You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Deskripsi Masalah

Visi Pembangunan Nasional yang tertuang dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah tahun 2004 – 2009 adalah: (1)

Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang aman,

bersatu, rukun dan damai; (2) Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan

Negara yang menjunjung tinggi hokum, kesetaraan, dan hak asasi

manusia, serta (3) Terwujudnya perekonomian yang mampu

menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta

memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang

berkelanjutan.

Selanjutnya berdasarkan visi pembangunan nasional tersebut

ditetapkan 3 (tiga) Misi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009,

yaitu (1) mewujudkan Indonesia yang aman dan damai (2)

mewujudkan Indonesia yang adil dan demokretis (3) mewujudkan

Indonesia yang sejahtera.

Sejarah pertanian Indonesia, dalam arti budidaya pertanian sebagai

tahapan lanjutdari meramu dan berburu, sudah dimulai jauh sebelum

penjajah datang. Sebagaimana dijelaskan Geertz, ada dua sistem

pertanian yang berkembang di Nusantara sebelum kolonialisme, yakni

sistem perladangan dan sistem persawahan. Ketika orang-orang

Portugis kemudian Belanda datang, sistem pertanian di Nusantara

telah relative terbentuk. Pusat persawahan ada di pedalaman Jawa,

1
sementara semakin ke barat, timur, dan utara semakin sedikit sawah.

Di wilayah luar Jawa ditandai dengan hutan tropis yang sangat luas

dan baru sedikit diusahakan oleh suku-suku yang hidup berladang.

Kehadiran Belanda ke Indonesia, khususnya Jawa, adalah untuk

memperoleh produk pertanian yang dapat dijual di pasaran Dunia.

Mereka membiarkan penduduk pribumi tetap melakukan usaha tani

tetapi sekaligus menghasilkan produk untuk pasaran dunia.

Terbentuklah struktur ekonomi dualistik, yang terdiri dari sektor ekspor

dan sektor domestik pribumi. Ciri kapitalisme administratif tampak

dalam sektor ekspor, di mana orang-orang Belanda sebagai

pemegang modal mengatur dan mendiktekan cara berbudi daya, upah

dan mengontrol output, serta harga penjualan. Sedangkan pada

sektor domestik pribumi dijumpai di pertanian unit keluarga, industri

rumah tangga kecil-kecilan, dan sedikit perdagangan yang berskala

kecil juga. Ketika harga produk perkebunan semakin menguat di

pasar dunia, maka sector pertanian pribumi semakin mengecil. Tanah

dan tenaga kerja tidak lagi dipergunakan untuk meningkatkan usaha

padi dan tanaman pangan lainnya untuk rakyat desa, tetapi didorong

untuk meningkatkan produksi tebu, nila, kopi, tembakau dan lainnya.

Penduduk desa yang semakin bertambah berusaha untuk tetap

bertahan hidup dengan cara meningkatkan produksi tanaman

subsisten di tanah yang semakin terbatas. Proses kemerosotan usaha

tani subsiten ini terus berlanjut pada periode tanam paksa hingga

Indonesia merdeka. Upaya meningkatkan akses rakyat terhadap

sumbersumber agraria melalui UUPA tahun 1960 merupakan cara

radikal dengan member peluang berkembangnya usaha tani skala

kecil milik rakyat. Tumbangnya Orde Lama merupakan titik balik

upaya radikal reforma agraria menjadi babak lanjutan masa kolonial


2
yang lebih dahsyat dalam proses peminggiran usaha tani rakyat.

Disahkan dan diterapkanya berbagai undang-undang seperti UU

Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan

semakin memerosotkan akses rakyat terhadap sumber-sumber

agraria yang menjadi alat produksi paling penting bagi usaha tani

tanaman pangan rakyat.

Berdasarkan hal terurai di atas dan dalam rangka kuliah kerja nyata

sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, Sekolah Tinggi

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia

( STKIP – PGRI) Sukabumi, penulis tertarik untuk menulis laporan

dengan tema: “Menemukan Kembali dan Memperkuat Sistem

Pangan Lokal”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan deskripsi masalah yang telah diuraikan di atas, maka

berikut ini penulis mengidentifikasi masalah yang ada di Desa

Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana upaya peningkatan pangan local daerah masyarakat

di desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi ?

2. Bagaimana kondisi pangan local di Desa Cikembar Kecamatan

Cikembar Kabupaten Sukabumi ?

3. Bagaimana kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pangan local

di Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi ?

3
4. Bagaimana dukungan pemabangunan bidang pangan local di

masyarakat Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten

Sukabumi ?

1.3 Pembatasan Masalah

Masalah yang ada dalam pembangunan khususnya bidang pangan

local di Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi

sangatlah kompleks, dengan tujuan untuk memfokuskan laporan

kegiatan ini, maka penulis membatasi masalah yang akan ditulis

dalam laporan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya peningkatan sumber pangan local di Desa

Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi ?

2. Faktor apa saja yang mendukung peningkatan pangan local

masyarakat di Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten

Sukabumi ?

3. Faktor apa saja yang menghambat peningkatan pangan local

masyarakat di Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten

Sukabumi ?

BAB II

TINJAUAN TEORI
4
Revolusi Hijau yang dilakukan tanpa melakukan reforma agraria oleh

pemerintah Orde Baru, berupaya merubah sistem pertanian rakyat dengan

melakukan “modernisasi” produksi dan distribusi secara sentralistis.

