You are on page 1of 16

1

UJI ANESTESI LOKAL


PADA
MENCIT

BAHAN
FARMAKOLOGI DAN TERAPI

OLEH:
necel
NIM xx.xxxxx.xxxxx.09

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2007
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. (Wikipedia, 2007)
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi,
dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang
opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam
para amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi korneal. (Rusda, 2004)
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine
yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat
addiksi dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat
termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan Chloroprocaine, dan semuanya
terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan
reaksi alergi. (Rusda, 2004)
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat-
obat dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu,
sebagai mahasiswa kedokteran harus mempelajari bagaimana memilih jenis obat
anastesi lokal yang akan digunakan dan cara penggunaannya.

B. Tujuan
Membandingkan efek farmakologik lidokain dengan dan tanpa adrenalin
yang diberikan secara topical pada mukosa mata kelinci.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anastesi Lokal
Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Anastetik local
sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen.
Kebanyakan anastetik local memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar,
sebaba anastetik lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus
sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup
waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai
memperpanjang masa pemulihan. Zat anastetik local juga harus larut dalam air,
stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mkengalami perubahan. (Katzung,
1997)
1. Kimiawi
Umumnya obat anastesi local terdiri dari sebuah gugus lipofilik (biasanya
sebuah cincin aromatic) yang berikatan dengan sebuah rantai perantara
(umumnya termasuk suatu ester atau amida) yang terikat pada satu gugus
terionisasi (biasanya suatu amin tersier). Aktivitas optimal memerlukan
keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik.
Penambahan sifat fisik molekul, maka konfigurasi stereokimia spesifik menjadi
penting, misalnya perbedaan potensi stereoisomer telah diketahui untuk
beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti prokain) lebih mudah
terhidrolisis dari ikatan amida maka lama kerja ester biasanya lebih singkat.
Anastesi local bersifat basa lemah. Untuk aplikasi terapeutik, biasanya dibuat
sebagai garam agar mudah larut dan lebih stabil. Di dalam tubuh obat akan
menjadi basa tanpa muatan atau sebagai kation. (Katzung, 1997)
2. Absorbsi
Absorbsi sistemik suntikan anastesi lokal dari tempat suntikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat-
jaringan, adanya bahan vasokonstriktor dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi
anastesi local pada daerah yang kaya vcaskularisasinya seperti mukosa trakea
menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah
yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang perfusinya jelek seperti tendon.
Untuk anatesi regional yang menghambat saraf yang besar kadar darah
maksimum anastesi local menurun sesuai dengan tempat pemberian yaitu:
interkostal (tertinggi) > caudal > epidural > pleksus brachialis > saraf ischiadicus
(terendah). Bahan vasokontriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan
sistemik anastesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan mengurangi aliran
darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang masa
kerjanya singkat atau lemah seperti prokain, lodokain, dan mepivakain (tidak
untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat local
yang tinggi dan efek toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang
masuk dalam darah hanya sepertiganya saja. Kombinasi pengurangan
4

