You are on page 1of 6

CAIRAN DAN ELEKTROLIT DALAM TUBUH MANUSIA Secara fisik, molekul pembentuk tubuh manusia dapat dibedakan menjadi

jenis cairan dan jenis molekul padat. Cairan tubuh meliputi cairan darah, plasma jaringan, cairan sinovial pada persendian, cairan serebrospinal pada otak dan medula spinalis, cairan dalam bola mata (aqueous humor dan vitreous humor), cairan pleura, dan berbagai cairan yang terkandung dalam organ. Fungsi cairan dalam tubuh manusia, antara lain - Sebagai alat transportasi nutrien, elektrolit dan sisa metabolisme - Sebagai komponen pembentuk sel, plasma, darah, dan komponen tubuh yang lainya - Sebagai pengatur suhu tubuh dan lingkungan seluler Transpor Cairan dalam Tubuh a. Difusi Pergerakan molekul melintasi membran semipremeabel dari kompartemen berkonsentrasitinggi menuju kompartemen rendah. Difusi cairan berlangsung melalui pori- pori tipis membran kapiler. Laju difusi dipengaruhi: ukuran molekul, konsetrasi larutan, dan temperatur larutan. b. Filtrasi Proses perpindahan cairan dan solut (substansi yang terlarut dalam cairan) melintasi membran bersama- sama dari kompartemen bertekanan tinggi menuju kompartemen bertekanan rendah. Contoh Filtrasi adalah pergerakan cairan dan nutrien dari kapiler menuju cairan interstitial di sekitar sel. c. Osmosis Pergerakan dari solven (pelarut) murni (air) melintasi membran sel dari larutan berkonsentrasi rendah (cairan) menuju berkonsentrasi tinggi (pekat). d. Transpor Aktif Proses transpor aktif memerlukan energi metabolisme. Proses tranpor aktif penting untuk mempertahankan keseimbangan natrium dan kalsium antara cairan intraseluler dan ekstraseluler. Dalam kondisi normal, konsentrasi natrium lebih tinggi pada cairan intraseluler dan kadar kalium lebih tinggi pada cairan ekstraseluler. Faktor yang memengaruhi kebutuhan cairan dan elektrolit - Usia Dalam hal ini, usia berpengaruhterhadap proporsi tubuh ,luas permukaan tubuh, kebutuhan metabolik, serta berat badan. Bayi dan anak di masa pertunbuhan memiliki proporsi cairan tubuh yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Karenanya, jumlah cairan yang diperlukan dan jumlah cairan yang hilang juga lebih besar dibandingkan orang dewasa. Besarnya kebutuhan cairan pada bayi dan anak-anak juga dipengaruhi oleh laju metabolik yang tinggi serta kondisi ginjal mereka yang belum matur dibandingkan ginjal orang dewasa. Kehilangan cairan dapat terjadi akibat pengeluaran cairan yang besar dari kulit dan pernapasan. Pada individu lansia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sering disebabkan oleh masalah jantung atau gangguan ginjal - Aktivitas Aktivitas hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap kebutuhan cairan dan elektrolit. Aktivitas menyebabkan peningkatan proses metabolisme dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan penigkatan haluaran cairan melalui keringat. Dengan demikian, jumlah cairan yang dibutuhkan juga meningkat. Selain itu,kehilangan cairan yang tdk disadari (insensible water loss) juga mengalami peningkatan laju pernapasan dan aktivasi kelenjar keringat. - Iklim Normalnya,individu yang tinggal di lingkungan yang iklimnya tidak terlalu panas tidak akan mengalami pengeluaran cairan yang ekstrem melalui kulit dan pernapasan. Dalam situasi ini,cairan yang keluar umumnya tidak dapat disadari (insensible water loss, IWL). Besarnya IWL pada tiap individu bervariasi, dipengaruhi oleh suhu lingkungan, tingkat metabolisme,dan usia. Individu yang tinggal di lingkungan yang bertsuhu tinggi atau di dearah deangan kelembapan yang rendah akan lebih sering mengalami kehilangan cairan dan elektrolit. Demikian pula pada orang yang bekerja berat di lingkungan yang bersuhu tinggi,mereka dapat kehilangan cairan sebanyak lima litet sehaei melalui keringat. Umumnya, orang yang biasa berada di lingkungan panas akan kehilangan cairan sebanyak 700 ml per jam saat berada ditempat yang pans,sedangkan orang yang tidak biasa berada di lingkungan panas dapat kehilangan cairan hingga dua liter per jam. - Diet Diet seseorang berpengaruh juga terhadap asupan cairan dan elektrolit. Jika asupan maknan tidak seimbang, tubuh berusaha memcah simpanan protein dengan terlebih dahulu memecah simpanan lemak dan glikogen. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar albumin. - Stress Kondisi stress berpengaruh pada kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh. Saat stress, tubuh mengalami peningkatan metabolism seluler, peningkatan konsentrasi glukosa darah, dan glikolisis otot. Mekanisme ini mengakibatkan retensi air dan natrium. Disamping itu, stress juga menyebabkan peningkatan produksi hormone anti deuritik yang dapat mengurangi produksi urine. - Penyakit Trauma pada jaringan dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dari sel atau jaringan yang rusak (mis. Luka robek, atau luka bakar). Pasien yang menderita diare juga dapat mengalami peningkatan kebutuhan cairan akibat kehilangan cairan melalui saluran gastro intestinal. Gangguan jantung dan ginjal juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Saat aliran darah ke ginjal menurun karena kemampuan pompajantung menurun, tubuh akan melakukan penimbunan cairan dan natrium sehingga terjadi retensi cairan dan kelebihan beban cairan (hipervelomia). Lebih lajut, kondisi ini dapat menyebabkan edema paru. Normalnya, urine akan dikeluarkan dalam jumlah yang cukup untuk menyeimbangkan cairan dan elektrolit serta kadar asam dan basa dalam tubuh. Apabila asupan cairan banyak, ginjal akan memfiltrasi cairan lebih banyak dan menahan ADH sehingga produksi urine akan meningkat. Sebaliknya, dalam keadaan kekurangan cairan, ginjal akan menurunkan produksi urine dengan berbagai cara. Diantaranya peningkatan reapsorpsi tubulus, retensi natriumdan pelepasan renin. Apabila ginjal mengalami kerusakan, kemampuan ginjal untuk

melakukan regulasi akan menurun. Karenanya, saat terjadi gangguan ginjal (mis.,gagal ginjal) individu dapat mengalami oliguria (produksi urine kurang dari 400 ml/ 24 jam) sehingga anuria (produksi urine kurang dari 200 ml/ 24 jam) - Tindakan Medis Beberapa tindakan medis menimbulkan efek sekunder terhadap kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh. Tindakan pengisapan cairan lambung dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium dan kalium. - Pengobatan Penggunaan beberapa obat seperti Diuretik maupun laksatif secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan dalam tubuh. Akibatnya, terjadi defist cairan tubuh. Selain itu, penggunan diuretik menyebabkan kehilangan natrium sehingga kadar kalium akan meningkat. Penggunaan kortikostreroid dapat pula menyebabkan retensi natrium dan air dalam tubuh. - Pembedahan Klien yang menjalani pembedahan beresiko tinggi mengalami ketidak seimbangan cairan. Beberapa klien dapat kehilangan banyak darah selama perode operasi, sedangkan beberapa klien lainya justru mengalami kelebihan beban cairan akibat asupan cairan berlebih melalui intravena selama pembedahan atau sekresi hormon ADH selama masa stress akibat obat- obat anastesia. Komposisi Cairan Tubuh Cairan ekstraseluler dan intraseluler berisi oksigen dari paru, nutrisn terlarut dari saluran pencernaan, produk sisa metabolisme seperti CO2, dan partikel ion. Secara umum, komposisi ionik antara plasma dan cairan interstisial hampir sama karena hanya dipisahkan oleh membran kapiler yang sangat permeabel. Perbedaan utama antara 2 kompartemen ini adalah konsentrasi protein dalam plasma yang lebih tinggi karena kapiler memiliki permeabilitas yang lebih rendah terhadap protein. Zat Non- Elektrolit dalam Plasma: - Fosfolipid 280 mg/dl - Kolesterol 150 mg/dl - Lemak netral 125 mg/dl - Glukosa 100 mg/ dl - Urea 15 mg/dl - Asam laktat 10 mg/dl - Asam urat 3 mg/ dl - Kreatinin 1,5 mg/ dl - Bilirubin 0,5 mg/ dl Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh Ketidakseimbangan cairan Ketidakseimbangan cairan meliputi dua kelompok dasar, yaitu gangguan keseimbangan isotonis dan osmolar. Ketidakseimbangan isotonis terjadi ketika sejumlah cairan dan elektrolit hilang bersamaan dalam proporsi yang seimbang. Sedangkan ketidakseimbangan osmolar terjadi ketika kehilangan cairan tidak diimbangi dengan perubahan kadar elektrolit dalam proporsi yang seimbang sehingga menyebabkan perubahan pada konsentrasi dan osmolalitas serum. Berdasarkan hal