Meskipun berhasil meningkatkan produksi pangan (padi) pada lahan-lahan

pertanian secara nasional, namun belum mendorong sistem pangan lokal

menjadi kuat dan berkelanjutan.

Artinya, kebijakan itu bukan ditujukan untuk memperkuat sistem pangan lokal

yang telah berkembang sebelumnya misalnya dengan memperkuat akses

masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, teknologi lokal, sistem

kelembagaan pangan, system pengembangan infrastruktur yang berbasis

petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan

pangan seperti lumbung. Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat

bukannya semakin kuat tetapi justru semkin terpinggirkan oleh kebijakan

pangan Orde Baru yang sentralistik.

Bersamaan dengan itu pemerintah Orde Baru juga mengembangkan

kebijakan sentralisasi pengelolaan desa yang dilakukan dengan melakukan

pengaturanpengaturan berkaitan dengan kedudukan desa yang berarti

merampas otonomi desa.

2.1 Sistem Pangan dalam Kerangka Sustainable Livelihood

Masalah pangan dan pertanian disebabkan oleh berbagai aspek yang saling

terkait dan mempengaruhi. Penyebab kurang pangan disebabkan antara lain

karena penduduk tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi

pangan seperti tanah, air, input pertanian, modal, dan teknologi. Di negara-

negara sedang berkembang, penyebab utama rawan pangan adalah


5
lemahnya akses terhadap tanah untuk memproduksi pangan.2 Berbagai

kasus lain menunjukkan bahwa kurang pangan dan kemiskinan juga

disebabkan oleh kebijakan perdagangan internasional dan nasional serta

berbagai bencana alam dan sosial seperti kekeringan, banjir, perang, atau

krisis ekonomi.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami masalah pangan

dan kemiskinan secara menyeluruh dan terpadu adalah dengan

menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood yang dikembangkan

oleh DfID3 dan konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen4.

Seperti semua kerangka kerja lainnya, bentuk ini merupakan

penyederhanaan atas keragaman dan kekayaan mengenai penghidupan.

Dalam bentuk paling sederhana, kerangka kerja ini menggambarkan

manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset

dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai

masalah dan ancaman.

Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang

dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup

lainnya.

Chambers dan Conway mendefinisikan penghidupan berkelanjutan sebagai:

“suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset

(simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan

untuk sarana untuk hidup: suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika

dapat mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga

atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan

penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang ( Seeds of

Hope: Feeding the World Through Community-Based Food Systems,

6
Salzburg Seminar 398, © 2002, W.K. KELLOGG FOUNDATION

Departement for International Development (DfID), Sustaineble Livelihoods

Manual, 1999 Sen, Amartya, 1981, Poverty and Famines, An Essay on

Entitlement and Deprivation.) memberi sumbangan terhadap penghidupan-

penghidupan lain pada tingkat lokal dan global dalam jangka pendek

maupun jangka panjang.

2.2 Sumber kehidupan

Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial

yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu:

1. humane capital, yakni modal yang dimiliki berupa keterampilan,

pengetahuan,tenaga kerja, dan kesehatan;

2. social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti

jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan

berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk

berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi

dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang informal;

3. natural capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah,

hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi,

keanekaragaman hayati, dan lainnya;

4. physical capital adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana

komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses

terhadap komunikasi, dsbnya;

5. financial capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan

oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti

uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler.


7
Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan dalam

studi ini didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan.

Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia

adalah hak asasi. Dalam konsep entitlement ada beberapa cara manusia

dalam mengakses pangan yaitu:

1. direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui

hubungan hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan;

2. exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang

diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian;

3. trade entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui

hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri; dan

4. social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang

diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas

sosial.

Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah

sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh

tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial

yang lebih besar dalam menghadapi perubahan. Penyebab kerentanan

adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena alam,

ekonomi, konflik, dan lainnya).

Trend adalah perubahan yang masih dapat diamati seperti pertumbuhan

penduduk, perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan

perkembangan politik).

Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti,

seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim.

8
Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan system

penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan

seasonality). Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping

mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive

mechanism. Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka

pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement),

sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber

kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam

jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan.

Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan

sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin

keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih

tinggi.

Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat maupun unit sosial yang

lebih tinggi terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem

pangan sangat dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan

proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan SL menekankan

pemahaman akan keterkaitan antara persoalan mikro dan makro.

Kedaulatan Pangan sebagai Paradigma Baru untuk Mengatasi Kelaparan6

Persoalan kelaparan yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini juga tidak dapat

dilepaskan dari proses liberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi

perdagangan telah memungkinkan sejumlah kecil perusahaan multi nasional

dan negara-negara maju untuk memainkan peran yang dominan dalam

menentukan arah dan kebijakan pangan global. Organisasi Perdagangan

Dunia (WTO) yang semakin berkuasa dalam mengatur tidak hanya sistem

perdagangan, tetapi banyak aspek kehidupan manusia lainnya. Terkait

dengan pangan, liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang


9
multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO

mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”.

Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang

berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-

negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan

bahwa pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi

perdagangan.

Sebagaimana negara-negara sedang berkembang lainnya, saat ini Indonesia

trlsh terikat oleh kesepakatan pangan dan pertanian di tingkat internasional.

