You are on page 1of 32

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Ahir-ahir ini banyak dari kita semua mungkin telah mengetahui, telah digalakkanya kembali kampanye-kampanye hidup sehat. Salah satunya adalah dengan berolahraga.

Mengesampingkan dari fenomena yang ada dan kembali mengingat akan banyaknya macam olahraga yang telah ada di dunia ini, satu pertanyaan yang akan diutarakan oleh peneliti. Sudahkah anda berolahraga dan seberapa sering anda berolahraga ? Semakin majunya dunia teknologi memudahkan semua kegiatan manusia dan menyebabkan kurang bergerak (hypokinetic). Penggunaan remote control, komputer, lift, dan tangga berjalan, tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik akan menimbulkan penyakit akibat kurang gerak (DepKes RI, 2006). Gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja (sedentary) dan kurang gerak ditambah dengan adanya faktir risiko, berupa merokok dan pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, pembuluh darah, penyakit tekanan darah tinggi, penyakit kencing manis, obesitas, osteoporosis, kanker usus, depresi, dan kecemasan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit-penyakit tersebut. Upaya kesehatan olahraga adalah salah satu upaya yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan serta menjadi upaya pencegahan dari penyakit yang diakibatkan kurang gerak (DepKes RI, 2006). Karena itu, sudah seharusnya olahraga dilakukan semenjak dini. Selain olahraga dapat menjadi kegiatan yang menyehatkan bagi anak, olahraga juga merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan (Watson, 1992).

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari olahraga. Diantaranya, olahraga dapat meningkatkan kesegaran dan ketahanan fisik yang optimal. Pada saat berolahraga terjadi kerja sama berbagai otot tubuh yang ditandai dengan perubahan kekuatan otot, kelenturan otot, kecepatan reaksi, ketangkasan, koordinasi gerakan, dan daya tahan (endurance) berbagai sistem tubuh, terutama sistem kardiorespirasi (Russel, 1998). Hidup dengan asma berarti harus bisa mengontrol penyakit asma. Isitilah kontrol suatu penyakit biasanya digunakan pada penyakit kronis yang belum memungkinkan penyembuhannya dengan pengobatan yang ada saat ini. Asma yang tidak terkontrol menyebabkan gejala sesak napas, batuk, mengi, dan bila terjadi pada malam hari dapat menyebabkan gangguan tidur. Bila gejala bertambah beerat tidak jarang penderita dibawa ke dokter atau gawat darurat di rumah sakit (Widjaya, 2010). Meski jarang dilaporkan, asma dapat menyebabkan kematian. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan paling tidak setiap tahun 255.000 pasien meninggal karena asma dan 80% justru terjadi di negara berkembang. Suatu penelitian di masyarakat Eropa Barat, menunjukkan ternyata hanya 5% pasien penyakit asma yang terkontrol cukup baik. Manfaat yang diperoleh bila asma kita terkontrol adalah gejala asma berkurang atau tidak ada, kualitas hidup penderita menjadi lebih baik, perawatan ke rumah sakit dan kunjungan darurat ke dokter jauh lebih jarang dibanding dengan penderita asma yang tidak terkontrol. Tentu saja dengan kondisi asma yang tidak terkontrol, kematian akan banyak terjadi pada penderita (Widjaya. 2010). Memiliki asma bukan berarti penyakit tersebut akan diderita selamanya dan akan kambuh sewaktu-waktu oleh seseorang penderita asma. Namun ada banyak sekali upaya yang bisa dihindari dengan melakukan suatu tindakan kontrol terhadap asma. Salah satunya adalah dengan melakukan terapi non farmakologi yaitu dengan berolahraga. Terapi olahraga yang

dianjurkan adalah berenang, dimana berenang mampu meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan serta meningkatkan kapasitas vital paru (Widjaya, 2010). Berbagai penelitian telah sering dilakukan. Salah satunya adalah penelitian mengenai pengaruh olahraga terhadap kapasitas vital paru. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa nilai kapasitas vital paru pada kelompok atlet usia muda berbagai cabang olahraga lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kapasitas vital paru pada kelompok kontrol. (Kippelen et al, 2005). Efek olaharaga renang terhadap perkembangan volume paru-paru sudah dibuktikan secara jelas. Olahraga berenang dapat meningkatkan kekuatan otot paru, dan oleh karena itu meningkatkan kemampuan paru-paru dalam memompa udara, atau secara langsung mempercapat pertumbuhan paru-paru sebagai respon adaptasi terhadap latihan, khususnya pada anak (Zinmam-Gaultier, 1986). Penelitian terhadap anak usia 15 tahun yang melakukan olahraga renang memiliki nilai kapasitas vital pari yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak melakukan latihan sama sekali. Hal ini cukup membuktikan bahwa olahraga renang pada anak memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan nilai kapasitas vital paru (Nikolic, 1992). Olahraga renang yang membutuhkan teknik-teknik tertentu dalam bernafas, membuat anak terus beradaptasi dalam fisiologi pernapasan selama masa pertumbuhan dan perkembangan organ-organ pernafasannya. Tentu hal ini akan menyebabkan perbedaan

