedakan Anosmia pada histeria (bukan kelainan organik) : rangsang dengan zat iritatif yang akan menstumulasi n. Trigeminal. Pada anosmia organik, pasien dapat mengenalinya, tapi pada histeria, pasien tidak dapat mengenalinya.

Lokasi Lesi : Lesi korteks olfaktorius ( lobus temporal ) Jarang terjadi anosmia, kecuali lesi terjadi bilateral, tetapi dapat terjadi hipesmia/smell agnesia Dapat terjadi parosmia, halusinasi olfaktorius Lesi perifer (bulbus/traktus olfaktorius) Dapat bilateral/bilateral anasmia

N.II (Nervus optikus) Fungsi : sensorik khusus melihat Cara pemeriksaan : Mata diperiksa secara bergantian, pastikan bahwa bila satu mata diperiksa, mata yang lain ditutup. Pemeriksaan akan lebih akurat bila penderita dalam keadaan alert (sadar) dan kooperatif Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan N.II dan pemeriksaan juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya hanya dilakukan pemeriksaan N.II secara kasar (ketajaman penglihatan & lapangan pandang), dan oftalmoskopik sebagai pemeriksaan rutin Ketajaman penglihatan (visual acutiy) menggunakan : Snellen Chart dengan jarak G m (Normal = 6/6)untuk lihat jauh, baca huruf dari yang besar ke kecil, dengan jarak 6 meter, terjadi relaksasi akomodasi dan sinar yang masuk paralel 131

Jaoger reading cards, dengan jarak 35,5cmuntuk lihat dekat Bila pasien menggunakan kacamata, tes dilakukan dengan dan tanpa kacamata Untuk bedside test : gunakan bacaan dari buku, bandingkan ketajaman penglihatan denga pemeriksa (dalam hal ini visus pemeriksa harus normal). Bila terdapat visus yang sangat menurun (tidak dapat melihat huruf yang paling besar)lakukan tes hitung jari (1/60), objek bergerak (1/300), kemampuan membedakan terang dan gelap (1/00)

Penilaian : jika terdapat penurunan visus, perhatikan apakah ada kelainan okular lokal (katarak,iritasi konjungtiva, iritsi,uveitis,glaukoma,benda asing,sikatris,arcus senilis) Pinhole test : menentukan apakah gangguan visus disebabkan kelainan refraksi atau kelainan di jalur visual. Pinhole digunakan agar sinar sentral saja yang masuk ke mata. Pada kelainan okular atau optikal, visus akan membaik bila ditest denga pinhole. 2. Warna menggunakan Ishihara card test (tidak rutin dilakukan) 3. Lapangan pandang Tes kelainan lapangan pandang secara kasar : Pasien diminta untuk melihat dengan kedua matanya kearah mata pemeriksa. Letakkan tangan pada kedua sisi kira kira 30cm diatas mata, pada keadaan atas temporel suruh pasien memberitahu jari mana yang bergerak : kiri, kanan, atau keduanya. Ulangi seperti diatas dengan posisi kedua tangan 30cm dibawah mata. Jika salah satu sisi diabaikan ketika kedua jari digerakkan bersamaan, tetapi dapat dilihat bila digerakkan sendiri visual inattention Tes ini juga dapat dipakai pada penderita semitopor,atasia, anak -anak, dan malingerers, dengan cara menggerakkan objek benda yang menarik bagi pasien (mis.segelas air,permen) dari sisi tertentu. Bila terdapat gerakan mata keobjek tersebut mengidinkasikan bahwa objek tersebut terlihat oleh pasien. Cara lain adalah dengan menggunakan cahaya lampu atau menggerakkan tangan dan sisi tertentu 132

secara cepat kearah pasien. Perhatikan apakah pasien berkedip (blink reflex) Tes konfrontasi pemeriksa (Pm) duduk berhadapan dengan pasien (Ps) pada jarak m. Tutup mata kanan Pm dan mata kiri Ps. Fiksasi mata Ps dengan melihat hidung Pm. Periksa masing-masing mata. Gunakan pin putih (untuk lap.pdg perifer)atau pin merah (untuk lap.pandang sentral). Tes melalui berbagai meridian penglihatan dari arah luar ke dalam (biasanya dalam 4 arah). Ps diminta untuk memberitahukan bila dia melihat gerakan obyek pertama kali Perimeter, Kampimeter, Tangent screen. Normalnya lapangan pandang lebih luas pada kuadran interior lateral Hal ini juga tergantung dari bentuk wajah, bentuk orbita, posisi mata pada orbita dan lebarnya fissura palpebra

Penilaian : Monocular field defectslesi anterios dari klasma optikum Bitemporal field defectslesi di klasma optikum Homonymous field defectslesi dibelakang klasma optikum Congruous homonymous field defectslesi dibelakang korpus geniculatum lateral 4. Funduskopi Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan gelap Cari fokus untuk pemeriksaan yang sesuai, jika mata pasien atau pemeriksa hipermetrop putar focus ring searah dengan jarum jam Blia miopia putar berlawanan arah dengan jarum jam. Cari koreksi yang sesuai Suruh pasien melihat jauh kedepan dalam jarak tertentu dan fiksasi matanya dengan melihat benda di depannya. Penderita tidak boleh menggerakkan bola matanya, tetapi boleh mengedipkan matanya. 133

Pegang oftalmoskop dengan tangan kanan. Lihat mata kanan


pasien dengan oftalmoskop pada jarak 30cm dan 15" horisontal dari garis fiksasi Pupil berwarna pink (red reflex), bila terdapat katarak, maka terlihat sebagai suatu silhouettes (web like appearance) Perlahan dekatkan oftalmoskop 1-2 cm dari mata pasien Perhatikan optic disc, pembuluh darah, retina

Penilaian : 1. Optic disc (papilla) Normal : cuping terletak sedikit ke arah nasal dari pusat optic disc, dengan diameter <50% dari disc. Perhatikan batas, ukuran dan warna dari papil. Batas nasal kabur & temporal pucat, papil pucat pada myopic fundus, waarna fundus lebih merah pada hipermetrop normal Papil edema : you see nothing (cant find disc) + patient sees everything Papilitis : you see nothing + patient sees nothing Retrobulbar nouritis : you see everything (normal disc) + patient sees nothing

134

2. Pembuluh darah Arteri mempunyai ukuran lebuh kecil dari vena, dengan perbandingan 2:3 4:5. warnanya lebuh terang dan terdapat refleks cahaya sepanjang permukaannya vena, berwarna merah keunguan dan lebih tebal serta berkelok kelok Ukuran arteri irregular, arteriovenous nipping, neovascularisation, cholesterol embolus 3. Retina : Red lasions : dot haemonhages, blot haemonhages, name haemonhages, subhyaloid haemonages White/yellow lesions : hard exudates, cotton wool spots Black lesions : moles (Normal), laser burns, retinitis pigmentosa, melanoma

N.III (Nervus okulamotorius) N.IV (Nervus trokhlearis) N.VI (Nervus abdusen) Fungsi : Pergerakan bola mata (gerak sakadik, pursuit, vestibular posisional,konvergensi) Posisi bola mata Pupil dan kelopak mata Cara pemeriksaan : Pupil : - perhatikan bentuk, ukuran, isokor atau tidak refleks : cahaya langsung, konsensual, akomodasi konstriksi pupil refleks : Ciliospinal reflek pupil dilatasi pada perangsangan nyeri di leher Oculopupillary reflek pupil konstriksi pada perangasangan nyeri dimata dan sekitarnya Orbicularis reflek konstriksi pupil pada penutupan mata secara paksa 135

Cochleopopillary reflek pupil dilatasi pada perangsangan suara keras Vestibulopupillary reflek pupil dilatasi pada perangsangan labirin Psychic reflek dilatasi pupil sebagai respon terhadap rasa takut, cemas, sexual orgasm Kelopak mata : - Pseudoptosis turunnya kelopak mata sampai dibawah batas pupil, tetapi pasien secara volunter dapat mengangkatnya dengan penuh - ptosis Lihat posisi kepala pada lesi N.IV, kepala miring menjauhi arah lesi Lihat posisi bola mata devergen, konvergen, skew deviation, deviation conjugee Lakukan cover test : (untuk strabismus laten), minta pasien (Ps) untuk melihat dengan kedua matanya ke arah mata kanan pemeriksa (Pm). Kemudian tutup mata kiri Ps (mata yang paresis), maka posisi mata akan menjauhi posisi mata yang paresis, lalu buka dengan cepat dan tutup mata kanan Ps. Jika terdapat Strabismus, maka mata kiri berusaha akan mengadakan koreksi setelah tutup mata dibuka dengan kembali ke posisi semula Gerak pursuit - jari pemeriksa diletakkan kira kira 50cm dari tengah pasien - pasien diminta mengikuti gerak jari tersebut tanpa menggerakkan kepalanya, dan tanyakan apakah dia melihat double - gerakkan jari tersebut dari sisi satu ke sisi lain secara horisontal, atas bawah dari medial dan atas bawah dari lateral - perhatikan apakah kedua mata bergerak dengan mulus dan serempak, atau ada yang tertinggal - bila terdapat melihat double, pastikan apakah bayangan yang timbul : bersebelahan atau atas bawah. Tentukan arah dimana bayangan lebih jelas terlihat. Dalam posisi tersebut, tutup 136

salah satu mata dan tanyakan bayangan mana yang hilang : bagian luar atau dalam. Arah posisi bayangan yang salah menunjukkan gerakan otot yang lumpuh Gerak sakadik - suruh pasien untuk melihat secara cepat bergantian kekanan, kiri, atas bawah - perhatikan apakah gerakan mulus dan penuh Konvergensi - suruh pasien untuk melihat jauh dan kemudian lihat ke jari pemeriksa yang diletakkan 50cm didepan pasien, secara perlahan gerakkan jari kearah mata pasien. Perhatikan adanya konvergensi dari otot-otot bolamata Gerak vestibular posisional (vestibulo-ocular reflex) - suruh pasien untuk melihat jauh dan terfiksasi - kemudian putar kepala pasien secara cepat kekanan, kiri, fleksi dan ekstensi - jika gerakan mata berlawanan dengan arah putaran kepala, maka refleks intak

N.V (Nervus trigeminalis) Fungsi : Motorik : otot mengunyah, membuka menutup mulut, dan menggerakkan rahang Sensorik : wajah Cara pemeriksaan : 1. Motorik - Inspeksi kening dan pipi, apakah ada atrofi dan otot otot masseter dan temporalis - Palpasi otot otot tersebut sambil pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin, perhatikan tonus dan kontraksinya. - Suruh pasien untuk menggigit tongue depressor. Bila terdapat paralisis otot, maka pemeriksa dapat menarik tongue depressor tersebut dengan mudah pada sisi yang lemah - Suruh pasien untuk membuka mulutnya. Paralisis otot pterigoideus lateralis ditandai dengan deviasi rahang ke arah 137

sisi lesi. Adanya deviasi ditandai dengan cara pemeriksa meletakkan pena atau penggaris didepan hidung pasien secara vertikal, kemudian diambil patokan gigi incisivus atas dan bawah, bila ada deviasi maka ada pergeseran dari posisi gigi semula sewaktu membuka mulut. Jangan berpatokan apda posisi bibir. - Minta pasien untuk menggerakkan rahangnya dari satu sisi ke sisi lain melawan tahanan. Paralisis otot disatu sisi, akan menyebabkan pasien tidak mampu menggerakkan rahangnya ke sisi yang berlawanan arah dengan otot yang lumpuh 2. Sensorik Pemeriksaan sensorik dilakukan dalam berbagai modalitas sesuai dengan distribusi daerah seperti yang ditunjukkan pada gambar. Perlu diingat bahwa bagian bawah dan rahang bawah dipersarafi bukan oleh N.V, tetapi oleh C2-3 melalui N. Auricularis 3. Refleks Jaw / masseter / mandibular reflex - pemeriksa meletakkan jari telunjuknya pada pertengahan dagu pasien, dengan posisi mulut sedikit terbuka dan rahang dalam keadaan relaks - pemeriksa mengetukkan refleks hammer keatas jarinya - normal : terjadi kontraksi ringan dari M. Masseter dan temporalis, yang menyebabkan mulut tertutup, atau bahkan sama sekali tidak ada kontraksi - bila terdapat refleks meningkat menandakan lesi supranuklir Refleks kornea - pasien melirik kearah yang berlawanan dengan arah yang akan dirangsang, untuk menghindari adanya refleks visual palpebral atau blink reflex - pemeriksa merangsang dengan mengadakan sentuhan ringan langsung ke kornea menggunakan ujung kapas - perhatikan refleks kornea langsung dan refleks konsensual pada mata kontralateral. Positif jika terdapat kedipan palpebra 138

N.VII (Nervus Fasialis) Fungsi : Somatomotorik otot otot wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus posterior, stapedius telinga tengah Viseromotorik (parasimpatis) : glandula dan mukosa jaring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, glandula submaksilar, sublingual dan lakrimalis Viserosensorik : pengecapan 2/3 anterior lidah Somatosensorik : eksteroseptif overtapping dengan daerah yang juga dipersarafi oleh N.V, IX, X, C2-3. sulit untuk diperiksa secara spesifik Cara pemeriksaan : 1. Motorik : - perhatikan muka penderita simetris atau tidak - perhatikan kerutan pada dahi, plika nasolabialis, sudut mulut, fissura palpebra - minta pasien mengangkat alis dan mengerutkan dahi, lihat kerutannya simetris atau tidak. Pada sisi yang lumpuh kerutan berkurang atau menghilang. Suruh pasien memejamkan mata, kemudian pemeriksa mengangkat kelopak mata pasien sementara pasien masih tetap memejamkan matanya. Jika terjadi kelumpuhan maka pasien tidak dapat mempertahankan pejamannya pada sisi yang lumpuh - Minta pasien menyeringai, mencucurkan bibir, menggembungkan pipi. Pada sisi yang lumpuh sudut mulut tertinggal. Pada pasien yang tidak sadar, dapat diberikan rangsang nyeri dengan menekan sudut rahangnya, lihat apakah simetris atau tidak 2. Viseromotorik (fungsi sekresi) : schimers test (Lacrimal reflex) dengan meletakkan kertas saring atau litmus dibawah kelopak mata bawah. Bandingkan sekresi air mata pada kedua sisi, sama atau tidak

139

salivary reflex letakkan substansi yang merangsang (lemon drop) diatas lidah, kemudian suruh penderita untuk menaikkan lidahnya. Jika tidak ada gangguan pada fungsi sekretorik, maka terlihat aliran saliva dari duktus submaksilar.