Kondisi ekonomi dan politik dalam negeri yang ada menyebabkan posisi

tawar Indonesia lemah terhadap pihak luar. Kuatnya tekanan dari luar dan

lemahnya posisi tawar Indonesia menyebabkan Indonesia menerapkan

kebijakan liberalisasi perdagangan pangan. Liberalisasi ini diwujudkan antara

lain dalam pencabutan subsidi untuk petani, privatisasi badan usaha logistik

dan penurunan tarif impor produk pangan. Kebijakan pangan nasional

dengan demikian tidak disusun secara komprehensif dalam suatu grand

strategy serta mengabaikan potensi dan kemampuan rakyat dalam

mengelola sistem pangan mereka secara mandiri. Selain itu, berbagai praktik

korupsi dan kekerasan pada tingkat nasional hingga lokal serta tidak adanya

perangkat hukum untuk melindungi hak-hak rakyat atas pangan juga

semakin memperlemah upaya untuk mengembangkan sistem pangan yang

berkelanjutan.

Di sisi lain, ada upaya internasional untuk mengatasi kelaparan seperti

tercermin dalam World Food Sumit tahun 1974 dan 1996. Para pemimpin

dunia yang Diambil dari kertas posisi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan

Pangan, 2003 hadir dalam WFS tahun 1996 (kembali) mendeklarasikan

10
bersama untuk “mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan

melanjutkan upaya untuk menghilangkan kelaparan di seluruh negara”.

Ketahanan pangan dalam hal ini diartikan sebagai kondisi tersedianya

pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup

sehat, aktif dan produktif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa situasi

pangan dunia lima tahun setelah Konferensi Pangan Dunia tahun 1996

terlihat tidak menunjukkan perkembangan sesuai yang diharapkan. Hal itu

dinyatakan oleh Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa, Kofi Annan dalam

Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Setelah Lima Tahun Kemudian di Roma,

10-13 Juni 2002. Lebih lajut dijelaskan bahwa pada tahun 2002, sebanyak

815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300

juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka bergulat melawan rasa lapar

dan menghadapi serangan berbagai penyakit akibat kurang gizi bahkan

ancaman kematian. Tiap hari kurang-lebih 24.000 orang meninggal karena

lapar atau hal-hal yang berkenaan dengan kelaparan. Tiga perempat jumlah

kematian itu adalah anakanak berumur dibawah lima tahun. Data-data FAO

kian mengejutkan karena satu dari tiap lima penduduk dunia menderita

kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami kelangkaan pangan,

yang tinggal selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan.7

Penyebab besarnya jumlah orang lapar di dunia dan juga penduduk miskin

ini dengan tegas disebutkan Diouf karena pasar global untuk komoditas

pertanian masih saja belum adil. Dari tahun 1999 sampai 2000, menurut

Diouf bantuan berkonsesi dari negara maju dan pinjaman dari lembaga

keuangan internasional turun 50 persen yang pertanian yang merupakan

gantungan hidup 70 persen masyarakat miskin dunia.

Oleh karena kurangnya komitmen tersebut, jumlah orang yang kekurangan

makan hanya berkurang enam juta orang per tahun dari target 22 juta orang
11
seperti yang dideklarasikan tahun 1996. Dengan kecepatan pengurangan

yang berjalan lambat itu, maka target 400 juta orang miskin dan lapar bisa

diperbaiki kesejahteraannya, baru akan tercapai 45 tahun lagi.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa upaya internasional dan nasional

untuk mengatasi kelaparan dengan konsep ketahanan pangan berbasis

liberalisasi perdagangan tidak akan pernah mampu mengatasi akar masalah

kelaparan. Oleh karenanya harus ada perubahan mendasar terhadap

kebijakan dan strategi yang dikembangkan selama ini. Konsep atau

paradigma baru yang dibutuhkan, menempatkan hak rakyat atas pangan

yang berperspektif gender. Konsep ini memungkinkan petani perempuan dan

laik-laki berperan aktif dan produktif dalam menciptakan sistem pertanian

berkelanjutan berdasarkan pada sumberdaya dan kearifan lokal tanpa

diskriminasi, diatas kepentingan perdagangan.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan

Pangan, mengusulkan konsep Kedaulatan Pangan yang sesuai dengan

situasi ekologis, sosial, dan budaya rakyat Indonesia. Konsep ini menjadi

payung untuk menyusun aksi dan strategi berbasis gerakan rakyat yang

diperlukan untuk mengakhiri kelaparan.

Kedaulatan pangan menurut kami adalah hak setiap orang, kelompok

masyarakat dan menghapus Kemiskinan adalahmMelawan Ketidakadilan

dan Ketahanan Pangan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai

sumberdaya produktif serta dalam menentukan sendiri kebijakan produksi,

distribusi dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologs, sosial,

ekonomi dan budaya khas masing-masing.

Konsep ini berbeda dengan konsep ketahanan pangan yang tidak

mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak rakyat atas

12
sumberdaya produktif. Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat tidak

terbatas pada akses untuk memperoleh pangan tetapi juga hak untuk

memproduksi dan mendistribusikan pangan.

Agar kedaulatan rakyat atas pangan dapat terwujud, maka harus dilakukan

reformasi kebijakan global yang menjamin hak asasi atas pangan kepada

seluruh manusia. Reformasi ini juga mencakup perwujudan perdagangan

yang adil dan prorakyat serta menghentikan kebijakan dumping untuk

menghindari penguasaan pangan satu negara atas negara yang lain.

Kebijakan global harus memberikan proteksi terhadap pasar lokal dan

melindungi kedaulatan semua orang, komunitas dan Negara untuk

menentukan sistem produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sendiri

yang sesuai dengan karakter ekonomi, sosial, budaya dan ekologi masing-

masing.

