You are on page 1of 34

REFERAT

VCT - HIV Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD KardinahTegal

DiajukanKepada : dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

Oleh : Cahyo Guntoro 030.06.047

RSUD KARDINAH TEGAL PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI 2012

1|Page

LembarPengesahan REFERAT MONITORING EVALUASI KEGIATAN KLINIK VCT DI RSUD KARDINAH Oleh :

Cahyo Guntoro 030.06.047

Telah diselesaikan tanggal: Juni 2012

Dokter Pembimbing

dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

2|Page

BAB I PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan pandemi yang sedang dialami oleh seluruh negara. Jumlah orang dengan HIV/ AIDS meningkat dari 36,6 juta orang pada tahun 2002 menjadi 39,4 juta orang pada tahun 2004.1 Data Departemen Kesehatan (Depkes) menujukkan bahwa, jumlah penderita yang terinfeksi HIV dan AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari April 1987 hingga Desember 2008, sebanyak 6554 penderita terinfeksi HIV dan 16.110 orang menderita AIDS. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah (Jateng), menunjukkan dari tahun 1993 hingga tahun 2008, terdapat 1915 kasus HIV/AIDS, dengan perincian 1375 penderita HIV, 540 penderita AIDS, serta yang telah meninggal dunia sebanyak 215 orang.2 Jumlah penderita HIV di Kota Semarang selama periode 1993 hingga 2009 tercatat sebanyak 997 orang, 115 orang penderita AIDS, dan 25 orang di antaranya telah meninggal dunia.3 Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia dalam empat tahun terakhir mengalami perubahan dari low level epidemic menjadi concentrated level epidemic, yang ditunjukkan dari survei pada subpopulasi tertentu dimana prevalensi HIV di beberapa provinsi telah melebihi 5% secara konsisten. Jika tidak ada upaya penanggulangan HIV/AIDS secara bermakna, diperkirakan pada tahun 2015 jumlah kasus AIDS akan menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari subpopulasi berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya akan terus berlanjut. Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi HIV (Depkes 2008). Salah satu program yang dilaksanakan untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah Voluntary Counseling and Testing (VCT).
1

VCT adalah kegiatan konseling yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait HIV/AIDS. VCT juga merupakan pintu masuk kepada segala macam pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan HIV/AIDS.4

3|Page

BAB I Voluntary Counseling and Testing (VCT)

a. Definisi Konseling dalam VCT Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV&AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahaman berbagai masalah terkait dengan HIV&AIDS.

Peran
VCT Merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan perawatan HIV Perencanaan masa depan Perawatan anak yatim piatu Pewarisan Penerimaan sero-status, coping & perawatan diri

VCT

Mem fasilitasi perubahan perilaku

Voluntary Normalisasi HIV/AIDS Counselling Testing Memfasilitasi intervensi MTCT

Rujukan dukungan sosial dan sebaya


Sumber: WHO, adaptasi

Terapi pencegahan & perawatan reproduksi

Manajemen dini infeksi oportunistik & IMS; introduksi ARV

Gambar 2.1 Skema Pelayanan VCT

4|Page

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV&AIDS berkelanjutan. 1) Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART. 2) VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV&AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. 3) Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko. b. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV&AIDS Sukarela (VCT) 1) Sukarela dalam melaksanakan testing HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak

direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asuransi kesehatan.

2) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan
5|Page

klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui. 3) Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif. Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif. 4) Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien.

c. Sasaran Konseling dan Testing HIV&AIDS Sukarela (VCT) Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan Klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif didalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV&AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif.

d. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV & AIDS Sukarela (Voluntary Counseling Test = VCT) Prinsip ini diatur oleh Kepmenkes RI nomor 1507/Menkes/SK/X/2005 sebagai berikut: 1) Sukarela dalam melakukan testing HIV
6|Page

2) Ini berarti keputusan testing di tangan klien, kecuali testing HIV donor darah di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh, dan sel. Atas dasar sukarela inilah tidak direkomendasikan untuk testing wajib bagi pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, Intravenous Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan. 3) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialis 4) Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif 5) Testing merupakan salah satu komponen dari VCT 6) WHO dan Depkes RI memberikan pedoman testing HIV. Penerimaan hasil testing diikuti konseling pascatesting oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui klien.

7|Page

BAB II HIV

II. 1 Definisi

HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut "sel T-4" atau disebut juga "sel CD-4". Virus HIV ini hidup didalam 4 cairan tubuh manusia, yaitu: Cairan darah, Cairan sperma, Cairan vagina dan Air susu Ibu.

Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan HIV/AIDS amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. Oleh karena penyakit yang menyerang bervariasi, AIDS kurang tepat jika disebut penyakit. Definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit.