penyerapan sistemik dan peningkatan ambilan saraf inilah yang memungkinkan


perpanjangan efek anastesi local sampai 50%. Vasokonstriktor kurang efektif
dalam memperpanjang sifat anastesi obat yang mudah larut dalam lipid dan
bekerja lama (bupivakain, etidokain) mungkin karena molekulnya sangat erat
terikat dalam jaringan. Selain itu katekolamin mungkin mempengaruhi fungsi
neuronal antara lain meningkatkan analgesia terutama pada medulla spinalis.
(Katzung, 1997)
3. Ditribusi
Anastesi local amida disebar meluasa dalam tubuh setelah pemberian
bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi
dalam jaringan lemak setelah fase distribusi awal yang cepat yang mujngkin
menandakan ambilan kedalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, hati,
ginjal dan jantung, diikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan
dari jaringan yang perfusinya sedang seperti otot dan usus. Karena waktu paruh
plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester, maka distribusinya tidak
diketahui. (Katzung, 1997)
4. Metabolisme dan Ekskresi
Anastesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang
mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena
anastesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka
sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan.
Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk
bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diekskresikan karena
bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. (Katzung, 1997)
Tipe ester anastesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh
butirilkolinesterase (Pseudocolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali
mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain
dan kloroprokain. (Katzung, 1997)
Ikatan amida dari anastesi lokal amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal
hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida didalam hati ini bervariasi bagi
setiap individu, perkiraan urutannya adalah prilokain (tercepat) > etidokkain >
lidokain > mepivakain > bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari
anestesi lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan
fungsi hati. Penurunan pembersihan anestesi lokal oleh hati ini harus diantisipasi
dengan menurunkan aliran darah ke hati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain
oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari
pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan
pembersihan ini berhubungan dengan penurunan aliran darah ke dalam hati dan
penekanan mikrosom hati karena halotan. Propanolol dapat memperpanjang
waktu paruh anestesi lokal amida. (Katzung, 1997)
5. Mekanisme Kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan
membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan potensial
transmembran sekitar -90 sampai -60 mV. Selama eksitasi, saluran natrium
terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat ke dalam sel dengan cepat
mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40 mV).
Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan
saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah
5

keseimbangan potensial kalium (sekitar -95 mV); terjadi lagi repolarisasi saluran
natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan ionik transmembran
dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada otot
jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringan
tersebut. (Katzung, 1997)
Anestesi lokal mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan
menghambat saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase. Bila
peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal digunakan pada satu
serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls saraf
melambat, kecepatan munculnya potensial aksi menurun, ampltudo potensial
aksi mengecil, dan akhirnya kemampuan melepas satu potensial aksi hilang.
Efek yang bertambah tadi meupakan hasil dari ikatan anestesi lokal terhadap
banyak dan makin banyak saluran natrium; pada setiap saluran, ikatan
menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat melebihi titik kritis
saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin
terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk menghambat propagasi,
potensial istirahat jelas tidak terganggu. (Katzung, 1997)
Penghambatan saluran natrium oleh anestesi lokal adalah bergantung
pada voltase dan waktu: Saluran dalam keadaan istirahat mempunyai afinitas
yang lebih rendah terhadap anestesi lokal daripada keadaan diaktifkan. Oleh
karena itu, efek dari kadar obat yang diberikan makin jelas pada akson yang
meletup cepat daripada serat dalam keadaan istirahat. (Katzung, 1997)
Peningkatan kalsium ekstrasel sebagian mengantagonisir kerja anestesi
lokal. Kebalikan ini disebabkan oleh peningkatan potensial di permukaan
membran karena kalsium, sehingga menimbulkan keadaan istirahat yang
berafinitas rendah. Sebaliknya, peningkatan kalium ekstrasel mendepolarisasi
potensial membran dan cocok untuk keadaan inaktif. Keadaan ini memperkuat
efek anastesi lokal. (Katzung, 1997)
Kerja anestesi lokal juga dipengaruhi :
1) pka : Obat anestesi lokal yang mempunyai pka mendekati PH fisiologis
mis: 7,4 akan mempunyai konsentrasi basa nonionisasi yang tinggi dan
akan mudah menembus membran sel syaraf sehingga “ onset of action “
akan lebih cepat.
2) Lipid Solubility : Kemampuan obat anastesi lokal untuk menembus
lingkungan hydrophobic sehingga makin mudah larut dalam lemak, maka
“duration of action” semakin panjang.
3) Protein Binding : Obat anastesi lokal yang berikatan dengan plasma protein
(α1-acid glycoprotein), maka “duration of action” obat anastesi lokal
menjadi lebih panjang. Oleh karena itu sangat hati-hati pada pasien
dengan plasma protein yang rendah, dan obat akan bebas dalam sirkulasi
darah sehingga akan timbul efek toksik pada pasien. (Rusda, 2004)
6. Perbedaan Sensitivitas Serat Saraf
Pada umumnya serabut kecil lebih peka terhadap anestetik lokal. Serabut
saraf terkecil yang tidak bermielin umumnya lebih cepat dihambat daripada
serabut bermielin. Faktor lain yang menentukan kepekaan saraf terhadap
anestetik lokal ahíla tipe serabut secara anatomis. Kepekaan serabut saraf
terhadap anestetik lokal tidak tergantung dari fungsi serabut itu, dengan demikian
serabut sensorik maupun motorik yang sama besar tidak berbeda kepekaannya.
Kepekaan serabut halus bermielin melebihi kepekaan serabut besar bermielin.
Sekiranya tempat kerja anestetik lokal berlokasi dalam eksoplasma, maka
6