Pada tingkat nasional dan lokal, diperlukan sebuah kebijakan untuk

melindungi pangan domestik dari tekanan liberalisasi perdagangan.

Pelibatan dan partisipasi rakyat dalam penentuan kebijakan pangan nasional

merupakan prasyarat penting untuk mewujudkannya. Pemerintah pada

tingkat pusat dan daerah harus membuka peluang bagi komunitas lokal,

desa dan kabupaten untuk merancang dan mengembangkan sistem

pangannya sendiri yang sesuai dengan karakter ekonomi, sosial dan budaya

lokal. Pembangunan pangan harus diarahkan pada pembangunan pedesaan

yang komprehensif berbasis pada pertanian berkelanjutan sesuai dengan

budaya dan kearifan lokal.

Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia,

maka untuk untuk mewujudkannya diperlukan keterlibatan rakyat dalam

penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi

pangan. Kedaulatan pangan dengan demikian merupakan sesuatu yang


13
patut diperjuangkan melalui gerakan rakyat. Gerakan rakyat untuk

kedaulatan pangan dapat terjadi jika ada organisasi yang kuat dari berbagai

elemen rakyat – baik perempuan maupun laki-laki - seperti petani,

masyarakat adat, buruh, nelayan, dan masyarakat miskin kota

Berbagai komponen rakyat ini secara sadar dan bahu-membahu

membangun solidaritas dan kerjasama memperjuangkan terwujudnya

kedaulatan pangan bagi setiap orang, komunitas maupun negara.

2.3 Sistem Pangan Desa

Gagalnya sistem pangan nasional (swasembada pangan nasional) dan

system pangan global (liberarlisasi perdagangan dunia) tidak dapat

menjamin terpenuhinya hak rakyat atas pangan secara berkelanjutan.

Kesadaran ini kemudian mendorong beberapa kalangan untuk menengok

kembali system pangan lokal yang telah berkembang jauh sebelumnya dan

menjadi fondasi sistem pangan rakyat.

Sejarah pertanian Indonesia sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang.

Sistem pertanian ladang dan sawah tersebut menjadi andalan rakyat untuk

memenuhi kebutuhan pangan ini, meskipun ditelantarkan oleh hampir semua

penguasa di Indonesia namun demikian masih terus bertahan sebagai upaya

untuk mempertahankan hidup. Ratusan ribu komunitas yang tersebar di

seluruh pelosok Nusantara memiliki sistem pangannya masing-masing yang

khas serta jenis tanaman pangan yang beragam yang dibudidayakan di

ladang maupun di sawah.

Setiap komunitas yang telah bertani menetap, mengembangkan sendiri

sistem pengelolaan sumber-sumber agraria, inovasi dalam pembenihan dan

14
teknik bercocok tanam, pengembangan infrastruktur, penyimpanan, distribusi

atau perdagangan, maupun dalam mengolah pangannya.

Komunitas-komunitas di Indonesia telah mengembangkan berbagai

makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela pohon, dan ubi jalar. Berbagai

jenis tanaman itu tumbuh dan tersedia sepanjang tahun di berbagai keadaan

lahan dan musim. Sejak dulu secara turun-temurun masyarakat desa

terbiasa memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam itu sebagai

basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok seharihari maupun sebagai

camilan. Keragaman pangan juga mengandung keragaman nutrisi, bahkan

diantara tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan local inilah

yang menjadi andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan

mengatasi ancaman dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.

Sebagai contoh kita dapat melihat apa yang dilakukan masyarakat desa di

pekarangan yang sejak revolusi hijau cenderung dirterlatarkan. Dari hasil

penelitiannya di Kutowinangun, Jawa Tengah, Ochse dan Terra (1973)

menunjukkan bahwa 20% dari jumlah pendapatan penduduk berasal dari

pekarangan, tetapi pekarangan ini hanya memerlukan 2% dari jumlah biaya

dan 7% dari jumlah tenaga kerja. Menurut Mc. Comb, seperti dikutip oleh

Ramsay dan Wiersum (1974), hasil pendapatan dari tanah usahatani yang

rata-rata 1,68 ha itu, 28% berasal dari pekarangan, 26% dari ladang, dan

46% dari sawah. Stoler (1975) juga melaporkan bahwa desa-desa sebelah

selatan Jawa Tengah, pekarangan yang ditanami saja sudah merupakan

sumber penghasilan terbesar bagi penduduk yang hanya memiliki tanah

sempit.

Sedangkan bagi mereka yang mempunyai tanah luas, penghasilan

utamanya berasal dari sawah. Penelitian Soemarwoto, di Kecamatan

Cinangka dan Padarincang Jawa Barat, pekarangan ditumbuhi oleh 179


15
jenis tanaman yang mencakup tanaman tahunan dan tanaman setahun,

yang ukurannya bermacam-macam, dari yang menjalar di tanah hingga

pohon yang tingginya sekitar 25 meter. Selain itu, di dua kecamatan tersebut

terdapat 62 jenis gulma. Selanjutnya, diketahui pula bahwa dari ke-62 jenis

tersebut, 18 jenis digunakan untuk ramuan jamu obat, satu jenis untuk atap

dan makanan ternak, empat jenis sebagai sayuran, dan hampir semua jenis

rumput-rumputan untuk makanan ternak.

Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang

sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas.

