You are on page 1of 17

MAKALAH

EKOLOGI INDUSTRI

EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI PENGOLAHAN TEBU

KELOMPOK : SATYA DARMAYANI RAUDATI HILDAYATI NOVI LAURA INDRAYANI

MAGISTER TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN JURUSAN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOYGAKARTA 2010

EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI PENGOLAHAN TEBU


Kawasan industri di Indonesia pada umumnya berupa kumpulan industri yang belum memiliki hubungan satu dengan yang lain. Tahapan pendirian suatu industri dimulai dengan penemuan proses pada tahap riset, kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan dan perancangan proses, peralatan, evaluasi ekonomi, konstruksi, serta operasi. Dalam perancangan industri harus feasible secara teknis, ekonomis, memperhatikan aspek keselamatan yang maksimal dan mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Dengan memasukkan pertimbangan aspek lingkungan pada tahap perancangan, akan dapat dihasilkan suatu industri yang tidak hanya lebih ekonomis tetapi juga berwawasan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih bahan baku dan proses yang menghasilkan sedikit limbah atau menghasilkan limbah tetapi dapat dimanfaatkan kembali secara berkelanjutan. Konsep industri berwawasan lingkungan sangat penting untuk diterapkan mengingat daya dukung alam semakin menurun dibandingkan pertumbuhan industri yang begitu cepat. Dalam konsep ekologi industri seperti pada Gambar 1, kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.

Gambar 1. Tipe Kawasan Industri Penataan kawasan ekologi industri dapat dimulai dari pendirian kawasan industri terpadu di dekat kawasan pertanian masyarakat. Sebagai contoh kawasan ekologi industri berbasis industri pengolahan tebu. Tebu adalah bahan baku dalam pembuatan gula (gula kristal putih, white sugar plantation) di pabrik gula. Dalam operasionalnya setiap musim giling (setahun), pabrik gula selalu mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padatan dan

gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di laboratorium dan luberan bahan olah yang tidak disengaja. Limbah padat meliputi ampas tebu, abu dan debu hasil pembakaran ampas di ketel, padatan bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian cara sulfitasi. Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula, diproduksi dalam jumlah 32 % tebu, atau sekitar 10,5 juta ton per tahun atau per musim giling se Indonesia. Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai produk pendamping, karena ampas tebu sebagian besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk memproduksi energi keperluan proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4 % produksi ampas). Sisanya (sekitar 0,3 juta ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar pabrik gula. Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan
o

mengalami fermentasi yang menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94 C akan terjadi kebakaran spontan. Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira, diproduksi sekitar 3,8 % tebu atau sekitar 1,3 juta ton. Limbah ini sebagian besar diambil petani untuk dipakai sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang di lahan terbuka, dapat menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar lahan tersebut. Sedangkan belerang dioksida (SO2) merupakan limbah gas yang keluar dari cerobong reaktor sulfitir pada proses pemurnian nira tebu yang kurang sempurna menyebabkan polusi udara di atas pabrik dan pemakaian belerang menjadi lebih tinggi dari normal. Tetes (molasses) sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar 4,5 % tebu atau sekitar 1,5 juta ton. Tetes tebu sebagai produk pendamping karena sebagian besar dipakai sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin (sodium glutamate), alkohol atau spritius dan bahkan untuk komoditas ekspor dalam pembuatan L-lysine dan lain-lain. Namun untuk hal ini dibutuhkan kandungan gula dalam tetes yang cukup tinggi, sehingga tidak semua tetes tebu yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu. Akibatnya tidak sedikit pabrik gula yang mengalami kendala dalam penyimpanan tetes sampai musim giling berikutnya, tangki tidak cukup

