You are on page 1of 105

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumebr informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Fidyatun Khoiriyah NIM F251070191

ABSTRACT
FIDYATUN KHOIRIYAH. Molecular Identification Local Isolates of Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction (PCR) Method. Under direction of RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Foodborne disease is a major concern worldwide, and S. aureus is continuously involved in foodborne disease outbreaks. Staphylococcal enterotoxins (SE) are important virulence factor for the bacterial intoxications. This research aimed to identify local isolates of S. aureus based on universal 16S rRNA gene and to identify whether they possess SE A and C1 genes. Bacterial DNA isolation was conducted using Doyle and Doyle extraction method with some modification. Amplification of genes encoding for 16S rRNA, SEA and SEC1 were investigated using primers 63f/1387r, SEA-1/SEA-2 and SEC1-1/SEC1-2, consecutively. The amplification products of 16S rRNA were sequenced and then analyzed for their relatedness to S. aureus. The resulted sequence was analyzed using BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) program and it was found that 5 out of 14 isolates were confirmed as S. aureus. The local isolates of NU4, NU5 and NU9 have 87 92% similarity, but all of the local isolates do not have similarity with S. aureus ATCC 25923. Based on amplification of the SE genes, 1 local isolates of S. aureus (NU5) was capable of producing both SEA and SEC1 while 1 local isolate (NU1) was only capable of producing SEA.

Keywords: Staphylococcus aureus, staphylococcal enterotoxin, local isolates

RINGKASAN FIDYATUN KHOIRIYAH. Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Bakteri S. aureus telah banyak dilaporkan sebagai patogen asal pangan yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia. Karakteristik S. aureus antara lain termasuk bakteri bulat Gram positif yang bergerombol seperti anggur, membentuk pigmen kuning keemasan, tidak membentuk spora, non-motil, bersifat aerob dan anaerob fakultatif serta membentuk koagulase dan katalase positif. Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal pada makanan. Keberadaan S. aureus pada pangan umumnya disebabkan oleh kontaminasi silang dari pekerja maupun peralatan pengolahan yang digunakan serta perlakuan pangan setelah diolah. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia. Lebih dari 30 50% populasi manusia adalah carrier S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor virulensi yang dihasilkan oleh S. aureus sehingga menyebabkan keracunan pangan salah satunya adalah enterotoksin stafilokoki (SE). SE merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigentik dengan berat molekul rendah. SE juga bersifat larut air, termostabil dan kaya akan beberapa residu asam amino. Terdapat 14 jenis enterotoksin stafilokoki yang telah diidentifikasi. SE yang umumnya mengontaminasi makanan diantaranya SEA, SEB, SEC1 dan SED. Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC1 dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC1 (Rall et al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturutturut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al., 2010). Beberapa kasus keracunan pangan di dunia akibat kontaminasi S. aureus yang pernah menjadi outbreak (Kejadian Luar Biasa) antara lain di Florida pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan akibat mengonsumsi daging ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak 31 orang dari 125 orang mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah dan diare selama 3-6 jam. Kasus keracunan juga pernah terjadi di Australia berturut-turut pada bulan Maret dan April 2002 akibat mengonsumsi nasi, kentang dan daging. Sebanyak 250 orang dari 600 orang menjadi korban (Rall et al., 2008; Pelisser et al., 2009). Di Indonesia, keberadaan bakteri patogen ini dalam produk pangan terutama siap santap telah banyak dilaporkan, tetapi untuk sampai terjadinya kasus keracunan pangan tidak banyak dilaporkan. Beberapa kasus keracunan yang pernah dilaporkan adalah pada tahun 2009 di Tasikmalaya, sebanyak 148 orang

menjadi korban akibat mengonsumsi nasi bungkus yang mengandung S. aureus (Kusumaningrum, 2009). Sebelumnya di Padang tahun 2007 juga pernah terjadi kasus keracunan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari beras ketan dan setelah diuji laboratorium ternyata positif mengandung S. aureus (Gentina et al., 2008). Menurut US FDA (2001), kasus keracunan makanan biasanya terjadi apabila jumlah S. aureus mencapai 105CFU/g atau lebih. SE dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah yaitu 0.1 1 g/kg (ICSMF, 1996). Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)yang berasal dari susu segar hewan dan produk pangan olahan asal hewan sudah pernah dilaporkan (Salasi et al., 2009), sedangkan data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan mendeteksi keberadaan gen penyandi SEA serta SEC1 pada isolat-isolat tersebut. Isolasi DNA genom bakteri S. aureus menggunakan metode Doyle dan Doyle (1989) dengan beberapa modifikasi. Amplifikasi gen target menggunakan 3 pasang primer berturut-turut, yaitu 63f/1387r, SEA-1/SEA-1 dan SEC1-1/SEC1-2. Hasil amplifikasi untuk gen 16S rRNA dilakukan sekuensing dan dianalisis menggunakan program BLAST pada situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov). Berdasarkan hasil amplifikasi parsial gen 16S rRNA, 5 dari 14 isolat lokal yang diteliti adalah S. aureus, meskipun secara uji biokimiawi 14 isolat lokal tersebut telah diidentifikasi sebagai S. aureus (Apriyadi, 2010). Dalam penelitian ini, 9 isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Tingkat kemiripan tinggi ditemukan pada isolat lokal NU4, NU5 dan NU9, yaitu berkisar antara 87 92%. Dapat disimpulkan bahwa 3 isolat lokal tersebut merupakan spesies yang sama. Berdasarkan sumber isolat-isolat lokal S. aureus yang diperoleh, isolat lokal AS yang berasal dari ayam suwir memiliki kemiripan yang relatif rendah (76%) dengan isolat lokal yang berasal dari nasi uduk (NU1). Tidak terdapat kemiripan antara kelima isolat lokal S. aureus dengan S. aureus ATCC 25923 sebagai isolat pembanding. Hasil amplifikasi gen penyandi SE menunjukkan bahwa dari 2 isolat lokal S. aureus, 1 isolat mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1 (NU5) dan 1 isolat hanya mengandung SEA (NU1).

Kata kunci: Staphylococcus aureus, enterotoksin stafilokoki, isolat lokal

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Si

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya dilakukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak mengurangi kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

Judul Tesis

: Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Nama NIM

: Fidyatun Khoiriyah : F251070191

Disetujui Komisi pembimbing

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 9 Agustus 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Alloh SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Selama perjalanannya menempuh pendidikan S2 ini, penulis merasa dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc, selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan, semangat, perhatian dan kesabaran penuh seperti layaknya ibu sendiri. Semoga Alloh SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis. Kepada Antung Sima Firlieyanti, STP, MSi, selaku dosen penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi masukan guna perbaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAFAST Center LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini dan memberi kemudahan bagi penulis untuk dapat melaksanakan penelitian hingga selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada: (1) Tim mahasiswa satu bimbingan, yaitu Bombay, Veni, Mbak Desty, Winnie, Ipit, Ivani, Juli dan Ipan, yang telah mengisi hari-hari penulis selama penelitian dan membantu dalam banyak hal, (2) Mbak Ari, Sofah dan Yeris serta para teknisi lainnya di laboratorium SEAFAST Center, (3) Mbak Tuti di Laboratorium Virologi Tumbuhan, HPT IPB, yang telah banyak mengajarkan ilmu dan hal-hal teknis maupun non-teknis tentang bidang molekular, (4) Teman-teman IPN, terutama Zaim dan Uni Rita, yang telah memberi semangat dan banyak membantu di detik-detik terakhir penyelesaian masa studi, (5) Teman-teman di Laboratorium Bioteknologi Pangan SEAFAST Center, Midun, Mbak Dwi, Mbak Elfi, Mbak Maya, Dilla, Yogi, Dita, Victor, Ahmad dan Goy yang selalu memberi semangat dan bantuan, (6) Temanteman Liqo, serta (7) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima atas dukungannya. Tak lupa dengan sangat penulis mengucapkan terima kasih kepada papa, mama, adik-adik dan seluruh keluarga besar yang tak henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, semangat dan bantuan. Terima kasih yang luar biasa teruntuk suami dan mujahid kecilku, Ukasyah, penulis merasa amat sangat bersyukur memiliki kalian berdua. Tidak ada penyesalan atas apa yang sudah terjadi dan pada akhirnya semua dapat terselesaikan juga walaupun harus melewati rintangan yang berliku.

Depok, September 2011

Fidyatun Khoiriyah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1984 dari Ayah H. Achwani dan Ibu Hj. Atika Nurkhasanah. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Tahun 2002, penulis lulus dari SMU Negeri 112 Jakarta dan pada tahun yang sama terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Selama menempuh bangku kuliah, penulis mendapat beasiswa dari NEF (Nagao Environmental Foundation). Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dan mengambil Program Studi Ilmu Pangan (IPN) dengan peminatan Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan. Selama menempuh pendidikan S2, penulis tercatat sebagai anggota Forum Mahasiswa Ilmu Pangan (Formasip). Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar internasional, diantaranya Probiotics pada tahun 2008.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR LAMPIRAN.. PENDAHULUAN............. Latar Belakang Tujuan Penelitian........ Manfaat Penelitian.. Hipotesis. TINJAUAN PUSTAKA................. Karakteristik Staphylococcus aureus.. Kontaminasi S. aureus dalam Pangan Perilaku S. aureus dalam Pangan .. Penyakit karena S. aureus.. Dosis Infeksi S. aureus... Keracunan Makanan oleh Stafilokoki Metode Deteksi S. aureus... Enterotoksin Stafilokoki (SE). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Enterotoksin Stafilokoki (SE) Mekanisme Aksi SE... Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA Polymerase Chain Reaction (PCR).................... Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing).. Analisis Keragaman Genetika METODE PENELITIAN... Tempat dan Waktu.. Bakteri Uji.. Bahan dan Media Alat. Pelaksanaan Penelitian... Persiapan dan Pewarnaan Gram Kultur Bakteri S. aureus.. Persiapan Kultur Bakteri.. Pewarnaan Gram Bakteri.. Identifikasi Molekuler Kultur Bakteri S. aureus. Persiapan Kultur Bakteri.. Isolasi DNA Genom Bakteri Amplifikasi Gen 16S rRNA Bakteri Sekuensing Gen 16S rRNA Bakteri................................................. Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1.. xiii xiv xv 1 1 4 5 5 6 6 9 13 15 16 16 19 22 26 29 31 32 34 35 39 39 39 39 40 41 42 42 42 42 42 43 44 45 45

HASIL DAN PEMBAHASAN.. 46 Pewarnaan Gram. 46 Identifikasi Molekular Isolat Lokal S. aureus 46

Isolasi DNA Genom Bakteri. Amplifikasi dan Analisis Sekuen Parsial Gen 16S rRNA Amplifikasi Gen SEA dan SEC1.. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. Saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN...

46 49 56 60 60 60 61 68

DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus. Karakteristik spesies stafilokoki................................................... Sumber, faktor risiko dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan...................................................................... Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan........................... Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan.......................................................................................... Karakteristik utama enterotoksin stafilokoki (SE)....................... Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda.............. Support genetika pada beberapa gen penyandi SE....................... Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus.............................................................. Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan untuk amplifikasi gen target................................................................... Produk sekuensing dari isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 63f, 1387r dan hasil contig Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolate pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r. Sumber isolat dan asal negara dari masing-masing galur S. aureus berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA.... Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA............ Persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r.. 7 8 11 13 17 23 24 26 27 40

51

12

53

13

54

14

55 56

15

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x..................................................... 2 Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki (SE)........................................... 6 31

3 Diagram alir pelaksanaan penelitian........................................................... 41 4 Morfologi bakteri S. aureus hasil pewarnaan Gram... 46 5 Visualisasi total DNA genom isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat luar S. aureus ATCC 25923. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA 49 6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen 16S rRNA universal isolat lokal S. aureus. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif. 50 7 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEA isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif... 57 8 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEC1 isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif. 57

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Konsentrasi dan kemurnian DNA genom bakteri S. aureus 68

2 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing............................................................................................... 69 3 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing... 76 4 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923... 84

PENDAHULUAN

Latar Belakang Keracunan pangan akibat kontaminasi bakteri patogen atau dikenal dengan istilah foodborne disease (FBD) merupakan permasalahan keamanan pangan yang menjadi perhatian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Padahal dalam

mengupayakan keamanan pangan tersebut, masing-masing negara telah membuat kebijakan seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah tentang Pelabelan Pangan, Manajemen Keamanan Pangan dan berbagai panduan lainnya. Namun demikian, masih saja terdapat kejadian dimana cemaran pangan kurang dapat diantisipasi secara sempurna sehingga menimbulkan kekacauan, seperti temuan Staphylococcus aureus pada pangan siap santap. Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat bergerombol seperti anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan panas. S. aureus merupakan bakteri yang umum terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 g/kg (ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit hingga 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab terjadinya food-borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus ke dalam rantai pangan, yang kemudian menyebabkan keracunan adalah karena rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti Indonesia dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju. Berdasarkan laporan the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (1989) menyatakan bahwa pada tahun 2001 hingga 2005 rata-rata setiap tahun terjadi 327 kasus keracunan pangan akibat bakteri di Amerika Serikat, 15% diantaranya disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki. Sementara itu pada tahun 2006, terjadi 295 kasus keracunan pangan akibat bakteri dan 9.8% diantaranya juga disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki (SE). Tidak hanya kasus tersebut, di Amerika Serikat yang tergolong negara maju, foodborne disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325,000 kasus rawat inap dan 5,000 kasus kematian per tahunnya (Jaykus, 2003). Kejadian Luar Biasa (KLB) lainnya yang pernah dilaporkan antara lain di Osaka Jepang pada tahun 2000, yaitu produk susu skim bubuk dan susu rekonstitusi ditemukan mengandung enterotoksin stafilokoki A (SEA). SEA yang terkandung mencapai 80 ng. Selanjutnya di Amerika Serikat, pada produk susu coklat cair mengandung 200 ng atau kurang SEA (Ikeda et al., 2005). KLB akibat S. aureus di Indonesia sendiri pernah terjadi di beberapa daerah. Di Tabanan Bali pada tahun 2004, 159 orang dilaporkan keracunan akibat mengonsumsi nasi bungkus dan hasil pengujian laboratorium BPOM

menunjukkan bahwa sisa nasi bungkus dan muntahan korban mengandung mikroba patogen S. aureus. Bakteri patogen ini juga ditemukan pada jajanan jeli yang mengakibatkan 20 orang murid di Gresik keracunan. Pada tahun yang sama juga terjadi kasus keracunan di Bandar Lampung karena mengonsumsi campuran nasi dan ikan tongkol. Sementara itu pada tahun 2007, terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan di sebuah hotel di Padang. Hasil uji klinis laboratorium menunjukkan sampel makanan positif mengandung S. aureus (Gentina et al., 2008). Keracunan pangan oleh S. aureus disebabkan oleh enterotoksin. Enterotoksin stafilokoki merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul rendah, yaitu 26,900-29,600 dalton. SE ini diproduksi terutama oleh S. aureus, tetapi dapat diproduksi juga oleh S. intermedius, S. hyicus, dan S. xylosus (Bhatia dan Zahoor, 2007). SE bersifat

larut air dan stabil terhadap panas (termostabil) serta kaya akan residu lisin, asam aspartat, asam glutamat, dan tirosin (Le Loir et al., 2003). Terdapat 14 jenis SE

yang telah diidentifikasi, yaitu SEA SEB, SEC, SED, SEE, SEG, SEH, SEI, SEJ, SEK, SEL, SEM, SEN, dan SEO. Namun hanya SEA, SEB, SEC, SED, dan SEE yang hingga saat ini dapat dideteksi dengan peralatan komersial (Ikeda et al., 2005). Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC (Rall et al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturut-turut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al., 2010). Enterotoksin stafilokoki sangat stabil terhadap enzim proteolitik, seperti pepsin dan tripsin, sehingga toksin ini tetap aktif di saluran pencernaan. Enterotoksin ini juga tahan terhadap kimotripsin, renin, dan papain. Meskipun demikian, SEB dan SEC1 dapat dipotong pada loop sistein oleh tripsin. SEB dapat dihancurkan oleh pepsin pada pH 2, tetapi SEB menjadi resisten terhadap pepsin pada pH yang lebih tinggi, dimana kondisi tersebut adalah kondisi normal di dalam lambung setelah seseorang mengonsumsi makanan (Bhatia dan Zahoor, 2007). Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang dihasilkan sudah pernah dilaporkan. Salasi et al., (2009) melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE (1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-

masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi 3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB, SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan. Laporan resmi tentang kasus keracunan stafilokoki di Indonesia masih terbatas jumlahnya. Data yang tersedia umumnya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Hal ini menyebabkan monitor dan evaluasi apabila terjadi suatu kejadian luar biasa (KLB) berdasarkan asal-muasal keracunan (etiologi), sumber makanan dan tempatnya pun belum terlaksana dengan baik. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia paling banyak terjadi pada pangan olahan yang melibatkan industri jasa boga dan industri jasa katering. Data mengenai prevalensi isolat lokal S. aureus dan keracunan stafilokoki yang ditimbulkannya pada produk pangan tradisional santap belum tersedia. Oleh karena itu perlu diketahui frekuensi keberadaan isolat lokal S. aureus dalam produk pangan tradisional siap santap dan toksin yang dihasilkannya guna dijadikan acuan dalam penetapan manajemen risiko baik di tingkat produsen maupun konsumen.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA, sehingga dapat diketahui persentase tingkat kemiripan antar isolat-isolat tersebut. (2) Mendeteksi keberadaan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal S. aureus.

Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi (database) tentang S. aureus yang ada di Indonesia untuk melakukan kajian risiko S. aureus isolat lokal yang ada di Indonesia.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Terdapat kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan (2) Terdapat gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) serta enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1. Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0.5-1.5 m dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.

Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x (Todar, 2008) S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000). S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum

pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw), stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus Pertumbuhan Faktor Pengaruh Optimum Suhu pH aw Atmosfer Natrium Klorida Adam dan Moss (1995) S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang 37C 6.0-7.0 0.980.99 Aerobik 0.5-0.4% Kisaran 4 48C 4.0-9.8 0.830.99 Anaerobik hingga aerobik 0-20%

dapat

memecah

DNA

maupun

RNA

untuk

menghasilkan

produk

fosfomononukleotida.

Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokoki


Sifat S. aureus S. intermedius S. hyicus a Pigmen + Koagulase + + Dnase + + Hemolisis + + Mannitol (an) + Acetoin + Gumpalan + + + Hyaluronidase + Lysostaphyn ST ST ST a >90%. an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah S. epidermidis + SR

Bennet dan Monday (2003) Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah carrier S. aureus (Le Loir et al., 2003). Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus, mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,

Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae, Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996). Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008). Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan katalase (Todar, 2008).

