You are on page 1of 17

Letak lesi dari : Poliomielitis

Lesi pada neuron motorik di cornu anterior Medulla Spinalis. Definisi Poliomielitis ialah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dengan akibat kelumpuhan dan atrofi otot. Etiologi Virus polimielitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel.Terdapat 3 strain virus yaitu tipe 1(brunhilde),tipe 2 (langsing),dan tipe 3 (leon).Epidemi yang ganas biasanya disebabkan virus tipe 1, ringan tipe 3,sedangkan tipe 2 kadang menyebabkan kasus sporadik. Virus dapat bertahan berbulan-bulan dalam air dan bertahun dalam deep freeze.Virus dapat dimusnahkan dengan pengeringan atau pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganat.Reservoir alamiah satu-satunya adalah manusia .Masa inkubasi antara 7-10 hari, kadang antara 3-35 hari. Patofisiologi Virus masuk lewat rongga orofaring ,berkembang dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotel. Dalam keadaan ini timbul : 1.perkembangan virus 2.tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik. Bila pembentukan antibodi cepat dan mencukupi maka virus akan ternetralisasi, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak sama sekali. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu. Manifestasi Klinik Tanda klinis penyakit polio pada manusia sangat jelas. Sebagian besar(90%) infeksi virus polio menyebabkan inaparent infection,sedangkan 5% menampilkan gejala abortive infection,1% nonparalitik dan sisanya menunjukan tanda klinik paralitik. Bagi penderita dengan tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukan kelumpuhan ringan, 30% menunjukan kelumpuhan berat dan 10% menujukan gejala berat serta bisa menimbulkan kematian. Penderita sebelum ditemukannya vaksin terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin,usia penderita bergeser menjadi kelomok anak usia di atas 5 tahun.

Gambar 2: Kelumpuhan otot pada poliomyelitis Stadium akut sejak ada gejala klinis hingga dua minggu, ditandai dengan suhu tubuh meningkat,jarang terjadi lebih dari 10 hari,kadang disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan itu terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di medulla spinalis dan invasi virus. Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris sehingga menimbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian besar kelumpuhan terjadi pada tungkai (78,6%). Kelumpuhan akan memakan waktu 2 hari hingga 2 bulan. Stadium sub akut (2 minggu 2 bulan) ditandai dengan hilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi. Stadium konvaselent (dua bulan hingga dua tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot. Sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Kemudian setelah usia dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan otot.Stadium kronik atau dua tahun lebih sejak gejala awal penyakit biasanya menunjukan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot permanen. Gejala Terdapat 4 pola dasar pada infeksi polio: I. Silent infection

Setelah masa inkubasi 7-10 hari ,tidak terdapat gejala klinis. Pada suatu epidemik diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut. II. Poliomielitis abortif Diperkirakan terdapat 4-8% pada penduduk suatu epidemik.Timbul mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.Gejala yang timbul berupa infeksi virus, peri malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi, dan nyeri abdomen. Diagnosis pasti dengan menemukan virus di jaringan. Diagnosa banding : influenza atau infeksi bakteri daerah naso faring. III. Poliomielitis non paralitik Gejala klinik sama dengan poliomielitis abortif hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih berat yang timbul 1-2 hari. Khas untuk penyakit ini adalah nyeri dan kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.Bila anak berusaha untuk duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur (tanda tripod) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme. Kuduk kaku terlihat secara positif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif .Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak akan menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomielitis paralitik. Diagnosa banding : Meningitis serosa,meningismus,tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis servikalis. IV. Poliomielitis paralitik Gejala berupa paralisis otot leher, abdomen,tubuh,diafgrama,thoraks,dan terbanyak ekstermitas bawah.Tersering otot besar pada tungkai bawah otot quadrisep femoris, pada lengan otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon berkurang atau menghilang serta tidak terdapat gangguan sensibilitas.