serabut halus yang memiliki permukaan lebih luas per unit volume akan
menyerap anestetik lokal lebih cepat daripada serabut besar dan dapat
dimengerti bahwa serabut kecil akan lebih cepat mengalami efek anestetik lokal.
(Syarif dan Sunaryo, 2007)
Dengan alasan yang sama eliminasi anestetik lokal harus berlangsung
lebih cepat pada serabut halus. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan
pemikiran ini. Serabut halus memang mengalami efek anestetik lokal lebih cepat,
tetapi pemulihan fungsi serabut halus lebih lambat daripada serabut besar.
(Syarif dan Sunaryo, 2007)
7. Komplikasi
Menurut De Jong respons yang tidak enak / tidak dapat dikendalikan dari
anastesi lokal sering disebut “reaksi” yang dibagi terpisah dalam 2 kategori,
yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal. (Rusda, 2004)
Reaksi sistemik terjadi jika obat menyebar dalam darah dan
memungkinkannya mencapai organ-organ yang jauh. Efek sistemik yang
disebabkan oleh zat anastesi lokal paling banyak melibatkan susunan syaraf
pusat (SSP) dan sistem kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih sensitif
terhadap anastesi lokal daripada kardiovaskuler . Oleh karena itu manifestasi
pada SSP cenderung terjadi lebih cepat. Reaksi sistemik tergantung dari dosis,
sehingga makin tinggi konsentrasi obat anastesi lokal dalam darah, makin jelas
responsnya. Oleh karena itu tindakan untuk menurunkan kadar anastesi lokal
dalam darah (seperti penggunaan gabungan dengan dosis kecil suatu
vasokonstriktor untuk mengurangi absorbsi) dapat mengurangi reaksi sistemik.
(Rusda, 2004)
Epinefrin mengurangi kecepatan absorbsi anastesi lokal sehingga akan
mengurangi juga toksisitas sistemiknya. Dalam klinik, larutan suntik anastesi
lokal biasanya mengandung epinefrin (1 dalam 200.000 bagian), norepinefrin (1
dalam 100.000 bagian). Pada umumnya zat vasokonstriktor ini harus diberikan
dalam kadar efektif minimal. (Syarif dan Sunaryo, 2007)
Reaksi lokal berupa nyeri pada penyuntikan, rasa terbakar, anastesia
persisten, infeksi, edema, toksisitas lokal. (Rusda, 2004)

B. Refleks Kornea
Refleks kornea atau refleks kedip adalah gerak involunter berupa kedipan
dari kelopak mata yang disebabkan oleh stimulasi (seperti sentuhan atau benda
asing) di permukaan kornea. Refleks ini bertujuan untuk melindungi mata dari
benda asing dan cahaya yang terlalu terang. Selain itu refleks kedip juga terjadi
jika ada bunyi yang lebih besar dari 40-60dB (Garde dan Cowey, 2000)
Refleks ini melibatkan :
1. Cabang nasosiliaris dari cabang optalmicus nervus V yang menerima
rangsang dari kornea.
2. Dan nervus VII yang menginisiasi respon motor.
Pemeriksaan refleks kornea merupakan bagian dari tes neurologis yang
biasa dilakukan pada pemeriksaan pasien koma. Kerusakan dari cabang V1 dari
nervus V akan menyebabkan hilangnya refleks kornea. Stimulasi di salah satu
kornea akan menyebabkan menutupnya kedua kelopak mata. Jalur refleks ini
melibatkan divisi optalmicus nervus V yang melewati sensor utama nukleus
nervus V. (Wikipedia, 2008)
7

