You are on page 1of 12

ASPEK MEDIKOLEGAL GANGGUAN NEUROGERIATRIK

Budi Sampurna

Pendahuluan Kenyataan menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tingkat kesehatan masyarakat di Indonesia, maka penduduk yang mencapai usia lanjut menjadi semakin banyak. Kenyataan juga menunjukkan bahwa peluang munculnya penyakit-penyakit kronik meningkat dengan pesat sesuai dengan usia. Kebanyakan para orang lanjut usia menderita setidaknya satu penyakit kronik, sebagian juga menderita penyakit kronik yang multiple. Penyakit kronik yang tersering adalah arthritis, hipertensi, berbagai jenis penyakit jantung, gangguan sensorik dan diabetes melitus. Selain penyakit-penyakit kronik yang menyerang fisik mereka, para orang lanjut usia tersebut juga terancam oleh gangguan mental, seperti menurunnya daya ingat, dementia dan depresi. Penyakit fisik mereka, seperti stroke, diabetes melitus dan penyakit pembuluh darah, dapat pula mengakibatkan penurunan kemampuan mental mereka. Sebailknya, stres mental juga seringkali mendorong terjadinya komplikasi fisik yang serius. 1 Gangguan mental memang tidak selalu mengakibatkan terhentinya aktivitas atau keharusan dirawat / diterapi, namun sebagian diantaranya ternyata telah mengakibatkan masalah di bidang medikolegal. Isu utama dalam hal ini adalah kompetensi seseorang dalam membuat keputusan dan atau melakukan tindakan hukum tertentu. Berbagai masalah pada pasien neurogeriatrik Dalam makalah ini tidak akan dibahas tentang neurogeriatri maupun psikogeriatri dalam arti keilmuan dan permasalahan medik di dalamnya, melainkan hanya akan diuraikan berbagai masalah medikolegal yang mungkin timbul pada para pasien neurogeriatrik. Masalah legal dan medikolegal yang mungkin timbul adalah perlakuan salah, pengampuan, dan pembiayaan pelayanan medis. Perlakuan salah yang dapat ditujukan kepada para orang lanjut usia, terutama mereka yang mengalami gangguan neurologik, termasuk dementia, adalah perlakuan salah secara fisik (penyerangan, kontak seksual paksa, pemberian obat berlebihan, pengekangan fisik yang tidak layak), secara emosional atau psikologis (pengancaman), tidak dipenuhinya kebutuhan dasar manusia oleh orang yang merawatnya (makanan, pengobatan), pengekangan hak-hak sipil (kebebasan bergerak dan berkomunikasi), serta eksploitasi finansial. 1 Penyakit kronik yang multiple cenderung akan mengakibatkan pemberian obat yang berlebihan, terutama apabila para dokter yang menanganinya bersikap sangat kompartemental. Pengekangan fisik juga bisa berlebihan apabila keluarga atau pengampunya sangat mengkhawatirkan keselamatan pasien bila

