You are on page 1of 63

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPI DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT MENGGUNAKAN ALERGEN TUNGAU DEBU RUMAH Thursday, 07 April

2011 12:40 07711017 - Ahmad Noval Denny Irawan E-mail | Print | INTISARI Latar Belakang : Atopi adalah kecenderungan untuk menjadi peka dan menghasilkan IgE antibodi sebagai respon terhadap paparan oleh alergen. Manifestasi klinis yang paling sering muncul pada individu atopi adalah rhinitis alergika, asma bronkial, dermatitis atopik dan kadang - kadang alergi makanan. Insidensinya meningkat di dekade terakhir ini. Uji Tusuk Kulit merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan biasanya diindikasikan terhadap penyakit - penyakit alergi. Pada Uji Tusuk Kulit alergen tungau debu rumah adalah alergen yang diduga paling poten sebagai penyebab timbulnya gejala penyakit - penyakit alergi tersebut. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara individu yang memiliki riwayat atopi dengan hasil Uji Tusuk Kulit menggunakan alergen Tungau Debu Rumah. Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokeran UII Yogyakarta dimulai sejak bulan Februari 2011. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengamatan pengukuran urtika (wheal) setelah dilakukan Uji Tusuk Kulit (UTK) dengan menggunakan alergen Tungau Rumah (TDR) dengan interpretasi nilai positif atau bernilai negatif dan juga pengukuran gatal yang dirasakan setelah satu menit pasca tusukan pada individu atopi maupun pada individu non atopi. Hasil dan Pembahasan : Dari 92 data sampel yang dianalisis didapatkan hasil yaitu: terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat atopi dengan hasil Uji Tusuk Kulit menggunakan alergen Tungau Debu Rumah, p = 0,00; RR = 5.494; 95%; CI = 2,206 13,684. Simpulan : Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi untuk lebih besar memberikan hasil positif pada Uji tusuk Kulit dengan alergen Tungau debu rumah. Kata Kunci : Riwayat atopi, Uji tusuk kulit, Tungau Debu Rumah.

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA ANGKATAN 2008 Monday, 18 April 2011 10:05 07711105 - Reni Suciarti Surya E-mail | Print | INTISARI

Latar Belakang : Stres merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan dapat dialami oleh siapa saja termasuk mahasiswa kedokteran. Kondisi stres yang berkepanjangan dan tidak teratasi dapat menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan psikologis, salah satunya adalah gangguan tidur berupa insomnia. Prevalensi stres dan insomnia dikalangan mahasiswa kedokteran cukup tinggi. Namun belum ada penelitian yang meneliti tentang hubungan antara tingkat stres dengan insomnia di kalangan mahasiswa kedokteran, terutama di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Tujuan : Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia angkatan 2008. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang (studi cross-sectional). Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia pada mahasiswa angkatan 2008. Kepada mereka diberikan Lembar Permohonan Menjadi Responden, Kuesioner I (berisi identitas, pertanyaan penyaring dan LieScale Minnesota Multhiphasic Personality Inventory ), Kuesioner II (skala stres), dan Kuesioner III (KSPBJ Insomnia Rating Scale). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-square. Hasil : Responden dalam penelitian ini berjumlah 133 mahasiswa yang terdiri dari 34 (25,6%) responden laki-laki dan 99 (74,4%) responden perempuan, dengan rentang usia 18 22 tahun (MeanSD = 20,340,777). Stres ringan dialami oleh 82 (61,7%) responden, dengan 20 (58,4%) responden laki-laki dan 62 (62,6%) responden perempuan. Sedangkan stres sedang dialami oleh 51 (38,3%) responden, dengan 13 (41,2%) responden laki-laki dan 37 (37,4%) responden perempuan. Namun, tidak ada satupun responden yang mengalami stres berat. Dua puluh sembilan (21,8%) responden mengalami insomnia, dengan kejadian pada reponden perempuan lebih besar dibandingkan pada responden laki-laki (24,2% vs 14,7%). Dari analisis terhadap data tingkat stres dan kejadian insomnia dengan uji statistik Chi-square, diperoleh nilai P sebesar 0,011 (P<0,05). Simpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran. Keyword : Stres, Insomnia, Mahasiswa Kedokteran

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Dengan Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Derajat kesehatan merupakan pencerminan kesehatan perorangan, kelompok maupun masyarakat yang digambarkan dengan umur harapan hidup, mortalitas, morbiditas dan status gizi masyarakat. Sebagai indikator dapat dilihat dari Angka Harapan Hidup waktu lahir (Lo), Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 KH, Angka Kematian Balita (AKABA) per 1000 KH, dan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI) per 10.000 KH (Dinkes Provinsi Lampung, 2006).

Secara nasional Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia saat ini masih tertinggi nomor satu di ASIA. Derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih belum memuaskan, hal ini ditandai dengan tingginya AKI, yaitu 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI; 2003) yang merupakan angka tertinggi di negara-negara ASEAN. Penurunan AKI di Indonesia masih lambat, terlihat dari penurunannya hanya mencapai 25% dari 450/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 hanya menurun menjadi 335/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 (Depkes RI, 2006). Adapun AKI di Provinsi Lampung berfluktuasi, pada tahun 2001 AKI sebesar 111/100.000 kelahiran hidup menjadi 117/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002, turun menjadi 92/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003 (Dinkes Provinsi Lampung, 2004).

Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, adalah negara dimana setiap warga perempuannya memiliki kemungkinan 20-60 kali lipat dibanding negara-negara Barat dalam hal kematian ibu karena persalinan. Beberapa faktor penyebabnya adalah pertama berkaitan dengan faktor pelayanan kesehatan, termasuk fasilitas yang kurang baik dan ketidakmampuan untuk menerima perlakukan yang khusus seorang ahli medis. Faktor kedua adalah faktor reproduksi perempuan sendiri, yaitu perempuan yang terlalu muda atau terlalu tua dimana badannya tidak kuat untuk menghadapi persalinan, sedangkan faktor yang ketiga adalah sosioekonomi, dimana dalam faktor ini termasuk juga hal-hal seperti kemiskinan, buta huruf, kekurangan gizi dan status sosio-ekonomi perempuan yang sering rendah dan semua faktor ini jauh lebih sering muncul di negara berkembang dari pada di negara Barat (Rahima, 2003, 1, http://www.rahima.or.id/SR/09-03/Info.htm, diperoleh tanggal 14 Maret 2007). World Health Organization (WHO, 2004) menyatakan bahwa salah satu upaya intervensi yang efektif untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di sektor kesehatan adalah

perbaikan kualitas pelayanan antenatal termasuk deteksi dan manajemen anemia, pencegahan malaria, pengobatan infeksi cacing, penanganan hipertensi, skrining infeksi penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta pemberian imunisasi tetanus toxoid dimana upaya ini dapat memberikan kontribusi penurunan AKI dan AKB lebih kurang 10%. Cakupan pelayanan antenatal dapat dipantau melalui pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) dan pelayanan ibu hamil sesuai standar paling sedikit empat kali dengan distribusi sekali pada triwulan pertama, sekali pada triwulan dua dan dua kali pada triwulan ketiga (K4) (Andryansyah, et.all, 2005). Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan, dan perawat) kepada ibu hamil selama masa kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan K1 dan K4 (Depkes RI, 2007). Secara nasional jumlah cakupan K4 pada tahun 2006 cukup meningkat yakni 72,56% dari target 80% dibandingkan dengan delapan tahun sebelumnya yang berjumlah 65,72%. Namun jumlah tersebut belum menggembirakan kendati jumlah tenaga kesehatan pelayanan antenatal terus bertambah. Sementara di Provinsi Lampung jumlah cakupan K4 pada tahun 2006 sebanyak 169.751 kunjungan (79,41%) dari target yang diharapkan sebesar 198.878 kunjungan 86%, ini berarti masih jauh dari yang diharapkan (Depkes RI, 2007). Pada tahun 2006 jumlah cakupan K4 di Kabupaten Lampung Selatan baru mencapai 16.339 kunjungan (80,03%) dari target yang diharapkan sebesar 20.416 kunjungan (90,20%). Jumlah cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan berjumlah 13.261 (74,96%) dari target yang diharapkan 17.690 (85,50%) dan kunjungan ibu hamil resiko tinggi 529 dari target 1.247 (42,42%) (Dinkes Provinsi Lampung, 2006). Berdasarkan data yang didapat dari Puskesmas Natar diketahui bahwa jumlah cakupan K1 pada tahun 2005 sebanyak 844 orang (88,65%) dari target 952 orang (92,2%), cakupan K4 berjumlah 862 orang (90,6%). Pada tahun 2006 jumlah ibu hamil 974 orang dengan cakupan K1 916 orang (94,1%), cakupan K4 960 orang (93%). Kemudian pada tahun 2007 didapatkan jumlah ibu hamil sebanyak 987 orang dengan cakupan K1 sebanyak 972 orang (98,5%), cakupan K4 berjumlah 952 orang (96,5%). Dari hasil tersebut diketahui pula bahwa cakupan kunjungan ibu hamil K4

