You are on page 1of 23

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kejahatan Seksual Kejahatan seksual merupakan perilaku motivasi seksual dengan paksaan yang melanggar privasi walaupun terdapat perlawanan. Kejahatan seksual adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum-hukum yang mengatur tentang seksualitas. Kejahatan seksual dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang mengandung unsur persetubuhan dan yang tidak mengandung unsur persetubuhan. Persetubuhan yang dimaksud adalah adanya penetrasi penis ke dalam vagina secara total maupun sebagian disertai atau tanpa ejakulasi. Kejahatan seksual yang mengandung unsur persetubuhan contohnya berzina, perkosaan, menggauli perempuan tidak berdaya, menggauli perempuan di bawah umur, dan incest. Sedangkan yang tidak mengandung unsur persetubuhan adalah perbuatan cabul.1 Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual adalah sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk dalam pengertian kasus kejahatan seksual.6 Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada BAB XIV KUHP, yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan yang meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan. Sedangkan segala perilaku seksual yang dilakukan pada anak di bawah umur atau pada seseorang dengan retardasi mental termasuk dalam lingkup terminologi kejahatan seksual.7 2.2 Perkosaan 2.2.1 Definisi Umum

Definisi secara umum dari perkosaan adalah perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan, menciptakan ketakutan, atau dengan cara memperdaya. Pengertian perkosaan di Indonesia sesuai dengan Pasal 285 KUHP yang bunyinya :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jadi tindak pidana perkosaan di Indonesia harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur Pelaku, yaitu: a. Harus orang laki-laki b. Mampu melakukan persetubuhan 2. Unsur Korban, yaitu a. Harus orang perempuan b. Bukan isteri dari pelaku 3. Unsur perbuatan, terdiri atas a. Persetubuhan dengan paksa b. Pemaksaaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan.5 Undang-Undang yang mengatur tindak pidana perkosaan di Indonesia selain pasal 285 KUHP, yaitu: Pasal 286 KUHP Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun Pasal 287 KUHP Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 288 KUHP Bersenggama didalam perkawinan yang mengakibatkan luka atau kematian8 Pasal 285 sampai dengan 288 KUHP menjadi acuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus perkosaan dan kejahatan persetubuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa undang-undang khusus di dalamnya juga mengatur tentang perkosaan; Undangundang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur perkosaan sebagai salah satu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan; Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang perkosaan terhadap anak.5 2.2.2 Pengertian Tindak Pidana Perkosaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari etiologi/asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut: Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. Memperkosa : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan:2) melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan. Perkosaan : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; 2) pelanggaran dengan kekerasan9 Backs Law Dictionary, yang dikutip oleh Topo Santoso, merumuskan perkosaan atau rape sebagai berikut: unlawfull sexual intercourse with a female without her consent. The unlawfull carnal knowledge of a woman by a man forcibly and against her will. The act of sexual intercourse committed by a man with a woman not his wife and without her consent, committed when the womans resistance is overcome by force of fear, or under prohibitive conditions (hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya. Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan

bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan, atau di bawah keadaan penghalang) Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa: Seorang laki-laki yang melakukan sexual intercourse dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dinyatakan bersalah jika; 1) Dia memaksa perempuan itu untuk tunduk/menyerah dengan paksa atau dengan ancaman akan segera dibunuh, dilukai berat, disakiti atau diculik, akan dibebankan pada orang lain; atau 2) Dia telah menghalangi kekuatan perempuan itu untuk menilai atau mengontrol perbuatannya dengan memberikan obatobatan, tanpa pengetahuannya, racun atau bahanbahan lain dengan tujuan untuk mencegah perlawanannya; atau 3) Perempuan itu dalam keadaan tidak sadar; 4) Perempuan itu di bawah usia 10 tahun.10 2.2.3 Karakteristik Tindak Pidana Perkosaaan Adapun karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan menurut Kadish yaitu bukan ekspresi agresivitas seksual (the aggressive axpression of sexuality) tapi ekspresi seksual agresivitas (sexual expression of aggression). Artinya, perwujudan keinginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat menyerang atau memaksa lawan jenia (pihak) lain yang dapat dan dianggap mampu memenuhi kepentingan nafsunya. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan: a. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap perkosaan; b. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata; c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu;

d. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger dan violation, control and domination,erotis; e. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional; f. Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4-19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban; g. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan Di antara karakteristik perkosaan itu, ciri kekerasan dan sulitnya dilakukan pembuktian tampaknya perlu mendapatkan perhatian utama. Kekerasan yang menimpa korban bukan hanya berdampak merugikan ketahanan fisikmya, namun juga ketahanan psikologisnya. Kondisi buruk yang membuat korban tidak berdaya ini berdampak buruk lebih lanjut pada persoalan penegakan hukumnya.11 2.2.4 Jenis-Jenis Perkosaan Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut: a. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. b. Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.

c. Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. d. Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks. e. Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. f. Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib11

2.3 Alur Pemeriksaan Korban Perkosaan dan Korban Kejahatan Seksual Lain

Keterangan : : alur normal KUHAP : alur yang IDEAL pusat penanganan kekerasan terpadu : alur yang sering dijumpai di lapangan

2.3.1 Alur yang Dapat Ditempuh Korban Pada alur normal KUHAP, korban melaporkan pada penyidik POLRI, kemudian dari penyidik POLRI membuatkan surat permintaan visum et repertum untuk di serahkan pada dokter. Lalu korban datang ke dokter untuk melakukan visum et repertum. Sedangkan pada alur ideal Pusat Penanganan Kekerasan Terpadu, dari korban dapat langsung melaporkan pada

penyidik POLRI ataupun ke dokter untuk melakukan visum et repertum. Alur yang sering dijumpai dilapangan adalah korban datang kepada dokter lalu dokter membuatkan surat keterangan dokter untuk diserahkan pada penyidik POLRI lalu penyidik POLRI menyerahkan surat tersebut kepada dokter forensik untuk kemudian melakukan visum. Korban juga dapat langsung menyerahkan surat keterangan dokter kepada dokter forensik, yang kemudian dokter forensik yang melakukan visum et repertum.

2.3.2 Alur Yang Dapat Ditempuh Oleh Relawan

Gambar 3 6 : ini menjelaskan pada pihak lain (relawan) dapat memanfaatkan, meminta bantuan kepada dokter forensik, yaitu selain sebagai pemeriksa, juga sebagai mediator.

Pada alur yang dapat ditempuh oleh relawan, korban yang biasanya didampingi oleh relawan datang ke dokter obstetri-ginekologi, psikiater, spesialis bidang lain ataupun dokter umum, setelah melakukan berbagai macam pemeriksaan, kemudian dibawa ke dokter spesialis forensik dan medikolegal, setelah diperiksa kemudian diserahkan pada penyidik POLRI atau setelah mendapat pemeriksaan dari dokter spesialis obstetri-ginekologi, psikiater, dokter umum atau bidang spesialis lain, korban dapat langsung dibawa ke penyidik POLRI untuk melaporkan kasusnya dan hasil pemeriksaannya. Dapat juga dari korban dan relawan langsung datang ke dokter spesialis forensik dan medikolegal kemudian setelah diperiksa, korban dibawa ke penyidik POLRI. Pada alur ini menjelaskan bahwa relawan dapat memanfaatkan, meminta bantuan kepada dokter forensik, yaitu selain sebagai pemeriksa, juga dapat sebagai mediator.

2.3.3 Alur Pemeriksaan Forensik Klinik

Pada alur ini korban yang sudah membawa surat permintaan visum et repertum datang ke dokter umum, atau dokter obstetri-ginekologi, dokter bedah, atau dokter bidang lainnya untuk

melakukan pemeriksaan, kemudian diserahkan kepada dokter forensik untuk dilakukan visum et repertum.

2.4 Pemeriksaan Medis pada Korban Perkosaan 2.4.1 Prinsip Pemeriksaan Korban Perkosaan Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban perkosaan : Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih berat.12 Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.12 Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.12

2.4.2 Aspek Medis Perkosaan Bantuan yang dapat diberikan oleh seorang dokter dalam pemeriksaan korban perkosaan adalah:12 1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya 2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) 3. Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawini, termasuk tingkat perkembangan seksual dan membantu identifikasi pelaku. 4. Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban

Adapun langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut: 2.4.3 Pemeriksaan terhadap korban Setiap pemeriksaan korban mutlak diperlukan pemeriksaan yang teliti guna menemukan beberapa hal yang menjadi unsur tindak pidana yaitu unsur persetubuhan dan kekerasan.5 2.4.3.1 Tanda tanda persetubuhan a. Tanda langsung Robeknya selaput dara akibat penetrasi penis Lecet atau memar akibat gesekan penis Adanya sperma akibat ejakulasi

b. Tanda tak langsung Terjadinya kehamilan Terjadinya penularan penyakit kelamin

2.4.3.2 Tanda tanda kekerasan Tindakan pelaku yang bersifat fisik yang dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi. Kekerasan tersebut di maksudkan untuk menimbulkan ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Maka dari itu perlu di cari tanda tanda kekerasan fisik yang berada diluar kelamin, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan. Selain itu termasuk kekerasan disini adalah penggunaan obat obatan yang dapat mengakibatkan korban tak sadar. Jika ditemukan tanda tanda kekerasan fisik maka disimpulkan jenis luka, jenis benda penyebabnya serta derajat luka.5 2.4.4 Anamnesis Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:12

Umur atau tanggal lahir, Status pernikahan, Riwayat paritas dan abortus, Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid) Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum atau setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya) Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA) Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu) Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti: What & How: Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan Adanya upaya perlawanan Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah kejadian Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit) Apakah ada nyeri di daerah kemaluan Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar Adanya perdarahan dari daerah kemaluan Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina Penggunaan kondom, dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya. When: Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor

Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang. Where: Tempat kejadian, dan jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban). Who: Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak Jumlah pelaku Usia pelaku, dan hubungan antara pelaku dengan korban. 2.4.5 Pemeriksaan fisik Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe. Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk life-saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus. 12 2.4.5.1 Pemeriksaan Fisik Umum Pemeriksaan fisik umum mencakup : Tingkat kesadaran Keadaan umum Tanda vital Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain) Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya) Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas) Status generalis Tinggi badan dan berat badan Rambut (tercabut/rontok) Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga) Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau patah)

Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder Tanda-tanda intoksikasi NAPZA Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Gambar. Luka gigitan pada bahu

Terdapat beberapa teknik pemeriksaan pada korban perkosaan anak-anak.13

A.

Frog leg position

B. Frog leg with patient on caretaker leg

C. Knee chest position

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:12 Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani) Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani

Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah ada perlukaan Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lender Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan atau lendir Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis, Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani atau air liur dari pelaku Tanda-tanda kehamilan Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi (Gambar 2). Pada jenis jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.12

Gambar 2 Beragam jenis selaput dara

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai.13 2.4.5.2 Pemeriksaan penunjang Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:12 o Pakaian yang dipakai korban saat kejadian, diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-daun kering

o Rambut pubis, yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran o Kerokan kuku, apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban o Swab, dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada sodomi),atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual o Darah, sebagai sampel pembanding untuk identifikasi dan untuk mencari tanda-tanda intoksikasi NAPZA o Urin, untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.12

2.4.5.2.1 Pemeriksaan DNA Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pitapita yang berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain. 13 Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-

satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis. 13 Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe) . Berbeda dengan tehnik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh, jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama menyingkirkan tersangka sebagai pelaku.13 Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (metode Polymerase Chain Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing.13 2.5 Dampak dan penatalaksanaannya pada korban perkosaan Dampak yang muncul pada korban perkosaan adalah dampak fisik dan dampak psikis (kejiwaan). Yang dimaksud dengan dampak fisik disini adalah (1) adanya kerusakan organ tubuh, seperti robeknya selaput dara, adanya luka ataupun memar; (2) terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan yang tidak dikehendaki; (4) kematian. Sedangkan dampak psikis adanya gangguan emosi yang dapat menyebabkan gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, depresi, stres, ketakutan bahkan dapat menyebabkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)15.