Jakarta, 7 April 2002

berkeliaran terlalu jauh. Lebih jauh dapat terjadi eksploitasi finansial, apalagi apabila pasien tersebut kuat dari segi finansial ataupun dapat dimanfaatkan pertanggungan asuransinya. Pasal 433 KUH Perdata 2 Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Dalam pasal-pasal berikutnya, KUH Perdata menyebutkan bahwa pengampuan tersebut harus dimintakan oleh keluarga sedarahnya dalam garis lurus atau keluarga semendanya sampai dengan derajat ke-empat, atau dapat pula oleh pejabat kejaksaan. Permintaan tertulis tersebut diajukan ke pengadilan negeri di wilayah hukum domisili orang tersebut, dengan mencantumkan alasanalasan atau bukti-bukti adanya keadaan tersebut di atas. Selanjutnya, pengadilan akan memeriksa orang yang dimintakan pengampuannya dan buktibukti lain sebelum menetapkan keputusannya menunjuk pengampu bagi orang tersebut. Pengampu tersebut dapat berasal dari walinya secara tradisional (suami atau isteri, anak kandung, orang-tua, atau keluarga terdekat lain) dan dapat pula berasal dari profesional. Suami atau isteri umumnya akan diangkat sebagai pengampu, kecuali apabila terdapat alasan lain sehingga diputuskan lain oleh pengadilan. Pengampu inilah yang kemudian bertindak atas nama pasien untuk menjalankan hubungan / perbuatan hukum bagi kepentingan pasien. Pengampu wajib membuat laporan berkala kepada pengadilan (pengawas) dan atau kepada keluarganya. Kompetensi dan kapasitas Kompetensi adalah berkaitan dengan keadaan mental minimal, kognitif, atau sifat perilaku, kepandaian atau kapabilitas seseorang yang diperlukan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum atau mengambil sesuatu peran yang diakui oleh hukum. Beberapa contoh kompetensi dalam hal ini adalah kompetensi untuk membuat kontrak, kompetensi untuk membuat testamen, kompetensi untuk bersaksi di pengadilan, kompetensi untuk diajukan ke pengadilan, kompetensi untuk memelihara diri sendiri, dan lain-lain. 3 Pengertian kapasitas seringkali disalah-artikan seolah-olah sama dengan pengertian kompetensi. Sebenarnya, kapasitas adalah kemampuan aktual seseorang untuk memahami, menghargai dan membentuk kehendak yang relatif rasional terhadap sesuatu tindakan. Sebagai contoh adalah bahwa untuk dianggap kompeten diajukan ke pengadilan, seseorang harus memiliki kapasitas yang memadai untuk memahami sifat peradilan secara rasional dan faktual serta mampu membantu atau berkonsultasi dengan penasehat hukumnya (lihat tabel 1). 3 Selanjutnya, empat hal penting yang berkaitan dengan kompetensi, adalah:

Jakarta, 7 April 2002

1. Putusan inkompetensi haruslah tentang sesuatu tugas / pekerjaan yang tertentu (task specific). Seseorang yang dinyatakan tidak kompeten diajukan ke pengadilan tidak langsung juga tidak kompeten untuk membuat testamen. 2. Putusan inkompetensi tidak menyatakan dan tidak boleh diinterpretasikan bahwa individu tersebut berpenyakit mental. 3. Putusan inkompetensi tidak berarti bahwa individu tersebut membutuhkan terapi psikiatrik. 4. Inkompetensi sangat berbeda dengan sakit jiwa (insanity). Inkompetensi berkaitan dengan keadaan mental saat ini, sedangkan insanity berkaitan dengan pertanggung-jawaban hukum yaitu status mental pada saat melakukan perbuatan yang dipermasalahkan. Kontrak, informed consent, dan testamen Kontrak adalah suatu hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lain sehingga diantara keduanya timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana layaknya undang-undang bagi mereka, demikian bunyi pasal 1338 KUH Perdata. 2 Selanjutnya, suatu kontrak dianggap sah apabila memenuhi empat syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikat dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. KUH Perdata juga mengatakan bahwa seseorang dewasa (berusia 21 tahun atau lebih, atau telah pernah menikah) dianggap kompeten secara hukum, kecuali apabila diputus inkompeten secara hukum atau inkapasitas sebagai konsekuensi penyakitnya / keadaan medisnya. Namun, seorang lanjut usia yang menderita gangguan mental tertentu yang mengakibatkannya kehilangan sebagian atau seluruh kapasitasnya dapat dinyatakan tidak kompeten (tidak cakap) untuk melakukan suatu kontrak atau hubungan / perbuatan hukum tertentu. Apakah dampaknya apabila suatu kontrak ditandatangani oleh seorang lanjut usia yang dinyatakan tidak cakap? Syarat (1) dan (2) sebagaimana yang disebutkan di atas disebut sebagai syarat subyektif, dan bila dilanggar akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan syarat (3) dan (4) disebut syarat obyektif dan apabila dilanggar akan mengakibatkan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and void). Dengan demikian, tidak adanya kecakapan (kompetensi) akan mengakibatkan kontrak tersebut dapat dibatalkan. Di dalam pelayanan kedokteran dikenal doktrin informed consent yang memiliki landasan hukum dan moral yang kuat, yaitu prinsip utama autonomy dan self-determination. Doktrin informed consent menyatakan bahwa pemberi layanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan informasi yang cukup tentang kesehatan / penyakit pasien dan berbagai aspek tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien tersebut, sehingga pasien dapat membuat keputusan secara sadar. Untuk mencapai keputusan yang sah diperlukan informasi, kompetensi dan kesukarelaan (volunter).