menampung karena tetes kurang laku, atau memungkinkan terjadinya ledakan dalam penyimpanan di tangki tetes sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi. Dalam analisa kontrol kualitas bahan alur proses di laboratorium dihasilkan limbah bekas analisa yang berbentuk cairan dan padatan yang mengandung logam berat (Pb). Logam tersebut berasal dari bahan penjernih Pb-asetat basa yang digunakan untuk analisa gula dalam pengawasan pabrikasi. Bahan penjernih tersebut telah digunakan sudah cukup lama, sejak satu abad yang lalu. Diperkirakan untuk pabrik gula yang berkapasitas 4000 ton tebu per hari diperlukan tidak kurang dari 100 kg Pb per musim giling. Dapat dibayangkan untuk pabrik gula seluruh Indonesia, khususnya di Jawa, diperkirakan sekitar 5 ton Pb per tahun dibuang sebagai limbah analisa gula, atau sekitar 500 ton Pb tersebar di perut bumi Pulau Jawa selama seabad. Dari uraian di atas tampaknya perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula yang lebih tajam perlu digalakkan agar limbah yang mengganggu, polusi udara, tidak ramah lingkungan, membuat pandangan dan bau yang kurang sedap dapat diatasi dengan baik. Yang terpenting dalam perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah tersebut mempunyai prinsip menangani masalah limbah tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada lingkungan. Perancangan, Penanganan, Pencegahan dan Pemanfaatan Limbah Perancangan Kawasan Saat terbaik untuk memasukkan pertimbangan penerapan ekologi industri adalah pada tahapan awal perancangan proses, yaitu pada saat riset dan pengembangan proses. Hal ini disebabkan kebijakan yang dibuat pada saat awal pengembangan proses seringkali akan menentukan aktifitas pengembangan pada tahapan selanjutnya, seperti dalam hal pemilihan jenis peralatan, material, dan kondisi proses. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan mengarahkan isu lingkungan pada awal siklus pengembangan, masalah teknis dan nonteknis (konsekuensi ekonomis dan peraturan perundangan) yang akan muncul di depan dapat

diantisipasi. Hal ini dapat mereduksi resiko teknis dan ekonomis yang berkaitan dengan isu lingkungan.

Gambar 2. Kawasan Ekologi Agroindustri Gambar kawasan ekologi industri di atas menjelaskan proses penataan kawasan dimulai dari kawasan pertanian tebu rakyat. Hasil tebu diproses di industri gula menghasilkan produk gula dan produk samping tetes tebu serta selulosa. Tetes tebu digunakan sebagai bahan baku industri penyulingan etanol sedangkan serat selulosa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kertas. Pada industri kertas dihasilkan produk kertas dan limbah lumpur yang telah diolah dapat menjadi bahan baku industri pupuk organik. Industri penyulingan etanol dapat menghasilkan produk etanol dan efluen yang dapat dijadikan bahan baku industri biogas. Industri biogas dapat menghasilkan energi yang dapat memasok kawasan tersebut. Limbah limbah yang dihasilkan telah sangat berkurang kuantitas dan sifat toksisitasnya. Limbah tersebut diolah secara terpadu sehingga dihasilkan limbah yang ramah lingkungan. Air limbah yang telah diolah dapat juga dikembalikan sebagai air proses di industri.

Penanganan Limbah Sisa Ampas atau ampas lebih. Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku energi listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak untuk sisa ampas (produksi ampas ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit energi untuk proses) adalah ditempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan berat jenis ampas, kemudian diikat agar ampas tidak mudah lepas berterbangan (mawur). Selanjutnya ampas bal siap untuk digudangkan. Debu dan abu hasil pembakaran ampas. Penanganan debu hasil pembakaran ampas dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust collector yaitu wet atau dry scrubber sebelum keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil pembakaran ampas ditanam bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air. Hal ini dilakukan agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari kebakaran karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent. Blotong. Penanganan awal untuk sisa blotong (produksi blotong - blotong yang telah dimanfaatkan petani) perlu ditangani dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan awal sebelum dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari pandangan dan bau yang tidak sedap. Limbah cair dan padat bekas analisa gula di laboratorium. Limbah cair bekas analisa gula di laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut untuk di-elektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil dari elektroda sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas analisa gula di laboratorium dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam tempat pembuangan akhir. Selanjutnya limbah cair yang telah ditritmen dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan cairan lainnya (pendingin alat mesin pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air kebutuhan karyawan pabrik) dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah dengan teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah untuk dipakai kembali sehingga dapat mengurangi suplei air segar sampai 0,6 1 M per ton tebu dan beban polutan
3