“communitybased food systems memiliki peran penting dalam menjamin

pemenuhan kebutuhan pangan. Community-based food system menawarkan

kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan

pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untuk memproduksi, dan

secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin

ketahanan pangan mereka pada masa mendatang.

Saat ini, peluang untuk pengembangan sistem pangan lokal mendapatkan

momen yang tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir

sejak tahun 1999.

Kebijakan ini memberi harapan terhadap perubahan paradigma

pembangunan yang sentralistis menjadi desentralistis dan demokratis.

Wacana ini juga mencakup Otonomi Desa Murni, dimana pemerintahan desa

akan memainkan peran utama dalam proses pembangunan. Undang

Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 menjelaskan bahwa desa tidak hanya

penyelenggara administrasi negara di bawah kabupaten tetapi menjadi

komunitas yang mandiri. Pemerintah pusat dan daerah tidak lagi akan

campur tangan secara langsung, tetapi hanya sebagai fasilitator. UU itu

mengakui bahwa otonomi adalah hak yang lahir dan tumbuh berkembang
16
dari dalam masyarakat desa sendiri. Melalui otonomi desa, pemerintah pusat

akan mengembalikan hak yang di masa lampau dirampas oleh pemerintah di

atasnya.

Otonomi desa dapat diartikan sebagai otonomi suatu kesatuan masyarakat

yang mempunyai wilayah sendiri yang berkembang menjadi satu kesatuan

hukum dimana kepentingan bersama penduduk dilindungi dan

dikembangkan menurut hukum adat dengan pemerintahan sendiri. Ciri dari

masyarakat hukum adat atau desa yang otonom adalah berhak mengatur

dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak

mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak

mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas berbagai

sumberdaya mereka sendiri. Dengan demikian desa secara alami telah

memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk

sehingga otonomi desa bukan pemberian pihak lain.

Hal penting yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan

dalam mengelola berbagai sumberdaya desa agar dapat memenuhi

kebutuhan, memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhan lainnya.

Mengacu pada konsep sustainable livelihood, sumberdaya atau aset desa

meliputi: sumberdaya alam (lahan pertanian, sungai, dan hutan),

sumberdaya manusia (tenaga kerja, pengetahuan, keterampilan, dsb), sosial

(organisasi, peraturan, jaringan, dsb), infrastruktur (jalan, saluran irigasi,

pasar, dsb), keuangan (sumber dana, sistem pasar, dsb). Sumberdaya desa

yang beranakaragam merupakan aset masyarakat desa yang dapat dikelola

untuk memenuhi kebutuhan pangan, pendapatan dan lainnya. Di antara

berbagai aset desa, aset sosial merupakan aset paling penting bagi

berkembangnya otonomi desa. Pemerintahan desa-desa tradisional

membuktikan bahwa dengan menempatkan kerja gotong royong dan

17
penggalangan dana swadaya, otonomi desa dapat dikembangkan. Prinsip

utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan

sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa,

dalam satu kesatuan wilayah desa. Peran berbagai organisasi desa seperti

Badan Perwakilan Desa, Kelompok Petani, Kelompok Perempuan,

Organisasi kampung, kelompok simpan pinjam, para pedagang dan

sebagainya dalam proses pengambilan keputusan smerupakan prasarat

penting. Pilihan tersebut di ambil untuk menciptakan ruang bagi peran

masyarakat dalam proses pembangunan.

2. 4 Prinsip dan Strategi Implementasi Sistem Pangan Desa

Mengingat penduduk yang kurang pangan dan miskin tinggal di

wilayahwilayah pedesaan ataui kawasan marginal, maka pilihan terbaiknya

adalah peningkatan akses petani kecil terhadap sumberdaya produktif untuk

meningkatkan produksi. Pertanian merupakan penyedia lapangan kerja,

pengan dan pendapatan bagi penduduk pedesaan. Oleh karenanya sistem

pangan lokal difokuskan untuk:

1. mengutamakan produksi pertanian desa untuk kebutuhan pangan

penduduk desa bersangkutan, dan

2. memanfaatkan pertanian sebagai generator pengembangan ekonomi

masyarakat.

Sistem pangan lokal berarti pemberian jaminan dan kewenangan dalam

pengambilan keputusan pada tingkat lokal yang melibatkan kelompok-

kelompok yang terpinggirkan seperti petani dan masyarakat adat serta

kelompok perempuan. Sistem ini harus dilakukan melalui penataan

penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber produktif seperti tanah, air,


18
benih, teknologi, input, permodalan, kelembagaan agar lebih adil, produktif

dan berkelanjutan. Hal yang penting juga adalah dukungan terhadap hak

petani kecil dan masyarakat adat untuk melanjutkan dan mengembangkan

sistem pertanian berkelanjutan mereka, praktek-praktek pengelolaan

lingkungan, dan mata pencaharian mereka. Hal itu juga menyangkut praktek

penyimpanan, pengembangan dan pertukaran benih tanaman pangan dan

obatobatan. Lebih lanjut, sistem pangan lokal juga berarti pemberian

wewenang kepada komunitas untuk melindungi, mengkonservasi dan

menanfaatkan kawasan pertanian dan lingkungan lainnya untuk menjamin

pemenuhan kebutuhan pangan dan pendapatan mereka. Lokalisasi pangan

juga mencakup perubahan dari ketergantungan terhadap input eksternal dan

sistem budidaya monokultur menjadi kemandirian dalam pemenuhan

kebutuhan input dan keanekaragan tanaman pangan yang dibudidayakan.