Jakarta, 7 April 2002

Ketiga syarat di atas merupakan hal yang perlu dicermati pada setiap keputusan yang diambil oleh seorang pasien; tidak hanya yang berkaitan dengan tindakan medis, melainkan juga yang hal-hal lain yang berkaitan juga dengan kesehatan, peyakitnya dan atau kematiannya. Dalam hal ini dapat disebut keputusan tentang kehendaknya mengikuti asuransi kesehatan, asuransi jiwa, menjadi donor mata atau donor organ lainnya, dan lain-lain. Seringkali peran keluarga terdekat sebagai pemberi co-consent diperlukan. Hanya orang yang kompeten secara hukum yang dapat memberikan informed consent. Pasal 1329 KUH Perdata Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasien dianggap dapat memberikan consent atau refusal apabila ia dianggap masih memiliki kapasitas membuat keputusan (decisional capacity). Kapasitas ini dianggap masih ada apabila ia dapat memahami keadaan kesehatannya atau penyakitnya, mampu mempertimbangkan manfaat, beban dan risiko dari masing-masing alternatif pengobatan yang ditawarkan, mampu menimbang akibat pengobatan yang bertentangan dengan keinginan dan atau nilai-nilai yang dianutnya, dan mampu mencapai keputusan yang konsisten dari waktu ke waktu serta mampu mengkomunikasikan keputusannya tersebut kepada orang lain. 4 Dalam menghadapi pasien yang tidak dapat memberikan consent, apa yang harus dilakukan oleh para tenaga kesehatan? Seandainya orang tersebut telah memberikan pengarahan sewaktu ia masih kompeten, maka para dokter wajib mengikuti arahan tersebut. Arahan tersebut disebut sebagai advanced directive, yang hanya sah apabila dibuat tertulis oleh pasien sendiri dan lebih baik lagi apabila disaksikan oleh saksi yang juga kompeten. Arahan dapat berupa arahan yang substantif (substantive directive) dan dapat pula berupa arahan proksi (proxy directive). Disebut sebagai arahan substantif apabila dalam arahan tersebut dengan jelas tertulis kapan akan dilakukan dan apa yang harus dilakukan, misalnya dalam keadaan vegetatif permanen dan tindakannya misalnya tidak boleh dipasang ventilator, kemoterapi, pemberian nutrisi medis, dll. Pada proxy directive biasanya hanya tertulis bahwa ia akan memberikan kuasa kepada orang (orang-orang) tertentu untuk membuat keputusan yang dibutuhkan. Sikap dokter untuk mengikuti arahan tersebut adalah berdasarkan prinsip moral perpanjangan autonomi (the principle of autonomy extended). 5 Di Amerika Serikat, keputusan untuk membatasi pengobatan dibuat oleh 70% dari pasien yang dirawat dan meninggal di rumah sakit, sedangkan di Australia, demikian pula di Indonesia, setidaknya pasien memang memiliki hak untuk menolak pengobatan, termasuk tindakan mempertahankan kehidupan (life-sustaining treatment). 6 Kesulitan akan timbul apabila hal tersebut terjadi pada orang yang sebelumnya tidak pernah memberikan arahan tertulis. Pada dasarnya putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap pasien yang inkompeten adalah apa yang akan dilakukan oleh orang tersebut seandainya ia masih kompeten (substituted judgment), dan bukan mengacu kepada apa yang akan dikehendaki