kemampuan otot-otot pernapasan yang cukup signifikan antara anak-anak yang terlatih dalam berenang dengan anak-anak yang tidak terlatih (Watson, 1992). Nilai kapasitas vital paru sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Selain itu, kebiasaan merokok, kebiasaan

pemakaian APD pernafasan, pencemaran udara, masa kerja, dan riwayat penyakit paru juga sangat mempengaruhi nilai kapasitas vital paru (Yunus, 1997; Guyton, 2006). Atas dasar uraian yang telah dipaparkan sebelumnya. Peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan jika betapa bermanfaatnya olahraga dalam kehidupan kita. Diantaranya adalah meningkatkan kesegaran dan ketahanan fisik yang optimal. Hal tersebutlah yang melatar belakangi peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh dari olahraga renang sebagai terapi pada penderita asma. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada pengaruh olahraga renang pada penderita asma yang rutin melakukan olahraga renang dengan yang tidak melakukan olahraga renang ? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan diadakannya penelitian mengenai pengaruh olahraga renang sebagai terapi pada penderita asma. Akan dapat diketahui seberapa besar pengaruh yang diberikan dari olahraga tersebut. Serta pada gilirannya dapat digunakan sebagai upaya untuk penyembuhan alternatif terhadap penderita asma. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Masyarakat Mendapatkan gambaran maupun kejelasan mengenai peran olahraga renang sebagai terapi terhadap penderita asma. Serta mampu membudayakan kebiasaan berolahraga untuk meningkatkan derajat kesehatan dan menghindari penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya olah tubuh. 1.4.2 Bagi Klinik

Penelitian yang dilakukan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para klinisi tentang peran dari olahraga renang sebagai terapi pada pederita asma. 1.4.3 Bagi Akademik Hasil dari penelitian ini nantinya dapat memberikan suatu kontribusi pengetahuan tentang olahraga renang sebagai terapi pada penderita asma. Serta juga dapat menjadi dasar untuk peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian yang telah ada.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Olahraga

Fisiologi olahraga sebagai salah satu disiplin kedokteran berusaha untuk mempelajari efek latihan terhadap tubuh, mempelajari bagaimana efisiensi tubuh manusia dapat diperbaiki dengan latihan, mempelajari metode yang paling sesuai untuk menilai perbedaan parameter fisik dan fisiologis serta mempelajari bermacam-macam tes yang cocok untuk mengukur keadaan kesegaran jasmani (Giam, 1993). Respon tubuh terhadap latihan dibagi menjadi dua, yaitu respon akut dan kronik. Ilmu fisiologi olahraga mempelajari tentang kedua konsep respon tubuh ini. Konsep mengenai respon tubuh selalu berkaitan dengan pola latihan yang diberikan terhadap seseorang. Pertama, para ahli fisiologi olahraga mempeajari bagaimana respon tubuh seseorang ketika menjalani latihan singkat, sebagai contoh saat lari dalam waktu beberapa jam dengan menggunakan treadmill, ataupun saat menjalani sesi latihan kekuatan (strength). Saat meneliti respon akut, para ahli memberi perhatian lebih mengenai respon tubuh yang segera muncul atau dalam istilah lain the bodys immediate response terhadap suatu latian. Sebab respon yang segera muncul inilah yang kemudian dikatakan sebagai respon akut (Wilmore et al. 2008) Konsep kedua mengenai respon tubuh terhadap latihan yaitu berkaitan dengan bagaimana tubuh merespon suatu latihan yang dilakukan berulang kali selama beberapa periode waktu tertentu atau disebut sebagai chronic adaption. Ketika seseorang melakukan latihan yang sama secara berulang dalam beberapa minggu, tubuh melakukan suatu adaptasi. Adaptasi fisiologis ini terjadi karena tubuh merespon latihan berulang sebagai suatu paparan kronik yang terus menimpa. Terjadinya adaptasi ini menyebabkan meningkatnya kemampuan tubuh untuk melakukan latihan yang lebih efektif dan ahirnya kapasitas tubuh untuk melakukan latihan pun menjadi lebih baik. Selain itu, dengan latihan daya tahan, otot-otot tubuh menjadi lebih kuat. Dengan latihan aerobik, kemampuan jantung dan paru dalam

melakukan tugasnya menjadi lebih efektif dan efisien. Kapasitas daya tahan jantung dan paru meningkat (Wilmore et al. 2008). 2.1.1 Fisiologi Paru dalam Olahraga Fisiologi paru dan olahraga memiliki hubungan timbal balik. Gangguan fisiologi paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan fisiologi paru (Yunus, 1997). Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor fisologis, antara lain: 1. Keturunan/genetik Dari penelitian diketahui bahwa 93,4% VO2 max ditentukan oleh faktor genetik. Hal ini dapat berubah dengan melakukan latihan yang optimal. 2. Usia Daya tahan kardiorespirasi meningkat dari masa anak-anak dan mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun. Sesudah usia ini daya tahan kardiorespirasi akan menurun. Penurunan ini terjadi karena paru, jantung, dan pembuluh darah mulai menurun fungsinya. Kecuraman penurunan dapat dikurangi dengan melakukan olahraga aerobik secara teratur. 3. Jenis Kelamin Sampai usia pubertas, daya tahan kardiorespirasi untuk anak perempuan dengan anak lakilaki tidak berbeda, tetapi setelah usia tersebut nilai pada wanita lebih rendah 15-25% dari