3. Sensorik pengecapan : Gunakan 4 macam rasa dalam larutan : gula, garam, asam asetat, kuinine Pasien diminta untuk menjulurkan lidahnya keluar, dan taruh pada lidahnya ke 4 macam rasa tadi secara bergantian. Pastikan bahwa substansi itu ditaruh hanya di 2/3 anterior lidah. Gunakan cotton aplicator untuk menaruh substansi tadi Apabila cairan ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya kedalam mulut. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat atau dengan menulis diatas kertas Mulut harus dibersihkan denga air antara tes rasa yang satu dengan lainnya. Rasa pahit sebaiknya dites terakhir karena meninggalkan rasa yang lebih lama 4. Refleks Chovstek sign : lakukan ketukan ringan dibagian depan telinga. Bila positf , terjadi kontraksi otot yang dipersarafi dapat normal atau tetani Refleks orbikularis oris : lakukan ketukan diatas bibir atas terjadi kontraksi dari bibir atas ipsilateral. Bila ketukan dilakukan pada mentalis terjadi elevasi dan protrusi bibir bawah dan kerutan kulit pada daru = perioral, oral, buccal, nasomental reflex. Positif pada lesi kortikobulbar dan ekstrapiramidal. Bila respon semakin meningkat dan terjadi kerutan, pretrusi bibir sampai pada batas hidung bawah snout reflex

140

N.VIII (Nervus vestibulo kokhlearis) Fungsi : N. Kokhlearis pendengaran N. Vestibularis keseimbangan, koordinasi dan orientasi Cara pemeriksaan : 1. Pendengaran :
lakukan tes secara kasar dahulu dengan menyuruh pasien mendengarkan bisikan pada jarak tertentu atau gosokkan ibu jari dan telunjuk. Bila terdapat perbedaan gunakan tes Rinne, waber, schewabach, audiogram gunakan garputala berfrekuensi 128, 256, 512 Hz

Tes Rinne : - Membandingkan konduksi tulang dan udara + bila konduksi udara lebih baik daripada tulang - bila konduksi tulang lebih baik dari pada udara Tes Weber : lateralisasi suara kearah telinga yang lebih keras Penilaian : tuli persepsis : Rinne + , lateralisasi ke telinga sehat tuli konduktif : Rinne - , lateralisasi ke telinga sakit 2. Keseimbangan, koordinasi dan orientasi : Vertigo Fukudas stepping test pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata tertutup selama 1 menit (50x). Normalnya rotasi badan < 30, dan pergerakan maju atau mundur < 1m Dengan mata terbuka dan penderita berdiri dengan merapatkan kedua kakinya, perhatikan jatuh ke sisi mana. Dengan mata tertutup (Romberg test), tangan dilipat pada dada atau direntangkan ke depan. Jika terdapat kelainan akan jatuh ke sisi lesi Berjalan tandem penderita berjalan dengan tumit kaki yang satu di depan jari jari kaki yang lainnya. Perhatikan apakah ada deviasi Past pointing (kinetic deviation) : penderita disuruh 141

merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi tinggi atau menurunkan lengannya sampai posisi vertikal, dan kemudian kembali ke posisi semula. Pergerakan harus terjadi pada sendi bahu. Hal ini dilakukan bergantian pada lengan kanan dan kiri. Perhatikan apakah ada deviasi. Bila tes ini dilakukan berulang ulang, maka akan meningkatkan deviasinya Nylen Barany maneuver ( Ballpike maneuver ) : Pasien disuruh duduk di tempat tidur. Kemudian rebahkan secara mendadak sampai kepalanya menggantung di pinggir tempat tidur dengan sudut 45 dibawah bidang horisontal. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri 45. Penderita disuruh tetap membuka matanya, dan perhatikan apakah timbul vertigo dan nistagmus. Kemudian ulangi pemeriksaan dengan kepala menoleh ke sisi lainnya Bedakan vertigo dan nistagmus yang timbul baik dari berat ringannya, onset, durasi, habituasi dan arahnya.
Vertigo Latensi Latique habituasi Arah Lesi perifer Berat + (2-20 dtk) ++ (<1mnt) + Horisontal onidireksional,rotatoar Lesi sentral Ringan - (>1mnt) Horisontal bidireksional, vertikal

Tes kalori Sebelum melakukan tes, pastikan kanal bersih dari serumen dan darah. Periksa apakah membran timpani dalam keadaan intak. Bila terdapat perforasi gunakan larutan antiseptik Pasien dalam posisi berbaring dengan kepala 30 ke depan, atau duduk dengan kepala miring 90-120 ke depan atau 60 ke belakang, agar posisi kanal lateral labirin berada dalam posisi vertikal Fiksasi mata pasien terhadap objek diam. Air yang digunakan 142

biasanya sekitar 7-8 di atas atau dibawah suhu tubuh normal. Air disemprotkan dengan menggunakan tabung suntik Masukkan 100cc air untuk menimbulkan respon dalam waktu 40 detik, dan dapat diulangi bila belum timbul respon. Gunakan air hangat terlebih dahulu Setelah istirahat 5 menit, tes telinga yang lainnya, dan bandingkan respon yang timbul Pada orang normal, lama nistagmus yang timbul hampir serupa, tetapi ada juga orang yang pada stimulasi minimal tidak timbul nistagmus. Untuk itu dapat digunakan air es 0-5, semprotkan sebanyak 5cc selama 20 detik, bila tidak timbul respon, masukkan 20cc selama 30 detik. Bila masih tidak timbul respon, dianggap labirin tidak berfungsi

Refleks : Vestibulopupillary reflex : dilatasi pupil pada perangsangan sistem labirin Vestibulo-oculogyric reflex (Dolls head phenomenon) : pergerakan bola mata pada perubahan posisi kepala Vestibulospinal reflexes fukuda test

143

N.IX (Nervus glosofaringeas) N.X (Nervus vagus) Pemeriksaan : 1. Fungsi motorik : Pasien disuruh menyebutkan aaaaa........ perhatikan kualitas suara pasien : disfonia, afonia Perhatikan apakah ada disartria berupa sengau. Periksa juga dengan menyuruh penderita menggembungkan pipi. Bila terdapat kelumpuhan penderita tidak dapat melakukannya karena udara keluar melaui hidung Penderita disuruh memakan makanan, apakah ada disfagia terutama bila menelan cairan Penderita disuruh membuka mulutnya, perhatikan palatum molle, arkus faring dan uvula, apakah kedudukan simetris. Kemudian suruh penderita untuk menyebut aaa........... bila terjadi kelumpuhan, maka palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih rendah dari sehat, dan seolah olah uvula tertarik ke bagian yang sehat Fungsi viseromotorik : mengatur kelenjar untuk salivasi 2. Fungsi sensorik Pemeriksaan somatosensorik sulit untuk dites secara spesifik, karena banyak persarafan yang overlapping Fungsi viserosensorik 1/3 posterior lidah. Tidak diperiksa secara rutin, karena sukar. 3. Refleks : Refleks faring (gag reflex) : rangsang ringan dinding faring atau tonsil atau lidah belakang dengan tongue spatel. Refleks positif bila terjadi elevasi dan konstriksi otot faring, disertai dengan retraksi lidah. Jika rangsang cukup kuat dapat juga membangkitkan refleks muntah Refleks palatal / uvular : stimulai darah lateral dan inferior uvula atau pallatum molle dengan tongue spatel. Refleks positif jika terdapat elevasipallatum molle dan retraksi uvula. Refleks ini kurang sensitif dibandingkan dengan refleks faring 144

Refleks sinus karotikus : kita tekan sinus karotikus pada perabaan arteri karotis komunis, timbul bradikardi, penurunan tekanan darah dan curah jantung, serta vasodilatasi perifer. Tetapi pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin Nasal, sneeze, stimutatory reflex : perangsangan mukosa hidung dengan sentuhan kapas, menimbulkan bersin. Refleks batuk : stimulasi pada faring, laring, trakea, percabangan bronkus menimbulkan batuk Hiccup (singultus) : kontraksi diafragma, sehingga udara diinspirasi dengan kuat. Terjadi karena spasme laringeal Refleks okulokardiak : bila mata ditekan ringan, maka akan terjadi penurunan detak jantung

N.XI (Nervus aksesorius) Fungsi : Memiringkan kepala Pergerakan mengangkat bahuPergerakan rotasi leher, Pemeriksaan : Otot sternokleidomastoideus - Lakukan inspeksi : perhatikan apakah ada atrofi - Periksa kekuatan otot antara kedua sisi. Kita suruh pasien menoleh kekanan, kemudian kita tahan dengan tangan kita yang ditempatkan di dagu. Palpasi otot yang berkontraksi. Lakukan juga pada sisi yang lain. Bandingkan kekuatan dan kontraksi otot keduanya - Kekuatan otot kedua sisi juga dapat diperiksa secara bersamaan dengan menahan kepala pasien pada dahi, dan pasien disuruh memfleksikan kepalanya ke depan Otot trapezius - Pada inspeksi : perhatikan apakah ada atrofi dan bagaimana kontur otot. Periksa apakah posisi bahu simetris, atau yang lebih rendah - Kemudian lakukan palpasi untuk mengetahui konsistensinya - Tempatkan tangan pemeriksa pada bahu pasien, kemudian pasien disuruh mengangkat kedua bahunya. Bandingkan kekuatan kiri dan kanan 145

Pada sisi yang paralisis dapat juga terdapat winging scapula, dimana bila penderita mengekstensikan lengannya ke anterior horisontal, perhatikan batas atas skapula cenderung jatuh ke lateral dan sudut bawahnya masuk kedalam Bila terdapat kelumpuha bilateral, kepala cenderung jatuh ke depan dan penderita tidak mampu mengangkat dagunya, bahu jatuh seithimgga bentuknya seperti persegi (drooping sagging appearance)

N.XII (Nervus hipoglosus) Fungsi : pergerakan dan artikulasi lidah Pemeriksaan : Suruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dalam mulut. Perhatikan adanya atrofi, fasikulasi dan tremor. Membedakan tremor dan fasikulasi agak sulit, tetapi biasanya pada lidah dalam keadaan istirahat, tremor berkurang atau menghilang. Bila ada kelumpuhan, maka lidah akan berdevisiasi ke arah yang sehat Suruh penderita untuk menjulurkan lidahnya. Jika terdapat kelumpuhan, lidah akan mencong kesisi yang lumpuh. Bila disertai kelumpuhan N.VII, maka posisi mulut juga mencong, sebagai patokan gunakan garis antar kedua gigi insisivus Kita juga menilai kekuatan lidah. Suruh penderita untuk menekankan lidah pada pipinya. Kita nilai kekuatannya dengan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Bila terdapat paresis lidah bagian kiri, maka lidah tidak dapat ditekankan ke pipi sebelah kanan Jika terdapat kelumpuhan bilateral, lidah tidak dapat digunakan atau dijulurkan.

146

Checklist Pemeriksaan saraf Kranialis I, III, IV, VI & V


No Aspek Yang Dinilai Skor 0 1 2

1 Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik : a. Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan. b. Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan. 2 Melakukan pemeriksaan saraf kranialis I

a. Memastikan lubang hidung tidak ada sumbatan atau kelainan setempat b. Mempersiapkan bahan perangsang bau : Kopi, tembakau, jeruk c. Pasien menutup mata kemudian menutup salah satu lubang hidung dan pasien disuruh untuk mencium bahan yang di dipersiapkan d. Menilai apakah : pasien dapat menciumnya/tidak, kemudian identifikasikan bau bahan tersebut e. Lakukan pada hidung sebelahnya tanpa pemberian stimulus f. Melakukan pemeriksaan hidung sebelahnya dengan zat stimulus dan bandingkan hasil keduanya g. Memberikan informasi hasil pemeriksaan : normal/tidak 3 Melakukan pemeriksaan saraf kranilais III, IV, VI a. Pemeriksaan pupil : perhatikan bentuk, ukuran, isokor atau tidak, reflek cahaya langsung, konsensual, akomodasi b. Pemeriksaan kelopak mata : adakah pseudoptosis, ptosis c. Lihat posisi bola mata: orto, divergen, convergen, skew deviation, deviation conjugee d. Pemeriksaan gerak pursuit : - Jari pemeriksa diletakkan 50 cm dari mata pasien, kemudian menggerakkan mengikuti huruf "H"

147

No

Aspek Yang Dinilai - Menyuruh pasien mengikuti arah jari pemeriksa tanpa menggerakkan kepalanya - Memperhatikan kedua mata bergerak : mulus & serempak atau ada yang tertinggal - Memberikan informasi hasil pemeriksaan saraf kranialis III, IV, VI

Skor 0 1 2

4 Melakukan pemeriksaan saraf kranialis V a. Pemeriksaan Motorik Inspeksi kening dan pipi, apakah ada atrofi dan otot-otot massseter dan temporalis Palpasi otot-otot tersebut sambil pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin, perhatikan tonus dan konstraksinya Menyuruh pasien untuk menggigit tongue depressor, kemudian tariklah: apakah terdapat paralisis otot atau tidak Menyuruh pasien untuk membuka mulutnya: apakah terdapat deviasi atau tidak Menyuruh pasien untuk menggerakkan rahangnya dari satu sisi ke sisi lain melawan tahanan: apakah terdapat paralisis atau tidak b. Pemeriksaan Sensorik : sensasi raba halus dermatom nervus V 1, 2, 3 c. Refleks : masseter/mandibular

d. Melaporkan hasil pemeriksaan N. V 5 Melaporkan hasil pemeriksaan & follow up Keterangan : 0: Tidak dilakukan 1: Dilakukan tapi kurang benar 2: Dilakukan dengan benar % cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/52 x 100% = %

Banda Aceh, ..2012

148

Checklist Pemeriksaan saraf Kranialis VII & XII


Skor No 1 a. b. 2 I. Aspek Yang Dinilai 0 Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik : Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan. Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan. Melakukan pemeriksaan saraf kranialis VII Pemeriksaan motorik a. memperhatikan kesimetrisan wajah pasien b. memperhatikan kerutan plika nasolabialis, sudut mulut & fissura palpebra c. menyuruh pasien mengangkat alis & mengerutkan dahi (simetris/tidak) d. menyuruh pasien memejamkan mata & mengangkat kelopak mata e.menyuruh pasien menyeringai, mencucurkan bibir & mengembungkan bibir (simetris/tidak) II. Pemeriksaan Sensorik a. mempersiapkan larutan gula, garam, kina & asam asetat b. menyuruh pasien metup mata & menyulurkan lidah keluar c. meletakkan larutan yang diperiksa di 2/3 anterior lidah menggunakan aplikator d. menyuruh pasien menyebutkan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat e. menyuruh pasien berkumur-kumur sebelum melanjutkan dengan pemeriksaan larutan selanjutnya f. melaporkan hasil pemeriksaan 3 Melakukan pemeriksaan saraf kranialis XII a. menyuruh pasien membuka mulut & memperhatikan keadaan lidah saat istirahat : deviasi, atrofi, fasikulasi & tremor b. menyuruh pasien menjulurkan lidah untu kmelihat : deviasi/tidak c. menyuruh pasien menekankan lidah ke bagian dalam pipi & menahannya dengan jari, menilai : kekuatan lidah 4 Melaporkan hasil pemeriksaan & follow up 1 2

Keterangan : 0: Tidak dilakukan 1: Dilakukan tapi kurang benar 2: Dilakukan dengan benar % cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/34 x 100% = % Banda Aceh, ..2012 Nama Instruktur