Jakarta, 7 April 2002

oleh keluarga terdekatnya. Putusan yang diajukan oleh keluarga terdekatnya tersebut harus mengacu kepada kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pasien. Dalam hal pasien sendiri sudah inkompeten, tidak ditemukan adanya orang yang ditunjuk untuk itu dan keluarga juga tidak ditemukan, maka dokter harus membuat keputusan medik yang layak dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman terbaiknya (best interest standard) 5, 7, 8 Pembuatan testamen mengikuti ketentuan sebagaimana diuraikan di atas. Masalah hanya timbul apabila testamen akan dibuat pada saat kompetensi pasien mulai diragukan, maka diperlukan suatu pengamatan medis guna memutuskan apakah pasien masih memiliki kemampuan untuk membuat testamen. Dengan merujuk kepada tabel 1 dapat dikatakan bahwa dalam hal ini dibutuhkan kompetensi untuk dapat menyatakan kehendak (make a will) dan dengan demikian kapasitas kognitif yang harus dimilikinya adalah pemahaman akan sifat dan sasaran kehendaknya, kepemilikannya, konsep pewarisan dan penghadiahan, serta dampaknya. Dalam hal ternyata pasien telah tidak kompeten dalam membuat testamen atau melakukan tindakan hukum lainnya, maka pengadilan harus dimintakan untuk menunjuk pengampu bagi kepentingan-kepentingannya. Kompetensi dan pengadilan Sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan hingga di tingkat persidangan pengadilan, kompetensi saksi ataupun tersangka / terdakwa merupakan isu penting guna mencapai predikat fair trial. Apabila keadaan memaksa untuk diajukannya seorang saksi yang sakit ingatan, maka ia akan diperiksa dan memberikan keterangan tanpa disumpah terlebih dahulu, dan konsekuensinya tidak dianggap sebagai alat bukti sah. Pasal 171 KUHAP Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah adalah : a. b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Pasal 185 KUHAP (7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Kapasitas yang harus dimiliki seseorang untuk dapat dikatakan kompeten memberikan kesaksian di pengadilan adalah mampu mengamati, mengingat dan berkomunikasi tentang peristiwa yang dipertanyakan, serta memahami sifat dan dampak dari sumpah yang diucapkannya (be capable of observing, remembering, and communicating about events in question, understand the nature of an oath).

Jakarta, 7 April 2002

Kompetensi yang lebih tinggi kualitasnya harus dimiliki oleh seseorang yang akan diinterogasi sebagai tersangka (competence to be interviewed) ataupun diperiksa di sidang pengadilan sebagai terdakwa (competence to stand trial). Perasaan moral masyarakat menyatakan bahwa individu yang tidak dapat memahami sifat dan obyektif persidangan yang melawannya, tidak mampu berkonsultasi dengan penasehat hukumnya dan tidak mampu membantu persiapan pembelaan atas dirinya, dianggap tidak layak untuk diadili. 9 Di dalam jurisprudensi kasus Dusky vs US (1960) dikatakan bahwa test (untuk menguji kompetensi untuk diajukan ke pengadilan) harus dapat menentukan apakah ia saat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk berkonsultasi dengan penasehat hukumnya dengan tingkat penalaran yang memadai dan pemahaman yang memadai tentang fakta dalam persidangan tersebut. Dalam praktek, Chiswyck (1990) merumuskan kapasitas yang harus dimiliki adalah sebagaimana dikutip oleh Zapata 10 sewaktu mengomentari pemeriksaan atas Pinochet, yaitu : (1) memberi instruksi kepada penasehat hukum, (2) melakukan pembelaan atas tuduhan, (3) menantang keberadaan seseorang anggota juri tertentu, dan (4) memahami bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan. Penentuan kompetensi biasanya melalui tiga tahap prosedur, dimulai dengan tahap pencetus. Baik jaksa penuntut umum maupun pembela, ataupun hakim dapat mencetuskan persoalan kompetensi terdakwa. Akibatnya, begitu isu kompetensi diajukan di pengadilan, maka siapa pun tidak diperbolehkan mengabaikannya ditinjau dari prinsip fair-trial. Seorang atau sebaiknya tim dokter yang independen segera dibentuk untuk menilai keadaan kesehatan jiwa terdakwa. Dalam hal ini terdapat dua hal yang perlu dicatat, yaitu unsur prosedural dan unsur substantif. Dalam kaitannya dengan prosedur, kata independen di atas berarti bahwa dokter tersebut bukanlah dokter pengobat (treating / attending physicians), melainkan dokter yang khusus ditunjuk untuk menilai (assessing / advising physicians). Demikian pula pemeriksaan yang dilakukan haruslah pemeriksaan psikiatris yang impartial. Secara substantif, kompetensi yang dipertanyakan adalah kompetensi terdakwa pada saat ini dan bukan kompetensi pada saat melakukan tindak pidana. Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur hal di atas, sementara berbagai negara membuat ketentuan yang jelas dan cukup rinci. Dikatakan bahwa selanjutnya akan digelar suatu formal hearing (tertulis), dimana pada saat tersebut peran ahli psikiatri sangatlah penting. Bila ia mengatakan bahwa terdakwa mungkin inkompetent (is likely to be incompetent), maka biasanya akan digelar suatu competency hearing. Competency hearing dapat diadakan kapan saja dalam suatu rangkaian persidangan. Psikiater pemeriksa terdakwa akan menjadi saksi ahli utama dalam competency hearing, namun tidak menutup kemungkinan diajukannya saksi dan atau ahli lain oleh jaksa penuntut umum ataupun oleh pembela. Dalam hal kemudian diputuskan bahwa terdakwa tidak kompeten untuk diajukan ke pengadilan, maka ia dimasukkan ke dalam suatu institusi atau dirawat selama satuan waktu tertentu untuk memperoleh observasi dalam rangka re-evaluasi secara berkala. Ia dapat dibebaskan dari ketentuan observasi apabila ia dinyatakan kompeten dan konsekuensinya diajukan ke pengadilan atau perkaranya dihentikan secara resmi.