pria. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot maksimal, luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah Hb, dan kapasitas paru. 4. Aktivitas Fisik Daya tahan kardiorespirasi akan menururun apabila seseorang istirahat di tempat tidur selama 3 minggu. Jenis latihan juga mempengaruhi. Orang yang melakukan olahraga lari jarak jauh, daya tahan kardiorespirasinya meningkat lebih tinggi dibandingkan orang yang berolahraga senam atau anggar (Yunus, 1997). Latihan fisik menyebabkan otot menjadi kuat. Perbaikan fungsi otot, terutama otot pernapasan menyebabkan pernapasan lebih efisien pada saat istirahat.Ventilasi paru orang yang terlatih dan tidak terlatih relatif sama besar, tetapi orang yang terlatih bernapas lebih lambat dan lebih dalam. Hal ini menyebabkan oksigen yang diperlukan untuk kerja otot pada proses ventilasi berkurang, sehingga dengan jumlah olsigen yang sama, otot yang terlatih akan lebih efektif kerjanya (Yunus, 1997). Penurunan fungsi paru orang yang tidak berolahrga atau usia terutama disebabkan oleh hilangnya elastisitas paru dan otot dinding dada. Hal ini menyebabkan penurunan nilai VC (vital capacity) dan nilai FEV (forced expiratory volume), serta meningkatkan nilai RV (residual volume) paru (wilmore et al. 1994)

2.1.2 Fisiologi Olahraga pada Anak Secara anatomis dan fisiologis, anak dalam berbagai kelompok umur berbeda satu sama yang lain, dan lebih penting berbeda dari orang dewasa, artinya anak adalah bukan

orang dewasa kecil. Kecepatan pematangan anak berbeda-beda sehingga terdpata variasi yang luas dalam kelompok umur kronologik sama. Kegiatan fisik pada anak seharusnya disesuaikan dengan setiap tingkat perkembangan jasmani dan rohani (Griwijoyo et al. 2000). Terdapat variasi pertumbuhan jasmani yang jelas pada anak-anak yang berada dalam satu kelompok umur kronologik yang sama. Variasi umur biologik anak adalah sekitar 6 tahun. Misalnya tim bola basket kelompok umur 13 tahun, dapat memiliki variasi umur biologik dari 10 sampai 16 tahun. Hal ini menimbulkan ketidak-serasian yang sering terlihat dalam tinggi badan, berat badan, dan perkembangan keterampilannya. Antara umur 7-11 tahun, variasi tinggi badan anak kuran-lebih 40%. Tetapi tidak jarang dijumpai sesama anak umur 11 tahun perkembangan fiaiknya berbeda sekitar 4 tahun (Giriwijoyo et al. 2000). Rata-rata pertambahan tinggi badan tercepat atau peak high velocity (PHV) atau umur pertambahan tinggi maksimal adalah 12 tahun untuk anak-anak perempuan, kira-kira 2 tahun lebih awal dari pada anak laki-laki. Masalah variasi yang luas dapat terjadi pada awal masa pertumbuhan cepat anak perempuan dan laki-laki. Pada umumnya anak-anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki hanya pada masa umur 11-14 tahun. Oleh karena pertumbuhan cepat pubertas terjadi lebih awal. Kekuatan otot anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki sampai umur 11-16 tahun. Tetapi anak lakilaki pada umur 10 tahun secara signifikan mempunyai kebugaran kardiovaskular yang lebih tinggi bila diukur dari VO2 max/KgBB/menit. Pada anak-anak, perbedaan perorangan harus diperhitungkan atas dasar pertumbuhan dan pematangan, bukan atas dasar perbedaan umur maupun jenis kelamin. Tidak ada alasan kuat untuk memisahkan jenis kelamin pada kegiatan olahraga sampai kurang-lebih umur 14 tahun, karena pertumbuhan biologik anak-anak di bawah umur ini adalah sama, dan baru setelah batas umur ini pematangan anak laki-laki disertai dengan besar badan, berat badan dan kekuatan yang secara signifikan lebih nyata dari pada anak-anak perempuan (Giriwijiyo et al, 2000).