Membangun sistem pangan lokal juga berarti memperkuat basis bagi

terwujudnya kedaulatan pangan pada tingkat daerah dan nasional.

Kedaulatan pangan komunitas lokal ini juga memberikan kebebasan kepada

komunitas untuk menentukan sendiri skenario pangan kampung atau

desanya sendiri atau tingkat yang lebih tinggi. Dalam skenario pangan

kampung atau desa ini, mereka dapat menentukan jenis dan jumlah pangan

yang akan dioproduksi dan dikonsumsi serta diperdagangkan. Hal ini

merupakan salah satu jawaban terhadap persoalan harga yang terjangkau

bagi konsumen dan harga yang adil bagi petani, karena merupakan satu

kesatuan yang menjadi kebijakan bersama tingkat lokal.

Sistem ini juga berarti mengurangi biaya transportasi serta penghematan

energi dan pengurangan pencemaran. Sistem pangan lokal dengan juga

akan mendorong pengembangan perekonomian rakyat untuk mendukung

19
kemandirian, produksi berbasis komunitas, inovasi rakyat, keberlanjutan

lingkungan, dan pola hubungan yang saling menguntungkan.

Prinsip Kedaulatan pangan desa berarti menjunjung tinggi hak setiap warga

dan masyarakat desa sebagai satu kesatuan untuk memproduksi,

mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan, di atas semua

kepentingan lain, termasuk perdagangan.

Dengan demikian, prinsip sistem pangan desa meliputi:

1. Rakyat desa berdaulat untuk menentukan kebijakan dan strategi

produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sendiri, terutama dalam

memprioritaskan peningkatan produksi anekaragam pangan untuk

pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri.

2. Keluarga miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat

prioritas untuk mengakses berbagai sumber produktif terutama tanah,

air, hutan, daerah perikanan, teknologi, benih dan permodalan.

3. Menempatkan perempuan dalam posisi dan peran setara sebagai

bentuk penghormatan terhadap persamaan hak dalam pengambilan

keputusan menyangkut produksi pangan dan akses yang seimbang

dalam pemenuhan kebutuhan pangan, serta dalam mengontrol

sumber-sumber daya produktif.

4. Meningkatkan jenis dan jumlah produksi pangan untuk memenuhi

kebutuhan pangan masyarakat desa dan masyarakat desa sekitarnya

sehingga memenuhi kebutuhan pangan yang beragam dalam jumlah

yang cukup bagi seluruh warga desa.

5. Menghormati dan memperkuat kearifan tradisional serta pengetahuan

local dalam memproduksi pertanian pangan lokal sebagai landasan

sistem produksi pangan berkelanjutan.

20
6. Pengakuan dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam

memilih dan mengkonsumsi pangan serta hak untuk menentukan

sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup, bergizi, dan

aman.

7. Setiap desa memiliki hak untuk melindungi pasar lokalnya dengan

menetapkan aturan pangan dari luar yang masuk sehingga dapat

melindungi produksi pangan desa serta menjamin sistem

perdagangan yang adil.

8. Mekanisme pengambilan keputusan partisipatif dan demokrasi sejati

dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, daerah,

nasional dan internasional.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 ANALISIS POTENSI MASYARAKAT

Berdasarkan data yang ada, berikut penulis sajikan table data

pangan local berdasarkan mata pecahariandi Desa Cikembar

Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi:

Tabel 1

Data mata pencaharian

Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi


No Jenis Jumlah Pdt Pajak Pajak ke

kotor ke daerah

pusat
(juta) (%)
21
(%)
1 Bertani 500 160 60 40
2 Wiraswasta 100 130 70 30
3 PNS,ABRI,lain- 50 110 60 40

lain

Sumber : Profil Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten

Sukabumi

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa perbandingan pajak ke

pusat dan pajak ke daerah untuk : bertani 6 : 4, untuk wiraswasta

7 : 3, dan untuk PNS, ABRI 6 : 4

Dari paparan data dalam bentuk table 1 untuk memperjelas

analisis, penulis sajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut :

Grafik 1

Data Mata pencaharian

Desa Cikembar Kecamatan Cikembar

80
70
60
50
pjkpusat
40
pjkdaerah
30
20
10
0
Bertani Wiraswasta PNSdan
lainya

3.2 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

22
Berdasarkan hasil analisis maka untuk menjawab masalah yang

teridentifikasi, maka ditetapkan alternative sasaran pembangunan di

bidang pangan lokal sebagai berikut:

1. Berkurangnya angka setoran pajak dari daerah ke pusat;

2. Terdapat kenaikan angka pajak setorabn dari setiap item;

Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan untuk

mencapai sasaran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas pertanian

2. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pertanian

3. Pengembangan system jaminan pertanian terutama bagi

penduduk miskin

4. Peningkatan sosialisasi pertanian

5. Peningkatan pendidikan pertanian pada masyarakat sejak usia

dini

6. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas pertanian .

3.3 PEMILIHAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Sebagai langkah alternative dalam pemecahan masalah pembangunan di

bidang kesehatan di Desa Cikembar Kecamatan Cikembar Kabupaten

Sukabumi maka penulis sajikan beberapa alternative pemecahan masalah

yaitu:

1. Program lingkungan pertanian ;

2. Program upaya pertanian masyarakat;

3. Program pencegahan dan pemberantasan penyelewengan pertanian ;

4. Program perbaikan pertanian masyarakat;

5. Program sumber daya pertanian ;

23
6. Program pengawasan pertanian ;

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 KESIMPULAN

1. Pengorganisasian rakyat

Penguatan kapasitas dan solidaritas seluruh warga desa yang mencakup

antara lain kelompok miskin dan rawan pangan, kelompok petani,

perempuan, buruh, Badan Perwakilan Desa, Pemerintah Desa, dan warga

desa lainnya untuk membuat kebijakan dan strategi pangan desa.