dapat diturunkan sampai nihil. Tetes tebu. Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat ditangani dengan cara mengantisipasi suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke tangki tetes suhu tetes harus berkisar antara 35 40 C. Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin sehingga tetes yang keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 40 C. Pencegahan Limbah Blotong dan SO2. Pemakaian bahan pembantu proses (kapur dan belerang) yang berlebihan dapat ditekan dengan kontrol kondisi proses pemurnian nira yang efektif melalui optimasi pH, suhu dan waktu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku yang diolah dan hasil pemurnian yang ingin dicapai maka kondisi operasional proses yang optimal dapat ditetapkan, sehingga pemakaian bahan pembantu proses dapat ditekan. Dampaknya jumlah blotong dan gas SO2 dapat ditekan pula. Limbah cair atau padat bekas analisa di laboratorium. Pencegahan terjadinya limbah logam berat berkategori B3 karena penggunaan bahan penjernih Pb-asetat basa dapat dinihilkan melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL) sebagai alternatif pengganti bahan penjernih berkategori B3 tersebut. Sehingga dengan
o o

demikian, cairan yang dihasilkan (filtrat) langsung dapat dikirim ke tempat pengolahan limbah tetes tebu. Pencegahan terjadinya ledakan selama penyimpanan tetes dalam tangki dapat dilakukan dengan mendinginkan tetes pada suhu 35 40 C. Di dalam tangki tetes dipasang pipa-pipa pendingin yang
o o

melingkar, air pendingin mengalir di dalam pipa pendingin.

Sehingga dengan demikian, sambil menunggu pengeluaran tetes diharapkan suhu tetes yang disimpan berkisar 35 40 C. Pengawasan suhu tetes terjadwal menjadi sangat penting. Gas cerobong ketel. Kesempurnaan pembakaran ampas dipengaruhi oleh kualitas ampas sebagai bahan bakar, jenis dan kondisi dapur + ketel. Namun demikian pembakaran yang sempurna dapat diidentifikasi dari kualitas gas cerobong (kadar CO2 > 12 %, O2 < 7 dan produksi uap per kampas > 2 kg). Oleh karena itu kontrol kualitas gas cerobong ketel terjadwal perlu menjadi perhatian.

Pemanfaatan limbah industri gula melalui pengolahan biologis dan kimiawi dalam upaya meningkatkan kecernaan secara invitro Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif adalah limbah dari perkebunan tebu. Limbah dari tebu ini yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan antara lain adalah mollases, blotong, dan pucuk tebu. Pucuk tebu adalah limbah tebu yang memiliki potensi sangat besar. Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan rum__inansia. Salah satu kelemahan dari pucuk tebu adalah kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk meningkatkan manfaaat dari pucuk tebu make dilakukan pengolahan. Metode pengolahan yang biasa digunakan untuk pakan berserat tinggi adalah pengolahan kimiawi. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah urea dan NaOH. Fraksi limbah tebu lainnya yang masih memiliki nilai gizi yang baik adalah blotong. Blotong adalah limbah yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan dalam proses klarifkasi nira. Untuk meningkatkan nilai gizi dari protein pada blotong perlu dilakukan fermentasi dengan menggunakan kapang. Keseimbangan asam amino diharapkan dapat ditingkatkan melalui fermentasi.Dengan meningkatnya kualitas protein diharapkan dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan. Jenis kapang yang biasa digunakan adalah Saccharomyces cereviceae, Aspergillus oryzae, Aspergiltus niger. Penelitian tahap pertama dilakukan terdiri dua bagian yaitu tahap pengolahan pucuk tebu dan penggunaannya dalam ransum Pucuk tebu akan dilakukan pengolahan dengan amoniasi, silase, dan hidrolisis dengan NaOH.Untuk menentukan cara pengolahan yang terbaik terhadap pucuk tebu maka dilakukan penelitian secara in vitro. Perlakuan yang dicobakan pada perlakuan vitro adalah: RI = Pucuk tebu tanpa pengolahan ; R2 = Pucuk tebu diolah secam Amoniasi; R3 = Pucuk tebu diolah secara Silase ; R4 = Pucuk tebu diolah secara Hidrolisis dengan NaOH. Berdasarkan basil penelitian tersebut, ternyata metode pengolahan yang baik untuk pucuk tebu adalah amoniasi. Untuk menentukan penggunaaanya dalam ransum dilakukan penelitian dengan rancangan acak lengkap 4 x 5 , tiap perlakuan diulang 5 kali.