10

2.1.2.1 Sistem Kardiovaskular Anak-anak memiliki frekuensi denyut jantung maksimal yang lebih tinggi dan isi sedenyut yang lebih rendah dari orang dewasa, baik pada istirahat maupun pada olahraga. Tetapi mereka memiliki penyesuaian peredaran darah perifer yang lebih baik terhadap olahraga daripada orang dewasa, yang menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan O2 yang lebih efisien di jaringan. Tekanan darah arteri, khususnya sistolik, relatif lebih rendah pada saat anak-anak, tetapi tekanan darah yang rendah ini tidak memberikan gangguan ataupun keuntungan bagi kapasitas daya-tahannya. Anak anak juga mencatat nilai-nilai tekanan darah sistolik yang lenih rendah selama olahraga (Giriwijoyo et al, 2000). 2.1.2.2 Sistem Pernapasan Anak-anak yang sangat muda memiliki pola pernapasan yang relatif dangkal, dengan rasio volume udara nafas terhadap kapasitas vital yang rendah selama olahraga yang maksimal, dengan akibat rendahnya absobrsi O2 dari udara inspirasi. Hal ini menyebabkan anak harus bernapas dengan frekuensi pernapasan yang lebih tinggi, dan hal ini bersifat merugikan oleh karena menyebabkan terjadinya pemakain O2 yang relatif lebih banyak untuk melakukan pernapasan (Giriwijoyo et al, 2000). 2.1.2.3 Aerobic Power Aerobic power maksimal (VO2 max). Yang merupakan ukuran kapasitas daya tahan (endurance) pada dewasa, pada anak-anak bila dinyatakan dalam satuan kilogram berat badan ternyata tidaklah lebih rendah. Tetapi kebutuhan energi untuk berjalan dan berlari pada anak ternyata lebih tinggi dari pada orang dewasa. Penyebabnya yang paling mungkin adalah karena secara mekanik gerak lari atau berjalan anak-anak yang lebih kecil kurang efisien. Efisiensi ini terbukti dapat ditingkatkan secara nyata dengan latihan, dan inilah pula yang

11

menerangkan mengapa terjadi perbaikan keampuan berjalan dan berlari pada anak sekalipun tidak disertai dengan meningkatnya aerobic power yang signifikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa anak memerlukan pengalaman gerak untuk meningkatakan kemampuan dan efisiensi gerak dasarnya. Artinya olahraga yang lebih diperlukan oleh anak adalah olahraga dengan penekanan yang lebih besar pada pembelajaran untuk meningkatkan kemapuan koordinasi dalam rangka mempersiapkan mereka untuk menjadi atlet (Giriwojoyo et al, 200). 2.1.3 Olahraga Renang 2.1.3.1 Teknik Renang Dalam renang ada empat gaya, yaitu : gaya bebas (The Crawl Style), gaya dada (The Breast Style), gaya punggung (The Back Crawl), dan gaya kupu-kupu (The Dolpjin Butterfly Stroke). Gaya dada adalah gaya dasar, sedangkan gaya punggung dan kupu-kupu gaya lanjutan., artinya sebelum mempelajari gaya punggung dan kupu-kupu harus sudah menguasai gaya dada maupun gaya crawl terlebih dahulu. Adapun uraiannya sebagai berikut (Thomas, 2000). A. Gaya Bebas Menurut Dadang Kurnia (1987) yang dikutip oleh Soejoko (1992) pembahasan renang gaya bebas itu pada dasarnya dapat ditinjau dari: posisi tubuh, gerakan tungkai, pernapasan, gerakan lengan dan koordinasi gerakan tungkai,pernapasan dan gerakan lengan, yaitu : (1) Posisi tubuh: harus streamline; (2) Gerakan tungkai: itu terdiri enam pukulan tungkai, empat pukulan tungkai,dan dua pukulan tungkai dalam satu putaran lengan; (3) Pernafasan: dilakukan dengan cara tengkok ke kanan atau ke

12

kiri; (4) Gerakan lengan: terdiri atas fase-fase: Fase lengan masuk ke air, Fase menangkap, fase menarik, fase mendorong, dan fase isitirahat (Thomas, 2000). B. Gaya dada Menurut Dadang Kurnia (1987) yang dikutip oleh Soejoko (1992 : 63) teknik renang gaya dada pada dasarnya sebagai berikut : (1) Posisi tubuh: sikap tubuh hampir datar, (2) Gerakan Tungkai: menggunakan gerakan yang disebut dengan istilah baling-baling, pergelangan kaki dan tungkai bagian bawah berfungsi sebagai alat dorong, (3) Pernapasan: pengambilan napas dilakukan saat lengan melakukan gerakan akhir sapuan ke dalam, (4) Gerakan lengan: Ketika kedua lengan lurus kedepan gerakan lengan mebuka, kemudian melakukan dorongan atau sapuan dalam dimana siku berada pada sikap yang tinggi akan tetapi dibawah permukaan air. Setelah kedua lengan melakukan sapuan dalam segera membentuk sudut pada siku, meakukan sapuan lingkaran dengan patokan lengan berada dibawah dada dan dagu, selanjutnya meluncur lengan ke depan dengan bantuan bahu (Thomas, 2000). C. Gaya Punggung Menurut Dadang Kurnia (1987) yang dikutip oleh Soejoko (1992) teknik gaya punggung meliputi : (1) Posisi tubuh: hidrodinamik atau streamline, sikap kepala seperti orang tidur terlentang dengan santai tanpa harus mengarahkan pandangan kemana saja. Sudut pandangan diarahkan maksimal 45o dengan sikap relaks; (2) Gerakan tungkai : pada prinsipnya gerakan tungkai pada gaya ounggung sama seperti pada gaya bebas dengan sumber gerak pada pangkal paha; (3) Pernapasan : Pengambilan napas dapat dilakukan setiap saat mengingat posisi hidung berada di atas permukaan air; (4) Gerakan lengan: gerakan lengan terdiri dari menangkap, menarik, menekan, dan istirahat (Thomas, 2000)

