You are on page 1of 144

Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa

Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove

Penulis: Ahmad Dwi Setyawan, S.Si.


Ari Susilowati, M.Si.
Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D.

© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali untuk tujuan
pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.

Penerbit:
Kelompok Kerja Biodiversitas
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Cetakan Pertama 2002


Kata Pengantar

Buku BIODIVERSITAS GENETIK, SPESIES DAN EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA


PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS EKOSISTEM MANGROVE ini
berbeda dengan dua buku petunjuk praktikum biodiversitas sebelumnya yang
dilaksanakan di lereng Gunung Lawu, yaitu PETUNJUK PRAKTIKUM
BIODIVERSITAS, STUDI KASUS RPH NGLERAK GUNUNG LAWU (2001) dan
PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS JOBOLARANGAN (2000).
Dalam praktikum ini aras biodiversitas genetik, spesies dan ekosistem
dicoba untuk digabungkan, sehingga mahasiswa dapat memahami materi
biodiversitas secara utuh. Berbeda dengan dua praktikum sebelumnya yang
hanya mencakup aras spesies dan ekosistem. Aras genetik didekati melalui
teknik isozim. Mengingat kompleksnya ekosistem mangrove maka praktikum
hanya ditujukan pada tumbuhan (mayor, minor, asosiasi), sedangkan hewan
dan mikrobia tidak dipraktikumkan dalam acara ini.
Buku panduan ini terdiri dari empat bagian yaitu: pertama: kajian teoritis
kondisi fisik, kimia, dan biotik kawasan mangrove, kedua: kajian teoritis
biodiversitas pada aras genetik, spesies dan ekosistem yang dipraktikumkan;
ketiga: petunjuk praktis cara melaksanakan praktikum, serta keempat:
lampiran yang terkait dengan pelaksanaan praktikum, termasuk Panduan
Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa.
Akhirnya dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT penulis men-
darmabaktikan tulisan ini untuk para mahasiswa pemerhati keanekaragaman
hayati dan mangrove, khususnya mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNS
Surakarta.

Surakarta, Oktober 2002


ADS., S., A.S.
Daftar isi
Bagian 1. Mangrove 1
1. Definisi Mangrove
2. Asal dan Distribusi
3. Klasifikas Taksonomi dan Ekologi
4. Ekosistem
5. Komponen Abiotik Ekosistem
6. Adaptasi Lingkungan
7. Zonasi
8. Hewan
9. Nilai Kegunaan
10. Konservasi dan Legislasi
11. Riset
12. Jalan-jalan di Hutan Mangrove

Bagian 2. Biodiversitas 57
1. Pengantar
2. Genetik – Isozim/Protein
3. Spesies – Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem – Analisis Vegetasi

Bagian 3. Praktikum 73
1. Area Kajian dan Populasi Sampel
2. Genetik – Isozim/Protein
3. Spesies – Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem – Analisis Vegetasi
5. Faktor Kimia Fisika Lingkungan

Bagian 4. Lampiran 95
1. Indeks Mangrove di Jawa
2. Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa
3. Borang A. Praktikum Genetik
4. Borang B. Praktikum Spesies
5. Borang C. Praktikum Ekosistem
6. Borang D. Praktikum Kimia Fisika Lingkungan

Daftar Pustaka 137


Bagian 1
MANGROVE

1
2
1
MANGROVE
Definisi Mangrove

Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai


tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh pohon dan semak tumbuhan bunga
(Angiospermae) terestrial yang dapat menginvasi dan tumbuh di lingkungan
air laut. Hutan mangrove disebut juga vloedbosh, hutan pasang surut, hutan
payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan
adalah hutan mangrove atau hutan bakau. Bakau sendiri merupakan nama
pepohonan anggota genus Rhizophora.
Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang
dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis
pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang
dan laguna. Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-
manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama
berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab
yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata
mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau
komunitas.

3
2
MANGROVE
Asal dan Distribusi

ASAL USUL SPESIES MANGROVE

Para peneliti berteori bahwa spesies mangrove berasal dari kawasan Indo-
Malaysia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kawasan nusantara
merupakan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove dapat
terdispersal ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya memiliki kekhasan
dapat mengapung dan terbawa arus laut ke area yang luas dan jauh dari
asalnya. Dari kawasan Indo-Malaysia, spesies mangrove tersebar ke arah
barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga Amerika dan
Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia
melewati selat yang kini menjadi negara Panama.
Pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66 s.d. 23 juta
tahun yang lalu, tanah genting tersebut masih berupa laut terbuka. Selanjut-
nya propagul mangrove terbawa arus laut hingga pantai barat Afrika.
Penyebaran ke arah timur diikuti penyebaran ke arah utara hingga Jepang dan
ke arah selatan hingga Selandia Baru. Hal ini menjelaskan mengapa
mangrove di Afrika Barat dan Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama
dan keragamannya lebih rendah, karena harus melewati samudera Pasifik
yang luas, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih
banyak spesies, mengingat jaraknya yang lebih dekat dengan kepulauan
nusantara (Indo-Malaysia).

4
DISTRIBUSI MANGROVE

Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan


subtropis, pada garis lintang di antara 25oLU dan 25oLS di seluruh dunia,
meliputi pantai tropis Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Sebagai
perkecualian, mangrove ditemukan di selatan hingga Selandia Baru (38oLS)
dan di utara hingga Jepang (32oLU). Faktor lingkungan setempat seperti aliran
laut yang hangat, embun beku (frost), salinitas, gelombang laut dan lain-lain
mempengaruhi keberadaan mangrove dalam batas-batas garis lintang di atas.
Kebanyakan negara tropis, pada masa lalu memiliki hutan mangrove.

Gambar: Dunia mangrove di Indo-Pasifik Barat dan Amerika-Afrika Barat

Walsh (1974) membagi dunia mangrove menjadi dua kawasan utama,


yaitu kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur,
serta kawasan Amerika – Afrika Barat, berdasarkan keanekaragaman
spesiesnya. Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan
beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di Afrika Barat dan Amerika
hanya sekitar 12 spesies. Terdapat perbedaan besar antara mangrove pada
kedua kawasan ini. Dua genus utama mangrove, Rhizophora dan Avicennia,

5
memiliki spesies yang berbeda di kedua kawasan tersebut, mengindikasikan
adanya spesiasi yang mandiri. Hal ini menunjukkan kawasan Indo-Malaysia,
khususnya Indonesia merupakan pusat asal usul, keanekaragaman, dan
distribusi mangrove.

Gambar: Kawasan pasang surut di


Asia Tenggara

Gambar: Kawasan muara sungai


di Asia Tenggara

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Pada tahun 1982


luasnya sekitar 4,25 juta hektar, sumber lain mengatakan pada tahun itu
luasnya sekitar 3,24 juta hektar dan pada tahun 1993 tinggal tersisa 3 juta
hektar. Di Jawa Tengah luas hutan ini tinggal sekitar 13.577 hektar, umumnya
tersebar di Karimunjawa, pantai utara Jawa, dan Segara Anakan. Pada masa
lalu luas hutan mangrove di Segara Anakan saja mencapai 15.145 hektar atau
bahkan 21.500 hektar. Pada masa kini luasnya sulit diperdiksi akibat tingginya
sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang diinvasi mangrove,
serta banyaknya perubahan peruntukan area vegetasi mangrove lama.

6
3
MANGROVE
Klasifikasi Taksonomi & Ekologi

KLASIFIKASI MANGROVE

Terdapat berbagai macam klasifikasi tumbuhan mangrove. Menurut


Tomlinson (1986), mangrove meliputi 16-24 familia terdiri dari 54-75 spesies.
Sedangkan menurut Field (1995), spesies mangrove sejati sekurang-
kurangnya terdiri dari 17 familia, meliputi sekitar 80 spesies, dimana 50-60
diantaranya memberi kontribusi nyata dalam pembentukan hutan mangrove.
Penulis lain (AIMS, 2000) menyatakan di dunia terdapat 69 spesies tumbuhan
mangrove tergolong dalam 20 familia. Pusat biodiversitas mangrove terletak di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di kawasan ini ditemukan 2/3 spesies
mangrove dunia. Sebagai pembanding di Amerika hanya ditemukan 10-12
spesies dan di Amerika Serikat hanya 4 spesies. Adapun di Afrika hanya
ditemukan 15 spesies, meliputi pantai timur dan barat. Tumbuhan mangrove di
Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, lima spesies semak, sembilan spesies
herba dan rumput, 29 spesies epifit dan dua spesies parasit, serta beberapa
spesies alga dan bryophyta. Kompilasi menunjukkan ekosistem mangrove
Segara Anakan disusun oleh 64 spesies.
Secara taksonomi tumbuhan mangrove diklasifikasikan sebagai berikut:
Nama umum: Mangrove
Seksi: Tumbuhan
Kerajaan: Plantae
Kelas: Magnoliopsida (Angiospermae)
Kerabat: Magnoliideae atau Liliideae

7
Ciri-ciri tumbuhan mangrove:
• Tumbuhan berpembuluh (vaskuler).
• Dapat menggunakan air garam sebagai sumber air; daun keras, tebal,
mengkilat, sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam
• Dapat mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan
dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam.
• Dapat menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk
(vivipar) dan dapat tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta
dapat mengapung.
• Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob.
• Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen
pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang.

Gambar: Daun mangrove

Tumbuhan mangrove berbentuk pohon


dan semak dengan bentuk dan ukuran
beragam. Semuanya termasuk dikotil kecuali
Nypa fruticans. Mangrove mudah dikenali
karena tumbuh pada area di antara rata-rata
pasang dan pasang tertinggi, serta
pembentukan akar yang sangat menyolok
untuk menyokong dan mengait. Sebagian
sistem akar terletak di atas tanah dan
berfungsi untuk menyerap oksigen selama
surut. Acrostichum merupakan satu-satunya
Gambar: Akar mangrove pterydophyta terestrial mangrove.

8
KLASIFIKASI VEGETASI MANGROVE

Vegetasi mangrove dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar,


yaitu: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi (Tomlinson,
1986).
Mangrove mayor (true mangrove) memiliki sifat-sifat berikut:
• Sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di kawasan pasang surut, di
antara rata ketinggian pasang perbani (pasang rata-rata) dan pasang
purnama (pasang tertinggi), serta tidak tumbuh di ekosistem lain;
• Memiliki peranan penting dalam membentuk struktur komunitas mangrove
dan dapat membentuk tegakan murni;
• Secara morfologi beradaptasi dengan lingkungan mangrove, misalnya
memiliki akar aerial dan embryo vivipar;
• Secara fisiologi beradaptasi dengan kondisi salin, sehingga dapat tumbuh
di laut, karena memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan
garam, misalnya melalui alat ekskresi;
• Secara taksonomi berbeda dengan kerabatnya yang tumbuh di darat,
setidak-tidaknya terpisah hingga tingkat genus.
Antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans,
Rhizophora, dan Sonneratia.
Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk membentuk
komponen utama vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni
dan hanya menempati tepian habitat. Antara lain: Acrostichum, Aegiceras,
Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis
acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus.
Mangrove/tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap
salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya
merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, namun mereka
berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang
berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh
arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus,
Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, beberapa polong, serta semak
Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh Ipomoea pes-
caprae, Sesuvium portucalastrum dan Salicornia arthrocnemum mengikat
pasir pantai. Spesies seperti Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap
berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa (Cocos nucifera),
sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain.
Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung
kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan
kondisi lingkungan lainnya.

9
4
MANGROVE
Ekosistem

Organisasi tertinggi di alam adalah ekosfer, diikuti bioma, ekosistem, dan


komunitas. Ekosfer adalah gabungan semua makhluk hidup (biosfer) dan tidak
hidup (atmosfer, hidrosfer dan littosfer). Bioma adalah beberapa ekosistem
sama yang terletak pada kawasan geografi luas. Ekosistem adalah organisme
yang secara mandiri mampu mengatur komunitas dan lingkungan non
biotiknya. Komunitas adalah populasi (kelompok spesies tunggal) tumbuhan
dan hewan yang berinteraksi di suatu tempat tertentu. Oleh karenanya
komunitas mangrove adalah bagian biotik ekosistem mangrove.

HABITAT MANGROVE

Habitat mangrove. Hutan mangrove hidup di dua dunia, antara darat dan
laut. Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan sub tropis
dengan suhu tinggi, terdapat endapan lumpur (alluvial) berbutir halus, gelom-
bang laut lemah, air garam dan tawar, serta jangkauan pasang surut yang
lebar. Mangrove menempati kawasan luas sepanjang pantai, bantaran sungai,
muara, delta, dan teluk yang terlindung, serta pulau-pulau yang "overwash".
Mangrove juga dapat ditemukan pada laguna tepi pantai, yang terhubung
langsung dengan laut namun pengaruh aliran pasang lemah dan salinitas
rendah. Ekosistem ini dipengaruhi perbedaan salinitas yang lebar dari aliran
pasang dan hujan. Istilah mangrove dapat digunakan untuk hutan intertidal
yang toleran terhadap salinitas terdiri dari pohon, semak, dan palem, serta
paku terestrial, epifit, dan rumput yang berasosiasi dalam tegakan tersebut.

10
Gambar: Tipe ekosistem mangrove

Peran ekologi. Mangrove membantu melindungi pantai dari erosi (abrasi),


angin ribut, dan gelombang laut. Mereka mencegah erosi garis pantai dengan
bertindak sebagai penghalang dan penangkap material alluvial, sehingga
menstabilkan ketinggian daratan dengan membentuk daratan baru untuk
mengimbangi hilangnya sedimen. Ekosistem karang dan rumput laut juga
terlindung akibat sedimentasi.
Kawasan mangrove merupakan tempat persembunyian dan perkembang-
biakan ikan, kepiting, udang dan moluska. Mangrove juga merupakan tempat
bersarang dan tempat singgah ratusan jenis burung. Di samping itu duyung,
kera, kucing hutan, kadal monitor, penyu laut, ikan gelodog, dan buaya muara
berhabitat di hutan mangrove.

Hubungan mangrove, rumput laut dan karang. Ketiga ekosistem ini


disatukan oleh massa air yang mengalir keluar masuk pada saat pasang dan
surut, serta oleh hewan-hewan yang hidup di habitat tersebut. Berbagai ikan

11
dan udang yang biasa ditemukan di lepas pantai menggunakan habitat
mangrove selama sebagin siklus hidupnya. Mangrove merupakan tempat
penting untuk berkembangbiak dan membesarkan anak berbagai spesies
komersial. Beberapa spesies kecil yang tidak memiliki nilai ekonomi juga
menggunakan mangrove, spesies ini akan menjadi sumber makanan spesies
yang lebih besar. Sebaliknya spesies lain seperti kepiting lumpur (Thalassina
anomala), menghabiskan sebagian besar hidupnya di mangrove dan bergerak
ke laut bebas untuk bertelur. Habitat pantai dihubungkan oleh aliran air.
Pasang dan arus membawa nutrien dari mangrove ke rumput laut dan karang,
dan sebaliknya. Saling pengaruh ini tergantung dekat-jauhnya habitat satu
terhadap habitat lainnya

Adaptasi. Tumbuhan mangrove memiliki ketinggian beragam tergantung


spesies dan lingkungan, dari semak-semak kerdil hingga pohon setinggi 40
meter. Akar penyangga beberapa spesies mangrove, seperti Rhizophora, dan
pneumatafora spesies lain, seperti Avicennia, memiliki sejumlah lubang kecil
lentisel untuk bernapas, sehingga oksigen dapat terdifusi ke dalam tumbuhan
dan menuju akar bawah tanah melalui jaringan udara aerenkim dalam korteks.
Lentisel tidak aktif pada saat tergenangi air pasang.
Garis evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat
biologi yang khas, yang ditujukan untuk mengatasi salinitas, kondisi lumpur
yang anaerob dan pemencaran biji. Tumbuhan mangrove secara khusus
memiliki akar aerial untuk menyerap oksigen; akar penyaring garam untuk
mencegah masuknya garam ke dalam sistem metabolisme; serta daun, akar
atau cabang pengekskresi garam untuk mengeluarkan garam. Sehingga dapat
menempati lahan basah yang salin, dimana tumbuhan lain tidak dapat hidup.
Sistem perakaran mangrove sangat efektif menyaring garam sebagaimana
dapat dirasakan dari air tawar yang muncul dari akar yang dipotong, meskipun
akar itu tumbuh di tanah salin. Sebagian tumbuhan mangrove memiliki cara
khusus untuk memencarkan biji, yakni biji dapat mengapung dan terbawa arus
laut, serta embryo umumnya telah mulai tumbuh saat biji masih menggatung
di pohon induk. Embryo yang tumbuh hingga memcahkan kulit biji disebut
vivipar, sedang yang tidak memecahkan kulit biji disebut kriptovivipar.

Zonasi. Keberadaan spesies dalam hutan mangrove tergantung berbagai


faktor lingkungan seperti salinitas, ketersediaan nutrien, kadar oksigen dalam
tanah dan aliran energi. Karena tumbuhan mangrove memiliki tanggapan
tertentu terhadap kondisi-kondisi ini maka mereka tersebar dalam zonasi
tertentu. Zonasi sering menjadi karakteristik hutan mangrove. Beberapa
spesies dapat menempati bagian tertentu (niche) dalam ekosistem. Spesies

12
mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau atau teluk yang terlindung,
lainnya tumbuh jauh ke pedalaman hulu sungai pada muara yang masih
dipengaruhi pasang surut.
Tumbuhan di zona pasang-surut dipengaruhi fluktuasi salinitas yang
sangat tinggi. Mereka terendam air laut pada saat pasang, sebaliknya pada
saat surut atau musim hujan mereka dapat terendam air tawar. Pasang surut
dan aliran sungai dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan
oksigen ke sistem perakaran. Tanah di daerah pasang-surut biasanya lembek,
berlumpur dan sering anaerob. Spesies yang kurang toleran terhadap garam
sering ditemukan di bagian atas zona pasang surut atau di tempat-tempat
yang memiliki masukan air tawar. Spesies yang toleran dapat tumbuh pada
zona pasang surut dimana tingkat evaporasi tinggi sehingga tanah lebih asin
dari pada air laut (hipersalin). Tumbuhan mangrove memiliki keunikan dalam
kemampuannya tumbuh di lingkungan yang dinamis ini.

Manusia. Manusia dapat memberi dampak serius terhadap


keberlangsungan hidup mangrove. Dalam kasus tumpahan minyak dari kapal
tangker, mangrove yang dapat bertahan pada lingkungan lumpur dan asin ini
akan menemui bahaya besar, karena minyak dapat menutupi permukaan akar
napas, sehingga penyerapan oksigen terganggu.

TIPE LINGKUNGAN MANGROVE

Vegetasi mangrove umumnya tumbuh di muara sungai, dimana terdapat


aliran air tawar, sedimentasi, masukan air laut, dan perlindungan dari
gelombang laut. Kondisi demikian disebut lingkungan sungai, dan ditemukan
pada kebanyakan muara sungai di Indonesia. Namun vegetasi mangrove juga
dapat terbentuk pada pantai yang tidak memiliki sungai sehingga masukan air
tawar dan sedimentasi dari darat hanya terjadi pada musim hujan. Kondisi
demikian disebut lingkungan laut, misalnya di Gili Sulat, NTB dan pantai utara
Australia. Kedua lingkungan ini memiliki tipe salinitas yang berbeda.

Lingkungan sungai (riverine environment) terbentuk sepanjang tepian


sungai beserta anak-anak sungai. Struktur hutan di muara sungai didominasi
tumbuhan mangrove, dan ke arah hulu secara gradual digantikan komunitas
hutan tropis. Sungai membawa air tawar dan nutrien dari daerah tangkapan air
ke dalam habitat mangrove.

13
Lingkungan laut (marine
environment) terbentuk pada
pantai tanpa sungai, sebagian
besar air berasal dari laut,
dimana masukan air tawar
sedikit, yakni hanya dari aliran
permukaan akibat hujan.
Struktur hutan mangrove
terbentuk di tepi pantai dan
semakin ke dalam terdapat
hutan tropis, yang menghindari
tanah asin dimana mereka
tidak dapat tumbuh.
Lingkungan laut dan darat
seringkali berasosiasi terutama
pada anak-anak sungai di
mulut muara. Pada ilustrasi di
samping, tanah yang lebih salin
diwarnai lebih gelap.