tertinggi adalah Desa Banjar Negeri sebesar 88,65% dan yang terendah adalah desa Rejosari yakni berjumlah 76,93% (Profil Puskesmas Natar, 2007). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur dan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Secara garis besar faktor-faktor dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu; faktor yang berasal dari diri ibu sendiri dan faktor dari luar ibu atau faktor lingkungan, bahwa perilaku kesehatan terbentuk oleh adanya pengaruh internal dan eksternal yang berinteraksi secara simultan (Andryansyah, et.all, 2005). Perilaku kesehatan secara garis besar dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan), faktor pendukung (fasilitas atau sarana kesehatan, peraturan kesehatan), dan faktor pendorong (perilaku dan sikap petugas kesehatan, informasi kesehatan baik dari teman, media massa dan kader kesehatan). Faktor pertama merupakan faktor personal, sedangkan faktor kedua dan ketiga merupakan faktor lingkungan (Green dalam Notoatmodjo, 2005). Pada saat pemeriksaa kehamilan, ibu dapat memperoleh pengetahuan mengenai kehamilannya, memberitahukan keluhan yang dirasakan, mengetahui cara perawatan diri selama kehamilan, perkembangan janin pada tiap tahap kehamilan, hari taksiran persalinan (HTP), tanda-tanda persalinan dan cara perawatan bayi (Depkes RI, 1994). Selain itu, ibu juga dapat memperoleh informasi dan meminta saran kepada tenaga kesehatan, keluarga, tetangga maupun teman perihal tempat persalinan dan siapa yang sebaiknya melakukan persalinan. Ketidaktahuan ibu, baik ibu hamil maupun ibu bersalin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ibu tidak memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia, ini terbukti dari rendahnya angka kunjungan dan angka pemakaian tempat tidur di rumah sakit atau Puskesmas. Kalaupun mereka datang biasanya dalam keadaan gawat, sehingga sarana dan fasilitas yang takkan mampu menyelamatkan jiwa ibu dan anak. Misalnya mereka datang setelah terjadi partus terlantar, ruptur uteri, infeksi intraparsial, eklampsia atau dalam keadaan umum yang sangat jelek. Sebenarnya hal ini dapat dicegah manakala ibu hamil secara teratur memeriksakan kehamilannya secara teratur dan ibu bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (Mochtar, 1998).

Adanya pemeriksaan kehamilan secara teratur dapat terdeteksi adanya gangguan kesehatan dan kelainan baik pada ibu maupun janin secara dini. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada ibu dan anak. Berdasarkan hasil pre survey yang peneliti lakukan di Wilayah kerja Puskesmas Natar pada minggu pertama dan kedua bulan Januari 2008 didapatkan sebanyak 14 orang ibu hamil yang datang ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan, dari hasil wawancara didapatkan 9 orang diantaranya (64,2%) mendapat pelayanan antenatal dengan 5T, sedangkan sisanya 5 orang (35,71%) hanya mendapatkan pelayanan antenatal dengan 4T. Dengan fasilitas pelayanan yang telah diketahui sebagian besar ibu-ibu hamil yang datang berkunjung untuk melakukan pemeriksaan kehamilan tidak mengetahui tentang pelayanan yang diberikan dalam pelayanan ANC, meskipun sebagian besar dari mereka sudah memiliki buku KIA, selain itu diketahui pula bahwa sikap ibu-ibu hamil yang datang masih ada yang tertutup seperti tidak memberikan informasi mengenai kegiatannya pada saat hamil, dalam hal ini peneliti melihat kecenderungan bahwa pengetahuan dan sikap ibu-ibu hamil tergolong masih kurang terbuka. Hal tersebut dilihat dari pendidikan yang relatif masih rendah, dimana dari 9 orang ibu hamil 4 diantaranya (44,4%) berpendidikan SD dan kurangnya pemanfaatan buku KIA yang sudah diberikan oleh tenaga kesehatan dimana diperoleh dari 9 orang ibu 6 diantaranya (66,6%) tidak mengerti tentang isi buku KIA. Berdasarkan latar belakang dan fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui Hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ.

B.

Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ?

C. 1.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Diketahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. 2. a. b. Tujuan Khusus Diketahui distribusi frekuensi kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu hamil terhadap pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. c. Diketahui distribusi frekuensi sikap ibu hamil terhadap pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. d. Diketahui hubungan pengetahuan ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. e. Diketahui hubungan sikap ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ.

D.

Manfaat Penelitian

1. Bagi Lahan Penelitian Menjadi bahan masukan untuk meningkatkan pelayanan yang optimal khususnya pada unit K1 dan K4. 2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) ZZZ Sebagai bahan masukan berupa literatur dan pengembangan materi untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk melakukan penelitian di tempat lain yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap ibu hamil dalam melakukan pemeriksaan kehamilan.

E.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas ZZZ. Dimana variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kunjungan pemeriksaan kehamilan sedangkan variabel independen adalah pengetahuan dan sikap ibu hamil. Sasaran dalam penelitian adalah seluruh ibu hamil yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April 2008. Dalam penelitian ini peneliti memiliki keterbatasan pada waktu pengumpulan data yang sangat singkat serta biaya yang relatif sedikit.

ALERGI MAKANAN DAN AUTISME

Dr Widodo Judarwanto SpA Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda Jakarta

1. Pendahuluan Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism. Autism dan berbagai spektrum gejalannya adalah gangguan perilaku anak yang paling banyak diperhatikan dan kasusnya ada kecenderungan meningkat dalam waktu terakhir ini. Autism diyakini beberapa peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Terdapat beberapa hal yang dapat memicu timbulnya autism tersebut, termasuk pengaruh makanan atau alergi makanan.

2.ALERGI MAKANAN

Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and infections disease yaitu Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifitas) atau intoleransi makanan. Allergy makanan (Food Allergy) Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1. Intoleransi Makanan (Food intolerance) Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu Tanda dan gejala alergi makanan Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga bermingguminggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran). Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak. Sehingga dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi. Tabel 1. MANIFESTASI ALERGI PADA BAYI BARU LAHIR HINGGA 1 TAHUN

ORGAN/SISTEM TUBUH 1 Sistem Pernapasan

GEJALA DAN TANDA Bayi lahir dengan sesak (Transient Tachipneu Of The newborn), cold-like respiratory congestion (napas berbunyi/grok-grok). sering rewel/colic malam hari, hiccups (cegukan), sering ngeden, sering mulet, meteorismus, muntah, sering flatus, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna darah. Lidah sering berwarna putih. Hernia umbilikalis, scrotalis atau inguinalis. Sering bersin, Hidung berbunyi, kotoran hidung berlebihan. Cairan telinga berlebihan. Tangan sering menggaruk atau memegang telinga.

Sistem Pencernaan

Telinga Hidung Tenggorok

3 4

Sistem Pembuluh Darah jantung Kulit

dan Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah Erthema toksikum. Dermatitis atopik, diapers dermatitis. insect bite, berkeringat berlebihan. urticaria,

Sistem Saluran Kemih

Sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol) Frequent, urgent or painful urination; inability to control bladder; bedwetting; vaginal discharge; itching, swelling, redness or pain in genitals; painful intercourse. Sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya, gemetar, bahkan hingga kejang. Mata berair, mata gatal, kotoran mata berlebihan, bintil pada mata, conjungtivitis vernalis.

Sistem Susunan Saraf Pusat

Mata

Tabel 2. MANIFESTASI ALERGI PADA ANAK USIA LEBIH 1 TAHUN ORGAN/SISTEM TUBUH 1 2 Sistem Pernapasan Sistem Pencernaan GEJALA DAN TANDA Batuk, pilek, bersin, mimisan, hidung buntu, sesak(astma), sering menggerak-gerakkan /mengusap-usap hidung Nyeri perut, sering buang air besar (>3 kali/perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit berak, seringflatus, sariawan, mulut berbau.

Telinga Tenggorok

Hidung Hidung : Hidung buntu, bersin, hidung gatal, pilek, post nasal drip, epitaksis, salam alergi, rabbit nose, nasal creases Tenggorok : tenggorokan nyeri/kering/gatal, palatum gatal, suara parau/serak, batuk pendek (berdehem), Telinga : telinga terasa penuh/ bergemuruh/berdenging, telinga bagian dalam gatal, nyeri telinga

dengan gendang telinga kemerahan atau normal, gangguan pendengaran hilang timbul, terdengar suara lebih keras, akumulasi cairan di telinga tengah, pusing, gangguan keseimbangan. 3 Sistem Pembuluh Darah dan jantung Kulit Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah, Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, berkeringat berlebihan.