tersebut, terdapat empat kategori ketidakseimbangan cairan, yaitu : a. Kehilangan cairan dan elektrolit isotonik b. Kehilangan cairan (hanya air yang berkurang) c. Penigkatan cairan dan elektrolit isotonis, dan d. Penigkatan osmolal (hanya air yang meningkat) Defisit Volume Cairan Defisit volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler. Secara umum, defisit volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan. Defisit Cairan Dehidrasi Dehidrasi disebut juga ketidakseimbangan hiiper osmolar, terjadi akibat kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit dalam jumlah proporsional, terutama natrium. Kehilangan cairan menyebabkan peningkatan kadar natrium, peningkatan osmolalitas, serta dehidrasi intraseluler. Air berpindah dari sel dan kompartemen interstitial menuju ruang vascular. Kondisi ini menybabkan gangguan fungsi sel da kolaps sirkulasi. Orang yang beresiko mengalami dehidrasi salah satunya adalah individu lansia. Mereka mengalami penurunan respons haus atau pemekatan urine. Di samping itu lansia memiliki proporsi lemak yang lebih besar sehingga beresiko tunggi mengalami dehidrasi akibat cadangan air yang sedikit dalam tubuh. Klien dengan diabetes insipidus akibat penurunan hormon diuretik sering mengalami kehilangan cairan tupe hiperosmolar. Pemberian cairan hipertonik juga meningkatkan jumlah solut dalam aliran darah. Kelebihan Volume Cairan (Hipervolemia) Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh penungkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan/ adanya gangguan mekanisme homeostatispada proses regulasi keseimbangan cairan. Penyebab spesifik kelebihan cairan, antara lain: a. Asupan natrium yang berlebihan b. Pemberian infus berisi natrium terlalu cepat dan banyak, terutama pada klien gg mekanisme regulasi cairan. c. Penyakit yang mengubah mekanisme regulasi, seperti gangguan jantung (gagal ginjal kongestif), gagal ginjal, sirosis hati, sindrom Cushing

d. Kelebihan steroid. Edema Pada kasus kelebihan cairan, jumlahcairan dan natrium yang berlebihan dalam kompartemen ekstraseluler meningkatkan tekanan osmotik. Akibatnya, cairan keluar dari sel sehingga menimbulkan penumpukan cairan dalm ruang interstitial (Edema). Edema yang sering terlihat disekitar mata, kaki dan tangan. Edema dapat bersifat lokal atau menyeluruh, tergantung pada kelebihan cairan yang terjadi. Edema dapat terjadi ketika adapeningkatan produksi cairan interstisial/ gangguan perpindahan cairan interstisial. Hal ini dapat terjadi ketika: a. Permeabilitas kapilermeningkat (mis., karena luka bakar, alergi yang menyebabkan perpindahan cairan dari kapiler menuju ruang interstisial). b. Peningkatan hidrostatik kapiler meningkat (mis., hipervolemia, obstruksi sirkulasi vena) yang menyebabkan cairann dalam pembuluh darah terdorong ke ruang interstisial. c. Perpindahan cairan dari ruangan interstisial terhambat (mis., pada blokade limfatik) Edema pitting adalah edema yang meninggalkan sedikit depresi atau cekungan setelah dilakukan penekanan pada area yang bengkak. Cekungan unu terjadi akibat pergerakan cairan dari daerah yang ditekan menuju jaringan sekitar (menjauhi lokasi tekanan). Umumnya, edema jenis ini adalah edema yang disebabkan oleh gangguan natrium. Adapun edema yang disebabkan oleh retensi cairan hanya menimbulkan edema non pitting. Daftar Pustaka Carpenito, Linda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan edisi 4. Jakarta: EGC Tamsuri, Anas. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Keseimbangan Cairan & Elektrolit. Jakarta: ECG Edema Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema. Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum: 1. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi melalui beberapa cara : pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal ; penurunan sintesis protein plasma akibat penyakit hati ( hati mensintesis hampir semua protein plasma ); makanan yang kurang mengandung protein ; atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas . 2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh, melalui pelebaran pori pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi . Terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan kearah dalam sementara peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisium yang diseabkan oleh kelebihan protein dicairan interstisium meningkatkan tekanan kearah luar. ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan dengan cedera ( misalnya , lepuh ) dan respon alergi (misalnya , biduran) . 3. Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai peningkatan tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena. peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema regional juga dapat terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena. Salah satu contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena vena besar yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah. 4. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah melalui sistem limfe. Akumulasi protein di cairan interstisium memperberat masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan limfe lokal dapat terjadi, misalnya di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfenya dari lengan yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe selama pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui nyamuk yang terutama dijumpai di daerah-daerah tropis. Pada penyakit ini, cacing-cacing filaria kecil mirip benang menginfeksi pembuluh limfe sehingga terjadi gangguan aliran limfe. Bagian tubuh yang terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema hebat.Kelainan ini sering disebut sebagai elephantiasis,karena ekstremitas yang membengkak seperti kaki gajah. Apapun penyebab edema, konsenkuensi pentingnya adalah penurunan pertukaran bahan-bahan antara darah dan sel. Sering dengan akumulasi cairan interstisium, jarak antara sel dan darah yang harus ditempuh oleh nutrient, O2, dan zat-zat sisa melebar sehingga kecepatan difusi berkurang. Dengan demikian, sel-sel di dalam jaringan yang edematosa mungkin kurang mendapat pasokan darah. MANIFESTASI KLINIS Gejala dan Tanda 1. Distensi vena jugularis, Peningkatan tekanan vena sentral 2. Peningkatan tekanan darah, Denyut nadi penuh,kuat 3. Melambatnya waktu pengosongan vena-vena tangan 4. Edema perifer dan periorbita 5. Asites, Efusi pleura, Edema paru akut ( dispnea,takipnea,ronki basah di seluruh lapangan paru ) 6. Penambahan brt bdn secara cepat:penambahan 2% = kelebihan ringan, penambahna 5% = kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat 7. Hasil laboratorium : penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum normal, natrium urine rendah ( <10 mEq/24 jam ) PENATALAKSANAAN Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang reversibel (jika memungkinkan). Pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis ,pada beberapa pasien terapi non

farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki diatas level dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu diuretic harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasari, berat-ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnya. Efek diuretic berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretic berdasarkan tempat kerja ; 1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis 2. Diuretic yang bekerja pada loop of henle 3. Diuretic yang bekerja pada tubulus kontortus distal 4. Diuretic yang bekerja pada cortical collecting tubule 5. Prinsip terapi edema 6. Penanganan penyakit yang mendasari 7. Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena 8. Meningkatkan pengeluaran natrium dan air : Diuretik ;hanya sebagai terapi paliatif,bukan kuratif; Tirah baring, lokal pressure 9. Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar ; diuresis yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume plasma,hipotensi,perfusi yang inadekuat, sehingga diuretic harus diberikan dengan hati-hati. CAIRAN TUBUH,ELEKTROLIT & MINERAL 1. Pendahuluan Di dalam tubuh, sel-sel yang mempunyai konsentrasi air paling tinggi antara lain adalah sel-sel otot dan organ-organ pada rongga badan, seperti paru-paru atau jantung, sedangkan sel-sel yang mempunyai konsentrasi air paling rendah adalah sel-sel jaringan seperti tulang atau gigi. Secara ratarata tubuh orang dewasa akan kehilangan 2.5 L cairan per harinya. Sekitar 1.5 L cairan tubuh keluar melalui urin, 500 ml melalui keluarnya keringat, 400 ml keluar dalam bentuk uap air melalui proses respirasi (pernafasan) dan 100 ml keluar bersama dengan feces (tinja). Sehingga berdasarkan estimasi ini, konsumsi antara 8-10 gelas (1 gelas =240 ml) biasanya dijadikan sebagai pedoman dalam pemenuhan kebutuhan cairan per- harinya. 