Kontaminasi S. aureus dalam Pangan Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50% di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang yang sehat sekalipun. Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000). Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang

10

tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan (Ash, 2000). US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60C atau 140F) atau kurang dingin (7.2C atau 45F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3. Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993). Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999). S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin

11

Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan Sumber Lingkungan Luas Hewan Manusia Udara, air, dan tumbuhan Lingkungan Pengolahan Makanan Bahan Baku Karkas hewan Produk olahan hewan Bumbu Proses Pengolahan Permukaan kontak dengan makanan Udara, air Pengolah makanan Produk Pangan Resiko Konsekuensi jika resiko tidak terkontrol

Lemahnya sanitasi Meningkatnya infeksi peternakan dan higiene S. aureus pada manusia perorangan dan hewan

Penyajian

S. aureus dalam jumlah S. aureus bertahan yang tinggi selama proses pengolahan dan terjadi kontaminasi silang dari bahan baku pangan terhadap makanan olahan Proses Pengolahan tidak S. aureus bertahan mencukupi, pembersihan selama proses dan desinfeksi tidak pengolahan dan terjadi memadai, sumber air kontaminasi postburuk dan lemahnya process terhadap produk sanitasi dan higiene pangan perorangan Ketidaktepatan suhu S. aureus penyimpanan, faktor berkembangbiak dan pertumbuhan intrinsik memproduksi tidak dikendalikan staphylococcal enterotoxins (SE) Kontaminasi dari enterotoksigenik S. aureus terhadap makanan yang telah diolah. Ketidak tepatan suhu lingkungan penyajian makanan S. aureus berkembangbiak dan memproduksi enterotoksin stafilokoki (SE)

Lingkungan Makanan

Penyajian

Hewan Manusia Permukaan kontak dengan makanan Udara dan air Robinson et al. (2000)

Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi

12

(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan hingga <10C dan meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan matang (Jay, 2000). Harmayani et al., (1996) mengevaluasi total bakteri dan S. aureus pada beberapa sampel pangan menggunakan media Baird-Parker Agar (BPA) yang dilanjutkan dengan uji koagulase. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total bakteri sebanyak 6.5 x 107 CFU/g dan total S. aureus 7.3 x 105 CFU/g. Karkas ayam mentah diproses melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, ternyata total bakteri menurun menjadi 1.7 x 106 CFU/g dan total S. aureus <103 CFU/g. Setelah pembakaran, total S. aureus berkurang lagi menjadi 5.0 x 102 CFU/g. Namun populasi S. aureus menjadi 1.5 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan dan penyimpanan pada suhu ruang selama 7.5 jam. Jumlah ini telah melewati batas maksimum cemaran S. aureus yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu 0-5 x 103 sel/g. Harmayani et al., (1996) juga menyebutkan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan untuk membuat bakso dan sup ayam sudah tercemar S. aureus sebanyak 1.4 x 105 CFU/g dengan total bakteri 1.9 x 107 CFU/g. Namun dengan proses pemanasan pada pengolahan bakso maupun sup, total S. aureus mengalami penurunan menjadi 4.3 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6.4 x 105 CFU/g hingga dihidangkan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap santap telah tercemar bakteri S. aureus, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

13

Tabel 4 Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan Jenis Pangan Jumlah S. aureus (CFU/g) Sumber Data Bakso 1.74 a (Hartini, 2001)* Gado-gado 3.72 a Mie ayam 1,78 a Nasi rames 3.21 a Siomay 2.43 a Soto ayam 1.65 a Tauge goreng 5.10 a Gado-gado 5.81 b Ruslan (2003)** Kacang panjang rebus 5.61 b Kol rebus 5.15 b Wortel rebus 5.23 b Tauge rebus 4.74 b Karkas Ayam 5.15 c Harmayani et al., (1996) Ayam Goreng 2.64 d Sari (2010) Ayam Kecap 3.22 d Ayam Opor 3.66 d Ayam Balado 2.36 d * Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang ** Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak penjaja mulai berjualan

Perilaku S. aureus dalam Pangan Bakteri S. aureus yang tidak membentuk spora adalah termasuk bakteri yang mudah diinaktivasi oleh panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya S. aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62.8C. S. aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62.8C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, E. coli, Campylobacter jejuni, Streptococcus. faecalis, dan Lactobacillus lactis. Akan tetapi, S. aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum. Thomas et al., (1966) meneliti ketahanan panas dua isolat S. aureus yaitu isolat MS 149 dan isolat 196E dengan heating menstruum susu skim yang telah dipasteurisasi. Perlakuan panas yang diberikan berkisar antara 60-68.3C dengan jumlah mikroba awal 1.0 x 107- 1.0 x 108 CFU/ml. Dari penelitian ini diketahui bahwa S. aureus MS 149 memiliki D60 sebesar 3.28 menit dan D65.6 sebesar

14

0.39 menit. Nilai Z yang dihasilkan sebesar 6.04C. Sedangkan S. aureus 196E mempunyai D60 sebesar 3.44 menit dan D65.6 sebesar 0.28 menit. Nilai Z yang diperoleh sebesar 5.10C. Dari percobaan ini, diketahui bahwa bakteri ini bisa direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63C selama 15 menit. Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain S. aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161-C, S-1, B-120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52-62C. Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0.20-3.50 menit untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturut-turut sebesar 0.15-3.0 menit, 0.40-1.50 menit, dan 0.50-2.55 menit. Eden et al., (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal 1.0 x 109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75oC. Nilai Z S. aureus sebesar 9.4oC. Nilai D yang dihasilkan dari percobaan Eden et al., (1977) berkisar antara 0.02-9.96 menit. Ketahanan S. aureus dalam susu kambing dipelajari oleh Parente dan Mazzatura (1991). Dalam percobaan ini digunakan isolat BP3 dan isolat 237. Metode percobaan menggunakan metode tabung kapiler dengan jumlah mikroba awal >1.0 x 109 CFU/ml. Suhu yang digunakan berkisar antara 55-68 oC. Nilai D isolat BP3 berkisar antara 0.03-3.30 menit sedangkan isolat 237 memiliki D-value sekitar 0.01-10.60 menit. Nilai Z sebesar 4.83 0.06 untuk isolat BP3 dan 4.50 0.05 untuk isolat 237. El-Banna et al., (1983) menunjukkan bahwa strain S. aureus yang tumbuh di bawah kondisi stress memilki ketahanan panas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Nilai D kultur S. aureus yang tumbuh pada suhu 37oC memiliki D60 sebesar 2.73 menit, sebaliknya yang tumbuh pada suhu 45 oC memiliki D60 sebesar 12.6 menit. Kennedy et al., (2005) selanjutnya menyelidiki tentang ketahanan panas S. aureus yang diisolasi dari refrigerator. Percobaan ini bertujuan untuk

15

mengetahui pengaruh pembekuan terhadap ketahanan panas S. aureus. Isolat S. aureus positif koagulase diujikan pada media pemanas TSB kemudian dicawankan pada media Baird Parker Agar (BPA), dan media campuran antara Trypticase Soy Agar (TSA) dengan media BPA. Dua perlakuan diujikan pada isolat. Perlakuan pertama, isolat diuji ketahanan panasnya secara langsung. Perlakuan kedua, isolat terlebih dahulu diberi perlakuan pendinginan kemudian dipanaskan. Hasil dari dua perlakuan kemudian dibandingkan untuk mengetahuai pengaruh perlakuan pendinginan awal terhadap ketahanan panas. Berdasarkan percobaan Kennedy diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan pembekuan pendahuluan tidak menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan.

Penyakit karena S. aureus Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat menyebabkan keracunan (intoksikasi). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut mampu menghasilkan toksin yang berupa enterotoksin di dalam saluran pencernaan. Enterotoksin dapat diproduksi apabila kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan suhu (Miliotis dan Bier, 2003). Gejala awal dari keracunan makanan akibat enterotoksin stafilokoki umumnya berlangsung selama 2-6 jam atau pada masa inkubasi 30 menit sampai 7 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung enterotoksin (atau ratarata terjadi pada 2-4 jam), tergantung dari ketahanan individu masing-masing. Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan prostrasi. Pada kasus yang lebih serius ditandai dengan pusing, kram otot dan perubahan transient pada tekanan darah. Pemulihan umumnya terjadi selama 2-3 hari atau lebih. Kematian akibat enterotoksin stafilokoki jarang terjadi (Miliotis dan Bier, 2003). Akibat keracunan stafilokoki, rata-rata korban yang masuk rumah sakit mencapai 18% dengan nilai fatalitas 0.02%. Kerentanan terhadap keracunan ini bisa terjadi pada setiap orang, namun biasanya menyerang anak-anak dan orangtua. Namun intensitas timbulnya gejala pada masing-masing individu

16

berbeda tergantung dari jumlah makanan yang dimakan dan kerentanan terhadap toksin.

Dosis Infeksi S. aureus Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmayani et al., (1996), enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total populasi S. aureus mencapai >106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih. Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan. Pada individu yang memiliki sensitivitas tinggi, dosis 100-200 ng sudah dapat menyebabkan penyakit (Miliotis dan Bier, 2003). US FDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 g. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0 x 105 CFU/g atau CFU/ml.

Keracunan Makanan oleh Stafilokoki Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi. Intoksikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk terjadinya keracuanan. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60C) atau cukup dingin (<7.2C)

17

(Ray dan Bhunia, 2008). Kemampuan galur Staphylococcus aureus untuk tumbuh dan memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, ketahanan panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008).

Tabel 5 Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan Faktor Faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan mikroba Penyimpanan makanan pada suhu ruang Suhu pembekuan yang tidak tepat Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian Holding pada suhu panas yang tidak cukup Thawing yang tidak tepat Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak Faktor yang berhubungan dengan ketahanan mikroba Pemanasan ulang yang tidak tepat Pemanasan yang tidak cukup Faktor yang berhubungan dengan kontaminasi Pekerja/ karyawan Kontaminasi pangan olahan nonkaleng Kontaminasi bahan pangan mentah Kontaminasi silang Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat Sumber yang tidak aman Kontaminasi makanan kaleng Forsythe (2000) Persentase

43 32 41 12 4 22 17 13 12 19 7 11 7 5 2

Pada tahun 1989 di Starkville, Mississippi, terjadi kasus keracunan pangan S. aureus yang disebabkan karena konsumsi jamur kaleng (CDC, 1989). Sebanyak 22 orang mengalami gastroenteris selama beberapa jam setelah memakan makanan di kafetaria kampus. Gejala keracunan yang terjadi meliputi mual-mual, muntah, diare, dan kejang perut. Sebanyak sembilan orang korbannya dilarikan ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi, ditemukan adanya enterotoksin stafilokoki A pada sampel jamur dalam omlet bar. Ham juga terlibat pada kasus keracunan di sebuah rumah sakit di Puerto Rico. Sebanyak 25% dokter, perawat, dan pegawai sakit setelah makan siang di rumah sakit tersebut. Ham disiapkan oleh sebuah jasa katering pada hari yang

18

sama. Pada ham yang tersisa, muntahan pasien, serta hidung dan tenggorokan pasien ditemukan S. aureus (Bergdoll, 1992) Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida (USA) karena konsumsi ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak 31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta mengalami keracunan. Gejala keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%), berkeringat (61 %), menggigil (44 %), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing kepala (11%) dan demam (11 %). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Ternyata, sehari sebelum pesta, sebanyak 8 kg ham mentah dan packed ham dipanggang selama 1.5 jam pada suhu 204C. Setelah dipanggang, ham diiris dengan slicer yang tidak bersih. Ham yang telah dipotong ditempatkan di wadah plastik yang dilapisi alumunium foil, dan disimpan selama 6 jam dalam lemari pendingin. Di hari selanjutnya ham disajikan dalam keadaan dingin. Kemungkinan ham terkontaminasi S. aureus selama pemotongan dengan slicer (Bergdoll, 1992). Pada tahun 1996, di Institut Robert Koch, Wernigerode, Jerman dilaporkan terjadi kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh konsumsi Schwarzwalder Schinken. Produk ham (sekurang-kurangnya pada 6 batch berbeda) diketahui terkontaminasi oleh enterotoksin S. aureus. Investigasi lebih lanjut memberikan beberapa kesimpulan bahwa kontaminasi terjadi karena rendahnya praktik higiene pada area produksi; produk ham terkontaminasi S. aureus dalam jumlah yang cukup tinggi dan hampir semua isolat yang diuji menghasilkan enterotoksin (Bergdoll, 1992). Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami keracunan akibat S. aureus . Pada 30 Juni 2000, sebanyak 1,152 pasien dilaporkan mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Pada tanggal 6 Juli jumlah pasien meningkat sampai 10,780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Setelah 7 Juli, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan tanggal 11 Juli pasien mencapai 14,000 pasien. Total, sebanyak 14,555 orang dilaporkan sakit. Badan Penelitian Epidemiologi Jepang menyatakan bahwa susu dari Snow Brand Food Co Ltd, perusahaan olahan susu terbesar di Jepang, terkontaminasi enterotoksin S. aureus. Kontaminasi terjadi karena perusahaan

19

tersebut tidak menggunakan sistem pembersih dan disinfeksi otomatis. S. aureus dalam jumlah besar terdeteksi di bagian pipa pengolahan. Hal ini terjadi karena pipa pengolahan tidak dibersihkan selama 3 minggu (Bergdoll, 1992). Bulan Maret dan April tahun 2002, kasus keracunan pangan akibat S. aureus terjadi di Australia. Kasus ini mengakibatkan sebanyak 250 orang menjadi korban. Sekitar 600 orang berpartisipasi dalam kegiatan di Imam Ali Islamic Centre, Victoria. Pada tempat tersebut disajikan makanan yang terdiri atas nasi, kentang, dan daging. Beberapa orang langsung mengkonsumsi makanan tersebut dan sebagian lainnya membawa makanannya ke rumah. Beberapa orang yang memakan makanannya di rumah mengalami keracunan. Lebih dari 100 pasien dilarikan ke rumah sakit (Bergdoll, 1992). Sementara di Indonesia tidak semua kasus keracunan pangan dilaporkan. Menurut Kusumaningrum (2009), nasi bungkus pernah beberapa kali dilaporkan, seperti kasus keracunan di Tasikmalaya tahun 2009 yang memakan korban sebanyak 148 orang. Pada nasi bungkus tersebut ditemukan S. aureus. Pada tahun 2005, sebanyak siswa di Sanggau, Kalimantan Barat juga keracunan setelah mengonsumsi nasi bungkus yang kemudian ditemukan mengandung S. aureus dan Streptococcus faecalis. Pada tahun 2007 terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari beras ketan di sebuah hotel di Kota Padang. Hasil uji klinis di laboratorium menunjukkan positif S. aureus (Gentina et al., 2008).

Metode Deteksi S. aureus Tahapan dalam mendeteksi suatu patogen terdiri dari 5 tahap yaitu : prapengkayaan untuk menyembuhkan kembali sel-sel bakteri yang luka; pengkayaan untuk meningkatkan proporsi patogen terhadap mikrobiota ; isolasi untuk mengisolasi atau mengidentifikasi patogen presumtif pada media agar; identifikasi untuk mengkonfirmasi secara biokimiawi patogen presumtif dan konfirmasi untuk mengkonfirmasi keberadaan patogen secara serologi atau dengan metode molekular (US FDA, 2001).

20

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendiagnosis keberadaan S. aureus meliputi metode seleksi media, platting secara langsung dan isolasi pada media pengayaan. Metode isolasi pada media pengayaan dan platting langsung merupakan metode yang sering digunakan untuk mendeteksi dan menghitung S. aureus di dalam makanan. Prosedur pengayaan ada yang selektif dan non selektif. Pengayaan non selektif bertujuan untuk menunjukkan adanya pertumbuhan sel yang luka (injured) dan dihambat oleh adanya komponen toksik yang terdapat pada media pengayaan selektif. Penghitungan dengan metode isolasi pada media pengayaan atau khususnya media selektif, dapat dilakukan dengan menggunakan metode Most Probable Number (MPN) atau Angka Paling Mungkin. Metode MPN dapat digunakan sebagai analisis rutin pada produk yang jumlah S. aureus-nya rendah dan pada makanan yang mengandung populasi kompetitor tinggi. Metode platting secara langsung cocok digunakan untuk analisis makanan yang mengharapkan jumlah S. aureus mencapai lebih dari 100 sel/g. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan metode ini adalah peralatan, media, reagen, persiapan sampel dan prosedur isolasi serta penghitungan S. aureus (US FDA, 2001). Media diagnosis yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung Staphylococcus aureus harus memperhatikan beberapa sifat dari bakteri tersebut antara lain yaitu kemampuannya untuk tumbuh pada konsentrasi NaCl sebesar 7.5 atau 10%, lithium klorida sebesar 0.01-0.05% dan glisin sebesar 0.12 - 1.26% atau 40 ng/mL polimiksin; kemampuannya mereduksi potasium telurit dan membentuk koloni hitam secara aerobik maupun anaerobik; bentuk, ukuran dan pigmen koloni; aktivitas koagulase dan produksi asam pada medium padat;

kemampuannya menghidrolisis kuning telur; produksi termonuklease, aseton, -galaktosidase, fosfatase dan toksin (hemolisin) dan dapat tumbuh pada suhu 42-430C di atas agar selektif (Bergdoll, 1990). Media yang digunakan untuk melihat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya yaitu Trypticase Soya Agar (TSA) yang diinkubasi pada 37oC selama 24 jam. Media yang digunakan sebagai uji penduga keberadaan S. aureus yaitu Baird Parker Agar (BPA) sebagai media selektif dengan kandungan kuning telur (egg yolk) dan telurit. Media yang digunakan untuk pemeliharaan isolat dan

21

mengkonfirmasi koloni tunggal Staphylococcus aureus yaitu agar darah dan Brain Heart Infusion (BHI) yang diinkubasi pada suhu 370C dengan shaking (US FDA, 2001). Studi tentang karakterisasi molekular S. aureus telah banyak dilakukan, baik untuk deteksi dan untuk identifikasi klaster S. aureus, mempelajari hubungan genetika isolat-isolat yang berasal dari kasus klinis ataupun dari pangan, menjelaskan keragaman filogenetiknya maupun untuk membuat primer PCR yang tepat untuk mendeteksi keberadaan bakteri ini. Shehata (2008) melakukan isolasi S. aureus yang bersumber dari kasus klinis seperti urin dan pangan seperti daging masak, susu sapi serta susu kacang kedelai. Isolat kemudian diidentifikasi secara molekular dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)-PCR menggunakan jumlah DNA primer sebanyak 11 buah, yang terdiri dari 105 buah pita, dimana 59 pita penandanya bersifat polimorfik dengan ukuran 200-2500 pasang basa. Hasilnya adalah bahwa isolat yang diuji memiliki 70% koefisien persamaan. Metode ini umumnya digunakan untuk jumlah sampel yang relatif besar, dan menggunakan DNA primer yang spesifik serta bervariasi dengan sekuen oligonukleotida acak. Staphylococcus aureus memiliki beberapa faktor virulensi yang

menyebabkan terjadinya penyakit. Hal ini dapat dideteksi dan diidentifikasi secara molekular juga, yaitu dengan cara mengamplifikasi gen yang diinginkan melalui teknik Polimerase Chain Reaction (PCR). Rall et al., (2008) mendeteksi gen penghasil enterotoksin stafilokoki yang berasal dari susu sapi mentah dan susu sapi pasteurisasi. Berdasarkan penelitian tersebut, 57 galur S. aureus hasil isolasi, sebesar 39 isolat (68.4%) positif mengandung satu atau lebih gen SE. Enterotoksin stafilakoki yang paling ditemukan yaitu SEA (41%) dan SEA (20.5%). Identifikasi galur S. aureus dan hubungan filogenetiknya dapat dilihat berdasarkan gen 16S rRNA. Nilai kesamaan untuk sekuen gen 16S rRNA terhadap 29 spesies isolat Staphylococcus spp berkisar antara 92 sampai 99% (Kwok et al., 1999). Selain dengan 16S rRNA, identifikasi S. aureus dan hubungan filogenetiknya juga dapat dilakukan secara lebih spesifik, yaitu dengan melakukan amplifikasi gen nuc, yang merupakan gen penyandi enzim nuklease

22

stabil terhadap panas dan gen hsp60 (heat shock protein 60 kDa). Hasilnya menunjukkan bahwa kedua gen tersebut lebih dapat membedakn secara efektif genus dan spesies bakteri Staphylococcus (Stackebrandt dan Goebel, 1994).

Enterotoksin Stafilokoki (SE) Enterotoksin stafilokoki (SE) adalah kelompok protein dengan rantai tunggal dan bersifat antigenik dengan berat molekul sekitar 26,000-29,000 yang diproduksi oleh beberapa jenis stafilokoki terutama oleh S. aureus, tetapi bisa juga oleh S. intermedius, S. hyicus, S. xylosus dan S. epidermis. Enterotoksin termasuk protein netral dengan nilai isoelektrik sebesar 7 8.6. Zat ini resisten terhadap enzim-enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang memungkinkan bagi enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan menuju sisi aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan makanan kaleng (Monday dan Bennet, 2003). Ada sekitar 14 jenis enterotoksin stafilokoki berbeda yang telah diidentifikasi sampai saat ini. Keempat belas jenis SE (SEA hingga SEO) diidentifikasi berdasarkan antigenisitasnya dan mereka dinamakan dengan huruf abjad secara berurutan berdasarkan waktu penemuannnya. Tidak ada enterotoksin F karena huruf ini telah dialokasikan sebagai sebuah protein yang bukan enterotoksin, yaitu toxic shock syndrome toxin (TSST) (Monday dan Bennet, 2003). Enterotoksin stafilokoki merupakan suatu protein pendek yang dapat disekresikan di dalam medium larut air dan larutan-larutan garam. Beberapa karakteristik biokimia SE ditampilkan pada Tabel 6.