4 5

Sistem Saluran Kemih Nyeri, urgent atau sering kencing, nyeri kencing, bed dan kelamin wetting (ngompol); tidak mampu mengintrol kandung kemih; mengeluarkan cairan di vagina; gatal, bengkak atau nyeri pada alat kelamin. Sering timbul infeksi saluran kencing Sistem Susunan Saraf Pusat NEUROANATOMIS :Sering sakit kepala, migrain, kejang gangguan tidur. NEUROANATOMIS FISIOLOGIS: Gangguan perilaku : emosi berlebihan, agresif, impulsive, overaktif, gangguan belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif hingga autisme.

6 7

Jaringan otot dan tulang Mata

Nyeri tulang, nyeri otot, bengkak di leher Mata berair, mata gatal, sering belekan, bintil pada mata. Allergic shiner (kulit di bawah mata tampak ke hitaman).

3. HUBUNGAN AUTISME DAN ALERGI Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Terdapat juga pendapat seorang ahli bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autisme. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi.Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.

Obanion dkk 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa gfejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

4. PROSES TERJADINYA PENGARUH ALERGI TERHADAP AUTISME Hubungan alergi makanan dan Autisme dapat dijelaskan karena adanya pengaruh alergi makanan terhadap fungsi otak. Patofisiologi dan patogenesis( proses terjadinya penyakit) alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa dijelaskan, diantaranya adalah :

ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.

TEORI ABDOMINAL BRAIN DAN ENTERIC NERVOUS SYSTEM Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak. Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau

dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.

KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari. Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin. Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.

Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya

5. PENATALAKSANAAN Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.

Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditegakkan hanya dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, atau pemeriksaan alergi lainnya. Pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan dalam sensitifitas dan spesifitas, sehingga validitasnya tidak terlalu baik. Jadi tidak boleh menghindari makanan penyebab alergi atas dasar tes alergi tersebut. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge = DBPCFC) Makanan penderita dieliminasi selama 2-3 minggu dalam diet sehari-hari. Setelah 3 minggu bila keluhannya menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditehakkan dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, atau pemeriksaan alergi lainnya. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge = DBPCFC) Makanan penderita dieliminasi selama 2-3 minggu dalam diet sehari-hari. Setelah 3 minggu bila keluhannya menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan Spektrum Autisme harus melibatkan beberapa disiplin ilmu lainnya. Bila perlu dikonsultasikan pada bidang alergi anak, Neurology anak, psikiater anak, tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Eliminasi makanan tersebut dievaluasi setelah 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi makanan.

6. PROGNOSIS Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah. 7. PENUTUP Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi termasuk pengaruh ke otak. Pengaruh alergi makanan ke otak tersebut adalah sebagai salah satu faktor pemicu penyakit Autisme.

Eliminasi makanan tertentu dapat mengurangi gangguan perilaku pada penderita Autisme. Diagnosis pasti alergi makanan hanya dipastikan dengan cara eliminasi provokasi makanan. Penghindaran makanan penyebab alergi tidak dapat dilakukan hanya atas dasar hasil tes kulit alergi atau tes alergi lainnya, karena keterbatasan pemeriksaan tersebut. Dengan melakukan deteksi dini gejala alergi dan gejala gangguan perkembangan dan perilaku maka pengaruh alergi terhadap otak dapat diminimalkan.

8. Daftar Pustaka

1. 2.

Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14 Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71 Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33 Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2 Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37.

11. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5 12. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177. 13. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698. 14. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342. 15. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone. 16. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour. 17. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy. 18. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections. 19. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003 20. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64. 21. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child 22. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500

ALERGI MAKANAN PADA ANAK


MENGGANGGU OTAK DAN PERILAKU ANAK

Widodo Judarwanto Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda Jakarta

1. Pendahuluan

Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Optimalisasi tumbuh dan kembang Anak sejak dini adalah menjadi prioritas utama, sehingga kita dapat mencegah atau mengetahui sejak dini gangguan dan kelainan tumbuh kembang anak. Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terahkir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism. Autism dan berbagai spektrum gejalannya adalah gangguan perilaku anak yang paling banyak diperhatikan dan kasusnya ada kecenderungan meningkat dalam waktu terakhir ini. Autism diyakini beberapa peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Terdapat beberapa hal yang dapat memicu timbulnya autism tersebut, termasuk pengaruh makanan atau alergi makanan. Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan Pertumbuhan dan perkembangan Anak secara optimal.

2. PROSES TERJADINYA ALERGI MENGGANGGU SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT Patofisiologi dan patogenesis( proses terjadinya penyakit) alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap.Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah :

ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan

maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.

TEORI ABDOMINAL BRAIN DAN ENTERIC NERVOUS SYSTEM Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak. Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.

KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari. Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin. Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.

Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya

3. ALERGI, SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT DAN GANGGUAN PERKEMBANGANPERILAKU

Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku seorang anak. Ada 2 hal yang berbeda antara hubungan gangguan alergi dan gangguan sistem susunan saraf pusat. Perbedaan tersebut tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak. Bila terdapat gangguan organik di otak seperti autism atau adanya fokus di otak lainnya maka proses alergi hanyalah memperberat atau mencetuskan timbulnya gejala. Bila tidak ada kelainan anatomis otak maka kemungkinan besar proses alergi sangat berkaitan dengan kelainan tersebut. Biasanya bila organ otak tidak ada kelainan atau penyakit lainnya maka pengaruh alergi pada otak biasanya prognosis baik dan gejalanya tidak berat. Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet dapat mengurangi gejalanya. Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington. Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang. Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik). Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Alergi yang berkaitan dengan gangguan system susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional.

A.GANGGUAN NEUROANATOMI Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya. Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.

B.GANGGUAN NEURO ANATOMI FUNGSIONAL (GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU) Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan. Yang dimaksud dengan gangguan perkembangan adalah gangguan fungsi psikomotor yang mencakup fungsi mental dan fungsi motorik. Anggota gerak kita atau organ tulang rangka kita dapat juga terkena gangguan perkembangan.

GANGGUAN MOTORIK BERLEBIHAN Pada bayi baru lahir ditandai dengan gerakan kaki dan tangan yang berlebihan, tampak bayi tidak mau diselimuti atau dibedong. Bila digendong sering minta turun atau sering bergerak. Pada usia 4 hingga 6 bulan sudah berusaha untuk jalan, padahal kemampuan berjalan normal pada usia 12 bulan. Kadang menghentakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Pada usia lebih besar tampak tidak mau diam, bergerak terus tak tentu arah tujuannya. Disertai kebiasaan menjatuhkan badan secara keras ke tempat tidur (smack down).

GANGGUAN KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN Gangguan koordinasi yang dapat diamati adalah biasanya anak tidak mengikuti atau melewati fase perkembangan normal sesuai dengan usianya. Pola perkembangan motorik yang terganggu biasanya adalah bolak-balik badan, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan. Beberapa anak kadang tidak mengikuti pola tersebut, misalnya anak tidak mengalami duduk atau merangkak tapi langsung berjalan atau bias berdiri dahulu baru duduk. Selain itu anak tidak mengikuti pola normal perkembangan motorik sesuai usia, misalnya baru bias bolak-balik baru usia di atas 5 bulan atau duduk usia 11 bulan.

Pada usia lebih besar atau di atas 1 tahun, ditandai oleh aftifitas berjalan seperti terburu-buru atau cepat sehingga kemampuan berjalan terlambat. Bila berjalan sering jatuh, atau menabrak benda di sekitarnya. Kebiasaan lainnya adalah bila berjalan jinjit atau bila duduk bersimpuh posisi kaki ke belakang seperti huruf W.