2.Fungsi Cairan Tubuh Dalam proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh, air mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai pembawa zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, vitamin dan mineral serta juga akan berfungsi sebagai pembawa oksigen (O ) ke dalam 2 sel-sel tubuh. Selain itu, air di dalam tubuh juga akan berfungsi untuk mengeluarkan produk samping hasil metabolisme seperti karbon dioksida (CO ) dan juga senyawa nitrat. Selain berperan dalam p roses metabolisme, air yang terdapat di dalam tubuh juga akan memiliki berbagai fungsi penting antara lain sebagai pelembab jaringan-jaringan tubuh sepertimata, mulut & hidung, pelumas dalam cairan senditubuh, katalisator reaksi biologik sel, pelindung organ dan jaringan tubuh serta juga akan membantu dalam menjaga tekanan darah & konsentrasi zat terlarut. Selain itu agar fungsi-fungsi tubuh dapat berjalan dengan normal, air di dalam tubuh juga akan berfungsi sebagai pengatur panas untuk menjaga agar suhu tubuh tetap berada pada kondisi ideal yaitu 37C. 3.Distribusi Cairan Tubuh Di dalam tubuh manusia, cairan akan terdistridusi ke dalam 2 kompartemen utama yaitu cairan intraselular (ICF) dan cairan ekstrasellular (ECF). Cairan intraselular adalah cairan yang terdapat di dalam sel sedangkan cairan ekstraselular adalah cairan yang terdapat di luar sel. Kedua kompartemen ini dipisahkan oleh sel membran yang memiliki permeabilitas tertentu. Hampir 67% dari total badan air (Bodys Water) tubuh manusia terdapat di dalam cairan intrasellular dan 33% sisanya akan berada pada cairan ekstrasellular. Air yang berada di dalam cairan ekstrasellular ini kemudian akan terdistribusi kembali kedalam 2 Sub-Kompartemen yaitu pada cairan interstisial (ISF) dan cairan intravaskular (plasma darah). 75% dari air pada kompartemen cairan ekstraselular ini akan terdapat pada sela-sela sel (cairan interstisial) dan 25%-nya akan berada pada plasma darah (cairan intravaskular). Pendistribusian air di dalam 2 kompartemen utama (Cairan Intrasellular dan Cairan Ekstrasellular) ini sangat bergantung pada jumlah elektrolit dan makromolekul yang terdapat dalam kedua kompartemen tersebut. Karena sel membran yang memisahkan kedua kompartemen ini memiliki permeabilitas yang berbeda untuk tiap zat, maka konsentrasi larutan (osmolality) pada kedua kompartemen juga akan berbeda. 4.Elektrolit Elektrolit yang terdapat pada cairan tubuh akan berada dalam bentuk ion bebas (free ions). Secara umum elektrolit dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu kation dan anion. Jika elektrolit mempunyai muatan positif (+) maka elektrolit tersebut disebut sebagai kation sedangkan jika elektrolit tersebut mempunyai muatan negatif (-) maka elektrolit tersebut disebut sebagai anion. Contoh dari kation adalah natrium (Na ) dan kalium (K ) & contoh dari anion adalah klorida (Cl ) dan bikarbonat (HCO ). Elektrolit- elektrolit yang terdapat dalam jumlah besar di dalam tubuh antara lain adalah natrium (Na ), kalium (K ), kalsium (Ca ), magnesium (Mg ), klorida (Cl ), bikarbonat (HCO ), fosfat (HPO ) dan sulfat (SO ). Di dalam tubuh manusia, kesetimbangan antara air (H O)-elektrolit diatur secara ketat agar sel-sel dan organ tubuh dapat berfungsi dengan baik. Pada tubuh manusia, elektrolit-elektrolit ini akan memiliki fungsi antara lain dalam menjaga tekanan osmotik tubuh, mengatur pendistribusian cairan ke dalam kompartemen badan air (bodys fluid compartement), menjaga pH tubuh dan juga akan terlibat dalam setiap reaksi oksidasi dan reduksi serta ikut berperan dalam setiap proses metabolisme. 