149

PEMERIKSAAN REFLEKS

Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan reflek secara benar & mampu mengaitkan dengan keadaan klinis pasien sehingga kemungkinan diagnosis dapat dilakukan Secara sederhana dapat dikatakan bahwa refleks adalah jawaban atas rangsangan. Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktifasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya : refleks tendon lutut timbul karena adanya rangsangan (ketokan), reseptor, serabut aferen, ganglion spinal, neuron perantara, sel neuron motorik, serabut eferen dan efektor (otot). Hal ini dinamakan lengkung refleks (refleks arc).Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Jenis Refleks Dalam praktek sehari-hari biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu: refleks dalam dan refleks superfisial. Refleks Dalam (refleks regang otot) Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi.refleks dalam juga dinamai refleks regang otot. Nama lain refleks ini adalah refleks tendon, refleks periostal, refleks miotatik dan refleks fisiologis. Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot. Refleks Superfisial Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada dibawahnya atau disekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam. Tingkat jawaban Refleks 150

Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu: - ( negatif) : tidak ada refleks sama sekali : kurang jawaban, jawaban lemah + : Jawaban normal ++ : jawaban berlebih, refleks meningkat Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk mengetahui apakah ada kontraksi, kadang-kadang kita perlu pula melakukan sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekali kemungkinan hal ini disebabkan oleh keadaan patologis Pada pemeriksaan refleks jangan lupa membandingkan bagianbagian yang simetris (kanan dan kiri)

I. Refleks Fisiologis 1. Refleks Biseps Cara : Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari diatas tendon otot biseps. Ibu jari kemudian diketok Hasil : gerakan fleksi lengan bawah Pusat refleks : C5-C6

2. Refleks Triceps

151

Cara : pegang lengan bawah pasien yang difleksikan setengah ( semi fleksi) kemudian diketok pada tendon insersi m.triseps yang berada sedikit diatas olekranon. Hasil : ekstensi dari lengan bawah Pusat refleks : C6-C8

152

3. Refleks Kuadricep femoris (refleks tendon lutut, refleks patella) Cara : tungkai difleksikan dan digantungkan,misalnya pada tepi tempat tidur ketok pada tendon muskulus kuadriceps femoris,dibawah atau diatas patella (biasanya dibawah patella ) Hasil : kontraksi kuadriceps femoris dan ekstensi tungkai bawah Pusat refleks : L2, L3, L4

153

4. Refleks tendon Achilles/ refleks triceps sure Dalam bahasa belanda disebut Achilles Pees Reflex disingkat APR

Cara : Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki tendon Achilles diketok Hasil : kontraksi dari M.triceps sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada kaki Pusat refleks: S1, S2 II. Refleks Patologis 1. Refleks Babinski

Cara :

pasien berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan pegang pergelangan kaki tetap pada tempatnya lakukan goresan pada telapak kaki bagian lateral,mulai dari tumit menuju pangkal jari. Reaksi Positif: gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lain 154

2. Refleks Chaddock Cara : Pasien baring dan istirahat dengan tungkai diluruskan melakukan goresan pada bagian lateral malleolus Reaksi Positif: gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lain 3. Refleks Gordon Cara : Pasien baring dan istirahat dengan tungkai diluruskan Melakukan cubitan pada otot betis Reaksi Positif : gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lain 4. Refleks Schaefer Cara : Pasien baring dan istirahat dengan tungkai diluruskan Melakukan Cubitan pada tendon Achilles Reaksi Positif : gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lain 5. Refleks Oppenheim Cara : Pasien baring dan istirahat dengan tungkai diluruskan Mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior, arah mengurut kebawah (distal) Reaksi Positif : gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lain

155

156

Check list Pemeriksaan Refleks


Skor 0 1 2

No 1. a. b. 2. a. b. c d. 3. 4 a. b. c. d. e. 5

Aspek Yang Dinilai Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik : Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan. Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan. Melakukan pemeriksaan refleks fisiologis Melakukan pemeriksaan refleks Biceps Melakukan pemeriksaan refleks Triceps Melakukan pemeriksaan refleks Patella Melakukan pemeriksaan refleks Tendon Achilles Melaporkan hasil pemeriksaan refleks fisiologis Melakukan pemeriksaan refleks patologis Melakukan pemeriksaan refleks Babinski Melakukan pemeriksaan refleks Chaddock Melakukan pemeriksaan refleks Oppenheim Melakukan pemeriksaan refleks Gordon Melakukan pemeriksaan refleks Schaefer Melaporkan hasil pemeriksaan refleks patologis

Keterangan : 0: Tidak dilakukan 1: Dilakukan tapi kurang benar 2: Dilakukan dengan benar % cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/26 x 100% =

Banda Aceh, ..2012 Nama Instruktur

157

9. PEMERIKSAAN FISIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK (ENT Physical Examination)


PENDAHULUAN Pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan-kelainan pada telinga, mulai dari telinga bagian luar sampai telinga dalam yang dapat memberikan gangguan fungsi pendengaran dan keseimbangan; kelainan-kelainan pada hidung dan tenggorok yang dapat memberikan gangguan penghidu dan pengecapan. Dalam penegakan diagnosis penyakit THT memerlukan kemampuan dan keterampilan dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaannya, karena kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik sebagai syarat bila terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala dan leher. Pemeriksaan THT membutuhkan beberapa syarat, yaitu : 1. Dilakukan dalam ruangan yang sedikit gelap dan tenang. 2. Memakai lampu kepala atau reflektor, oleh karena bagian yang akan diperiksa misalnya telinga, hidung dan tenggorokan, terletak jauh ke dalam dan harus dilihat dengan cahaya. 3. Memakai alat dan bahan khusus. TUJUAN PEMBELAJARAN Tujuan Umum Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa diharapkan terampil dalam melakukan pemeriksaan fisik telinga hidung dan tenggorok secara baik dan benar. Tujuan Khusus Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga hidung dan tenggorok. 2. Mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan THT. 158

3. Mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok. 4. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok. Persiapan sebelum melakukan pemeriksaan THT-KL antara lain : 1. Persiapan alat dan bahan Telinga : - Lampu kepala (head lamp) - Corong telinga dengan berbagai ukuran - Aplikator (alat pelilit) kapas - Pinset telinga - Cerumen hook dan cerumen spoon (pengait serumen) - Otoskop - Otopneumoscope - Suction, dengan tip suction berbagai ukuran - Nierbekken - Spuit irigasi telinga - Garpu tala 1 set (128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz) - Alkohol 70% - Merkurokrom atau Betadine - Salep kloramfenikol, salep kortikosteroid - Kapas - Tampon telinga - Lampu spiritus (Bunsen) & korek api Hidung : - Spekulum hidung dengan berbagai ukuran - Cermin nasofaring (no. 2-4) - Pinset bayonet - Suction - Pengait benda asing hidung - Spatula lidah - Larutan xylocain spray 159

Tenggorok : -

Adrenalin 1/10.000 Pantokain 2% Salep antibiotika atau vaselin Kapas Tampon hidung Lampu spiritus (Bunsen) & korek api Spatula lidah Cermin laring (no. 5-8) Nierbekken Lampu spiritus (Bunsen) & korek api Kapas Kassa

2. Posisi duduk antara pemeriksa dengan penderita Pemeriksa dan pasien masing-masing duduk berhadapan dengan sedikit menyerong, kedua lutut pemeriksa dirapatkan dan ditempatkan berdampingan dengan kaki penderita. Bila diperlukan posisi-posisi tertentu penderita dapat diarahkan ke kiri atau kanan. Kepala penderita difiksasi dengan bantuan seorang perawat. Pada anak kecil yang belum koperatif selain diperlukan fiksasi kepala, 160

sebaiknya anak dipangku oleh orang tuanya pada saat dilakukan pemeriksaan. Kedua tangan dipeluk oleh orang tua sementara itu, kaki anak difiksasi diantara kedua paha orang tua.

3. Pemasangan lampu kepala - Sebelum diletakkan di kepala, ikatan lampu kepala dilonggarkan dengan memutar pengunci ke arah kiri. - Posisi lampu diletakkan tepat pada daerah glabella atau sedikit miring ke arah mata yang lebih dominan. - Bila lampu kepala sudah berada pada posisi yang benar, ikatan lampu dieratkan dengan memutar kunci ke arah kanan. Pungunci ikatan lampu kepala harus berada di sebelah kanan kepala. 161

- Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya ke arah telapak tangan yang diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu kepala. Besar kecilnya fokus cahaya diatur dengan memutar penutup lampu kepala ke arah luar sampai diperoleh fokus cahaya lampu yang kecil, bulat dengan tingkat pencahayaan yang maksimal. Lingkaran fokus dari lampu dengan diameter 1 cm. - Diusahakan agar sudut yang dibentuk oleh jatuhnya sumber cahaya kearah obyek yang berjarak kurang lebih 30 cm dengan aksis bola mata, sebesar 15 derajat.

I. PEMERIKSAAN TELINGA (OTOSKOPI)


Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membrana timpani. Sebelum melakukan otoskopi kita perhatikan dahulu keadaan dan bentuk daun telinga dan daerah sekitarnya. Telinga luar diperiksa dengan inspeksi dan palpasi langsung. Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan bentuk daun telinga, tanda-tanda peradangan, sikatrik, tumor dan sekret yang keluar dari liang telinga. Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan dan belakang. Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada telinga, apakah ada nyeri tekan (Tragus sign), nyeri tarik (Auricular sign) atau tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan post 162

aurikuler (retroaurikuler). Pada daerah mastoid (di belakang telinga) amati adakah abses atau fistel. Mastoid diperkusi untuk menentukan nyeri ketok.

Pemeriksaan liang telinga dan membrana timpani dilakukan dengan memposisikan liang telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang telinga yang sejajar dengan arah pandang mata sehingga keseluruhan liang telinga sampai permukaan membrana timpani dapat terlihat. Posisi ini dapat diperoleh dengan menjepit daun telinga dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah dan menariknya ke arah superior-dorso-lateral dan mendorong tragus ke anterior dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini dilakukan dengan tangan kiri bila akan memeriksa telinga kanan dan sebaliknya digunakan tangan kanan bila akan memeriksa telinga kiri. Sedangkan pada anak ditarik ke arah inferior-dorso-lateral. Pada kasus-kasus dimana kartilago daun telinga agak kaku atau kemiringan liang telinga terlalu ekstrim atau terlalu banyak rambut liang telinga dapat digunakan bantuan corong telinga yang disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Corong telinga dipegang dengan menggunakan tangan yang bebas. Pada anak oleh karena liang telinganya kecil lebih baik menggunakan corong telinga.

163

Untuk memeriksa liang telinga dan membrana timpani, kepala pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa. Amati liang telinga dengan seksama apakah lapang atau sempit, ada stenosis atau atresia meatal, obstruksi yang disebabkan oleh sekret, jaringan ikat, benda asing, serumen obsturan, polip, jaringan granulasi, hiperemis, edema atau furunkel. Semua sumbatan ini sebaiknya disingkirkan agar membrana timpani dapat terlihat jelas. Diamati pula dinding liang telinga ada atau tidak laserasi. Liang telinga dibersihkan dari sekret dan serumen dengan menggunakan aplikator kapas, bilas telinga atau dengan suction. Untuk dapat melihat bagian-bagian membrana timpani lebih jelas dapat menggunakan alat otoskop. Pengamatan terhadap membrana timpani dilakukan dengan memperhatikan permukaan membrana timpani, posisi membrana, warna, ada tidaknya perforasi, refleks cahaya, gerakannya, struktur telinga tengah yang terlihat pada permukaan membrana seperti manubrium mallei, prosesus brevis, plika maleolaris anterior dan posterior. Untuk mengetahui mobilitas membrana timpani digunakan otopneumoskop. Teknik menggunakan otoskop Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi 164

otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang dengan tangan lainnya dengan mantap dan ditarik ke atas, ke belakang dan sedikit ke luar (arah postero superior). Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa, sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas membrana timpani. Sedangkan pada anak ke arah postero inferior. Spekulum dari otoskop dimasukkan dengan lembut dan perlahan ke kanalis telinga, dan mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat kanalis dan membran timpani. Spekulum terbesar yang dapat dimasukkan ke telinga (biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak ke depan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel yang sensitif, maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak menimbulkan nyeri.

165

Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing; dalam kanalis auditorius eksternus dicatat. Membran timpani sehat berwarna putih mutiara. Bentuknya tidak datar akan tetapi berbentuk kerucut dengan puncaknya atau umbo mengarah ke kavum timpani. Letaknya tidak tegak lurus pada liang telinga akan tetapi membuat suatu sudut 45 dengan permukaan horizontal dan sagital. Liang telinga dasarnya agak menurun dekat membrana timpani sehingga terdapat suatu ruangan yang dinamakan sinus meatus. Disini sering air berkumpul setelah mandi hingga pendengaran berkurang. Penanda harus dilihat mungkin pars tensa dan reflek cahaya, umbo, manubrium mallei, dan prosesus brevis. Gerakan memutar lambat spekulum memungkinkan penglihatan lebih jauh. Gambaran yang dapat dilihat pada membrana timpani : 1. Refleks cahaya (Cone of light), jalannya dari sentrum (umbo) menuju ke muka bawah. Refleks cahaya ini disebabkan oleh karena pada bagian ini letak membrana timpani tegak lurus pada cahaya yang masuk sehingga cahaya lampu kembali mengenai mata kita. 2. Dari umbo ke arah atas muka tampak manubrium malei. 3. Pada ujung membrana timpani tampak titik putih, juga merupakan bagian dari malleus yang dinamakan prosessus brevis. 4. Dari sini tampak adanya lipatan ke muka dan ke belakang disebut plica malleolaris anterior dan posterior, sehingga 166

membrana timpani dibagi atas: pars flaccida (bagian atas) dan pars tensa (bagian bawah). 5. Karena membrana timpani tipis dan dapat ditembus cahaya sehingga ada kalanya nampak incus dan promontorium Pada lipatan malleus, daerah perifer dan warna membrana begitu juga tanda yang tak biasa atau deviasi reflek cahaya dicatat. Adanya cairan, gelembung udara, atau massa di telinga tengah harus dicatat.

Kelainan-kelainan pada membrana timpani : 1. Warna - agak merah : pada tuba katar akut - merah : pada otitis media akut - putih :pada tuba katar kronik, otitis media kronik yang sembuh. - biru : pada perdarahan dalam kavum timpani - agak kekuning-kuningan mengkilat: pada tuba katar eksudativa - bercak-bercak putih :perkapuran pada membrana timpani 2. Retraksi : pada tuba katar akut dan tuba katar kronik 3. Membrana timpani menonjol keluar (bulging) : pada otitis media akut disebabkan adanya tekanan cairan dalam kavum timpani. 4. Perforasi : Letak sentral (tipe rinogen) atau marginal (attik, tipe mastoid). Bila letaknya sentral biasanya pada bagian belakang bawah 167

disebabkan komplikasi penyakit di hidung atau faring. Bentuk perforasi : a. besar, kecil, bundar, oval, bentuk ginjal atau hati b. bila besar dinamakan perforasi subtotal c. bila tidak ada membrana timpani lagi sama sekali dinamakan perforasi total 5. Granulasi atau polip : Berasal dari kavum timpani. Granulasi warnanya merah, mudah berdarah. Polip warnanya pucat mengkilat. 6. Cairan : Dapat serous, seromucous, mukopurulen, pus, sanguineus. Tidak busuk : berasal dari perforasi sentral, tapi lama-lama dapat juga menjadi busuk. Busuk : pada perforasi marginal, karena ada nekrose tulang. Bila cairan berbenang-benang menandakan berasal dari cairan kavum timpani. Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus dan membrana timpani yang baik hanya dapat dilakukan bila kanalis tidak terisi serumen yang besar. Serumen terdapat di kanalis eksternus, dan bila jumlahnya sedikit tidak akan mengganggu pemeriksaan otoskopi. Bila serumen sangat lengket maka sedikit minyak mineral atau pelunak serumen dapat diteteskan dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan kembali lagi.