ALIRAN ENERGI

Hutan mangrove sangat vital untuk kesehatan ekosistem pantai. Detritus


hutan ini, terutama tersusun atas serasah daun dan cabang-cabang mangrove
yang gugur, menyediakan nutrien autochthonous bagi ekosistem mangrove
dan laut. Hal ini mendukung berbagai jenis hidupan laut dalam jaring-jaring
makanan yang kompleks yang terhubung secara langsung dengan detritus
atau secara tidak langsung dengan plankton dan alga epifit. Plankton dan alga
merupakan sumber utama karbon pada ekosistem mangrove di samping
detritus. Pada lingkungan riverine, nutrien (dan polutan) di bawa pula dari
kawasan hulu sebagai allochthonous.
Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif yang mendukung
sejumlah besar kehidupan melalui rantai makanan yang dimulai dari tumbuh-
tumbuhan. Daun tumbuhan mangrove, sebagaimana semua tumbuhan hijau,
menggunakan sinar matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi
senyawa organik melalui proses fotosintesis. Karbon yang diserap tumbuhan
selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrien yang diambil dari tanah,
menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Pertumbuhan pohon

14
mangrove sangat penting bagi keberlanjutan hidup semua organisme.
Terurainya daun, batang, dan akar mangrove yang mati menghasilkan karbon
dan nutrien yang digunakan oleh organisme lain dalam ekosistem tersebut.
Tidak ada yang menjadi sampah dalam ekosistem mangrove. Tumbuhan
mangrove merupakan lumbung sejumlah besar daun yang kaya nutrien yang
akan diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting yang
hidup di lantai hutan. Material organik yang mati diuraikan menjadi partikel-
partikel kecil (detritus) oleh sejumlah besar bakteri yang kaya protein. Detritus
merupakan sumber makanan bagi beberapa spesies moluska (siput),
Crustacea (kepiting dan udang) dan ikan, yang selanjutnya menjadi makanan
bagi hewan yang lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama
periuraian daun, kayu dan akar juga dimakan plankton dan alga.

15
5
MANGROVE
Komponen Abiotik Ekosistem

Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi mangrove dalam jangka


panjang adalah ketinggian dan fluktuasi permukaan laut. Adapun faktor-faktor
jangka pendek yang berpengaruh adalah suhu, salinitas, arus laut, angin
badai, kemiringan pantai, dan substrat sedimen tanah. Kebanyakan mangrove
tumbuh di tanah lumpur, namun dapat pula tumbuh di tanah gambut, pasir,
dan batu karang. Apabila kondisi pasang surut optimal, mangrove dapat
tumbuh jauh ke pedalaman sepanjang muara sungai dan teluk.

TANAH

Tanah mangrove merupakan tanah alluvial yang dibawa sebagai sedimen


dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai
pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay). Tanah
disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda, sedangkan lumpur
(mud) merupakan campuran dari lumpur halus dan lempung yang keduanya
kaya bahan organik (detritus).
Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir
berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan
mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih
gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu
jenuh air atau tergenang (waterlogged), sehingga hanya teraerasi sedikit,
sangat kaya bahan organik namun terurai sangat lambat. Tanah berwarna

16
abu-abu gelap atau hitam (gleying), dan menghasilkan bau menyengat karena
tidak teraerasi, menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan
bakteri anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio) yang tumbuh dengan
baik pada kondisi anoksik. Variasi setempat dapat terjadi karena adanya
hewan-hewan liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan udara
dapat terbawa melalui lubang-lubang yang terbentuk dalam tanah.
Kondisi tanah merupakan salah satu penyebab terbentuknya zonasi
penyebaran hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda
menempati kondisi tanah yang berbeda pula, dan tumbuhan seperti Avicennia
dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan
Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun
Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik.

DERAJAT KEASAMAN (pH)

Adanya kalsium dari cangkan moluska dan karang lepas pantai


menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun tanah
mangrove bersifat netral hingga sedikit asam karena aktivitas bakteri
pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan
berbau telur busuk.

OKSIGEN

Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara
untuk menyerap oksigen, sehingga beberapa tumbuhan membentuk metode
yang luar biasa untuk menyerap oksigen. Avicennia marina menumbuhkan
sejumlah akar kecil sebesar pensil (akar pasak) dari akar utama ke atas
permukaan lumpur untuk menyerap oksigen, sedangkan Bruguiera
gymnorrhiza membentuk akar lutut, yakni akar utama yang tumbuh ke atas
lalu masuk lagi ke lumpur seperti lulut yang terkubur. Rhizophora stylosa
membentuk akar penyangga untuk menyerap oksigen sekaligus menyangga
pohon. Beberapa pohon seperti Xylocarpus granatum membentuk akar papan
yang lebar di atas permukaan tanah.
Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah
daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang
kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan
organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik di badan air. Oksigen pada

17
permukaan sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk
mengurai dan respirasi. Kandungan oksigen pada beberapa milimeter lapisan
sedimen teratas diperoleh melalui sirkulasi pasang-surut dan pengaruh
atmosfer. Di bawahnya lumpur yang mengandung bahan organik dan partikel-
partikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi bakteri
anaerob yang dapat mengurai bahan organik tanpa oksigen. Hal ini
menghasilkan H2S yang mengubah warna tanah menjadi abu-abu gelap, dan
berbau seperti telur busuk.

NUTRIEN

Nutrien (zat hara) yang dihasilkan produser primer hutan mangrove


dilepaskan ke dalam komunitas, kadang-kadang dalam bentuk detritus melalui
peruraian serasah daun dan kayu. Dapat pula melalui perumputan yang
dilakukan herbivora sehingga terjadi pemindahan energi. Nutrien ekosistem
mangrove tidak semata-mata dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri
(autochthonous) tetapi juga dihasilkan dari luar ekosistem (allochthonous), dari
sungai atau laut. Hujan secara teratur menyapu detritus dari tepian pantai dan
daerah aliran sungai ke dalam mangrove, sedangkan pada saat pasang naik
laut membawa bahan organik yang terlarut atau tersuspensi ke ekosistem
mangrove, seperti organisme mikroskopis yang selanjutnya dimakan
organisme penyaring (filter feeders). Bersama dengan surutnya air laut,
organisme mikroskopis tersuspensi dalam air tersaring oleh tanah,
meninggalkan lapisan organisme mikroskopis di permukaan tanah, yang akan
dimakan fauna terestrial selama surut. Sebaliknya pada saat surut ini nutrien
dari daratan pantai juga terbawa ke laut.

SINAR, SUHU DAN KELEMBABAN

Kondisi di atas dataran lumpur terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat
berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut
surut di siang hari menjadi sangat panas dan memantulkan cahaya,
sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove terlindung dari
sinar matahari dan tetap sejuk. Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih
kering dari pada hutan tropis pada umumnya karena adanya angin. Suhu dan
kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies di
suatu habitat.

18
ANGIN DAN ARUS LAUT

Secara garis besar iklim di Jawa dibagi menjadi musim hujan (Oktober-
April) dan kemarau (April-Oktober), namun secara lebih detail dapat dibagi
menjagi empat musim (monsoon), yaitu: musim timur laut (Desember-Maret)
dengan angin kuat dan hujan lebat, khususnya dua bulan pertama; antar
musim (pancaroba) yang pertama (April) dengan angin tidak terlalu kuat;
musim barat daya (Mei-September) dengan angin kuat dan hujan sangat
sedikit; serta antar musim yang kedua (Oktober-Nopember) seperti antar
musim yang pertama, namun curah hujannya kadang-kadang lebih tinggi.
Arus laut terbentuk oleh musim angin, sehingga ketinggian gelombang laut
mengikuti musim ini.

ALIRAN PASANG-SURUT

Laut mengalami aliran air pasang (HW; high water, rising, flood tide)
sebanyak dua kali dalam sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low,
receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi dan gaya sentrifugal
rotasi bumi, bulan dan matahari, serta kondisi geografi setempat. Aliran
pasang surut biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang tinggi dan
dua pasang rendah yang dalam satu hari tingginya tidak sama. Waktu pasang
bergeser selama 50 menit dalam sehari, karena tergantung peredaran bulan,
yaitu 24 jam 50 menit.
Jangkauan pasang dan surut terbesar terjadi selama dua hari setelah
bulan baru (perbani). Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan purnama
terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring tide; HWST). Kondisi yang
sama pada bulan baru menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring
tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap dua minggu sekali.
Rata-rata jangkauan antara pasang dan surut pada bulan baru dapat
mencapai 3,5 m, sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m.
Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi (highest high water
spring tide; HHWST) dan surut terendah (lowest low water spring tide;
LLWST) dikenal sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove
tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL) dan pasang tertinggi
(HHWST) (periksa diagram di bawah).
Jangkauan pasang-surut tertinggi terjadi setiap dua minggu secara
bergantian(purnama dan perbani). Di antara dua periode pasang purnama,
matahari dan bulan mendekati sudut kanan masing-masing, sehingga

19
Gambar: ketinggian pasang surut dalam satu bulan

pengaruh gravitasinya saling membatalkan dan sebagai gantinya menghasil-


kan pasang perbani. Apabila bulan terletak pada quarter pertama atau ketiga,
terjadi jangkauan pasang terendah, hingga hanya 0,6 m, karena terjadi
pasang perbani tinggi (high water neap tides; HWNT) dan surut perbani tinggi
(low water neap tides; LWNT). Pola pasang surut bervariasi tergantung lokasi
dan waktu. Tingginya jangkauan pasang-surut dan faktor-faktor lain
menyebabkan terbentuknya zonasi horizontal dan vertikal tumbuhan dan
hewan mangrove.

20
Gambar: Zonasi Bruguiera dan Rhizophora karena pengaruh pasang surut.

SALINITAS

Kadar garam dalam air dinyatakan sebagai parts per thousand (ppt), yakni
jumlah garam (gram) yang terlarut dalam 1000 gram air. Garam dapur (sodium
chloride; NaCl) merupakan zat padat utama dalam air laut, salinitas rata-rata
air laut adalah 35 ppt. Derajat salinitas dapat dikelompokkan menjadi
oligohalin dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas
sedang (5-18 ppt), dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-30 ppt). Air tawar
memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Istilah air payau (brackish water) merupakan air
pada derajat oligohalin hingga agak mesohalin. Salinitas kawasan mangrove
sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan air laut saat
pasang dan air tawar dari sungai, khususnya pada musim hujan.
Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman badan air di muara sungai.
Garam yang terkandung dalam air laut cenderung tenggelam karena berat
jenis (BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk
pada saat pasang naik dapat menjadi hipersalin (>30 ppt) terutama jika surut
lebih lama. Hal ini terjadi karena evaporasi yang menguapkan air
menyebabkan konsentrasi garam naik. Biarpun di dalam mangrove pengaruh
aliran permukaan air tawar sangat signifikan, terutama selama musim hujan.
Sungai-sungai kecil dalam hutan mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke
dalam semakin tawar. Di batas ekosistem mangrove pengaruh masukan air
tawar sangat nyata.

21
6
MANGROVE
Adaptasi Lingkungan

Spesies mangrove berhasil tumbuh di lingkungan air laut karena memiliki


beberapa bentuk adaptasi khas. Adaptasi ini umumnya terkait dengan upaya
untuk bertahan dalam kondisi salin, bertahan dalam tanah lumpur anaerob
dan tidak stabil, serta untuk perkembangbiakan.

SALINITAS

Tumbuhan menghadapi berbagai masalah untuk tumbuh di dalam atau di


dekat air laut yang secara fisiologi ‘kering’, karena kebanyakan jaringan
tumbuhan dan hewan lebih encer daripada air laut. Agar terjadi osmosis, air
harus bergerak dari tempat yang konsentrasinya lebih rendah (hipotonis) ke
konsentrasi tinggi (hipertonis). Akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan
dapat berpindah ke tanah salin, sehingga tumbuhan menjadi layu dan mati.
Lingkungan yang keras dan tidak stabil ini menyebabkan diversitas hutan
mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis.
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
tetapi mangrove yang dua kali sehari tergenangi air laut dapat bertahan.
Semua pohon, semak, palem, tumbuhan paku, rumput, liana dan epifit yang
berhabitat di hutan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar
dan air laut dengan perbandingan seimbang (50% : 50%). Lebih dari 90%
tumbuhan mangrove dapat mencegah masuknya garam dengan filtrasi pada
akar. Garam yang tetap terserap ke dalam tubuh dengan cepat diekskresikan

22
oleh kelenjar garam di daun, sehingga daun tampak seperti ditaburi kristal
garam dan terasa asin. Beberapa tumbuhan menyimpan garam dalam kulit
kayu atau daun tua yang hampir gugur. Tingginya kadar garam pada
lingkungan mangrove akan menyebabkan tingginya konsentrasi garam dalam
jaringan, sehingga terjadi gangguan metabolisme.
Penyimpanan air juga merupakan masalah penting bagi tumbuhan
mangrove, karena tumbuh di tepi laut terbuka dimana kecepatan angin relatif
tinggi, laju transpirasi tumbuhan mangrove juga relatif tinggi. Tumbuhan
mangrove mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi kehilangan air
melalui daun. Mereka dapat mengatur pembukaan stomata dan orientasi
daun, sehingga mengurangi serapan sinar matahari dan evaporasi. Sebagian
tumbuhan mangrove memiliki daun keras, tebal, berlilin atau berbulu rapat
untuk mereduksi hilangnya air. Beberapa daun bersifat sukulen untuk
menyimpan air dalam jaringan.
Fluktuasi salinitas di hutan mangrove dipengaruhi pasang-surut dan iklim.
Selama musim hujan jumlah air yang menggenangi mangrove dan deposit
sedimen bertambah. Beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik
pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh
selama ribuan tahun pada danau air tawar di dataran tinggi, sedangkan di
Kebun Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada
lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke air tawar
tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies
lain, sehingga tumbuhan mangrove mengembangkan adaptasi untuk tumbuh
di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap
salinitas umumnya berupa kelenjar sekresi untuk membuang kelebih garam
dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam
jaringan.

Sekresi garam. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia,


Acanthus dan Aegiceras corniculata memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi
garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar 10% daripada air laut. Sebagian
garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diterbangkan angin
atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan menjilat daun tumbuhan mangrove
atau bagian lainnya.

Gambar: Kristal garam pada permukaan daun


Acantus illicifolius

23
Ultrafiltrasi. Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera,
Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki alat sekresi. Membran sel pada
permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam. Mereka
secara selektif hanya dapat menyerap ion-ion tertentu melalui proses
ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, untuk itu
kelebihan garam dibuang melalui transpirasi melalui permukaan daun
(stomata) atau disimpan di dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali
daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi. Sebagian
spesies mangrove menyimpan kelebihan garam dalam daun tua yang akan
segera gugur atau kulit kayu.

AKAR

Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah


yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan
tidak mampu melakukannya. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi
pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali
anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus
pneumatofora (akar napas). Akar di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan
parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak lubang-lubang kecil di kulit
kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah
tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah
lumpur yang lembut.

Pneumatofora (akar napas). Pneumatofora adalah akar tegak yang dapat


merupakan alat tambahan dari atas batang atau pemanjangan sistem akar di
bawah tanah. Akar ini, sebagian atau seluruhnya, tergenang dan terpapar
setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang-surut. Pada saat terpapar, akar
dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob (miskin oksigen)
dan tidak stabil Tumbuhan yang berbeda dapat memiliki bentuk akar yang
berbeda pula untuk beradaptasi dengan kondisi ini.
Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal
ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang labil. Sistem
perakaran di bawah tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di
atas tanah. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt or
prop), akar pasak (snorkel, peg or pencil), akar lutut (knee or knop), dan akar
papan (ribbon or plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat
berkombinasi dengan akar tunjang (buttres) pada pangkal pohon. Sedangkan
akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah.

24
Akar penyangga (sangga). Pada
Rhizophora akar panjang dan
bercabang-cabang muncul dari
pangkal batang untuk menyangga
batang. Akar ini dikenal sebagai prop
root dan pada akhirnya akan menjadi
stilt root apabila batang yang
disangganya terangkat ke atas hingga
tidak lagi menyentuh tanah. Akar
penyangga membantu tegaknya
pohon karena memiliki pangkal yang
luas untuk mendukung di lumpur yang
lembut dan tidak stabil. Juga
Gambar: Akar penyangga pada membantu aerasi ketika terekspos
Rhizophora pada saat laut surut.

Akar pasak. Pada Avicennia dan


Sonneratia, pneumatofora merupakan
cabang tegak dari akar horizontal
yang tumbuh di bawah tanah. Pada
Avicennia bentuknya seperti pensil
atau pasak dan umumnya hanya
tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan
pada Sonneratia tumbuh lebih lambat
namun dapat membentuk massa kayu
setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50
cm. Pada ekosistem alami mangrove
di teluk Botany, Sidney masih dapat
dijumpai pohon Avicennia marina yang
memiliki pneumatofora setinggi lebih
dari 28 m, meskipun kebanyakan
tingginya hanya sekitar 4 m.
Gambar: Akar pasak pada Avicennia

Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di
bawah permukaan tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian
kembali tumbuh ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk.
Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut dengan jarak teratur
secara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan

25
karena tersebar sangat luas dapat
menjadi tempat bertahan di lumpur
yang tidak stabil. Lumnitzera
membentuk akar lutut kecil yang
bentuknya merupakan kombinasi
antar akar lutut dan akar pasak.

Gambar: Akar lutut pada Bruguiera

Akar papan. Pada Xylocarpus


granatum akar horizontal tumbuh
melebar secara vertikal ke atas,
sehingga akar berbentuk pipih
menyerupai papan. Struktur ini
terbentuk mulai dari pangkal
batang. Akar ini juga melekuk-
lekuk seperti ular yang sedang
bergerak dan bergelombang.
Terpaparnya bagian vertikal me-
mudahkan aerasi dan tersebarnya
akar secara luas membantu
Gambar: Akar lutut pada
berpijak di lumpur yang tidak stabil.
Xylocarpus granatum

REPRODUKSI

Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan


bunganya sering kali menyolok mata. Biji mangrove relatif lebih besar
dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain. Biji ini seringkali telah
mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar).
Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu
tertentu kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung propagul
bervariasi tergantung jenisnya. Biji mangrove tertentu dapat mengapung lebih
dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa arus ke
berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di kawasan pasang
surut yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan tergantung iklim dan ketersediaan

26
mineral nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon
mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang
tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa
tahun kemudian.

Gambar: Biji dan propagul berbagai jenis tumbuhan mangrove

Vivipari. Vivipari adalah kondisi dimana embryo pertama kali tumbuh,


memecah kulit biji dan keluar dari buah pada saat masih melekat pada
tumbuhan induk, misalnya pada Bruguiera, Ceriops, Kandelia dan Rhizophora.
Kriptovivipari (Yunani: kryptos, tersembunyi) adalah kondisi dimana embryo
tumbuh dan memecah kulit biji, namun tidak keluar dari kulit buah hingga
lepas dari tumbuhan induk, misalnya pada Aegiceras, Avicennia dan Nypa.
Para pakar banyak berspekulasi mengenai fungsi vivipari atau kriptovivipari
dalam kaitannya dengan morfologi, ekologi, dan fisiologi tumbuhan. Karena
lingkungan mangrove unik ternyata dipengaruhi banyak faktor. Vivipari atau
kriptovivipari tidak ditemukan pada tumbuhan halofita (tumbuhan di lingkungan
salin) atau tumbuhan rawa-rawa air tawar, sehingga kondisi ini tidak

27
disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air. Salah satu hipotesis adalah
vivipari disebabkan karena mangrove tumbuh pada kondisi yang relatif tidak
stabil, sehingga memerlukan propagul yang tahan lama dan dapat tumbuh
dengan cepat, misalnya seedling Rhizophora yang berbentuk runcing seperti
anak panah sering tumbuh langsung di bawah induknya karena tarikan
gravitasi, meskipun hal ini dapat menyebabkan kekalahan dalam berkompetisi
dengan tumbuhan induk untuk mendapatkan cahaya, hara dan lain-lain.
Melalui vivipari perkecambahan embyo dimulai sejak biji masih menempel
pada pohon induk. Ketika buah jatuh sudah berupa seedling yang dapat
membentuk akar pada tanah di bawahnya. Vivipari merupakan mekanisme
adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar jauh, dapat bertahan dan
tumbuh dalam lingkungan salin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi
makan oleh pohon induk, sehingga propagul dapat menyimpan dan
mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk
pertumbuhan mandiri. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini
akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim,
dimana biji tumbuhan lain tidak dapat berkecambah secara normal.
Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung
selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah
yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat dalam
beberapa hari. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan
mangrove dapat tersebar pada area yang luas.

