You are on page 1of 7

Berimam kepada yang Masbuq, bolehkah?

Tuesday, January 1st 2013. | Artikel

Assalamualaikum ustadz Saya mau menanyakan tentang bagaimana hukum menjadikan seorang masbuk dalam sholat berjamaah sebagai imam, apakah memang tidak ada hadisnya lalu bagaimana jika masbuk yang dijadikan imam tersebut tidak menguatkan takbirnya (karena beranggapan tidak ada hadis yang membolehkan itu) dan kita mengikutinya hanya dengan mengetahui gerakannya saja. syukron jazakallah atas jawabannya ustadz. Jawaban: Wa Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ala Rasulillah wa Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah Bad: Masalah ini cukup sering ditanyakan dan cukup membingungkan sebagian penanya. Bolehkah hal ini ataukah justru bidah? Dalam hal ini kami membagi menjadi dua model, yakni: 1. Jamaah shalat sudah selesai Kasus ini terjadi jika seseorang mendatangi masjid, dan dia dapatkan jamaah sudah selesai shalat berjamaah. Lalu, dia shalat sendiri sendiri (munfarid) ., tidak lama kemudian datang orang lain yang juga ingin shalat bersamanya. Maka, yang seperti ini shalat berjamaah di kloter kedua di masjid yang sama- ada dua pendapat, antara yang membolehkan seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ishaq bin Rahawaih, Imam Asy Syaukani, dan lainnya. Ada pula yang memakruhkan seperti Imam Asy SyafiI, Imam Sufyan Ats Tsauri, dll. Untuk rinciannya silahkan di buka:

http://www.ustadzfarid.com/2011/06/hukum-shalat-berjamaah-kloter-kedua-di.html 2. Seorang mengalami masbuq tapi masih sempat ikut berjamaah walau pun satu rakaat. Pada kasus ini, baik dia dijadikan imam oleh jamaah di sampingnya yang sama-sama masbuq dengan cara mundurnya jamaah tersebut. Sederhananya, masbuq menjadi imam bagi masbuq juga. Atau ada orang lain yang baru datang ke masjid, lalu orang tersebut menjadi makmum bagi orang yang masbuq. Nah, ini pun juga terjadi perbedaan pendapat di antara imam kaum muslimin. Sebagian ulama melarangnya karena tidak ada dalil khusus yang menunjukkan. Justru yang ada adalah sebaliknya, hendaknya mereka semua menyelesaikan shalat masing-masing saja. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bagi orang yang masbuq. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Jika sudah iqamat untuk shalat, maka janganlah mendatanginya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan, hendaknya kalian bersikap tenang. Apa yang kamu dapatkan dari shalat, maka lakukanlah seperti itu, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah kekurangannya. (HR. Bukhari No. 908, Muslim (151) (602) ) Dalam riwayat lain, juga dari Abu Qatadah:

Ketika mau duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau mendengar kegaduhan, lalu bersabda: Apa yang terjadi pada kalian? Mereka menjawab: Kami terburu-buru untuk mengerjakan shalat. Beliau bersabda: Jangan kalian lakukan itu, jika kalian mendatangi shalat maka wajib bagi kalian untuk tenang, apa saja yang kalian dapati dari shalat maka ikuitilah, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah. (HR. Bukhari No. 635, Muslim (155) (603) ) Jika memang benar dibolehkan seorang masbuq berimam kepada masbuq lainnya, tentu hal itu tidak akan luput dari petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan dia tidak akan melupakan itu untuk umatnya, apalagi ini adalah masalah sangat penting; shalat. Namun, yang ada adalah Beliau memerintahkan kita untuk menyempurnakannya sendirisendiri. Kaidah dalam hal ini adalah:

Maka, dasar dari semua ibadah adalah batal (tidak ada) sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya. (Imam Ibnul Qayyim, Ilamul Muwaqiin, Hal. 344. 1968M 1388H. Maktabah Al Kuliyat Al Azhariyah, Kairo Mesir)

Kenapa demikian? Berkata Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah: .

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala tidaklah disembah kecuali dengan cara-cara yang Dia syariatkan melalui lisan rasul-rasulnya. Karena, ibadah adalah hakNya atas hamba-hambanya. (Ibid) Guru beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga mengatakan:

Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadiah) . (Majmu Fatawa, 1/80. Cet. 3, 2005M-1426H. Darul Wafa) Pihak yang melarang adalah kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, berikut ini keterangan Syaikh Athiyah Saqr Rahimahullah: . : : .