II. PEMERIKSAAN PARANASALIS

HIDUNG

DAN

SINUS

Pemeriksaan Hidung dari luar Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar dan daerah sekitarnya. - Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan bentuk hidung, tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari rongga hidung.

168

Bila punggung hidung lebar, kemungkinan dalam hidung ada polip, bila punggung hidung turun, kemungkinan ada perforasi pada septum nasi. - Palpasi dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi. Krepitasi dan deformitas dorsum nasi dapat kita temukan pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis. Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.

Rinoskopi Anterior (RA) Pemeriksaan RA memakai lampu kepala dan spekulum hidung (Hartmann) yang sesuai dengan besarnya lubang hidung. Cara menggunakan spekulum hidung : Spekulum digenggam sedemikian rupa dengan tangkai bagian bawah dari spekulum ditekan oleh jari tengah, jari manis dan jari kelingking dari tangan sebelah kiri sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari-jari tersebut. Ujung jari telunjuk diletakkan pada ujung hidung pasien sebagai fiksasi disekitar hidung dan ibu jari diluruskan. Ujung spekulum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung, jangan mengenai bagian dalam hidung karena nanti 169

yang diperiksa merasa nyeri. Di dalam rongga hidung ujung spekulum dibuka. Jangan memasukkan ujung spekulum terlalu dalam atau membuka ujung spekulum terlalu lebar. Oleh karena itu membuka lubang hidung jangan keras-keras, harus perlahan-lahan dan tenang (with a ladies hand). Dilihat dahulu vestibulum nasi. Pemeriksaan vestibulum dapat juga dengan cara mendorong ujung hidung ke atas (pada anak-anak). Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari luasnya lapang/sempit, dasar rongga hidung, konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga hidung, ada tidaknya massa, benda asing dan sekret. Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior. Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala. - Konka warnanya merah muda (normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi. - Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista atau spina. - Jika terdapat sekret kental yang keluar dari daerah antara konka media dan konka inferior kemungkinan sinusitis maksilaris, sinusitis frontalis dan sinusitis ethmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari sinus ethmoid posterior atau sinus sphenoid.

Pada saat mengeluarkan ujung spekulum dari rongga hidung, ujung spekulum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat kira-kira 90%. 170

Jangan menutup ujung spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar. Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf i . Pada waktu melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf i . Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini. Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk mengurangi edema mukosa. Dalam kavum nasi tampak : 1. Septum nasi (di medial) membagi kavum nasi dalam bagian kanan dan kiri. Septum nasi tidak terlalu lurus, biasanya ada sedikit bengkok, sekali-sekali tampak : a. Krista, yang jalannya dari muka bawah ke atas belakang b. Spina (duri), tampak dibagan atas belakang, spima ini sering mengadakan gangguan karena melekat pada konka. Deviasi septum dapat pada bagian depan (tulang rawan) dan dapat juga pada bagian belakang (bagian tulang). Bagian depan ada suatu venen flexus (littles area atau pleksus Kisselbach). Pada anak kecil sering mengakibatkan perdarahan. 2. Konka Nasi a. Konka Inferior Warnanya merah muda. Di bawah mucosa terdapat Korpora cavernosa yang menyebabkan konka dapat membesar atau mengecil. 171

3.

4.

5. 6.

b. Konka Media Letaknya diatas konka inferior. Konka ini tidak tampak seluruhnya yang jelas hanya kepala (kaput). Untuk melihat konka media kepala harus ditengadahkan. Meatus Nasi Dibawah konka terdapat meatus nasi (inferior, media dan superior). Yang tampak meatus inferior dan meatus media. Meatus nasi superior tidak dapat kita lihat. Dasar hidung Bila kavum nasi tidak sempit dapat kita lihat koana yang merupakan pintu belakang dari kavum nasi. Bila kavum nasi lapang misalnya pada rinitis atrofi maka dapat pula kita melihat muara kavum nasi. Di dalam hidung terdapat lubang-lubang yaitu muara-muara dari saluran sinus dan mata. Pada meatus nasi inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, sehingga bila menangis air mata bisa masuk ke dalam rongga hidung. - sinus frontal : pada bagian depan (duktus nasofrontalis) - sinus maksila : terletak di belakang duktus nasofrontalis - cellulae ethmoidal anterior : terletak di bagian supero-posterior

Kelainan-kelainan di dalam kavum nasi : 1. Warna : normal warna mukosa hidung merah muda. Pada radang warnanya merah, pada alergi warnanya pucat atau kebiru-biruan 2. Cairan a. Serous : pada permulaan rinitis akut dan rinitis alergi. Pada trauma kapitis yang keluar liquor cerebrospinalis b. Mucous : pada rinitis akut yang sudah beberapa hari Pada rinitis kronik simpleks c. Pus : pada corpus alienum, sinusitis maksila. Pada sinusitis tampak pus keluar dari metus nasi media, atau nampak seperti garis putih melalui 172

konka media atau berkumpul pada dasar sinus d. Krusta : pada rinitis atroficans e. Darah : pada trauma atau tumor 3. Konka a. Oedema : pada rinitis akut Pada rinitis kronika simpleks b. Hipertrofi : pada rinitis alergi yang sudah lama c. Atrofi : pada rinitis atroficans 4. Jaringan a. Polip : dapat pada sebelah atau kedua belah hidung, dapat besar atau kecil, warna pucat mengkilat, konsistensi lembek (tipe serous), padat (tipe fibrous) b. Tumor : biasa ganas (karsinoma yang berasal dari ethmoid, sinus maksila dan nasofaring) PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan pada wajah. Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata bawah menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan pada kelopak mata atas kemungkinan sinusitis frontalis akut. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi bagian atas menunjukkan adanya Sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada medial atap orbita menunjukkan adanya Sinusitis frontalis. Nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya kemungkinan sinusitis etmoidalis.

173

III. PEMERIKSAAN MULUT DAN FARING (OROFARING) Inspeksi bibir : perhatikan warna dan kelembaban, juga perhatikan adanya ulkus. Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring

Untuk pemeriksaan rongga mulut dan faring diperlukan spatula lidah. Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum oris mulai dari gigi geligi, palatum, lidah, dan bukkal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa, pembengkakan, hiperemis, massa, atau kelainan kongenital. Lakukan penekanan pada dua per tiga bagian depan lidah secara lembut dengan spatula lidah, kemudian diperhatikan : Dinding belakang faring: warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak dan gerakan arkus faring. Tonsil: besar, warna, kripta, apakah ada detritus, adakah perlekatan. Lidah: gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput

174

Penilaian besarnya Tonsil : T0 - T0 = Tonsil kiri dan kanan sudah diangkat/tidak ada lagi T1 - T1 = Tonsil kiri dan kanan masih berada di dalam fossa tonsilaris T2 - T2 = Tonsil kiri dan kanan sudah melewati plika posterior, tetapi belum melewati garis paramedian T3 - T3 = Tonsil kiri dan kanan sudah melewati garis paramedian tapi belum melewati garis median T4 - T4 = Tonsil sudah berada/bertemu atau melewati garis median Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut (tumor, kista, dll).

175

176

IV. PEMERIKSAAN LEHER


Inspeksi Leher: Perhatikan simetris atau tidak, adanya massa atau jaringan parut, pembesaran kelenjar parotis, kelenjar submandibula, kelenjar limfa leher dan kelenjar tiroid.

Palpasi Kelenjar Limfa leher: Cara : - Pemeriksa berdiri di depan/belakang pasien dan meraba dengan kedua belah tangan seluruh daerah leher dari atas ke bawah. - Bila terdapat pembesaran kelenjar limfa, tentukan ukuran, bentuk, konsistensi, perlekatan dengan jaringan sekitarnya dan lokasinya.

177

Keterangan : Daerah kelenjar limfa leher 1. Preaurikular 6. Sub Mental 2. Posterior Aurikular 7. Superficial cervical 3. Oksipital 8. Posterior cervical 4. Tonsilar 9. Deep cervical 5. Submandibular 178

Palpasi Kelenjar Tiroid Terdapat 2 cara: 1. Cara anterior : - Pasien dan pemeriksa duduk berhadapan - Leher pasien difleksikan atau memutar dagu sedikit kekanan (untuk merelaksasikan musculus sternocleidomastoideus pada sisi tersebut) - Tangan kanan pemeriksa menggeser laring ke kanan - Pasien disuruh menelan - Selama menelan lobus tiroid kanan dipalpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri - Setelah memeriksa lobus kanan, laring digeser kekiri dan lobus kiri dievaluasi dengan cara yang sama dengan tangan sebelahnya. 2. Cara Posterior : - Pemeriksa berada di belakang pasien - Pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada leher pasien, yang posisinya sedikit ekstensi - Pemeriksa memakai tangan kirinya mendorong trakea ke kanan - Pasien diminta untuk menelan, sementara tangan kanan pemeriksa meraba tulang rawan tiroid berlatar belakang musculus sternocleidomastoideus - Pasien diminta sekali lagi menelan saat trakea terdorong ke kiri - Pemeriksa meraba kelenjar tiroid berlatar belakang musculus sternocleidomastoideus kiri dengan tangan kiri. Normal : kelenjar tiroid jarang teraba Jika teraba, nilai : konsistensinya, besarnya, nyeri tekan atau tidak.

179

V. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran


1. Tes Berbisik dan Tes Suara Untuk ini dibuat jarak tertentu antara penderita dan pemeriksa yaitu 6 meter, dimana penderita dapat mendengar suara pemeriksa baik secara berbisik ataupun suara percakapan. Telinga yang akan diperiksa diarahkan pada pemeriksa dan diberikan suara berbisik atau bicara. Bila penderita dapat mendengar dengan jelas berarti telinga tersebut normal atau dinotasikan sebagai 180

6 meter. Namun, bila penderita tidak mendengar, maka pemeriksa maju 1 meter mendekati penderita, dan selanjutnya hingga penderita dapat mendengar dengan jelas. Bahkan bila penderita tidak mendengar sama sekali maka pemeriksa dapat berbisik ke telinga penderita, yang dinyatakan sebagai ad concham. Tes ini sangat subjektif, karena intensitas suara pemeriksa tidak tetap. 2. Tes Garpu Penala Manfaat : untuk mengetahui jenis ketulian. Cara menggetarkan garpu penala : - Getarkan kedua kaki garpu penala dengan jari telunjuk dan ibu jari dengan cara dipetik atau mengetuk kakinya pada lengan - Arah getaran kedua kaki garpu penala searah dengan kedua kaki garpu penala -

Posisi atau letak garpu penala : - Penting : telinga tidak tertutup; kaca mata, giwang dilepas - Hantaran udara (AC) : arah kedua kaki garpu penala sejajar dengan arah liang telinga kira-kira 2,5 cm - Hantaran tulang (BC) : pada prosessus mastoid, tidak boleh menyinggung daun telinga 181

Tes Rinne Biasanya digunakan garpu penala 512 Hz, tapi bila diperlukan bisa diulangi dengan memakai garpu penala 128 - 2048 Hz. Penggunaan garpu penala harus berhati-hati untuk menghasilkan suara dan pangkalnya diletakkan pada prosessus mastoid. Garpu Penala digetarkan, kemudian tangkainya diletakkan di prosessus mastoideus. Pemeriksa memberitahu kepada pasien untuk mengangkat tangannya bila ia tidak mendengar lagi, dan kemudian secepatnya posisi garpu penala dipindahkan kira-kira 2,5 cm arah lateral dari meatus akustikus eksternus.

Bila pasien dapat mendengar, Rinne tes positif. Bila tidak mendengar, Rinne tes negatif. Interpretasi : - Tes Rinne (+) normal atau gangguan sensorineural - Tes Rinne (-) gangguan konduksi Tes Weber Tes ini mempergunakan getaran garpu penala 256 atau 512 Hz yang diletakkan di linea mediana seperti vertek, dahi atau gigi insisivus atas. Tes ini membandingkan hantaran tulang dari kedua telinga penderita, pada telinga sebelah mana yang mendengar lebih kuat. Pada telinga normal akan mendengar suara sama kuat digaris tengah. Pasien dengan kehilangan pendengaran sensoris akan mendengar lebih baik pada telinga yang sehat, sedangkan pada kekurangan pendengaran konduktif, pendengaran lebih baik pada telinga yang sakit. 182

Tes ini baru bermakna bila salah satu telinga sakit. Penilaiannya ada atau tidak ada lateralisasi.

Interpretasi: - Lateralisasi ke telinga yang sakit (tuli konduktif pada telinga yang sakit) - Lateralisasi ke telinga yang sehat (tuli perseptif pada telinga yang sakit) Tes Schwabach Tes ini membandingkan hantaran tulang penderita dengan pemeriksa yang dianggap mempunyai pendengaran yang normal. Dari perbedaan ini dinilai keadaan telinga yang diperiksa. Pertama garpu penala digetarkan, kemudian diletakkan di prosessus mastoid penderita dan ditanyakan pada penderita apakah suara yang didengarnya hampir menghilang. Bila suara yang didengar hampir menghilang secepatnya dipindahkan ke prosessus mastoid pemeriksa. Disini dinilai apakah pemeriksa masih dapat mendengar suara tersebut. Kemudian dilakukan sebaliknya, pemeriksa dahulu baru kemudian penderita. Penilaian yang dilakukan adalah pendengaran penderita sama dengan pemeriksa, memanjang atau memendek.

183

Interpretasi : - Schwabach memanjang gangguan konduksi - Schwabach memendek gangguan sensorineural - Schwabach sama dengan pemeriksa normal

184

Checklist Pemeriksaan Fisik THT No 1. 2. Aspek yang dinilai Memberikan salam pembuka dan memper-kenalkan diri Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik :
Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan

Skor 0 1 2 3

3. 4. 5.

Mengatur posisi duduk antara pemeriksa dan pasien Memasang lampu kepala dengan benar Melakukan Pemeriksaan Telinga (Otoskopi)
Memperhatikan keadaan dan bentuk daun telinga serta daerah depan dan belakang telinga Memeriksa telinga luar, menentukan nyeri tekan atau nyeri tarik Melihat liang telinga dengan lampu kepala Memeriksa telinga dengan otoskop Mempresentasikan membrana timpani

6.

Melakukan Pemeriksaan (Rinoskopi Anterior)


Hidung

Memeriksa hidung luar Memegang spekulum hidung dengan benar Membuka lubang hidung dengan perlahan-lahan dan tenang Memeriksa vestibulum nasi

185

Memeriksa kavum nasi : - Memperhatikan kavum nasi, dasar hidung, atap hidung, septum nasi, konka nasi dan meatus nasi

7.