23

Tabel 6 Karakteristik utama SE


Panjang ORF (bp) 774 801 801 801 801 Panjang Prekursor (aa) 257 266 266 266 266 Panjang SE Matang (aa) 233 239 239 239 239 Berat Molekul (kDa) 27100 28336 27531 27531 27563 27618 27517 27600 26360

Jenis SE A B C1 C2 C3 C(Bovine) C(Domba) C(kambing) D

pI 7.3 8.6 8.6 7.8 8.1 7.6 7.6 7.0 7.4

Referensi

Betley dan Mekalanos, 1985, 1988 Johns dan Khan, 1988 Bohach dan Sclievert, 1987 Bohach dan Scilievert, 1989 Hovde et al., 1990 Marr et al., 1993 Marr et al., 1993 Marr et al., 1993 777 258 228 Chang dan Bergdoll, 1979 Bayles dan Landolo, 1989 E 774 257 230 26425 7.0 Couch et al., 1988 G 777 258 233 27043 5.7 Munson et al., 1998 H 726 241 218 25210 Td Su dan Wong, 1995 I 729 242 218 24928 Td Munson et al., 1998 J 806 268 2452 285652 8.652 Zhang et al., 1998 K 729 242 219 25539 6.5 Orwin et al., 2001 1 1 1 2 2 L 723 240 215 24593 8.66 Fitzgerald et al., 2001 M 7221 2391 2171 244822 6.242 Jarraud et al., 2001 N* 7201 2581 2271 260672 6.972 Jarraud et al., 2001 O* 7831 2601 2321 267772 6.552 Jarraud et al., 2001 *Sebelumnya bernama SEK dan SEL di dalam Jarraud et al., 2001, dinamakan kembali berturut-turut menjadi SEM dan SEO, di dalam catatan koreksi dipublikasi di dalam J. immunol 166 : 4260 (2001) 1 Panjang SE matang ditentukan oleh penulis setelah Henrik Nielson, Jacob Engelbrecht, Seren Branak dan Gunnar von Heijne : Identification of prokayotic and eukaryotic signal peptides and prediction of their cleavage sites. Protein Eng 10 :1-6 (1997) 2 Berat molekul dan titik isoelektrik SE matang ditentukan oleh penulis menggunakan software MWCALC, Infobiogen, http://www.infobiogen.fr/service/analyseq/cgi-bin/mwcalc_in.pI Td, tidak ditentukan Le Loir et al. (2003)

Enterotoksin stafilokoki disandikan oleh gen-gen yang berlokasi di plasmid, bakteriofag, atau elemen genetik heterolog (phatogenicity islands). Proses translasi akan menghasilkan sebuah protein prekursor yang mengandung sekuen utama dengan N-terminal yang dibelah selama pemindahan dari sel untuk membentuk protein enterotoksin matang. Adanya sedikit variasi di dalam proses modifikasi pasca translasi sangat mungkin terjadi, sebagai bukti yaitu keberadaan tiga iso-form SEA dengan tiga titik isoelektrik yang berbeda. Enterotoksin stafilokoki kaya akan residu amino lisin, asam aspartat, asam glutamat dan tirosin. Secara keseluruhan, 15% residu asam amino akan tetap terpelihara di dalam SE

24

dan ini terjadi pada empat bentangan sekuen utama yang berlokasi baik di tengah maupun di C terminal. Tabel 7 menampilkan persentase identitas asam amino dari beberapa jenis enterotoksin stafilokoki yang menunjukkan seberapa besar kemiripan antar mereka.

Tabel 7 Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda


Toksin f SEA SEA 100 SEB 33 100 SEC1 30 68 100 SED 50 35 31 100 SEE 83 32 29 52 100 SEG 27 43 41 27 27 100 SEH 37 33 27 35 35 34 100 SEI 39 31 26 33 35 28 33 100 SEJ 64 33 30 51 63 29 35 34 100 SEM 35 29 26 41 37 28 38 31 38 100 SEN 39 32 29 38 39 31 34 31 42 28 100 SEO 37 36 33 39 37 30 31 57 33 31 42 100

SEB SEB SEC1 SEC1 SED SEE SEE SEG SEG SHE SEH SEI SEI SEJ SEJ SEM SEM SE SEN

SEO SEO

Setelah Jarraud et al., 2001. Penamaan dikoreksi oleh penulis setelah catatan koreksi dipublikasi di dalam J. Immunol. 166:4260. Amino acid sequences of the precursors were compared using Blast2 sequence (open gap of 11 and extension gap penalties of 1)

Le Loir et al. (2003)

Gen yang menyandi setiap SE mempunyai support genetiknya masingmasing, namun kebanyakan berupa elemen-elemen genetik yang bersifat mobil. Sebagai contoh, sea dibawa oleh famili faga sederhana. Berdasarkan kromosomnya, seb berlokasi pada beberapa isolat klinis, dimana seb ditemukan pada plasmid ukuran 750 kb pada galur-galur S. aureus lainya. Enterotoksin SECbovine disandikan oleh gen yang berlokasi pada phatogenicity island dan see dibawa oleh faga yang tidak sempurna. Sistem regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi S. aureus adalah aksesori gen regulator (agr) yang beraksi dengan bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar). Beberapa gen SE diatur oleh sistem agr. Gen seb, sec, dan sed menunjukkan

25

ketergantungan pada gen agr, sedangkan sea dan sej tidak bergantung pada gen agr. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (1998) menunjukan bahwa SEB yang menyerupai toxic shock syndrome toxins (TSST) tidak mempunyai regulator untuk transkripsi gen eksoprotein dan karenanya SEB bergantung pada sistem agr. Ekspresi gen agr sangat berkaitan dengan quorum sensing, produksi SE yang bergantung pada agr di dalam komponen makanan bergantung pada kemampuan S. aureus untuk meningkatkan densitas sel yang tinggi (diperkirakan 106 CFU/g) di dalam makanan, dan faktor lingkungan memainkan peran penting di dalam ekspresi gen SE (Betley dan Mekalanos, 1985). Tabel 8 menampilkan support genetik pada beberapa gen enterotoksin stafilokoki. Ada dua sifat enterotoksin stafilokoki, yaitu aktivitas mitogenitas dan emetik yang berlokasi pada bagian protein yang berbeda. Aktivitas mitogenitas toksin dipostulatkan pada segmen N-terminal (BM sekitar 6,000), sedangkan segmen C-terminal dan molekul bagian tengah sebagai sisi yang

bertanggungjawab terhadap aktivitas emetik. Kebanyakan SE mempunyai ikatan sistin yang dibutuhkan untuk pembentukan konformasi yang tepat dan yang kemungkinan besar terlibat dalam aktivitas emetik. SE bersifat sangat stabil, tahan enzim-enzim proteolitik seperti pepsin atau tripsin sehingga mereka tetap dapat beraktivitas di dalam saluran pencernaan meskipun ada kerja enzim proteolitik. SE juga tahan terhadap kerja enzim kemotripsin, renin, dan papain. Namun, ikatan sistin pada SEB dan SEC1 dapat dipecah oleh kerja enzim tripsin. SEB dapat dihancurkan oleh kerja enzim pepsin pada pH 2, tetapi akan resisten terhadap pepsin pada pH lebih tinggi dimana merupakan kondisi normal di dalam perut setelah proses pencernaan makanan. Enterotoksin stafilokoki sangat tahan panas; toksin diketahui lebih tahan panas di dalam produk makanan dibandingkan jika dikulturkan pada suatu media, tetapi mereka tetap dapat diinaktivasi dengan perlakuan panas seperti sterilisasi makanan kaleng apabila jumlahnya rendah (Bergdoll, 1983).

26

Tabel 8 Support genetika pada beberapa gen penyandi SE Gen sea seb sec1 secbov sed see seg Lokasi Genetika Profaga Referensi Betley dan Mekalanos, 1985; Borst dan Betley, 1994 Kromosom, plasmid, Shafer dan Landolo, 1978; Shalita et al., transposon 1977; Altboum et al., 1985 Plasmid Altboum et al., 1985 Phatogenicity island Fitzgerald et al., 2001 plasmid (pIB485) Bayles dan Iandolo, 1989 fage cacat Couch et al., 1988 Enterotoxin gene cluster Jarraud et al., 2001 (egc), kromosom egc, kromosom Jarraud et al., 2001 plasmid (pIB485) Zhang et al., 1998 Phatogenicity island Orwin et al., 2001 Phatogenicity island Fitzgerald et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001

sei sej sek sel sem sen* seo* * Le Loir et al., (2003)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi SE Enterotoksin stafilokoki merupakan salah satu faktor virulensi yang dimiliki oleh S. aureus. Faktor virulensi inilah yang menyebabkan bakteri tersebut bersifat patogen, terutama jika sudah mengontaminasi produk pangan. Dampaknya tidak lain adalah keracunan pangan. Banyak variabel yang mempengaruhi jumlah produksi enterotoksin, oleh karena itu tidak ada hal dapat memprediksi dengan tepat jumlah dari S. aureus dalam masakan yang dibutuhkan untuk menyebabkan SFP (Staphylococcal food poisoning) ini. Faktor yang berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi enterotoksin telah secara luas dipelajari, antara lain komposisi masakan, temperatur, dan keberadaan dari inhibitor (Doyle et al., 1997). Enterotoksin diproduksi pada kisaran suhu yang lebih rendah daripada suhu pertumbuhan normal S. aureus, suhu mempengaruhi baik jumlah maupun tingkat

27

produksinya. Suhu optimum untuk produksi enterotoksin sama dengan suhu optimum pertumbuhan dari bakteri S. aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk produksi enterotoksin sekitar 10C. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat lambat dan dalam satu penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi enterotoksin (SEB) dari inokulasi sebanyak 106/g pada daging babi. Enterotoksin stafilokoki sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadangkala dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund, 2000). Enterotoksin Staphylococcus diproduksi pada kisaran pH yang lebih rendah dari pada nilai kisaran pH pertumbuhan bakterinya, dan batas pH untuk dapat memproduksi enterotoksin pada makanan asam adalah 5. Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7 - 8. Sementara itu, secara umum nilai aw optimum untuk produksi enterotoksin lebih tinggi dari pada batas aw pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut (Lund, 2000). Sumber lain yang menyajikan data mengenai faktor-faktor atau kondisi yang dapat mempengaruhi produksi enterotoksin dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Faktor-faktor yang mampengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus Faktor Pengaruh Suhu (C) pH aw Atmosfer NaCl % Adam dan Moss (1995) Produksi Toksin Optimum 35-40 5,3-7,0 0,9 5-20% 02 0,5 Kisaran 10-45 4,8-9,0 0,86-0,99 Anaerobik sampai aerobik 0-20

Dalam bahan masakan tidak ada faktor tunggal yang dapat mengontrol pertumbuhan, daya tahan atau produksi enterotoksin oleh bakteri S. aureus, melainkan kombinasi dari beberapa faktor seperti aw, pH, Eh, dan suhu. Interaksi faktor-faktor tersebut terjadi dalam bahan pangan yang diolah secara berbeda,

28

diformulasikan dengan cara yang berbeda, dan disimpan dalam kondisi tertentu. (Lund, 2000). Sistem regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi S. aureus adalah berupa aksesori gen regulator (agr) yang beraksi dengan bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar). Staphylococcus aureus dalam memproduksi enterotoksin stafilokoki membutuhkan beberapa kondisi lingkungan yang mendukung seperti asam amino pada kebutuhan nutrisinya, konsentrasi garam dan tingkat keasaman. Staphylococcus aureus membutuhkan asam amino valin untuk pertumbuhannya dan arginin serta sistein untuk pertumbuhan sekaligus produksi enterotoksin stafilokoki. Untuk beberapa jenis enterotoksin stafilokoki seperti SEB dan SEC, keberadaan glukosa justru dapat menghambat produksi enterotoksi stafilokoki. Kondisi ini merupakan dampak dari proses metabolisme glukosa yang dapat mempengaruhi tingkat keasaman di lingkungan sekitarnya atau menurunkan pH . Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap ekspresi gen agr, sebagai gen regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi (Le Loir et al., 2003). Produksi enterotoksin stafilokoki akan optimal jika kondisi pH

lingkungannya netral dan menurun pada kondisi pH yang terlalu asam (di bawah 5). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pH 8,0 produksi SE sangat terhambat. Sedangkan pada pH 6,0 produksi SE akan berkurang sebanyak 50% dibandingkan dengan pH 7,0 (Supardi dan Sukamto, 1999). Pada umumnya produksi SEA kurang sensitif terhadap pH daripada SEB. Kultur medium yang dipertahankan pH-nya pada pH 7 menghasilkan lebih banyak SEB daripada kultur medium yang tidak dipertahankan pH-nya atau yang dipertahankan pH-nya pada kondisi asam. Menurut ICMSF (1996), SEA dapat dihasilkan pada aw yang lebih rendah daripada SEB. SEA dan SED umumnya dihasilkan pada kisaran kondisi pertumbuhan yang lebih luas daripada SEB. Produksi enterotoksin dapat dihambat dengan etil-4-hidroksibenzoat. Selain itu penambahan asam dengan menggunakan beberapa jenis larutan seperti asam asetat dan asam laktat juga dapat mempengaruhi produksi enterotoksin stafilokoki. Asam asetat memilki efek penghambatan yang kuat dibandingkan dengan asam laktat dalam produksi enterotoksin stafilokoki.

29

Penambahan sodium klorida yang cukup tinggi meningkatkan efek penghambatan tingkat keasaman. Enterotoksin stafilokoki tidak diproduksi pada konsentrasi garam di atas 12%. Pada SEB, SEC dan SED, pH yang tinggi atau bersifat basa juga mampu menurunkan produksi enterotoksin stafilokoki jenis tersebut sehingga ekspresi gen agr juga terhambat (Le Loir et al., 2003). Staphylococcus aureus merupakan salah satu jenis bakteri yang tidak mampu untuk berkompetisi dengan bakteri lainnya. Kompetisi bakteri yang terjadi di dalam produk susu menunjukkan bahwa pertumbuhan S. aureus yang bertahan cukup sedikit dan enterotoksi stafilokoki yang diproduksi pun juga sedikit jumlahnya. Bakteri asam laktat (BAL) yang umumnya terdapat di dalam susu pertumbuhannya lebih bersifat dominan karena bakteri ini memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat yang mampu menurunkan pH, oksigen peroksida dan substansi antimikrobial lainnya (bakteriosin) (Le Loir et al., 2003). Beberapa penelitian melaporkan bahwa spesies tertentu dari bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya, terutama golongan streptokoki dan pediokoki misalnya Pediococcus cerevisiae. Sedangkan Lactobasili dan Leuconostoc tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan hanya sedikit mempengaruhi produksi toksin. Bakteri-bakteri lain misalnya Serratia

marcescens, E. coli, dan Streptococcus faecalis tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel S. aureus, tetapi menghambat produksi enterotoksin (Ikeda, et al., 2005).

Mekanisme Aksi SE Pada mekanisme aksinya, enterotoksin stafilokoki yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus memiliki sifat yang berbeda dalam memicu terjadinya kasus keracunan pangan. Enterotoksin tersebut ada yang bersifat memicu terjadinya muntah atau emetic activity dan ada yang bersifat superantigen. Namun mekanisme superantigen activity sudah jauh lebih baik karakterisasinya dibandingkan dengan emetic activity. Keberadaan cystine loop pada struktur enterotoksin stafilokoki menjadikan hal penting dalam terjadinya emetic activity. Hal ini tidak sama dengan

30

enterotoksin stafilokoki tipe I (SEI), yang meskipun memiliki struktur cystine loop tetapi SEI bersifat superantigen dan emetic (Le Loir et al., 2003; Pinchuk et al., 2009). Antigen sebagai sesuatu yang asing bagi tubuh, akan direspon oleh sistem imun yang ada, dalam hal ini adalah sel T. Sebagai senyawa asing, antigen akan berinteraksi dengan reseptor antigen sel T atau T-Cell Antigen Receptors (TCR) dan Major Histocompability (MHC) pada permukaan Antigen-Presenting Cells (APC) (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk et al., 2009). TCR akan mengalami proses glikosilasi heterodimer membentuk rantai dan serta rantai dan . Hal ini merupakan bagian dari tahap awal respon imun selular dan sebagai hal utama yang berperan dalam meningkatkan spesifisitas respon imun tubuh. Namun untuk kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh enterototoksin stafilokoki, SE sebagai superantigen akan berinteraksi dengan reseptor antigen sel T (TCR) yang memiliki rantai spesifik dan . Dari proses tersebut akan membentuk ikatan silang antara TCR dengan MHC kelas II pada permukaan APC. Ikatan silang ini yang menyebabkan terjadinya aktivitas nonspesifik dan proliferasi sel T serta produksi sitokin yang berlebih seperti interleukin-1 (IL-1), IL-2, interferon gamma (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-), sehingga terjadi efek toksisitas SE. Toksisitas SE mampu mengaktivasi terjadinya Toxic Shock Syndrome (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk et al., 2009). Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki seperti yang terlihat pada Gambar 2.

31

Gambar 2 Mekanisme aksi SE (Pinchuk et al., 2009)

Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA Keragaman mikroba mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi. Metode molekuler untuk klasifikasi dan identifikasi berdasarkan filogenetik menggunakan parameter yang tidak bergantung pada kondisi pertumbuhan dan media yang digunakan. Pendekatan yang umumnya digunakan saat ini adalah melalui analisis sekuen gen 16S rRNA atau 23S rRNA. 16S rRNA merupakan gen yang bersifat spesifik terhadap spesies prokariot (Amann et al. 1994). RNA bekerja membawa informasi genetik dari DNA menjadi protein di dalam ribosom, dan RNA ribosom (rRNA) merupakan komponen utama penyusun berat ribosom, yaitu mencapai 65%. 16S dan 23S rRNA merupakan bagian dari subunit 30S dan 50S pada ribosom. Apabila 16S rRNA diisolasi dalam bentuk murni kemudian dicampur dalam urutan spesifik yang benar pada suhu yang sesuai, maka molekul ini secara spontan dapat menyusun diri kembali membentuk subunit 30S yang identik dalam struktur dan aktivitasnya dengan subunit 30S yang asli (Lehninger, 1982).