13

D. Gaya Kupu-Kupu Renang gaya kupu kupu adalah sebagai gaya lanjutan, artinya para perenang untuk menerapkan gaya ini telah dapat atau mampu untuk menggunakan gaya yang sebelumnya. Renang gaya kupa-kupu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah renang gaya kupu-kupu dolphin, yaitu gaya kupu-kupu yang menggunakan gerakan tungkai menirukan lecutan ekor ikan lumba-lumba, Gaya ini biasa disebut gaya dolphin kick atau The Dolphin Butterfly Stroke (Thomas, 2000). 2.1.3.2 Manfaat Olahraga Renang Manfaat dari olahraga renang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sistem Kardiovaskular Jantung merupakan organ tubuh yang memompa darah agar mengalir ke seluruh tubuh, sedangkan darah tersebut mengangkut sari-sari makanan dan oksigen sehingga terjadi proses pembakaran serta menghasilkan energi yang diperlukan untuk bergerak. Dalam sebuah studi yang meneliti laki-laki dan perempuan yang melakukan latihan renang selama 12 minggu, VO2 max meningkat sebanyak 10%, dan stroke volume meningkat sebanyak 18% (Doewes et al, 2011).

2. Sistem Respirasi Paru-paru berfungsi sebagaii pengambil oksigen yang sangat diperlukan dalam proses oksidasi (pembakaran). Renang akan melatih kerja paru0paru dan meningkatkan kemampuan paru-paru untuk mengambil oksigen yang banyak. Dengan terpenuhinya

14

oksigen maka proses pembakaran dalam tubuh menjadi lancar sehingga energi yang diperlukan dapat terpenuhi (Singh, 2003) 3. Sistem Muskuloskletal Ketika berenang akan terjadi gerakan otot yang dinamis dan otot akan bekerja terus menerus. Hal ini akan membuat serabut otot bertambah banyak dan bertambah kuat. Dalam sebuah penelitian terhadap laki-laki yang melakukan latihan renang slama 8 minggu, terjadi peningkatan masa otot triseps sebesar 23,8% (Thomas, 2000). 4. Psikologis Secara psikologia, berenang juga dapat membuat hati dan pikiran lebih tenang. Gerakan berenang yang dilakukan dengan santai dan perlahan, mampu meningkatkan hormon endorfin dalam otak (Duman, 2000). 2.1.3.3 Renang Pada Anak Perenang muda memiliki volume dan kapasitas kardiorespirasi yang lebih besar daropada anak-anak lain pada umumnya. Efek dari olahraga renang terhadap perkembangan fungsi paru saat ini telah dibuktikan dengan jelas. Olahraga renang berpengaruh terhadap kekuatan otot-otot pernapasan, dan oleh karenanya meningkatkan kemampuan paru-paru dalam memompa udara, atau secara langsung mempercepat pertumbuhan paru-paru sebagai suatu adaptasi terhadap latihan renang (Zinmam-Gaultier, 1986). Sebuah penelitian membuktikan setelah 1 tahun didapatkan hasil VC,FRC, dan TLC pada kelompok anak yang mengikuti latihan renang secara intensif lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain berkaitan dengan olahraga renang telah dilakukan. Meskipun penelitian tersebut hanya dilakukan selama 8 minggu, didapatkan hasil penelitian yang serupa dengan penelitian sebelumnya. Kapasitas vital meningkat setelah hanya 8

15

minggu mengikuti latihan renang secara intensif. Jenis latihan yang dilakukan dalam penelitian tersebut yaitu latihan daya tahan (endurance). Disebutkan dalam penelitian tersebut, peningkatan kapasitas vital disebabkan oleh meningkatnya kemampuan

kontraktilitas otot-otot pernapasan sebagai hasil dari latihan daya tahan (endurance). Fakta membuktikan bahwa otot-otot pernapasan, seperti otot otot skletal lainnya, dapat meningkatkan kekuatan atau power dan juga kapasitas daya tahannya sebagai respon dari latihan-latihan yang spesifik (Leith et al, 1990).

2.2 Asma 2.2.1 Konsep Asma Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersufat reversible dengan atau tanpa pengobatan (Widjaya, 2010). Prof. Dr. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD, KAI dari FKUI mengatakan jika, kasus asma pada anak indonesia lebih tinggi sedikit dibandingkan dewasa. Kemudian asma pada anak akan hilang sebagian, dan akan muncul lagi setelah dewasa karena perjalanan alamiah. Serangan asma biasanya terjadi lebih berat pada malam dan dini hari, karena pada saat itu terjadi penyempitan pada bronkus akibat udara dingin. Penderita asma biasanya diobati dengan obat-obatan yang disebut brokodilator. Obat ini tidak diminum atau disuntikkan ke penderita tetapi digunakan sebagai inhaler (dihirup) (Pratiwi et al. 2007).