Gambar: Vivipari pada


Aegiceras corniculata

← Gambar: Vivipari pada


Bruguiera cylindrica

28
Propagul. Tumbuhan mangrove
memiliki biji terapung yang sesuai
untuk terdispersi melalui air. Berbeda
dengan kebanyakan tumbuhan, biji
mangrove dapat berkecambah ketika
masih melekat pada tumbuhan induk.
Beberapa biji tumbuh memecah kulit
buah (vivipari), seperti Acanthus,
Avicennia dan Aegiceras, sedang biji
lainnya tanpa memecah-kan kulit
buah (kriptovivipari), seperti Ceriops,
Rhizophora, Bruguiera, dan Nypa
untuk menghasilkan propagul, berupa
seedling yang dapat terbawa air
kemana-mana.
Propagul yang masak akan jatuh
ke air dan tetap dormansi hingga
tersangkut di tanah yang aman,
menebarkan akar dan mulai tumbuh.
Pembentukan propagul Rhizophora
diilustrasikan pada gambar di
samping. Tumbuhan lain dalam
familia Rhizophoraceae memiliki cara
yang serupa, misalnya Ceriops dan
Bruguiera. Beberapa mangrove
menggunakan cara konvensional (biji
normal) untuk reproduksi seperti
Gambar: Pembentukan propagul
Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan
Rhizophora
Xylocarpus.

29
7
MANGROVE
Zonasi

Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen. Spesies yang tumbuh di


bibir pantai cenderung berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi.
Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk zonasi. Zona luar
yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti Rhizophora pada
bagian sedikit agak dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza.
Zona tiga didominasi Xylocarpus dan Heritiera. Zona dalam didominasi
Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera. Adapun
zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan mangrove
dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus
portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan S. malaccensis.
Pada hutan mangrove yang tidak terganggu dapat terbentuk zonasi
spesies tunggal sejajar dengan garis pantai dan tepian sungai. Hal ini diketahu
dengan berjalan dari tepi pantai ke arah daratan. Beting lumpur yang luas atau
beting pasir yang dangkal di tepi laut ditumbuhi oleh Avicennia dan
Sonneratia. Rhizophora ditemukan lebih ke dalam pada tepian sungai, adapun
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus dan Heritiera membentuk bagian belakang
mangrove. Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung,
Nypa fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna.
Penyebab zonasi ini masih diperdebatkan dan kemungkinan disebabkan
kombinasi berbagai faktor seperti salinitas, kondisi tanah, tingkat genangan,
ukuran dan ketersediaan propagul, serta kompetisi antar spesies. Pada
sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan manusia
(antropogenik), zonasi sulit ditentukan akibat tingginya sedimentasi dan

30
perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul diduga lebih
berpengaruh dari faktor lain, dimana beting lumpur baru akan didominasi
tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut,
misalnya di Segara Anakan.

Gambar: Tiga zonasi mangrove di Sungei Buloh Singapura

Zonasi merupakan terminologi topografi, namun pada ekosistem mangrove


di Sungei Buloh Singapura, zonasi hutan dipengaruihi oleh dua hal, yakni: ke
arah laut oleh gumuk pasir dan ke arah darat oleh gundukan tanah setinggi 1-
1,8 meter yang dibuat oleh kepiting lumpur (Thalassina anomala), sehingga
hutan ini dibagi dalam tiga zona:
• Gumuk pasir didominasi oleh Sonneratia ovata dan Avicennia alba;
• Kanopi utama hutan didominasi oleh Avicennia rumphiana, A. officials,
Bruguiera cylindrica, B. gymnorhiza, dan Rhizophora apiculata;
• Gundukan lumpur dan kolam ditumbuhi Excoecaria agallocha, Bruguiera
cylindrica, B. gymnorhiza dan Rhizophora apiculata.
Kondisi lingkungan pada setiap zona berbeda-beda, sehingga penyebaran
organisme terbatas pada zona tertentu, namun spesies yang beradaptasi
dengan baik mampu hidup pada area yang lebih luas.

31
8
MANGROVE
Hewan

Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan


laut, sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di ekosistem
mangrove. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satu-
satunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah meskipun lebih sering
ditemukan di hutan mangrove, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan
musim, tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut.
Kebanyakan orang menganggap mangrove sebagai tempat berlumpur dan
rawa-rawa becek, yang penuh dengan nyamuk, ular, laba-laba, dan memberi
rasa tidak nyaman. Namun apabila diperhatikan lebih teliti berjalan-jalan di
kawasan mangrove merupakan perburuan besar. Di bawah kerimbunan hutan
terdapat berbagai jenis arthropoda, moluska, burung, ikan, reptilia, mamalia
dan lain-lain, sehingga menarik untuk ditelusuri. Mangrove merupakan salah
satu habitat paling penting di dunia.
Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. Sesendok teh lumpur
mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur
manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik
lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan
dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai.
Perairan payau di muara sungai yang dibatasi mangrove merupakan
standing stock fitoplankton, sangat rapat didominasi oleh diatom, khususnya
genus Coscinodiscus, Pleurosigma, dan Biddulphia. Adapun zooplankton
diwakili oleh hampir semua hewan akuatik mulai dari protozoa, telur ikan, dan
larva semua hewan Echinodermata. Bakteri patogen seperti Shigella,

32
Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien,
kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia,
limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik,
proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang
besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang
bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan
mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora)
lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria)
merupakan elemen tanah mangrove yang penting.
Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah
artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska
baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak
ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula
reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove.

Serangga. Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di


hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat,
semut dan jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga
merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove.

Odites (ngengat)

Crypticerya jacobsoni (kutu)

Dysdercus decussatus (kutu kapuk)

33
Monolepta (kumbang)

Elleipsa quadrifasciata (lalat)

Tetraponera (semut)

Apteronemobius asahinai (jengkerik)

Custacea. Crustasea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah


di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur
(Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut
liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.) yang salah satu capitnya sangat
besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan
memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah
dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet.

34
Macrobrachium equidens (udang muara)

Caridina propinqua

Penaeus (udang laut)

Uca rosea (kepiting biola merah)

Uca vocans (kepiting biola kuning)

Varuna yui (kepiting pendayung)

Scylla olivacea (kepiting lumpur kuning)

35
Myomenippe harwicki (kepiting batu)

Thalassina anomala (kepiting lumpur)

Coenobita cavipes (pong-pongan)

Euraphia withersi (teritip)

36
Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain
laba-laba, kutu (mite), dan kepiting ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai.

Hyllus diardii (laba-laba)

Argiope mangal (laba-laba)

Ligurra latidens (laba-laba)

Trombiculus (mite)

Carcinoscorpius rotundicauda (ladam; mimi-mituno).

37
Moluska. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling
banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia.

Nerita lineata

Chicoreus capucinus

Nassarius jacksonianus

Onchidium griseum

Marcia marmorata

38
Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung
dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang
hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di
hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda
dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area
mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor
penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini.

Bandeng (Mugilidae)

Scatophagus argus

Stigmatogobius sadanundio

Oryzias javanicus (wader pari)

Mystus gulio

Zenarchopterus buffonis

Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari


sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk
lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan
sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah
dengan sirip tersebut. Terdapat beberapa jenis ikan gelodok antara lain:

39
Periophthalmodon schlosseri

Periophthalmodon schlosseri

Periophthalmus novemradiatus

Boleophthalmus boddarti

Burung. Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan


mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu
dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti
merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove
merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat
berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi.
Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau,
heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan
burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove.

Nycticorax nycticorax

40
Egretta garzetta (bangau)

Pluvialis fulva (wader)

Trynga totanus (wader)

Todirhamphus chloris (raja udang)

Haliastur indus (elang)

41
Nectarinia calcostetha (burung madu)

Rhiphidura javanica (kutilang)

Acridotheres javanicus (gagak)

Amaurornis phoenicurus (punik)

Amfibia. Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin


barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis
katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah
Rana cancrivora.

Rana cancrivora

42
Reptilia. Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove
paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat
bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil
yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk
mencari makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan gelodok dan
ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia.
Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung
mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di
mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang
menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang
memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga
menggunakan mangrove sebagai habitat utama.

Trimeresurus purpureomaculatus (ular pohon)

Acrochordus granulatus (ular belang)

Cosymbotes platyurus (tokek biasa)

Hemiphyllodactylus typus (tokek kerdil)

43
Emoia atrocostata

Varanus salvator

Mamalia. Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan


mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai
di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian
pula babi dan kerbau air.

Cynopterus brachyotis (kalong)

Amblonyx cinereus (barang-barang)

44
9
MANGROVE
Nilai Kegunaan

Ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah barang dan jasa yang tidak


seluruhnya laku di pasaran. Beberapa diantaranya diteruskan sebagai
pelayanan untuk ekosistem pantai dan lepas pantai. Nilai ini sulit ditentukan
dan sering tidak disadari, sehingga hutan mangrove seringkali diubah untuk
menghasilkan produk yang langsung laku di pasaran, misalnya untuk
pertambakan. Untuk itu perlu penilaian ekonomi yang lengkap mengenai
barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem mangrove sehingga memudahkan
mengambil keputusan dalam pengelolaannya.

MANFAAT MANGROVE

Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi tertua mengenai


pemanfaatan spesies mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni
penggunaan Rhizophora. Seedlingnya digunakan sebagai sumber pangan
pada musim paceklik, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk
kayu bakar, menghasilkan tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman
yang memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan bagi wanita.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan
memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan,
kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku
dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar
untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi).

45
Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti
secara mendalam hingga diperoleh obat modern.
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air
laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon
dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang,
kerang, burung, dan biota-biota lain, serta berperan dalam ekoturisme dan
pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang
karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri,
perdagangan, perumahan dan gangguan alam.
Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi
dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua
kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam
berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi
sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah
pantai dari erosi, menjaga tanah, dan stabilisasi sedimen; purifikasi polutan
secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.

KEGUNAAN LANGSUNG

Kegunaan langsung adalah produk mangrove yang memiliki nilai pasar.


Selama berabad-abad mangrove telah dieksploitasi pada tingkat yang lestari
untuk kayu bakar, konstruksi bangunan, tanin, bahan obat, bahan baku
industri dan bahan pangan. Pada masa sekarang kebutuhan akan tanaman
pangan, area wisata dan tekanan penduduk menyebabkan sejumlah besar
kawasan mangrove diubah peruntukannya. Kegunaan tradisional dan medis
mangrove akan hilang jika tingkat perusakan ini melebihi daya dukung
mangrove.

Kayu bangunan. Fungsi utama hutan mangrove adalah menyediakan


kayu untuk memasak, membangun rumah dan perahu. Secara tradisional
masyarakat lokal menggunakan mangrove secara lestari, namun
bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan secara lestari sulit
dipertahankan. Kayu Nypa digunakan untuk membangun dermaga atau
bangunan bawah air lain karena tahan terhadap kebusukan, atau serangan
fungi dan hewan pembuat lubang kayu, sedangkan daunnya digunakan untuk
atap. Heritiera dan Xylocarpus menghasilkan kayu gergajian berkualitas tinggi,
meskipun kini mulai jarang ditemukan dan sulit diperoleh. Tiang utuh
Rhizophora merupakan hasil hutan mangrove paling utama, mudah ditebang,
dan masa panennya pendek.

46
Kayu bakar dan arang. Kayu mangrove sering digunakan secara
langsung sebagai kayu bakar atau diolah lebih dahulu menjadi arang. Kayu
Rhizophora dan Avicennia memiliki nilai kalor tinggi dan menghasilkan panas
sangat tinggi, sehingga sangat sesuai untuk kayu bakar dan arang. Di
Indonesia hal ini telah dilakukan secara komersial sejak tahun 1887.

Tanin. Kulit kayu mangrove mengandung metabolit sekunder untuk


pertahanan diri, yakni tanin, terutama pada Rhizophoraceae. Tanin digunakan
dalam industri penyamakan kulit, seperti di India dan Bangladesh; untuk
merawat jaring ikan seperti di Sri Lanka, dan bahan baku obat tradisional.
Tanin juga digunakan sebagai sumber warna yang berharga, khususnya untuk
menghitamkan kain etnik, seperti di Afrika Timur, Australia, Polynesia, dan Sri
Lanka. Nilai penting kulit kayu tanin di negara-negara Asia kini telah menurun.
Tanin mengandung dua kelompok fenol, dapat dihidrolisis dan tidak, yang
diperlukan untuk sintesis obat-obatan tertentu. Tumbuhan mangrove memiliki
sifat sitotoksis atau antineoplastis dan antimikrobia. Tumbuhan mangrove
merupakan sumber kaya saponin, alkaloid dan flavonoid. Saponin memiliki
aktivitas biologi penting sebagai spermisida dan moluskisida. Ekstraksi
senyawa kimia, dikenal pula sebagai pharmacopoeia, terus berlanjut hingga
kini dan yang akan datang. Bahan-bahan seperti lem hingga alkaloid, saponin,
dan lain-lain sangat penting sebagai bahan baku industri modern dan
kedokteran. Ekstrak akar penyangga Rhizophora apiculata dapat menghambat
aktivitas larva nyamuk. Ekstrak Aegiceras mengandung saponin yang beracun
sehingga dapat digunakan untuk menangkap ikan.

Bahan baku industri. Mangrove dieksploitasi untuk menghasilkan


lignosellulosa, bubur kertas, dan rayon. Rhizophora apiculata menghasilkan
lignosellulosa yang dibutuhkan industri tekstil di seluruh dunia. Bubur kertas,
batang korek api, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian dan boneka
mainan merupakan beberapa produk dari mangrove. Serat dan kertas dapat
dihasilkan dari Hibiscus tiliaceus, Thespesia populnea dan Pandanus.

Bahan pangan. Produk kawasan mangrove yang langsung dapat dimakan


antara lain madu, lilin, daging hewan, ikan, buah-buahan, minuman dan gula.
Daun Osbornia octodonata dapat digunakan sebagai bumbu penyedap
masakan. Buah Avicennia marina biasa digunakan sebagai sayuran. Buah
Kandelia candel dan Bruguiera gymnorrhiza mengandung pati dan apabila
dirajang, direndam dalam air dan dicuci taninnya akan menghasilkan pasta
yang enak dibuat kue atau roti kering. Daun muda Acrostichum dan hipokotil
Bruguiera merupakan makanan pokok pada beberapa suku di Irian. Sagu

47
yang diperoleh dari batang Metroxylon sagu juga digunakan sebagai makanan
pokok. Cairan nira Nypa dan Borassus dapat dibuat tuak yang memabukkan.
Nypa dapat menghasilkan gula dari cairan nira yang dimasak, yang
selanjutnya dapat difermentasi menjadi alkohol dan cuka. Minyak goreng juga
dapat diperoleh dari tumbuhan ini. Ekstrak kayu Avicennia alba dan A.
officinalis menghasilkan tonikum, serta jelly yang enak dan terasa asin dapat
diperoleh dengan mengasapi leafletnya. Seedling Avicennia dan Bruguiera
dapat dimasak dan dimakan terutama pada musin paceklik.

Kegunaan lain. Daun Nypa


fruticans dapat digunakan atap,
kertas sigaret, serta kerajinan
tangan seperti keranjang dan topi.
Gabus dapat diperoleh dari
pneumatofora berbagai tumbuhan
mangrove, khususnya Avicennia
dan Sonneratia.
Propagul Rhizophora dan
Bruguiera dapat ditanam dalam pot
dan menjadi tanaman hias yang
indah, seperti di Jepang. Garam
dapat diperoleh dengan memasak
daun Avicennia dalam periuk
gerabah, seperti di pantai barat
Afrika. Batang dan cabang
Rhizophora mucronata, R.
apiculata dan Lumnitzera
racemosa, dapat digunakan untuk
membuat joran pancing.
Daun beberapa tumbuhan
mangrove dapat digunakan
sebagai makanan ternak seperti
sapi, kambing, onta, dan kerbau,
Gambar: Kegunaan tradisional misalnya daun Suaeda dan
mangrove Porteresia di Pakistan. Beberapa
tumbuhan mangrove menghasilkan
oabat penguat rambut, rempah-
rempah, obat kuat, serta kemenyan
dan parfum.

48
KEGUNAAN TIDAK LANGSUNG

Kegunaan tidak langsung merupakan penerjemahan fungsi ekologi


ekosistem mangrove, meliputi perikanan, proteksi pantai, instalasi pengolah
limbah, penjaga budaya tradisional, serta pariwisata dan pendidikan.

Perikanan dan daur hara. Mangrove merupakan pelayan ekosistem laut


dan kawasan di sekitarnya, dimana para nelayan mencari ikan. Mangrove
mensuplai makanan ke komunitas laut melalui rantai makanan detritus yang
dimulai dari serasah dedaunan mangrove. Tempat ini juga merupakan habitat
berbagai organisme laut yang komersial, seperti udang, kepiting dan ikan,
dimana pada saat tertentu fase hidupnya menggunakannya sebagai tempat
berkembang biak dan membesarkan anak. Proteksi dan konservasi habitat ini
akan menjaga keberlanjutan rantai makanan dan industri perikanan.

Gambar: Nelayan di kawasan


ekosistem mangrove

Proteksi pantai. Mangrove umumnya hanya terbentuk di tempat-tempat


yang dipengaruhi sedimentasi. Akar mangrove yang jalin-menjalin, beserta
pneumatofora dan batang mangrove dapat mengurangi kecepatan arus air,
menangkap sedimen untuk menjaga ketinggian daratan pantai dan mencegah
siltasi pada lingkungan laut di sekitarnya. Mangrove memainkan peranan
penting untuk mencegah erosi pantai. Di seluruh dunia keberadaan mangrove
dapat mengurangi kerusakan akibat angin-badai dan gelombang laut.
Keberadaan komunitas mangrove memastikan stabilitas dan mencegah
perubahan garis pantai dan rawa-rawa di sekitarnya. Kemampuan mangrove
untuk menjadi daerah penyangga membantu mengurangi kerusakan
bangunan dan jatuhnya korban jiwa pada saat badai dan tsunami. Di tempat-
tempat dimana hutan pantai telah ditebangi, terjadi erosi dan pendangkalan
pantai. Di samping itu komunitas mangrove dapat mempengaruhi daur
hidrologi, dan menghambat intrusi air laut ke daratan, serta mempengaruhi
mikroklimat.

49
Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik dan jumlah sesuai,
komunitas mangrove dapat berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah.
Polutan dan sampah dari kawasan industri dan domestik, secara lamiah dapat
terbenam dan terurai dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan
nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di daur ulang di hutan
mangrove. Ekosistem ini, misalnya, mampu menyerap kelebihan nitrat dan
fosfat dari lahan pertanian di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan
pantai (eutrofikasi). Namun sebaliknya volume limbah yang berlebihan dapat
meracuni dan merusak ekosistem mangrove.

Budaya tradisional. Bagi jutaan masyarakat asli yang tinggal di tepi


pantai, hutan mangrove menjadi tempat mencari nafkah dan memenuhi
berbagai kebutuhan dasar selama ratusan tahun, sehingga terbentuk budaya
tradisional yang terkait dengan ekosistem ini. Misalnya Cerbera manghas
digunakan untuk membuat topeng dalam perayaan tradisional, seperti di Sri
Langka.

Ekowisata dan pendidikan. Salah satu nilai komersial terbaru hutan


mangrove adalah rekreasi dan ekowisata. Kehidupan liar mangrove
merupakan atraksi wisata yang menarik, misalnya migrasi burung-burung air.
Sekolah juga menggunakan kawasan ini untuk praktikum. Habitat mangrove
dapat berperan penting dalam program pendidikan, rekreasi, konservasi dan
penelitian untuk menemukan metode yang tepat dalam menjaga cagar alam,
suaka marga satwa, taman nasional dan cagar biosfer.