Susunan perlakuannya adalah sebagai berikut: RO = 70% konsentrat +30% rumput lapang RI = 70% konsentrat + 20% rumput lapang + 10% pucuk tebu teramoniasi R2 =70% konsentrat + 10% rumput lapang + 20% pucuk tebu teramoniasi R3 = 70% konsentrat + 0% rumput lapang + 30% pucuk tebu teramoniasi Penelitian tahap kedua diawali dengan menentukan jenis kapang yang paling baik pada fermentasi blotong, Susunan perlakuannya sbb: RO = blotong tanpa pengolahan; Rl= blotong difermentasi dengan Saccharomyces cereviceae ; R2 = blotong difermentasi dengan Aspergillus oryzae R3=blotong difermentasi dengan Aspergillus niger R4 = blotong difermentasi dengan Rhizopus orryzae. Berdasarkan hasil peneliian tersebut fermentasi yang terbaik adalah menggunakan yeats Saccharomyces cereviceae. Untuk menentukan penggunaannya adalah ransum dilakukan penelitian dengan rancangan acak lengkap 5 x 5, susunan berikut: RO = ransom basal Rl = RO + 5% blotong terfermentasi dari BK ransom R2 = RO + 10% blotong terfermentasi Bari BK ransum R3 = RO + 15% blotong terfermentasi dari BK ransum R4 = RO + 20% blotong terfermentasi dari BK ransum Berdasarkan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap KCBK dan KCBO. Hasil nyata ditunjukkan pada parameter NH3 dan VFA. Berdasarkan kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandinngkan perlakuan lainnya dan oleh karena itu, pengolahan yang digunakan pada pucuk tebu dalam ransom adalah amoniasi. Berdasarkan uji lanjut polinominal ortogonal menunjukkan bahwa penggunaan pucuk tebu teramoniasi dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering dan dan bahan organik berpola linier dengan persamaan masing-masing Y = 37,739 +0,094X dan 39,361 + 0,114X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan pucuk tebu dalam ransom semakin tinggi nilai kecernaannya. perlakuannya adalah sebagai

Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang terhadap parameter kecemaan menujukkan tidak berberda nyata. Hasil yang nyata terlihat dari parameter WA dan NH3. Berdasarkan parameter VFA dan NH3 menujukkan

bahwa penggunaan yeast Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong memberikan basil yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan kapang lainnya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan blotong dalam ransom berpengaruh nyata terhadap kadar NH3. Berdasarkan uji lanjut polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan memliki respon linear terhadap kadar NH3 dengan persamaannya Y= 4,035 +0,237X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong semakin tinggi kadar NH3 cairan rumen. Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan blotong dalam ransom tidak berbeda nyata terhadap WA dan kecemaan bahan organik ransum (KCBO). Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan blotong berbeda nyata terhadap kecemaan bahan kering ransum. Kurva responnya adalah linear dengan persamaan Y=45,964 - 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong dalam ransum nilai kecemaan bahan keringnya menurun. Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik yang dijual ke rumah tangga. Misalnya saja sisa ampas tebu pada musim giling 2008 (279.332 ton) dapat menghasilkan listrik sekitar 36 ribu MW, atau dapat untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 60.000 rumah tangga di lingkungan pabrik gula selama 6 bulan (asumsi kebutuhan rumah tangga 100 KW per bulan) yang menghasilkan rupiah sekitar Rp. 18 Milyard.

Tabel 1. Listrik yang dihasilkan (KW) dari sisa ampas tebu pada musim giling 2008 Produsen Tebu digiling (ton) Ampas diproduksi (ton) Ampas dibakar (ton) Sisa ampas (ton) Setara uap dihasilkan (ton) Setara listrik dihasilkan (MW) Jawa Sumatra Sulawesi Indonesia 23.626.250 9.790.911 937.995 34.355.156 7.615.601 3.155.967 302.350 1.107.3918 7.423.503 3.076.360 294.723 10.794.586 192.098 79.607 7.627 279.332 383.617 139.462 15.050 538.129 25.574 9.297 1.003 35.875 12,79 4,65 0,50 17,94 SetaraRp .Milyard