Masa inkubasi HIV sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel CD4 semakin menurun. Ketika sistem kekebalan
8|Page

tubuh sudah dalam keadaan parah, seorang Odha akan mulai menampakkan gejala-gejala. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu, tanpa peduli kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual.

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. AIDS disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh.

1. Cara Penularan.

a. Lewat Cairan Darah.

Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah tercemar HIV Lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah.

b. Lewat Cairan Sperma dan Cairan Vagina

Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus.

c. Lewat Air Susu Ibu

Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke
9|Page

bayi (Mother-to-Child Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.

Secara langsung (transfusi darah, produk darah atau transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV) l Lewat alat-alat (jarum suntik, peralatan dokter, jarum tato, tindik, dll) yang telah tercemar HIV karena baru dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV dan tidak disterilisasi terlebih dahulu.

Karena HIV - dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain- ditemukan dalam darah, air mani dan cairan vagina Odha. Melalui cairan-cairan tubuh yang lain, tidak pernah dilaporkan kasus penularan HIV (misalnya melalui: air mata, keringat, air liur/ludah, air kencing).

Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi HIV tanpa memakai kondom l Melalui transfusi darah l Melalui alat-alat tajam yang telah tercemar HIV (jarum suntik, pisau cukur, tatto, dll) l Melalui ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya.

Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1% (jauh dibawah risiko penularan HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman.

Karena kegiatan sehari-hari Odha tidak memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh yang menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV selama kita mencegah kontak darah dengan Odha dan jika berhubungan seks, kita melakukannya secara aman dengan memakai kondom. Seorang Odha kelihatan biasa, seperti halnya orang lain karena tidak menunjukkan
10 | P a g e

gejala klinis. Kondisi ini disebut "asimptomatik" yaitu tanpa gejala. Pada orang dewasa sesudah 5-10 tahun mulai tampak gejala-gejala AIDS.

Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.

2. AIDS tidak ditularkan melalui

a. Makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama.

b. Pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang.

c. Ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya. Lewat keringat, atau gigitan nyamuk

B. Epidemiologi

Memperingati 20 tahun penelitian HIV, jurnal Nature Medicine menerbitkan edisi khusus dengan tema HIV/AIDS. Penerbitan ini bersamaan dengan International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment yang diadakan di Paris, Juli 2003.

Penelitian mengenai HIV dimulai pada 1983 saat kelompok peneliti Perancis yang diketuai Luc Montagnier menduga bahwa ada hubungan antara retrovirus dengan AIDS
11 | P a g e

(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Setahun berikutnya, Robert C Gallo dan kawankawan berhasil mengisolasi retrovirus dari pasien AIDS. Virus ini kemudian diberi nama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Sampai saat ini diperkirakan, penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta jiwa. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 5,6 juta. Total lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS.Sejak penemuannya, ribuan peneliti di seluruh dunia telah ikut berperan dalam penelitian HIV. Lebih dari 125 ribu artikel tentang HIV telah dipublikasi, namun masalah AIDS masih belum terpecahkan. Beberapa usaha telah dilakukan, baik pencegahannya maupun pengobatannya. Vaksin untuk pencegahan misalnya, telah dikembangkan tapi belum cukup efektif. berbagai obat juga telah dikembangkan dan diaplikasikan secara klinik, tapi masih belum cukup efektif untuk menyembuhkan pasien HIV/AIDS.

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS. (WHO,2010 ).

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya

12 | P a g e

sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
13 | P a g e

homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008) Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008) Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan jenis kelamin pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 15 penderita laki-laki, dan 25 penerita perempuan, Juli 2009Juni 2010 sebanyak 29 penderita laki-laki, dan 27 penderita perempuan, serta juli 2010-juni 2011 sebanyak 35 penderita laki-laki dan 14 penderita perempuan.

14 | P a g e

Gambar2.1 Bagan Penderita HIV RSU Kardinah Tegal

Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan kelompok usia pada periode Juli 2008-Juni 2009 tercatat semua penderita berusia 40 tahun, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 7 penderita berusia <15 tahun, dan 49 penderita berusia 15-49 tahun, serta juli 2010-juni 2011 sebanyak 2 penderita berusia <15 tahun, 45 penderita berusia 15-49 tahun, dan 2 penderita berusia >49tahun.

Gambar2.2 Bagan penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan usia

15 | P a g e

Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan daerah asalnya pada periode Juli 2008-Juni 2009 tercatat 7 penderita berasal dari kota Tegal, 26 penderita dari

Kab.Tegal, 3 penderita dari Brebes, 2 penderita dari Pemalang, 2 penderita dari Indramayu. Pada Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 15 penderita kota Tegal, 23 penderita dari Kab.Tegal, 16 penderita dari Brebes, 1 penderita dari Pemalang, 1 penderita dari daerah lainnya. Pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 12 penderita berasal dari kota Tegal, 21 penderita dari Kab.Tegal, 1 penderita dari Brebes, 12 penderita dari Indramayu, dan 3 penderita dari daerah lainnya.