5.Mineral Makro & Mikro Berdasarkan kebutuhannya di dalam tubuh, mineral dapat digolongkan menjadi 2 kelompok utama yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang menyusun hampir 1% dari total berat badan manusia dan dibutuhkan dengan jumlah lebih dari 1000 mg/hari, sedangkan mineral mikro (Trace ) merupakan mineral yang dibutuhkan dengan jumlah kurang dari 100 mg /hari dan menyusun lebih kurang dari 0.01% dari total berat badan. Mineral yang termasuk di dalam kategori mineral makro utama adalah kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), sulfur (S), kalium (K), klorida (Cl), dan natrium (Na). Sedangkan mineral mikro terdiri dari kromium (Cr), tembaga (Cu), fluoride (F), yodium (I) , besi (Fe), mangan (Mn), silisium (Si) and seng (Zn). Dalam komposisi air keringat, tiga mineral utama yaitu natrium, kalium & klorida merupakan mineral dengan konsentrasi terbesar yang terdapat di dalamnya. Sehingga dengan semakin besar laju pengeluaran keringat, maka laju kehilangan natrium , kalium dan klorida dari dalam tubuh juga akan semakin besar. Diantara ketiganya, natrium dan klorida merupakan mineral dengan konsentrasi tertinggi yang terbawa keluar tubuh melalui kelenjar keringat (sweat glands). Oleh karena itu maka pembahasan mengenai mineral dalam penulisan ini hanya akan berfokus pada 3 mineral utama yaitu natrium, kalium dan klorida. -Natrium (Na)

Di dalam produk pangan atau di dalam tubuh, natrium biasanya berada dalam bentuk garam seperti + natrium klorida (NaCl). Di dalam molekul ini, natrium berada dalam bentuk ion sebagai Na . Diperkirakan hampir 100 gram dari ion natrium (Na ) atau ekivalen dengan 250 gr NaCl terkandung di dalam tubuh manusia. Garam natrium merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh dengan minimum kebutuhan untuk orang dewasa berkisar antara 1.3-1.6 gr/hari (ekivalen dengan 3.3-4.0 gr NaCl/hari). Setiap kelebihan natrium yang terjadi di dalam tubuh dapat dikeluarkan melalui urin & keringat. Hampir semua natrium yang terdapat di dalam tubuh akan tersimpan di dalam soft body tissue dan cairan tubuh. Ion natrium (Na ) merupakan kation utama di dalam cairan ekstrasellular (ECF) dengan konsentrasi berkisar antara 135-145 mmol/L. Ion natrium juga akan berada pada cairan intrasellular (ICF) namun dengan konsentrasi yang lebih kecil yaitu 3 mmol/L. Sebagai kation utama dalam cairan ekstrasellular, natrium akan berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh, menjaga aktivitas saraf , kontraksi otot dan juga akan berperan dalam proses absorpsi glukosa. Pada keadaan normal, natrium (Na ) bersama dengan pasangan (terutama klorida, Cl ) akan memberikan kontribusi lebih dari 90% terhadap efektif osmolalitas di dalam cairan ekstrasellular. -Kalium (K) Kalium merupakan ion bermuatan positif (kation) utama yang terdapat di dalam cairan intrasellular (ICF) dengan konsentrasi 150 mmol/L. Sekitar 90% dari total kalium tubuh akan berada di dalam kompartemen ini. Sekitar 0.4% dari total kalium tubuh akan terdistribusi ke dalam ruangan vascular yang terdapat pada cairan ekstraselular dengan konsentrasi antara 3.5-5.0 mmol /L. Konsentrasi total kalium di dalam tubuh diperkirakan sebanyak 2g/kg berat badan. Namun jumlah ini dapat bervariasi bergantung terhadap beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur dan massa otot (muscle mass). Kebutuhan minimum kalium diperkirakan sebesar 782 mg/hari. Di dalam tubuh kalium akan mempunyai fungsi dalam menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan keseimbangan asam basa. Selain itu, bersama dengan kalsium (Ca ) dan natrium (Na ), kalium akan berperan dalam transmisi saraf, pengaturan enzim dan kontraksi otot. Hampir sama dengan natrium, kalium juga merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh. Setiap kelebihan kalium yang terdapat di dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin serta keringat -Klorida (Cl) Elektrolit utama yang berada di dalam cairan ekstraselular (ECF) adalah elektrolit bermuatan negatif yaitu klorida (Cl ). Jumlah ion klorida (Cl ) yang terdapat di dalam jaringan tubuh diperkirakan sebanyak 1.1 g/ Kg berat badan dengan konsentrasi antara 98-106 mmol / L. Konsentrasi ion klorida tertinggi terdapat pada cairan serebrospinal seperti otak atau sumsum tulang belakang, lambung dan juga pankreas. Sebagai anion utama dalam cairan