Jakarta, 7 April 2002

Pertanggungjawaban hukum Sejarah menunjukkan bahwa seseorang secara hukum dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila ia menderita sakit jiwa sehingga ia tidak dapat memahami sifat dan kualitas tindakannya, atau apabila ia memahaminya, ia tidak memahami apakah tindakannya tersebut benar atau salah (M Naughton rule). Setelah seabad lebih ketentuan ini berlaku, konsep ini mulai dikritik. Para ahli mengatakan bahwa banyak orang menderita penyakit mental sedemikian rupa sehingga meskipun ia dapat membedakan baik dan buruknya suatu tindakan, namun ia tidak dapat mengendalikan tindakannya. Untuk mengatasi kelemahan MNaughton rule tersebut, maka ditambahkanlah satu test, yaitu irresistible impulse. Oleh karena MNaughton rule dianggap terlalu sempit maka dibuatlah standar yang lebih luas (Durham), yaitu terdakwa tidak dapat bertanggungjawab secara pidana apabila tindak pidana yang dilakukannya adalah hasil dari suatu penyakit jiwa atau defek kejiwaan. Namun para ahli menganggap ketentuan ini terlalu luas. Pada tahun 1960 the American Law Institute (ALI) membuat model test dengan menyatakan bahwa seseorang tidak bertanggungjawab secara pidana apabila pada saat itu tindak pidana tersebut merupakan akibat dari penyakit atau defek mental sehingga ia kehilangan kapasitas yang diperlukan untuk menilai kriminalitas tindakannya atau untuk menyesuaikan tindakannya dalam mematuhi hukum (if at the time of such conduct as a result of mental disease or defect he lacks substantial capacity either to appreciate the criminality of his conduct or to conform his conduct to the requirements of the law). The American Psychiatry Association mengajukan suatu standar yang lebih ketat, yaitu seseorang dapat dinyatakan tidak bersalah karena alasan insanity apabila terbukti bahwa sebagai hasil dari penyakit mental atau mental retardasinya ia tidak mampu menilai kesalahan tindakannya pada saat ia melakukan tindak pidana. Di dalam standar ini, keadaan penyakit mental dan retardasi mental hanya meliputi mereka dengan kondisi mental yang abnormal berat sehingga secara jelas terlihat gangguan persepsi atau pemahaman atas realitasnya (a person charged with a criminal offense should be found not guilty by reason of insanity if it is shown that as a result of mental disease or mental retardation he was unable to appreciate the wrongfulness of his conduct at the time of the offense. As used in this standard, the terms mental disease or mental retardation include only those severely abnormal mental conditions that grossly and demonstrably impair a persons perception or understanding of reality and that are not attributable primarily to the voluntary ingestion of alcphol or other psychoactive substances). Di Indonesia kita kenal pasal 44 KUHP sebagai dasar hukum utama : (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena sakit, tidak dipidana. Saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan yang mengatur secara rinci apa yang dimaksud dengan keadaan jiwa sebagaimana bunyi pasal 44 KUHP. Oleh karena itu pemeriksaan penilaian kompetensi seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan peradilan mengacu kepada ketentuan profesional yang terkait dengan itu, yaitu profesi neuro-psikiatri.
Jakarta, 7 April 2002 7