Gambar: Peran ekowisata dan


pendidikan di ekosistem mangrove

50
KEGUNAAN POTENSIAL: KANDUNGAN KIMIA MANGROVE

Nilai kegunaan potensial sulit ditentukan. Hutan mangrove alami yang


masih memiliki keanekaragaman spesies tinggi, memiliki potensi tinggi untuk
menghasilkan produk yang dapat dieksploitasi di masa depan. Hal ini dikenal
sebagai bioprospeksi. Berbagai spesies yang digunakan dalam pengobatan
tradisional merupakan titik awal penggunaannya secara ilmiah dalam
pengobatan modern.
Kandungan kimia tumbuhan mangrove menghasilkan kegunaan tradisional
dan medis. Tumbuhan mangrove sangat potensial sebagai sumber baru
pestisida, agrokimia, bahan obat, serta senyawa-senyawa bioaktif lain. Dunia
tumbuhan merupakan sumber obat-obatan baru yang tiada habis, menunggu
pengungkapan lebih lanjut. Kerusakan pada ekosistem darat dan laut yang
berdampak pada mangrove menyebabkan penelitian untuk menemukan obat
baru dari bioaktif mangrove mendesak dilakukan.
Senyawa-senyawa kimia dengan struktur kimia baru dan kelas tersendiri
telah dikarakterisasi dari tumbuhan mangrove. Penelitian kandungan kimia
tumbuhan mangrove memiliki dua alasan utama:
Pertama, mangrove merupakan salah satu tipe hutan tropis paling mudah
ditanam, dan dapat tumbuh pada tempat dimana tumbuhan lain tidak mampu.
Mangrove tumbuh di lokasi penuh stres seperti lingkungan yang fluktuatif,
kelembaban tinggi, mikroorganisme dan insekta melimpah. Mangrove tumbuh
dengan subur pada lingkungan yang sangat khusus dan berperan sebagai
jembatan antara ekosistem tawar dan laut. Hal ini disebabkan adanya
beberapa modifikasi untuk mangatur air dan garam, serta modifikasi fisiologis
dalam metabolisme karbohidrat, sintesis polifenol dan lain-lain. Oleh karena itu
mangrove diduga memiliki senyawa kimia khas yang melindunginya dari
berbagai tekanan ini.
Kedua, berbagai tumbuhan mangrove telah digunakan dalam pengobatan
tradisional, dan ekstraknya diketahui memiliki aktivitas melawan penyakit pada
manusia, hewan dan tumbuhan, namun masih sedikit penelitian untuk
mengidentifikasi metabolit yang bertanggungjawab terhadap bioaktivitas ini.

51
10
MANGROVE
Konservasi dan Legislasi

KONSERVASI

Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman orang awam dan


perhatian peneliti. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan Indo-Pasifik Barat
dan Amerika-Afrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Dalam imajinasi
samar yang romantis, hutan mangrove akan diangankan sebagai area yang
selalu tergenang dan memiliki sistem perakaran aerial yang khas. Namun
kebanyakan orang menganggap hutan mangrove hanya sebagai rawa-rawa
yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak sehat dan berbahaya. Sehingga
konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki kebanyakan orang,
termasuk para pengambil keputusan.
Hutan mangrove banyak yang rusak karena aktivitas penebangan hutan,
konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan garam, industrialisasi dan
urbanisasi. Pertambakan udang merupakan perusakan terbesar ekosistem
mangrove. Di tempat tertentu seperti Irian, Papua Nugini, Thailand dan
Malaysia sejumlah besar mangrove dirusak oleh penambangan timah dan
mineral lain. Manajemen lestari ekosistem mangrove harus merupakan
konsep pengelolaan ekosistem secara utuh, meliputi kawasan hulu sungai dan
kawasan pantai di sekitarnya. Mengingat hutan mangrove merupakan
ekosistem rapuh yang dipengaruhi lingkungan daratan dan lautan.

Restorasi mangrove. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan


penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun,
dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji

52
(propagul) atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hutan
mangrove hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus
dihilangkan terlebih dahulu. Mangrove juga dapat dibuat dengan
menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang
dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove.
Restorasi mangrove tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk
melakukan penyembuhan dapat menyia-nyiakan dana investasi yang besar.
Pada tahun 1989-1995 area seluas 9050 ha di Bengali Barat, India ditanami
mangrove, namun hanya 1,52% yang berhasil tumbuh. Sebaliknya di
Tembilahan, Indonesia dari area seluas 715 ha hanya 10%-nya yang perlu
ditanami mangrove, karena sebagian besar memiliki seedling alami sebanyak
2500 pohon per ha.
Demi keberhasilan restorasi hutan mangrove perlu diperhatikan:
• Autekologi setiap spesies mangrove, terutama pola reproduksi,
penyebaran propagul, dan kemampuan seedling untuk bertahan.
• Pola hidrologi yang mengatur distribusi, keberhasilan bertahan, dan
pertumbuhan spesies mangrove.
• Lingkungan mangrove yang menghambat suksesi sekunder secara alami.
• Restorasi pola hidrologi dan penggunaan propagul alami setempat.
• Penanaman dilaksanakan setelah langkah-langkah di atas dilakukan.
Bibit tanaman dapat diperoleh dari seedling alamiah (wildling), biji dan
propagul, serta seedling dari kebun bibit. Restorasi hutan mangrove dengan
Rhizophora seluas 500 hektar di Sinjai, Sulawesi pada tahun 1985 dilakukan
dengan wildling sehingga mengurangi biaya pembibitan. Namun beberapa
spesies seperti Avicennia, Sonneratia, dan Xylocarpus memerlukan
pembibitan, karena bentuk dan ukuran bijinya yang lebih kecil. Pembibitan
biasanya dilakukan pada Desember-Januari. Terdapat 12 spesies yang biasa
digunakan untuk restorasi hutan mangrove, sepuluh spesies merupakan
tumbuhan mangrove mayor dan minor, yaitu Rhizophora, Bruguiera,
Sonneratia, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Avicennia, Excoecaria, Xylocarpus,
Nypa, serta dua spesies tumbuhan asosiasi, yaitu Cassuarina dan Hibiscus.
Pemilihan spesies yang tepat untuk setiap lingkungan mikro sangat penting
dalam penanaman mangrove, jumlah bibit untuk setiap luasan perlu diketahui
untuk menjaga kompetisi. Penghutanan mangrove memerlukan perhatian
intensif selama sekitar 75 hari pertama sejak penanaman, dimana perlu
dilakukan penyulihan tanaman yang rusak. Hal-hal lain yang juga perlu
diperhatikan adalah: luas area yang digenangi pasang-surut, tingginya
genangan pasang, kecepatan aliran permukaan dan arus pasang surut,
salinitas air pasang, masukan air tawar, sedimen yang terbawa air, tekstur
tanah, pengaruh fisik gelombang pasang, dan suhu air.

53
Strategi manajemen:.
• Manajemen mangrove merupakan bagian dari manajemen kawasan
daratan dan pantai secara keseluruhan.
• Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen
stakeholders, seperti pemerintah, LSM, pengguna hutan (perhutani),
masyarakat setempat dan ilmuwan.
• Peningkatan kepedulian masyarakat setempat dengan meningkatkan nilai
mangrove yang terkait langsung dengan kepentingan mereka.
• Perlu database penelitian yang sistematis.
• Perlu komitmen politik untuk manajemen mangrove berkelanjutan.
• Perlu kerjasama konsep dan pengalaman lapangan dalam pengelolaan.

LEGISLASI

Suaka mangrove. Ekosistem mangrove mempengaruhi hutan mangrove


sendiri dan perairan di sekitar pantai. Detritus organik yang dihasilkan
mangrove sebagian besar dikirim ke kawasan pantai dan membantu
produktivitas perairan, sehingga terdapat kaitan yang luas antara mangrove
dengan perairan pantai. Pada kenyataanya mangrove secara konstan
berkurang sehingga perlu teknik manajemen tertentu untuk mengelola
ekosistem yang bernilai ini secara keseluruhan.
Pembuatan suaka mangrove merupakan strategi penting untuk melindungi
mangrove dan ekosistem di sekitarnya, termasuk flora, fauna, komponen biotik
dan abiotik. Pembentukan suaka mangrove diharapkan dapat berpengaruh
positif terhadap konservasi biodiversitas. Penerapan pendekatan konservasi
harus dilakukan secara tegas. Pemanenan produk dan jasa pada bagian
tertentu kawasan suaka ini tidak dapat dilakukan.

Kepemilikan hutan mangrove. Hak kepemilikan hutan mangrove secara


lokal dan nasional umumnya tidak jelas, sehingga penanggung jawab
kawasan ini tidak pasti. Hal ini menyebabkan tingginya degradasi hutan
mangrove, dimana pemberian kompesasi kepada pemilik lahan untuk
mencegah perusakan juga sulit dilakukan. Konsesi hak untuk menebangi
hutan mangrove telah mengurangi luas dan kerapatan mangrove, serta
menekan ekosistem yang tersisa secara nyata. Untuk itu kepemilikan hutan
mangrove harus dipertegas, termasuk kawasan terbuka yang potensial untuk
ditanami mangrove. Selanjutnya dibuat peraturan yang tegas dan dilakukan
penegakan hukum secara konsisten. Sehingga ekosistem mangrove dapat
terjaga kelestariannya.

54
11
MANGROVE
Riset

Ekosistem mangrove menyimpan sejumlah besar permasalahn biologi


yang menunggu untuk dipecahkan. Permasalahan ini menjadi sangat wigati,
mengingat Indonesia merupakan pusat distribusi mangrove dunia. Topik-topik
yang menarik untuk diteliti antara lain:
• Floristik, morfologi, fenologi, distribusi, biogeografi, dan genetika
tumbuhan mangrove.
• Ekologi ekosistem mangrove, termasuk hubungan antara flora dan fauna.
• Pengaruh stres lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan,
rekruitmen, dan regenerasi mangrove.
• Pengaruh tumpahan minyak bumi pada habitat mangrove dan
penyembuhannya.
• Restorasi dan rehabilitasi habitat mangrove, termasuk pembuatan
semaian bibit, penanaman, dan perluasan mangrove pada area secara
normal tidak ditumbuhi mangrove.

55
12
MANGROVE
Jalan-jalan di Hutan Mangrove

Mangrove merupakan hutan cantik yang aman, namun untuk menikmatinya


perlu disiapkan hal-hal berikut:
• Berpakaian lengkap dan menutupi seluruh tubuh. Baju lengan panjang,
celana panjang untuk melindungi diri dari sengatan matahari, lalat dan
nyamuk; sepatu yang kuat untuk melindungi kaki saat melewati lumpur;
serta obat pencegah serangga.
• Pada mangrove tertentu yang alami masih dijumpai buaya muara, oleh
karena itu perlu dihindari berdiam terlalu lama di dekat sungai-sungai kecil
di dalam mangrove.
• Pastikan tahu waktu pasang naik. Hal ini dapat ditanyakan kepada
lembaga resmi atau kepada nelayan yang sehari-hari bekerja di lautan
sekitarnya.
• Apabila memungkinkan perlu digunakan perahu, sehingga dapat
menjelajahi area yang luas.

56
Bagian 2
BIODIVERSITAS

57
58
1
BIODIVERSITAS
Pengantar

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman


makhluk hidup dari semua sumber, meliputi tingkat gen (yakni: unit herediter
terkecil yang mewariskan sifat keturunan dari induk kepada anak), spesies
(yakni: unit dasar penyusun kehidupan yang dapat berkawin, dan
menghasilkan keturunan fertil; seperti bakteri, fungi, tumbuhan berbunga,
moluska, arachnida, ikan, burung, mamalia; bahkan manusia), dan ekosistem,
(yakni: kesatuan bentuk kehidupan antara makhluk hidup dengan habitatnya;
seperti pantai, laut dan terumbu karang, hutan bakau, sungai, sungai bawah
tanah, padang rumput, hutan daratan rendah, hutan pegunungan, kawasan
alpin dan lain-lain). Beberapa pakar memasukkan variasi budaya manusia ke
dalam ruang lingkup biodiversitas, seperti orang berkebudayaan Aceh, Bali,
Sumatra Selatan, Irian, Makassar, Toraja dan lain-lain.
Posisi Indonesia di katulistiwa, di antara benua Asia dan Australia, di
antara samudera Pasifik dan Hindia, terbentang sepanjang lebih dari 5.000 km
dan seluas 7,7 juta km2, terdiri dari 17.500 pulau dengan panjang pantai lebih
dari 81.000 km menyebabkan terbentuknya bermacam-macam ekosistem,
yang dihuni oleh berbagai macam spesies, sehingga Indonesia memiliki
biodiversitas sangat melimpah. Beberapa pakar mengakui Indonesia sebagai
negara dengan biodiversitas tertinggi, lebih tinggi dari negara-negara di Afrika
tengah dan Brasil yang sama-sama negeri tropis.
Alfred Russel Wallace dalam bukunya “The Malay Archipelago” (1868) dan
Charles Darwin dalam bukunya “The Origin of Spesies” menyatakan bahwa
keanekaragaman hayati terbentuk secara alami melalui mekanisme seleksi

59
alam, adaptasi dan evolusi selama jutaan tahun.Menurut Wallace kepulauan
Nusantara memiliki tiga bioregion, yaitu Indo-Malaya yang bertipe Asia di
bagian barat meliputi Sumatera, Kalimantan dan Jawa; Austro-Malaya yang
bertipe Australia di bagian timur meliputi Irian dan Maluku, serta tipe peralihan
di bagian tengah, meliputi Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat.
Setiap kawasan memiliki keanekaragaman spesies sangat tinggi.
Indonesia bagian barat memiliki gajah dan macan, seperti Asia, sedangkan
Indonesia bagian timur memiliki berbagai burung paruh bengkok dan hewan
berkantung, seperti Australia. Adapun Indonesia bagian tengah memiliki
spesies peralihan seperti burung rangkon yang “bercula” dan Tarsius yang
berkantung. Sebagai negara kepulauan terluas, Indonesia memiliki spesies
endemik paling beragam, misalnya orangutan di Sumatra dan Kalimantan,
cendrawasih di Irian, komodo di Nusa Tenggara, dan babi rusa di Sulawesi.
Indonesia memiliki bermacam-macam ekosistem, yang dihuni berbagai
macam spesies. Meskipun luasnya hanya 1,3% permukaan bumi, kawasan ini
merupakan habitat bagi 10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptilia
dan amfibia, 17% burung, dan 25% ikan. Beragam tipe pantai ditemukan di
Indonesia, mulai dari pantai landai dan berpasir atau berpasir putih, pantai
terjal berkarang, hingga muara sungai yang berlumpur. Terumbu karang
Indonesia sangat luas (42.000 km2), dengan keanekaragaman jenis karang,
ikan dan organisme terumbu karang terkaya di dunia.
Kekayaan laut di wilayah Indo-Pasifik Barat merupakan yang tertinggi di
dunia. Lebih dari 25% ikan dunia dapat ditemukan di Indonesia. Hutan
mangrove Indonesia merupakan yang terluas didunia, yakni lebih dari 4 juta
hektar. Terdiri dari 100-an spesies mangrove mayor, minor dan tumbuhan
asosiasi. Indonesia mempunyai cukup banyak sungai besar, seperti
Bengawan Solo di Jawa, Sungai Musi dan Batanghari di Sumatra, Sungai
Mahakam dan Barito di Kalimantan, Sungai Mamberamo di Irian dan lain-lain.
Sungai-sungai ini memiliki keragaman spesies endemik cukup tinggi, misalnya
arwana di Kalimantan dan Irian, serta pesut di Mahakam.
Negara kepulauan dengan sungai-sungai besar ini menjadi habitat
sejumlah besar tumbuhan mangrove. Kawasan Asia Tenggara yang di
dominasi negara Indonesia merupakan tempat asal, pusat biodiversitas dan
pusat distribusi tumbuhan mangrove dunia. Sayangnya kawasan mangrove ini
seringkali tidak dipahami fungsi ekonomi dan ekologinya sehingga dirusak
oleh penebangan hutan, konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan
garam, industrialisasi dan urbanisasi.
Dalam praktikum ini dicoba untuk mengungkapkan keanekaragam tingkat
genetik, spesies, dan ekosistem kawasan mangrove di Jawa, salah satu
lingkungan di Indonesia yang paling dinamis dan berubah cepat.

60
2
BIODIVERSITAS
Genetik – Isozim/Protein

Populasi merupakan bagian dari ekosistem yang memiliki peranan penting


dalam kajian keanekaragaman hayati. Di alam, tumbuhan, hewan dan
mikrobia membentuk kelompok-kelompok yang yang berubah secara spatial
(ruang) dan temporal (waktu), sebagai bentuk adaptasi untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Setiap populasi mempunyai pola tanggapan yang
spesifik terhadap lingkungan fisik-kimia dan kompetisi biologi. Tanggapan ini
tidak selalu dapat dirunut berdasarkan karakter morfologi yang tampak
(fenotip). Dalam tulisan ini akan diketengahkan penggunaan isozim untuk
mengidentifikasi keragaman pada tingkat populasi.
Keanekaragaman hayati merupakan bidang biologi yang mendapatkan
perhatian secara luas dan terus-menerus sepanjang sejarah kehidupan
manusia. Pada awal perkembangannya biologi hanyalah sekelumit ilmu yang
mendeskripsikan makhluk hidup, sehingga hampir diidentikkan dengan
taksonomi, yakni ilmu yang membahas identifikasi, deskripsi dan pemberian
nama organisme hidup, meliputi tumbuhan, hewan dan mikrobia. Dengan
berkembangnya sains, perhatian terhadap keanekaragaman hayati semakin
intensif, karena keanekaragaman hayati merupakan sumber plasma nuftah
yang diperlukan bagi pengembangan biologi molekuler yang di masa depan
diharapkan dapat menjamin sumber pangan, obat dan bahan baku industri.
Para pakar umumnya sepakat bahwa keanekaragaman hayati dapat
digolongkan dalam tiga tingkatan, yaitu gen, spesies dan ekosistem. Populasi
merupakan satuan penyusun ekosistem yang sangat penting. Komunitas
penyusun populasi selalu melakukan adaptasi secara spasial dan temporal

61
terhadap perubahan habitatnya. Dalam jangka panjang hal ini akan
menyebabkan munculnya ekotipe-ekotipe yang spesifik sebagai bentuk
penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat hidup.
Kenakeragaman hayati dalam populasi dapat didekati dengan metode-
metode yang biasa digunakan dalam taksonomi. Secara tradisional
keanekaragaman hayati didekati melalui karakter morfologi, namun sifat ini
memiliki banyak keterbatasan mengingat sedikitnya jumlah ciri-ciri yang dapat
dianalisis, di samping adanya plastisitas fenotipe dan pengaruh lingkungan.
Pada tingkat populasi penggunaan sifat ini untuk menganalisis
keanekaragaman semakin tidak berarti, karena tingginya persamaan ciri-ciri
morfologi dan semakin sedikitnya sifat pembeda yang dapat diungkapkan.
Perkembangan peralatan mikroskopi dan metode biokimia, membuka luas
sifat-sifat yang dapat dianalisis, sehingga dikenal biosistematika atau
taksonomi eksperimen, sebagai bidang biologi yang mewadahi kajian
keanekaragaman hayati berdasarkan pendekatan sifat-sifat baru yang
ditemukan dengan kemajuan peralatan dan metode tersebut, antara lain:
sitologi, sitogenetika, palinologi, kemotaksonomi dan lain-lain. Perkembangan
lebih lanjut pada biologi molekuler menyebabkan ruang lingkup kajian
keanekaragaman hayati hampir tanpa batas, mengingat sifat ini mampu
menguji adanya variasi hingga tingkat individu.

Kromatografi dan elektroforesis. Pada beberapa dekade terakhir,


kemajuan peralatan dan metode biokimia berkembang pesat, sehingga
identifikasi diversitas biologi menggunakan ilmu ini menjadi menarik,
khususnya dengan penemuan teknik kromatografi dan elektroforesis. Dengan
kromatografi maka kandungan kimia suatu organisme dapat dikualifikasi dan
dikuantifikasikan sehingga sangat berharga sebagai sifat pembeda. Pada saat
ini kandungan kimia tumbuhan tersebar sangat luas, akan tetapi umumnya
dikelompokkan sebagai golongan terpenoid, flavanoid dan alkaloid.
Teknik elektroforesis membuka cakrawala yang lebih luas lagi. Dengan
teknik ini maka makromolekul dapat diseparasikan menjadi beberapa bagian
sesuai dengan berat molekulnya, sehingga terbentuk pita-pita yang dapat
digunakan untuk mengetahui variasi pada suatu populasi. Umumnya teknik ini
dikenakan pada material protein/enzim dan DNA, sehingga tingkat
keakuratannya sangat tinggi dan sangat sesuai untuk menguji
keanekaragaman pada tingkat populasi.