Gambar.2.3 Bagan Daerah Asal Penderita HIV RSUD Kardinah Tegal

Penyakit penyerta pasien penderita HIV RSU Kardinah Tegal dari Juli 2008 Juni 2011 meliputi pasien HIV dengan anemia tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009
16 | P a g e

sebanyak 1 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 5 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 4 penderita. Pasien HIV dengan gastroenteritis kronis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 11 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 13 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 14 penderita. Pasien HIV dengan tuberkulosis paru tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 9 penderita, Juli 2009-Juni 2010

sebanyak 9 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 16 penderita. Pasien HIV dengan kandidiasis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 2 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 5 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 15 penderita. Pasien HIV dengan dermatitis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 2 penderita, dan pada sebanyak 3

penderita, Juli 2009-Juni 2010

Juli 2010-Juni 2011

sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan sarkoma kapossi ercatat pada periode Juli 2008Juni 2009 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan kelainan otak tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 2 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 5 penderita. Pasien HIV dengan stomatitis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 8penderita, dan pada sebanyak 10 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak

Juli 2010-Juni 2011

sebanyak 4penderita. Pasien HIV dengan

kondiloma tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan ulkus genital tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita, dan Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan pneumonia tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan hepatitis B tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 3 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan koma tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 0 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan hepatomegali tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan colitis tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan gizi buruk tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan dermatitis seboroik tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan keputihan tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan sifilis tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan Gonore tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita.

17 | P a g e

Gambar2.4 penyakit penyerta HIV di RSUD Kardinah Tegal periode Juli 2008 sampai dengan Juni 2011

Tabel2.1 Penyakit penyerta HIV di RSUD Kardinah Tegal Periode Juli 2008 sampai dengan Juni 2011
No Penyakit penyerta Juli 2008 Juni 2009 (Jumlah Penderita) 1 11 9 2 3 2 2 10 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 Juli 2009 Juni 2010 (Jumlah Penderita) 5 13 9 5 2 0 1 8 0 2 0 3 1 1 1 2 1 0 0 Juli 2010 Juni 2011 (Jumlah Penderita) 4 14 16 15 2 0 5 4 1 0 0 2 1 0 0 0 0 1 1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Anemia Gastroenteritis kronis Tuberkulosis paru Kandidiasis Dermatitis Sarkoma Kapossi Kelainan Otak Stomatitis Kondiloma Ulkus Genital Pneumonia Hepatitis B Koma Hepatomegali Colitis Gizi buruk Dermatitis seboroik Keputihan Sphilis

18 | P a g e

20

Gonorrhea Total

0 43

0 55

1 71

C. Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. VIrus ini diketemukan oleh montagnier, seorang ilmuwan perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV).

Gallo (national Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap kurang pathogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut sebagai HIV saja.

D. Patogenesis

HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell).
19 | P a g e

Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.

Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus.

Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection).

Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri.

E. Manifestasi klinis

1. Gejala infeksi HIV

Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam minggu pertama
20 | P a g e

setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala.

Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.

2. Tanda-tanda seorang tertular HIV

Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan kaena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 - 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi. Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah:
21 | P a g e

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat

b. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)

c. Diare berkepanjangan (lebih dri satu bulan)

Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :

a. Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)

b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal)

c. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan

Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.

3. Perbedaan antara HIV dan AIDS, yaitu:

HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi/penyakit.

AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV di dalam darah

Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal

a. Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.


22 | P a g e

b. Pada masa anpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain.

c. Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.

d. Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.

Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul

a. Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela

b. Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak sehat.

c. Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan kemudian meninggal

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Darah

Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut. Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib.

23 | P a g e

Gagasan wajib melakukan tes itu ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan masalah logistik yang terkait. Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen). Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil.

Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran dan dites, sering kali tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan perempuan hamil.

Penolakan terhadap tes wajib berarti program harus mengembangkan strategi untuk membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan bermanfaat untuk mereka.

Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsur penting dalam mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang memakai narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, ini akan mendorong perubahan perilaku agar meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang.

Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa setiap orang yang menyuntik narkoba dan melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIVpositif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan

24 | P a g e

perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya.

Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.

2. Bagaimanakah tes HIV dipakai?

Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans masyarakat (surveilans sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar mengetahui luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui berapa yang terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya juga anonim (tanpa nama).

Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh HIV melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes seperti ini harus mencakup konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut lihat ini). Melakukan tes memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya sehingga mereka tidak menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka negatif, untuk meyakinkan mereka supaya tidak tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti bahwa orang mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka, pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.
25 | P a g e

G. Pencegahan dan Pengobatan

1. Pencegahan

a. Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

b. Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV)

c. Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

d. Abstinensi ( puasa, tidak melakukan hubungan seks)

e. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya

f. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

a. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar

b. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain

2. Pengobatan
26 | P a g e

Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obatobat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse transcriptase dan protease.

Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.

Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif.

Zidovudin (ZDV) : Merupakan analog nukleosida, dan bekerja pada enzim reverse transcriptase. CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV. Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam @ 100 mg,

Didanosin (DDI) : Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama, melainkan dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV, atau sebagai pengganti ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak mendapatkan hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60 Kg) atau 2x125 mg, setiap 12 jam (BB>60 Kg)

27 | P a g e

Dideoxycytidine (DDC, Zalcitabine): Diberikan sebagai kombinasi dengan ZDV, tetapi belum cukup pengalaman untuk pemakaian tersebut. Dosis: 0,03 mg/KgBB, diberikan setiap 4 jam.

Obat-obat lain: Berbagai jenis obat antiretroviral dikembangkan namun masih dalam taraf penelitian. Yang cukup menjanjikan ialah derivat HEPT dan TIBO, yang menghambat HIV-1 secara sangat spesifik, namun tidak HIV-2. Senyawa ini bekerja pada enzim reverse transcriptase. Vaksin untuk mencegah penularan HIV sampai saat ini belum diketemukan.

Terapi kombinasi : Banyak ahli cenderung mempergunakan terapi kombinasi ZDV dengan obat antiretroviral lain, misalnya: Triple: Saquinavir 1800 mg/hari (Ro.31-8959), ZDV 600 mg/hari, DDC 2,5 mg/hari. Double: DDC+ZDV, DDC+saquinavir. Terapi kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi virus terhadap obat-obat antiretroviral tersebut.

Terapi gen

Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target. Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan

28 | P a g e

antisense, ribozyme juga menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya

Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh.

Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama.

HIV sebagai Vector

Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat.

Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme.

29 | P a g e

Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan otot.

Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.

Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah digunakan.

Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengiriman gen.

Penatalaksanaan Stadium Lanjut

Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa penderita.

Zidovudin (ZDV)

Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan
30 | P a g e

syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000 mg, dalam 4-5 kali pemberian.

Pengobatan Infeksi Oportunistik

Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.

Perawatan Fase Terminal

Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum datangnya kematian.

Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

31 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

32 | P a g e

1. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N, et al. Viral load and heterosexual transmission of human immunodeficiency virus type 1. N Engl J Med 2000;342:921929 2. .Diagnoses of HIV/AIDS 32 states, 20002003. MMWR Morb Mortal Weekly Rep 2004;53:1106-10. 3. Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 1998;338:853-860. 4. CDC posts new HIV testing, referral guidelines. AIDS Alert 2002;17:2, 8-10. 5. Paltiel AD, Weinstein MC, Kimmel AD, et al. Expanded screening for HIV in the United States -- an analysis of cost-effectiveness. N Engl J Med 2005;352:586-595. 6. Sanders GD, Bayoumi AM, Sundaram V, et al. Cost-effectiveness of screening for HIV in the era of highly active antiretroviral therapy. N Engl J Med 2005;352:570585. 7. Bulterys M, Jamieson DJ, O'Sullivan MJ, et al. Rapid HIV-1 testing during labor: a multicenter study. JAMA 2004;292:219-223. 8. Markowitz M, Mohri H, Mehandru S, et al. Infection with multidrug resistant, dualtropic HIV-1 and rapid progression to AIDS: a case report. Lancet 2005;365:10311038. 9. Goulder PJ, Walker BD. HIV-1 superinfection -- a word of caution. N Engl J Med 2002;347:756-758. 10. Davis KR, Weller SC. The effectiveness of condoms in reducing heterosexual transmission of HIV. Fam Plann Perspect 1999;31:272-279.

33 | P a g e

11. Friis-Moller N, Sabin CA, Weber R, et al. Combination antiretroviral therapy and the risk of myocardial infarction. N Engl J Med 2003;349:1993-2003. [Erratum, N Engl J Med 2004;350:955.] 12. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents. Panel on clinical practices for treatment of HIV infection (Department of Health and Human Services). 13. Aberg JA, Gallant JE, Anderson J, et al. Primary care guidelines for the management of persons infected with human immunodeficiency virus: recommendations of the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2004;39:609-629. 14. Mellors JW, Munoz A, Giorgi JV, et al. Plasma viral load and CD4+ lymphocytes as prognostic markers of HIV-1 infection. Ann Intern Med 1997;126:946-954. 15. Hirsch MS, Brun-Vezinet F, Clotet B, et al. Antiretroviral drug resistance testing in adults infected with human immunodeficiency virus type 1: 2003 recommendations of an International AIDS Society-USA Panel. Clin Infect Dis 2003;37:113-128.

34 | P a g e

You might also like