Ada pun Hanafiyah, mereka mengatakan tidak sah mengikuti orang yang masbuq setelah berdiri untuk menyempurnakan shalatnya. Kalangan Malikiyah mengikuti pendapat mereka atas hal itu, apabila makmum masbuq yang dijadikan imam itu sempat mendapatkan satu rakaat bersama imam, tetapi kalau ia tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam, kita boleh bermakmum kepadanya. (Fatawa Al Azhar, 8/487) Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah juga lebih mengutamakan bahwa sebaiknya makmum masbuq tersebut menyempurnakan shalatnya masing-masing, toh keutamaan dan pahala berjamaah sudah mereka dapatkan selama mereka telah mendapatkan satu rakaat saja dari shalat jamaah yang mereka ikuti. Beliau berkata: .

Jika imam salam dari shalatnya, dan salah satu masbuq menyempurnakan sisa shalatnya bersama orang yang sepertinya setelah salam, maka dalam masalah ini ada dua pendapat di antara ulama. Mayoritas ahli fiqih mengatakan hal itu terlarang. Maka, yang lebih utama bagi setiap orang yang masbuq adalah hendaknya menyempurnakan shalatnya setelah salamnya imam, tidak usah lagi mengangkat yang lainnya menjadi imam, karena setiap mereka sudah mendapatkan keutamaan jamaah ketika telah mendapatkan satu rakaat atau lebih. Wallahu Alam (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No. 5494) Sementara itu, ulama lain membolehkan seorang masbuq berimam kepada sesama masbuq. Dasar mereka adalah orang yang shalat sendiri (munfarid) BOLEH diangkat menjadi imam

berdasarkan banyak riwayat shahih, maka seorang masbuq yang sudah berpisah dari jamaah sehingga dia menjadi shalat munfarid, boleh saja dijadikan imam oleh masbuq lainnya. Dalilnya sebagai berikut: Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: (Bittu) Aku mabit di rumah bibiku Maimunah binti Al Harits, isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, pada malam itu nabi berada di sampingnya, lalu beliau shalat isya, kemudian pulang ke rumahnya, lalu shalat empat rakaat, kemudian tidur, kemudian bangun, kemudian dia bersabda: Bocah kecil (Al Ghulayyim)[1] ini sudah tidur. Atau kata-kata yang serupa dengan itu. Lalu dia mendirikan shalat, dan aku berdiri di samping kirinya, maka dia memindahkanku ke kanannya, lalu shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian beliau tidur, sampai aku mendengar suara dengkurannya, kemudian keluar untuk shalat (subuh). (HR. Bukhari No. 117) Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu Anhu, katanya:

Datang seseorang dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah selesai shalat, Beliau besabda: Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya? maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya. (HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4792. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma Az Zawaid, 2/174 ) Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185) Kasus yang semodel ini cukup banyak, diriwayatkan oleh beberapa sahabat seperti istri Rasulullah sendiri, Aisyah dan Anas bin Malik Radhiallahu Anhuma. Semua ini menunjukkan bahwa boleh menjadikan orang yang tadinya shalat sendiri lalu dia menjadi imam bagi orang lain ketika dia tengah menjalankan shalat munfarid-nya, sebagaimana seorang masbuq mengimami masbuq lainnya ketika mereka lepas dari jamaah sebelumnya. Kalau memang tidak boleh, pastilah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam akan mengingkari yang dilakukan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma atau yang lainnya, justru sebaliknya Beliau mempersilahkan Abu Bakar Radhiallahu Anhu menemani orang yang sedang shalat sendiri, padahal Abu Bakar Radhiallahu Anhu sudah shalat sebelumnya. Pihak yang membolehkan adalah kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, Syaikh Athiyah Saqr Rahimahullah menjelaskan: . : : . :

Kalangan Syafiiyah mengatakan: barang siapa yang mengikuti makmum yang masbuq setelah salamnya imam, atau dia berniat untuk memisahkan diri darinya, maka tetap sah mengikutinya. Ini pada selain shalat Jumat, ada pun pada shalat Jumat tidak boleh. Kalangan Hanabilah menyepakati mereka atas hal itu. (Fatawa Al Azhar, 8/487) Pihak yang membolehkan di antaranya adalah Syaikh Hisyam Afanah, Beliau berkata: Penanya: Ada seseorang datang ke masjid, dia dapatkan shalat jamaah sudah selesai, dan dia mengikuti seorang yang masbuq, lalu dia shalat di belakangnya, maka apa hukum shalatnya itu? Jawab: Anda mengikuti seorang yang masbuq adalah benar adanya insya Allah, menurut pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah hadits (lalu disebutkan hadits-hadits yang telah kami sebutkan). (Fatawa Yasalunaka, 2/15) Ini juga menjadi pendapat Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimahumallah, Beliau berkata setelah memaparkan perbedaan pendapat dalam madzhab Hambali dalam hal ini. Beliau berkata: . : :

Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah pendapat pertama (maksudnya yang membolehkan, pen), sama saja apakah dia berniat melakukan hal itu dalam keadaan mereka berdua bersama imam yang sama, atau tidak. Wallahu Alam. (Ad Durar As Saniyah fi Ajwibah An Najdiyah, 4/277) Dan lain-lain. Kesimpulan: - Masalah ini telah diperselisihkan para imam, dan mayoritas melarangnya. - Walau diperselisihkan hendaknya kita mengambil sikap atas perbedaan ini. - Namun bersamaan sikap itu, dilarang fanatik dengan salah satu pendapat di antara keduanya, dengan menyerang saudaranya yang mengikuti pendapat lain yang saudaranya itu benar. Hendaknya masing-masing pihak berlapang dada. - Pendapat yang kami kuatkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya dilanjutkan shalat sendiri-sendiri saja, mengingat beberapa hal: Pertama, dalil secara khusus, atau contoh yang benar-benar seperti itu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak pernah ada. Ibadah ritual yang khusus secara juknis (petunjuk teknis) dan juklak (petunjuk pelaksanaan)-nya seperti shalat- hendaknya memiliki pedoman tersendiri agar lebih selamat dan aman secara syariat. Kehatian-hatian adalah lebih utama diikuti

Kedua, dalil-dalil pihak yang membolehkan yaitu dengan mengqiyaskan masalah ini dengan kasus-kasus orang shalat munfarid (sendiri) lalu ditemani orang lain untuk berjamaah, tidaklah sama dengan masbuq menjadi imam bagi masbuq lainnya, atau tidak sama pula dengan kasus seorang masbuq menjadi imam bagi orang yang baru sampai ke mesjid. Istilahnya qiyas maal fariq mengqiyaskan dengan hal yang berbeda. Kenapa tidak sama? Sebab, seorang yang masbuq tentunya tadinya dia ikut berjamaah dengan seorang imam, dan dia tetaplah dihitung mendapatkan status berjamaah walau imamnya sudah selesai shalat selama ketika dia ikut shalat jamaah tersebut minimal dapat satu rakaat saja. Tentunya ini berbeda dengan kasus satu orang shalat sendiri lalu dia ditemani oleh orang lain untuk berjamaah seperti kasus-kasus yang dijadikan dalil pihak yang membolehkan. Bagaimana mungkin sama antara menjadi makmum seseorang yang shalatnya tadinya memiliki imam (shalat berjamaah), dengan menjadi makmum seseorang yang shalatnya tidak memiliki imam ? Ketiga, ternyata qiyas dalam masalah ibadah taabudiyah -seperti shalat- tidak dibenarkan oleh banyak imam. Qiyas hendaknya hanya pada masalah-masalah muamalah. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash, bukan karena qiyas atau pendapat-pendapat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi. Cet. 2, 1999M-1420H) Keempat, cukup bagi si masbuq melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri. Sebagaimana yang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam perintahkan. Lagi pula dia telah mendapatkan status berjamaah selama mendapatkan satu rakaat saja, apalagi lebih. Kelima, bahkan untuk orang yang masbuq ketika imam duduk tasyahud, walau dia tidak mendapatkan status berjamaah namun pahala orang berjamaah tetap dia dapatkan, Insya Allah. Lebih hebat lagi, ini juga berlaku bagi orang yang ketinggalan jamaah sama sekali, dia terlambat karena adanya uzur syari, sehingga jamaah sudah bubar, akhirnya dia shalat sendiri. Dia pun tetap mendapatkan pahala berjamaah karena dia menginginkan shalat berjamaah, namun dia tidak mendapatkannya karena halangan syari, bukan karena sengaja memperlambat dan mengulur-ulur. Misal: sebelum sampai ke masjid kendaraan yang dia pakai bermasalah, atau dia sakit perut lalu buang hajat, dan halangan syari lainnya. Dalilnya adalah dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersada: Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. (HR. An Nasai No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katany shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami No. 6163)

Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah: .

Secara zhahirnya, hakikat keutamaan jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak rakat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan dengan haditshadits di atas. (Syarh Sunan An Nasai, 2/111. Cet. 2, 1986M-1406H. Maktab Al Mathbuat Al Islami. Halab) Wa Shallallahu Ala Nabiyyina Muhammadin wa Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain. Sekian. Wallahu Alam

You might also like