Protein. Pendekatan keanekaragam hayati melalui pola elektroforegram


protein umumnya dikenakan terhadap protein cadangan makanan pada biji
(seed protein). Dalam hal ini visualisasi dilakukan dengan pewarna protein,

62
misalnya Coomassie Blue dan Indigo Black. Penggunaan pola protein biji
(atau polen) yang dihasilkan oleh serangkaian kondisi elektroforesis untuk
studi populasi, di masa depan kemungkinan akan surut karena dipertanya-
kannya validitas data yang dihasilkan. Dengan metode ini setiap protein biji
dapat memunculkan lebih dari 20 pita dengan pola yang kompleks sehingga
sulit diitepretasikan. Di samping itu pola pita yang dihasilkan tidak stabil dan
sangat tergantung kondisi peralatan elektroforesis yang digunakan, sehingga
untuk memastikan pola pita yang muncul adalah asli atau hanya akibat kondisi
elektroforesis perlu dilakukan beberapa kali ulangan dalam kondisi yang
berbeda-beda. Kesulitan ini menyebabkan metode protein biji mulai
ditinggalkan, sejalan dengan meningkatnya popularitas penggunaan isozim.

Gambar: Jalur pembentukan protein dari DNA.

63
Isozim. Isozim merupakan pola pita multiple yang muncul pada
elektroforesis dengan pewarna histokimia, karena adanya aktifitas enzim. Pita-
pita ini dikode lebih dari satu lokus gen struktural, apabila dikode alel yang
segregasi pada lokus tunggal disebut allozim. Metode ini sangat berguna
untuk studi keanekaragaman pada tingkatan taksa yang rendah, seperti
spesies, subspesies dan populasi. Selama beberapa dekade terakhir, isozim
telah memberikan sumbangan nyata terhadap studi variasi populasi. Isozim
mendeteksi variasi urutan asam amino suatu protein yang memiliki fungsi
katalitik sama, atau dengan kata lain ia mendeteksi variasi urutan DNA yang
mengkode protein. Variasi isozim secara efektif dapat digunakan untuk
mengetahui persamaan genetik di antara individu, populasi dan spesies yang
memiliki kekerabatan dekat. Penggunaan data isozim untuk studi populasi
lebih baik menggunakan beberapa enzim dari pada hanya satu jenis saja.
Salah satu kelebihan isozim adalah mereka merupakan karakter
kodominan, sehingga individu heterozigot dapat dibedakan dengan homozigot.
Di samping itu mereka relatif murah dan mudah diuji. Sayangnya setiap enzim
pewarna hanya memberikan sedikit pita isozim bahkan kadang-kadang tidak
muncul, sehingga perlu digunakan beberapa macam enzim pewarna sampai
diperoleh hasil yang dibutuhkan untuk studi variasi populasi. Hal ini
menyebabkan sebagian peneliti lebih menyukai menggunakan variasi urutan
DNA secara langsung, tidak melalui isozim. Enzim pewarna yang seringkali
muncul pada makhluk biologi adalah esterase (EST).
Mengingat setiap protein/isozim selalu merupakan hasil kerja sebuah gen,
sebagaimana dalil “one gene one protein” maka bersama penanda DNA
keduanya sering disebut penanda genetik (genetic marker) (periksa Gambar).
Oleh karena itu “semestinya” akurasi kedua karakter ini tidak berbeda jauh,
khususnya antara isozim dengan DNA, sedang protein sebagaimana
dijelaskan di atas memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga akurasinya
jauh di bawah isozim dan DNA. Namun bagaimanapun juga DNA memiliki
lebih banyak situs yang dapat dideteksi untuk variasi populasi karena adanya
intron yang tidak muncul dalam protein, khususnya pada organisme
eukaryota. Sedangkan pada organisme prokaryota, seperti bakteri, intron tidak
terdapat dalam materi genetik karena sudah dalam bentuk RNA.

64
3
BIODIVERSITAS
Spesies – Identifikasi Morfologi

Salah satu tugas taksonomi adalah mengidentifikasi, mendiskripsikan dan


mengklasifikasikan spesies, serta dan melakukan peninjauan ulang dan
memperbaharui klasifikasi lama apabila diperlukan. Identifikasi tumbuhan
perlu dilakukan baik terhadap spesimen awetan (herbarium), maupun
tumbuhan hidup di lapangan. Petugas kehutanan, biologi, ekologi, arsitek
pertamanan, geografi dan lain-lain membutuhkan nama yang akurat untuk
tumbuhan yang dikerjai.

PROSES IDENTIFIKASI TUMBUHAN

Proses identifikasi tumbuhan termasuk membangun keahlian botani


sehingga dapat menentukan, mendeskripsi, menggunakan kunci identifikasi
morfologi, dan mengenal sifat-sifat morfologi dan ekologi tumbuhan, meliputi
semua sifat tampak yang secara kolektif khas untuk suatu tumbuhan. Dengan
kata lain, sifat morfologi dan ekologi suatu spesies dapat dianggap baik
apabila seragam dalam suatu spesies (atau sub spesies), sedangkan sifat
dianggap buruk apabila terdapat keberagaman di antara individu pada taksa
yang sama, sehingga sulit untuk memastikan suatu spesies. Beberapa sifat
baik memiliki keterbatasan karena tergantung musim, misalnya bunga dan
buah pada umumnya tumbuhan tropis, serta daun pada tumbuhan desidus.
Meskipun taksonomi secara apriori menggunakan sifat bunga untuk klasifikasi,

65
namun dalam praktek identifikasi di lapangan bunga kadang-kadang kurang
berarti, sebaliknya sifat vegetatif lebih penting.
Klasifikasi tumbuhan mencakup empat proses dasar, yaitu:
1. Pengenalan sifat-sifat pembeda.
2. Penerapan terminologi botani.
3. Penggunaan kunci identifikasi,
4. Deskripsi spesies.

SUMBER SIFAT-SIFAT PEMBEDA

Sifat pembeda (diagnostik) dapat dijelaskan melalui checklist di bawah.


Pada pohon dan semak-semak, sifat pembeda terbagi dalam enam kelompok:
1. Habitus, yakni penampakan keseluruhan atau siluetnya.
2. Bolus, yakni ciri-ciri batang.
3. Daun, hijau sepanjang tahun atau rontok pada musim kemarau.
4. Cabang, sangat berguna pada tumbuhan desidus.
5. Bunga dan buah, sangat berguna bila tersedia.
6. Habitat, sangat panting pada kamunitas tumbuhan di alam.

Setiap katagori di atas dapat dipilahkan dalam checklist di bawah:

1. Habitus
1.1. Ukuran: besar > 30 m, sedang 10-30 m, kecil < 10 m, seedling < 0,5 m.
1.2. Bentuk: kubah (dome), kerucut (conic), kolom (columnar).
1.3. Percabangan: berkarang (whorled), beraturan (regular), tidak
beraturan (irregular), tegak (ascending), tergantung (pendulous).
1.4. Akar: aerial/ pneumatofora (penyangga, lutut, pasak), papan; di
permukaan tanah, di bawah tanah.

2. Batang
2.1. Bentuk batang: bentuk, papan, akar.
2.2. Kulit kayu: warna, tekstur, pola.
2.3. Blaze (kilap): warna, tekstur, getah, bau.
2.4. Lain-lain: lichenes, fungi, cauliflora, dll.

3. Daun
3.1. Rangking: tunggal, majemuk beranak daun dua, dst.
3.2. Duduk daun: daun duduk, bertangkai.
3.3. Stipula: absen, presen (persisten atau desidus).

66
3.4. Susunan: tunggal, majemuk (menjari atau menyirip)
3.5. Warna: warna yang tampak atau tidak berwarna.
3.6. Ukuran: lepto- nano- mikro- meso- makro- megafil.
3.7. Bentuk: keseluruhan, ujung, pangkal.
3.8. Tepi: keseluruhan, macam-macam gerigi.
3.9. Venasi: reticulate, penniveined, paralel, dikotom.
3.10. Lain-lain: kelenjar, pulvinus, bulu, lilin, bau, rasa.

4. Cabang
4.1. Pertumbuhan: terus tumbuh atau musiman, monopodial atau simpodial.
4.2. Tunas: vegetatif atau reproduktif, terminal atau lateral.
4.3. Kulit: warna, retakan, pola.
4.4. Bekas luka: daun, stipula.
4.5. Lentisel: jumlah, ukuran, warna, pola.
4.6. Pith (inti): solid atau berongga empulur, warna, ukuran, bentuk.
4.7. Lain-lain: kelenjar, bulu, lilin, bau.

5. Buah dan Bunga


5.1. Infloresensi: tipe, jumlah bunga, duduk bunga.
5.2. Bunga: warna dan ukuran perianthium, kelopak, mahkota, stilus,
stamen, anthera.
5.3. Buah dan biji: tipe, warna, ukuran, tekstur.

6. Habitat
6.1. Distribusi spesies: geografi/regional/lokal, alamiah atau ditanam.
6.2. Preferensi tempat:
• Topografi: ketinggian, pemandangan, kemiringan lereng, posisi.
• Tanah: kimia, fisika, mikrobiologi.
• Iklim: suhu, curah hujan, arah angin, kebakaran.
• Biologi: hama dan penyakit, budidaya pertanian, poluasi.
6.3. Modifikasi tempat: erosi, reklamasi, pemupukan, irigasi dan lain-lain.

Karakter yang dipilih dalam identifikasi di lapangan.


Sifat yang dipilih untuk identifikasi di lapangan tergantung musim dan tipe
vegetasi. Musim mempengaruhi ketersediaan bahan, misalnya pada musim
kemarau tumbuhan tertentu, seperti ketepeng memiliki sedikit daun. Tipe
vegetasi dipengaruhi musim sehingga mempengaruhi ketersediaan karakter
yang digunakan. Di Jawa terdapat hutan jati (desidus) yang akan
menggugurkan daunnya di musim kemarau, sedangkan lainnya merupakan
hutan tropis yang selalu hijau, termasuk hutan mangrove, meskipun pada

67
musim kemarau beberapa spesies asosiasi merontokkan sebagian daun.
Kesulitan mendapatkan sumber identifikasi juga terjadi apabila tumbuhan
terlelau tinggi, sehingga menghalangi akses mendapatkan daun, bunga, dan
buah segar. Pada hutan mangrove tanah yang tidak stabil kadang-kadang
berbahaya untuk didatangi.
Material dari satu pohon kadang-kadang sulit dibedakan dengan dengan
pohon lain untuk mengetahui keanekaragam spesies. Identifilasi sulit
dilakukan berdasarkan sifat bolus dan kulit batang, dalam hal ini daun
merupakan karakter kedua paling penting setelah bunga dan buah.
Sayangnya bunga kadang-kadang hanya tersedia dalam jangka waktu
pendek, dan musim pembungan setiap spesies berbeda-beda.

DEFINISI PENTING

Spesies: sekelompok populasi yang berbeda dengan populasi lain dengan


mencegah perkawinan dan dapat dikenali berdasarkan sifat morfologi.
Spesies sibling adalah spesies yang berkerabat dekat, sehingga kadang-
kadang dijadikan sub spesies.

Sub spesies
• Subspesies (Subsp.): tingkatan optional di bawah spesies dan di atas
varietas; berdasarkan karakter minor dan memiliki daerah sebaran
geografi tertentu.
• Varietas (Var): taksa di bawah spesies dan subspesies; berdasarkan
karakter warisan minor dan sering memiliki daerah sebaran geografi
tertentu.
• Forma (f): taksa yang didasarkan pada karakter yang lebih sepele dan
daerah sebaran geografinya kurang terpisah dibandingkan subspesies
atau varietas.
• Kultivar (cv): tingkatan yang terdiri dari genotip tertentu yang sengaja
diseleksi, sering diperbanyak secara aseksual untuk mendapatkan sifat-
sifat tertentu.

Beberapa istilah dasar yang penting.


• Genotip: kandungan hereditas (gen) yang diekspresikan atau tidak,
menunjukkan satu atau lebih sifat.
• Fenotip: sifat-sifat yang tampak dari suatu organisme; merupakan hasil
interaksi antara gen dan lingkungan; dan diperoleh secara individual.
• Populasi: kelompok individu sama yang tinggal di suatu tempat dan waktu

68
tertentu, sehingga membentuk unit genetik. Semua individu merupakan
spesies yang sama meskipun terletak pada komunitas yang berbeda.
• Takson (jamak: taksa): unit taksonomi dengan tingkat klasifikasi tertentu.

Kategori ekogenetik.
• Populasi: unit evolusioner yang terdiri dari sejumlah kelompok individu
yang saling dapat berkawin.
• Ras (race): populasi dalam suatu spesies yang diskontinue dan berbeda
dengan populasi lain spesies yang sama. Apabila sangat khas disebut
landrace (varietas lokal). Apabila sifat pembedanya merupakan ciri khas
untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut ekotipe.
• Ekotipe: ras yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap perbedaan habitat.
Perbedaan sifat fisiologi tertentu kadang-kadang hanya tampak apabila
ekotipe yang berbeda ditanam di tempat sama. Ras dan ekotipe dapat
beradaptasi terhadap iklim, tanah, dan lingkungan geografi yang berbeda.
• Klin (cline): gradien geografi fenotipe dalam jangkauan spesies, sering kali
merupakan pengaruh gradien lingkungan. Penerapan klin lebih ditujukan
untuk populasi dari pada ekotipe, verietas atau ras.

Terminologi dan kategori lain.


• Mutan: variasi individu yang muncul secara mendadak dari fenotipe induk
karena perubahan genetik. Kultivar dapat diperoleh dari proses mutasi.
• Klon (clone): sekelompok tumbuhan yang berasal dari individu tunggal
(ortet) melalui reproduksi aseksual. Semua anggota klon (ramet) memiliki
genotip sama.
• Hibrida: anakan dari induk yang berbeda spesies. Hibrida sekawan (hybrid
swarm): populasi yang terdiri dari spesies induk, hibrida anakan,
backcross dan berbagai macam silangannya. Hibrida phantom: populasi
yang tersusun oleh hibrida dari dua spesies induk dimana salah satu atau
keduanya sudah punah.
• Populasi introgresi: populasi alam yang terbentuk karena infiltrasi gen dari
satu populasi ke populasi lain melalui hibridisasi, dimana terjadi
pemantapan hibrida melalui backcross dengan salah satu induk. Hibrida
sekawan merupakan tahap antara proses introgresi.
• Kimera (chimera): tumbuhan yang secara genetik memiliki bagian-bagian
jaringan yang berbeda-beda, misalnya: daun hijau dengan bagian tertentu
putih. Kimera yang bereproduksi secara aseksual distatusi kultivar.
• Provenansi: sumber asal usul geografi suatu biji atau propagul, misalnya
Indonesia adalah provenansi sebagian besar tumbuhan mangrove dunia.

69
4
BIODIVERSITAS
Ekosistem – Analisis Vegetasi

DENSITAS, FREKUENSI DAN DOMINASI

Kajian vegetasi atau komunitas tumbuhan di dalam ekosistem umumnya


terkait dengan:
1. Komposisi dari struktur vegetasi sebagai gambaran karakter ekologi di
ekosistem tersebut.
2. Hubungan atau asosiasi antara komunitas tumbuhan dengan faktor
lingkungan, sehingga dapat menjawab terjadinya keanekaragaman
tumbuhan, baik secara spasial (tempat) maupun temporal (waktu).
3. Kajian dengan tema khusus, misalnya: jumlah kayu di suatu ekosistem
hutan, kualitas habitat satwa liar, distribusi satwa liar dan lain-lain.
Pengambilan sampel (sampling) tumbuhan yang representatif adalah sam-
pling yang mengikuti kaidah akurasi dan presisi. Akurasi artinya nilai sampel
mendekati nilai sebenamya di alam, adapun presisi adalah nilai sampel
mendekati (mengelompok) di sekitar nilai mean (rerata) populasi sampel.
Pada pengambilan sampel juga harus dihindari adanya bias, yaitu distorsi
sistematik karena tidak tepatnya pengukuran atau tidak tepatnya penerapan
metode koleksi sampel. Agar sampel yang terambil bersifat valid dan tidak
bias, sering kali dilakukan pengambilan cuplikan secara random (acak),
sehingga semua bagian area kajian memiliki peluang atau kesempatan yang
sama untuk terpilih sebagai sampel. Secara garis besar, metode pengambilan
sampel dibedakan menjadi metode plot (metode kuadrat, metode releve dan
metode transek), dan metode tanpa plot (metode kuadrat titik).

70
Metode untuk menganalisis vegetasi tumbuhan tergantung pada berbagai
variabel, antara lain: tujuan penelitian, tipe struktur vegetasi, karakter vegetasi
yang diukur, seperti: densitas, dominansi, frekuensi, dan lain-lain, derajat
akurasi dan presisi yang diinginka, serta waktu, dana dan tenaga yang ada.
Parameter vegetasi yang diukur secara kuantitatif meliputi: densitas,
frekuensi dan dominansi. Dari nilai ini dapat diketahui nilai penting dan indek
similaritas arau diversitas.
Densitas (kerapatan)
Densitas adalah jumlah cacah individu suatu spesies per satuan luas.
Jumlah cacah individu seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = -------------------------------------------------------
Luas area cuplikan (m2 atau Ha)
Luas area cuplikan adalah jumlah plot dan luas plot yang diteliti. Misalnya
jumlah plot yang diamati sebanyak 10 buah, dengan luas masing-masing plot
10 m x 10 m = 100 m2, maka luas total seluruh area yang dicuplik adalah 10 x
100 m2 = 1000 m2. Apabila total cacah individu spesies A yang ditemukan
pada seluruh plot yang dikaji (10 plot) = 345 buah, maka densitas spesies A =
345 / 1000 m2 = 0,45 / m2. hal ini disebut densitas absolut atau aktual.
Informasi tentang hubungan antara cacah individu suatu spesies dengan
total cacah individu seluruh spesies dalam seluruh plot yang dikaji akan
diketahui dengan menghitung densitas relatifnya.
Total cacah individu spesies A
Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah total cacah individu seluruh spesies
Frekuensi
Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesies yang ditemu-
kan pada plot yang dikaji.
Jumlah plot terdapatnya spesies A
Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah seluruh plot yang dicuplik
Misalnya dalam 10 plot yang dikaji spesies A ditemukan 2 kali (2 plot),
sehingga frekuensi spesies A = (2/10)x 100% = 20%. Selanjutnya dapat
dihitung, dapat dihitung frekuensi relatif dengan cara berikut:
Total frekuensi spesies A
Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total frekuensi seluruh spesies

71
Dominansi
Dominansi suatu spesies ditentukan dengan mengukur basal area pohon
atau nilai penutupan (coverage) pohon atau herba. Luas basal area suatu
jenis pohon dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1,5 m dari
permukaan tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah (dbh = diameter at
breast hight). Bila pohon berakar papan (akar banir), maka diameter pohon
diukur langsung diatas banirnya. Nilai penutupan pohon, semak atau herba
adalah luas proyeksi tajuk atau kanopi pohon, semak atau herba ke media
tumbuh (e.g. tanah).
Misalnya suatu kajian yang dilakukan pada 10 plot, dimana masing-masing
plot memiliki luas 100 m2, sehingga total luas area cuplikan 10 x 100 m2 =
1000 m2, menghasilkan luas total basal area spesies A sebesar 1250 cm2,
maka dominansinya = (1250 cm2/1000 m2) x 10000/Ha = 12.500 cm2I Ha.

Dengan luas basal area, maka:


Total basal area spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total basal area seluruh spesies

Dengan persentase nilai penutupan, maka:

Total persentase penutupan spesies A


Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total persentase penutupan seluruh spesies

Fisiognomi adalah kenampakan vegetasi tumbuhan (struktur komunitas)


yang berkombinasi dengan faktor lingkungan fifik, kimia dan biotik. Faktor
biotik yang mempengaruhi adalah: spesies dominan, lifeform, stratifikasi,
densitas daun (foliage density), penutupan (coverage), dispersal tumbuhan
(pemencaran), dan lain-lain.
Spesies dominan adalah spesies yang sangat berpengaruh pada habitat
yang dikaji artinya dominan mengontrol struktur dan komposisi spesies dalam
komunitas dengan mempengaruhi faktor fisik dan kimia. Zonasi merupakan
gradasi populasi spesies lokal yang terdistribusi sepanjang gradien
lingkungan. Penutupan (coverage) adalah area yang ditutupi oleh vegetasi
yang diproyeksikan tegak lurus ke lantai habitat, dapat diklasifikasikan secara
kualitatif menjadi jarang, sedang dan rapat. Pemencaran (dispersal) adalah
distribusi spasial tumbuhan yang dapat diklasifikasikan sebagai seragam
(uniform), random, dan bergerombol (clumped). Hal tersebut tejadi akibat
faktor topografi, nutrien, kelembaban, dan suksesi.