BAB III
METODE PERCOBAAN

A. Alat dan Bahan


- Alat-alat : gunting, stop watch
- Bahan : Kapas, lidokain dan lidokain + adrenalin
- Hewan coba : kelinci

B. Cara Kerja
- Menggunting bulu mata kelinci
- Melakukan pengamatan: refleks kornea dan keadaan pembuluh darah
konjungtiva sebelum diberikan obat (kelompok kontrol)
- Meneteskan mata kanan dua tetes lidokain dan mata kiri dua tetes
lidokain + adrenalin
- Melakukan pengamatan refleks kornea dan keadaan pembuluh darah
konjungtiva setiap 5 menit sampai 90 menit setelah pemberian obat
(kelompok perlakuan).

C. Uji statistik yang digunakan


Data yang ada di tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
dengan menggunakan komputer program Microsoft Office Excel 2003.
8

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Tabel 1 : Perbandingan efek obat pada refleks kornea dan kemerahan pada conjunctiva bulbi
Waktu Pengamatan (menit)
KEL Mata JENIS PENGAMATAN
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
KANA Reffleks Cornea - - - - - - - - - + + + + + + + + +
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
I KIRI Reffleks Cornea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
KANA Reffleks Cornea - - - + + + + + + + + + + + - - - -
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + - - - - - - - - - -
II KIRI Reffleks Cornea - - - + + + + + + + + + + + + + + +
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + - - - - - - - - - -
KANA Reffleks Cornea - - - - - + + + + + + + - - - - - -
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + - - - - - - - - - - - - -
III KIRI Reffleks Cornea - - - - - + + + + - - - - - - - - -
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + - - - - - - - - - + +
KANA Reffleks Cornea + + + + + + + + + + + + + + + + + +
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
IV KIRI Reffleks Cornea + + + + + + + + + + + + + + + + + +
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
KANA Reffleks Cornea - - + + + + + + + + + + + + + + + -
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + - - - -
V KIRI Reffleks Cornea - - - - - - - - - + + + + + + - - -
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + - - - - -
KANA Reffleks Cornea - - - + + + + + - - - - - - - - - -
KEL N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
VI KIRI Reffleks Cornea - - - + + + - - - - - - - - - - - -
(B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + +
9

Nilai mean + SE Refeks cornea (obat A) 0,8 1,6 5 13, 16, 25 29, 33, 30 41,6 45, 50 43, 46, 37, 40 42, 30
3+ 7+ + 33 67 + 16 33 + 7+ 83 + 33 66 5 + 5+ +
3,6 3,6 3,6 + + 3,6 + + 3,6 3,65 + 3,6 + + + 3,6 3,6 3,6
5 5 5 3,6 3,6 5 3,6 3,6 5 3,6 5 3,6 3,6 3,6 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5
Nilai mean + SE Refeks cornea (obat B) 0,8 1,6 2,5 10 12, 20 17, 20 22, 25 27, 30 32, 35 37, 26, 28, 30
3+ 7+ + + 5+ + 5+ + 5+ + 5+ + 5+ + 5+ 7+ 3+ +
2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,63 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Nilai mean + SE Kemerahan Conj. bulbi 5 10 15 20 25 25 29, 33, 30 33,3 36, 40 43, 46, 37, 40 42, 45
(obat A) + + + + + + 17 33 + 3+ 66 + 33 66 5+ + 5+ +
2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 + + 2,8 2,80 + 2,8 + + 2,8 2,8 2,8 2,8
0 0 0 0 0 0 2,8 2,8 0 2,8 0 2,8 2,8 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Nilai mean + SE Kemerahan Conj. bulbi 5 10 15 20 25 30 35 33, 30 33,3 36, 40 43, 35 56, 37, 42, 45
(obat B) + + + + + + + 33 + 3+ 66 + 33 + 66 5+ 5+ +
3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 + 3,0 3,04 + 3,0 + 3,0 + 3,0 3,0 3,0
4 4 4 4 4 4 4 3,0 4 3,0 4 3,0 4 3,0 4 4 4
4 4 4 4