GANGGUAN TIDUR Gangguan tidur banyak sekali penyebabnya, alergi pada anak tampaknya sebagai salah satu penyebab yang paling sering. Tirosh tahun 1993 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa apada penderita asma dan alergi sering disertai oleh adanya gangguan tidur berupa sering terjaga waktu tidur, lama tidur lebih pendek dan gangguan tidur lainnya. Gangguan tidur pada alergi bisa terjadi sejak bayi. Pada penelitian kami menunjukkan bahwa bayi yang beresiko dan mempunyai gejala alergi sejak lahir sering pada 3 bulan pertama mengalami kesulitan tidur terutama pada malam hari. Biasanya bayi sering terbangun terutama tengah malam hingga menjelang pagi, kadang disertai sering rewel dan menangis pada malam hari.Bila berat biasanya disertai dengan keluhan kolik (menangis histeris yang tidak diketahui sebabnya). Pada usia yang lebih besar biasanya ditandai dengan awal jam tidur yang larut malam, tidur sering gelisah (bolak balik posisi badannya), kadang dalam keadaan tidur sering mengigau, menangis dan berteriak. Posisi tidurpun sering berpindah dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Tengah malam sering terjaga tidurnya hingga pagi hari, tiba-tiba duduk kemudian tidur lagi, posisi tidur sering tengkurap. Pada anak usia sekolah, remaja dan dewasa biasanya ditandai dengan mimpi buruk pada malam hari. Mimpi buruk yang tersering dialami adalah mimpi yang menyeramkan seperti didatangi orang yang sudah meninggal atau bertemu binatang yang menakutkan seperti ular. Judarwanto W tahun 2002 mengemukakan bahwa dalam pengamatan pada 245 anak dengan gangguan pencernaan karena alergi, didapatkan 80% anak mengalami gangguan tidur malam. Setelah dilakukan penatalaksanaan diet alergi, menunjukkan 90% penderita tersebut terdapat perbaikan gangguan tidurnya.

GANGGUAN KONSENTRASI Anak mengalami gangguan pemusatan perhatian, sering bosan terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan kecuali jika menonton televise. Anak tampak tidak bisa duduk lama di kursi. Di kelas tidak dapat tenang menerima pelajaran , sering mengobrol, mengganggu teman dll, bila mendapat mendengar cerita tidak bisa mendengar atau mengikuti dalam waktu lama. Yang menonjol meskipun tampak tidak memperhatikan bila berkomunikasi tetapi anak dapat merespon komunikasi itu dengan baik dan cepat.

KETERLAMBATAN BICARA ATAU GANGGUAN BICARA

Salah satu manifestasi alergi pada anak adalah keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara bila disertai manifestasi alergi yang dominan pada anak maka harus dievaluasi lebih jauh apakah ada keterkaitan antara 2 hal tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran yang berhubungan. Diduga manifestasi alergi ikut berperanan memperberat gangguan yang sudah ada tersebut. Gangguan bicara pada alergi biasanya membaik secara pesat setelah usia 2 tahun. Hal ini mungkin yang bisa menjelaskan akan keterkaitan gangguan pencernaan pada alergi yang mengganggu fungsi otak. Dimana gangguan pencernaan pada penderita alergi akan membaik pada usia 2 tahun juga. Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan bila seorang anak terlambat mencapai tahapan unit bahasa yang sesuai untuk umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat. Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu bagaimana suara membentuk kata, kata membentuk kalimat yang benar dan seterusnya. Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering terjadi. Sebanyak 1% anak mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen diantara anak yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan belajar lainnya. Biasanya keluhan ringan inilah yang berkaitan langsung dengan gangguan alergi

Manifestasi alergi yang timbul berulang dan terus menerus lebih dari 2 minggu, dapat mempengaruhi gangguan bicara pada bayi tertentu di bawah 1 tahun. Kemampuan bicara bisa di evaluasi sejak lahir. Kemampuan berbicara tersebut harus diperhatikan cermat dengan mengamati secara teliti menghilang atau berkurangnya bunyi-bunyian yang di mulut (babbling/ngoceh). Beberapa kata yang biasa diucapkan seperti ba, da, ma, atau pa tiba-tiba menghilang pada usia tertentu. Setelah manifestasi alergi diperbaiki dengan penatalaksanaan diet tampak kemampuan tersebut membaik lagi. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa memang keterlambatan bicara bisa dipengaruhi oleh gangguan alergi. Gangguan bicara lainnya bisa terjadi adalah disleksia, echolalia (menirukan setiap perkataan orang lain) dan stuttering (gagap).

AGRESIF Tanda agresif pada bayi sudah bisa diamati pada kebiasaan menggigit dan menjilat yang berlebihan. Pada bayi muda dilihat dari kebiasaan bayi memasukkan semua tangan bahkan sampai memasukkan kaki ke mulut. Pada usia lebih dari 6 bulan sudah tampak aktifitas menggigit yang berlebihan ditandai oleh gigitan pada tangan, pundak atau mulut orang yang

menggendong. Sedangkan kebiasaan menjilat yang berlebihan ditandai dengan aktifitas menjilat pada semua barang yang dipegang, pada sprei dan permukaan meja. Kecenderungan lainnya adalah pada usia di atas 6 bulan mulai sering memukul muka, kepala orang lain atau kepala sendiri. Kebiasaan lainnya adalah menjambak rambut sendiri atau rambut orang lain. Bila usia lebih besar biasanya tidak hanya memukul dengan tangan tetapi juga kebiasaan memukul dengan tongkat pada benda di sekitarnya. Di atas usia 1 tahun selain memukul ditambah dengan kebiasaan mencakar dan mencubit orang lain. Kadangkala juga tampak kebiasaan melempar mainan atau benda yang dipegang secara berlebihan.

GANGGUAN EMOSI Gangguan emosi sering terjadi pada anak alergi. Pada bayi sudah tampak bahwa bayi kalau berteriak sangat keras, bila minta minum sering tidak sabaran. Pada anak yang lebih besar tampak mudah marah, gampang berteriak, bila marah sering histeris, melempar benda yang dipegang hingga temper tantrum, sering membentur kepala atau memukul kepala.

HIPERKINESIA Gangguan hiperkinesia yang terjadi adalah overaktif, sulit mengontrol tubuhnya untuk diam, anak selalu bergerak dan tampak tidak tenang, sulit konsentrasi, hingga ADHD. Meskipun diduga ADHD kemungkinan terjadi gangguan organic dari otak.

AUTISM DAN ALERGI


Autisma adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Tetapi penelitian biomolekular sudah dapat mengidentifikasi pola DNA penderita Autism, artinya kemungkinan sudah ada bakat genetik pada kelainan ini. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

4. HUBUNGAN ALERGI DENGAN FUNGSI OTAK LAINNYA Storfer dkk tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap penderita 2.720 anak dengan asma dan alergi lainnya, terdapat kecenderungan kemampuan intelegensianya lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya. Hazzel tahun 2000, menambahkan selain intelektual yang baik biasanya anak alergi dan asma mempunyai inisiatif yang menonjol dan kemampuan kreatifitas yang bagus. Kecenderungan lainnya terdapat 2 kali lebih besar terjadinya myopia pada anak asma dengan multipel alergi, meskipun hubuhngan tersebut dapat dikaitkan secara langsung.

5. PENATALAKSANAAN Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut. Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 2 atau 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi. Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah ada dapat dilakukan pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory integration, hearing atau vision therapy dan sebagainya.

6. PENYEBAB SELAIN ALERGI MAKAN Terdapat juga beberapa makanan yang dapat mengganggu otak tetapi tidak melalui reaksi imunologi melainkan karena raksi simpang makanan atau intoleransi makanan

diantaranya adalah salisilat, tartarzine (zat pewarna makanan), nitrat, amine, MSG(monosodium Glutamat), antioksidan, yeast, lactose, benzoate,
Salicylates ; ditemukan dalam buah, saur, kacang, the, kopi, bir, anggur dan obat-obatan seperti aspirherbs, spices, spreads, teas & coffee, juices, beer and wines and medications such as Aspirin. Konsestrasi tinggi terdapat dalam dried fruits seperti sultanas. Amines ; diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein ditemukan dalam keju, coklat, anggur, bir, tempe, sayur dan buah seperti pisang, alpukat dan tomat. Benzoates ; ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang, anggur, kopi dan sebagainya. Monososodium glutamate (MSG) ; Sering ditemukan pada penyedap makanan : vetsin, kecap, atau makanan lainnya Laktose : sering terdapat di dalam susu sapi Glutamate; banyak didapatkan pada tomat, keju, mushrooms, saus, ekstrak daging dan jamur.

7. PROGNOSIS Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya focus di otak. Bila dipastikan tidak ada kelainan anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut dikendalikan maka akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku tersebut. Pada gangguan jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik. Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet akan sangat banyak membantu. 8. PENUTUP Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi tampaknya merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang optimal. Gangguan alergi dengan berbagai dugaan mekanismenya ternyata dapat menggganggu neuroanatomis dan neuroanatomis fungsional yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan sistem susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi. Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan gangguan anatomis otak belum jelas, bisa saja dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau perbaikan dari gangguan perilaku yang timbul.