Serat-serat ampas merupakan bahan organik yang terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Bahan organik tersebut dapat diubah menjadi kompos melalui proses biokimia dengan

melibatkan aktivitas mikroba. Oleh karena itu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan baku kompos. Kompos ampas tebu (KAT) dan kompos dari campuran ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK) bagus untuk pemupukan lahan tebu. Ampas tebu juga dapat digunakan sebagai bahan baku briket arang ampas. Briket tersebut mempunyai kualitas yang tidak begitu berbeda dengan kualitas cokes. Dalam ukuran kecil, briket dapat digunakan di dapur rumah tangga. Di samping itu ampas tebu dapat digunakan untuk membuat particle board. Particle board biasanya digunakan untuk keperluan interior, akustik, insulator, panel dinding dan meb. blotong. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendamen tebu secara segnifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan kompos dari ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK).

Tabel 2. Hasil analisis kimia KAT, blotong dan KABAK: Analisis pH Karbon (C), % Nitrogen (N), % Nisbah C/N Fosfat (P2O5), % Kalium (K2O), % Natrium (Na2O), % Kalsium (Ca), % Magnesium (Mg), % Besi (Fe), % Mangan (Mn), % KAT 7.32 16.63 1.04 16.04 0.421 0.193 0.122 2.085 0.379 0.251 0.066 Blotong 7.53 26.51 1.04 25.62 6.142 0.485 0.082 5.785 0.419 0.191 0.115 KABAK 6.85 26.51 1.38 15.54 3.020 0.543 0.103 4.871 0.394 0.180 0.090

Di dalam

tetes tebu terkandung

total gula

sebagai invert antara 60 - 70 %,

merupakan bahan baku yang potensial bagi produk-produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah etanol (alkohol). Bahkan jika diproduksi dalam skala industri perumahan menjanjikan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Dalam 5 tahun terakhir ini pemerintah sedang giatnya menggalakkan program bahan bakar yang bersifat renewable. Salah satu diantaranya adalah mencampur etanol ke dalamm BBM menjadi gasohol sebagai energi alternatif. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia telah berhasil menguji gasohol sampai E20 (etanol : bensin = 20 : 80) untuk mesin bensin. Di dalam tetes tebu terkandung sukrosa antara 35 - 45 %, gula invert antara 17 35 %, total gula sebagai invert (TSAI) antara

60 - 70 %. Hal ini merupakan bahan baku yang potensial bagi produk-produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah sirup invert. Untuk menjadikan gula dalam tetes menjadi invert semua maka komponen sukrosa harus diinversi terlebih dahulu. Proses inversi sukrosa

menjadi gula invert yang banyak diminati adalah cara enzimatis karena tidak bersifat korosif terhadap peralatan yang digunakan. Proses inversi menggunakan ragi roti optimal pada larutan brix tetes 50 %, pH 4,5, suhu inkubasi 60 C selama 24 jam. Di samping dapat dibuat alkohol atau spiritus dan sirup invert, tetes tebu juga dapat dipakai sebagai bahan baku L-lysine dan media untuk pembuatan sodium glutamate di pabrik vitsien. Bahkan tetes tebu saat ini merupakan komoditas eksport non migas yang cukup menjanjikan. Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi. Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol. Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi. Klarifikasi terutama bertujuan untuk menghilangkan beberapa impurities yang bisa mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih. Sedangkan unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi. Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99% ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran unleaded gasoline, menjadi gasohol. Modifikasi pabrik gula dan pabrik etanol ini bisa dilakukan dengan memisahkan aliran nira mentah yang ditampung dari unit gilingan kedalam 2 jalur, yaitu: ke unit preparasi
o

nira dan selanjutnya dibawa ke unit fermentasi untuk menghasilkan etanol atau dibawa ke statsiun pengolahan untuk menghasilkan gula. Dalam bentuk diagram sederhana proses tersebut disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema modifikasi PG untuk menghasilkan gula dan etanol Produksi etanol secara terpadu dengan pabrik gula lebih disukai karena ada fleksibilitas produksi, efisiensi energi, dan biaya produksi menjadi lebih rendah.