Pemeriksaan (Orofaring)

Mulut

dan

Faring

Inspeksi bibir Pemeriksaan rongga mulut dan faring : - Menekan dua per tiga bagian depan lidah dengan spatula lidah - Memeriksa orofaring : - Dinding belakang faring - Tonsil (tentukan ukurannya) - Lidah, palatum, gigi geligi, bukkal Inspeksi leher Palpasi kelenjar limfa leher Pemeriksaan kelenjar tiroid

8.

Pemeriksaan Leher

9.

Pemeriksaan Pendengaran Garpu Penala


dengan

Mengetahui frekuensi garpu penala Menggetarkan garpu penala dengan benar Melakukan tes Rinne pada kedua telinga Melakukan tes Weber Melakukan tes Schwabach Mampu melakukan interpretasi sederhana

Keterangan Skor : 0 = tidak dilakukan sama sekali 1 = dilakukan dengan banyak perbaikan 2 = dilakukan dengan sedikit perbaikan 3 = dilakukan dengan sempurna

Banda Aceh..2013 Observer x 100% = %

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total ./87 186

10. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK MATA (EYE PHYSICAL EXAM) Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik mata secara sistematis dan benar PENDAHULUAN Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yg dibungkus oleh 3 lapisan: 1. Sklera dan kornea 2. Koroid,badan siliaris dan iris 3.Retina - Sebagian besar bola mata dilapisi oleh sebuah lapisan jaringan ikat protektif yang kuat disebelah luar : sklera yang membentuk bagian putih mata - Dianterior (kearah depan) lapisan luar terdiri dari : Kornea bagian yang transparan, tempat lewatnya berkas cahaya kearah anterior mata Koroid: - Lapisan tengah dibawah sklera, yang sangat berpigmen, dan mengandung pembuluh darah untuk memberi makan retina - Lapisan koroid disebelah anterior mengalami spesialisasi untuk membentuk : badan siliaris dan iris. Retina: - Lapisan paling dalam dibawah koroid - Terdiri dari sebuah lapisan berpigmen sebelah luar dan sebuah lapisan jarigan saraf didalam - Retina mengandung sel batang dan kerucut. Bagian dalam mata terdiri dari: Dua rongga berisi cairan yang dipisahkan oleh sebuah lensa yang jernih yang memungkinkan cahaya lewat menembus mata dari kornea ke retina Rongga anterior (depan) : Aqueous Humor terletak antara kornea dan lensa mengandung cairan encer jernih. Rongga posterior (belakang) : Vitreous Humor terletak antara lensa dan retina 187

Bagian bagian eksternal mata yang penting diperhatikan diperlihatkan pada gambar dibawah ini : Palpebra dan silia berfungsi untuk melindungi mata, menutupi bola mata dan melumas permukaannya. Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang vaskular dan transparan, yang melapisi palpebra dan bagian anterior bola mata Sklera adalah lapisan luar bola mata yang putih, terletak dibawah konjungtiva Kornea : jaringan yang transparan, licin dan avascular yang menutupi iris, dan menyatu pada sklera pada limbus Iris : bagian sirkular yang berwarna pada mata Pupil : lubang bulat dan kecil ditengah iris

188

A & B Gambar Anatomi Mata Manusia

Jalur visual dari retina ke korteks visual

189

Pemeriksaan tajam penglihatan Tajam penglihatan adalah suatu metode pengukuran yang mana seseorang dapat mengenal objek terkecil pada jarak tertentu dari mata. Beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam pemeriksaan tajam penglihatan adalah : AV : aksis visual (tajam penglihatan ) OD : oculus dexter ( mata kanan ) OS : oculus sinistra ( mata kiri ) OU : oculus uterque ( kedua mata ) Tajam penglihatan ditentukan dengan memakai kartu Snellen yang merupakan kartu dengan huruf/angka/simbol yang mempunyai ukuran berbeda pada setiap barisnya. Baris huruf/angka/simbol mempunyai angka disebelah kanannya yang menunjukkan jarak seseorang normal dapat melihat huruf pada baris tersebut dengan jelas. Kartu Snellen ditempatkan pada jarak tertentu (biasanya 6 meter) di depan pasien yang akan diperiksa. Pada jarak ini pasien yang memiliki penglihatan normal dapat melihat huruf pada baris dengan angka 6 di sebelahnya, pasien ini mempunyai tajam penglihatan 6/6. Besar huruf pada kartu Snellen berbeda sehingga setiap huruf tertentu hanya dapat dibaca pada jarak tertentu (kartu untuk jarak 6 meter dan 5 meter) membentuk sudut 5 menit dengan nodal point. Pemeriksaan dilakukan tanpa dan dengan kacamata yang sedang dipergunakan. Tajam penglihatan dapat berkurang pada keadaan berikut : Kelainan refraksi seperti miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), astigmat atau silindris Kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan badan kaca yang keruh. Saraf penglihatan terganggu. Alat : Kartu Snellen atau E Lensa Coba Gagang Lensa Coba 190

Tehnik pemeriksaan Pasien duduk menghadapi kartu Snellen dengan jarak 6 meter. Dipasang gagang lensa coba Mata yang tidak akan diperiksa ditutup, biasanya yang diperiksa mata kanan terlebih dahulu. Pasien diminta membaca huruf yang tertulis pada kartu Snellen dimulai pada baris paling atas dan bila telah terbaca dilanjutkan dengan membaca baris bawahnya. Ditentukan letak baris terakhir yang masih dapat dibaca. Nilai atau hasil pemeriksaan Bila huruf yang terbaca tersebut : Terdapat pada baris dengan tanda 30, dikatakan tajam penglihatan 6/30 Terdapat pada baris dengan tanda 6, dikatakan tajam penglihatan 6/6. Tajam penglihatan seseorang dikatakan normal bila tajam penglihatan adalah 6/6 atau 100%. Dengan kartu standar dapat ditentukan tajam atau kemampuan dan fungsi mata penglihatan seseorang : Bila tajam penglihatan 6/6 , berarti ia dapat melihat pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. Bila pasien hanya dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan 6/30 Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen dengan jarak 6 meter maka dilakukan uji hitung jari. Uji hitung jari Dasar : Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter Teknik : Pasien duduk di kamar yang terang Pasien diminta melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak tertentu. Bila jari yang diperlihatkan dikenal pada jarak 1 meter maka dikatakan tajam penglihatan seseorang adalah 1/60. Bila pasien tidak dapat melakukan uji hitung jari dilakukan uji lambaian 191

tangan. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien lebih buruk dari 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila pasien hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300. Kadangkala seseorang hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam panglihatan tidak berhingga ( 1/~ ). Bila pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar disebut tajam penglihatan nol/buta. Uji Lobang Kecil ( Pinhole Test ) Pemeriksaan ini bermaksud untuk mengetahui apakah tajam penglihatan terganggu akibat kelainan refraksi atau kelainan media penglihatan atau saraf optik. Alat : Lempeng pinhole Kartu snellen Di kamar ruangan biasa Tehnik : Pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter Pasien diminta membaca huruf terkecil yang masih terbaca. Pada mata tersebut dipasang lempeng pinhole Pasien diminta membaca kembali kartu Snellen. Nilai : Bila dapat baca huruf yang lebih kecil daripada sebelumnya pada kartu Snellen berarti terdapat kelainan refraksi yang dapat dikoreksi penuh. Bila huruf yang terbaca lebih besar daripada huruf sebelumnya berarti terdapat kelainan pada media penglihatan

192

Pemeriksaan Segmen Anterior I. Kedudukan bola mata 1.1 Uji Refleks Kornea ( Hirscberg ) Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kedudukan bola mata dengan melihat refleks pada kornea. Bila terdapat fiksasi sentral pada satu mata maka refleks sinar yang diberikan pada kornea mata lainnya dapat menentukan deviasi secara kasar. Alat : Sentolop Tehnik : Sentolop disinarkan setinggi mata pasien dengan jarak 30 cm, sebagai sinar fiksasi. Refleks sinar pada mata fiksasi diarahkan pada tengah pupil kemudian dilihat refleks sinar pada kornea mata yang lain. Pada keadaan normal refleks kornea sedikit ke arah nasal dari sentral kornea. Refleks cahaya pada mata berdeviasi bila: Pada tepi pupil, deviasi berkisar 12- 15 derajat. Bila refleks terletak antara pinggir pupil dan limbus, deviasi berkisar 25- 30 derajat dan bila pada pinggir limbus deviasi berkisar 45-60 derajat. II. Uji posisi otot mata luar Bertujuan untuk memeriksa fungsi gerak otot penggerak bola mata. Dengan mempergunakan suatu obyek dilihat kemampuan pergerakan otot pada posisi yang dibuat untuk mendapatkan nilai kemampuan pergerakan otot pada saat mengikuti obyek tersebut. Bila ternyata otot tertentu tidak mampu mengikuti gerakan obyek, maka mungkin terdapat parese otot tersebu.

193

III. Kelopak Mata III.1 Inspeksi : Melihat keadaan kedua kelopak mata untuk menentukan kelainan yang ada, sepertitosis, lagofthalmus, entropion, ektropion, xantelasma dan lain-lain. III.2. Uji eversi kelopak Dilakukan untuk mengetahui apakah ptosis yang terjadi akibat parese levator palpebra. Dilakukan dengan membalik kelopak ke atas, pasien diminta dilihat keatas. Bila pada saat melihat keatas tarsus yang sudah di eversi kembali ke kedudukan normal, berarti tidak terdapat parese otot levator dan otot orbikularis okuli. Pada saat eversi kelopak mata dilakukan juga penilaian kelainan pada konjungtiva tarsal, adakah tampak benda asing, folikel atau papil

III.3. Melihat gangguan sekunder fungsi kelopak mata akibat penyakit lain, mis Bells palsy, ophthalmopaty tiroid. IV. Konjungtiva IV.1.Inspeksi Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan bantuan loup dan senter Melihat pola perdarahan di konjungtiva, apakah kelainan tersebut merupakan perdarahan subkonjungtiva, hiperemi, injeksi siliar, injeksi konjungtiva atau kombinasi keduanya. Mencari kelainan yang terdapat pada konjungtiva, misalnya pterigium, pinguecula, skleritis dll. Melihat adakah sekret yang dikategorikan berdasarkan kuantitas,
karakter sekret.

194

V. Kornea Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan bantuan loup dan senter. Melihat kejernihan dari kornea, kelainan yang dapat ditemukan pada kornea, misal : sikatriks, infiltrat, ulkus, benda asing dan lain-lain. V.1. Pemeriksaan Plasidoskopi Alat : Papan dengan gambaran lingkaran konsentrik putih hitam Tehnik : 1. Pasien membelakangi sinar (jendela) 2.Plasidoskop diletakkan setinggi mata pasien 3.Melalui lobang plasidoskop dilihat gambaran pada kornea pasien. Nilai : Bila bayangan pada mata terlihat konsentrik berarti tidak ada kelaianan kecembungan kornea. Bila garis konsentrik terlihat padat ditengah berarti kornea menonjol atau yang disebut keratokonus. Bila garis lingkaran lonjong berarti terdapat astigmat Bila garis tidak beraturan atau lingkaran tidak simetris berarti adanya astigmat ireguler. Bila garis kurang tegas mungkin karena kornea tidak jernih atau adanya edema kornea. V.2.Uji sensibilitas Kornea Tujuan : Tes untuk pemeriksaan fungsi saraf trigeminus yang memberikan sensibilitas pada kornea. Dasar : Mata akan berkedip bila terkena sinar kuat, benda yang bergerak cepat mendekati mata, suara keras, rabaan pada kornea. Refleks taktil kornea didapat melalui saraf serabut aferen saraf trigeminus dan serabut eferen saraf 195

fasial. Terdapat hubungan dengan korteks yang berupa rasa sakit. Alat : 1. Kapas Teknik : Pasien diminta melihat ke sisi yang berlawanan dari bagian kornea yang di tes Pemeriksa menahan kelopak mata pasien yang terbuka dengan jari telunjuk dan ibu jari. Dari sisi lain (untuk mencegah terlihat) kapas digeser sejajar dengan permukaan iris menuju kornea yang akan diperiksa. Diusahakan mendekatkan kapas tidak disadari pasien. Kapas ditempel pada permukaan kornea. Nilai : 1. Terjadinya refleks mengedip. 2. Perasaan tidak enak oleh pasien, yang dinyatakan dengan perasaan sakit 3. Timbulnya lakrimasi. Apabila terjadi refleks mengedip berarti sensibilitas kornea baik dan fungsi trigeminus normal. Refleks kedip menurun pada keratitis atau ulkus herpes simpleks dan herpes zoster. V.3. Uji Fluoresein Tujuan : Untuk mengetahui terdapatnya kerusakan pada lapisan kornea. Dasar : Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea yang defek akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel rusak bersifat lebih basa. Alat : Zat warna fluoresein 0,5%-2% tetes mata atau kertas flouresein Tehnik Mata ditetes pantokain 1% Zat warna fluoresein diteteskan pada mata atau kertas fluoresein ditempatkan pada forniks inferior selama 20 detik. Zat warna diirigasi dengan garam fisiologis sampai seluruh air mata tidak berwarna hijau lagi. 196

Dilihat bagian pada kornea yang berwarna hijau Nilai Bila terdapat warna hijau pada kornea berarti terdapat defek pada epitel kornea. Defek dapat berupa erosi, infiltrat atau ulkus. VI. IRIS/ PUPIL VI.1. Uji refleks pupil Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks miosis pupil akibat suatu penyinaran pada mata, baik reaksi penyinaran langsung atau tidak langsung pada mata lainnya. Pada suatu lingkaran refleks sinar dengan motorik pupil, yang langsung mengenai mata yang disinari disebut refleks langsung. Refleks tidak langsung terjadi bila mata sebelah dari mata yang disinari memberikan refleks atau reaksi. Mata normal akan memberikan ambang dan intensitas lampu kedua refleks sama. Bila sinar dinaikkan perlahan-lahan maka reaksi akan terjadi sampai ambang rangsang. VI.2. Refleks sinar langsung. Tehnik : Mata disinari Dilihat keadaan pupil pada mata yang disinari apakah terjadi miosis (mengecil) pada saat penyinaran. Nilai : Periode laten 0,2 detik setelah rangsangan. Sesudah pupil berkontraksi kuat akan disusul dilatasi ringan terutama bila penyinaran tidak keras. Hal ini menunjukkan refleks pupil langsung + Pada refleks + atau normal berarti visus ada dan motorik saraf ke III berfungsi baik

197

VI.3. Refleks sinar konsensual Mata disinari dengan diusahakan sinar tidak masuk pada mata yang lain. Dilihat keadaan pupil mata yang tidak disinari apakah terjadi miosis (mengecil) pada saat penyinaran mata sebelahnya. Nilai : Terdapat periode laten seperti pada mata yang disinari langsung. Kontraksi pupil bereaksi sama dengan mata yang disinari langsung. Bila terjadi refleks miosis disebut refleks pupil tidak langsung +. Pada keadaan ini dinilai fungsi saraf motorik ke III untuk membuat konstriksi atau miosis dari mata yang tidak disinar. Refleks langsung terganggu bila saraf optik mengalami gangguan atau pada kerusakan saraf okulomotor mata yang disinari