Diagnosa banding: 1. Pseudoparalisis yang non-neurogen : tidak ada kuduk kaku, pleiositosis. Disebabkan oleh trauma, demam reumetik akut,osteomielitis. 2. Polineuritis: gejala parapelgi dengan gangguan sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan gangguan otot bola mata. 3. Sindrom guillain barre ,bedanya : a. Sebelum paralisis pada 50% sindorm guillain barre terdapat demam tinggi. b. Paralisis tidak akut seperti poliomielitis ,tetapi perlahan- lahan. c. Topografi paralisis berbeda dimana terjadi kelumpuhan bilateral simetris.

d. Likuor serebrospinal pada stadium permulaan polimielitis adalah pleiositosis sedangkan pada sindrom guillain barre protein menigkat. e. Prognosis sindrom guilain barre sembuh tanpa gejala sisa. f. Pada sindrom guillain barre terdapat gangguan sensorik. Penatalaksanaan 1. Silent infection : istirahat 2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari,bila tidak terdapat gejala lagi dapat beraktivitas. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih teliti terhadap kemungkinan kelainan muskulo-kletal. 3. Poliomielitis paraltik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu, perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan. Terapi kausal tidak ada. 4. Pengobatan simptomatik bergantung pada : a. Fase akut Analgetika untuk rasa nyeri otot. Lokal diberi pembalut hangat.Sebaiknya diberi papan penahan pada telapak kaki.Antipiretika untuk menurunkan suhu. Bila terdapat retensio urine lakukan katerisasi. Pada poliomielitis tipe bulber kadang- kadang reflek menelan terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi.Untuk itu kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi. b. Sesudah fase akut Kontraktur, atrofi dan antoni otot dikurangi dengan fisioterapi.Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang. Akupuntur dilakukan sedininya yaitu segera setelah diagnosis dibuat akan memberi hasil yang memuaskan. Prognosis Bergantung pada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pada bagin yang terkena. Otot-otot yang lumpuh tidak pulih kembali dan menunjukan paralisis tipe flasid dengan atonia, arefleksi dan degenarasi. Komplikasi residual paralisis tersebut ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.

Sindroma Guillain Barre


Lesi pada radiks Medulla Spinalis Nama lain dari Guillain Barre Syndrome adalah: Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis (polineuritis febril), Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis (polineuritis akut pasca infeksi), Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending

paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Gambar 3: Kerusakan myelin saraf pada GBS I. Definisi Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin saraf perifer dan cranial. GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Merupakan suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. II. Etiologi Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin adah ubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain: a. Infeksi virus atau bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungandengan GBS :

i. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo ii. Bakteri: Campylobacter, Jejuni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid, Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria b. Vaksinasi c. Pembedahan, anestesi d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis Dari faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya. III. Patofisiologi Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme limfosit mediated delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada syaraf tepi hingga terjadi kelumpuhan. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

V. Manifestasi klinik Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antarasatu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat

kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Ditandai dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan ototototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Gejala klinis yang ditemukan: 1. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dansaraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. 2. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari padasensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering terkena adalah N.VII dengan kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa terkena kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.laringeus. 4. Gangguan fungsi otonom Dijumpai pada 25 % penderita GBS berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus

bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodik profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom jarang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5. Kegagalan pernafasan Merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan. V. Pemeriksaaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (>0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10sel/mm3. 2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. VI. Penatalaksanaan Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif untuk: 1. Pengaturan jalan napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. 2. Pemantauan EKG dan tekanan darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan

hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (shortacting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. 3. Plasmaparesis Menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma. Pengobatan Imunoglobulin IV Pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis dewasa adalah 0,4g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya. VII. Prognosis Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki. Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps.
Guillain-Barr Syndrome. Diunduh dari http://bodyandhealth.canada.com/

Myasthenia Gravis Lesi pada neuromuskular junction

I. Definisi Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. II. Epidemiologi Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan 31pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. III. Patofisiologi Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Gambar 7: patofisiologi miastenia gravis Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

IV. Gejala Klinis Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain : i. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. ii. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. V. Klasifikasi Myasthenia Gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas I : Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. Kelas II: Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. Kelas IIa: Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. Kelas IIb: Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. Kelas III: Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot- otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. Kelas IIIa: Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. Kelas IIIb: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. Kelas IV: Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas IVa: Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otototot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. Kelas IVb: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi. Kelas V :Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun. VI. Diagnosis Myasthenia Gravis Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: i. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. ii. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. VII. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium i. Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody. Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. ii. Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. iii. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab. iv. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung

penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin / RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. 2. Imaging i. Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil. ii. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. iii. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 3. Elektrodiagnostik i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. VIII. Penatalaksanaan Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu11: 1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler: i. Istirahat Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akanbertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawahambang rangsang dapat berkontraksi. ii. Memblokir pemecahan Ach Anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.

2.Mempengaruhi proses imunologik i. Plasma Exchange (PE) Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. ii. Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. iii. Kortikosteroid Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping.

Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahans ampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler. iv.Imunosupresif Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 212 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat. v. Thymectomy (Surgical Care) Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obatyang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.

Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

You might also like