72
Bagian 3
PRAKTIKUM

73
74
1
PRAKTIKUM
Area Kajian & Populasi Sampel

Praktikum ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan


secara eksploratif di lapangan dan laboratorium. Adapun prosedur kerja yang
dilaksanakan pada garis besarnya meliputi:
1) Pengukuran keanekaragaman spesies mangrove mayor, minor dan
asosiasi, dengan metode penjelajahan (survei).
2) Penentuan densitas, frekuensi dan dominasi spesies mangrove
dengan metode kuadrat, yakni menggunakan plot pada lokasi yang
secara visual memiliki keanekaragaman tertinggi.
3) Penentuan pola pita isozim pada spesies mangrove mayor dan minor.
Adapun pola pita protein hanya dilakukan pada Nypa fruticans sebagai
contoh pembanding.
4) Penentuan kualitas kimia-fisika lingkungan. Pengukuran parameter
lingkungan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Di lab dilakukan
asisten dan laboran, misalnya kandungan kimia sedimen tanah.
5) Pembuatan laporan kelompok, masing-masing satu laporan untuk
kelompok pantai utara dan satu laporan untuk kelompok pantai selatan.

AREA KAJIAN

Dalam praktikum ini dipilih dua lokasi utama pengambilan sampel


lapangan, yaitu pantai selatan dan utara Jawa.

75
• Pantai selatan Jawa dimulai dari muara Sungai Bogowonto, Yogyakarta,
s.d. Sungai Jeruk Legi-Donan Cilacap sebanyak 8 stasiun, yaitu:
Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Cincingguling, Ijo, Bengawan, Serayu
dan Jeruk Legi-Donan. Adapun Segara Anakan disampel sebanyak 3
stasiun, yaitu Motehan, Klaces, dan Kembang Kuning (dapat diubah
sesuai kondisi di lapangan). Setiap stasiun dengan tiga ulangan.
• Pantai utara mulai dari Demak s.d. muara Bengawan Solo, Lamongan.
Apabila memungkinkan dilakukan pula di tapal kuda pantura Jawa Timur
dan pulau Madura. Pada asalnya hampir seluruh pantai utara Jawa
merupakan habitat mangrove, namun pengaruh antropogenik yang sangat
tinggi selama berabad-abad, menyebabkan sebagian besar kumpulan
(patches) mangrove telah hilang. Oleh karena itu stasiun yang dipilih untuk
praktikum akan ditentukan secara in cognito, pada 10 stasiun. Setiap
stasiun dengan tiga ulangan.

Batas Stasiun Penelitian


Penentuan batas-batas stasiun penelitian sangat perlu dilakukan, khusus-
nya untuk menghitung keanekaragaman spesies asosiasi, dan membuat
ulangan pengamatan ekologi.
Hutan mangrove di pantai selatan Jawa umumnya hanya tinggal reliks kecil
di muara-muara sungai, sehingga penentuan batas-batas area mangore dan
non-mangrove relatif mudah dilakukan. Di Segara Anakan pun hal ini mudah
dilakukan, meskipun merupakan pusat distribusi mangrove dimana komunitas
tumbuhan ini relatif tumbuh lebat, kaya, dan sambung menyambung antar
lokasi, namun adanya sungai-sungai besar yang memisahkannya dapat
digunakan sebagai pemisah stasiun.
Penentuan batas area mangrove di pantai utara Jawa relatif lebih sulit.
Pada awalnya seluruh kawasan ini merupakan area mangrove yang kaya,
namun kehidupan manusia telah memusnahkan sebagian besar di ekosistem
ini. Kontinuitas ketersediaan propagul dari beberapa muara sungai seperti
delta Bengawan Solo, menyebabkan kawasan “rusak” ini, tetap memiliki
kemampuan untuk dimasuki spesies mangrove, sehingga tumbuhan
mangrove ditemukan menyebar pada kawasan luas, meskipun dengan
densitas sangat rendah. Mangrove dapat dijumpai di muara sungai (riverine
environtment), maupun lingkungan pantai biasa (marine environtment). Hal ini
dikarenakan ombak laut Jawa relatif kecil, adanya pengaruh intertidal, serta
adanya masukan air dan sedimen dari daratan terutama di musim hujan
sebagai limpasan (run off) air permukaan. Paragraf di bawah menjelaskan
cara penentuan stasiun penelitian.

76
Peta Lokasi Praktikum

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok:
I. Pantai Utara: Demak s.d. Lamongan
II. Pantai Selatan: Bogowonto s.d. Jeruk Legi-Donan, dan Segara Anakan.

77
Keterangan:
Jarak antara pohon dalam
satu stasiun maksimal 200
m, selanjutnya seluruh area
yang terletak pada jarak
100 m dari batas terluar
pohon dimasukkan dalam
satu stasiun.

Stasiun I Stasiun II

Kebanyakan pohon mangrove mayor dan minor secara sangat efektif dapat
mensupai seedling hingga jarak ± 100 m, tergantung jenis dan biogeografi.
Berdasarkan hal ini, maka suatu area dianggap satu stasiun apabila berada
dalam lingkungan dimana pohon mangrove mayor dan minor paling jauh
berada dalam jarak 200 m, selanjutnya antar pohon-pohon tersebut ditarik
garis lurus membentuk lingkaran masif, dan ditambah 100 m ke arah luar
(perhatikan gambar). Khusus di Segara Anakan, sungai merupakan batas
mangrove meskipun lebarnya kurang dari 100 m, karena propagul dari suatu
lokasi umumnya akan tertahan ditepi sungai, dan apabila terbawa ke sungai di
sebelahnya maka juga tetap tertahan di tepian, sedangkan bagian dalam
mangrove umumnya tetap disuplai oleh propagul setempat.

POPULASI SAMPEL

Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi dengan keanekaragaman


tertinggi, yakni pada lokasi dimana sekurang-kurangnya terdapat satu jenis
pohon mangrove mayor atau minor yang berjumlah 20 individu. Pada lokasi ini
diukur keanekaragaman spesies tumbuhan dan ekosistem (analisis vegetasi),
meliputi seluruh spesies tumbuhan mangrove mayor, minor dan asosiasi.
Selanjutnya diambil 5-10 individu pohon kategori mangrove mayor dan
minor untuk mengetahui keanekaragaman genetik, berupa daun pada pucuk
cabang tumbuhan dewasa (sudah pernah berbunga) dan seedling tumbuhan
yang sama (tinggi < 0,5 m). Dari jumlah ini tiga diantara sampel daun
tumbuhan dewasa diuji keanekaragaman genetiknya. Apabila terjadi
kerusakan pada daun tersebut, seperti terjadi penguapan berlebih karena

78
aerenkim terpotong atau luka sehingga enzim/ protein rusak, maka digunakan
daun seeling. Untuk itu seedling perlu ditanam dalam pot.
Pada setiap stasiun dipilih lima titik secara acak dengan jarak sekurang-
kurangnya 10 meter untuk mengukur parameter lingkungan. Faktor lingkungan
yang dapat diukur secara in situ, maka diukur secara terpisah pada tiga dari
lima titik tersebut dan ditentukan reratanya, misalnya suhu dan pH tanah,
sedangkan faktor lingkungan yang harus diukur secara ex situ di laboratorium,
maka sampel dari kelima titik disatukan dan diukur sebagai “komposit”,
misalnya kandungan kimia tanah.

79
2
PRAKTIKUM
Genetik – Isozim/Protein

TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui keanekaragaman pola pita isozim pada tumbuhan
mangrove mayor dan minor di Jawa.
• Mengetahui keanekaragaman pola pita protein Nypa fruticans
(sebagai pembanding).

LANGKAH PRAKTIS:
• Koleksi daun.
• Pembuatan buffer.
• Pembuatan larutan stok .
• Pembuatan gel.
• Ekstraksi daun.
• Elektroforesis.
• Pewarnaan.
• Analisis data.

BAHAN DAN ALAT

Obyek praktikum. Material praktikum adalah seluruh tumbuhan mangrove


mayor dan minor (Lampiran 2).

80
Koleksi daun. Bahan yang diperlukan untuk pengawetan koleksi adalah
air dingin dan es batu. Alat yang digunakan untuk koleksi di lapangan meliputi:
gunting tanaman atau pisau tajam, kantung plastik dengan klip (atau tali
karet), dan termos es. Di laboratorium diperlukan lemari pendingin suhu 4oC
untuk penyimpanan sementara sebelum dianalisis, serta rumah kaca untuk
menanam seedling.

Elektroforesis. Bahan yang diperlukan selain kemikalia adalah akuades


yang disterilisasi (akuabides) dan serpihan es batu. Alat yang diperlukan
adalah mortar, cawan porselen, termomerter, sentrifus, mikropipet, timbangan
analitik, pipet volumetri, gelas ukur, gelas beker, elenmeyer, slot dengan 10-14
sumuran, nampan plastik, penunjuk waktu (jam), serta apparatus
elektroforesis mini vertical slab cell BIO-RAD USA model Protean III.

CARA KERJA

Koleksi daun. Sampel daun dipilih daun urutan ketiga dari ujung cabang
yang pertumbuhannya optimum dengan penampilan, umur dan ukuran relatif
seragam, dan pernah berbunga. Koleksi daun dimasukkan ke dalam kantung
plastik hitam dan diikat rapat dengan tali karet, lalu disimpan dalam termos es
yang telah diisi es batu/air es. Sesampai di laboratorium daun disimpan dalam
lemari pendingin bersuhu 4oC. Daun dapat disimpan selama-lamanya 14 hari,
dan sebaiknya digunakan dalam kurun waktu 7 hari pasca pemetikan, setelah
itu isozim/protein tidak aktif. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak daun dapat
bertahan selama 30 hari. Apabila daun dari tumbuhan dewasa ini rusak, maka
praktikum dilakukan dengan daun seedling. Untuk itu perlu dilakukan
penanaman seedling di rumah kaca.

Pembuatan buffer.
• Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: boric acid (asam
boraks) 14,4 gram dan borex (boraks) 31,5 gram, dalam akuades
hingga mencapai volume 2 liter.
• Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat dengan melarutkan
0,018 gram sistein, 0,021 gram asam askorbat, dan 5 gram sukrosa
(PA) dalam 20 ml boraks buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer
ekstraksi dengan sampel daun adalah 4:1, dalam satuan μl buffer
ekstraksi dan μg sampel daun.
• Running buffer. Running buffer yang digunakan ialah TAE (Tris-
Acetic-Acid EDTA) 50x yang diencerkan sampai konsentrasi 1x.

81
Pembuatan larutan stock.
Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok yaitu:
• Larutan "L": 27,2 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 120
ml akuabides, diatur sampai pH 8,8 dengan menambahkan HCl, lalu
ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml.
• Larutan "M": 9,08 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 140
ml akuabides, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan penambahan HCl, lalu
ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml.
• Larutan "N": 175,2 gram akrilamid dan 4,8 gram bisakrilamid
dilarutkan dalam 400 ml akuabides dan buat volumenya hingga 600 ml.
• Loading dye: 250 μl gliserol ditambah 50 μl bromphenol blue
dilarutkan dalam 200 μl aquades.

Penyiapan gel.
Penyiapan cetakan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu
cetakan kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang
cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang
pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand. Untuk membuat
discontinuous gel 12,5%, bahan yang dicampur ialah:
Gel pemisah: 3,15 ml larutan "L", 5,25 ml larutan "N", 4,15 ml H2O, 5 μl
TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%.
Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu ditambahkan iso-butanol jenuh.
Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, iso-butanol jenuh tersebut
diserap dengan kertas hisap dan dibuang, lalu dibilas dengan air dan diserap
kembali air yang tersisa dengan kertas hisap. Setelah itu dipersiapkan bahan-
bahan untuk pembuatan stacking gel.
Stacking gel: 1,9 ml larutan "M", 1,15 ml larutan "N", 4,5 ml H2O, 5 μl
TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%.
Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang. Apabila telah
terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang telah terbentuk dipindahkan
ke clamping frame dan dimasukkan ke dalam buffer tank, diisi dengan running
buffer sampai terendam.

Ekstraksi daun. Jaringan segar daun dimasukkan dalam buffer ekstraksi,


dengan perbandingan 1:4 (w/v), yakni 68 μg (0.068 gr) sampel daun
dilumatkan dalam 272 μl (0,272 ml) buffer ekstraksi. Lalu digerus dalam
cawan porselen yang diletakkan di atas serpihan-serpihan kristal es, agar
tetap dingin (suhu 4oC). Sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola
pita protein disentrifugasi pada kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada

82
suhu ruang, sedang sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola pita
isozim disentrifugasi dengan kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada suhu
4oC, setelah disentrifugasi sampel tersebut direndam dalam kristal es.
Supernatan yang terbentuk segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis.

Pelaksanaan elektroforesis.
Supernatan sampel daun diambil dengan menggunakan mikropipet
sebanyak 3,5 μl dan dengan ditambah loading dye dan dibantu sample
loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada gel yang telah tercetak.
Setelah itu sampel dielektroforesis awal dengan menggunakan tegangan 200
volt, 60 mA selama 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah. Kemudian
sampel dielektroforesis lanjutan, untuk protein digunakan tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 180 menit, sedangkan untuk isozim tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 60 menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda
warna bromofenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah anoda. Lalu
gel dipindah ke nampan plastik dan diwarnai dengan enzim pewarna.

Pembuatan pewarna.
Pewarna untuk mendeteksi pola pita isozim. Dalam praktikum ini
digunakan dua sistem enzim peroksidase (PER) dan Esterase (EST). Adapun
langkah pembuatannya sebagai berikut:
Peroksidase. Sebanyak 0,0125 gram O-Dianisidine dimasukkan dalam
erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2
M buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes H2O2. Gel yang telah
dielektroforesis direndam dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil
digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna
dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto
atau scanner.
Esterase. Sebanyak 0,0125 gram α-naftil asetat (α-naphthyl aceatate)
dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton,
kemudian ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 dan 0,0125 gram
fast Blue BB Salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan dalam larutan
pewarna tersebut dan diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang secara
perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan
dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto atau scanner.

Pewarna untuk mendeteksi pola pita protein. Dalam hal ini diperlukan
larutan pewarna dan pencuci. Larutan pewarna Comassie blue dibuat dengan
melarutkan 1 gram zar warna tersebut ke dalam 100 ml asam asetat dan 400
ml metanol, lalu diencerkan dengan akuades hingga volume 1 L. Larutan

83
pencuci dibuat dengan mencampur 100 ml asam asetat dan 400 ml metanol,
lalu dilarutkan dalam akuades hingga volume 1 L.
Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan ke dalam larutan pewarna
selama semalam. Setelah itu gel diambil dan dibilas dengan air, lalu direndam
dalam larutan pencuci selama + 4 jam sambil digoyang perlahan. Kemudian
gel dapat direkam gambarnya dengan foto atau pemindai (scanner).

ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu berdasarkan muncul


tidaknya pita pada gel dan metode kuantitatif berdasarkan tebal tipisnya pita
yang terbentuk. Keragaman pola pita ditentukan berdasarkan nilai Rf,
merupakan nilai pergerakan relatif yang diperoleh dari perbandingan jarak
migrasi protein atau isozim terhadap jarak migrasi loading dye. Pita yang
muncul diberi nilai 1, sedangkan yang tidak diberi nilai 0, lalu dibuat
dendogram hubungan kekrabatannya dengan analisis klaster.

84
3
PRAKTIKUM
Spesies – Identifikasi Morfologi

TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor,
minor, dan tumbuhan lain yang berasosiasi di lingkungan mangrove di
Jawa.
• Mengetahui adaptasi morfologi khas tumbuhan mangrove mayor dan
minor, serta perbedaannya dengan tumbuhan asosiasi.

LANGKAH PRAKTIS:
• Koleksi spesimen
• Identifikasi morfologi
• Pembuatan herbarium
• Kunci identifikasi (diagnostik).
• Deskripsi (komparasi).

BAHAN DAN ALAT

Objek yang diamati meliputi seluruh spesies tumbuhan, baik tergolong


mangrove mayor, minor atau asosiasi.

Koleksi. Ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan


(Lampiran 4: Borang B), etiket gantung, peta topografi, kompas dan teropong.

85
Identifikasi. Mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa
pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau/silet dan pinset, dan buku
identifikasi (Lampiran 1-2; buku lain),
Pembuatan herbarium. Herbarium kering: sasak, kertas koran, kertas
kardus, tali/kawat, gunting, pisau dan oven. Kertas herbarium, label herbarium,
amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Herbarium basah:
botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air.

CARA KERJA

Koleksi. Koleksi dilakukan secara random dengan metode survei


(penjelajahan), baik bersamaan dengan pelaksanaan sampling vegetasi atau
sendiri. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-
sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, digambar penampakan umum, bunga
dan buah; serta dibuat kunci identifikasi dan deskripsi.

Identifikasi. Identifikasi spesies tumbuhan mayor dan minor dilakukan


dengan Lampiran 2, sedangkan identifikasi tumbuhan asosiasi dilakukan
dengan merujuk pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963;
1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), serta Ng dan Sivasothi (2001).

Pembuatan herbarium. Herbarium basah digunakan untuk spesimen yang


berair dan lembek, sehingga sulit dikeringkan dan cenderung membusuk,
misalnya buah tertentu. Sedang herbarium kering digunakan untuk spesimen
yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar. Herbarium
dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau
kerusakan fisik lain. Disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah. Apabila
tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus.
Herbarium Kering. Spesimen dibersihkan, lalu dimasukkan dalam kertas
koran, apabila terlalu besar dapat dilipat, atau dipotong sebagian. Setiap 5-10
lembar kertas koran dijepit dengan sepasang sasak. Lalu dipanaskan dalam
oven dengan suhu 40-45oC selama 5-7 hari, hingga terasa kaku. Pemanasan
yang terlalu lama menyebabkan spesimen mudah patah. Spesimen dilem
pada kertas herbarium ukuran 11,5X16,5 inch. (± 29X43 cm).
Di pojok bawah kertas herbarium diberi etiket tempel berisi: nama kolektor,
tanggal koleksi, familia, genus, spesies, nama daerah, nama pendeterminasi,
tanggal determinasi, pulau tempat koleksi, lokasi, ketinggian, habitat dan
catatan tambahan berupa keadaan morfologi khas yang hilang setelah
spesimen dikeringkan seperti warna dan bentuk.

86
Herbarium Basah. Spesimen dicuci bersih dari kotoran dan dimasukkan
dalam botol kaca bening berisi alkohol 70%. Ukuran botol disesuaikan kondisi
spesimen dan diberi etiket tempel. Botol ditutup rapat dan disimpan di dalam
lemari koleksi yang sejuk dan tidak terkena sinar matahari langsung.

Kunci identifikasi dan deskripsi. Dimulai dengan mengisi Borang B


(Lampiran 3) secara lengkap, terdiri dari deskripsi serta gambar penampakan
umum, bunga dan buah. Lalu dibuat kunci identifikasi diagnostik dan
perbandingan (komparasi) deskripsi antara mangrove mayor, minor dan
asosiasi dengan mengetengahkan ciri-ciri khas morfologi sebagai bentuk
adaptasi. Deskripsi tidak ditujukan sekedar untuk pencandraan belaka.

87
4
PRAKTIKUM
Ekosistem – Analisis Vegetasi

TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui struktur, komposisi, dan distribusi tumbuhan mangrove di
Jawa, melalui densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks
diversitas dan indeks similaritas.

LANGKAH PRAKTIS:
• Identifikasi morfologi.
• Kuantifikasi spesies dengan metode plot kuadrat.
• Penghitungan sifat ekologi (densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting).
• Analisis data (indeks diversitas dan indeks similaritas).

BAHAN DAN ALAT

Objek yang diamati meliputi seluruh spesies tumbuhan, baik tergolong


mangrove mayor, minor atau asosiasi. Bahan dan alat yang digunakan relatif
sama dengan praktikum biodiversitas spesies, ditambah peralatan untuk
membuat plot kuadrat berupa tali rafia, patok, palu, meteran dan rol meter.

88
CARA KERJA

Sampling vegetasi dilakukan dengan metode plot kuadrat, dimana setiap


stasiun dibuat tiga ulangan pada lokasi yang paling tinggi tingkat
keanekaragaman spesiesnya (acak). Ukuran plot kuadrat adalah 10X10 m2
untuk pohon, 5X5 m2 untuk semak dan 1X1 m2 untuk seedling (< 50 cm) dan
herba. Ketiganya dapat terletak pada satu tempat atau tidak.
Cacah individu setiap spesies pada setiap plot kuadrat dihitung untuk
menentukan densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks diversitas dan
indeks similaritas. Untuk itu perlu diisi Borang C (Lampiran 5).
Deskripsi kondisi lingkungan dibuat. Topografi (fisiografi) dan bentuk
kehidupan (fisiognomi) dipotret.