16

2.2.2 Gejala Asma Frekuensi dan beratnya serangan asma bisa bervariasi. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan-serangan sesak napas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu (Widjaya, 2010). Penderita lainnya hampir selalu mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olahraga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak napas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan napasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala secara bertahap semakin buruk (Widjaya, 2010). Adapun gejala umum dari asma yaitu (Widjaya, 2010) :
1. Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di

malam hari atau ketika melakukan olahraga juga bisa merupakan satu-satunya gejala. Selama serangana asma, sesak napas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat. 2. Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya sangat hebat. Meskipun telah mengalami serangan yang berat,biasanya penderita akan sembh sempurna.
3. Kebingungan, letalergi (keadaan kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti

tertidur lelap, tetapi dapat dibangunkan kemudian segera tertidur kembali) merupakan

17

pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan.
4. Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan

udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak napas yang dirasakan oleh penderita. 2.2.3 Penyebab Asma Asma adalah penyakit yang dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul pada segala usia, meskipun demikian, umunya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa pada usia sekitar tiga puluh tahunan. Para ahli asma mempercayai bahwa asma merupakan penyakit keturunan dan sebagian besar orang yang menderita asma karena alergi terhadap sumber alergi tertentu (alergen). Alergen merupakan faktor yang berasal dari lingkungan (Widjaya, 2010). Meskipun demikian yang jelas saluran pernapasan penderita asma memiliki sifat khas yang peka terhadap rangsangan. Asap rokok, tekana jiwa, alergen pada orang normal tidak menimbulkan asma tetapi pada penderita asma rangsangan tersebut dapat menimbulkan serangan asma (Widjaya, 2010). Pada penderita asma penyempitan saluran pernapasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang asap, udara dingin dan olahraga (Widjaya, 2010). Penyempitan saluran pernapasan dapat disebabkan oleh hal berikut ini :
1. Sumbatan jalan napas yang sebagian reversibel

18 2. Radang jalan nafas sehingga merusak sel epitel saluran napas 3. Reaski yang berlebihan pada jalan napas terhadap berbagai rangsang, misalnya reaksi

alergi (Pratiwi et al. 2007). Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradngan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter saluran udara (bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas. sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggung jawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti hisamin dan leukotrein yang menyebabkan terjadinya : (1) kontraksi otot polos; (2) peningkatan pembentukan lendir; (3) perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus, yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang (Widjaya, 2010).

2.2.4 Faktor Pencetus Asma a) Faktor Penjamu, faktor pada pasien : Aspek genetik Kemungkinan alergi Saluran napas yang memang mudah terangsang

19

Jenis kelamin Ras/etnik

b) Faktor Lingkungan

Bahan di dalam ruangan : (1) tungau debu rumah; (2) binatang kecoa Bahan di luar ruangan : (1) Tetepung sari bunga; (2) jamur Makanan tertentu, Bahan pengawet, penyedap, dan pewarna makanan Obat-obatan tertentu Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray) Ekspresi emosi yang berlebihan Asap rokok dari perokok aktif Polusi udara dari luar dan dalam ruangan Infeksi saluran napas Excercise induced asthma, ,ereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas fisik tertentu.

Perubahan cuaca (Widjaya, 2010).

2.2.5 Pengobatan Asma

20

Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari serangan penyakit asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati serangan penyakit asma yang sedang terjadi atau mencegah serangan penyakit asma jangan sampai terjadi (Widjaya, 2010). Obat-obatan bisa membuat penderita penyakit asma menjalani kehidupan normal. Pengobatan segera untuk mengendalikan serangan penyakit asma berbeda dengan pengobatan rutin untuk mencegah serangan asma. Untuk mengobati serangan penyakit asma asma yang sedang terjadi diperlukan obat yang menghilangkan gejala penyakit asma dengan segera. Obat tersebut terdiri atas golongan bronkodilator dan golongan kortikosteroid sistemik (Widjaya, 2010). Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran pernapasan dengan jalan melemaskan otot-otot saluran pernapasan yang sedang mengkerut. Sedangkang kortikosteroid adalah obat antialergi dan anti peradangan yang diberikan dengan tujuan sistemik yaitu disalurkan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Widjaya, 2010). 2.2.5.1 Pengobatan Asma Akut Suatu serangan penyakit asma harus mendapat pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernapasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati penyakit asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda (Widjaya, 2010).

Agonis reseptor beta-2 adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler atau sebagai nebulizer. Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita.

21

Pengobatan penyakit asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinefrin atau terbutalin di bawah kulit dan aminofilin (sejenis teofilin) melalui infus intravena.

Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan kortikosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah).

Pada serangan penyakit asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen. Jika terjadi dehidrasi, mungkin perlu diberikan cairan intravena. Jika diduga terjadi infeksi, diberikan antibiotik. (Widjaya, 2010).

2.2.5.2 Pengobatan Asma Kronik Salah satu pengobatan asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-2 adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung.

Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler kortikosteroid, cromolin atau pengubah leukotrein. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan teofilin per-oral. (Widjaya, 2010).