32

Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR atau polimerisasi berantai adalah teknik amplifikasi (perbanyakan) DNA spesifik dengan melakukan proses pemanjangan nukleotida dari primer yang merupakan pasangan komplementer dari utas DNA secara simultan. Proses pemanjangan nukleotida dilakukan oleh DNA polimerase berdasarkan cetakan DNA (Muladno, 2002; Yusuf, 2001). Menurut Muladno (2002), tahap-tahap PCR meliputi tahap denaturasi, penempelan primer pada cetakan DNA (annealing) dan tahap pemanjangan primer melalui reaksi polimerisasi nukelotida (extention). 1. Denaturasi Tahap ini merupakan tahap pengudaran DNA utas ganda menjadi DNA utas tunggal, dimana masing-masing untai dapat mencetak pasangannya (komplementer). Denaturasi berlangsung pada suhu 90-95oC. 2. Penempelan primer pada cetakan DNA (annealing) Tahap ini merupakan tahap penempelan primer pada utas DNA cetakan yang telah terdenaturasi menjadi utas tunggal akibat kecocokan pasangan basa. Umumnya penempelan terjadi pada suhu 55-57oC untuk primer 20 mer dan 34-40oC untuk primer 10 mer. Suhu penempelan primer yang ideal umumnya adalah 5oC di bawah suhu leleh (Tm) dari tiap primer (Sambrook et a., 1989) 3. Pemanjangan primer DNA Setelah primer menempel pada utas tunggal DNA cetakan, maka DNA polimerase akan mensintesis utas DNA yang baru berdasarkan utas DNA cetakan. DNA polimerase mulai mensintesis DNA dengan mengikatkan deoksinukleotida pada ujung 3-OH dari primer, sehingga arah pertumbuhan utas DNA yang baru adalah 5-P ke 3-OH. Sntesis DNA atau pemanjangan primer ini dilakukan pada suhu cukup tinggi, yaitu sekitar 72oC supaya tahap berikutnya (denaturasi protein) relatif lebih mudah dan enzim Taq DNA polimerase dapat bekerja optimal. Ketiga tahap di atas akan berulang beberapa kali sehingga proses amplifikasi DNA dapat terjadi. Untuk memudahkan proses reaksi berantai ini, maka reaksi dilakukan oleh mesin PCR. Mesin PCR terdiri dari suatu alat pemanas dan pendingin yang dapat diprogram sehingga dapat memanaskan pada

33

suhu dan selang waktu yang dikehendaki untuk setiap siklus pada suatu reaksi. Banyaknya pengulangan sangat tergantung dari kemampuan DNA polimerase untuk mensintesis DNA dan biasanya berkisar antara 25 dan 40 siklus. Reaksi polimerisasi ini berantai atau berulang, maka dibutuhkan primer dalam jumlah realtif banyak. Efisiensi reaksi dapat dilakukan dengan perlakuan pra-PCR pada suhu 95oC selama 5 menit untuk mendenaturasi DNA cetakan yang ukurannya relatif besar. Setelah reaksi selesai, biasanya ditambahkan perlakuan pasca-PCR pada suhu 72oC selama 5 menit. Hasil amplifikasi dapat dilihat dengan melakukan migrasi di dalam gel (elektroforesis). Menurut Sambrook et al., (1989) Kegagalan reaksi PCR selain karena tidak sempurnanya denaturasi atau suhu annealing yang terlalu tinggi, juga disebabkan oleh beberapa faktor lain diantaranya : 1. Konsentrasi DNA cetakan Proses PCR tidak memerlukan DNA dengan tingkat kemurnian tinggi, namun amplifikasi akan terganggu apabila DNA cetakan masih banyak yang terkontaminasi dengan deterjen, EDTA maupun fenol. Konsentrasi DNA yang dibutuhkan adalah 10-100 ng untuk setiap reaksi. 2. Pemicu reaksi Primer adalah rantai utas tunggal DNA yang pendek dan terdiri dari beberapa nukleotida. Umumnya terdiri atas 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer yang biasa digunakan dalam percobaan adalah primer acak dan primer spesifik. Primer acak adalah primer yang susunan basa nukleotida seimbang sehingga dapat digunakan untuk analisis DNA dengan sampel yang belum diketahui susunan basa nukleotidanya. Primer spesifik adalah primer yang susunan basa nukleotidanya telah diketahui dan merupakan komponen dari utas DNA yang akan dianalisis. 3. Enzim Taq DNA Polimerase Pada proses replikasi DNA diperlukan adanya enzim untuk polimerisasi jalinan DNA. Enzim yang mampu mengkatalis replikasi DNA disebut DNA polimerase dan jenis yang biasa digunakan adalah Taq. Enzim ini bersifat termostabil, yang berasal daribakteri termofilik Thermus aquaticus yang dapat bertahan hidup pada suhu 94oC. Taq DNA polimerase bekerja secara optimum

34

pada suhu 75-80oC dan digunakan untuk membantu amplifikasi potongan primer dan proses pemanjangan DNA. Aktivitas enzim ini akan terhambat oleh adanya bufer fosfat, tetapi akan aktif apabila ditambahkan 10 mM tris dalam bufer pada suhu ruang dengan pH 8.3 (Sambrook et al. 1989). Taq DNA polimerase mulai aktif pada pH 8.2 - 9.0 dan suhu 65 - 72oC. 4. dNTP dNTP yang digunakan berupa campuran dari keempat macam nukleotida yaitu dATP, dGTP, dTTP dan dCTP. Larutan stok dNTP bersifat netral pada pH sekitar 7.0. Konsentrasi dNTP yang digunakan berkisar antara 0.1 - 1.6 mM untuk setiap reaksi. dNTP masih bersifat stabil sampai proses siklus berulang 50 kali hanya berkurang 50% (Newton, 1995). 5. Mg2+ Mg2+ mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polimerase karena ion Mg2+ berfungsi sebagai kofaktor yang dapat membentuk kelat dengan larutan EDTA. Ion ini berperan dalam kestabilan primer pada tahap penempelan primer. 6. Bufer Bufer PCR terdiri atas larutan Tris-HCl dengan konsentrasi 10-50 mM dan pH 8.3 - 8,8 serta berperan dalam keberhasilan proses amplifikasi (Innis dan Gelfand, 1990). Proses penempelan primer pada bufer PCR dapat ditambahkan KCl dengan konsentrasi 50 mM.

Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing) Sekuensing DNA adalah suatu proses penentuan urutan basa suatu DNA. Proses ini menggunakan prinsip reaksi polimerisasi DNA secara enzimatis. Reaksi yang dilakukan secara in vitro ini dikembangkan oleh Sanger dengan cara memasukkan satu nukleotida ddNTP (dideoksi nukleosidatrifosfat) yang berbeda ke dalam masing-masing 4 reaksi untuk menghentikan reaksi polimerisasi. Teknik dideoksi sekuensing hanya mampu membaca dengan teliti urutan basa sepanjang 400 sampai dengan 500 bp (Brown, 1992). Sekuen DNA adalah informasi penting untuk mengetahui identitas, fungsi dan modifikasi suatu fragmen DNA atau gen dalam rekayasa genetik atau

35

bioteknologi secara umum. Berikut adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam sekuensing : (i) Disiapkan empat macam reaksi polimerisasi DNA yang masing-masing mengandung primer DNA, dATP, dCTP, dGTP, dTTP, enzim DNA polimerase. (ii) Selanjutnya ke dalam masing-masing tabung ditambahkan satu ddNTP yang berbeda dan reaksi dijalankan. (iii) Hasil reaksi difraksionasi (dielektroforesis dengan gel poliakrilamida). (iv) Fragmen DNA hasil pemisahan kemudian divisualiasaikan secara otomatis atau manual (Brown, 1992).

Analisis Keragaman Genetika Keragaman mikroorganisme mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi dan identifikasi berdasarkan filogenetik. Pendekatan yang umum digunakan dewasa ini adalah melalui analisis sekuen gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA merupakan gen bagian dari DNA yang bersifat spesifik terhadap organisme prokariot, sehingga dapat dikatakan bahwa gen 16S rRNA juga dibentuk oleh gen 16S rDNA (Amann et al. 1994). Sekuen gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 1550 bp dan terdiri dari dua daerah, yaitu variable region dan conserved region. Conserved region umumnya menggunakan primer yang bersifat universal dengan ukuran sekitar 540 bp. Variable region merupakan daerah sekuen yang digunakan untuk membandingkan tingkat genus, spesies dan subspesies dalam taksonomi. Sekuen gen 16S rRNA dapat membandingkan pada tingkat genus, spesies dan bahkan subspesies. Jika dibandingkan dengan 16S-23S rRNA, 16S rRNA lebih mudah digunakan dalam analisis filogenetik. Hal ini menyebabkan 16S-23S rRNA tidak dapat dipergunakan secara luas (Clarridge, 2004). Metode konvensional untuk melakukan identifikasi bakteri seperti karakterisasi fenotipik (morfologi dan reaksi biokimiawi) ternyata tidak cukup sensitif untuk membedakan antar galur bakteri. Hal ini disebabkan karena metode konvensional umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis. Oleh karena itu pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan standar baru untuk identifikasi bakteri berdasarkan

36

bagian yang stabil dari kode genetik. Beberapa kandidat bagian yang stabil untuk area genetik bakteri antara lain 5S, 16S, 23S rRNA dan ruang-ruang antar gen-gen tersebut. Bagian DNA yang sekarang banyak digunakan untuk tujuan taksonomi bakteri adalah gen 16S rRNA. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu : (i) gen 16S rRNA terdapat pada semua galur bakteri, (ii) gen 16S rRNA memiliki fungsi yang tidak berubah sepanjang waktu dan (iii) gen 16S rRNA memiliki ukuran panjang yang cukup untuk tujuan informatika (1500 bp). Metode lain seperti hibridisasi DNA sebenarnya memberikan resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan sekuensing 16S rDNA, hanya saja metode ini sulit (memerlukan penggunaan isotop dan ketidakmudahan dalam membuat database sentral) dan membutuhkan banyak tenaga (Claridge, 2004). Metode identifikasi bakteri secara molekular bermanfaat untuk menganalisis keragaman genetik suatu spesies bakteri. Pengetahuan ini sangat berguna dalam melakukan evaluasi epidemiologi, sehingga sejarah alami suatu penyakit dan karakterisasi faktor-faktor risiko suatu penyakit dapat lebih mudah dimengerti, serta dapat meningkatkan perawatan medis yang lebih efektif dan tepat sasaran. Analisis keragaman genetik dapat diuji berdasarkan organisasi genom, ekspresi gen, struktur dan fungsi seluruh protein yang dimiliki oleh suatu organisme, salah satunya menggunakan bioinformatika. Bioinformatika adalah cabang komputasi dari ilmu biologi molekuler, yang mencakup teknologi pengumpulan, penyimpanan, analisis, intepretasi, distribusi dan aplikasi dari informasi biologi, sehingga untuk menggunakannya diperlukan internet dan server world wide web (www). Aplikasi bioinformatika menggunakan program komputer untuk analisis data biologi dan penyimpanan sejumlah data biologi yang dihasilkan genome project. Bioinformatika banyak berhubungan dengan sekuen, struktur, fungsi dan perbandingan seluruh genom, struktur 3 dimensi protein serta manajemen data (Claverie & Notredame, 2007). Beberapa program komputer dan database untuk bioinformatika yang dapat digunakan melalui internet antara lain: GeneMArk, NCBI (National Center for Biotechnology Information) dan Expasy. Akses NCBI dapat melalui program PubMed, Entrz, BLAST, Blankit, Taxonomy dan OMIM. Salah satu program yang umum digunakan adalah BLAST (Basic Local Alignment Search Tool), yang

37

merupakan

program

untuk

mencari

kesamaan

yang

didesain

dalam

mengeksplorasi permintaan semua database sekuen, baik berupa DNA maupun protein. Selain itu, BLAST juga dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antar sekuen yang hanya berbagi daerah tertentu dan yang memiliki kesamaan (Claverie dan Notredame, 2007). Terdapat beberapa variasi BLAST yang masing-masing dibedakan berdasarkan tipe sekuen (DNA atau protein) yang dicari dengan sekuen pada database. Menurut Claverie dan Notredame (2007) beberapa jenis program BLAST adalah sebagai berikut : BLAST untuk membandingkan sekuen asam amino dengan sekuen protein dalam database, BLASTN untuk membandingkan sekuen nukleotida dengan sekuen nukleotida dalam database dan BLASTX untuk membandingkan sekuen nukleotida yang ditranslasi pada seluruh ORF (Open Reading Frame) dengan sekuen protein database. Pada umumnya, bioinformatika dapat digunakan melalui beberapa tahap, diantaranya PubMed untuk mencari pengetahuan tentang subjek biologi secara cepat, mendapatkan sekuen protein maupun DNA yang relevan, membandingkan sekuen protein maupun DNA yang tersedia di database menggunakan BLAST dan melakukan analisis multiple alignment sekuen protein maupun DNA dengan Clustal W serta membangun pohon filogenetik (Claverie dan Notredame, 2007). BLAST merupakan alat pembanding suatu sekuen yang dicari dengan sekuen yang telah diketahui dengan cepat, yang dapat menjelaskan apakah sekuen yang ada memiliki kesamaan cukup signifikan atau tidak. Informasi ini dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan yaitu meliputi perkiraan fungsi protein, struktur 3 dimensi dan organisasi domain atau identifikasi homologi dengan organisme lain. Sekuen yang serupa berasal dari nenek moyang yang sama (Claverie dan Notredame, 2007). Hasil BLAST terdiri dari tiga bagian yang berbeda, yaitu grafik yang menunjukkan bagaimana porsi kesamaan sekuen yang dibandingkan, daftar hits yang berisi nama sekuen yang serupa dengan yang dicari urut berdsarkan kesamaan dan penjajaran (alignment) antara sekuen yang dicari dengan sekuen yang ada pada database (Claverie dan Notredane, 2007).

38

Multiple alignment digunakan untuk mengidentifikasi protein sekuen dimana sesungguhnya asam amino spesifik terdapat, yang dapat memberikan integritas struktural atau fungsi protein, menentukan tanda sekuen spesifik untuk famili protein serta mengklasifikasi sekuen dan membangun pohon filogenetik. Filogenetik adalah filogeni yang sesungguhnya membandingkan gen-gen yang ekivalen yang datang dari beberapa spesies untuk merekonstruksi pohon kehidupan (genealogic tree) dari spesies-spesies ini dan mengetahui siapa yang relatif berkerabat dekat dengan yang lain. Tujuan filogeni adalah merekonstruksi sejarah kehidupan dan menjelaskan adanya keragaman makhluk hidup. Prinsip filogeni adalah mencoba mengelompokkan makhluk hidup menurut tingkat similaritas (Claverie dan Notredame, 2007).

39

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Patogen dan Bioteknologi Pangan (Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology) SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung pada bulan Juni 2009 hingga Desember 2010 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2010 hingga Juli 2011.

Bakteri Uji Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 14 isolat lokal S. aureus (AS, NU1, NU2, NU3, NU4, NU5, NU6, NU7, NU8, NU9, NU10, NU11, NU13 dan NU14) yang diisolasi dari ayam suwir dan nasi uduk sebagai salah satu produk pangan tradisional siap santap dan diperoleh dari daerah Babakan Raya, Bogor serta telah dilakukan uji biokimiawi oleh Apriyadi (2010). Isolat pembanding, yaitu S. aureus ATCC 25923 yang bersifat

non-enterotoksigenik digunakan sebagai bakteri pembanding.

Bahan dan Media Media-media yang digunakan untuk persiapan kultur bakteri S. aureus adalah TSB (Tryptone Soy Broth) (Becton and Dickinson, USA), TSA (Triptone Soy Agar) (CM 131 Oxoid Ltd., UK) dan BHI (Brain Heart Infussion) (Becton and Dickinson, USA). Beberapa bahan yang digunakan untuk isolasi DNA antara lain antara lain SDS (Sodium Dodecyl Sulphate) (Merck, Darmstadt, Bioscience, Germany), Sweden), Tris NaCl

(hydroxymethyl)-amino

methan

(Amerscham

(Natrium Chloride), sodium asetat, fenol (Sigma, USA) , kloroform Merck, Darmstadt, Germany), isoamil alkohol (Merck, Darmstadt, Germany), etanol, lisozim (Bio Basic Inc), proteinase K (Fermentas), HCl (Merck, Darmstadt, Germany) dan akuabidestilata steril. Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis antara lain bufer TAE (Tris-asetat-EDTA), agarosa (GE Healthcare

40

Bio-Sciences AB), EtBr (Ethidium Bromide) (Amerscham Bioscience, Sweden), loading dye (Fermentas) serta Ladder DNA 100 bp dan 1 kb (Fermentas). Bahan-bahan yang digunakan untuk amplifikasi gen target, yaitu 16S rRNA, gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C1 (SEC1) antara lain Green Dream Taq PCR MasterMix (Fermentas), water nuclease (Fermentas), cetakan DNA (DNA template) dan 3 pasang primer berturut-turut, yaitu 63f/1387r, SEA-1/SEA-2 dan SEC1-1/SEC1-2 (Tabel 10) (Marchesi et al., 1998; Johnson et al., 1991). Primer dipesan dari Alpha DNA (Notre-Dame St. W., Montreal, Quebec) (Johnson et al., 1991).

Tabel 10 Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan untuk amplifikasi gen target
Kode Primer 63f 1387r SEA-1 SEA-2 SEC1-1 SEC1-2 Urutan Basa (5-3) TAA CAC ATG CAA WGT GTA CAA GGC ACG GTT AAA ACG TCC CAT CAA AAA AAA GCT AGG AAT GAT TAA CAT TAT Gen Sumber Target 16S rRNA Marchesi et al., (1998) SEA Johnson et al., (1991) SEC1 Johnson et al., (1991)

CAG GGG TTG GAA GAC AAA

GCC CGG GAA CCT ATA TCG

GTC AA CA TT CC

Alat Alat-alat yang digunakan antara lain penangas air yang bertutup, termometer, inkubator 35oC, mikroskop, jarum ose, tabung reaksi berulir, labu takar 50 ml, gelas ukur 50 ml, 100 ml dan 1000 ml; pipet mikro 2 ml, 20 ml, 100 ml dan 1000 ml; pH meter, vorteks, hot plate, alat sentrifus 18,000 rpm, pengaduk magnet, perangkat elektroforesis (Bio-Rad), perangkat PCR Applied Biosystem 2720 Thermal Cycler (Foster City, California), Geldoc XR (Bio-Rad), ABI Prism 3100-Avant Genetic Analyzer dengan 4-Capillary System (Applied Biosystem) dan spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu). Beberapa software yang digunakan pada penelitian ini yaitu program BioEdit dan Program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) dari situs NCBI (www.ncbi. nlm.nih.gov) untuk menganalisis hasil sekuensing.

41

Pelaksanaan Penelitian Identifikasi secara morfologi dan biokimiawi terhadap 14 isolat lokal S. aureus diperoleh dari tahapan penelitian yang sudah dilakukan oleh Apriyadi (2010). Tahapan penelitian selanjutnya adalah melakukan identifikasi molekular yang meliputi: (a) isolasi DNA genom keempat belas isolat lokal S. aureus dan 1 isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) metode ekstraksi Doyle dan Doyle (1990) dengan beberapa modifikasi, (b) amplifikasi, visualisasi dan sekuensing gen 16S rRNA untuk menentukan persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus tersebut dengan menggunakan program BioEdit dan program BLAST dari situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov) dan (c) amplifikasi gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) serta C1 (SEC1). Diagram alir pelaksanaan penelitian ditampilkan pada Gambar 3.

Isolat S. aureus

Persiapan kultur bakteri S. aureus dan pewarnaan Gram

Spektrofotometri

Isolasi DNA genom bakteri S. aureus dengan modifikasi dari metode ekstraksi Doyle dan Doyle (1989)

Visualisasi

Amplifikasi gen 16S rRNA

Sekuensing

Amplifikasi gen SEA dan SEC1

Gambar 3 Diagram alir pelaksanaan penelitian

42

Persiapan dan Pewarnaan Gram Kultur Bakteri S. aureus Persiapan Kultur Bakteri Persiapan kultur dilakukan dengan cara bakteri S. aureus diinokulasikan ke dalam media TSA miring dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 35oC. Penyimpanan kultur dilakukan pada suhu 10oC selama kurang lebih 2 minggu untuk kemudian dilakukan penyegaran kultur (BAM, 2001).

Pewarnaan Gram Bakteri Kultur bakteri S. aureus pada media TSA miring diambil sebanyak satu ose ke dalam gelas objek, yang sebelumnya sudah digenangi akuades steril sebanyak dua ose dan setelah itu difiksasi. Selanjutnya ditambahkan kristal violet satu tetes selama 1 menit, dipastikan semua bagian lapisan digenangi larutan pewarna, lalu dibilas sempurna larutan kristal violet dengan air dan dikeringkan dengan kertas hisap, untuk kemudian ditambahkan iodium/lugol sebanyak satu tetes selama 1 menit. Larutan iodium/lugol dibilas kembali dengan akudes steril dan dikeringkan kembali, untuk selanjutnya ditambahkan alkohol 96% selama 5-15 detik hingga tidak ada lagi sisa pewarna violet yang mengalir. Selanjutnya ditambahkan larutan safranin satu tetes selama 1 menit, setelah itu dibilas dengan akuades steril dan dikeringkan, untuk kemudian diamati di bawah mikroskop (Harrigan, 1998).

Identifikasi Molekuler Kultur Bakteri S. aureus Persiapan Kultur Bakteri Kultur bakteri dari media TSA miring diambil sebanyak satu ose ke dalam media BHI untuk kemudian diinkubasi selama semalam. Kultur bakteri S. aureus dari media BHI ini akan digunakan untuk melakukan isolasi DNA genom bakteri.