ANALISIS VEGETASI

Data struktur dan komposisi vegetasi ditampilkan dalam bentuk densitas,


frekuensi, dominansi, nilai penting, indeks similaritas dan indeks diversitas.

Densitas:
Jumlah cacah individu seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = -------------------------------------------------------
Luas area cuplikan (m2 atau Ha)

Total cacah individu spesies A


Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah total cacah individu seluruh spesies

Frekuensi:
Jumlah plot terdapatnya spesies A
Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah seluruh plot yang dicuplik

Total frekuensi spesies A


Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total frekuensi seluruh spesies

Dominansi:
Total basal area spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%

89
Jumlah total basal area seluruh spesies

Total persentase penutupan spesies A


Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total persentase penutupan seluruh spesies

Nilai penting: densitas relatif + dominansi relatif + frekuensi relatif

Indeks similaritas Sorensen (index of similarity = IS):


2xW
IS Sorensen = ------------ x 100%
A+B
Keterangan:
W = Jumlah nilai kuantitatif terkecil pada dua tegakan.
A = Jumlah semua nilai kuantitatif pada satu tegakan
B = Jumlah semua nilai kuantitatif pada tegakan lain.
Nilai indeks ketidaksamaan (index of dissimilarity) ID = 100 – IS.

Indeks diversitas Shannon:

H = – Σ (m/N) log (m/N) atau

H = – Σ Pi log Pi.

Keterangan:
m = Nirai penting cacah individu untuk setiap spesies
N = Total nilai penting
Pi = m /N

Indeks diversitas Simpson:

N (N – 1)
D = -------------------
Σn (n – 1)

Keterangan:
D = indeks diversitas
N = Totaljumlah individu seluruh
n = JumIah cacah individu suatu spesies

90
5
PRAKTIKUM
Kimia-Fisika Lingkungan

TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui kondisi fisik dan kimia ekosistem mangrove di Jawa.

LANGKAH PRAKTIS:
• Pengukuran suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen
terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), daya hantar listrik
(EC) air dan sedimen, kapasitas listrik (CEC), padatan terlarut (TSD)
air, pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), dilakukan
secara in situ di lapangan.
• Kandungan fisik dan kimia berupa kadar air, tekstur tanah, kadar
bahan organik (OM), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-), dan pirit
(FeS2), dilakukan dilaboratorium [asisten dan laboran].

BAHAN DAN ALAT

Parameter lingkungan yang diukur meliputi: suhu air dan sedimen, pH air
dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks
(Eh), pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), tekstur tanah;
kadar bahan organik (OC), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-) , dan pirit (FeS2).

Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan meliputi: Eijkman dredge


(atau gayung plastik), ember plastik, kantung plastik hitam atau botol

91
polietilen, nampan, kipas angin, timbangan, mortar dan lumpang porselen,
saringan stainless steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm.

Pengukuran kualitas lingkungan in situ. Kualitas lingungan yang diukur


secara in situ meliputi: suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar
oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), dan pola
genangan (fluktuasi pasang-surut air laut). Suhu air dan sedimen diukur
dengan termometer Hg (skala 0-100 0C), pH air dan sedimen diukur dengan
pH meter electric merek Ciba-Corning, Jepang, kadar oksigen terlarut (DO)
diukur dengan oxygenmeter merek YSI Incorporated, model 51B SN: 95 H
36111 buatan Simpson Electric Co., USA, kadar salinitas diukur dengan
refractometer merek N.O.W, 0-100 ppt, Jepang, potensial redoks diukur
dengan Eh-Meter model 42D SN-730692, Jerman, sedang pola genangan
dicatat lembar kertas dengan bantuan penunjuk waktu.

Pengukuran kadar bahan organik (OC). Bahan yang diperlukan meliputi:


K2Cr2O7, H2SO4, H3PO3 85%, indokator difenilamin, akuades, dan FeSO4 1N.
Alat yang digunakan meliputi: timbangan analitik, gelas arloji, gelas beker 50
ml, gelas ukur 10 ml, pipet, labu elenmeyer 50 ml, dan labu titrasi.

Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Alat yang digunakan: timbangan


analitik, labu elenmeyer 300 ml, shaker, corong gelas, kertas Whatman 42,
gelas arloji, pipet volumetri 20 ml, buret, oven, alat destilasi semi-mikro
Kjehldal. Reagensia yang digunakan: KCl 10%, MgO 10%, indikator asam
borat 2%, larutan standar H2SO4 0,01 N.

Penentuan kadar fosfor (PO43-). Alat yang digunakan: labu kjeldahl 100
ml, apparus digesti elektris, pipet, corong gelas, kertas Whatman 42, pipet
volumetri 100 ml, tabung gradasi 20 ml, labu volumetri 200 ml dan
spektrofotometer (AAS). Reagensia yang digunakan:HClO4 dan HNO3 pekat,
larutan HCl, larutan molibdat-vanadat, HNO3 2N, larutan fosfor standard (P 20
ppm; 250 ppm).

Pengukuran kadar pirit (FeS2). Alat yang digunakan adalah botol


polipropilen, lemari pendingin –200C timbangan analitik, cawan porselin, oven,
hotplate, corong, kertas saring Whatman 42, gelas ukur 50 ml, dan AAS
(Atomic Absorbance Spectrometer). Kemikalia yang digunakan adalah HNO3
10%, HNO3 pekat, dan akuades.

92
CARA KERJA

Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah diambil dengan Eijkman


dredge di kedalaman + 20 cm dari permukaan sedimen pada lima titik yang
ditentukan secara random di ketiga lokasi penelitian, lalu dicampur dan diaduk
secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen tanah dari kelima titik
tersebut relatif sama, dengan hasil akhir sekitar 1-2 kg basah. Sisa-sisa akar,
batu dan material organik dibuang dan disaring dengan saringan berdiameter
lubang 0,5 mm dan 2 mm. Sampel tanah siap untuk dianalisis. Apabila tanah
tidak segera dianalisis maka perlu disimpan dalam plastik hitam, udara dalam
plastik dikeluarkan, diikat rapat dan dimasukkan dalam lemari pendingin.

Pengukuran kualitas lingkungan in situ. Suhu air dan sedimen diukur


dengan termometer pada siang hari antara pukul 10.00-15.00 wib.
Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter electric. Pengukuran oksigen
terlarut (DO) dilakukan dengan oxygenmeter. Pengukuran kadar salinitas
dengan refractometer. Pengukuran potensila redoks dilakukan dengan Eh-
meter. Pengukuran EC, CEC, dan TSD silakukan secara elektrik. Pola
genangan ditentukan dengan mencatat waktu terjadinya pasang tertinggi dan
surut terendah selama + 1 bulan.

Pengukuran kadar bahan organik (OC). Sebanyak 1 g sampel tanah


kering angin dimasukkan dalam gelas beker 50 ml, ditambah 10 ml K2Cr2O7
dan 10 ml H2SO4 dengan gelas ukur, lalu dikocok hingga homogen. Didiamkan
30 menit hingga larutan menjadi dingin. Ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1
ml indokator difenilamin, lalu ditambahkan akuades hingga volume mencapai
50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan mengendap. Sebanyak 5 ml
larutan yang jernih diambil dengan pipet dan dimasukkan dalam labu
elenmeyer 50 ml, dan ditambah 15 ml akuades. Kemudian dititrasi dengan
FeSO4 1N hingga berwarna kehijauan. Langkah tersebut dilakukan pula tanpa
sampel tanah sebagai blanko.

Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Sebanyak 20 g sampel tanah


ditimbang dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 200 ml yang telah diisi 100
ml KCl 10%, lalu digojok selama 30 menit dengan shaker dan disaring dengan
kertas saring Whatman 42. Setelah itu labu elenmeyer 100 ml berisi 5 ml
asam borat 2% sebagai indikator diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak
20 ml larutan dipipetkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 ml uspensi
magnesium oksida 10% dan dibersihkan dengan akuades. Didistilasi selama 5
menit atau hasil distilasi sekitar 35 ml. Ujung kondensor dicuci dengan

93
akuades, setelah dingin hasil distilasi dititrasi dengan H2SO4 0,01 N hingga
berwarna merah muda.

Pengukuran kadar fosfor (PO43-). Sebanyak 2 g sampel tanah yang telah


diayak dengan saringan berdiameter 0,5 mm dimasukkan dalam labu Kjeldahl
100 ml yang telah diisi 2 g pasir kuwarsa. Ditambahkan 6 ml HNO3 pekat,
dipanaskan dan digojok pelahan-lahan dalam apparatus digesti elektris pada
suhu di bawah 80 oC. setelah gas NO2 menguap sempurna dan dingin,
ditambahkan 6 ml HClO4 pekat dan suhu dinaikkan hingga 120 oC serta
digojok hingga diperoleh larutan jernih. Dinginkan dan tambahkan 1 ml HCl
pekat, lalu dipanaskan 30 menit dan dinginkan lagi. Kemudian leher labu
Kjeldahl dicuci dengan air dan disaring ke dalam labu volumetri 100 ml,
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan digojok pelahan-lahan.
Sebanyak 1 ml larutan dipipetkan ke dalam tabung gradasi 20 ml,
ditambahkan 5 ml HNO3 2N dan akuades hingga mencapai 15 ml.
Ditambahkan 2 ml molibdat-vanadat dan akuades hingga 20 ml, serta digojok
dan dibiarkan selama 20 menit. Kemudian absorbansi diukur dengan AAS
pada panjang gelombang 420 mμ. proses diatas lakukan pula terhadap
larutan fosfor standard (P 20 ppm; 250 ppm).

Pengukuran kadar pirit (FeS2). Sampel sedimen tanah dimasukkan dalam


botol polipropilen, diawetkan dalam 10% HNO3 dan disimpan dalam pendingin
sekitar –200C hingga saat dianalisis. Sampel tanah dicairkan dalam
temperatur kamar, kemudian ditimbang dalam cawan porselin bersih dan
dikeringkan dalam oven 600C selama dua hari serta dihitung berat keringnya.
Sampel didinginkan, ditambahkan HNO3 pekat, kemudian dipanaskan di atas
hotplate dengan temperatur dinaikkan sedikit demi sedikit sampai sekitar
1000C atau lebih, setelah kering dilarutkan dalam 10% HNO3, disaring dengan
kertas saring Whatman 42, dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml, ditambah
akuades sampai volume mencapai 50 ml dan kemudian dianalisis dengan
AAS (Atomic Absorbance Spectrometer).

94
Bagian 4
LAMPIRAN

95
96
Lampiran 1. Indeks Mangrove di Jawa
Daftar spesies tumbuhan mangrove mayor dan minor di Jawa.
Famila Spesies Keterangan
Acanthaceae Acanthus ilicifolius Minor (asosiasi ?)
Arecaceae Nypa fruticans Mayor
Avicenniaceae Avicennia alba Mayor
Avicennia lanata
Avicennia marina
Avicennia officinalis
Combretaceae Lumnitzera racemosa Mayor
Lumnitzera littorea
Euphorbiaceae Excoecaria agallocha Minor
Lythraceae Pemphis acidula Minor
Meliaceae Xylocarpus granatum Minor
Xylocarpus moluccensis
Xylocarpus rumphii
Myrtaceae Osbornia octodonta Minor
Myrsinaceae Aegiceras corniculatum Minor
Aegiceras floridum
Pteridaceae Acrostichum aureum Minor
Acrostichum speciosum
Rhizophoraceae Bruguiera cylindrica Mayor
Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera parviflora
Bruguiera sexangula
Ceriops decandra
Ceriops tagal
Rhizophora apiculata
Rhizophora x lamarckii
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Rubiaceae Scyphiphora hydrophyllacea Minor
Sonneratiaceae Sonneratia alba Mayor
Sonneratia caseolaris
Sonneratia ovata
Sterculaceae Heritiera littoralis Minor

97
Daftar spesies tumbuhan asosiasi mangrove yang umum dijumpai di
Jawa.

Spesies Familia
1. Barringtonia asiatica Lecythidaceae
2. Calophyllum inophyllum Guttiferae
3. Calotropis gigantea Asclepiadaceae
4. Cerbera manghas Apocynaceae
5. Clerodendrum inerme Verbenaceae
6. Derris trifoliata Leguminosae
7. Finlaysonia maritima Asclepiadaceae
8. Hibiscus tiliaceus Malvaceae
9. Ipomoea pescaprae Convolvulaceae
10. Pandanus tectorius Pandanaceae
11. Pongamia pinnata Leguminosae
12. Scaevola taccada Goodeniaceae
13. Sesuvium portulacastrum Aizoaceae
14. Spinifex littoreus Gramineae
15. Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae
16. Terminalia catappa Combretaceae
17. Thespresia populnea Malvaceae
18. Scirpus littoralis Cyperaceae
19. Vitex ovata Verbenaceae
20. Welingi Cyperaceae

98
Lampiran 2.

Panduan Identifikasi Mangrove Mayor


dan Minor di Jawa

99
Acanthus ilicifolius L. Jeruju
Acanthaceae Minor (atau asosiasi)

Bentuk: Semak, 1,5-2,5 m.


Akar: Umumnya tanpa
pneumatofora, tetapi kadang
membentuk akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus,
panjang 5-15 cm, lanset,
bercuping banyak, masing-
masing dengan satu duri di
bagian tepi, terutama bila
terpapar matahari langsung.

Daun terpapar matahari dan


berduri (kiri). Daun di bawah
naungan dan tanpa duri (kanan).
Biji: Normal.
Kulit: Hijau kekuningan, licin.

Bunga : Infloresensi terminal, spike, panjang 10-20 cm; petala besar,


menyolok, biru terang atau ungu. Sep-Des.
Buah : Kapsul kotak agak pipih, meletus saat masak melontarkan biji-biji
putih hingga 2 m dari induk. Jan-Peb.
Ciri khas : Mahkota biru muda atau violet, pada A. ebracteatus dan A.
volubilis putih. Permukaan daun asin, mengandung butir-butir
garam hasil eskskresi daun. Kadang membentuk akar sangga.
Mirip : A. ebracteatus, A. volubilis
Distribusi : India s.d. Polinesia dan Australia
Habitat : Batas atas pasang surut, tepian sungai berlumpur halus. Sering
melimpah pada lokasi terbuka, dan mendapat air tawar.
Manfaat : Daun untuk mengobati rematik, neuralgia, dan meracuni panah.

100
Acrostichum aureum L. Paku laut laya
Class Filicopsida, Family Pteridaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 1,5 m.

Akar: Tanpa pneumatofora.

Daun: Daun paku, majemuk


menyirip, panjang 1-4 m, anak
daun < 30 cm, lanset, ujung
membulat; bagian ujung daun
tua fertil, sporangia merah
kecoklatan.

Biji: Tidak membentuk biji,


berkembang biak dengan spora.

Rhizoma dan pangkal pangkal


tangkai daun ditutupi sisik
panjang > 4 cm.

Sisi atas ujung anak daun Sisi bawah ujung anak


Ciri khas: Daun merah saat steril tua dari daun steril tua dari
muda, ujung anak daun A. aureum berbentuk A. aureum berbentuk
membulat. Toleransi terhadap membulat (kiri) membulat (kiri)
dan dan
genangan air laut kalah A. speciosium berbentuk A. speciosium berbentuk
dibanding A. speciosum. runcing (kanan) runcing (kanan)

Mirip : A. speciosum
Distribusi : Pantropis.
Habitat : Tepi sungai atau rawa mangrove di arah laut, salinitas rendah,
mendapat aliran air tawar.
Manfaat : Daun kering untuk atap, rhizoma untuk mengobati luka.

101
Acrostichum speciosum Paku laut lasu
Class Filicopsida, Family Pteridaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi 1,5-


2 m.
Akar: Tanpa pneumatofora.
Daun: Daun paku,
majemuk menyirip, panjang
1,5-2 m, anak daun < 15
cm, lanset, ujung runcing;
daun muda hijau
kecoklatan, sisi bawah
ujung daun tua fertil,
sporangia coklat.

Rhizoma ditutupi sisik


panjang > 0,8 cm.

Biji: Tidak membentuk biji,


berkembang biak dengan
spora

Ciri khas: Daun merah


saat muda, ujung anak
daun runcing. Toleransi
terhadap genangan air laut
lebih baik dibanding A.
aureum.

Mirip : A. aureum
Distribusi : Asia dan Australia tropis.
Habitat : Zona pasang surut, tepi rawa mangrove di arah laut, biasanya di
bawah naungan atau tanah garapan.
Manfaat : -

102
Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Gedangan
Myrsinaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 3


m.
Akar: Tanpa penumatofora
Daun: Tunggal, alternatus,
helai obovatus s.d. eliptis,
ujung membulat s.d.
emarginatus, panjang 5-10
cm.
Bunga: Infloresensi terminal,
payung; petala 5, putih;
kelopak 5 cuping, hijau;
diameter 0,4-0,5 cm, panjang
0,5-0,6 cm; tangkal > 0,5 cm.
Jul-Sep.
Buah: Diameter 0,7 cm,
panjang 4-5 cm; hijau s.d.
kemerahan saat masak;
permukaan halus; buah
silindris, bukan hipokotil,
menggantung, sangat
melengkung. Des-Mar.
Biji: Kriptovivipar
Kulit: Coklat kemerahan,
halus.
Ciri khas: Buah
menggantung, daun lebih
besar dari A. floridum

Mirip : Sering rancu dengan Lumnitzera. A. corniculatum tanpa lekukan


di ujung daun, sedang Lumnitzera tanpa kelenjar garam.
Distribusi : India s.d. Irian dan Australia. Mangove paling umum ditemukan.
Habitat : Tempat terbuka di tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi.
Manfaat : Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan.

103
Aegiceras floridum Roemer & Schultes Manghe kashian
Myrsinaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi >


5 m.
Akar: Tanpa
pneumatofora
Daun: Tunggal,
alternatus, helai
obovatus, ujung
membulat atau
emarginatus,
panjang 3-6 cm.
Bunga: Infloresensi
terminal, racemus;
petala 5, putih; kelopak
cuping 5, hijau; panjang
0,4 cm; tangkai > 2 cm.
Buah: Diameter 0,7 cm,
panjang 2-3 cm; hijau,
kemerahan saat masak;
permukaan licin;
hipokotil silindris,
pendek, lurus, agak
melengkung
Biji: Kriptovivipar
Kulit: Coklat gelap,
kasap.
Ciri khas: Semua
bagiannya cenderung
lebih kecil dari A.
corniculatum

Mirip : A. corniculatum.
Distribusi : India s.d. Irian dan Australia.
Habitat : Pantai berpasir, tepi sungai, toleran terhadap kadar garam tinggi
Manfaat : Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan.

104
Avicennia alba Blume Api-api putih
Avicenniaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 15-20


m.
Akar: Peneumatofora bentuk
pasak, tinggi sekitar 20 cm.
Daun: Tunggal, oppositus, sisi
atas hijau mengkilat, ba-wah
putih berlilin (Latin alba, putih),
bentuk bulat telur, elliptis atau
lanset, ujung runcing, panjang
10-18 cm. Daun dengan
kelenjar garam, sisi bawah
abu-abu perak atau putih.
Bunga: Infloresensi terminal
atau aksiler di ujung tunas;
petala 4 kuning; kelopak
cuping 5; stamen 4; diameter
0,4-0,5 cm.
Buah: Lebar 1,5-2 cm,
panjang 2,5-4 cm; perikarp
hijaukekuningan, pipih, elip
memanjang, seperti cabai.
Biji: Krioptovivipar
Kulit: Abu-abu-hitam, agak
kasap.
Ciri khas: Daun pipih
memanjang, buan seperti
cabai, spesies pionir.
Mirip : A. marina, A. officinalis, A. rumphiana, A. lanata
Distribusi : India Barat s.d. Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Habitat : Biasa dijumpai pada tanah lumpur yang baru terbentuk di tepi
laut, sepenjang atau dekat sungai, toleran terhadap salinitas
tinggi.
Manfaat : Kayu untuk mengasapi ikan atau membuat karet.

105
Avicennia lanata Ridley Api-api (?)
Avicenniaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 8 m.


Akar: Pneumatofora akar
pasak.
Daun: Tunggal, oppositus, helai
eliptis, ujung membulat atau
acutus, panjang 5-9 cm. Daun
dengan kelenjar garam, sisi
bawah putih skekuningan,
berbulu.
Bunga: Infloresensi terminal
atau aksiler di ujung tunas,
bunga 8-14, spike rapat,
panjang 1-2 cm; petala 4,
kuning; kelopak bercuping 5;
stamen 4; diameter 0,4-0,5 cm.
Jul- Peb.
Buah: Lebar 1,5-2 cm, panjang
1,5-2,5 cm, perikarp hijau
kekuningan, berbulu, ujung
buah membulat atau agak
melengkung.