198

Refleks tidak langsung terganggu bila pada saraf mata yang disinari ada kelainan atau terdapat kerusakan saraf okulomotor mata yang sedang diperiksa refleks konsensual. VI.4. Refleks pupil Diperiksa di kamar gelap dengan mempergunakan oftamoskop direk pada jarak 1-2 kaki. Refleks pupil normal berwarna merah, refleks abnormal berwarna putih yang disebut leukokoria. VII. LENSA VII.1. Tes bayangan iris ( shadow test ) Pemeriksan ini dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Makin sedikit lensa keruh pada bagian posterior makin besar bayangan iris pada lensa yang keruh tersebut. Bila kekeruhan lensa semakin tebal maka semakin kecil bayangan iris pada lensa yang keruh. Alat : 1. Lampu sentolop 2. Loupe Tehnik : Sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45 derajat dari dataran iris. Dengan loupe dilihat bayangan iris pada lensa yang keruh. Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil berarti lensa belum keruh seluruhnya, terjadi pada katarak immatur, keadaan ini disebut shadow test +. Apabila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat pupil berarti lensa sudah keruh total, terdapat pada katarak matur ( shadow test - ). Katarak hipermatur bila lensa telah keruh seluruhnya, mengecil serta terletak jauh di belakang pupil, sehingga bayangan iris pada lensa besar dan keadaan ini disebut pseudopositif. VIII. RETINA VIII.1 Oftalmoskopi Funduskopi Bertujuan untuk melihat dan menilai kelainan pada fundus okuli. Cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan 199

memberikan refleks fundus. Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi sinar. Alat : 1. Oftalmoskop 2. Obat melebarkan pupil Dilakukan dengan obat Tropicamide 0,5%- 1% ( Mydriatil ) Fenilefrin hidroklorida 2,5%

Perhatian Sebaiknya sebelum dilakukan pelebaran pupil dikur terlebih dahulu ukuran tekanan bola mata. Keadaan berikut sebaiknya tidak dilakukan pelebaran pupil : Bilik mata yang dangkal Dengan tanda pupil setelah trauma kepala Implan fiksasi pada iris Pasien pulang mengendarai kendaraan sendiri Pasien menderita glaukoma sudut tertutup. Tehnik Diperiksa di kamar gelap : 1. Memeriksa mata kanan pasien dengan mata kanan pemeriksa, demikian pula dengan mata kiri. 2. Mula-mula diputar roda lensa oftalmoskop sehingga menunjukkan angka + 12 dioptri 3. Oftalmoskop diletakkan 10 cm dari mata pasien. Pada posisi ini fokus terletak pada kornea atau lensa mata 200

4. Bila ada kekeruhan pada kornea atau lensa mata akan terlihat bayangan hitam pada dasar yang jingga. 5. Selanjutnya oftalmoskop lebih didekatkan pada mata pasien dan roda lensa oftalmoskop diputar, sehingga roda lensa menunjukkan angka mendekati nol. 6. Sinar difokuskan pada papil saraf optik. 7. Diperhatikan warna, tepi dan pembuluh darah yang keluar dari papil saraf optik. 8. Mata pasien diminta melihat sumber cahaya oftalmoskop yang dipegang pemeriksa, dan pemeriksa dapat melihat keadaan makula lutea pasien 9. Dilakukan pemeriksaan pada seluruh retina. Nilai : Dapat dilihat keadaan normal dan patologis pada fundus mata. Papil saraf optik Papiledema Hilangnya pulsasi vena saraf optik Ekskavasi papil saraf optik pada glaukoma Atrofi saraf optik Retina Perdarahan subhialoid Perdarahan intra retina, lidah api, dots, blots Edema retina Edema makula Pembuluh darah retina Rasio arteri dan vena Perdarahan arteri dan vena Mikroaneurisma vena

201

202

IX. Tonometri Tonometri adalah suatu metode untuk mengukur tekanan bola mata. Ada 4 metode, yaitu : Digital (palpasi), metode ini kurang tepat karena dibutuhkan pengalaman dan sangat subjektif Tonometri Schiotz, memberi beban pada permukaan kornea Tonometri Applanasi, mendatarkan permukaan kornea Tonometri Non Kontak /Air puff tonometry, mempergunakan tekanan udara, kurang teliti. Tonometer yang diletakkan pada permukaan kornea akan menekan bola mata ke dalam, sehingga akan mendapatkan perlawanan tekanan dari dalam bola mata. Keseimbangan tekanan tergantung dari beban yang dipergunakan untuk menekan permukaan kornea. Tonometri Schiotz Merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Pada tonometer Schiotz bila tekanan rendah maka beban akan mengindentasi lebih dalam dibanding bila tekanan bola mata tinggi. Alat: 1. Obat tetes anestesi lokal ( tetrakain ) 2. Tonometer Schiotz Tehnik: Pasien diminta melongarkan bajunya Pasien tidur terlentang di tempat tidur Teteskan mata dengan anestesi topikal Tunggu sampai ras perih pada mata pasien menghilang Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari Pasien diminta mengacungkan ibu jarinya ke atas atau melihat ke langit-langit ruang pemeriksaan. Dasar tonometer schiotz diletakkan pada permukaan kornea Setelah tonometer menunjukkan angka yang tetap, dibaca nilai tekanan pada skala busur yang berkisar antara 0-15

203

Nilai: Pembacaan skala dikonversi pada tabel untuk mengetahui tekanan bola mata dalam milimeter air raksa. X. Pemeriksaan lapangan pandang X.1. Uji Konfrontasi Dilakukan untuk melihat gangguan lapang pandang pasien dengan membandingkan lapang pandang pemeriksa. Pemeriksaan ini sangat sederhana dan tidak memerlukan alat khusus. Tehnik Pasien dan pemeriksa duduk dengan berhadapan dengan jarak kira-kira 1 meter Mata kiri pemeriksa ditutup dan mata kanan pasien ditutup Mata kanan pemeriksa dan mata kiri pasien saling berpandangan Sebuah benda diletakkan antara pasien dengan pemeriksa pada jarak yang sama Benda mulai digerakkan dari perifer ke arah sentral sehingga mulai terlihat oleh pemeriksa. Ditanyakan pada pasien apakah benda tersebut telah terlihat Dilakukan berulang dari berbagai arah (atas, bawah nasal, temporal). Pemeriksaan juga dilakukan pada mata satunya, baik pada pemeriksa maupun pasien. Bila saat melihat benda oleh pasien dan pemeriksa sama, hal ini menunjukkan lapang pandang tidak mengalami gangguan, tapi bila pasien terlambat melihat berarti lapang pandangnya lebih sempit dibanding pemeriksa

204

Cheklist Pemeriksaan Fisik Mata


Skor No I Aspek yang dinilai Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik : Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan Pemeriksaan visus : mata kanan dan kiri (snellen chart) Duduk jarak 6 m Menutup mata sebelah sbelah Membaca snellen chart Pinhole 1,5 mm Laporkan hasil (sebelum dan sesudah pinhole) III. 1. Pemeriksaan segmen anterior Pemeriksaan segmen anterior a. Uji refleks cahaya kornea (hirscberg) Menyiapkan alat : sentolop Menyinarkan mata pasien dengan jarak 30 cm sebagai sinar fiksasi dengan mengarahkannya ke bagian tengah pangkal hidung (glabella) Menilai refleks sinar pada kedua pupil mata b. Uji posisi otot mata luar Menggerakkan objek ke segala arah untuk menilai kemampuan gerakan bola mata Menilai : normal/parese Meniali : normal/deviasi c. Uji konfrontasi Menutup mata pada yang sejajar dengan pemeriksa, mata lihat kedepan tanpa menggerakkan kepala melihat kejari pemeriksa yang digerakkan kesegala arah Kelopak mata a. Inspeksi : Melihat kedua bola mata ada/tidaknya : Ptosis, lagofthalmus, entropion, ektropion, trikiasis, distrikiasis dan xantelasma b. Uji eversi kelopak Meminta pasien untuk melihat ke atas Membalikkan kelopak mata atas/bawah ke atas/ kebawah dengan menggunakan tangan, memeriksa apakah ada benda asing 0 1 2

II.

2.

205

3.

Konjungtiva a. Menyiapkan alat : loup dan senter b. Inspeksi : Melihat bola pendarahan di konjungtiva : perdarahan subkonjungtiva, hiperemi, injeksi siliar, injeksi konjungtiva atau kombinasi keduannya Mencari kelainan yang terdapat pada konjungtiva : pterigium, pinguecula, skleritis Kornea a. Menyiapkan alat: loup & senter b. Inspeksi : Melihat kejernihan dari kornea, kelainan kornea : sikatriks, infiltrat, ulkus, benda asing Pupil a. Uji refleks pupil : langsung & tak langsung b. Refleks fundus : Mendekatkan sentoloup direk 1-2 kaki dari mata pasie di kamar gelap Menilai : refleks pupil normal : merah, refleks abnormal : putih/leukoria

Keterangan: 0 = tidak dilakukan

Banda Aceh,................................2012

1 = dilakukan tetapi kurang sempurna 2 = dilakukan dengan sempurna Instruktur

Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../48 x 100% =

206

11. PEMERIKSAAN FISIK KULIT (SKIN PHYSICAL EXAM)


TUJUAN BELAJAR : 1. Mahasiswa diharapkan mampu dan terampil dalam melakukan pemeriksaan lesi kulit dengan sistematis dan benar serta melakukan tes klinis dengan cara (teknik) yang benar. 2. Mahasiswa diharapkan mampu mendeskripsikan status dermatologis dengan tepat dan menghubungkannya dengan gejala kinis pasien sehingga dapat menentukan diagnosis banding dan diagnosis klinisnya. I. ANATOMI KULIT DAN ADNEKSA KULIT

KUKU

RAMBUT

Gambar 1. Penampang kulit, kuku, dan rambut 207

Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh manusia yang terdiri atas : A. Epidermis, merupakan lapisan luar yang terdiri dari Stratum korneum (lapisan tanduk) Stratum lusidum Stratum granulosum (lapisan keratohialin) : berisi sedikit keratin sehingga kulit menjadi keras dan kering ; mengandung melanin Stratum spinosum (stratum malphigi) Stratum basalis B. Dermis: Stratum papilare Stratum retikulare Subkutis: terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya Adneksa kulit Kuku: terdiri atas matriks kuku, dinding kuku (nail wall), dasar kuku (nail bed), alur kuku (nail groove), akar kuku (nail root), lempeng kuku (nail plate), lunula, eponikium, hiponikium Rambut: terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang berada di luar kulit (batang rambut) Kelenjar : kelenjar ekrin dan apokrin, kelenjar sebasea. II. FAAL KULIT 1. Fungsi proteksi 2. Fungsi absorpsi 3. Fungsi ekskresi

208

4. Fungsi pengindra (Sensori) : Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan reseptor-reseptor khusus. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis.

Badan Ruffini : panas Badan Krause: dingin Badan taktil Meissner dan Badan Ranvier: rabaan Badan Paccini: tekanan

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh 6. Fungsi pembentukan pigmen 7. Fungsi keratinisasi 8. Fungsi produksi vitamin D 9. Fungsi ekspresi emosi III. TAHAPAN DALAM MEMBUAT DIAGNOSIS DERMATOLOGIS Penegakkan diagnosis mudah dilakukan dengan memperhatikan tahap-tahap berikut: 1. Pendekatan terhadap pasien (anamnesis) 2. Pemeriksaan kelainan morfologi (deskripsi status dermatologis) 3. Pemeriksaan fisik kulit (tes klinis) 4. Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan KOH, sediaan langsung, pewarnaan gram, kultur, tzank test, indeks bakteri dan indeks morfologi, pemeriksaan histopatologis, imunofluoresensi, serologis, radiologis, pemeriksaan genetik, dan biomolekuler)

209

ANAMNESIS Hal-hal yang perlu ditanyakan pada saat melakukan anamnesis: 1. Riwayat perjalanan penyakit a. Keluhan utama / chief complaint Keluhan utama terdiri dari keluhan subyektif maupun obyektif, lokasi lesi dan waktu atau sejak kapan lesi muncul. b. Keluhan tambahan Keluhan tambahan atau keluhan lain terkait keluhan utama dan keluhan pasien selain keluhan utama c. Riwayat penyakit sekarang / present illness history Kronologis timbulnya keluhan atau lesi secara sitematis, berurutan, dan mencakup segala hal yang mendukung diagnosis

utama dan menyingkirkan diagnosis banding. Harus ditanyakan tentang durasi (kapan lesi timbul, berlangsung berapa lama, dan kapan-kapan saja lesi muncul ?) ; periodisitas (apakah lesi konstan atau menetap), memburuk pada malam atau musim semi?) ; evolusi (bagaimana perkembangan atau perubahan bentuk lesi ?) ; symptoms atau gejala (pruritus, nyeri, perih,dan mati rasa); keparahan (sangat nyeri atau sangat gatal); faktor pencetus eksaserbasi lesi (sinar matahari, musim dingin, bahan kimia, produk topikal, metal,

hubungan dengan menstruasi ataupun kehamilan. 2. Riwayat pemakaian obat / drug history : Riwayat pemakaian obat sebelumnya termasuk penggunaan

suplemen dan produk herbal.

Beberapa obat topikal dapat

menyebabkan kelainan pada kulit baik lokal maupun sistemik. Pada 210

kasus dermatitis kontak alergika karena obat oles hendaknya ditelusuri penyakit awal (underlying disease) yang mendasari. Perlu ditanyakan respon terhadap pengobatan sebelumnya. 3. Riwayat penyakit dahulu / past medical history : Meliputi berbagai penyakit yang pernah diderita pasien sebelumnya baik penyakit kulit maupun penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus, tuberkulosis, hipertensi serta riwayat rawat inap dan riwayat operasi sebelumnya. 4. Riwayat penyakit keluarga / family history : Riwayat keluarga yang terkait gangguan serupa atau penyakit lainnya. Penyakit yang bersifat menular. belakang genetik. Riwayat atopi, Penyakit dengan latar

melanoma, xanthoma dan

tuberous sklerosis. 5. Riwayat kebiasaan sosial / social history : Data pribadi seperti umur pasien, hobi, pekerjaan, olahraga, merokok, diet, personal higiene, hubungan suami istri, hubungan dengan tetangga dan teman.

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dermatologis merupakan pemeriksaan tubuh pasien untuk menemukan adanya kelainan atau tanda klinis penyakit, meliputi : pemeriksaan kulit, adneksa kulit (rambut dan kuku), membrana mukosa (mata, mulut, hidung, dan genetalia)

211

Hasil

pemeriksaan

harus

dicatat

dalam

rekam

medis.

Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari kepala dan berakhir pada anggota gerak (cranio cauda)

Alat-alat yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik :


1. Alat pembesar ( loupe ) 2. Flashlight / lampu senter untuk menerangi lesi 3. Mistar untuk mengukur lesi 4. Kaca objek untuk pemeriksaan diaskopi, kaarsvlek phenomen

dan auspitz sign


5. Kapas alkohol untuk menghilangkan sisik atau minyak pada

permukaan kulit
6. Kain kasa atau tissue dengan air untuk menghilangkan make

up
7. Sarung tangan, harus digunakan saat pemeriksaan skabies,

sifilis sekunder, memeriksa membrana mukosa, dan daerah genetalia.