43

Isolasi DNA Genom Bakteri Isolasi DNA genom bakteri S. aureus dilakukan dengan metode Doyle dan Doyle (1990) yang telah dimodifikasi. Sel bakteri dari media BHI yang telah diinkubasi semalam dipanen melalui perlakuan sentrifugasi. Sebanyak 1.5 ml kultur bakteri dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf 2.0 ml dan disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Pelet yang diperoleh diresuspensi dalam 1 ml NaCl 0.85% dan disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Pelet yang diperoleh kembali diresuspensi dalam 1 ml bufer TES dan disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Pelet yang diperoleh diresuspensi dalam 900 l bufer TE, 100 l SDS 10% dan 2 l lisozim (2 mg/ml), untuk kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Selanjutnya, ditambahkan 2.5 l proteinase-K (10 mg/ml) dan diinkubasi kembali pada suhu 65oC selama 30 menit, dimana tiap 10 menit tabung dibolak-balik. Tahap selanjutnya ditambahkan 900 l larutan phenol : chloroform : isoamilalcohol (PCI) (25:24:1), divorteks selama 3 menit dan disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Fase cairan (top layer) 400 l dipindahkan ke tabung Eppendorf 2.0 ml yang baru, lalu ditambahkan 400 l bufer TE, 40 l SDS 10% dan larutan PCI (25:24:1) dengan volume yang sama (840 l). Selanjutnya disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 10 menit dengan suhu ruang (25oC) untuk memisahkan fase campuran. Setelah itu, top layer dipindahkan kembali sebanyak 400 l ke tabung Eppendorf 1.5 ml yang baru, lalu ditambahkan 0.1 volume sodium asetat 3 M pH 4.8 (40 l) dan 2.0 volume etanol 100% (880 l), kemudian dibolak-balik hingga tercampur merata. Tabung diinkubasi pada suhu -20oC selama 1 jam, lalu DNA dipresipitasi dengan mensentrifugasi pada 13,500 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Pelet ditambahkan 500 l etanol 70% dan tabung dibolak-balikkan beberapa kali. Setelah itu disentrifugasi kembali pada 13,500 rpm selama 10 menit dengan suhu 4oC. Pelet DNA dikeringkan dan diresuspensi dalam 40 l akuabides steril. Untuk penyimpanan jangka panjang, larutan DNA disimpan pada suhu -20oC. Verifikasi DNA dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1.5% dan 1x bufer TAE pada voltase 50 selama 45 menit. Gel kemudian diwarnai dengan

44

Ethidium Bromide (EtBr) dan divisualisasi pada panjang gelombang 302 nm (Geldoc XR, Bio-Rad). Uji kuantitas DNA genom hasil isolasi berupa kemurnian dan konsentrasi dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang () 260 nm dan 280 nm. Menurut Suharsono dan Widyastuti (2006), perhitungan kemurnian DNA diperoleh dari rasio nilai absorbansi (A) pada 260 nm dengan nilai absorbansi 280 nm atau seperti yang dirumuskan sebagai berikut: A 260 A 260

Kemurnian DNA =

Perhitungan konsentrasi DNA diperoleh dari hasil perkalian antara nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dengan lima puluh dan faktor pengenceran seperti yang dirumuskan sebagai berikut:

Konsentrasi DNA = A 260 x 50 x faktor pengenceran

Amplifikasi Gen 16S rRNA Bakteri Amplifikasi gen 16S rRNA bakteri S. aureus dilakukan dengan menggunakan satu pasang primer, yaitu 63f dan 1387r (Marchesi et al, 1998). Protokol PCR yang digunakan adalah pre-PCR (95oC, 3 menit), denaturasi (94oC, 30 detik), penempelan primer (55oC, 30 detik), elongasi atau pemanjangan primer (72oC, 1 menit) dan post-PCR (72oC, 5 menit) dengan siklus amplifikasi sebanyak 30 kali. Sebanyak 10 l hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1.5% (w/v), dengan menggunakan 1x bufer TAE (Tris HCl- acetic acid-EDTA) pada voltase 50 selama 45 menit.

45

Sekuensing Gen 16S rRNA Bakteri Fragmen DNA hasil PCR dimurnikan sebelum dilakukan sekuensing. Pemurnian produk PCR perlu dilakukan untuk mengurangi pengotor-pengotor berupa Mg2+, DNA template dan dNTP yang berlebih yang dapat mengganggu proses perunutan basa nukleotida sehingga dapat menimbulkan kesalahan dalam pembacaan hasil sekuensing (Applied Biosystem, 2002). Gen penyandi dari produk PCR yang telah diisolasi dan dimurnikan selanjutnya di-sekuensing dengan menggunakan ABI PRISM 3100-Avant Genetic Analyzer dengan 4-Capillary System (Applied Biosystem), dimana tahapan ini dilakukan di PT. Macrogen Inc., Seoul, Korea Selatan. Hasil sekuensing diolah dengan program BioEdit, kemudian dianalisis dengan menggunakan program BLAST dari NCBI (National Center of Biotechnology Information) pada situs (www.ncbi.nlm.nih.gov) untuk dibandingkan dengan data sekuen parsial gen 16S rRNA dari beberapa galur S. aureus.

Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1 Untuk mengamplifikasi gen penyandi SEA digunakan primer SEA-1 dan SEA-2. Untuk SEC1 digunakan primer SEC1-1 dan SEC1-2 (Johnson et al., 1991). Protokol PCR yang digunakan untuk amplifikasi gen SEA adalah pre-PCR (95oC, 3 menit), denaturasi (94oC, 2 menit), penempelan primer (55oC, 90 detik), elongasi atau pemanjangan primer (72oC, 1 menit) dan post-PCR (72oC, 5 menit) dengan siklus amplifikasi sebanyak 30 kali. Protokol PCR untuk amplifikasi gen SEC1 adalah pre-PCR (95oC, 3 menit), denaturasi (94oC, 30 detik), penempelan primer (54oC, 30 detik), elongasi atau pemanjangan primer (72oC, 1 menit) dan post-PCR (72oC, 5 menit) dengan siklus amplifikasi sebanyak 30 kali. Hasil PCR sebanyak 10 l dielektroforesis pada gel agarosa 1.5% (w/v), dengan menggunakan bufer 1x TAE pada voltase 70 selama 60 menit.

46

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pewarnaan Gram Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa 14 isolat lokal yang diduga sebagai S. aureus (AS, NU1, NU2, NU3, NU4, NU5, NU6, NU7, NU8, NU9, NU10, NU11, NU13 dan NU14) dan 1 isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) secara morfologi memiliki bentuk bulat bergerombol seperti anggur serta termasuk bakteri Gram positif (Gambar 4). Dengan demikian, keempat belas isolat lokal tersebut dapat digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, karena tidak ada kontaminasi dari bakteri lain, terutama bakteri Bacillus cereus sebagai bakteri Gram positif pembentuk spora.

Gambar 4 Morfologi bakteri S. aureus hasil pewarnaan Gram

Identifikasi Molekular Isolat Lokal S. aureus Isolasi DNA Genom Bakteri Tahap awal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan identifikasi genotipik bakteri adalah mengisolasi atau mengekstraksi DNA genom bakteri tersebut. Pada penelitian ini, DNA kromosomal bakteri S. aureus diekstraksi dengan menggunakan metode Doyle dan Doyle (1990) yang telah dimodifikasi oleh peneliti melalui perlakuan panas berlebih, yaitu 65oC dan penambahan lisozim, sehingga diharapkan substansi genetika seperti DNA dapat dihasilkan. Chapaval et al., (2008) pernah melakukan isolasi DNA S. aureus dengan perlakuan panas

47

65oC selama 30 menit. Perlakuan pemberian panas dan enzim katalitik ini dilakukan karena sebagai bakteri Gram positif, S. aureus memiliki struktur dinding sel yang relatif lebih kompleks dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Tipe karakteristik dinding sel bakteri S. aureus terdiri dari peptidoglikan yang bersifat multilayer dengan ketebalan 0.02 0.06 nm, protein, asam lipoteikoat, asam teikoat, asam teikuronat dan polisakarida (Jay, 2000). Umumnya bakteri Gram positif mampu mengikat kuat protein yang terdapat pada dinding peptidoglikan, baik melalui ikatan kovalen maupun non-kovalen sehingga untuk melakukan ekstraksi DNA genom diperlukan perlakuan khusus (Navarre dan Schneewind, 1999). Penambahan larutan NaCl, bufer TES dan sodium dodecyl sulphate (SDS) di awal prosedur ekstraksi bertujuan untuk melisis dinding sel bakteri. EDTA (ettilendiamin tetraasetat) yang terkandung dalam larutan bufer TES adalah sebagai perusak sel dengan cara mengikat magnesium. Ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel dan mempertahankan aktivitas enzim nuklease yang merusak asam nukleat. Adapun SDS yang merupakan sejenis deterjen dapat digunakan untuk merusak membran sel. Kotoran sel yang ditimbulkan akibat perusakan oleh EDTA dan SDS dibersihkan dengan cara sentrifugasi, sehingga yang tertinggal hanya molekul nukleotida, dalam hal ini DNA (Muladno, 2002). Tahap selanjutnya yaitu penambahan lisozim dlakukan untuk

menyempurnakan proses lisis dinding sel dari bakteri. Menurut Jay (2000), dinding sel bakteri S. aureus yang relatif tebal sensitif terhadap lisozim. Lisozim merupakan enzim yang umumnya terdapat pada putih telur dengan berat molekul 14.6 kDa dan memiliki 129 residu asam amino serta 4 jembatan disulfida internal. Mekanisme aksi dari lisozim terkait dengan kemampuannya untuk menghidrolisis rantai polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri. Enzim ini mampu menghidrolisis ikatan glikosidik (1-4) dari N-acetylglucoseamine (NAG) dan Nacetylmuramic acid (NAM), sehingga menyebabkan lisisnya dinding sel bakteri (Muladno, 2002). Penambahan enzim proteinase K bertujuan untuk mendegradasi proteinprotein pengotor yang terdapat pada isolat. Residu-residu pengotor seperti protein, oligopeptida dan sisa-sisa dinding sel selanjutnya diekstrak dengan pelarut-pelarut

48

organik seperti campuran fenol, kloroform dan isoamil alkohol yang berfungsi membantu denaturasi dan koagulasi protein. Sebagian besar protein akan terdenaturasi dan memasuki fase organik atau akan terpresipitasi pada interfase antara fase organik dan fase aqueous. Fase aqueous yang bening dan mengandung DNA dapat dipindahkan ke tabung Eppendorf yang baru. Penambahan garam, asam, etanol dan perlakuan dingin dapat mengendapkan DNA pada fase aqueous tersebut sehingga membentuk sedikit endapan atau serabut-serabut yang berwarna putih. Penambahan etanol juga dapat mencuci DNA atau memisahkan DNA dari oligonukleotida-oligonukleotida kecil, sisa-sisa deterjen dan sisa-sisa pelarut organik yang digunakan untuk menghilangkan protein. Selanjutnya DNA yang diperoleh harus disimpan pada tempat yang bersuhu -20oC untuk menghindari dari aktivitas enzim nuclease (Taylor, et al., 1993). Hasil isolasi DNA genom bakteri S. aureus yang diperoleh divisualisasi melalui elektroforesis gel agarosa dan diukur konsentrasi serta kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer. Berdasarkan pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (optic density/OD) 260 nm dan 280 nm, hasil isolasi DNA genom dari 14 isolat lokal yang diduga sebagai S. aureus dan 1 isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) menghasilkan larutan DNA dengan konsentrasi berkisar antara 35 1,300 g/ml (Lampiran 1). Pada panjang gelombang 260 nm yang terdeteksi adalah material genetika DNA, sedangkan pada panjang gelombang 280 nm yang terdeteksi adalah protein (Sambrook et al., 1989). Kemurnian DNA berkisar antara 0.2 3.32. Kemurnian DNA genom yang dihasilkan belum baik, karena belum masuk dalam cakupan nilai 1.8 2.0. Perbandingan nilai yang kurang dari 1,8 menunjukkan preparasi DNA terkontaminasi oleh protein dan nilai yang lebih dari 2,0 terkontaminasi oleh RNA (Sambrook et al., 1989). Visualisasi total DNA genom isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) hasil isolasi tersebut menunjukkan beberapa pita DNA yang diduga terkontaminasi pada saat tahapan isolasi (Gambar 4).

49

M 1

3 4

5 6

M 8 9 10 11 12 13 14 15

Total DNA genom 2,000 bp

Total DNA genom 2,000 bp

250 bp

250 bp

(a)

(b)

Gambar 5 Visualisasi total DNA genom isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat luar S. aureus ATCC 25923. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA.

Amplifikasi dan Analisis Sekuen Parsial Gen 16S rRNA Primer 63f dan 1387r banyak digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA dari bakteri secara umum (Marchesi et al., 1998). Berdasarkan hasil isolasi total DNA genom bakteri S. aureus, meskipun pita-pita DNA yang dihasilkan kurang baik (tidak murni), tetapi hasil isolasi tersebut dapat mengamplifikasi DNA target dengan baik. Produk amplifikasi dari 14 isolat lokal yang diduga sebagai S. aureus dan S. aureus ATCC 25923 sebagai isolat pembanding adalah sebesar 1,300 bp (Gambar 5). Hal ini dapat disimpulkan bahwa amplifikasi dengan PCR tidak memerlukan hasil isolasi DNA genom bakteri dengan kualitas dan kuantitas yang baik, karena salah satu keuntungan PCR adalah mampu mendeteksi gen target hanya dalam jumlah yang relatif kecil/sedikit atau PCR memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi (Anonim, 1999). M K- 1 2 3 4 5 6 7

1500 bp 750 bp 250 bp

(a)

50

K- 8

10 11 12 13

14 15

1500 bp 750 bp 250 bp

(b)

Gambar 6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen 16S rRNA universal isolat lokal S. aureus. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif.

Gen 16S rRNA adalah gen ribosomal yang tidak menyandi ekspresi gen dan berfungsi sebagai alat untuk mentranslasi informasi genetika yang dibawa oleh DNA untuk dibuat menjadi protein. Sekuen gen 16S rRNA sering digunakan untuk mempelajari filogenetika dan taksonomi bakteri karena gen 16S rRNA ditemukan hampir di semua bakteri, fungsinya tidak berubah sepanjang waktu sehingga jika terjadi perubahan sekuen maka dapat diukur waktu evolusi yang lebih akurat, dan ukurannya (1,500 bp) cukup untuk digunakan dalam analisis informatika (Claridge, 2004). Sekuensing DNA dilakukan untuk menentukan persen kemiripan genotipik isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA Produk sekuensing dari 15 isolat bakteri berkisar antara 300 bp sampai 750 bp (Tabel 11 dan Lampiran 2). Hasil sekuensing tersebut dibandingkan dengan beberapa sekuen DNA S. aureus yang ada pada Bank Gen. Perbandingan dilakukan menggunakan sekuen-sekuen yang paling mirip (highly similar sequence).

51

Tabel 11 Produk sekuensing dari isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 63f, 1387r dan hasil contig Produk Sekuensing (bp) 63f 1387r* Contig 550 550 AS 550 550 NU1 569 400 500 NU2 350 400 NU3 350 550 NU4 550 550 NU5 577 350 550 NU6 350 550 NU7 500 550 NU8 450 550 NU9 600 700 NU10 750 600 NU11 550 550 NU13 400 300 NU14 550 550 ATCC 25923 613 * Produk sekuensing yang digunakan untuk analisis BLAST Kode Isolat

Dari semua isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923), hanya isolat NU1, NU5 dan ATCC 25923 yang dapat dilakukan contig. Menggunakan program BioEdit diperoleh 3 sekuen contig (NU1, NU5 dan ATCC 25923) yang merupakan penggabungan hasil sekuensing isolat arah forward dan reverse. Contig merupakan satu set segmen DNA yang berasal dari sumber genetika tunggal dan dapat digunakan untuk menyimpulkan urutan DNA asli dari sumber. Produk sekuen contig tidak dapat diperoleh untuk isolat bakteri lainnya karena hasil sekuensing isolat-isolat S. aureus tersebut kurang bagus. Hal ini terlihat pada electropherogram yang menunjukkan peak (puncak) yang lemah dan saling bertumpuk. Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan buruknya hasil analisis sekuensing DNA antara lain, yaitu : masalah pada DNA template (tidak ada atau jumlahnya sangat tidak mencukupi) dan masalah pada primer (jumlahnya sangat tidak mencukupi dan primer tidak berinteraksi dengan dengan template secara efisien) (www.sciencebiotech.net/tag/dna-sequencing).

52

Peak yang saling bertumpuk biasanya terjadi akibat dua sekuen berhimpitan dalam satu reaksi. Ada beberapa penyebab yang umum, yaitu : primer sekuensing menempel pada dua atau lebih situs penempelan pada template, ada dua atau lebih template dalam satu tabung, primer yang digunakan ketika PCR tidak dihilangkan dahulu dengan purifikasi untuk sampel produk PCR, sewaktu reaksi PCR salah satu primer menempel di dua situs penempelan dan membentuk produk serta lebih dari satu rekasi amplifikasi terjadi ketika PCR (www.sciencebiotech.net/tag/dnasequencing). Analisis BLAST untuk melihat persen kemiripan semua isolat, baik isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) dilakukan pada hasil sekuen menggunakan primer 1387r yang telah di-reverse complement (Tabel 12). Penetapan galur dilakukan berdasarkan total score tertinggi. Total score merupakan susunan basa-basa nukleotida yang saling homolog (bersesuaian). Berdasarkan hasil analisis BLAST dari sekuen parsial gen 16S rRNA, sebanyak 5 isolat lokal (AS, NU1, NU4, NU5 dan NU9) teridentifikasi sebagai spesies S. aureus sementara 9 isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Dengan nilai total score tertinggi yang berkisar dari 239 sampai 865 diperoleh persen kemiripan dengan beberapa galur S. aureus yang ada di

Bank Gen berkisar 76% sampai 96% (Tabel 12). Beberapa isolat S. aureus pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan galur-galur S. aureus yang sama dengan S. aureus subsp. aureus T0131 (CP002643.1), S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 (CP002120.1), S. aureus subsp. aureus TW20 (FN433596.1), S. aureus subsp. aureus ECT-R2 (FR714927.1), S. aureus subsp. aureus ED98 (CP001781.1) dan S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA (AP009324.1).

53

Tabel 12

Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r
Total Score Nama Galur S. aureus subsp. aureus T0131 S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 S. aureus subsp. aureus TW20 S. aureus subsp. aureus USA300_TCH1516 S. aureus subsp. aureus str. Newman DNA S. aureus subsp. aureus T0131 S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 S. aureus subsp. aureus TW20 S. aureus subsp. aureus USA300_TCH1516 S. aureus subsp. aureus str. Newman DNA S. aureus subsp. aureus NCTC 8325 S. aureus subsp. aureus USA300_FPR3757 S. aureus subsp. aureus clone sabac-1 S. aureus subsp. aureus ECT-R2 S. aureus subsp. aureus ED98 S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA S. aureus subsp. aureus JH1 S. aureus subsp. aureus Mu50 DNA S. aureus subsp. aureus ECT-R2 S. aureus subsp. aureus ED98 S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA S. aureus subsp. aureus JH1 S. aureus subsp. aureus Mu50 DNA S. aureus subsp. aureus ECT-R2 S. aureus subsp. aureus ED98 S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA S. aureus subsp. aureus JH1 S. aureus subsp. aureus Mu50 DNA S. aureus subsp. aureus T0131 S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 S. aureus subsp. aureus TW20 S. aureus subsp. aureus USA300_TCH1516 S. aureus subsp. aureus str. Newman DNA S. aureus subsp. aureus NCTC 8325 S. aureus subsp. aureus USA300_FPR3757 Kemiripan (%)

Kode Isolat

AS

239

76%

NU1

542

85%

NU4

566

86%

NU5

743

92%

NU9

865

96%

ATCC 25923

375

81%

54

Tabel 13 Sumber isolat dan asal negara dari masing-masing galur S. aureus yang digunakan dalam analisis BLAST
Nama Galur S. aureus subsp. aureus T0131 S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 S. aureus subsp. aureus TW20 S. aureus subsp. aureus USA300_TCH1516 S. aureus subsp. aureus str. Newman DNA S. aureus subsp. aureus NCTC 8325 S. aureus subsp. aureus USA300_FPR3757 S. aureus subsp. aureus clone sabac-1 S. aureus subsp. aureus ECT-R2 S. aureus subsp. aureus ED98 S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA S. aureus subsp. aureus JH1 S. aureus subsp. aureus Mu50 DNA Kode Aksesi CP002643.1 CP002120.1 FN433596.1 CP000730.1 AP009351.1 CP000253.1 CP000255.1 AC074316.7 FR714927.1 CP001781.1 AP009324.1 CP000736.1 BA000017.4 Sumber Isolat Klinis Klinis Klinis Klinis Klinis Klinis Klinis Manusia Hewan Klinis Negara Asal China Australia London AS Jepang AS AS AS Swedia AS Jepang AS Jepang

Penelusuran terhadap sumber dan negara asal galur S. aureus pada Bank Gen yang digunakan dalam analisis BLAST menunjukkan bahwa sebagian besar galur-galur tersebut berasal dari sumber klinis yang diperoleh dari beberapa Negara yaitu : S. aureus subsp. aureus T0131 (China); S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 (Australia); S. aureus subsp. aureus TW20 (London); S. aureus subsp. aureus ECT-R2 (Swedia); S. aureus subsp. aureus USA300_TCH1516, S. aureus subsp. aureus NCTC 8325, S. aureus subsp. aureus USA300_FPR3757, S. aureus subsp. aureus ED98 dan S. aureus subsp. aureus JH1 (Amerika Serikat); S. aureus subsp. aureus str. Newman DNA, S. aureus subsp. aureus Mu3 DNA dan S. aureus subsp. aureus Mu50 DNA (Jepang). Kelima isolat lokal yang teridentifikasi sebagai S. aureus secara genotipik berasal dari produk pangan tradisional siap santap Indonesia, yaitu ayam suwir dari bubur ayam (kode isolat AS) dan nasi uduk (kode isolat NU). Hal ini membuktikan bahwa isolat lokal S. aureus yang terdapat pada produk pangan tersebut ditemukan karena terjadi kontaminasi silang dari pekerja maupun peralatan pengolahan yang digunakan serta perlakuan produk pangan setelah diolah. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan dan permukaan kulit manusia. Lebih dari 30 50% populasi manusia adalah carrier S. aureus (Le Loir et al., 2003).