2.2.6 Terapi Pada Asma Sasaran terapi pada penderita asma adalah untuk menghambat atau mengurangi perdangan saluran pernapasan serta mencegah atau mengontrol gejala asma, sehingga gejala

22

asma berkurang atau hilang dan pasien tetap dapat bernapas dengan baik. Strategi terapi asma dapat dibagi menjadi dua yaitu : (1) Terapi Farmakologi dan (2) Terapi non Farmakologik. 2.2.6.1 Terapi Farmakologi Pada terapi farmakologi, dapat dibagi menjadi dua jenis pengobatan yaitu :
1. Quick-relief medicine, yaitu pengobatan untuk merelaksasi otot-otot di saluran

pernapasan, memudahkan pasien untuk bernapas, memberikan kelegaan bernapas, dan digunakan saat terjadi serangan asma (asthma attack). Contohnya adalah bronkodilator.
2. Long-term medicine, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati inflamasi

pada saluran pernapasan, mengurangi udem dan mukus berlebih. Memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu mencegah timbulnya serangan asma. Contohnya yaitu kortikosteroid bentuk inhalasi. (Widjaya, 2010).

2.2.6.2 Terapi non Farmakologi Untuk terapi non farmakologi, dapat dilakukan dengan olahraga secara teratur, misalnya adalah berenang. Sebagian orang berpendapat bahwa dengan berenang, gejala sesak napas akan semakin berkurang dan jarang terjadi. Hal ini mungkin dengan berenang, penderita dituntut untuk menarik napas panjang-panjang, yang berfungsi untuk latihan pernapasan, sehingga otot-otot pernapasan menjadi lebih kuat. Selain itu, lama kelamaan pasien akan terbiasa dengan udara dingin sehingga mengurangi tibulnya gejala asma. Namun

23

hendaknya olahraga ini dilakukan secara bertahap. Selain itu juga dijelaskan kepada pasien mengenai hal-hal yang harus dihindari. Sebagai faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya asma, serta penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi (Widjaya, 2010).

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep


Olahraga Asma

Anaerobik

Aerobik

Terapi non Farmakolo gi Olahraga

Terapi Farmakolo gi

Renang

24

Respirator ic Enduranc Respon Kronik

Chronic Adaptatio n Kekuatan dan Daya Tahan Otot Pernapasan Meningkat Asma Terkontrol

Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Olahraga dibagi menjadi dua berdasarkan cara memperoleh energi melalui proses metabolisme, yaitu aerobik dan anaerobik. Olahraga yang memperoleh energi dengan mengandalkan proses metabolisme aerobik disebut dengan olahraga aerobik. Identik dengan olahraga yang mengandalkan daya tahan tubuh, terutama pernapasan. Sedangkan anaerobik, adalah olahraga yang tidak membutuhkan banyak oksigen dalam mencukupi kebutuhan energi. Jenis olahraga ini mendapat energi cukup dari proses metabolisme anaerobik. Olahraga ini, identik dengan penggunaan speed dan power. Olahraga renang adalah olahraga aerobik dalam air. Selama berenang tubuh menggerakkan berbagai macam otot tubuh agar bisa bergerak dalam air. Apabila hal ini

25

dilakukan secara terus menerus secara rutin, maka tubuh akan beradaptasi dengan meningkatkan kekuatan daya tahan otot-otot pernapasan. Di lain sisi, asma memiliki dua metode pengobatan. Yaitu secara farmakologi maupun non farmakologi. Secara non farmakologi, seorang penderita asma dianjurkan untuk berolahraga. Olahraga yang diutamakan adalah olahraga yang melibatkan secara langsung sistem pernapasan. Oleh karenanya, berenang adalah olahraga yang disarankan sebagai terapi untuk para penderita asma. 3.2 Hipotesis Penelitian Ada pengaruh olahraga renang pada penderita asma usia 8-12 tahun.

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berjenis observasi analitik dengan pendekatan cross sectional. 4.2 Populasi Populasi dari penelitian ini adalah seluruh anggota Perkumpulan Renang Class Malang dan seluruh siswa SDN Tlogomas 2 Kota Malang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

26

4.3 Sampel Sedangkan sampel dari penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok satu adalah kelompok terapi. Penderita asma yang telah melakukan olahraga renang dan memenuhi kriteria inklusi. Kelompok yang kedua adalah kelompok kontrol, dimana kelompok kontrol sama sekali tidak melakukan atau berolahraga renang, memiliki riwayat asma dan telah memnuhi kriteria inklusi. 4.4 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang dipilih adalah dengan menggunakan simple random sampling. metode

4.5 Besar Sampel Besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini didapatkan dengan menggunakan rumus :

Keterangan : N1 N2 Z : Besar sampel kelompok pertama : Besar sampel kelompok kedua : error type I sebesar 5%, Z = 1,64

27

Z S

: error type II sebesar 90%, Z = 1,28 : Simpang baku

X1-X2 : Perbedaan klinis

N1 = N2 = 8,06 orang
Besar sampel minimal yaitu sebesar 8,06 orang dibulatkan menjadi 8 orang untuk masing-masing kelompok. Sehingga banyak sampel yang dibutuhkan sebanyak 16 orang.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu di Perkumpulan Renang Class Malang dan di SDN Tlogomas 2 Kota Malang. Sedangkan lama dari penelitian yang dilakukan adalah 3 bulan. 4.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.7.1 Kriteria Inklusi a. Anak usia 8-12 tahun
b. Siswa Perkumpulan Renang Class Malang yang minimal telah mengikuti latihan

renang selama 8 minggu dengan frekuensi renang 3-4 hari per minggu. Durasi dalam sekali renang 60-120 menit, dan memiliki riwayat asma.