8. Pisau skalpel nomor 15 untuk mengikis lesi atau nomor 11

untuk insisi lesi


9. Lampu Wood (365 nm) untuk menilai fluoresensi 10. Kamera untuk dokumentasi

212

Teknik pemeriksaan fisik dengan cara inspeksi dan palpasi kulit Inspeksi kulit Observasi tampilan keseluruhan pasien, termasuk hygiene kulit, warna kulit dan variasinya, vaskularisasi, keringat, edema, injury (perlukaan) Warna kulit dipengaruhi oleh ras. Kulit abnormal ditemukan : flushing, cyanosis, jaundice, pigmentasi yang tidak teratur Observasi dan dokumentasikan kelainan kulit yang ditemukan Palpasi kulit: Pergunakan jari-jari tangan untuk memeriksa lesi.Sarung tangan dispossible dapat digunakan untuk melindungi pemeriksa ketika malakukan pemeriksaan luka Pada palpasi, periksa kelembaban kulit, temperatur, tekstur, turgor, dan lesi (kerusakan kulit) DESKRIPSI STATUS DERMATOLOGIS Setelah melakukan inspeksi dan palpasi, maka tentukan deskripsi status dermatologis berdasarkan TERMINOLOGI lesi kulit, (tipe lesi, morfologi lesi, ukuran, jumlah, susunan, konfigurasi, dan distribusi lesi) Terminologi lesi kulit a.Lokasi atau Regio : tempat dimana terdapatnya lesi dan ditentukan berdasarkan lokasi anatomi tubuh manusia, contohnya regio frontalis, regio aksilaris, regio sternalis, regio umbilikalis, regio inguinalis, regio pedis dekstra atau sinistra, dan lain-lain b. Tipe lesi : berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit dan berdasakan perjalanan penyakit

213

Berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit Tabel 1. Kelompok lesi berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit
Lebih tinggi Papula Plak Nodul Kista Wheal/Urtikaria Skar Hipertrofi Lebih rendah Erosi Ulkus Atrofi Sama rata Makula Patch Perubahan permukaan Skuama Krusta Ekskoriasi Fisura Likenifikasi Berisi cairan Vesikel Bula Pustula Abses Pembuluh darah Purpura Telangiektasis Infark

Berdasarkan perjalanan penyakit dan proses terbentuknya lesi : I. Lesi primer, adalah kelainan kulit yang terjadi pada permulaan penyakit Lesi primer yang sama rata dengan permukaan kulit : 1. Makula Lesi datar pada kulit atau membran mukosa berupa perubahan warna tanpa perubahan konsistensi . Makula tidak dapat dipalpasi. Bentuknya bervariasi, dan batas-batasnya bisa berbeda dengan kulit norman (berbatas tegas) atau samar. 2. Patch Makula dengan ukuran yang lebih dari 0,5 cm Lesi primer lebih tinggi dari permukaan kulit 1. Papula Bentuk peninggian kulit yang padat, ukuran kurang dari 0,5 cm. Lesi padat tersebut disebabkan oleh infiltrat sel radang atau masa padat lainnya di epidermis atau dermis.

214

2. Plak Merupakan peninggian kulit yang berbentuk padat dengan diameter lebih dari 0,5 cm, mempunyai permukaan yang relatif lebih besar dibanding tingginya. Plak bisa juga bisa terbentuk akibat perluasan dan gabungan dari papul 3. Nodula Lesi yang menonjol, berbentuk padat, dan dapat teraba dengan diameter lebih dari 0,5 cm. Nodul bisa terletak di epidermis, dermis, dan subkutan 4. Urtika atau Wheal Peninggian kulit yang datar karena edema dermis bagian atas. Bersifat gatal, timbulnya cepat, hilang setelah beberapa jam, pori-pori melebar, warna pucat. Lesi primer yang berisi cairan 1. Vesikel Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran kurang dari 0,5cm, dapat pecah menjadi erosi, dapat bergabung menjadi bula 2. Bula Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran lebih dari 0,5cm 3. Pustula Seperti halnya vesikula tetapi isinya pus & berada diatas kulit yang beradang.

215

Makula

Patch

Plak

Papul

Pustul

Nodul

Wheal

Vesikel

Bula

Gambar 2. Lesi primer pada kelainan kulit

216

II. Lesi sekunder : kelainan kulit yang terjadi selama perjalanan penyakit Lesi sekunder akibat perubahan permukaan kulit 1. Skuama Skuama adalah pengelupasan bagian paling luar dari stratum korneum. Partikel epidermal dapat kering atau berminyak, tipis ataupun tebal dan dilapisi massa keratin. Warnanya bervariasi putih keabu-abuan kuning atau coklat. 2. Krusta Cairan tubuh yang mengering pada permukaan kulit. Cairan tersebut bisa berasal dari serum, darah dan eksudat purulen. Warna krusta berbeda-beda, tergantung dari cairan yang keluar, warna kekuningan bila berasal dari serum, akan berwarna merah kehitaman bila berasal dari darah, dan kuning kehijauan berasal dari pus. 3. Eskoriasi Hilangnya jaringan sampai stratum papilare di dermis. Secara klinis tampak adanya bintik perdarahan di kulit. Garukan yang tidak terkontrol dapat menghasilkan lesi yang panjang, paralel dan menyilang serta dapat menimbulkan krusta kehitaman 4. Fisura Hilangnya kontinuitas (kesinambungan) kulit sehingga kulit pecah (diskontinuitas) tanpa kehilangan jaringan. 5. Likenifikasi Penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas. Pada likenifikasi terjadi penebalan epidermis disertai perubahan kolagen pada bagian superfisial dermis. Lesi sekunder yang lebih tinggi dari permukaan kulit 1. Sikatrik atau skar hipertrofi Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak mengandung jaringan ikat untuk mengganti jaringan yang rusak akibat penyakit atau trauma pada dermis yang lebih dalam, bila membesar disebut skar hipertrofi. Skar 217

hiperkeratotik biasanya berbentuk papula keras, plak, atau nodul. Bila tumbuh sangat berlebihan, disebut keloid. Berbeda dengan skar hipertrofi, keloid dapat meluas melampaui daerah luka awal. Lesi sekunder yang lebih rendah dari permukaan kulit 1. Erosi Hilangnya sebagian atau seluruh jaringan epidermis atau epitel mukosa. Erosi dapat terjadi akibat trauma, misalnya garukan, laserasi, vesikel atau bula superfisial yang pecah dan nekrosis epidermis. Meskipun erosi dapat menimbulkan infeksi sekunder, erosi tidak meninggalkan skar. 2. Ulkus Hilangnya jaringan yang melebihi stratum papilare, yang mempunyai tepi, dinding, dasar dan isi. Bentuk ulkus dapat bulat, lonjong, atau tidak beraturan. Sekitar ulkus dapat tenang atau terdapat tanda inflamasi akut/kronis (biasanya hiperpigmentasi). Tepi ulkus bisa datar atau tinggi. Pengerasan karena sebukan sel radang di sekitar ulkus, akan teraba keras (indurasi), misalnya pada ulkus durum (sifilis stadium I). Rasa nyeri (dolent) pada perabaan dapat dirasakan pada ulkus mole (chancroid). 3. Sikatriks atau skar atrofi Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak mengandung jaringan ikat untuk mengganti jaringan yang rusak akibat penyakit atau trauma pada dermis yang lebih dalam. Bisa atrofi disebut skar atrofi. 4. Kista Rongga berkapsul yang berisi cairan atau bahan-bahan semisolid (sel dan produknya seperti keratin), yang bisa terletak di epidermis, dermis & subkutan.

218

Skuama

Krusta

Likenifikasi

Skar atropi

Skar hipertropi

Ekskoriasi

Fisura

Erosi

Ulkus

219

Kista Gambar 3. Lesi sekunder pada kelainan kulit

Jenis Morfologi
Berdasarkan pengelompokan penyakit (klinis), maka jenis morfologi dapat dibedakan berdasarkan lesi yang terlihat, yaitu monomorf atau polimorf. 1. Monomorf : Kelainan kulit terdiri atas satu jenis morfologi. Penyakit terdiri atas satu jenis lesi saja, misalnya bula pada impetigo bulosa, moluskum kontagiosum, miliaria, dan psioriasis gutata.

Gambar 4. Lesi monomorf makula eritematous pada psoriasisguttatae 2. Polimorf : Kelainan kulit pada satu saat terdiri atas bermacammacam morfologi (umumnya lebih dari 2), misalnya terlihat 220

eritema, papul, vesikel, erosi kusta. Lesi polimorfi dapat ditemukan misalnya pada dermatitis kontak alergi,varisela dan akne vulgaris.

Gambar 5. Lesi polimorf berupa makula eritematous, papula, vesikula, erosi, ekskoriasi dan krusta pada dermatitis atopik.

Deskripsi tipe (morfologi) lesi


Dalam mendeskripsikan tipe lesi primer dan sekunder harus disebutkan berurutan. Khusus untuk makula, patch dan plakat harus mendeskripsikan: a. Warna sama dengan warna kulit, merah, ungu, coklat,hitam, biru b. Batas tegas (sirkumskripta) atau tidak tegas (difus). c. Garis tepi reguler, ireguler. d. Ukuran kira-kira selebar telapak tangan dewasa. e. Bentuk bulat, oval, anular, linear, bervariasi (multiform). f. Ukuran: 1. Milier : sebesar kepala jarum pentol (ukuran terkecil). 2. Lentikuler : Sebesar kepala jarum pentol (ukuran terkecil) 3. Gutata : Sebesar tetesan air (ukuran harus seragam) 4. Numular : Sebesar uang koin/ logam 500 1000 rupiah. 5. Plakat : Ukuran kira-kira selebar telapak tangan dewasa. g. Permukaan maserasi 221

Batas lesi Bila perbedaan lesi dan kulit sehat terlihat jelas dan nyata, disebut berbatas tegas atau sirkumskrip. Contoh lesi berbatas tegas adalah plak psoriasis. Batas tidak tegas disebut difus. Contoh tepi lesi tidak tegas dapat dijumpai pada dermatitis atopik dan dermatitis seboroik.

Gambar 6. Psoriasis tipe plak dengan lesi batas tegas JUMLAH LESI : a. Soliter ( tunggal) b. Multipel ( lebih dari satu ) SUSUNAN LESI Lesi-lesi ganda dapat tersusun berkelompok/clustered (herpetiformis, zosteriform) dan tersebar/scattered (diskret, diseminata). Lesi berkelompok (cluster) : 1. Herpetiformis : Beberapa versikel bergerombol disatu tempat menyerupai lesi herpes. Contohnya adalah versikel bergerombol yang ditemukan pada dermatitis herpetiformis (Duhring disease), herpes simpleks.

222

A B Gambar 7. A. Bula berkelompok dengan susunan herpetiform pada dermatitis herpetiformis (duhring disease) ; B. Bula multipel dengan susunan herpetiform pada herpes simleks 2. Zosteriform : Lesi kulit yang mengikuti dermatom , misalnya pada herpes zoster

Gambar 8 . Vesikula berkelompok mengikuti dermatom dengan susunan zosteriform pada pasien herpes zoster Lesi tersebar (scatter) 1. Diskret : Bila lesi tersebar satu persatu, ada di mana-mana. Contohnya pada varisela ditemukan lesi polimorfi tersebar diskret.

223

Gambar 9. Umbilicated vesiculae yang tersebar diskret 2. Diseminata : Penjalaran dari satu lesi ke bagian badan yang lain. Penyebaran diseminata dapat ditemukan, misalnya pada dermatitis kontak alergika disertai autosensitisasi, mula-mula terdapat satu lesi kemudian menyebar ke bagian tubuh yang lain, ataupun pada id reaction.

Gambar 10. Dermatophytid id reaction Tinea pedis yang menyebar diseminata ke telapak tangan berupa vesikula yang sangat gatal.

224

Gambar 11.Lesi (erupsi makula dan papula) yang tersebar diseminata pada trunkal pasien id reaction akibat diaper dermatitis KONFIGURASI LESI 1. Anular /Sirsiner : berbentuk cincin; yang menunjukkan bahwa pinggir lesi berbeda dengan pusatnya, baik menonjol, bersisik, atau berbeda warnanya (misalnya granuloma annulare, tinea corporis, eritema annulare sentrifugum).

Gambar 12. Tinea korporis dengan konfigurasi anular 2. Bulat/Numular/Diskoid : berbentuk koin; biasanya lesi bulat sampai lonjong dengan morfologi yang sama dari bagian tepi hingga ke sentral lesi (misalnya eksema numular, psoriasis tipe plak, lupus diskoid

225

Gambar 13. Plak hiperpigmentasi pada dermatitis numularis 3. Arkuata/ Arsiner : bentuk lengkung; sering sebagai akibat dari pembentukan tidak lengkap dari sebuah lesi annular (seperti urtikaria, lupus eritematosus kutaneous subakut).

Gambar 14. . Lesi berbentuk lingkaran, pada tinea korporis. 4. Polisiklik : terbentuk dari lingkaran-lingkaran, cincin atau cincin inkomplit yang bergabung (seperti pada Tinea korporis, Tinea kruris).

226

Gambar 15. Pada regio thorakalis anterior tampak plak eritematus, berbatas tegas, tepi polisiklik, aktif dan meninggi, terdiri dari papulae eritematus , dengan bagian tengah mengalami penyembuhan (central healing) pada tinea corporis. 5. Linear : menyerupai sebuah garis lurus; sering menunjukkan kontaktan eksternal atau fenomena Koebner telah terjadi sebagai respon terhadap penggarukan; bisa berlaku bagi sebuah lesi tunggal (seperti scabies burrow, poison ivy dermatitis, atau pigmentasi bleomycin) atau tatanan lesi ganda (seperti liken nitidus atau liken planus).

Gambar 16. Liken striatus dengan konfigurasi linear 6. Irisformis :Lesi kulit tersusun menyerupai iris mata. Lesi dapat oval atau bulat dengan perbedaan warna, yaitu di bagian tengah lebih gelap dari pada bagian tepinya. Bagian tengah dapat pula 227

berbentuk vesikel/bula disekitarnya terbentuk halo. Contohnya adalah lesi target (irisformis) pada eritema multiformis.

Gambar 17. lesi target pada eritema multiforme 7. Korimbiformis : Lesi tersusun mirip seekor induk ayam dikelilingi anak-anaknya, atau suatu lesi induk (ukuran besar) dikelilingi lesi serupa (satelit) yang berukuran lebih kecil, contohnya dapat ditemukan pada kandidiasis kutis.

Gambar 18. Lesi satelit dengan konfigurasi korimbiformis pada kandidiasis intertriginosa 8. Retikular : Penampilannya mirip jaring, dengan cincin yang agak beraturan atau cincin parsial kulit yang jarang (misalnya livedo retikularis, cutis marmorata).

228

Gambar 19. Konfigurasi retikular pada livido retikularis 9. Serpiginosa : seperti atau mirip ular (seperti cutaneous larva migrans dimana larva bermigrasi dengan cara ini, atau urtikaria).