55

Analisis keragaman terhadap 5 isolat lokal S. aureus dilakukan dengan membandingkan sekuen kelima isolat tersebut dengan beberapa galur S. aureus yang umum (Tabel 14).

Tabel 14 Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA
Kode Isolat S. aureus subsp. aureus T0131 (CP002643.1) 76 85 86 91 95 81 S. aureus subsp. aureus TW20 (FN33596.1) 76 85 86 91 95 81 S. aureus subsp. aureus galur JKD6008 (CP002120.1) 76 85 86 91 95 81 S. aureus subsp. aureus ECT-R2 (FR714927.1) 84 86 92 96 S. aureus subsp. aureus ED98 (CP001781.1) 84 86 92 96 -

AS NU1 NU4 NU5 NU9 ATCC 25923

Isolat AS dan ATCC 25923 masing-masing memiliki kemiripan sebesar 76% dan 81% dengan galur S. aureus subsp. aureus T0131, S. aureus subsp. aureus str. JKD6008 dan S. aureus subsp. aureus TW20, namun tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan galur S. aureus subsp. aureus ECT-R2 dan S. aureus subsp. aureus ED98. Isolat NU1, NU4, NU5 dan NU9 masing-masing memiliki persen kemiripan yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 84 85%, 86%, 91 92% dan 95 96% dengan semua galur S. aureus pada Bank Gen yang digunakan sebagai pembanding (S. aureus subsp. aureus T0131, S. aureus subsp. aureus str. JKD6008, S. aureus subsp. aureus TW20, S. aureus subsp. aureus ECT-R2 dan S. aureus subsp. aureus ED98). Analisis keragaman selanjutnya dilakukan antar isolat-isolat lokal S. aureus dan ATCC 25923 sebagai isolat pembanding. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima isolat lokal tidak memiliki kemiripan yang tinggi satu dengan lainnya (Tabel 15). Kemiripan hanya ditunjukkan antara isolat AS yang berasal dari ayam suwir dengan isolat NU1 yang berasal dari nasi uduk, yaitu sebesar 76%. Tingkat kemiripan yang tinggi ditunjukkan antara NU4 dengan NU5 dan NU9 masing-masing sebesar 87% serta antara NU5 dengan NU9 sebesar 92%. Hal ini memberikan indikasi kemungkinan isolat NU4, NU5 dan NU9 merupakan spesies S. aureus yang sama. Claverie dan Notredame (2007) menyebutkan bahwa persen kemiripan gen 16S rRNA isolat

56

yang masuk ke dalam kisaran ambang nilai (threshold value) >80% dapat dinyatakan sebagai satu spesies. Tabel 15 Persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan sekuen parsial gen 16S rRNA dengan menggunakan primer 1387r
AS NU1 NU4 NU5 NU9 ATCC 25923 AS 100 NU1 76 100 NU4 100 NU5 87 100 NU9 87 92 100 ATCC 25923 100

Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1 Amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1 dengan metode PCR dilakukan terhadap 11 isolat lokal, 5 isolat telah teridentifikasi sebagai S. aureus dan 6 isolat tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun berdasarkan hasil analisis sekuensing gen 16S rRNA. Amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1 bertujuan untuk mendeteksi keberadaan gen enterotoksin pada isolat-isolat lokal S. aureus yang ada, dimana keberadaan gen enterotoksin tersebut berperan penting dalam menyebabkan kasus keracunan pangan (Pelisser et al., 2009). . Amplifikasi terhadap gen penyandi SEA dan SEC1 ini dilakukan dengan

menggunakan pasangan primer SEA-1/SEA-2 untuk gen penyandi SEA dan SEC1-1/SEC1-2 untuk gen penyandi SEC1 seperti yang telah dilakukan oleh Johnson et al., (1991). Masing-masing gen penyandi SE tersebut menghasilkan produk PCR berturut-turut sebesar 120 bp dan 257 bp (Gambar 7 dan 8).

57

M K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

300 bp 200 bp 100 bp

Gambar 7. Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi enterotoksin stafilokoki A isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif.

M K- 1 2 3 4 5

6 7 8

9 10 11 12

300 bp 200 bp 100 bp

Gambar 8. Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi enterotoksin stafilokoki C1 isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif.

Hasil amplifikasi gen penyandi SE di atas menunjukkan bahwa 5 isolat lokal yang telah teridentifikasi sebagai S. aureus, 1 isolat (NU1) mengandung gen penyandi SEA dan 1 isolat (NU5) mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1. Enam isolat lokal yang tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun, 2 isolat

58

(NU3 dan NU8) mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1 serta 1 isolat hanya mengandung SEC1 (NU6). Enterotoksin stafilokoki A dan C1 merupakan jenis enterotoksin yang paling sering mengontaminasi makanan. Pada produk susu sempat terjadi outbreak, dimana ditemukan sebanyak 16 galur dari 57 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC1. Dari galur-galur S. aureus tersebut juga ditemukan dua atau lebih gen SE yaitu sebanyak 2 galur mengandung positif 3 gen SE (SEA, SEC1 dan SEH) (Rall et al., 2008). Proporsi galur S. aureus yang menghasilkan SEB lebih sedikit dibandingkan dengan SEA, yaitu 1:10 (Bennet dan Amos, 1982). Holeckova et al., (2002) berhasil mendeteksi gen SEC1, SEB, SED dan SEA pada produk susu dan olahan susu yang masing-masing sebesar 24.1%, 13.9%, 10.1% dan 5.1%. Salasi et al., (2009) melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE (1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi 3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB, SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Jika melihat berdasarkan hasil analisis sekuensing parsial gen 16S rRNA dan hasil amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1, maka dapat diketahui bahwa dari 11 isolat lokal S. aureus, hanya 5 isolat yang teridentifikasi sebagai S. aureus, yaitu : AS, NU1, NU4, NU5 dan NU9. Dari kelima isolat S. aureus tersebut, ditemukan 2 isolat yang mengandung 1 jenis atau lebih enterotoksin. Isolat NU1 mengandung gen penyandi SEA dan NU5 mengandung kedua gen penyandi SEA serta SEC1. Isolat lokal NU1 dan NU5 merupakan spesies S. aureus yang berbeda. Isolat lokal NU1 memiliki tingkat kemiripan sebesar 76% dengan isolat lokal AS dan isolat lokal NU5 memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yaitu berkisar antara 87 92% dengan isolat lokal NU4 serta NU9. Isolat lokal NU1 dan NU5 masing-masing memiliki tingkat kemiripan >80% dan >90% dengan beberapa galur pada Bank Gen, yaitu : S. aureus subsp. aureus T0131, S. aureus

59

subsp. aureus str. JKD6008, S. aureus subsp. aureus TW20, S. aureus subsp. aureus ECT-R2 dan S. aureus subsp. aureus ED98. Isolat NU3, NU6 dan NU8 yang positif mengandung enterotoksin stafilokoki, kemungkinan teridentifikasi sebagai spesies selain S. aureus yang juga sama-sama menghasilkan enterotoksin stafilokoki, seperti : S. intermedius, S. hyicus, S. xylosus, S. epidermidis, S. carnosus dan S. saprophyticus (Monday dan Bennet, 2003).

60

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan hasil amplifikasi parsial gen 16S rRNA 5 dari 14 isolat lokal adalah S. aureus, meskipun secara uji biokimiawi telah diidentifikasi sebagai S. aureus (Apriyadi, 2010). Sembilan isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Secara genotipik antar kelima isolat lokal S. aureus (AS, NU1, NU4, NU5 dan NU9), hanya 3 isolat (NU4, NU5 dan NU9) yang memiliki tingkat kemiripan tinggi, yaitu berkisar antara 87 92%. Kelima isolat lokal S. aureus juga tidak memiliki kemiripan dengan S. aureus ATCC 25923 sebagai isolat pembanding. Terdapat 2 isolat lokal S. aureus (NU1 dan NU5) yang bersifat enteropatogenik karena itu berpotensi menghasilkan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C1 (SEC1). Satu isolat lokal (NU1) memiliki gen penyandi SEA isolat dan satu isolat lokal (NU5) memiliki kedua gen penyandi SEA serta SEC1.

Saran Perlu dilakukan beberapal hal dalam melakukan penelitian lebih lanjut, antara lain: (1) memperbanyak jumlah isolat lokal S. aureus yang diteliti, (2) mengkarakterisasi jenis enterotoksin stafilokoki lainnya yang ada pada isolat lokal di Indonesia, dan (3) mengamati pembentukan enterotoksin stafilokoki dalam pangan tradisional Indonesia.

61

DAFTAR PUSTAKA Adams, MR, dan Moss, MO. 2005. Food Microbiology 2nd Edition. The Royal Society of Chemistry. United Kingdom. Amann, RI, Ludwig, W, dan Schleifer, KH. 1994. Identification of uncultured bacteria: A challenging task for molecular taxonomists. ASM News 60: 360365. Anonim. 1999. Basic Features and Applications of PCR- From Human Molecular Genetics. http: //www.web-books.com[3 Agustus 2011]. Anonim. 2010. DNA Sequensing. http://www.sciencebiotech.net/tag/dnasequencing[13 September 2011]. Applied Biosystem. 2002. BigDye Terminator v1.1 Cycle Sequencing Kit Protocol. Apriyadi, TE. 2010. Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi Keberadaannya dalam Nasi Uduk [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Argudin, MA, Mendoza, MC dan Rodicio, MR. 2010. Food poisoning and Staphylococcus aureus enterotoxins. Toxins Review 2: 1751-1773. Ash, M. 2000. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. Dalam: Hocking, AD, Glenda A, Ian J, Ken N, dan Peter S. 2000. Foodborne microorganisms of public health significance. AISFT Food Microbiology Group. New South Wales. BAM [Bacteriological Analytical Manual]. 2001. http://www/cfsan.fda.gov [16 Februari 2007]. Bennett, W. dan Amos, WT. 1982. Staphylococcus aureus growth and toxin production in nitrogenpacked sandwiches. Journal of Food Protection Vol 45: 157- 161. Betley, MJ dan Mekalanos, JJ. 1988. Nucleotide sequence of the type A staphylococcal enterotoxin gene. J. Bacteriol 170: 34-41. Bergdoll, MS. 1990. Staphylococci food poisoning. Dalam: Foodborne diseases. Academic Press, Inc. San Diego. Bergdoll, MS. 1983. Enterotoxins. Dalam: Staphylococci and staphylococci infections (Easmen, C.S.F., and Adlam, C., eds.). Academic Press, London, UK pp: 559-598.

62

Bhatia, A. dan Zahoor, S. 2007. Staphylococcus aureus enterotoxins: A Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research Vol 1 No. 2: 188-197. Blackburn, CDW, Mc Clure, PJ. 2002. Foodborne pathogen hazard, risk analysis and control. Woodhead Publishing Limited. England. BPOM. 2005. Data kondisi keamanan pangan. Dalam : Haryadi, P dan N. Andarwulan. Konsolidasi sistem keamanan pangan di Indonesia. Gramedia. Depok. Brown, TA. 1992. Genetics: Molecular approach Second Edition. Chapman & Hall, London. Buckle, KA., Edwards, RA., Fleet, HH, dan Wootton, M. 1978. Food science. Australian Vice-Chancellors Commitee. CDC [Centers for Disease Control and Prevention]. 1989. Morbidity and mortality weekly report Vol. 38, 24. Dalam: USDA, 2001. Foodborne pathogenic microorganisms and natural toxins handbook. Center for Food Safety & Applied Nutrition, Amerika Serikat. Chapaval, L, Moon, DH, Gomes, JE, Duarte, JE dan Tsai, SM. 2008. An alternative method for Staphylococcus aureus DNA isolation. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec Vol 60 2: 229-306. Clarridge, JE. 2004. Impact of 16S rRNA gene sequence analysis for identification of bacteria on clinical microbiology and infectious diseases. Clinical Microbiology Reviews Vol 17 No 4 p: 840-862. Claverie, JM. dan C. Notredame. 2007. Bioinformatics for Dummies. 2nd ed.Wiley Publishing, Inc. New York. Doyle, JJT dan Doyle, JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12: 13-18. Doyle, MP, Larry RB, TJ. Montville. 1997. Food microbiology fundamentals and frontiers. ASM Press. Washington DC. Eden, F, Rosen, B, dan Mannheim, CH. 1977. Death and injury of Staphylococcus aureus during thermal treatment of milk. Can. J. Microbiol 23: 1034-1037. El-Banna, AA, Hurst, A. 1983. Survival in foods of Staphylococcus aureus grown under optimal and stressed conditions and the effect of some food preservatives. Can. J Microbiol 29: 297-302.

63

Forsythe, S.J. 2000. The Microbiology of Safe Food. Blackwell Science. Oxford. Gentina, Fionaliza, dan Nelisna, M. 2008. Laporan Penyelidikan Epidemiologi Keracunan Pangan di Hotel Pangeran Padang. Padang. Goh, SH, Potter, S, Wood, JO. 1996. HSP60 gene sequences as universal targets for microbial species identification: Studies with coagulase-negative staphylococci. Journal Clinical Microbiology 35: 3116-3121. Haeghebaert, S, Le Qurrec, F, Gallay, A, Bouvet, P, Gomez, M dan Vaillant, V. 2002. Bull. Epidemiol. Hebdo 23: 105-109. Hardy, J. 1980. Staphylococcus lugdunensis, a dangerous wolf in sheeps clothing.http://www.hardydiagnostics.com/articles/Staphlugdunensis.pdf[14 Juli 2011]. Harrigan, W. F. 1998. Laboratory methods in food microbiology third edition. Academic Press. New York. . Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami dan S, Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi Staphylococcus aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech. Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3): 7-15. Hartini, P. B. 2001. Studi keamanan mikrobiologis makanan jajanan di kantin FATETA-IPB [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Holeckova, B, Holoda, E, et al. 2002. Occurrence of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in food. Ann. Agric. Environ. Med 9: 179-182. Hubert, SK, Mohammed, JM, Fridkin, SK, Gaynes, RP, McGowan, JE dan Tenover, FC. 1999. Glycopeptide-intermediate Staphylococcus aureus: evaluation of a novel screening method and results of a survey of selected U.S. hospitals. Journal of Clinical Microbiology p: 3590-3593. ICSMF [International Commission on Microbiological Specifications for Foods]. 1996. Microorganism in foods 5: Microbiological specifications of food pathogens. Blackie Academic and Professional. London. Ikeda Tetsuya, Naoto Tamate, Keiji Yamaguchi, dan Sou-ichi Makino. 2005. Mass outbreak of food poisoning disease caused by small amounts of staphylococcal enterotoxins A and H. J. Appl. Environ. Microbiol 71:27932795. Jay, JM. 1996. Modern food microbiology fifth edition. Chapman & Hall. New York.

64

Jay, JM. 2000. Modern food microbiology. Chapman and Hall. New York. Jaykus, LA.. 2003. Academic activities in food safety: Centers, consortia, and initiatives. Dalam: Torrence, ME dan Isaacson, R.E. Microbial food safety in animal agriculture, current topics. Iowa State Press, USA. Johnson, WM, Tyler, SD, Ewan, EP, Ashton, FE, Pollard, DR dan Rozee, KR. 1991. Detection of genes for enterotoxins, exofoliative toxins, and toxic shock syndrome 1 in Staphylococcus aureus by the polymerase chain reaction. Journal of Clinical Microbiology p: 426-430. Kennedy, K, Blair, IS., McDowel, DA, dan Bolton, DJ. 2005. An investigation of the thermal inactivation of Staphylococcus aureus and the potential for increased thermotolerance as a result of chilled storage. Journal of Applied Microbiology 99: 12291235. Kusumaningrum, HD. 2009. Assesing Staphylococcus aureus in Indonesian traditional ready to eat food using science-based approach. International Seminar and Workshop Issues and Challenges in Food Safety. Bogor. Kwok, AYC., Shey-Chiang Su, dan Robert, PR. 1999. Species identification and phylogenetic relationships based on partial HSP60 gene sequences within the genus Staphylococcus. Int J Syst Bacteriol 49: 1181-1192. Lehninger, AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Alih Bahasa M. Thenawijaya. Erlangga. Jakarta. Le Loir, Y., Florence, B., dan Michel, G. 2003. Staphylococcus aureus and food poisoning. Journal Genetic Molecular Research 2(1): 63-76. Lund BM, Toni C. Baird-Parker, Gould, GW. 2000. The Microbiological safety and quality of food Vol 2. Aspen Publication. Maryland. Marchesi, JR, Takuichi, S, Andrew, JW, Tracey, AM, John, CF, Sarah, JH dan William, GW. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Journal Applied and Environmental Microbiology p: 795-799. Mead, P, Slutsker, L, Dietz , McCaig, L, Bresee, J, Shapiro, C, Griffin, P, dan Tauxe, R. 1999. Food-related illnes and death in the united states. Emerg. Infect.Dis 5: 607-625. Miliotis, DM dan Jeffrey, WB. 2003. International handbook of foodborne pathogens. Marcel Dekker, Inc. New York.

65

Monday, SR dan RW. Bennet. 2003. Staphylococcus aureus. Dalam : Militois, MD dan Bier, JW. International Handbook of Foodborne Pathogen. Marcel Dekker, Inc. New York. Muladno. 2002. Teknik rekayasa genetika. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Navarre, WW dan Schneewind, O. 1999. Surface proteins of Gram-positive bacteria and mechanisms of their targeting to the cell wall envelop. Microbiol. Mol. Biol. Rev 63: 174-229. Newton, CR. 1995. PCR Essential Data. Chichester, John Wiley & Sons. 37-81. Parente, E dan Mazzatura, A. 1991. Growth and heat resistance of Staphylococcus aureus in goat milk. Ital. J. Food Sci 3: 27-37. Pelisser, MR, Klein, CS, Ascoli, KR, Zotti, TR, dan Arisi, ACM. 2009. Occurrence of Staphylococcus aureus and multiplex PCR detection of classic enterotoxin genes in cheese and meat products. Brazillian Journal of Microbiology 40: 145-148. Pelczar Jr., M.J. dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar mikrobiologi 2. Penerjemah: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. UI Press. Jakarta. Pinchuk, VI, Beswick, EJ dan Reyes, VE. 2010. Staphylococcal enterotoxins. Toxins Review. 2: 2177-2197. Ray, B, dan Bhunia, A. 2008. Fundamental food microbiology 4th Edition. CRC Press. London. Ray, B. 2001. Fundamental food microbiology second edition. CRC Press. London. Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D. 2000. Encyclopedia of food microbiology Vol III. Academic Press. New York. Ruslan. 2003. Keamanan Mikrobiologi dan survei lapang sayuran olahan di daerah Bogor Barat [ Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salasi, SIO, Khusnan dan Sugiyono. 2009. Distribusi gen enterotoksin Staphylococcus aureus dari susu segar dan pangan asal hewan. Jurnal Veteriner Vol 10 No 3: 111-117. Sambrook, J, EF. Fritch, dan T. Maniatis. 1989. Molecular cloning: A laboratory manual Vol 1-3 second edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Cold Spring Harbor.

66

Sari, QAMP. 2010. Cemaran Staphylococcus aureus pada ayam olahan siap saji dan simulasi rekontaminasi dari udara [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schaechter, M, G Medoff, BI. Eisenstein. 1993. Mechanisms of microbial disease 2nd edition. Williams and Wilkins. London. Shapton, DA dan Shapton, NF. 1993. Principles and practices for the safe processing of foods. Butterworth-Heineman Ltd. Oxford Great Britain. Shehata. AI. 2008. Phylogenetic diversity of Staphylococcus aureus by random amplification of polymorphic DNA. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2(4): 858-863. Stackebrandt, E, dan Goebel, BM. 1994. A place for DNA-DNA reassociation and 16S rRNA sequence analysis in the present species definition in bacteriology. Inernational Journal Sytematic Bacteriology 115: 255-260. Stewart, CM. 2003. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. Dalam: Foodborne microorganisms of public health significance sixth edition. (Ed. AD Hocking). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated, NSW Branch, Food Microbiology Group. Waterloo NSW. Suharsono dan Widyastuti, U. Penuntun praktikum pelatihan teknik pengklonan gen. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Taylor, M dan Atri, S. 2005. Development in microwave chemistry. Evalueserve. United Kingdom. Thomas, CT, White, LC Longree, K. 1966. Thermal resistance of salmonellae and staphylococci in foods. Appl. Microbiol 14: 815-820. Todar, K. 2007. Textbook of bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net [24 Februari 2008]. US FDA [Unites State Food and Drugs Admistration]. 2001. Staphylococcus aureus chapter 12. Bacteriological Analytical Manual Online. Center for Food Safety and Applied Nutrition.