ekstraselullar, ion klorida juga akan berperan dalam menjaga keseimbangan cairan-elektrolit. Selain itu, ion klorida juga mempunyai fungsi fisiologis penting yaitu sebagai pengatur derajat keasaman lambung dan ikut berperan dalam menjaga keseimbangan asam-basa tubuh.Bersama dengan ion natrium (Na ), ion klorida juga merupakan ion dengan konsentrasi terbesar yang keluar melalui keringat. Edema, is swelling caused by fluid retention - excess fluid is trapped in the body's tissues. In the UK/Ireland/Australasia and some other countries the word is spelled oedema. Swelling caused by edema commonly occurs in the hands, arms, ankles, legs and feet. It is usually linked to the venous or lymphatic systems. Edema was formerly known as dropsy or hydropsy. Edema may be generalized or local. It can appear suddenly, but usually develops subtly - the patient may first gain weight, or wake up with puffy eyes. Many patients wait until symptoms are well advanced before seeking medical help. There are many types of edema. The most common ones are: Peripheral edema - in the feet (pedal edema), ankles, legs, hands and arms. Cerebral edema - in and around the brain (cerebral edema). Eye edema - in and around the eyes, e.g. macular edema, corneal edema, periorbital edema (puffiness around the eys. Macular edema is a serious complication of diabetic retinopathy. What causes edema? If the capillaries (tiny blood vessels) leak fluid into the surrounding tissue the area will start to swell. This could be due to capillary damage or increased pressure. Leaking capillaries will cause the kidneys to accumulate higher than normal quantities of sodium (salt) and water in order to compensate for the capillary fluid loss. This results in more blood circulating in the body, which in turn causes even more capillary leakage into the surrounding tissue, which produces additional swelling - a vicious cycle. Edema is most commonly caused by: Physical inactivity - edema is more prevalent among people who do not exercise at all, and walk very little. Standing or sitting still for long - if you stand or sit still for a long time there is a much higher chance of swelling. Genes - researchers in Spain identified the genes that cause blindness produced by corneal edema. Oliguria is defined as a urine output that is less than 1 mL/kg/h in infants, less than 0.5 mL/kg/h in children, and less than 400 mL/d in adults. It is one of the clinical hallmarks of renal failure and has been used as a criterion for diagnosing and staging acute renal failure. At onset, oliguria is frequently acute. It is often the earliest sign of impaired renal function and poses a diagnostic and management challenge to the clinician. All cases of acute renal failure are not characterized by oliguria. For example, subjects with acute renal failure due to nephrotoxins, interstitial nephritis, or neonatal asphyxia are typically nonoliguric. In addition, the degree of oliguria depends on hydration and concomitant use of diuretics. In most clinical situations, acute oliguria is reversible and does not result in intrinsic renal failure. However, identification and timely treatment of reversible causes is crucial because the therapeutic window may be small. Pathophysiology Oliguria may result from 3 broad pathophysiologic processes: prerenal, intrinsic renal, and postrenal mechanisms. Prerenal insufficiency is a functional response of structurally normal kidneys to hypoperfusion. Globally, prerenal insufficiency accounts for approximately 70% of community-acquired cases of acute renal failure and as many as 60% of hospital-acquired cases. A decrease in circulatory volume evokes a systemic response aimed at normalizing intravascular volume at the expense of the glomerular filtration rate (GFR). Baroreceptor-mediated activation of the sympathetic nervous system and renin-angiotensin axis results in renal vasoconstriction and the resultant reduction in the GFR (see Media file 1). The early phase of renal compensation for reduced perfusion includes autoregulatory