2. Menata ulang pengelolaan sumber-sumber agraria

Memetakan dan menata ulang sistem pengelolaan sumber agraria desa

seperti tanah, air dan hutan sebagai aset desa serta meningkatkan akses

seluruh masyarakat desa; khususnya bagi keluarga-keluarga miskin dan

rawan pangan.

3. Pengembangan sistem pertanian berkelanjutan

Memperkuat pengetahuan dan praktek pertanian lokal (desa) agar

24
berkembang secara berkelanjutan dengan aneka tanaman pangan lokal

serta pengembangan input internal untuk mengurangi ketergantungan

terhadap input eksternal.

4. Pengembangan sistem keuangan desa

Memperkuat keuangan atau permodalan desa sebagai sumber

pembiayaan pengembangan sistem pangan desa baik dari masyarakat

desa sendiri maupun dengan meningkatkan akses terhadap sumber dana

dari luar.

5. Pengembangan infrastruktur

Meningkatkan keswadayaan dan gotong royong warga desa dalam

mengembangkan dan memelihara infrastruktur yang mendukung system

pangan desa seperti irigasi, jalan, bangunan lumbung, pasar desa, dan

sebagainya.

6. Pengembangan sistem cadangan pangan desa

Mengembangkan sistem cadangan pangan yang dapat menjamin

terpenuhinya pangan seluruh warga desa dalam jumlah yang cukup dan

sepanjang waktu, terutama untuk mengantisipasi musim paceklik atau

benvana alam lainnya baik melalui lumbung pangan maupun pebudidayaan

tanaman cadangan pangan.

7. Menjamin hak atas pangan bagi warga rawan pangan

Mengembangkan sistem jaminan pangan bagi warga desa yang rawan

pangan seperti keluarga miskin, manula, yatim piatu, orang cacat dan

lainnya agar dapat memperoleh pangan dalam cukup, bergizi, dan aman

25
sepanjang waktu.

8. Mendorong pasar pangan lokal

Memprioritaskan pemasaran produksi pangan desa untuk pemenuhan

kebutuhan pangan desanya sendiri dan warga di sekitar desa melalui

pengembangan pemasaran lokal baik secara kolektif maupun dengan

melibatkan pedagang desa serta kemungkinan untuk menerapkan

kebijakan kuota dan pajak untuk melindungi dan mendukung usaha tani

desa. Pengalaman The International Center for Tropical Agriculture

(CIAT)12 di Kolumbia, Amerika selatan adalah mendampingi komunitas dan

membantu petani lokal meningkatkan produksi pangan dengan

memberdayakan mereka melalui riset dan menentukan sendiri teknologi

dan praktek pertanian baru. Langkah pertama dilakukan dengan

membentuk komite penelitian pertanian lokal yang disebut Comité de

Investigación Agrícola Local (CIAL). Anggota CIAL dipilih oleh masyarakat

untuk memfasilitasi dan mengelola proses ujicoba yang diprioritaskan oleh

masyarakat. Riset CIAL biasanya dimulai dengan masalah yang

menyangkut deficit pangan di tingkat komunitas mereka. Proses riset dan

pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan pendekatan

Farmer Participatory Research (FPR) dan melibatkan seluruh anggota

masyarakat. Hal ini untuk menjamin bahwa masukan telah diperoleh dari

seluruh anggota masyarakat, termasuk kaum perempuan dan kaum miskin.

CIAL kemudian melakukan penelitian dan melaporkan kembali kepada

masyarakat. Konsep yang digunakan CIAL berkembang cepat di America

Latin sejak dimulai tahun 1990 dengan lima CIAL. Tahun 2001, telah

berkembang lebih dari 250 CIAL di in delapan negara Amerika Latin.

Banyak dari CIAL ini kemudian memprioritaskan untuk mencari dan

mengujicoba varietas tanaman yang lebih baik. Pada tahap berikutnya


26
CIAL mulai melakukan penelitian persoalan yang lebih kompleks seperti

pengelolaan hama terpadu, pengelolaan tanah tanah dan air, dan produksi

ternak skala kecil.

4.2 SARAN-SRAN

Saran-saran kepada pemerintah

Pada kenyataannya program-program penguatan pangan sering terpisah

dari program pemerintah lainnya. Sudah waktunya penguatan pangan

ditempatkan pada struktur pemerintahan secara utuh. Pencegahan dan

promosi penguatan pangan harus terintegrasi dengan promosi program yang

lain pada umumnya.

Saran kepada para

praktisi

Mengingat luasnya dampak penguatan pangan terhadap kualitas hidup,

disarankan agar para praktisi penguatan pangan menyosialisasikannya pada

kelompok profesi lainnya agar ikut berperan meningkatkan kualitas hidup

melalui tindakan pencegahan dan memotivasi masyarakat melakukan

pemeliharaan penguatan pangan secara teratur sebagai kontribusi nyata

profesi ini bagi masyarakat Indonesia.