Gambar 20. Konfigurasi serpiginosa pada cutaneous larva migrants 10. Konfluens : Dua atau beberapa lesi menyatu. Ditemukan beberapa versikel menyatu, misalnya pada herpes simpleks.

Gambar 21. Bula konfluen pada herpes simpleks 229

DISTRIBUSI 1. Regional : Bila lesi terbatas; hanya ditemukan di satu tempat saja. 2. Unilateral : Lesi hanya ditemukan di satu sisi badan. Misalnya pada herpes zoster ditemukan lesi pada satu-dua dermatomal saja, misalnya di torakal 4-5 sinistra. 3. Bilateral : Bila lesi tersebar dikedua belahan tubuh, kanan dan kiri, tidak perlu persis baik letak maupun ukurannya. Misalnya pada dermatitis herpetiformis Duhring, Morbus Hansen tipe lepromatosa. 4. Simetris :Bila lesi tersebar dikedua belahan, kanan dan kiri, serta letaknya satu dan lainnya di tempat yang persis sama; demikian pula bentuk dan besar persis sama. Misalnya pada dermatitis atopik fase infantil dapat ditemukan plak di kedua pipi kiri dan kanan sama, contoh lainnya pada dermatitis kontak alergik akibat kontak sandal jepit. 5. Generalisata : Bila lesi tersebar ditemukan di setiap bagian tubuh, yaitu di skalp, wajah, ekstremitas, abdomen, punggung. Umumnya meliputi 50-90% luas permukaan tubuh. Penyebaran generalisata dapat ditemukan pada sindrom Stevens Johnson dan Varisela. 6. Universal : Bila lesi ditemukan tersebar hampir diseluruh tubuh (90-100%), hanpir tidak ada kulit yang sehat. Misalnya ditemukan pada eritroderma, penyakit leiner, bayi kolodion, dan iktiosis.

230

Regional

Simetris

Bilateral

Unilateral Generalisata Gambar 22. Distribusi lesi sesuai perjalanan penyakit

231

PEMERIKSAAN KLINIS atau CLINICAL TEST PEMERIKSAAN KLINIS PADA MORBUS HANSEN A. PEMERIKSAAN SARAF PERIFER 1. Pemeriksaan N. Auricularis magnus : a) Pasien di minta menoleh maksimal ke kiri sehingga M. Sternocleidomastoideus berkontraksi dan N. Auricularis Magnus terdorong ke superfisial, b) Dilakukan perabaan dengan 3 jari pada 1/3 atas M. Sternocleidomastoideus, dicari bentukan seperti kabel yang menyilang M. Sternocleidomastoideus, c) Terdapat struktur lain yaitu : V. Jugularis yang teraba lebih lunak dan ada pulsasi, sedangkan saraf teraba seperti kabel, d) Lakukan pemeriksaan yang sama pada N. Auricularis magnus sinistra, e) Kesimpulan : Terdapat/tidak terdapat penebalan/pembesaran N. Auricularis D/S, Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.

Gambar 23. Pemeriksaan Nervus Aurikularis magnus 232

2. Pemeriksaan N. Ulnaris (Singkap baju) a) Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa, agar otot rileks sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon, b) Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf Ulnaris didalam sulkus nervi ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolang tulang siku olkranon dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis), c) Dibedakan dari tendon dengan cara meraba ke proksimal, jika tendon akan menjadi otot, namun bila saraf akan tetap teraba seperti kabel, d) Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris, dan telusuri ke atas dengan halus sambil melihat mimik/reaksi penderita apakah tampak kesakitan atau tidak, e) Kemudian dengan prosedur yang sama untuk memriksa saraf ulnaris kiri (tangan kiri pemeriksa memegang lengan kiri penderita dan tangan kanan pemeriksa meraba saraf ulnaris kiri penderita tersebut), f) Kesimpulan : Apakah ada penebalan/pembesaran N. Ulnaris D/S,Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf, neuritis atau tidak.

233

Gambar 24. Pemeriksaan Nervus Ulnaris 3. Pemeriksaan N. Peroneus comunis/poplitea lateralis

(bersamaan, celana di gulung ke atas) a) Pasien dalam posisi duduk, kedua kaki dalam keadaaan relaksassi, sebaiknya dalam posisi menggantung lebih rileks, b) Pemeriksa duduk di depan penderita, dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan, c) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba ke atas samapi menemukan tonjolan tulang (caput fibula), setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf paraneous 1 cm ke arah belakang, d) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian ke kanan dan kiri sambil melihat mimik/reaksi penderita, e) Kesimpulan :Apakah ada penebalan/pembesaran N. Peroneus communis D/S, Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf. 234

Gambar 25. Pemeriksaan Nervus Peroneus communis 4. Pemeriksaan N. Tibialis posterior a) Pasien masih dalam duduk rileks, b) Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa meraba saraf Tibialis posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialias) dengan tangan

menyilang (tangan kiri pemeriksa memeriksa saraf tibialis kiri dan tangn kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan penderita), c) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik/reaksi dari penderita.

Gambar 26. Pemeriksaan Nervus Tibialis posterior 235

B. PEMERIKSAAN SENSIBILITAS 1. Pemeriksaan rasa nyeri a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan, b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa, c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha pasien atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa, d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan menekan jarum dengan ujung tajam pada kulit yang normal dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul, pasien harus mengatakan mana yang tajam dan mana yang tumpul. (ujung jarum tegak, gentle, jangan sampai berdarah), e) Mata pasien ditutup, lalu bergantian kedua ujung jarum tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai, f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa pada ujung jarum yang ditempelkan, maka disimpulkan bahwa sensasi nyeri di daerah tersebut terganggu.

Gambar 27. Tes rasa nyeri menggunakan ujung jarum suntik yang disentuhkan pada lesi 236

2. Pemeriksaan rasa raba 1. Pemeriksaan rasa raba pada tangan pada tangan a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan, b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa, c) Telapak tangan yang akan di periksa diletakkan di atas meja/paha penderita atu bertumpu pada tangan kiri pemeriksa sehingga semua ujung jari tersangga (tangan pemeriksa yang menyesuaikan diri dengan keadaan tangan penderita) misalnya claw hand, maka tangan pemeriksa menyangga ujung-ujung jari tersebut sesuai lengkungan jarinya. d) Jelaskan pada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan sentuhan ringan dari ujung ballpoint pada lengannya dan satau atau dua titik pada telapak tangannnya, e) Bila penderita merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain, f) Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif g) Penderita diminta menutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa, h) Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh, i) Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak berurutan (secara acak), j) Penyimpangan letak titik yang ditolerir 1 cm. 237

2.

Pemeriksaan rasa raba kaki a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan, b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa, c) Kaki kanan penderita diletakkan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap ke atas, d) Tangan kiri periksa menyanggah ujung kaki penderita, e) Berilah penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan menyentuh ujung ballpoint pada telapak kaki tanpa lesi (penderita membuka mata). Bila penderita merasakan sentuhan tersebut, diminta penderita menunjuk tempat sentuhan tersebut, f) Cara mengetes tersebut diulang, hingga penderita mengerti dan kooperatif, g) Pada daerah yang menebal boleh sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm, h) Dengan ujung ballpoint pemeriksa menyentuh tangan penderita pada titik-titik tertentu di telapak tangan secara acak, i) Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

3. Pemeriksaan rasa raba di tubuh / kulit a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan, b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa, 238

c) Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba, d) Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai (dari tengah ke tepi lesi). e) Sebelumnya kita menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus

menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya, ini dikerjakan dengan mata terbuka, f) Bilamana hal ini telah jelas, maka pasien diminta menutup matanya , kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain / karton, g) Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anestesi.

Gambar 28. Tes raba menggunakan ujung kapas yang disentuhkan pada lesi 239

3. Pemeriksaan rasa suhu a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan, b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa, c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan dia tas meja/paha pasien atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa, d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung tabung reaksi yang berisi air panas (sebaiknya 40oC) dan air dingin (20oC) pada daerah kulit yang normal, untuk memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin, e) Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu

bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai, f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa tabung yang ditempelkan, maka disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah terganggu. tersebut

Gambar 29. Tes suhu menggunakan 2 tabung reaksi yang berisi air dingin dan air hangat. Bila ada gangguan sensibilitas, pasien tidak dapat membedakan dingin dan panas 240

PEMERIKSAAN KLINIS PADA URTIKARIA (TES DERMOGRAFISME) Menggores kulit dengan benda tumpul dilakukan guna menilai : dermographism, yaitu urtika atau wheal linear yang muncul akibat goresan

Gambar 23 . Dermographism pada pasien urtikaria

PEMERIKSAAN KLINIS PADA DERMATITIS ATOPIK (White Dermographism) White dermographism, yaitu garis putih yang terjadi setelah goresan ( tidak mengikuti triple phenomena Lewis yang seharusnya ), hal tersebut dapat terlihat pada penderita dermatitis atopik. Dasar pemikiran adalah bahwa pada kulit normal bila digores dengan benda tajam maka ;
- Pertama : timbul garis putih yang kemudian berubah menjadi kemerahan - Kedua - Ketiga : timbul daerah kemerahan disekitar tempat goresan : timbul edema setelah beberapa menit

241

Pada penderita dermatitis atopik, garis merah yang terjadi tidak segera disusul dengan daerah kemerahan tetapi malah disusul warna putih pucat selama 2-3 menit.

Gambar 24. White dermographysm PEMERIKSAAN KLINIS PADA PSORIASIS VULGARIS Kaarsvlek phenomen (fenomena tetesan lilin) : dapat dibuktikan pada skuama berlapis, yaitu menggores skuama pada lesi dengan skapel/ pinggir kaca objek sehingga skuama akan berubah warnanya menjadi putih seperti lilin disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Autzpitz sign (tanda Auspitz) : bila penggoresan diteruskan akan tampak bintik-bintik perdarahan (pin point bleeding), yang disebabkan oleh disebabkan pemenggalan papila dermis dan pelebaran serta berkelok-keloknya pembuluh darah. Tanda Auspitz ini lebih mempunyai nilai diagnostik. Koebner phenomen (fenomena Koebner) : lesi yang sama

seperti lesi sebelumnya dapat timbul pada tempat trauma se-perti garukan, lokasi sunburn atau pembedahan.

242

Gambar 25. A. Pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda auspitz B. Fenomena Koebner PEMERIKSAAN KLINIS PADA PURPURA : Tes Diaskopi Pemeriksaan secara diaskopi, yaitu cara memeriksa dengan menekan lesi kulit menggunakan benda transparan, misalnya kaca obyek atau spatel plastik, digunakan untuk membedakan antara eritema (akibat vasodilatasi) dengan purpura (akibat ekstravasasi eritrosit); juga warna apple jelly (kekuningan) dapat terlihat pada lupus vulgaris Bila terdapat kemerahan lakukan tes diaskopi + (warna merah menghilang) = macula eritematous (warna merah tidak menghilang) = purpura atau telangiektasis

Gambar 26. Tes diaskopi 243

TES KLINIS PADA BULLOUS DISEASE : Nikolsky sign Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. (Nikolskys sign type 1), misalnya pada stevens johnson syndrome , toxic epidermal necrolysis, pemvigus vulgaris Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas karena cairan di dalamnya mengalami tekanan. (Nikolskys sign type 2 / asboe hansen sign), misalnya pada pemfigoid bulosa.

Gambar 27. A. Nikolskys sign ;

B. Asboe hansen sign

PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN LAMPU WOOD Menggunakan lampu merkuri tekanan tinggi yang menghasilkan sinar UV (360 nm), untuk memeriksa memeriksa infeksi jamur dan bakteri pada kulit superfisial, menggambarkan derajat pigmentasi antara kulit normal dengan kulit yang ada lesinya, menentukan area kulit hipopigmentasi atau amelanosit.

244

Alat :Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya. Prinsip kerja : Sinar Wood diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul metabolik organisme penyebab, sehingga menimbulkan indeks bias berbeda, dan menghasilkan pendaran warna tertentu. Cara kerja : Kulit dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin. Obat topikal, bahan kosmetik, lemak, eksudat harus dibersihkan terlebih dahulu karena dapat memberikan hasil positif palsu. Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya agar perbedaan warna lebih kontras. Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa 10-15cm, Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran

paling besar/jelas. Interpretasi : Tinea kapitis (M. caris, M. audouinii, M. rivalieri, M. Ferrugineum dan M. gypseum) hijau terang. Pitiriasis versikolor: putih kekuningan, orange tembaga, kuning keermasan atau putih kebiruan (metabolit koproporfirin). Tinea favosa (Trichophyton schoenleinii) : biru suram / hijau suram (akibat metabolit pteridin). Eritrasma (Corynebacterium minutissimum) : merah koral

(metabolit porfirin).

Infeksi pseudomonas : hijau (metabolit

pioverdin atau fluoresein). Hasil positif palsu : salep dan krim dikulit atau eksudat : biru, jingga; tetrasiklin, asam salisilat dan petrolatum : kuning

245

Gambar 28. Wood lamp

Gambar 29. A. Fluoresen merah bata pada eritrasma, B. Fluoresen kekuningan pada pityriasis versikolor

Gambar 28. Fluoresen hijau pada tinea kapitis 246

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan KOH, pemeriksaan sediaan langsung atau basah, pewarnaan gram, kultur, Tzank test, Bacterial index dan Morphological index, biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologis, pemeriksaan imunohistokimia, pemeriksaan genetik, dan biomolekuler) imunofluoresensi dan

serologis, radiologis, pemeriksaan

247

Cheklist Pemeriksaan Fisik Kulit


Nama Mahasiswa: NIM: No 1. Aspek yang dinilai Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik: Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan Status dermatologis : Menggunakan kaca pembesar (loupe), menentukan regio, tipe lesi primer dan sekunder secara berurutan, jumlah lesi, konfigurasi lesi, susunan lesi, distribusi lesi. Melaporkan deskripsi status dermatologis 3. a. Tes Klinis Tes klinis pada Morbus Hansen Pemeriksaan saraf perifer o N. Auricularis magnus dextra/sinistra o N. Ulnaris dextra/sinistra o N. Peroneus communis dextra/sinistra o N. Tibialis dextra/sinistra Pemeriksaan sensibilitas o Rasa nyeri o Rasa raba o Rasa suhu Tes klinis pada bullous disease (SJS/TEN/Pemfigus vulgaris, Pemfigoid bulosa): Nikolskys sign Asboe Hansen sign/bullous spread phenomen Tes klinis pada Psoriasis vulgaris: Kaarsvlek phenomen Austpitz sign Koebner phenomen Tes klinis pada Urtikaria: Tes Dermografisme Tes klinis pada Dermatitis atopik: Tes Dermografisme putih Tes klinis pada Purpura: Tes Diaskopi Skor 0 1 2

2.

b.

c.

d. e. f.

248

g.

Pemeriksaan menggunakan lampu Wood : pada tinea kapitis, pityriasis versikolor, dan eritrasma SKOR YANG DIDAPAT SKOR TOTAL Banda Aceh,2013

Instruktur

Ket :

0 = Tidak dilakukan 1 = dilakukan, dengan perbaikan lebih dari 50 % 2 = dilakukan, dengan perbaikan kurang dari 50%

Cakupan penguasaan keterampilan : (Skor/Skor Total) x 100%............%

249

You might also like