Penilaian kompetensi Penilaian kompetensi seseorang hingga saat ini masih merupakan bidang yang belum tuntas benar dan masih dikembangkan oleh berbagai ahli, terutama oleh para ahli psikiatri. Di dunia psikiatri terdapat sejumlah checklists dan tes psikometrik yang didesain untuk membantu para dokter dalam menilai kompetensi seseorang untuk diajukan ke pengadilan. Salah satu yang paling sering digunakan adalah Competency to Stand Trial Instrument (CSTI) yang didesain oleh Laboratorium Psikiatri Komunitas. CSTI mengkur 13 fungsi yang berkaitan dengan yang dibutuhkan dalam mengikuti proses persidangan dalam rangka ia dapat membela diri secara adekuat. CSTI menstandarisasi, mengobyektifkan, dan mengkualifikasikan kriteria yang relevan untuk menentukan kompetensi seseorang diajukan ke pengadilan 3. Berbagai instrumen pemeriksaan yang biasa digunakan dalam psikiatri untuk menilai intelegensi (Wechler dan Progressive matrix) dan memori juga dapat digunakan (drawing, brief story, objects). Demikian pula Mini Mental State Examination juga dapat dilakukan untuk mengukur orientasi, memori, perhatian, konsentrasi, kemampuan menyebut nama obyek, kemampuan untuk mengikuti perintah tulisan dan verbal, menulis suatu kalimat atau menggambar suatu geometrik. Selain itu pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan fungsi neurologis tertentu dapat juga dimanfaatkan untuk dapat menjelaskan berbagai kelainan, seperti CT Scan, brain mapping dll. Beberapa pemeriksaan lain bila diperlukan juga dapat dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara penyakit kronik tertentu, impairment tertentu dan penggunaan obat-obatan, dengan keadaan mentalnya saat itu. Pada awal 1990 the MacArthur Foundation Research Network on Mental Health and the Law mulai mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur kompetensi seseorang untuk maju ke pengadilan. Studi tersebut mendasarkan kerjanya kepada proposal : kompetensi fundamental untuk berkonsultasi dengan penasehat hukum dan konsep kontekstual decisional competence. Kompetensi fundamental mengacu kepada kriteria Dusky, sedangkan decisional competence mengacu kepada kemampuan untuk mengungkapkan pendapat yang ingin disampaikannya, kemampuan untuk memahami informasi yang relevan, kesadaran yang terinformasi tentang signifikansi informasi tersebut bagi kasusnya, dan penggunaan penalaran pengambilan keputusan dalam mencapai keputusan. Mac Arthur Structured Assessment of the Competencies of Criminal Defendants (MacSAC-CD) menggunakan teori legal competence dan dibagi ke dalam dua garis konseptual (adjudication dan decisional competence) dan 4 area fungsional (choice, understanding, appreciation, and reasoning). Selanjutnya, dengan merampingkan MacSAC-CD mereka dapat menciptakan MacCAT-CA (MacArthur Competence Assessment Tool Criminal Adjudication) yang memiliki 3 pengukuran dan 22 items. MacSAC-CA dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam, memeriksa : understanding (misalnya kemampuan memahami informasi umum berkaitan dengan hukum dan prosedur persidangan); reasoning (misalnya kemampuan melihat informasi dengan potensi relevan dengan hukum dan kapasitas untuk menalar pilihan khusus yang

Jakarta, 7 April 2002

menentang terdakwa dalam persidangan); dan appreciation (misalnya kesadaran rasional akan arti dan konsekuensi persidangan bagi kasusnya). 11 Kesimpulan Isu kompetensi seringkali dimunculkan pada seseorang lanjut usia, terutama dengan gangguan neurologis tertentu; baik dalam kaitannya dalam menjalankan hak-hak sipilnya, maupun pada saat ia berfungsi sebagai saksi atau terdakwa dalam perkara pidana. Hukum seringkali harus meminta laporan kesehatan para ahli kesehatan untuk dapat menentukan apakah seseorang kompeten untuk melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu; namun di sisi lain keputusan kompetensi seseorang tidak bersandar terutama kepada pendapat ahli. Tabel 1 Relevant Act Make a will Make a contract Marry Drive Testify in court General legal test regarding competency Understand the nature and object of the will, ones holdings, natural objects of ones bounty Understand the nature and effect of the proposed agreement or transaction Understand the nature of the marital relationship and the rights, duties, and obligations it creates Understand the pertinent laws of the state with regard to licensure, refrain from driving in a dangerous manner Be capable of observing, remembering, and communicating about events in question, understand the nature of an oath