2.5.1 Dampak Fisik Dalam mentatalaksana dampak fisik yang muncul, bila didapatkan adanya luka dilakukan perawatan luka, dengan mengobati luka yang terjadi pada korban sesuai dengan protocol yang ada. Bila didapatkan adanya luka terbuka dapat dilakukan pencucian luka, pemberian antibiotic kemudian penutupan luka, bila diperlukan dilakukan hecting. Adanya memar dilakukan pengompresan tetapi tindakan pengobatan ini dilakukan setelah semua luka di deskripsikan dan dicatat untuk keperluan pembuatan visum. Untuk penyakit menular seksual yang sering adalah Gonore (GO) dan sifilis. Penyakit gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhea, masa inkubasi pada wanita berkisar antara 7-21 hari14. Gejala yang muncul, awalnya keputihan, rasa gatal, atau hanya rasa sakit ringan pada uretra. Pemeriksaan serviks akan nampak berwarna merah, membengkak, perlukaan dan tertutup oleh lender bernanah. Lendir yang dikeluarkan sangat infeksius (bersifat menginfeksi). Sifilis disebut juga dengan raja singa, yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Gejala pada fase awal, penyakit ini menimbulkan luka yang tidak terasa sakit atau "chancres" yang biasanya muncul di daerah kelamin tetapi dapat juga muncul di bagian tubuh yang lain. Jika tidak diobati penyakit akan berkembang ke fase berikutnya yang dapat meliputi adanya gejala ruam kulit, demam, luka pada tenggorokan, rambut rontok dan pembengkakan kelenjar di seluruh tubuh14. Pencegahan yang dilakukan terhadap gonore dan sifilis, diberikan Penisilin 4,8 juta unit atau amoksisilin 3 gram dan probenesid 1 gram atau seftriakson 250 miligram intramuskuler. Bila alergi penisilin, berikan spektinomisin 2 gram intramuskular diikiti doksisiklin 100 miligram 2 kali sehari peroral selam 7 hari. Wanita hamil diberikan eritromisin 500 miligram 4 kali selama 7 hari, anak-anak 30-50 miligram/kilogram berat badan per hari dibagi dalam 4 dosis. Untuk anak-anak tidak direkomendasikan pemberian profilaksis, kecuali dipastikan terinfeksi. Selain kedua penyakit tersebut korban harus dicurigai terhadap adanya infeksi HIV oleh karena itu dilakukan pemeriksaan untuk HIV dan pencegahannya. Dapat diberikan terapi antiretroviral (ARV) sebagai Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) atau Post Exposure Prophylaxis (PEP), waktu terbaik pemberian profilaksis ini adalah sebelum 4 jam sesudah kejadian, tetapi tetap dapat diberikan dalam 48-72 jam setelah kejadian12. Yang diberikan adalah AZT + 3CT + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) atau AZT + 3TC + LPV/r (Lopinavir/Ritonavir)12.

ARV untuk PEP diberikan selama 1 bulan. Perlu dilakukan Tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP. Untuk kehamilan yang tidak dikehendaki, bila kehamilan belum terjadi, dapat diberikan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan itu terjadi. Yang dimaksud Kontrasepsi Darurat adalah kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan bila digunakan setelah hubungan seksual. sering juga disebut "Kontrasepsi Pasca senggama" atau "Morning after pills" atau "Morning after treatment"13. Cara kerja kontrasepsi ini adalah, (1) merubah endometrium sehingga tidak memungkinkan implantasi hasil pembuahan; (2) mencegah ovulasi / menunda ovulasi; (3) mengganggu pergerakan saluran telur (tuba fallopi). Kontasepsi ini bersifat hormonal dan digunakan secara oral. Kontrasepsi ini diberikan dalam waktu kurang dari 72 jam. Yang dapat diberikan adalah Pil KB Kombinasi dengan dosis 2x4 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis pertama1x4 tablet diulang 1x4 tablet 12 jam kemudian setelah dosis pertama), Pil Estrogen dengan dosis 2x10 mg dalam waktu 3 hari pasca senggama selama 5 hari, Mifepristone (mis : RU-486) dengan dosis 1x600 mg dalam waktu 3 hari pasca senggama13. Efek samping yang mungkin muncul antara lain mual, muntah, perdarahan bercak, nyeri payudara. Bila kehamilan sudah tejadi, kahamilan dapat dilanjutkan atau tidak dilanjutkan. Tidak dapat dilanjutkan bila kehamilan ini mengganggu psikis korban, sesuai dengan UU Kesehatan No 36 tahun 2009 Pasal 75 dan pasal 76 yang berbunyi :

Pasal 75 (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

2.5.2 Dampak psikis (kejiwaan)

Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingataningatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau biasa disebut stres paska trauma15. Tanda-tanda PTSD hampir sama dengan tanda pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association. Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau

adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati15. Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi16. Pada farmakoterapi, pemberian anti depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah Diazepam (valium) 5-10 mg per kilogram berat badan, Klonazepam 0,25-0,5 mg per kilogram berat badan, atau Lorazepam 1-2 mg per kilogram berat badan16. Pada psikoterapi terdapat tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy16 . Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal hal yang membuat stress (stresor), 4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. Exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the

imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi. Proses penyembuhan korban trauma perkosaan membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Mereka membutuhkan kawan bicara, baik teman, orang tua, pekerja social, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Dukungan yang paling utama diharapkan dari keluarga korban itu sendiri. Dengan adanya dukungan ini diharapkan korban akan mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala sebelum adanya kejadian.

You might also like