TABEL 2: Perbandingan efek obat pada refleks cornea dan kemerahan pada conjugtibva bulbi

Refleks Kornea
Menit Ke- (menit)
Jenis obat EFEK KEL KEL KEL KEL KEL KEL MEAN SE
I II III IV V VI
Mula Kerja Obat 50’ 20’ 30’ 5’ 15’ 20’ 23,33 5,73
Obat A
Lama Kerja Obat 40’ 50’ 30’ 85’ 70’ 20’ 49,17 9,16
10

Mula Kerja Obat - 20’ 30’ 5’ 50’ 20’ 25 6,06


Obat B
Lama Kerja Obat - 70’ 15’ 85’ 25’ 10’ 41,00 12,48

Kemerahan pada conjugtiva bulbi


Menit Ke- (menit)
Jenis obat EFEK KEL KEL KEL KEL KEL KEL MEAN SE
I II III IV V VI
Mula Kerja Obat 5’ 5’ 5’ 5’ 5’ 5’ 5 0
Obat A
Lama Kerja Obat 85’ 35’ 20’ 85’ 65’ 85’ 62,5 10,66

Mula Kerja Obat 5’ 5’ 5’ 5’ 5’ 5’ 5 0


Obat B
Lama Kerja Obat 85’ 35’ 30’ 85’ 60’ 85’ 63,33 9,62
11

Grafik

Perbandingan Efek Obat pada Refleks Kornea Perbandingan Efek Obat pada Kemerahan pada
Conjunctiva Bulbi
60
50 60
mean refleks

50
40
40

mean
30 30
20 20
10 10
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
menit
menit
Obat A Obat B Obat A Obat B

Perbandingan Mula Kerja Obat pada Refleks Kornea Perbandingan Lama Kerja Obat pada Reflex Kornea

60 100
80
Menit

40

Menit
60
20 40

0 20
0
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
Kelompok Kelompok

Obat A Obat B Obat A Obat B


12

Perbandingan Mula Kerja Obat pada Kemerahan pada Perbandingan Lama Kerja Obat pada Kemerahan pada
Conjunctiva Bulbi
Conjunctiva Bulbi
100
6
80
Menit

Menit
60
2 40
20
0
0
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Kelompok Kelompok
Obat A Obat B
Obat A Obat B
13