27
DAFTAR PUSTAKA

11. Malvin E. Ring. Dentistry and Illustrated History. Princeton. The C.V.
Mosby Company. 1985: 1-18.
22. Newbrun E. Cariology. 2nd . Baltimore. Williams & Wilkins. 1983. hal. 1-3,
17-19, 86-88.
33. Greene J.C. General Principles of Epidemiology and Methods for
Measuring of Periodontal Disease dalam Genco R.J. Goldman H.M. Cohen
D.W. Contemporary Periodontics. Baltimore. The C.V. Mosby Company.
1990: 101-2
44. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001:
Studi Morbiditas dan Disabilitas. Dalam SURKESNAS. Jakarta. 2002: 16.
55. Hunter J.M. Arbona SI. The Tooh as a Marker of Developing World
Quality of Life: A Field Study in Guatemala. Soc. Sci. Med. 1995; 41(9):1217-
40.
66. World Health Organization. Oral Health Unit. Oral Disease: Prevention is
Better than Cure. World Health Day. Switzerland. Dalam Kumpulan Makalah
Seminar Sehari dalam Rangka Hari Kesehatan Nasional. Jakarta. 1997.
77. Samuel S. Bender IB.The Dental Pulp Biologic Considerations in Dental
Procedures. 3rd ed. Philadelphia. J.B. Lippincott. 1984: 173-177.
88. Carranza F.A. Newman M.G. Takei H.H. Clinical Periodontology. 9th ed.
Philadelphia. J.B. W.B. Saunders Company. 2002.
99. Axelsson P. Sweden K. Diagnosis and Risk Prediction of Dental Caries.
Vol.2 Chicago. Quintessence Publishing Co. Inc. 2000: 1,2,17.
1010. Nield J.S. Wilmann D.E. Foundation of Periodontics for Dental
Hygienist. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkin. 2003: 54-60.
111. Bowling A. Measuring Helath A Review of Life Assesment: evelopment
and General Psychometric Properties. Soc. Sci. Med. 1998; 46(12):1569-85.
212. Helen C.G. Kathryn A. Atchison and Michell D. Conceptualizing Oral
Health and Oral Health Related Quality of Life. Soc. Sci. Med. 1997;
44(5):601-608.
313. Ebrahim S. Clinical and Public Health Perspectives and Application of
Health Related Quality of Life Measurement. Soc. Sci. Med.
1995;41(10):1383-94.
414. Bowling A. What Things are Important in People’s Life? A Survey of the
Public Judgement to Informs Scales of Health Related Quality of Life. Soc.
Sci. Med. 1995; 10: 1447-1462.
515. Sampoerna D. Membina Kesehatan Bangsa Paradigma Pembangunan
Kesehatan Menjawab Tantangan PJP II. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta. FKM UI. 1994: 5-6,38 .
616. Locker D. Health Outcomes of Oral Disorders. Int. J. Epidemiol. 1995;
24 Suppl 1: S85-9.

28
717. Slade G.D. Strauss R.P. Atchison K.A. Kressin N.R. Locker D. Reisine
S.T. Conference Summary: Assesing of Oral Health Outcomes-Measuring
Health Status and Quality of Life. Community Dent Health. 1988; 15(1): 3-7.
818. Locker D. Slade G. Oral Health and The Quality of Life Among Older
Adults: The Oral Impact Profile. J. Can Dent Assoc. 1993;59(10):830-3, 837-
8,84.
919. Slade G.D. Spencer A.J. Development and Evaluation of The Oral
Health Impact Profile. Community Dental Health. 1994; 11:3-11.
1020. Gilbert G.H. Duncan R.P. Dolan T.A. Vogel W.B. Oral Disadvantage
Among Dentate Adults. Community Dent Oral Epidemiol. 1997; 25:301-13.
1121. Nurmala Situmorang. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal
Terhadap Kualitas Hidup. Majalah Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Airlangga. Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional IV, 2005. ISSN
0852-9027. Hal. 359-364.
122. Nurmala Situmorang. Perilaku Pencarian Pengobatan dan
Pemeliharaan Kesehatan Gigi Pengunjung Poliklinik Gigi Puskesmas di Dua
Kecamatan Kota Medan. Dentika Dental Journal Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara. Vol. 10. No. 1. Juli 2005.
223. Nurmala Situmorang. Persepsi Ibu-Ibu Rumah Tangga Mengenai
Penyakit Karies Gigi dan Hubungannya Dengan Perilaku Pencarian
Pengobatan Profesional. Majalah Kumpulan Makalah Ilmiah KPPIKG X/1994
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. ISBN: 978- 8182-04.9.
324. Nurmala Situmorang. Periodontal Conditions and Oral Health Behavior
in 15-65-YR-Old In Medan Municipality. The International Journal of Oral
Health (abs). Vol.1.December 2004: 1-58 .
425. Esther Rotiur Hutagalung. Laporan Penelitian Kepuasan Pasien
Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Poliklinik Gigi Puskesmas
Teladan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
2005.
526. Soekidjo Notoatmodjo. Pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.2003:24-28.

29
LAMPIRAN – LAMPIRAN

1. Surat keterangan KKN

2. Biodata peserta KKN

3. Buku tamu KKN

4. Daftar hadir peserta KKN per hari

5. Daftar hadir peserta KKN selama KKN

6. Buku tamu anting

7. Peta wilayah Desa Cikembar

8. Peta pemerintahan Desa Cikembar

9. Peta lokasi sarana pendidikan

10. Peta lokasi sarana kesehatan

11. Peta lokasi pusat ekonomi

12. Peta lokasi kecamatan cikembar

13. Contoh undangan rapat untuk warga desa

14. Surat keterangan desa

15. Dokumentasi foto-foto kegiatan

30

You might also like