CO2 dari gas cerobong. Limbah gas cerobong, khususnya gas CO2, dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2 atau dimanfaatkan dalam pemurnian defekasi remelt karbonatasi. Dalam 2 tahun terakhir ini proses defekasi remelt karbonatasi sedang banyak dibicarakan para pakar dan praktisi industri gula dalam negeri sehubungan dengan harga belerang yang mahal, produksi gula dalam negeri yang telah menyentuh swa sembada gula dan tuntutan akan gula mutu tinggi. Diprediksi pada musim giling ditahun yang akan datang terjad kelebihan stok gula dalam negeri sehingga dikhawatirkan terjadi penyaluran gula berlebih yang macet, untuk diekspor mutu gula dalam negeri masih kalah bersaing. Oleh karena itu paling bijak adalah memilih proses defekasi remelt karbonatasi dalam mengatasi masalah ini. Dengan proses tersebut, di samping dapat mengurangi cemaran lingkungan, juga dapat memproduksi gula mutu tinggi sehingga dapat mengatasi masalah pergulaan nasional yang sedang mengalami kendala dalam persaingan global. Dengan perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri. Oleh karena itu penataan kawasan ekologi industri sangat diperlukan dalam rangka pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dimana konsep kawasan ekologi industri di Indonesia sebaiknya disesuaikan dengan kondisi geografis dan yang paling sesuai untuk dikembangkan segera adalah kawasan ekologi industri pertanian atau agro-industri. Kawasan ekologi industri dapat diimplementasikan dengan baik jika masing-masing industri dalam kawasan tersebut dapat saling terbuka dan terhubung dengan baik. Dalam hal ini diperlukan kesepakatan bersama tentang pengelolaan kawasan industri bersama dengan tetap berpegang pada prinsip ekonomi dan keselamatan lingkungan. Penerapan kawasan ekologi industri di Indonesia saat ini masih pada tahap pengembangan dan masih sangat sedikit kawasan industri yang menerapkannya. Hal ini disebabkan adanya ketakutan industri untuk membagi informasi tentang bahan baku, proses produksi, dan limbah apa yang dihasilkan. Industri masih menganggap informasi tersebut dapat disalahgunakan oleh industri

lain untuk meniru produknya. Peran pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen sangat diperlukan untuk mendorong industri menerapkan ekologi industri. Pemerintah dapat berperan dalam pembuatan kebijakan peraturan dan pemberian insentif bagi industri yang menerapkan ekologi industri. Masyarakat sebagai konsumen dapat menekan industri dengan memilih produk yang dihasilkan dari proses yang ramah lingkungan. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa limbah pengolahan tebu dari pabrik gula yang terasa mempunyai konotasi mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya dapat diatasi dengan baik, sehingga memberi manfaat pada lingkungan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah limbah cair yang keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan dengan cara menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium kepembuangan. Upaya

pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL) dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan kontrol pemurnian nira. Upaya pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk kompos, ampas untuk energi listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri etanol, spiritus dan vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2. Dengan perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pengolahan tebu yang berasal dari pabrik gula tersebut diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri. Namun yang terpenting dari semua pemanfaatan limbah pabrik tersebut adalah mempunyai prinsip menangani masalah limbah tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada lingkungan yakni dengan menerapkan konsep ekologi industri. Indonesia telah menerapkan konsep kawasan ekologi industri meskipun masih sederhana dan perlu dikembangkan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Kurniawan.Y., Susmiadi.A., dan Toharisman.A., 2005, Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Surabaya. Martoyo, T., B. E. Santoso dan M. Mochtar. 1994. Bahan penjernih alternatif untuk analisis pol nira dan bahan alur proses di pabrik gula. Majalah Penelitian Gula Vol 30 (3 - 4). P3GI. Pasuruan. pp: 1 5. Santoso.B.E., 2008., Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan Dan Pemanfaatannya Dalam Upaya Program Langit Biru Dan Bumi Hijau. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan, Indonesia. p: 1-6. Wantomo.D.S., Christina.M., dan Megasari.P.K., 2007, Kajian Penerapan Ekologi Industri Di Indonesi, STTN BATAN, Yogyakarta. Widodo. Yusuf., 2007, Pemanfaatan Limbah Industri Gula Melalui Pengolahan Biologis Dan Kimiawi Dalam Upaya Meningkatkan Upaya Kecernaannya Secara Invitro, Lampung University Library, Lampung. http://www.penelitian_gula.asp.atm.

You might also like