9. Daftar Pustaka
1. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14 Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71 Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33 Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2 Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10. Boris, M & Mandel, E. Food additives are common causes of the Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children. Annals of Allergy 1994; 75(5); 462-8 11. Carter, C M et al. Effects of a few foods diet in attention deficit disorder. Archives of Disease in Childhood (69) 1993; 564-8 12. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5 13. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177. 14. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698. 15. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342. 16. Trotsky MB. Neurogenic vascular headaches, food and chemical triggers. Ear Nose Throat J. 1994;73(4):228-230, 225-236. 17. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone. 18. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour. 19. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.

20. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections. 21. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003 22. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64. 23. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child 24. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499500. 25. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-180.

ALERGI MAKANAN, DIET DAN AUTISME Dr Widodo Judarwanto SpA Dipresentasikan pada seminar AUTISM UPDATE DI HOTEL NOVOTEL Jakarta tanggal 9 September 2005 ABSTRAK Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam dalam beberapa tahun terahkir ini. Alergi tampaknya dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak dan perilaku seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, hiperaktif (ADHD) hingga memperberat gejala Autisme. Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind

Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana. Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat-obatan anti alergi dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi. Mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala alergi dan gangguan perilaku pada autisme dapat dikurangi. Deteksi gejala alergi dan gangguan perkembangan dan perilaku sejak dini pada anak harus dilakukan. Sehingga pengaruh alergi makanan terhadap autisme atau gangguan perilaku lainnya dapat dicegah atau diminimalkan. Sangatlah penting untuk mengetahui dan mengenali tanda dan gejala gangguan alergi dan autisme sejak dini.

ALLERGY BEHAVIOUR CLINIC PICKY EATERS CLINIC (Klinik Khusus Kesulitan Makan Pada Anak) JL Rawasari Selatan 50 Jakarta Pusat Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat telp : (021) 70081995 4264126 31922005 email : wido25@hotmail.com , http://perilakuanak.bravehost.com

1. PENDAHULUAN Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autisme. Autisme dan berbagai spektrum gejalanya adalah gangguan perilaku anak yang paling banyak diperhatikan dan kasusnya ada kecenderungan meningkat dalam waktu terakhir ini. Autisme diyakini beberapa peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Terdapat

beberapa hal yang dapat memicu timbulnya autism tersebut, termasuk pengaruh makanan atau alergi makanan. Pemeriksaan untuk mencari penyebab alergi makanan sangat beragam dilakukan oleh beberapa klinisi. Meskipun sebenarnya gold standard atau standar baku untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge = DBPCFC). Sehingga banyak kasus penderita alergi makanan, menghindari makanan penyebab alergi makanan berdasarkan banyak pemeriksaan penunjang hasilnya tidak optimal. Akhirnya gejala alergi dan komplikasi yang terjadi termasuk gangguan perilaku khususnya autisme seringkali sulit diminimalkan. 2.ALERGI MAKANAN Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologis. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology dan The National Institute of Allergy and infections disease yaitu :

Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang bersifat imunologi, farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta neuropsikologis terhadap makanan. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan dan zat aditif makanan sekitar 20%

disebabkan karena alergi makanan. Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan. Alergi makanan (Food Allergy) REAKSI SIMPANG MAKANAN TOKSIS NON TOKSIS REAKSI IMUNOLOGIS BUKAN REAKSI IMUNOLOGIS IgE (ALERGI) INTOLERANSI MAKANAN REAKSI PSIKOLOGI KERACUNAN MAKANAN NON IgE (NON ALERGI) REAKSI CEPAT : (saluran cerna, pernapasan, kulit, mata, jantung pembukuh darah, anafilaksis REAKSI LAMBAT : Dematitis atopik (eksim), saluran cerna

ENTEROPATI GLUTEN : (Coeliac, dermatitis herpetiformis) PROTEIN MAKANAN (Esofagitis eosinofil alergi, Alergi Proktocolitis gastroenteritis) SINDROM HEINERS Hemosiderosis paru karena makanan Malabsorbsi Karbohidrat (Defisiensi Laktase, Sukrosa isomaltase) PSIKOGENIKAlergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang menyimpang karena masuknya bahan penyebnab alergi dalam tubuh. Sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1. Intoleransi Makanan (Food intolerance) Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu. Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan dapat berupa reaksi cepat

(Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) dan reaksi lambat (delayed onset reaction). Reaksi cepat, reaksi terjadi berdasarkan reaksi kekebalan tubuh tipe tertentu. Terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah makan atau terhirup pajanan alergi. Reaksi Lambat, terjadi lebih dari 8 jam setelah makan bahan penyebab alergi. 3. MEKANISME TERJADINYA ALERGI MAKANAN Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil, patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen yang sama. Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan epitel (dinding usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja untuik mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus). Pada paparan awal, alergen maknan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan orgalimfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran napas, kulit dan banyak

oragan tubuh lainnya. Sel epitel intestinal memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch peyeri) dengan hasil terjadi imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebiut terletak di limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia. FAKTOR GENETIK Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita . Bila ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke dua orang tua alergi resiko meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tua maka resikonya adalah 5 15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi bila nenek, kakek atau saudara dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja gejala alergi pada saat anak timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak berkurang. IMATURITAS USUS

Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak matang) sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi (kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun pertama kehidupan. PAJANAN ALERGI Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi ibu akan sangat berpengaruh pada anak yang mempunyai bakat alergi. Pemberian PASI meningkatkan angka kejadian alergi 4. PENYEBAB DAN PENCETUS ALERGI MAKANAN

Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian ditemukan allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergenM sebagai determinan walau jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada telur. Pada susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG), Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama pada gandul. Diantaranya BLG adalah alergen yang paling kuat sebagai penyabab alergi makanan. Protein kacang tanah alergen yang paling utama adalah arachin dan conarachi. Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya

alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat. Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita. Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat. Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar. 5. GEJALA ALERGI MAKANAN Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan

komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism. Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya diare selanjutnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar organ sasaran pada organ tubuh. Tabel 1. TANDA DAN GEJALA KLINIS YANG SERING DIKAITKAN DENGAN ALERGI PADA ANAK ORGAN & SISTEM TUBUH GEJALA DAN TANDA 1 Sistem Pernapasan Bayi : Bayi lahir dengan sesak 3-5 hari (Transient Tachipneu Of The newborn), cold-like respiratory congestion (napas berbunyi atau grok-grok). Anak: batuk berkepanjangan terutama malam dan pagi hari, sesak(astma), sering batuk pendek (berdehem) 2 Telinga hidung dan Tengorokan Hidung : Hidung buntu, bersin, hidung gatal, pilek, hidung buntu-menggosok gosok hidung, menggerakkan cuping hidung, epistaksis (mimisan), post nasal drip, epitaksis, salam alergi, rabbit nose, nasal creases, kotoran hidung berlebihan Tenggorok : Tonsilitis (amandel), Tenggorokan nyeri/kering/gatal, palatum gatal, suara parau/serak Telinga : telinga terasa penuh/ bergemuruh/berdenging, telinga bagian dalam gatal, nyeri telinga dengan gendang telinga kemerahan atau normal, gangguan pendengaran

hilang timbul, terdengar suara lebih keras, akumulasi cairan di telinga tengah, pusing, gangguan keseimbangan. 3 Kulit Bayi : sering timbul penebalan merah di daerah pipi popok dan telinga, timbul kerak di kulit kepala. Anak : Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, berkeringat berlebihan. 4 Mata Bayi : Mata berair, mata gatal, sering belekan (like conjunctivitis neonatal). Biasanya salah satu sisi mata. Nistagmus (juling) Anak : bintil pada mata (hordeolum like symptom). Kulit di bawah mata tampak ke hitaman, mata belekan, mata gatal dan sedikit kemerahan dan gatal (sering digosok-gosok). conjungtivitis vernalis. 5 Sistem Hormonal Bayi : Rambut rontok, keputihan atau perdarahan di vagina, eritema toksikum (timbul jerawat kecil berwarna putih) di wajah, kepala atau leher; payudara membesar. Anak : Tumbuh rambut yang berlebihan, obesitas, gangguan pertumbuhan (tinggi badan kurang), alat kelamin kecil. 6 Sistem Saluran Kemih Sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol), Nyeri, urgent atau sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol); tidak mampu mengintrol kandung kemih; mengeluarkan cairan di vagina; gatal, bengkak atau nyeri pada alat kelamin. Sering timbul infeksi saluran kencing 7 Jaringan otot dan tulang Nyeri tulang dan otot biasanya terjadi malam hari selepas

magrib, bengkak di leher (seperti gondongen) ORGAN & SISTEM TUBUH GEJALA DAN TANDA 8 Saluran Pencernaan Bayi : sering rewel, kolik/menangis terus menerus tanpa sebab pada malam hari, sering cegukan, sering berak geden, kembung, sering gumoh, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna darah. Lidah berwarna putih (like moniliasis symtomp), ngiler. Hernia umbilikalis, scrotalis atau inguinalis. Anak : nyeri perut, sering buang air besar (>2 kali/perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit berak, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut berbau.Nyeri perut, sering diare, kembung, muntah, konstipasi (sulit berak) , kelaparan, haus, saliva (air liur) meningkat, canker sores (sariawan), stinging tongue (lidah terasa pedih), drooling (ngiler), nyeri gigi, burping (sendawa), retasting foods, gejala sakit mag (nyeri perut ulu hati, muntah, mual, gelegekan), swallowing difficulty (kesulitan menelan), abdominal rumbling (perut keroncongan), konstipasi (sulit buang air besar), nyeri perut, passing gas (sering buang angin), timbul lendir atau darah dari rektum, anus gatal atau panas.