maintenance of the GFR via afferent arteriolar dilatation (induced by myogenic responses, tubuloglomerular feedback, and prostaglandins) and via efferent arteriolar constriction (mediated by angiotensin II). These changes are shown in Media file 2. The early phase also includes enhanced tubular reabsorption of salt and water (stimulated by the renin-angiotensin-aldosterone system and sympathetic nervous system). Rapid reversibility of oliguria following timely reestablishment of renal perfusion is an important characteristic and is the usual scenario in prerenal insufficiency. For example, oliguria in infants and children is most often secondary to dehydration and reverses without renal injury if the dehydration is corrected. However, prolonged renal hypoperfusion can result in a deleterious shift from compensation to decompensation. This decompensation phase is characterized by excessive stimulation of the sympathetic and renin-angiotensin systems, with resultant profound renal vasoconstriction and ischemic renal injury. Iatrogenic interference with renal autoregulation by administration of vasoconstrictors (eg, cyclosporine, tacrolimus), inhibitors of prostaglandin synthesis (eg, nonsteroidal anti-inflammatory drugs), or ACE inhibitors can precipitate oliguric acute renal failure in individuals with reduced renal perfusion. Intrinsic renal failure is associated with structural renal damage. This includes acute tubular necrosis (from prolonged ischemia, drugs, or toxins), primary glomerular diseases, or vascular lesions. Advancements in the care of critically ill neonates, infants with congenital heart disease, and children who undergo bone marrow and solid organ transplantation have lead to a dramatic broadening of the epidemiology of pediatric acute renal failure. Although multicenter epidemiological data on pediatric acute renal failure are not available, single-center data and literature reviews from the 1980s and 1990s reported hemolytic uremic syndrome and other primary renal diseases as the most prevalent causes. More recent single-center data have detailed the underlying causes of pediatric acute renal failure in large cohorts of children. In a study of 226 children with acute renal failure, Bunchman et al reported that congenital heart disease, acute tubular necrosis, sepsis, and bone 1 marrow transplantation were the most common causes. Another retrospective review of 248 patients with a diagnosis of acute renal 2 failure upon discharge or death revealed acute tubular necrosis and nephrotoxins to be the most common causes of acute renal failure. Thus, the epidemiology of pediatric acute renal failure has evolved in developed countries from primary kidney diseases or prerenal failure to secondary effects of other systemic illnesses or their treatment. The pathophysiology of ischemic acute tubular necrosis is well studied. Ischemia leads to altered tubule cell metabolism (eg, depletion of ATP, release of reactive oxygen species) and cell death with resultant cell desquamation, cast formation, intratubular obstruction, backleak of tubular fluid, and oliguria (see Media file 3). In most clinical situations, the oliguria is reversible and associated with repair and regeneration of tubular epithelial cells. Postrenal failure is a consequence of mechanical or functional obstruction to the flow of urine. This form of oliguria and renal insufficiency usually responds to release of the obstruction. Renal failure is not always associated with oliguria. Renal failure that results from nephrotoxic injury, interstitial nephritis, and neonatal asphyxia is frequently of the nonoliguric type, is related to a less severe renal injury, and has a better prognosis. Pathophysiology [4] The pathophysiologic mechanisms causing oliguria can be categorized globally in three different categories : Prerenal: in response to hypoperfusion of the kidney (e.g. as a result of dehydration by poor oral intake, cardiogenic shock, diarrhea, massive bleeding or sepsis) Renal: due to kidney damage (severe hypoperfusion, rhabdomyolysis, medication) Postrenal: as a consequence of obstruction of the urine flow (e.g. enlarged prostate, tumour compression urinary outflow, expanding hematoma or fluid collection)

You might also like