28 c. Siswa SDN Tlogomas 2 Kota Malang yang tidak menjalani olahraga renang sama

sekali, dan memiliki riwayat asma. 4.7.2 Kriteria Eksklusi


a. Tidak bersedia menjadi sampel penelitian.

b. Diluar rentangan batas usia. c. Tidak memiliki riwayat asma. 4.8 Variabel Penelitian 4.8.1 Variabel Bebas Variabel bebas dari penelitian ini adalah olahraga renang.

4.8.2 Variabel Terikat Sedangkan variabel terikat dari penelitian ini adalah penderita asma. 4.9 Definisi Operasional 1. Olahraga Renang Olahraga renang adalah suatu latihan yang menggerakkan anggota badan, agar dapat mengapung dan melaju di dalam air dilakukan selama 8 minggu dengan frekuensi 3-4 hari dalam seminggu. Durasi dalam satu kali latihan adalah 60-120 menit. Skala yang digunakan untuk variabel ini adalah skala nominal. 2. Asma

29

Asma adalah penyakit inlamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan peningkatan hiperesonsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang. Skala yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah skala numerik.
3. Berat Badan

Berat badan adalah masa tubuh yang didapatkan setelah diukur menggunakan timbangan SMIC dalam satuan kilogram. Skala yang digunakan adalah skala numerik. 4.10 Instrumen Penelitian 1. Timbangan SMIC Alat ini digunakan untuk menngukur berat badan, dan tinggi badan dari subyek penelitian. Dimana dapat digunakan utuk mengetahui nilai indeks masa tubuh.
2. Spirometer

Alat yang digunakan utuk mengukur nilai dari kapasitas vital paru.

3. Kuesioner

Digunakan untuk mengetahui variabel riwayat penyakit paru, usia dan kebiasaan olahraga renang serta olahraga lain. Begitu juga halnya dengan frekuensi dan durasi. 4. Alat Tulis Alat tulis yang digunakan untuk mengisi lembar kuesioner. Berupa bolpoin maupun pensil. 4.11 Teknik Pengumpulan Data Data berat badan, dan tinggi badan.1 diperoleh dengan pengukuran langsung menggunakan timbangan SMIC. Data mengenai riwayat penyakit paru, usia, dan kebiasaan

30

olahraga. Baik olahraga renang maupun olahraga lain (frekuensi dan durasi) diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Hasil dicatat dan dianalisis. 4.12 Analisis Data Data yang telah diperoleh dari hasil pengukuran diolah dalam bentuk tabel dan grafik secara deskriptif, kemudia dianalisis dengan menggunakan rumus Uji t tidak berpasangan. Yang merupakan uji hipotesis komparatif, untuk menganalisis hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat.

KUESIONER

1. Berapa berat dan tinggi badan anda ? 2. Berapa usia anda saat ini ? 3. Apakah anda memiliki riwayat penyakit asma ? 4. Apakah anda melakukan olahraga berenang ? 5. Seberapa sering anda berenang dalam seminggu ? 6. Apakah anda melakukan olahraga lain ?

31

DAFTAR PUSTAKA Doewes M, Kiyatno, Suradi. 2011. Kontribusi Sistem Respirasi Terhadap VO2 Masksimal Studi Korelasional pada Atlet Berbagai Olahraga di Surakarta. J Respir Indo Vol.31. No. 1 hal. 10-12 Ganong WF. 2001. Review of Medical Physiology 20th edition. McGeaw-Hill. USA. Giam K, Teh C. 1993. Ilmu Kedokteran Olahraga. Jakarta. Binarupa Aksara. Hal. 1-13 Giriwijoyo YSS. 2000. Olahraga Kesehatan. Bahan perkuliahan Mahasiswa FPOK-UPI Guyton CA, Hall JE. 2006 Textbook of Medical Physiology 11th edition. Elsevier Saunders. USA. Pp. 471-524.

32

Kippelen P, Caillaud C, Robert E, et al. 2005. Effectof Endurance Training on Lung Function (online). Diunduh pada 12 November 2011. Tersedia dari http://bjsm.bmj.com/content/39/9/617.full.html. Nicolic Z, Ilic N. 1992. Maximal oxygen uptake in trained and untrained 15 years old boys (online). Diunduh pada 12 November 2011. Tersedia dari http://bjsm.bmj.com/content/26/1/36 Singh R, Singh HJ, Sirisinghe RG.2003. Spirometric studies in Malaysians between 13 and 69 years of age. Med J. Malaysia. Thomas GD. 2000. Renang Tingkat Mahir. Diterjemahkan oleh Alfons. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Watson AS. 1992. Children in Sport. Dalam textbook of science and medicine in Sport. Blackwell Scientific Publications. Widjaya I. 2010. Buku Pintar Atasi Asma. Pinang Merah. Yogyakarta. Yunus F. 1997. Laihan dan Pernapasan. Jurnal Respirology. Indonesia. 17. Hal. 68-69.

You might also like