9 Sistem Pembuluh Darah dan jantung Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah, 10 Sistem Susunan Saraf Pusat / Otak Bayi : sensitif, sering mudah kaget dengan rangsangan suara/cahaya, gemetar (terutama tangan, kaki dan bibir), bahkan sampai kejang. Anak: Sering sakit kepala, migrain, keterlambatan bicara dan gangguan perilaku.. Perilaku : impulsif, sering marah, agresif emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif hingga autisme. Gangguan tidur : sulit tidur, tidur tengah malam, gangguan awal tidur, tidur bolak balik gelisah, tertawa, berteriak atau menangis sewaktu tidur. Brushing (gigi beradu/gemeretak), tidur nungging atau tengkurap, 5. HUBUNGAN ALERGI MAKANAN DAN AUTISME Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan

keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism. Obanion dkk, tahun 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa gejala autisme dan autisme infantil tampak membaik secara bermakna. Lucarelli dkk, tahun 1995 juga telah melakukan penelitian dengan eliminasi diet didapatkan perbaikkan pada penderita autisme infantil. Didapatkan juga IgA antigen antibodi specifik terhadap kasein, lactalbumin atau betalactoglobulin dan IgG, IgM terhadap kasein Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul. Penelitian yang dilakukan Vodjani dkk, tahun 2002 menemukan adanya beberapa macam antibody terhadap antigen spesifik neuron pada anak autisme, diduga terjadi reaksi silang dengan protein ensefalitogenik dari susu sapi., Chlamydia pnemoniae dan streptococcus group A. Penderita Autisme disertai alergi makanan sering mengalami gangguan sistem imun. Diantaranya adalah adanya gangguan beberapa tipe defisiensi sistem imun berupa defisiensi myeloperoxidase, Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID), defisiensi Ig A selektif, defisiensi komplemen C4b dan kelainan autoimun lainnya. Adanya gangguan tersebut mengakibatkan adanya gangguan sistem imun yang berfungsi menghancurkan jamur, virus dan bakteri. Hal ini mengakibatkan penderita autisme sering mengalami gangguan infeksi jamur (candidiasis), infeksi saluran napas dan mudah terkena penyakit infeksi lainnya secara berulang. 6. MEKANISME TERJADINYA PENGARUH ALERGI TERHADAP AUTISME

Mekanisme bagaimana alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi

otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa teori mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah teori gangguan organ sasaran, pengaruh metabolisme sulfat, teori gangguan perut dan otak (Gut Brain Axis) dan pengaruh reaksi hormonal pada alergi A. ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN. Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks. Berbagai zat hasil, proses alergi seperti sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan dalam peradangan di organ tubuh manusia. Rendahnya TH1 akan mengakibatkan kegagalan kemampuan untuk mengontrol virus dan jamur, menurunkan aktifitas NK cell (sel Natural Killer) dan merangsang autoantibodies dengan memproduksi berbagai macam antibody antibrain dan lainnya. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses peradangan lama yang kompleks. B. TEORI METABOLISME SULFAT Seperti pada penderita intoleransi makanan, mungkin juga pada alergi makanan terdapat gangguan metabolisme sulfat pada tubuh. Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui

konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang menggakibatkan gangguan kulit (gatal) pada penderita. Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak. Gangguan tersebut mengakibatkan zat kimiawi dan beracun tertentu yang tidak dapat dikeluarkan tubuh sehingga dapat mengganggu otak. C. TEORI PENCERNAAN DAN PERUT (ENTERIC NERVOUS SYSTEM DAN ABDOMINAL BRAIN THEORY) Proses alergi dapat mengganggu saluran cerna, gangguan saluran cerna itu sendiri akhirnya dapat mengganggu susunan saraf pusat dan fungsi otak. Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Secara patofisiologi kelainan Leaky Gut Syndrome tersebut salah satunya disebabkan karena alergi makanan. Beberapa teori yang menjelaskan gangguan pencernaaan berkaitan dengan gangguan otak adalah : 1. KEKURANGAN ENSIM DIPEPTIDILPEPTIDASE Kekurangan ensim Dipeptidalpeptidase IV (DPP IV). pada gangguan pencernaan ternyata menghasilkan zat caseo morfin dan glutheo morphin (semacam morfin atau neurotransmiter palsu) yang mengganggu dan merangsang otak. 2. TEORI PELEPASAN OPIOID Teori pelepasan opioid (zat semacam opium) ikut berperanan dalam proses di atas. Hal tersebut juga sudah dibuktikan penemuan seorang ahli pada binatang anjing. Setelah dilakukan stimulasi tertentu pada binatang anjing, ternyata didapatkan kadar opioid yang

meningkat disertai perubahan perilaku pada binatang tersebut. 3. TEORI ABDOMINAL EPILEPSI Teori Enteric nervous brain juga mungkin yang mungkin bisa menjelaskan adanya kejadian abdominal epilepsi, yaitu adanya gangguan pencernaan khususnya nyeri perut yang dapat mengakibatkan epilepsi (kejang) pada anak atau orang dewasa. Beberapa laporan ilmiah menyebutkan bahwa gangguan pencernaan atau nyeri perut berulang pada penderita berhubungan dengan kejadian epilepsi. D. TEORI KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangkan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Para peneliti melaporkan pada penderita alergi terdapat penurunan hormon seperti kortisol, metabolik. Hormon progesteron dan adrenalin tampak cenderung meningkat bila proses alergi itu timbul. Perubahan hormonal tersebut ternyata dapat mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak . Diantaranya dapat mengakibatkan keluhan gangguan emosi, gampang marah, kecemasan, panik, sakit kepala, migraine dan keluhan lainnya. Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya Seperti tampak pada gambar 1, pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormon kortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse (kelelahan atau lemas)., sedangkan penurunan hormon metabolik dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormon lain yang menurun adalah hormon esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon progesteron dapat mengakibatkan gangguan kulit kulit kering di bawah leher tapi di atas leher berminyak dan rambut rontok. Pada anak yang lebih besar yang sudah mengalami menstruasi, peningkatan hormon progesteron dapat menyebabkan gangguan sindrom premenstrual. Gejala sindrom premenstrual meliputi sakit kepala, migrain, nyeri perut, mual,

muntah, menstruasi tidak teratur, menstruasi darah berlebihan. 7. PENATALAKSANAAN Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat banyak dan beragam. Baik dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang canggih. Diantaranya adalah uji kulit alergi, pemeriksaan darah (IgE, RASt dan IgG), Pemeriksaan lemak tinja, Antibody monoclonal dalam sirkulasi, Pelepasan histamine oleh basofil (Basofil histamine release assay/BHR), Kompleks imun dan imunitas seluler, Intestinal mast cell histamine release (IMCHR), Provokasi intra gastral melalui endoskopi, biopsi usus setelah dan sebelum pemberian makanan. Selain itu terdapat juga pemeriksaan alternative untuk mencari penyebab alergi makanan diantaranya adalah kinesiology terapan (pemeriksaan otot), Alat Vega (pemeriksaan kulit elektrodermal), Metode Refleks Telinga Jantung, Cytotoxic Food Testing, ELISA/ACT, Analisa Rambut, Iridology dan Tes Nadi. Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditegakkan hanya dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, Immunoglobulin G atau pemeriksaan alergi lainnya. Pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan dalam sensitifitas dan spesifitas, Sehingga menghindari makanan penyebab alergi atas dasar tes alergi tersebut seringkali tidak menunjukkan hasil yang optimal. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Mengingat cara

DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap metode pemeriksaan tersebut. Children Family Clinic Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan melakukan Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana. Dalam diet sehari-hari dilakukan eliminasi atau dihindari beberapa makanan penyebab alergi selama 2-3 minggu. Setelah 3 minggu bila keluhan alergi dan gangguan perilaku menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala. Penanganan alergi makanan dengan gangguan Spektrum Autisme harus dilakukan secara holistik. Beberapa disiplin ilmu kesehatan anak yang berkaitan harus dilibatkan. Bila perlu harus melibatkan bidang Neurologi anak, Psikiater anak, Tumbuh Kembang anak, Endokrinologi anak, Alergi anak, Gastroenterologi anak dan lainnya. Seringkali pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan sedangkan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut. Maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Eliminasi makanan tersebut dievaluasi setelah 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gejala dan gangguan perilaku penderita Autism tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut dapat diperberat atau dicetuskan oleh alergi makanan. Selanjutnya dilakukan eliminasi provokasi untuk mencari penyebab alergi makanan tersebut satu persatu. Masih banyak perbedaan dan kontroversi dalam penanganan alergi makanan sesuai dengan pengalaman klinis tiap ahli atau peneliti. Sehingga banyak tercipta pola dan variasi pendekatan diet yang dilakukan oleh para ahli dalam menangani alergi makanan dan autisme. Banyak kasus pengendalian alergi makanan tidak berhasil optimal, karena penderita menghindari beberapa penyebab alergi makanan hanya berdasarkan pemeriksaan yang bukan

merupakan baku emas atau Gold Standard. Penanganan autisme dengan disertai adanya alergi makanan haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi makanan. Paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut. Pemberian obat anti alergi, anti jamur dan anti bakteri jangka panjang berarti terdapat kegagalan dalam mengendalikan penyebab alergi makanan. 8. PROGNOSIS Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, tetapi alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala autismepun biasanya akan tampak mulai berkurang sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah. 9. PENUTUP Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi termasuk pengaruh ke otak dan perilaku pada anak. Pengaruh alergi makanan ke otak tersebut adalah sebagai salah satu faktor pemicu dalam memperberat penyakit Autisme. Eliminasi makanan tertentu dapat mengurangi gangguan perilaku pada penderita Autisme. Diagnosis pasti alergi makanan hanya dipastikan dengan Double Blind Placebo Control

Food Chalenge (DBPCFC). Penghindaran makanan penyebab alergi tidak dapat dilakukan hanya atas dasar hasil tes kulit alergi atau tes alergi lainnya. Seringkali hasil yang didapatkan tidak optimal karena keterbatasan pemeriksaan tersebut dan bukan merupakan baku emas atau gold Standard dalam menentukan penyebab alergi makanan. Selain mengidentifikasi penyebab alergi makanan, penderita harus mengenali pemicu alergi. Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat-obatan anti alergi dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi. Mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala alergi dan gangguan autisme dapat dikurangi. Dengan melakukan deteksi gejala alergi dan gangguan perkembangan dan perilaku sejak dini maka pengaruh alergi terhadap autisme atau gangguan perilaku lainnya dapat dicegah atau diminimalkan. Sehingga sangatlah penting untuk mengetahui dan mengenali tanda dan gejala gangguan alergi dan autisme sejak dini. Lampiran khusus : GANGGUAN PERILAKU YANG SERING DIKAITANKAN DENGAN ALERGI MAKANAN 10. DAFTAR PUSTAKA 1. Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988. 2. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut 3. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual. 4. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the

National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156. 5. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14 6. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71 7. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33 8. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2 9. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3. 10. Connoly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner variant, Autism and other neurolic disorders. J Pediatr 1999;134:607-613 GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN usia < 6 bulan: mata/kepala bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki bergerak berlebihan, usia > 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (smackdown}, sering memanjat. Gejala Tomboy pada anak perempuan. GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi nungging, berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak (beradu gigi), tidur ngorok

AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, mencubit, menjambak (spt gemes) GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR. GANGGUAN EMOSI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis. GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK : Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburuburu, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang. KETERLAMBATAN BICARA Tidak mengeluarkan kata umur < 15 bulan, hanya 4-5 kata umur 20 bulan, kemampuan bicara hilang dari yang sebelumnya bisa, biasanya > 2 tahun membaik. IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain HIPERAKTIF (ADHD/ADD) Memperberat gejala AUTISME11. Vodjani A et al, Antibodies to neuron-specific antigens in children with autism: possible cross- reaction with encephalitogenic proteins from milk, Chlamydia pneumoniae, and Streptococcus group A. J Neuroimmunol 2002, 129:168-177. 12. Lucarelli S, Frediani T, Zingoni AM, Ferruzzi F, Giardini O, Quintieri F, Barbato M, D'Eufemia P, Cardi E. Food allergy and infantile autism. Panminerva Med. 1995 Sep;37(3):137-41.

13. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37. 14. El-Fawal HAN et al, Neuroimmunotoxicology : Humoral assessment of neurotoxicity and autyoimmune mechanisms. Environ Health Perspect 1999;107(supp 5):767-775. 15. Warren RP et al. Immunogenetic studies in Autism and related disorders. Molec Clin Neuropathol 1996;28;77-81. 16. Sing VK et Al. Antibodies to myelin basic protein in children with autistic behaviour. Brain Behav Immunol 1993;7;97-103. 17. Sing VK et al. Circulating autoantibodies to neuronal and glial filament protein in autism. Pediatr Neurol 1997;17:88-90. 18. Egger J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5 19. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177. 20. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342. 21. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone. 22. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour. 23. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy. 24. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.

25. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003 26. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64. 27. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child 28. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.

Kontak dan komunikasi :

CURICULUM VITAE Dr Widodo Judarwanto SpA, lahir di Surabaya. Sarjana kedokteran diperoleh dari Universitas Airlangga lulus tahun 1989, sedangkan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak diselesaikan tahun 1999 di Fakultas kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr Sutomo Surabaya. Pendidikan lanjutan dan berbagai kursus dalam dan luar negeri dalam bidang kesehatan anak terus dilakukan. Riwayat pekerjaan sebagai dokter umum secara formal bekerja di Puskesmas di propinsi Kalimantan Selatan selama 4 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan Dokter Spesialis Anak sempat mengabdikan diri di Rumah Sakit Dili Timor Timur, Saat ini bekerja Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat, serta di Children Family Clinic, Jl Rawasari Selatan 50 Cempaka Putih Jakarta Pusat. Neonatology Intensive Care Unit (NICU) dan Children Allergy Center RUMAH SAKIT BUNDA JAKARTA, Jl Teuku Cikditiro 28 Jakarta Pusat. Phone : (021) 31922005 ext: 151, Fax : (021) 3101077. Allergy Asthma Therapy dan Picky Eater Clinic (Klinik Kesulitan makan Anak, di CHILDREN

FAMILY CLINIC JAKARTA, Jl Rawasari Selatan 50 Cempaka Putih Jakarta Pusat. Phone : ( (021) 70081995, 021) 4264126, Fax : (021) 4264126 Coeliac Indonesia. Jl Taman bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat Phone 5703646 Email : wido25@hotmail.com. Htpp://www.Childrenfamily.com, HP : 0817171764 Sertifikat pendidikan tambahan dan kursus yang telah dilakukan University of Kentucky Chandler Medical Center Continuing Education Course: Understanding Allergy : Easy Ways to Help Patients. January 31 2002. The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI), The Suspension Is Over: New Solutions for the Treatment of Asthma, 5, . AMA PRA category 1 credits. Medscape, certifies in the educational activity Proton Pump Inhibitors May Improve Asthma Control in Children, 13 Oktober 2003, AMA PRA category 1 credits. Medscape, certifies in the educational activity Treatment of Allergic Rhinitis and Its Comorbidities AMA PRA category 1 credits. Ciptomangunkusumo Hospital, certifies in Course : Advanced Pediatric Live Support, Harapan Kita Hospital certifies in Course : Neonatology Resuscitation Heart Foundation Indonesia certifies in Course : Advanced Cardiac Life Support, Harapan Kita Hospital certifies in Hands on course : Pediatric Ultrasonography, Medscape, certifies in the educational activity New Study Characterizes Idiopathic Solar Urticaria, 16 Oktober 2003, AMA PRA category 1 credits. Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization Grandview Avenue Arvada Perspective Astma in Century 21 Practical Allergy Immunology in Infant, Department Health United State Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization Grandview Avenue Arvada 58th Annual