67

US FDA [United State Food and Drugs Administration]. 1999. Bad bug book: Foodborne pathogenic microrganism and natural toxins handbook. Factors affecting the growth of some foodborne pathogens: Center for Food Safety and Applied Nutrition. Walker, GC. Harmon, LG. 1966. Thermal resistance of Staphylococcus aureus in milk, whey and phosphate buffer. Appl. Microbiol 14: 584-590. Yusuf, M. 2001. Genetika. strukur dan ekspresi Gen. Penerbit Sagung Seto. Jakarta. Zhang, S., Iandolo, J., dan Stewart, C. 1998. The enterotoxin D plasmid of Staphylococcus aureus encodes a second enterotoxin determinant (sej). FEMS Microbiol. Lett 168, 227233.

68

69

Lampiran 1. Konsentrasi dan kemurnian DNA genom bakteri S. aureus A260 0.014 0.022 -0.0042 0.52 0.0051 0.45 0.341 -0.048 0.041 0.26 0.37 -0.196 -0.189 -0.19 -0.024 A280 0.0081 0.034 -0.0029 0.47 0.00172 0.42 0.451 -0.015 0.205 0.37 0.255 -0.063 -0.057 -0.083 -0.0177

Kode Isolat AS NU1 NU2 NU3 NU4 NU5 NU6 NU7 NU8 NU9 NU10 NU11 NU13 NU14 ATCC 25923

[DNA] g/ml 35 55 10.5 1300 12.75 1125 852.5 120 102.5 650 925 490 472.5 475 60

Kemurnian 1.73 0.65 1.45 1.11 2.97 2.38 0.77 3.2 0.2 0.7 1.45 3.11 3.32 2.29 1.36

70

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

AS
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGGGCCGTG GGGTTTTTCA TTCACATTTG GCTGTGCACG TACTGCTTTT TGTTGTGAGT TTACAGCAAA TGTATCTAGT TCAATTCTTG AAATACCATA TTGCTCCACT AAATTTTCAG CAGTAATACC CATATGATAT TGAAAAAATA CATCTGATAA CCTATAATAA GATGCTATCA CCATTGATTG ACGTCTTTTT TTAAAACCCA AACGGATGTT GGTGGACAAC CTTGGTTGAT AGAAACACAT TCTCCTTACG CCAGCCTGAA GAAGTCCTTT TTACCAATCA CAAAAAGATA GTAAGCTGAA TTGATTCACG TTTAACCCCA AACCACACTT TTATTTCAAA GTATGAGCGT GTTGTGTTTC GCGCGCGTCC CCTCTTACAA CCCCTACTTG CGGTAGATTG TGCCTTTGCT GCGTGTGTAC ACTACCAATA ATTTCTTCAT TAATCTAACT TGGAATATAA CCCCTCTCTT TAATAATAAG ATCTACTAAA ATCGTCCTAC CTCAAAGGCC GGCTGGTCTT TCATCACACC CCCCAAAACG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU1
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGGCCCAATG GTCATATAAC ATGTTTGTTG GCTGTGCACG TACTGGCTTT TTGTTGTGAG TTTACAGCAA ATGTATCTTG TTCTTTTCTT GAAATACCAT ATTGCTCTAC TAAATTTTCA GCAGTAATAC CCATATGATA TTGATTAAAT ACATCTGTTA AACCATCATA AACCATGCTA TCAACCATTG ATGGATGTCC CATTTTAAAA CCAAACCGAC TTTTGTTGAC AAGCATTGGT GATTGAAACA TATTCTCCAT ACCGCCCCTA GCACGATGTC ATTTTCACCA TTCACAAAAA ATTGATATGC TAATTGAATC GACTTTAACC CAAAACCACA TATTTTTTTC ACCGTAAATG CGTGTTCTGT TTCTGGCACC CCCCCTTTCA TAACACCATT TCGTGCTGGA TTTTGTCCTT GTCCTGCGTG TAGTACGTTA CCGATGATAA CTTCATCAAT CTCACTTGGA TTCAAACCCG TCTCTTTAAT AATATGTTCT ATTAAAGTCG CACCTAAATC ATAGGCTGGC ACTTCTTTAA ACGCACCTCC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

71

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU2
1 51 101 151 201 251 301 351 TAGGGGGACG TAGTTTAAAA AAGGGTTTAA AAAAGGCCCT TAAAGACTCA AATTCCCGGG GGGGGGTTCC CCGTCCCGGT GCAGGGCGGG TGAGTATTGT GGAAAGTTAC TGGCTGACTC CTATAAGAGG ACCTTAAGAA CCCCGGCTAA TCTGCTCCTA ACGAACGGGC AACAATGGAT CGGTGTCCTC TTTTATAACA ACCCCCCCGG GTGTTGTCCG TAATAGCTCG CGGATACCAA CTCTCCATCA TAGAGGCAGA GGGCACGCCG TTTTCCTCAT CCCTATAATT TTGAAGGGCG GCGTGAATCA ACGTAAGCCC CACCCCCCCC CTGTTCTCTT TCATAGTGCA AAGACTTTTT CTTGCGATGC ACCCTCAAAA TAAAAAATCC TCCCAAGGAG 50 100 150 200 250 300 350 400

NU3
1 51 101 151 201 251 301 AGGGGGGGCA TAGGATAAAA ATGACAATTT ATTGGCCCGT ACTGCTTGTA TGTTGGTTTG TTACAGCCCC GTACCTTGGT GTCTCAAAAA GACAATAAGC TCTACTAAAT ATTCTTCATT AATACCCATA TGATATTGAT TAAATACCTC TTTTAAACCA ACCCCAACAA GCTATCAACC ATTGATTGAT GTCCCTTTTT AAAACCCAAC CCACTGGGGT TGACTAGCCG TGGTGACAGA AACCTAATAC ATCACACGGG ATGCAGACAC GAAGCATTTT TCCCCCTCAC AATAGATAGA AATGGCTATT GAAACAGCCT TAACCCCGAA CCCCCTACTT TATTTATTGT 50 100 150 200 250 300 350

NU4
1 51 101 151 201 251 301 TGGGGGGCGT AGTAATTATT CCCTTCTATG GTGCCCCCGT ACAGCTGAAT TTTGGAGGGA GGTTCACCGT AGCAGCTGGA AAGGAAGGAA AAAAAGGTGA AAACAATCTT CGAGTACCAT TGAAGGACGT TGAAAACCTC CAGCCAACCC AGCCCCTAAC AGCGGCCATC AATGAAGGAG TTCCCTTTTT TAAAACCAAC CCAACGGCTG TGGCCGGCAA GGCTGATGGA AACCAATTCA CCTTACCGAC GCCCAAAACC ACGCCGTTTT CCTCATCCCT ATCAAATAGA TAGGACGTGG CACGAACTTC ACCACCAAAC CACCCCCTTC TTTTTTCTTA GAACAAGCAC 50 100 150 200 250 300 350

72

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU5
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGTGGGGCGG AATAATAATA ATGAAAATTT GAAGTGGCGC CGAACTGCTG TTTTTTGTTT GTTACAACAA ATGTAGCTTG TTGTTCACTT GAAAAAAAAA ATTGCTCTAC AAAATTTTCA GCAGTAATAC CCATATGATG ATGATTAAAT ACTTCTGTTA AACCATCATA TACCATGCTA TCAACCATTG ATTGATGTCC CATTTTAAAA CCAAAGCGAC GGTTGTTGAC AAGCATTGGT GATTGAAACA TATTCTCCAT ACCGCCGGCT ACCACGATGT CATTTTCACC AGTCCCAATA AATTGAAATG CTAATTGAAT CGACTTTACC CCGGAACCAC AAACTTTTTT CTTCGTAAAG GGAGGAAGGG TTTTTGGAAG CCCACCTTCC AAACAACCAA TCCGGGCTGG ATTTGGTCCT TGCCCGGCTG GTAGTACTTT ACCGATAATA ACTTCATCAT TCTCATTGGG TTCCAAACCC TTCTCTCTAA AAAGATTTTC AATTAAGTTC GCACCTAAAT CTGAGGCGGG GACGCCTTAA AACGCACCTC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU6
1 51 101 151 201 251 301 GGGGGGGGAA ACTCTTAAGT GCTCAATGGG TAACGGCCCC AAACCTAATT TTTGTAGGGG GAACCCCGAC GCGGGGGGGT GAGAAGGGAG AGGGGGTGGC GAGAAAACGG TTAGGTCCCA TTGGAATTGC CATAATAACT TCGGTGTCCT GGGCATAACG AACCACGAAC TTTGACGCAT TGTCCCCTTT TCCTGATAAC CACCGGGGTT GCCCTATGAT GTTCAAGGAA ACTAACTCTT CAAAAGAGAA AAAGTCAGCC CGCCGTTTGA CTCATCCACA CTAAATTTGG AATGCCGGGC GAGGGAACCT GCAGCCCCGT CGGACACCTT ATCCTTTTCC AAAAACATAA 50 100 150 200 250 300 350

73

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU7
1 51 101 151 201 251 301 TTGGGGGAAT TTGAATAAGT TATTTCTTTA TATTGCCCGT ACTCTTCTTT TTTTAGTTAT TTCAACGTTG TTGTCCTTCC ATTATATAGA ATTGCTTGCT AAATTTTTTT AGAACTACCC TTTATTTTAG ATTAAATAAA TTCGGTCACC CCGCCCCTAA CAGGTGGCTG TTACGGATTA TTTCCCTTTT TCATAACCAC ACCACCGCTG TTTCCCGGAT GGTTGAATGT TGCTTACACA TCATACCCGA GGCCGCAGCA CCCCGTTTTC ACCGTCATAT ACTTTGAAAG GCAGCTGAAG GGAGCCTACC CCGAAAGAAT AACTTCTTCA TTGTTAATGC AAGGAAGGTT 50 100 150 200 250 300 350

NU8
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 AGGGGGCAAT AGGGTAAGAA GTGGCTTAAA GGAGGCAGTA CTTCTTTATG TTTGGAGGTT ATTACAACGT TGTTGCTGTT AAATGTATAA AATATGGTTT ACTAATATAA CTCAGAGTCC CCTAAAGATC GAGGGTACAT TCGTTCAATC ACGCATAACA GCGGGGATCA ACTGTTGATG GCCCTTTTTT ATAACGTCCA CCTGGGTGTT GCCGGGAATG GCTGACGGAT ACAAATTCTC CAAATCCGAA GCGCGAAGGA CGTCGTCTTC GCCACCGCAA TACTTAGAAA GTCCAGGTGC CATGAACCCA AACCGCGAAA GCCACAGCTA ATTTATTCTA AATGCAAGTA CGGGTTCTGG CAAGCCCCCC ATCACACCTG CAATTCCTGT CTGACCTTGA CCCTGCCCGA CCTGGACCGA CTTTCCCAAG AATAATTCCA CCATCTCCGT TGGATGGAAC CGGTTCTTCT CGTCCTTTTT TCATTTACGA TTCTACCATT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

74

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU9
1 51 101 151 201 251 301 351 401 CGGGAAAAAA GGGGAATGCC CCCTAAATTG GCGAGGTACT GCTTGCTGTT TGGAGTTTAT TACCAACGGA TCTTGTTTGT TTATTTACAT AATAAATATC TAATAACTTT TCTACCAGAA GTACCCTAAA GAGGAGATAA AAACATTCGT TAGAACCACC CTATAACAGC GGGCCACCAA TTGATTGTTT TCCTTTTTAT TAAAAAAACG AACGGGTGTT GCTAACCAAG GCTGCTGAAA ACTAATTCTC CATACCACCG GCAACCACGA CGCCGTCTTC CCCGTCCCCA TAGATAGAAA GGGCAGCTGA AACCAACCTT CACCCACAAA ACCATACTTT CTTTATCCTT AATTCAGGGA CGGTTTTTGG GAAGCCACCC TTCCCACCAA CAATTCCTGC CTGTTTTTGA CCCTGTCCCG GCTGCAACAC GTTTCCCAAA ATTAATTACA 50 100 150 200 250 300 350 400 450

NU10
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 AGGCCTTTGA TTAAATTTAT AGTTCTATCT GCTTACGTGG CGATCTAAAT TACTGGGGGT CGATTGCAAC GCGTATTGGC CTTAATCCAG TATGTTCGAG TGGCGCCGCC AATTCGTTAC TAATGATTGT TGCCGTCCCA AGACCATCTG ATGAAGCATC GTCCGCGGGC CGATTCCCTT TAACTCCGTC GATGGCTCCA TCAGATTTTA TCCCCCGGGA GGGTTTTGAG GTTCCCCGCC GCCCGCAGTG CCCAAAAGAA TAAGGGTGCT TCCTTTTGGA GCTATATAAC TAAATTCTCA AGACGCTCAG AGAAGGGGCA TAGGCCATAG GAGTGTCGTT TCTACACCGT GAGCAATCCT ATAACCGATA CGTGGAAGAG GCCTCGCTGG GCGTTTCCTT TTTGGTCAAC TTTTCTCACA CCATGCTCTA CATCTGGGAT TGCGGCGCAA ATACCTTGTG TTCTGCCCGC TACCGCTTTA ACGCACCCGC CGTGACGATA ATTGCTCCCC TTACTGTGCG CCTACCTATC GAAGAGGACC CTACAATGTC TACTGTCCGG CTGGTACTGT GGTAACTATT CACGTAGTAA CCTCGGTCGG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

75

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU11
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 651 701 TTCGGCGGAG TAATTTAATT GGTTTAATTG GGCCCCCGTG CTTCTAATTT CTGTTGGGGG GTTCCACTCC ATCCGGAAAA AAAAAGGGTA AAGGGGTGGC GACGCCCCAA GTTAGTTCCC ATTGTTGGGG TACTGGTACC CTTTGGGGTC CCGGGCCTAA AGAGGTAATT ACTTTATCTC CTCCCCCCCT TCCTCCAGAG TATCCCCGCC GGCGTCTTTT AAATCCCCAC CGCAACCCGC GGGACACAAA AGAAAAGGGG TGCCCTCTGT GAGGGATTTA TCCCAACTTC TCAAAACACG ATGTCGAAAG ACCCATGGCC CCACACCTGT GGTTAAGATC GGCACCGAAC TATCACTTCT TAGATGCGTG GAAGACGTCA CAACGGGAAG TGCTTCTCCT CTGATCAAAT TATATCACAA ATGCTCTCCC CCTGCGGCAT CCCACCGTTT TTCTTTTTAG AATTTCACGG TACCACTCTC ACGCCCTGCC CAAGAAAATT ATTGCTTTGG AATGAAAACT CCAGGTTACT CCCCTTAGCT ATATCACGTG TTTTAGTTGG ATGCGGACCG TCTTATCTTC TAAGGTTCTT TCCTCATTCG GCGACTTGCG TAAATTGTTG AGAGAGGAAT CACTTTCTCC GGCTGATGCT GCTCCCCATG CCTACTACTG ATACCACCGC AGTTGGAAGG GACTACATCC AACAGTCTAT ACATACCCGA GTAATTCTTT AAACCTAGCA GGTCCCCGGG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750

NU13
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 AGAGGGCAAG GTGTAGAAAG GTTAAAATAG GACTAGGGAA TTCTAATTTA TGTAGCTAGG ATTCCACTTT TTGCGGCGGA AATTAAGGTT AAAAGGGCGG TTAGCTTAAA CGTTAGTTCC AATTGAGCCG ACCATTGGTG AACTTGGGTT AGAAAGGCCT CAAGGGCCGA AAGAATTGGA CTCAGTCCCA CCTCCCTTCA GATTTGAACC CCACGGTCTC TTTAAAGTTC CCACCGGACC CCGCGGCAAA AAAAAGAAAG GGAGCGCTCT TTTAGGGGCT TAAAACCAAA CTTCACAAAA CGCGCTCAGA CCAAACATAC GGTCCCTGTG TGTGGGTTTA GGCATTCGCA TTGTTATATC ATTATAGTTC GCTGCAAGGC AAGACGCCGG GAGATGCTTT TTGATTCTGA TATTAAACCA CAAGAACCGT TCTTTTGCTT CCCCCCACGC TTTTCTTTTT TTTAGCTTTG CGGCACCACT CTCACCGGTG CGAATGAACA CATTTGCGCT GGATACAAAG TTCATACTTC AACCCTCAGA CCGAACTCAG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

76

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU14
1 51 101 151 201 251 301 351 ATGGGGGGCC GTTTATGATC TGGCTAATGA TAACGCCCGC AAAAACGACA GGTCGGGGGG GGGGTCCCCC CTCCCGGGGG AAAGGGGAGG AGAGGGGGTG GTGAGGAACT TGTCAAGATC ATTTGAAAGT GCCTAGGACG TCGGCTAAAA TGGGCCTAAC GGACAGGAAG AATGTAACGC GGGAAACCGC TTCATACAGT ATATCCCCCA GTTGCCCCAG AGATCCTCAC GCAAACTAAC TCATGAAAGA AAAAGCGAGC GCCCCGACGT TTGCCCATAT CGCATACTTT TAAAAATGTT GCCTCAATAA TCCTATGCCC CCACGCCGAT CCATTACCGC ATTCTAGTAC GGTCCATTTT CCTTTGCATA GCAACGCTCC CGATAAGAAG TTGTCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400

ATCC 25923
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 CGGCTTTAAT TATGTGACTT CCGTTTTGCT GCGCCGTACT GCTTTTTGTT GTGAGTTTAC AACAAATGTA TCTTGTTCTT CTCTTGAAAT ACCATATTGC TCCACTAATT TTTCAGCAGT ACCACCCATA TGATGTTGAA ATCCTACTTT TAAACCATCA TATACCATGC TATCATCATT GTTGAATGTC CTCCTTTTTT AAAACCAAAA CTGTTGTTGA CTAACAATGG TGAATGACAC ATATACACCA TCCCGACGGC CAGCACGATG TCGTTTTCTT CCACCACTCA CAATTGATTG GTATGCTAAT TGAATCAACG TTAACCCAGA ACCACATACT TTTCCTTAAA GCATGTACGG GTTGTTGCTG GCCCCCTTTC TTTCTTACCA ATCCTTCCTG CTTTATTTTG TCCTTCTCCT GGTTGTAATA GCTTACCAAT CATTACATCA TCAACCTCAT TTGAAATCCC ACCCTTCTCT ATAATATTAA GTTCTATTAA AATCACACCT ACCTGAGGGG CCGGCACGTC AAAAAACACC CCAAAAAACA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

77

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

AS
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGTGTTGGG GGGGGAGATG TGCCAGCCTC CCCCTTATGT GGGACTTTGA TTGAACATGT TATAATATTA TAGGGACGGG ATGCAATCCA AATGAGGGGG GTGATGTTAT TATCGGTAGT GCACGCAACC AGGACGAGGA CAACATCCAG CAGGAATGAT TTGTAAGGTG GGAGGCCGGA AACACTACAC CCATTTACGG CGAGTGAAGA ATGTGGTTGT TGGGTATGGT CGATTCAATA ATCATATCAA TTTCTTTTGA TTGGTGAAGA TGAAATCGTG CTAGTGGGGG GTAGGGGGAA TATGTTTCTG TCACCACTGC TTGTCAACAA CAGTCGCTTT GGTTTTTTAA TGGGACATCA ATCAATGGAA TATAGCATGG TATGGGATGT TTTGGTTCAA AAGGTTTTAT CATTATTTTT GGGGGGGTAT TGCTGAAAAT TTGGTGGGCC AATTTGGTTT TCATAAAAGG AACAAGACCT TTGTGGAAAT TAAAAACAAA AACCAGAGGG GGGCCCCAAA TACTTTCTTG TTTGTTGTTT TGCCTAGTTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU1
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGAGGTGGG TTGAAAGAAG AGCCACCCTC TGATTTAGGT GGGACTTTAA TAGTACATAA TATTAAAGAG ACGGGTTGGA ATCCAAGTGA GATTGATGAA GTTATCTTCG GTAACGTAGT ACAAGCAGGA CAAGGACAAA AAATAGCACG AATTGTTGTT TTGAAAGAGG GGTTGCCCGA AACACAACAC GCATATATGG TGAATAAAAA ATGTGGTTTT GGGGGAAAAT GGATTCAATA AGCATATCAA TATATTGTGA GTGGTGAAAA AGACATCGTG TTAGCGGGCG GTATGGAGAA TATGTGTCAA TCACCAATGC TTGTCAACAA CAGTCGCTTT GGTTTTAAAA TGGGACATCA AACCATGGTT GATAGCCTGG TATATGATGG GTTTAAAGAA GTATTTTATC CATATTATAT GGGGTATTAT GGTGGAAAAT TTGGTGGGCC AATTTGGTAT TTCAGGGGAG GAACAGGATC CTTTGGTGGT AAATTACCAC CAAAAACCAG TAGGGAACAG CCCAACTTGG CGAATTCCAA AATCCCTTGA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