B. Pembahasan
Pada percobaan refleks kornea pada obat A rata-rata awal kerja obat
terjadi pada menit ke 23. Berdasarkan literatur, Lidokain mempunyai mula kerja
yang lama dengan lama kerja yang sedang tetapi terjadi perbedaan yang
signifikan pada tiap-tiap kelompok. Ternyata dari data yang di dapatkan timbul
efek tercepat pada menit ke 5 dan mula kerja obat yang paling lambat pada
menit ke 50. Lama kerja obat A rata-rata 49,17 menit. Lama kerja yang paling
singkat adalah 20 menit dan yang paling lama selama 85 menit.
Sedangkan pada obat B rata-rata awal mula kerja obat terjadi pada menit
ke 25. Efek tercepat timbul pada menit ke 5 dan yang paling lambat pada menit
ke 50. Adapula yang tidak menimbulkan reaksi pada hewan coba. Lama kerja
obat B rata-rata selama 41 menit. Lama kerja yang paling singkat adalah 10
menit dan yang paling lama selama 85 menit.
Maka dapat disimpulkan bahwa obat A itu mempunyai lama kerja yang
lebih panjang dibandingkan obat B. Hal itu terjadi karena pada obat A ada
penambahan adrenalin pada komposisi obat anastesi lokal. Adrenalin berefek
dalam memperpanjang kerja anastesi lokal. Efek ini timbul dengan
memvasokontriksi di tempat suntikan sehingga memungkinkan obat anastesi
menetap lebih lama ditempat suntikan sebelum diserap dan dimetabolisme.
Penambahan adrenalin juga akan menurunkan tingkat absorbsi obat anastesi
sehingga menurunkan toksisitas sistemik.
Dalam mengamati respon kemerahan, pemberian adrenalin pada obat A
seharusnya memberikan efek kerja obat yang lebih panjang daripada obat B.
Akan tetapi dari hasil percobaan rata-rata lama kerja obat B lebih panjang
dibandingkan obat A walaupun tidak terlalu signifikan perbedaan nilainya.
Mungkin hal ini terjadi dikarenakan oleh kesalahan dalam menilai respon
kemerahan pada konjungtiva bulbi dan respon individu kelinci yang bervariasi.
14

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup
Obat anestesi local digolongkan menjadi 2 kelompok besar, yakni
golongan amida dan golongan ester..
Adrenalin berefek dalam memperpanjang kerja anastesi lokal. Hal
tersebut disebabkan vasokonstriksi lokal di daerah tempat suntikan
sehingga memungkinkan obat anestesi menetap lebih lama di tempat
suntikan sebelum dimetabolisme oleh tubuh.
Penambahan adrenalin juga akan menurunkan tingkat absorbsi obat
anastesi sehingga menurunkan toksisitas sistemik.
Dari percobaan yang dilakukan, didapat hasil bahwa efek kerja obat A
lebih panjang jika dibandingkan dengan obat B
Efek anastesi local pada conjunctiva adalah terjadi perubahan warna
conjunctiva dari merah menjadi putih, kemudian sesuai dengan durasi
anastesi kembali ke warna merah.
Dalam mengamati respon kemerahan, pemberian adrenalin pada obat A
seharusnya menunjukkan efek kerja obat yang lebih panjang daripada
obat B. Namun hasil yang didapat adalah efek kerja obat B lebih panjang
daripada obat A, walaupun hasilnya tidak terlalu signifikan. Hal tersebut
disebabkan terjadinya kesalahan dalam menilai respon kemerahan pada
conjunctiva..

B. Saran
Diharapkan pada praktikan untuk dapat memahami teori dan
menyamakan persepsi pada saat pengamatan dilakukan sehingga tidak
terjadi perbedaan dalam pengumpulan data praktikum.
Pemahaman metode percobaan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi
kesalahan prosedur dalam melakukan percobaan.
15

DAFTAR PUSTAKA

Garde MM & Cowey A. 2000. Deaf Hearing : Unacknowledged Detection of


Auditory Stimuli in a Patient with Cerebral Deafness. Cortex 36 . (online),
hal. 71–80, (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10728898, diakses 12
Maret 2008)

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal.
414-417

Rusda, Muhammad. 2004. Anastesi Infiltrasi pada Episiotomi. (online),


(http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-rusda2.pdf, diakses 23
Maret 2008)

Syarif A & Sunaryo. 2007. Kokain dan Anastetik Lokal Sintetik. Dalam :
Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal.
260-261

Wikipedia. 2008. Anestesi. (online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Lidocaine :


lidocaine-wikipedia, diakses 28 Februari 2008)
16

Trims 4 downloading.
See the next chapter of necel publication

Made under authority of Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman`s student

For further information please visit:


necel.wordpress.com

Copyright © necel 2007


Free to distributed and copied as if nothing of part of this document isn`t deleted
or changed.

You might also like