Meeting of the American Academy of Allergy, Asthma and Immunology CONTINUING MEDICAL EDUCATION Postgraduate Institute for Medicine "Reality" Gastroenterology: Meeting the Challenges of GERD and Related Disorders in Clinical Practice Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization Grandview Avenue Arvada . 154th Annual Meeting of the American Psychiatric Association - Eating Disorders and ADHD ACCME, CHEST 2001: 67th Annual Scientific Assembly of the American College of Chest Physicians The University of Chicago Pritzker School of Medicine Biologic Therapies for Inflammatory Bowel Disease: Strategies for Optimal Outcomes. Continuing Education Cleveland Clinic Foundation Evolving Concepts in the Management of Patients with Neutropenia and Fever on 5/17/2002 NIH/FAES CME Committee: Phenylketonuria (PKU): Screening and Management The Essentials and Standards of the Accreditation Council for Continuing Medical Education through the joint sponsorship of the Society of Nuclear Medicine. The University of Miami School of Medicine certifies Masters of Pediatrics: Dermatology, , . Continuing Medical Education of Society of Diagnostic Medical Sonography Sonographic Evaluation of the Fetal Head, SDMS Continuing Medical Education Credits in: Pediatric Echo Vascular Physics. 2001 NASPE 22nd Annual Scientific Sessions - PEDIATRICS , , the Medscape Conference Coverage from the North American Society of Pacing and Electrophysiology 22nd Annual Scientific Sessions. The University of Miami School of Medicine certifies that participated in the educational activity titled Masters of

Pediatrics: Growth and Nutrition Sessions on , . Successfully completed hour(s) hours of instruction. hour(s) of AMA PRA category 1 credit. American College of Physicians certifies THE CONTINUING MEDICAL EDUCATION ACTIVITY ENTITLED Current rends in the Management of Critically Ill Patients on , , 1 credit toward the AMA Physician's Recognition Award. The American Epilepsy Society certifies that participated in the educational activity titled Innovative Epilepsy Therapies for the 21st Century - Part 2 on , . AMA PRA category 1 credit. Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002 mec@cmegateway.com (303) 420-3252 58th Annual Meeting of the American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. The University of Chicago The Division of the Biological science and the Priztker School of Medicine Conquering the Clinical Challenges of IBD: Optimizing Anti-TNF-Alpha Therapy. On , . The University of Chicago Pritzker School of Medicine Category 1 credit toward the AMA Physician's Recognition Award. The University of Miami School of Medicine, Masters of Pediatrics: Neonatology Issues for the General Pediatricianon , , AMA PRA category 1 credit. Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002, 154th Annual Meeting of the American Psychiatric Association - Eating Disorders and ADHD American College of Physicians certifies Current Trends in the Management of Critically Ill Patients , , the AMA Physician's Recognition Award. Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002, Pharmacologic Treatment of Attention-Deficit Hyperactivity Disorder in Children. CMEC's,

Credit(s).Certificate Number: Date: , . Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002. 12th Annual Congress of the European Respiratory Society CMEC's, Credit(s). Certificate Number: Date: , . Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002. Conference Coverage of the 15th Annual Congress of the European Society of Intensive Care Medicine CMEC's , Credit(s). Certificate Number: , Date: 17, Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002, Conference Coverage of the 15th Annual Congress of the European Society of Intensive Care Medicine CMEC's , 2 Credit(s). Certificate Number: , Date: 17, . Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002, XIV International AIDS Conference CMEC's , 2 Credit(s). Certificate Number: , Date: 4, The University of Miami School of Medicine certifies that has participated in the educational activity titled Masters of Pediatrics: Pediatric Allergy Immunology Update 1 credit. Certificate Number: The University of Miami School of Medicine certifies in the educational activity titled Masters of Pediatrics: Pediatric Pulmonology Update 6, , AMA PRA category 1 credit. Certificate Number: Medical Education Collaborative A Nonprofit Educational Organization 7425 Grandview Avenue Arvada, CO 80002, XII World Congress of Psychiatry - Bipolar Disorder. Credit(s). Certificate Number: . Date: on November 2002, AMA PRA category

2, , American Pain Society W. Lake Avenue Glenview, IL 60025-1485.Continuing Education Activity sponsored by the American Pain Society:Society 21st Annual Scientific Meeting of the American Pain. 4, Medscape certifies in Highlights of the World Allergy Organization Congress XVIIIICACI, , ., AMA PRA category 1 credits. Medscape certifies the educational activity Conference Coverage: 23rd International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine , , AMA PRA category 1 credits. Medscape certifies 32nd Congress of the Society of Critical Care Medicine Mechanical Ventilation. , . AMA PRA category 1 credits. Medical Education Collaborative` A Nonprofit Educational Organization 651 Corporate Circle, Suite 104 Golden, CO 80401, The Obesity Epidemic: Prevention and Treatment of the Metabolic Syndrome. AMA PRA category 1 credits.. Medscape certifies, Atropine May Be a Good Alternative to Patching for the Noncompliant Child With Amblyopia, 2, , AMA PRA category 1 credits. Medscape certifies, New Guidelines for Alpha-1 Antitrypsin Deficiency , 3, . AMA PRA category 1 credits Medscape certifies, 75th Scientific Sessions of the American Heart Association - Special Populations, , , AMA PRA category 1 credits. Medscape certifies Second International AIDS Society Conference Treatment HIV Disease in Children 8, . AMA PRA category 1 credits. Beberapa kegiatan ilmiah yang telah dilakukan telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, termasuk karya ilmiah non popular. Selain rajin menulis masalah kesehatan anak di surat kabar on HIV Pathogenesis and

atau majalah, juga menjadi konsultan kesehatan anak dalam sebuah media cetak. Hingga saat ini banyak penelitian ilmiah yang telah dipublikasikan melalui forum ilmiah Nasional dan Internasional. Diantaranya penelitian Ilmiah yang telah dipublikasikan di forum Internasional adalah : 1. Clinical Evaluation of a new device for Cutaneus Bilirubin Measurement at Bunda Jakarta Hospital, oral presentation pada Indonesia Society of Perinatology National Conggres VIIIth, Medan Indonesia, 2003 dan pada 13 th Congress of the Federation of Asia and Ocenia Perinatal Societies, Kuala Lumpur Malaysia. 2. Evaluation and medical treatmant in infant with HIV-infected mothers, pada 13 th Congress of the Federation of Asia and Ocenia Perinatal Societies, Kuala Lumpur Malaysia. 3. Perinatal Outcome of infants born after in vitro fertilization at Bunda Hospital Jakarta Oral presentation pada 13 th Congress of the Federation of Asia and Ocenia Perinatal Societies, Kuala Lumpur Malaysia. 4. Dietery Intervention as a Therapy in Behaviour Problem with Gastrointestinal Allergy,; pada World Congress of Gastroenterology, Hepatology and Nutrition, Paris Perancis 2 7 Juli 2004. 5. Using Nutrient Dense in Children with Gastroenterointestinal Allergies, pada 24 TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCN MXICO. 15-20 Agustus ,2004.

6. Effects on Stool Characteristics, Gastrointestinal Manifestation and Sleep Pattern of Palm Olein in Formula-fed Term Infants 24 TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCN MXICO, 15-20 Agustus, 2004. 7. Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy; pada 24 TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCN MXICO, 15-20 Agustus,2004. 8. Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy; pada 8 th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India, 7 10 Oktober, 2004. Buku ilmiah tentang Kesehatan Anak yang telah ditulis adalah : Penghargaan berupa OUTREACH AWARD telah diberikan kepada dr Widodo Judarwanto SpA. pada event World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition tanggal 2 7 Juli 2004 di Paris Perancis. Penghargaan itu diberikan untuk penelitian mengenai alergi anak yang berjudul : Dietery Intervention as a Therapy for Behaviour Problems in Children with Gastrointestinal Allergy.1. SEVERE ACCUTE RESPIRATORY SYNDROME, Penerbit Puspaswara tahun 2002. 2. KESULITAN MAKAN PADA ANAK, penerbit Puspaswara tahun 2003. 3. GANGGUAN PERTUMBUHAN PADA ANAK, penerbit Yudhasmara tahun 2004.

4. PERMASALAHAN DAN KONTROVERSI IMUNISASI ANAK, penerbit Yudhasmara, tahun 2004. 5. ALERGI PADA ANAK, penerbit Yudhasmara, tahun 2004. 6. MENGOPTIMALKAN KEMAMPUAN BICARA ANAK, penerbit Yudhasmara, tahun 2005. 7. SUSU TERBAIK BAGI ANAK, Penerbit Yudhasmara, tahun 2005. 8. DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN AUTISME, penerbit Yudhasmara, tahun 2005. 9. GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU PADA ANAK, penerbit Yudhasmara., tahun 2005. 10. PENYEBAB DAN PENANGANAN DEMAM PADA ANAK, penerbit Yudhasmara., tahun 2005. 11. GANGGUAN TIDUR PADA ANAK, penerbit Yudhasmara, tahun 2005. 12. PROBLEMATIKA KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH, penerbit Yudhasmara, tahun 2005.

You might also like