78

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU2
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 GCTGGGGGAC GGTGATAACG TCAACCGCAA CCGTTATGAA AAGGACCGCG CGCATACAAG TGGGGTGGTG GAGGTAAAAT GGGTAACGCT TCCAGGCGGG AATTTTTCAA AATCAGGCAG GAATTGCAGT AGGGAAGGCC GGAACCCAGA ACCAGTACTT CTCTAACAGA AAATAAAGGG GAGTGACGCG TTAGGTTCGT TCAGTGCTTT CCTAACGATA CGATGAAGAA AACGTCTTGG GGAGACTTCC GGATGATGAT TTGTATCCAC TAATCATGCC GTCAACACCG GTGCGACGGT ATTAAAACGG ACATTAAACA AATGGTGGCC CTCCTTAGGC GCTGGTTAAC CGTGTTTTAT TTCCTGACAA TTAAATAGGA CGATGGTCTA AACTTGGCAG ATCTCAAGGC TGCATTTTAG GACCAACGAC GTTGGATTAA CCAACAAACG AAGTAGTCCT CGCCCCAAAA AAACTTTCTA ACCGGGGTGG GTGTTTTCAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

NU3
1 51 101 151 201 251 301 351 TCAGAAAAGA CTTCTAGTTT TGGAGGTTGG CAGCAAGAAA AAAGCTTTCT TTAAGAAAAA ATAAGGGGGG GGTTTGGGGG TTTAGGTTTT TGGAACTGCT ATTTCAATCG ATAGTGATGG GGAAAACGGG GTGGTCCCGG CCTCTCGTAA GGTGAGATGG TTTCCGTCAG CCACTCCGGG CCACCCCCGG GGGGGTTGTT AATAAAAAGG GAAACCAACA AATGATCCAC TCCAGTTGGG GCCGGGCCGG ACGGAGTGTT TTAATGTCAA TTAAATAGTA CTCACCAGAT AAGTTGGCGG ACCCTTTTTC CTTTTTTGTG CGCCGGGTGG TGGTCCCCAA ACAAAAAAAG AATTACGGGG CACAAAAACC CACCCATTTC GTTTTCTCTT TTAACCCTAA 50 100 150 200 250 300 350 400

79

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU4
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GTTTGAAAGA GGTGCCCGCC TAGGAATTGG TTGGGACGTT AATAGAAAAT ATTATGAAAA AGACGGGTTT GAATCCAAGG GAGATGGAGG AAGTAATCAT CGGTAACGTA TACAAGCGGG ACAGGGACAA AATCCAGCAA GAATTGTTGG TATGAAAGGT GGCTTGCCAG AAACAGTACC TGCATTTACA GTGAATAAAG TATGTGGTTC TGGGTTAAGT TCGATTCAAT TAGCCTTTCA ATCTATTGTG ACTGGGGAAA ATGACTTCCG GCTGGCTGGC GGTAGGGAGA ATAGTTTTCA GTCACCAAAG CCGGTCACCC ACAGTCGGTT CGGTTTTAAA ATGGGACATC AATCAATGGT TGCTAGCTTG GTATTTGTTG GTTTAACAGA TGTATTTAAT CAATATTATA TGGGTATTAC TGTAGAAAAT TTGGTAGACC AATATTGTTT TTTATTTGGA AGACCAAGAT ACGTTTGAGT AACAAACCAA CAAAAGCAGT ACGGGGCACA AAAAGCCCTA AATGCCGGTC CGGTCGTTTT TAACCCCCCT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU5
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGAGGTGCG TTTAAAGACC TGCCCGCTTA TGATTTAGGT GCGACTTTAA TAGAAAATAT TATTAAAGAG ACGGGTTTGA ATCCAAGTGA GATTGAGGAA GTAATCATCG GTAACGTACT ACAAGCAGGA CAAGGACAAA ATCCAGCACG AATTGTTGGT ATGAAAGGTG GCTTGCCAGA AACCGTACCT GCATTTACAG TGAATAAAGT ATGTGGTTCT GGGTTAAAGT TGATTCAATT AGTATATCTA TCTATTGTGA CTGGTGAAAA TGACTTCTTG CTAGCGGGCG GTAGGGAGAA TATGTTTCAG TCACCAATGC TAGTCAACAA CAGTCGGTTC GGTTTTAAAA AGGGACATCA ATCAATGGTT GATAGCTTGG TATTTGTTGG TTTAACAGAT GTATTTAATC TCTATCATAT GGGTATTACT GCTGAAAATT TAGTCCGCAA TATTGTATTC TAAGGAAAGA ACAACATACA TTTGCTGTAA ACTCCCAACA TCAGCAGTAC GGCCCAACAA ACAAGTAACT ATTGGTTTGG TGGGCTTTTT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

80

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU6
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTCCCTCCAA CAATTTCGTT TTTTGTTTCC CTTCCTTATT ATCCCCGATT TCCCCGGGCC TTAGATCACA GCCCCCCCTC AGTTACAGCC TGCCTTTTTC CCTCCCCCTC TAACAGATTC TGAATAAACA CGTAATGCTA ACTTTTCAAC TACCTTGTAA GCCAGTTGGT GGGGGATTGT CCGGGGACAT TGGCACGTCC CAGGAAAAAG TTTTGGCTGG TTGCCCACAC CGTTCCACAC CGACGGGCTT TGGTCGTGAG GTTTGGCCTC CGACGGTGGT GCTGCTAAAG GGGTAGTGTA TGTAAACGAC ACGACCACTT AGGCTGGAGC GTGGTGCGAG GGGAAAGAAA AAACAATATC GCACATTCCC AACAACGTTC GGGGGAAAGG GTTATCGTTC AGGACCAACT AAAACCGGGA AGGACCGGAC CGGTGGAATG GGTAATAAGG GAAGTGATAA GGGGAACCAT ATTGGGGGGG GAAAAGTTTG CCAAAACATG ATTCCACCAC GGAACTCTCA AATCCCCGAG GTATTAGGAG TGGGGGTTTG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU7
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTGGTTTTTT AATGTGATTT TTTAGGTGTG GCCGGCCGTG GTTGTCAATG GTCGATCAAC AAAAGGTAAG AAGGGGAGGG GTTTGAATCC AAGGGAGATG ATGGAGTGAA TCTTGGGCAA GGCCACCAAG CGGGGCAGGG CCAAAATCCG GCAGGACTTT CTGGTATGAT GGGTGGCTTC CCACAACCCT TACCTGCTCT AACAGAAAAG TAATGGATGG GTTCTTGCTA AGTCGCATCA AACAGGACTT CATATCTATA GTGATGGGGA GAACGTCATC GTGGGTGCCG GCGAATGATG AAATGGTATT CCGCAGCCAA GGCCGGCAAC ACCCATTGGG GTGTTTATAA AAAAGGGACC CCAATCAATG GTGGCCGCTG TTATGGGCGT TTTAGCGGAG GTATTTAAGC ATTCCTATGG TACGAAGGTG ATAATTAGCC ACCAATACTT ACTTCTTTGA GGAGCCACGT CGCTTACTTA ACACCAAACA ACAGACTCGG GCCAAAAAAA ACAAATTTTC TGTCTGTTGT CCTTGCCTTG CCCCCTCCCT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

81

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU8
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGTTTAAGGA GCCCCCGCCG CGGGGTAGGG TTGAGTCGTA AATGGAAATG TTCTGGAAAG GAGGCGTATC AACCCAAGGG GGGTGGTGGA AGAAATTATA GGAAACGACT TCCAGGAGGG GCAGGGCCAA AATCAGGCAG GAATGGCTGG TGTGAAGGGG GGCTTGCCAA AAAACGTCCT TGCTCTAACA ATAAAGAAAG TGGGGTTTAT TGGTTAAGGT CACTTCACCT GCCCTCCCAA TCGCTGTGGT GGGGAAAACG ACATCCTCTT TGCCGGCGGT TAGATGAATT AGTTTCAATC AACCATGGCC GTCAACACCC GTTGGGGTGG TTTTAAAAAA GGACAATAAA CCATTGATCC CCGCTGTGAT AGGCTGGGTT AAACGAATGT TTTCATTCTC ATCTATATAG TACTTCTGGT GGATAAGTTG GTAAACCAAT AATTCTCCCA CTTACACCAA CATCCGTTGT CCCCCAACAA ACAACAGCCT ACGGGCCCCC AAAAGGCTTA TTTCCCTTTG CCCTTTTTTG TCCCCTTTAC CCCCCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU9
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGTGCGTTTA AAGACGTGCC AGCCTATGAT TTAGGTGCGA CTTTAATAGA ACATATTATT AAAGAGACGG GTTTGAATCC AAGTGAGATG GATGAAGTAA TCATCGGTAA CGTAATACAA GCAGGACAAG GACAAAATCC AGCACGAATT GTTGGTATGA AAGGTGGCTT GCCAGAAACA GTACCTGCAT TTACAGTGAA TAAAGTATGT GGTTCTGGGT TAAGGTCGAT TCAATTAGCA TATCTATCTA TTGTGAGTGG TGAAAATGAC ATCCTGCTAG CGGGCGGTAT GGAGAATATG TTTCAGTCAC CAATGCTTGT CAACCACAGT CGCTTCGGTT TTAAAATGGG ACATCAATCA ATGGTTGATA GCTTGGTATT TGATGGTTTA ACAGATGTAT TTAATCAATA TCATATGGGT ATTACTGGGA AAATTTAGTA GAGCAATATG GTATTTCAAG AGAAGAACAA GATACATTTG CTGTAAACTC ACAACATAAA GCAGTACGGC ACACCAAAAT GCCAATTACA AATGTTTGTG TCCCAAGAAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

82

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU10
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 651 GGTCACTCGA CTCACAGGGA TGGGTCAGTA GTTGTCTCTG GAAGAAGCGT CAGCCATAAA CATCTTTCCT CTTTGAATCT GTTTGACGCT GATCCCTGAA TTGAGTTCTA TTTTGCAAAG GTTTCATTGT ACCCGTCCAA ATCAAACGGT TTCAAGGCTA AGCATAGTAG CACGGAACAA AGTAACCAAG TCAACTATCT GCGCGACCAG TAATTCAGAG TGGCACTGTC ATACACCCTT TTTTTGTTAC GGTGGAAGGA AGTTATCCGG TGCTTGCTTC AAGGTAATAT CAGCCAAAAA AGACAAGAAC AAGAGAGCGC TCTTCCTTCC AAGGGAAGAG GATTGCTCAC AGACCACCTA CGGCTCGGGG CGGGCGTGTG TCAGCAGGGG GGCCGCCATT AAATAATAAT GCCCAATTGC CAACGGGAAG GACAGGCATC GTTTTTGTTC CCCGGGGTGC GGTGATATCC TTTAACCACG GGTGGGTAGT GGACCATATG GGGCCTTATA CGGCGAAAAA GTGATTCGGT CATAGGGGCA CATCATACCA GAAGGTCCGA GGATCCTCCA ATATTCAGAG GGTATTTGGG GTAATAGGCC TATTTACCAG AAATTATCCC CGAAACAAGG TGGATTCCAA GCAATTAAAA ACAGATCCCC CTACAATCAA AACCCAAATA ACTTGTGTTG GTTTTTTCAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700

NU11
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 AGTTCGCAGA ACGAGTAAAC AACACATAAA CACCAATGTC CCAACCCACT AAATACCCGA TACAAGGAGA GGCAATAAGT ATACACACAG GTATTTAAAA AAAATTTCCC AGGAGGGGGT GATTGTGTGA GCGTGAAAAG AAAATTGTAT AGCGGGCGAA GCCCCAATTA CGAAGTGGTT TGAGAAGAGT TAAAGACAAA AACAAACTCT TTATTGTCGT GTCCTCCACC CATCTATGAG AGGTTTGCGC CCTGTATACC TTTATTACAG CTGTGGCACA TGGCTTTAGG CATGCCGCCA TTGGAAATTT TTTTATATCG CTCCCTAAGG GAGGACCCTG TATCTTGTTG CAGCCGCGGG TTGCGGGGGA ATCCTCTAAC ACTAGGTGGT AGAAAATCAT AAGTAGACAG TACGGAAAAA CGTGAATAGG CCCTATAGGC TCATATTAAT GCGAAGGACA AGTATCCATC AATTTTCCTG AGGTGGTGGG CGCTCCACCT ATTTTCCCGC TTTTTTACCC CACGCGAGTG GAACCCCCCC CCAGTAATCA GTCCCCCGTG GCCCCAAAAA ACAAACTTTT CGTTCTTGTT GTTTTAAAGT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

83

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU13
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GAGGTGTGGG GAGATGAATC CACGGTGGTA TCGATCGCAC CATTTTCTTT GGCAAGCGGT AAGAGCGGTA CCGCGAAAAA AACAAAAGAA ATAGAGGTTG GGCCCAGCCC ACGCAGGAGA ACTTGTGATG AAGTAACATG CGCAAAAAAA TTTCCCGGCG TGATCTCTTG CACAAAACAG TTGTAGGATA GAGTGGTGAA TAAGGAATCC AAAAGGTTGG TGCGTGGGTT AGTTCTCAGC GCGTTTTGAG ATTTGAGTGT TTGTGCCCAG CAGCGAGCAC CCCCTATCTT CTTTGGCCAG CTGGTTCCCG CGTAAATTTC AAAGGAAACC GGCTGCCACT CTGATGGAAG GTGAGGAGGC GTTCAAACAA TTCTGTCCGT CAGGCCCATG TTCCCCCAGT AGTACAACTA TCCATAATTT AGGCTAGGGG ATTAACCAAA AGACCTTAAA CAAGCAAATA GTCCAAAACA AGGGGAACCT CCCAACAGAA TTAGAAGCCC TAGCCCAAAA ACCTAATCAT CTTTTTTTTC CAAACCATAA AAACCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU14
1 51 101 151 201 251 TTTTGTAAAG TTTGTGCATG TGGCAAAAGG AAGGCACTCC CCATCTTGTG TGACCAGCAA GTTTCCGCGA AGCACAAAAA ACTAACGTCG TTTAGCCCTG ATGAAAGGTG TCAATGTCCA GTTTTTCCCG GCTCTTCAGG CCTATGTAAC CCAGTTCTCC AACTATGAAA TAAATGGGAC CGGAGCAGGG AACTCGCCAA CCCATATTTC CTCATTGAAG CCGCGGGGAC GGGCAACCCC CCACCCAACT TCGGTTGCCC GGACCCCCAA TAATCCCCTT ATTTTTTCGT TGTTGTTTTT 50 100 150 200 250 300

84

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

ATCC 25923
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTGGGGGATG AAAGACCAGC CGGCCTATGA TTAGTGTGTT TTAAAAGAAT AAACATTAAA GAGAGGGGTG TGTTCCACCC AGGGTGATGA ATAGTTATCG GTAATGTATA CAAGCAGGCC AAGGACAAAC AACAGCCAGA ATGGATTGTA TGAAGGGTGG GTGGCCAGAA ACAGTACGTG CATTTACGGT GAATAAAGTA TGTGGTTGTG GGTTAAAGTA GATTCAATTA GCATATCAAT TTATTGTGAT TGGTGAAAAA AACATCGTGC TAGTTGGCGG TGGGGAGAAT AATTTTTATT CACCAACGAT TGTCATCAAC AGCCGTTTTG GTTTTAATAA AAGACGTCAA TCAACGGTTG ATGGTATCGT ATTTTATGGT TTATCAGATG TATTTATTCA TCATCATATG GGTGGTACTG CTGGAGAAAT AGTAGAGCAA TATTGTATTT TTTCAGAGGA GCTAGATCTT TCGCTGTAAT TCACAACAAA AAGCAGACTC CGCCAACAAC AAAACTAATC TCTCTTTCGT CTTTTCCTTA AACACCTTTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

85

Lampiran 4. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923

NU1
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 GGGCCTCAAG GGATCATATG GAATTCGCCA AGTTTGTTGG CTGTGCACGT ACTGGCTTTT TGGTGTGTAA TTTACCACCA AAGGTATCCT GTTCCTCCCC TGAAATACCA AATTGGCCCT ACCAAATTTT CCACCAGTAA TACCCCATAT AATATGGATA AAATACATCT GTTAAACCCA TCATAAACCA GGCTATCAAC CATGGATGGA TGTCCCATTT TAAAACCAAA CCGACTGTTG TTGACAAGCA TTGGTGATTG AAACATATTC TCCATACCGC CCGCTAACAC GATGTCATTT TCACCACTCA CAAAAAATTG ATATGCTAAT TGAATCCACT TTAACCCAAA ACCACATATT TTTATTCACC ATAAATGCGT GTTCTGTTTC GGGCAACCCC CCTTTCAAAA CAACAATTCG TGCTGGATTT TTTGTCCTTG TCCTGCGTGT ACTACGTTAC CGAAGATAAC TTCATCAATC TCACTTGGAT TCAAACCCGT CTCTTTAATA ATATGTACTA TTAAAGTCCC ACCTAAATCA GAGGCTGGCA CTTCTTTAAA CCCACCTCC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

NU5
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 TGTGGGGCGG AATAATAGCC CACCAATGAC CAATAGTTAC TTGAATGTTG GCGCCGAACT GCTGATGTTG GGAGTGTTAC AACAAATGTA TGCTTGTTCT TTCACTTAGA AAAAAAAAAT TGCGCTACAA AATTTTCAGC AGTAATACCC ATATGATAGA TGATTAAATA CATCTGTTAA ACCAACAAAT ACCAAGCTAT CAACCATTGA TTGATGTCCC ATTTTAAAAC CAAACCGACG GTTGTTGACA AGCATTGGTG ACTGAAACAT ATTCTCCATA CCGCCCGCTA CCAAGAAGTC ATTTTCACCA GTCACAATAA ATAGAAATAC TAATTGAATC AACTTTAACC CAGAACCACA AACTTTATTC ACTCGTAAAG GCAGGAACGG TTTCTGGCAA GCCCACCTTC CAAACCAACC AATCCGGGCT GGATTTGGTC CTTGCCCGGC TGGTAGTACG TTACCGATAA TAACTTCATC AATCTCACTT GGATTCCAAA CCCGTCTCTC TAAAAAGATT TTCAATTAAA GTTCGCACCT AAATCATAAG GCGGGCACGC CTTAAAACGC ACCTCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

86

Lampiran 4. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 (lanjutan)

ATCC 25923
1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 TGTTTTTTGG GGTGATGAAA GACCAGCCGG CCCCTCAGGA TTAGGTGTGA TTTTAAAAGA ACTAAACATT AAAGAGAAGG GTGGGATTCC AACCATGAGG TTGATGAATA GTAATGATCG GTAATGCTAT TACAACCAGG ACAAGGACAA AATAACAGCC AGGAATGGAT TGGTAAGAAA GAAAGGGTGG CCAGCAACAA CACGTACATG CATTTAAGGT GAATAAAGTA TGTGGTTCTG GGTTAAAGTA GATTCAATTA GCATACCAAT CAATTGTGAG TGGTGGAAGA AAACGACATC GTGCTAGTTG CCGGTCGGGA TGAAGTATAT GTGTCATTCA CCAACGATTG TCAGTCAACA ACAGTTTTGG TTTTAATAAA AGGACGACAA TCAACAATGA TGATAGCATC GTATATGATG GTTTAAAAGA TAGGATTTAT TCAACATCAT ATGGGTGGTA CTGCTGAAGA AATTAGTAGA GCAATATGGT ATTTTTTCAA GAGAAGAACA AGATACATTT CGCTGTAAAC TCACAACAAA AAGCAGTACG CCGCAGCAAC AACGGAAGAC ACATAATCTA AAGCTCGTTT CGTCTTTTCC TTAAACACCT TTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650

You might also like