Responsibility for a Posses sufficient capacity (cognitive) to understand and criminal act appreciate the criminality of ones acts (and) conform ones conduct to the requirements of the law Stand trial Posses sufficient capacity to rationally and factually understand the nature of the proceedings and be able to assist and consult with legal counsel Posses sufficient capacity to make a knowing and intelligent waiver of certain constitutional rights and a knowing and voluntary confession Posses sufficient capacity to rationally and factually understand the nature of the trial proceedings and purpose of punishment Posses sufficient mental capacity to understand the particular treatment choice being proposed and any relevant adverse effects associated with it Steven B Bisbing (1998) 3
Jakarta, 7 April 2002 9

Make a confession

Be executed for a criminal act Consent to treatment

Kepustakaan 1. Kapp MB. Geriatric Patients. In Sanbar SS et al (eds): Legal Medicine. fourth ed. St Louis : Mosby, 1998, pp 417-421 2. Subekti R dan Tjitrosudibio R. Kitab Undang Unang Hukum Perdata. Edisi revisi. Jakarta : Pradnya Paramita, 1995. 3. Bisbing SB. Competency and capacity : a primer. In Sanbar SS et al (eds): Legal Medicine. fourth ed. St Louis : Mosby, 1998, pp 32-43 4. Dubler NN. Legal and Ethical Issues. In the Merck manual of Geriatrics. www.merck.com/pubs/mm_geriatrics/sec1/ch14.htm 5. Veatch RM. The basis of Bioethics. New Jersey : Prentice Hall, 1999 6. Hooper SC et al. Major depression and refusal of life-sustaining medical treatment in the elderly. Med.Journal of Australia 1996; 165: 416-419 7. Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Boston : Kluer Taxation and Law Publishers, 1993. 8. Lawnet National Report Sweden. www.alzheimer-europe.org/JMA/English /documents/lawnet/sweden.pdf 9. Firestone MF. Psychiatric patients and forensic psychiatry. In Sanbar SS et al (eds): Legal Medicine. fourth ed. St Louis : Mosby, 1998; pp 494-519 10. Zapata E. Remember-Chile disputes the medical report on general Pinochets fitness to plead. www.remember-chile.org.uk/declarations/00-02-20rc.htm 11. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry 1999, 12: 647-651.

Jakarta, 7 April 2002

10

CURRICULUM VITAE SINGKAT


Nama Jenis kelamin Tempat / th lahir Kebangsaan Pekerjaan Alamat Kantor : BUDI SAMPURNA : Laki-laki. : Bandung, 1954. : Indonesia : Staf Pengajar Konsultan Medikolegal : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl Salemba Raya 6 Jakarta 10430 Telp 3106976 Fax 3154626 Pusat Krisis Terpadu untu Perempuan dan Anak RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Gedung IGD RSCM, Lantai II, Jakarta 10430. Telp. 3162261 Alamat Rumah Pendidikan : Jl. Olah Raga V No 3 Jakarta 11480 Telp / Fax : 5482488, email : sampurna@cbn.net.id : Dokter, FKUI, 1979 Spesialis Forensik, FKUI, 1983 Sarjana Hukum, FHUI, 1998 Diploma in Forensic Medicine (clinical), NSPH, 2001 : Ketua Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota PB Ikatan Dokter Indonesia Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik AFI, INPALMS, Perhuki : anggota

Organisasi

Jakarta, 7 April 2002

11

ASPEK MEDIKOLEGAL GANGGUAN NEUROGERIATRIK


Budi Sampurna
Abstrak Gangguan neurogeriatrik merupakan tantangan bagi profesi kedokteran oleh karena di masa mendatang angka kekerapannya akan semakin tinggi sebagai akibat dari semakin banyaknya manusia berusia lanjut di Indonesia. Sebagian dari mereka akan menghadapi masalah-masalah medikolegal. Gangguan neurogeriatrik yang menurunkan kompetensi pasien dapat mengakibatkannya tidak mampu memberi consent suatu tindakan medik, tidak mampu melakukan hubungan / tindakan hukum sipil, atau tidak layak diajukan ke pengadilan pidana, atau bahkan mungkin tidak bertanggungjawab secara hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya. Pemeriksaan guna penentuan kompetensi seseorang sebaiknya dilakukan oleh tim dokter multi-disiplin yang independen dengan menggunakan instrumen pemeriksaan yang telah dikenal dan sahih di dunia kedokteran. Key words : neurogeriatrik kompetensi medikolegal

Jakarta, 7 April 2002

12

You might also like