Biji: Kriptovivipar
Kulit: Gelap, coklat s.d. hitam,
kasap.
Ciri khas: Sisi bawah daun
berbulu, kekuningan, spesies
pioner.

Mirip : A. alba, A. marina, A. officinalis, A. rumphiana


Distribusi : -
Habitat : Dataran lumpur, tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi.
Manfaat : -

106
Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Api-api jambu
Avicenniaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 12 m.


Akar: Penumatofora akar pasak
Daun: Tunggal, oppositus, helai
eliptis, ujung membulat atau
acutus, panjang 5-11 cm. Daun
dengan kelenjar garam, sisi
bawah putih s.d. abu-abu cerah.
Bunga: Infloresensi terminal
atau aksiler di ujung tunas,
bunga 8-14, spike rapat; petala
4, kuning; kelopak cuping 5;
stamen 4; diameter 0,4-0,5 cm.
Jul-Peb.
Buah: Lebar 1,5-2 cm, panjang
1,5-2,5 cm, perikarp hijau
kekuningan, berbulu halus,
ujung buah membulat. Nop-Mar.
Biji: Kriptovivipar.
Kulit: Halus, abu-abu dengan
bercak-bercak hijau, kadang
mengeripik.
Ciri khas: Buah seperti kacang,
spesies pioner.

Mirip : A. alba, A. lanata, A. officinalis, A. rumphiana


Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Cina, Jepang, Australia dan
Kepulauan Pasidik Barat.
Habitat : Dataran lumpur, tepi sungai, laguna laut, toleran terhadap
salinitas tinggi.
Manfaat : Kayu, kayu bakar.

107
Avicennia officinalis L. Api-api ludat
Avicenniaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 12-20 m.


Akar: Penumatofora akar
pasak, kadang akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus, helai
obovatus s.d. eliptis, ujung
membulat, memiliki kelenjar
garam.
Bunga: Infloresensi terminal
atau aksiler di ujung tunas,
bunga 7-10, spike rapat; petala
4, kuning; kelopak cuping 5;
stamen 4; diameter 1-1,5 cm.

Buah: Lebar 2-2,5 cm, panjang


2,5-3 cm, perikarp hijau
kekuningan, bagian dalam hijau
tua, berbulu rapa, agak berkutil,
buah berbentuk jantung, lebih
besar dari A. marina.
Biji: Kriptovivipar.
Kulit: Halus, abu-abu dengan
bercak-bercak hijau.
Ciri khas: Buah seperti kacang,
spesies pioner.

Mirip : A. alba, A. lanata, A. marina, A. rumphiana


Distribusi : India Barat s.d. Filipina dan Irian.
Habitat : Dataran lumpur, tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi.
Manfaat : Kayu bakar, buah dapat dimakan.

108
Bruguiera cylindrica Blume Tancang putih
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 20 m.


Akar: Pneumatofora akar
lulut, dan pasak
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, cerah, tebal,
ujung acuminatus, panjang 8-
10 cm, stipula hijau muda
atau kekuningan,.
Bunga: Infloresensi aksiler,
kecil, berbunga 3, cymus,
panjang tangkai 1 cm. Petala
putih. Kelopak cuping 8, hijau
kekuningan. Panjang 0,8-1,2
cm. Bunga tegak saat mekar.
Januari-Maret.
Buah: Diameter 0,5-1,0 cm,
panjang 10-15 cm. Hijau
hingga hijau keunguan.
Permukaan halus. Hipokotil
agak melengkung, kaliks
cuping 8, membalik. Dapat
mengapung, terbawa arus.
April-Juni.
Biji: Vivipar
Kulit: Abu-abu, agak halus

Ciri khas : Bunga kecil, cuping kelopak jelas, membaluk, panjang > 0,3 cm.
Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Australia.
Habitat : Tanah lempung di belakang Avicennia; menempati tanah baru.
Manfaat : Kayu bakar, kayu bangunan; radikula muda dapat dimakan,
tanin kulit kayu berbau khas untuk menangkap ikan.

109
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Tancang merah
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 20 m.


Akar: Akar lulut dan pasak
dengan akar sangga kecil
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, seperti kulit, ujung
acuminatus, panjang 8-20 cm,
sisi bawah kekuningan,
mengumpul di ujung cabang,
stipula kemerahan.
Bunga: Infloresensi aksiler,
bunga besar, tunggal, panjang
3-5 cm. Petala putih s.d.
coklat, ujung acutus, ditempeli
3 filamen. Kelopak cuping 10-
14, merah menyala. Jan-Mar.
Buah: Diameter 0,7-2,0 cm,
panjang 20-30 cm. Hijau tua
s.d. ungu, bintik-bintik coklat.
Permukaan halus. Hipokotil
lurus, > 20 cm, kelopak lepas,
dapat mengapung. Apr-Jul.
Biji: Vivipar
Kulit: Abu-abu gelap, kasap,
penuh lentisel.
Ciri khas: Kelopak besar,
merah, daun halus, tebal, sisi
bawah tanpa bintik-bintik
hitam, ujung tanpa duri.
Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Jepang, Mikronesia, Polinesia.
Habitat : Terletak di bagian tengah s.d. dalam hutan mangrove; bersama
dengan R. apiculata dan B. parviflora di area cukup air tawar.
Manfaat : Kayu, kayu bakar, arang, huma, dan rakit. Daun dan pelet
hipokotil dapat dimakan.

110
Bruguiera parviflora Wight & Arnold ex Griffith.
Rhizophoraceae Lenggadai Mayo

Bentuk: Pohon, tinggi ∼ 25


m, ramping.
Akar: Akar lulut dan akar
pasak kecil.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, ujung
acuminatus, panjang 4-9
cm, mengumpul di ujung
cabang, stipula hijau muda.
Bunga: Infloresensi aksiler,
bunga kecil 2-5, cymus,
panjang 0,6-1,0 cm, tangkai
2 cm. Petala putih. Kelopak
cuping 8, hijau kekuningan.
Bunga tegak saat anthesis.
Buah: Diameter 0,5-1,0 cm,
panjang 15-20 cm. Hijau
kekuningan. Permukaan
halus. Hipokotil lurus,
kelopak tajam menempel,
dapat mengapung. Apr-Jul.
Biji: Vivipar
Kulit: Abu-abu dan coklat
tua, kasap.
Ciri khas: Bunga kecil,
cuping kelopak runcing.
Mirip: B. gymnorrhiza, B.
parviflora, B. sexangula
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia.
Habitat : Tepi sungai, tepi dalam hutan mangrove, area dengan elevasi
rendah, Tumbuh bersama R. apiculata dan B. gymnorrhiza.
Manfaat : Kayu untuk pertambangan. Kulit kayu mengandung tanin untuk
meracun ikan. Seeling dapat dimakan.

111
Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. Tancang sukun
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk : Pohon, tinggi > 15 m.


Akar : Pneumatofora akar lulut dan akar pasak kecil.
Daun : Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung acuminatus, panjang 6-9
cm, mengumpul di ujung cabang.
Bunga : Infloresensi aksiler, bunga besar, tunggal, panjang 3-4 cm. Petala
putih s.d. coklat. Kelopak cuping 10-14, hijau kekuningan. Ujung
petala tanpa ditempeli filamen.
Buah : Diameter 1,5-2 cm, panjang 6-12 cm. Hijau s.d ungu, berbintik
coklat. Permukaan halus. Hipokotil pendek, kelopak menempel,
dapat mengapung. Apr-Jul.
Biji : Vivipar.
Kulit : Abu-abu tua, kasap.
Ciri khas : Daun tebal halus, ujung tanpa duri. Kelopak besar, hijau kekuningan.
Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia.
Habitat : Muara sungai dengan salinitas rendah atau air tawar.
Manfaat : Kayu, kayu bakar. Kulit kayu untuk racun ikan. Seeling dimakan.

112
Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Tingi
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m.


Akar: Akar pasak, dengan
akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai obovatus, ujung
membulat, panjang 3-6 cm,
mengumpul di ujung cabang.
Bunga: Infloresensi aksiler,
bunga 5-10, cymus, panjang
3-4 cm. Petala 5 putih s.d.
coklat, diameter 0,4-0,5 cm.
Kelopak cuping 5, hijau.
Tangkai bunga pendek, kuat.
Buah: Diameter 0,8-1,2 cm,
panjang > 15 cm. Permukaan
cenderung halus, ke ujung
kasap bergerigi. Hipokotil hijau
s.d. coklat, kotiledon merah
tua saat masak. Hipokotil
lurus, ujung tumpul, kelopak
menempel, dapat mengapung.
Biji: Vivipar
Kulit: abu-abu-kuning muda,
dengan bintik-bintik coklat tua.
Ciri khas: Petala tidak
menutupi stamen, tangkai
pendek. Buah lurus lebih
pendek dari C. Tangal.
Kotiledon merah saat masak.
Mirip: C. tangal
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia.
Habitat : Muara sungai dengan salinitas rendah atau air tawar.
Manfaat : -

113
Ceriops tangal (Perr.) C.B. Robinson Tengar
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Semak, tinggi > 6 m.


Akar: Akar pasak dan akar
sangga. Kadang akar lutut.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai obovatus, ujung
membulat, panjang 4-10 cm.
Bunga: Infloresensi aksiler,
bunga 5-10, cymus menggan-
tung. Petala 5, putih dan co-
klat, diameter 0,4-0,5 cm. Ke-
lopak cuping 5, hijau. Tangkai
panjang, ramping. Nov-Mar.
Buah: Diameter 0,8-1,2 cm,
panjang > 25 cm. Permukaan
kasap, bergerigi dan beralur.
Hipokotil hijau- coklat, meng-
gantung, ujung lancip. Kelopak
melebar atau membalik.
Kotiledon kuning saat masak.
Mengapung. Des-Mei.
Biji: Vivipar
Kulit: Abu-abu (kadang
coklat), halus, pangkal kasap.
Ciri khas: Petala menutupi
stamen, tangkai panjang, buah
menggantung. Kotiledon
kuning saat masak.
Mirip: C. decandra
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Australia.
Habitat : Dalam hutan mangrove, tanah kering, salinitas tinggi. Dapat
tumbuh 5 m di atas area yang digenangi air tawar.
Manfaat : Kayu bangunan, kayu bakar sangat baik, kuli kayu menghasilkan
tanin berharga. Buah kadang dimakan.

114
Excoecaria agallocha L. Buta-buta
Euphorbiaceae Minor

Bentuk: Pohon, tinggi 15-20


m.
Akar: Tanpa
pneumatophora.
Daun: Tunggal, alternatus,
helai eliptis, ujung acutus,
panjang 6-9 cm.
Bunga: Infloresensi aksiler,
uniseksual, bunga jantan
bulir, panjang 7 cm, bung
betina racemus, lebih
pendek; petala hijau dan
putih; kelopak hijau
kekuningan; stamen 3,
kuning; diameter bunga 0,2-
0,3 cm. Nop-Peb.
Buah: Diameter 0,7 cm,
bercuping 3, hijau,
permukaan seperti kulit;
buah merupakan 3 bola
yang menyatu. Jan-Mar.
Biji: Normal
Kulit: Abu-abu.
Ciri khas: Getah lateks
putih melimpah, beracun,
iritan terhadap mata dan
kulit.

Mirip : India Selatan s.d. Jepang Selatan, Asia Tenggara, dan


Kepulauan Pasifik
Distribusi : -
Habitat : Tumbuh di tepi hutan mangrove, ke arah daratan, pada tanah
pasir atau lumpur.
Manfaat : Kayu bakar, arang, furniture. Lateks untuk racun ikan.

115
Heritiera littoralis Dryand in Aiton Dungun
Sterculiaceae Minor

Bentuk: Pohon, tinggi 20-30


m.
Akar: Akar papan
berkembang dengan baik.
Daun: Tunggal, alternatus,
helai eliptis s.d. obovatus,
ujung acutus, panjang 10-15
cm.
Bunga: Infloresensi aksiler
atau terminal, tanpa panicula,
panjang > 10 cm; petala ungu
dan coklat; kelopah cuping 4-
5, kemerahan; bunga
uniseksual, berbulu rapat,
bunga jantan lebih kecil.
Buah: Panjang 5-7 cm, hijau
s.d. coklat, permukaan halus,
pipih, tepi berpunggung.
Mengapung.

Biji: Normal.
Kulit: Abu-abuan, beralur
dan pecah-pecah.
Ciri khas: Akar papan
sangat pipih.

Mirip : -
Distribusi : India s.d. Pasifik Barat.
Habitat : Tepi hutan mangrove, ke arah darat, sepanjang tepi sungai,
salinitas rendah.
Manfaat : Kayu bangunan yang keras dan kuat, juga untuk tiang perahu,
kayu bakar, huma, tiang telepon, dan lain-lain. Ekstrak biji untuk
mengobati diare dan disentri.

116
Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Teruntum merah
Combretaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 10-18


m.
Akar: Akar papan kecil,
kadang tanpa pneumatofora.
Daun: Tunggal, alternatus,
helai obovatus, ujung
membulat atau emarginatus,
panjang 4-7 cm, hampir tanpa
tangkai.
Bunga: Infloresensi terminal,
spike, panjang 2-3 cm; petala
5, merah; kelopak cuping 5,
hijau; stamen < 10, lebih
panjang dari petala; diameter
0,5-0,7 cm, panjang 1,6-1,8
cm.
Buah: Panjang 2-2,5 cm, hijau
kekuningan, licin, buah seperti
vas bunga, bergabus.
Mengapung.

Biji: Normal
Kulit: Abu-abu s.d. coklat tua,
beralur-alur, merekah menurut
aksis batang.
Ciri khas: Petala merah (pada
L. racemosa putih)
Mirip : L. racemosa
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia, Australia dan Polinesia
Habitat : Tepi muara sungai berair tawar, ke arah darat.
Manfaat : Kayu bakar, kayu untuk bangunan jembatan dan lantai. Daun
untuk mengobati sariawan. Berpotensi untuk tanaman hias.

117
Lumnitzera racemosa Willd. Teruntum putih
Combretaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 5 m.


Akar: Tanpa pneumatofora.
Daun: Tunggal, alternatus,
helai obovatus, membulat s.d.
emarginatus, panjang 3-7 cm,
pemukaan atas dan bawah
daun hampir sama.
Bunga: Infloresensi terminal
atau aksiler, spike, panjang 1-
2 cm; petala 5, putih; kelopak
cuping 5, hijau; stamen < 10,
sama panjang dengan petala;
diameter 0,4-0,5 cm, panjang
1-1,5 cm.
Buah: Diameter 0,4-0,5 cm,
panjang 1-1,5 cm, hijau
kekuningan, permukaan licin,
buah seperti pot bunga,
bergabus, mengapung.

Biji: Normal
Kulit: Abu-abu
Ciri khas: Petala putih (pada
L. littorea merah).

Mirip : Seperti L. littorea tetapi lebih kecil.


Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Australia, Polinesia.
Habitat : Batas tepi hutan mangrove ke arah darat, tanah lumpur, salinitas
rendah.
Manfaat : Kulit kayu untuk tanin. Berpotensi sebagai tanaman hias.

118
Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb. Nipah
Palemae Mayor

Bentuk: Pohon palem, tinggi


> 4-9 m.
Akar: Tanpa pneumatofora.
Daun: Majemuk menyirip,
alternatus, khas palem, anak
helai daun lanset, acutus,
panjang tangkai daun 4-9 m.
Bunga: Betina 25 cm, kepala
globose, bunga jantan
seperti sakat, merah bata
hingga kuning. Nop.
Buah: Panjang kepala buah
lebih dari 25 cm, coklat tua
atau merah bata, globose,
mirip buah pandan. Des-Mar.
Biji: Kriptovivipar
Kulit: Batang di bawah tanah
Ciri khas: Satu-satunya
monokotil/palem mangrove
mayor, tumbuh berdekatan,
sering membentuk tegakan
murni di sepanjang tepi
sungai.

Mirip : Tidak ada.


Distribusi : India s.d. Australia.
Habitat : Air tawar sepanjang tepi sungai, sering membentuk komunitas
besar.
Manfaat : Daun tua untuk atap, daun muda untuk kertas rokok. Nira dapat
dibuat gula, tuak atau cuka. Buah muda enak dimakan.

119
Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Baru-baru
Myrtaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi


> 5 m.
Akar: Tanpa
pneumatofora.
Daun: Tunggal, oppo-
situs, helai obovatus,
ujung membulat,
panjang 2-6 cm.
Bunga: Infloresensi
aksiler, cymus, bunga
1-3; petala absen;
Kelopak hijau
kekuningan, berbulu
rapat, pangkal
meruncing; stamen
banyak (> 48), putih s.d.
kuning; diameter 0,5
cm, panjang 0,7 cm.
Des-Peb.
Buah: Diameter 0,5 cm,
panjang 0,7 cm, hijau
kekuningan, permukaan
berbulu rapat, setiap
buah biasanya berbiji 1.
Peb-Mar.
Biji: Normal.
Kulit : Abu-abu s.d. coklat, berserat, seperti senar.
Ciri khas : Satu-satunya mangrove yang berbau minyak atsiri. Bentuk daun
seperti Lumnitzera spp., tetapi lebih tebal dan oppositus.
Mirip : Lumnitzera spp.
Distribusi : -
Habitat : Area bersalinitas relatif tinggi, air tawar terbatas.
Manfaat :

120
Pempis acidula Forst. Sentigi laut
Lythraceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi


> 3 m.
Akar: Tanpa
pneumatofora.
Daun: Tunggal,
oppositus, helai eliptis
s.d. obovatus, ujung
membulat s.d.
menumpul, panjang 1-3
cm.
Bunga: Infloresensi
aksiler, cymus,
berbunga 1- beberapa;
petala 6, putih; kelopak
cuping 12, hijau;
stamen 12-18; diameter
0,7-1 cm.
Buah: Diameter 0,3-0,5
cm, panjang 07,1 cm,
hijau, permukaan
berbului rapat, buah
seperti gelas minum
yang tinggi dengan
tutupnya, setiap huah
mengandung 20-30 biji-
biji kecil.
Biji: Normal.
Kulit : Abu-abu muda s.d. coklat.
Ciri khas : Daun berdaging, tebal hingga 0,3 cm.
Mirip : -
Distribusi : -
Habitat : Kadang-kadang di pasir pantai
Manfaat : -

121
Rhizophora apiculata Bl. Bakau putih; Bakau minyak
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 15-25 m.


Akar: Akar sangga, jalin menjalin
dengan sesama atau tumbuhan
lain menbentuk pijakan (graft).
Daun: Tunggal, oppositus, helai
agak eliptis, tebal, ujung apicula-
tus, berduri, panjang 9-18 cm.
Bunga: Infloresensi aksiler,
cymus, bunga 2, 2-3 cm; tangkai
kuat > 1,4 cm; petala 4, putih;
kelopak cuping 4, kuning
kehijauan, sisi luar hijau
kemerahan; stamen 12, coklat.
Buah: Diameter 1,3-1,7 cm,
panjang 20-25 cm; permukaan
halus, agak berkutil; hipokotil hijau
s.d. coklat, kotiledon merah saat
masak, hipokotil menempel di
bawah kotiledon, Mengapung.
Des-Mar.
Biji: Vivipar
Kulit: abu-abu s.d. abu-abu tua,
kasap, tessellatus, seperti mosaik.
Ciri khas: Daun lebih kecil dari
Rhizophora lain.

Mirip : R. mucronata, R. lamarckii, R. stylosa. Sisi bawah daun R.


stylosa memiliki bintik-bintik coklat. Rhizophora mucronata
memiliki daun dan propagul lebih besar (panjang > 60 cm).
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Mikronesia
Habitat : Melimpah di muara suangi berlumpur halus.
Manfaat : Kayu bangunan.

122
Rhizophora x lamarckii Montr. Bakau (hibrida)
Rhizophoraceae Mayor

Merupakan hibrida R. stylosa


dan R. apiculata.

Bentuk: Pohon, tinggi > 8 m.


Akar: Akar sangga
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, ujung apiculatus
dengan duri, panjang 9-18 cm,
Bunga: Infloresensi aksiler,
cymus berbunga 4, panjang 2-
3 cm, dikotom, tangkai > 1,8
cm; petala 4; kelopak cuping
4, kuning kehijauan, sisi luar
hijau kemerahan; kaling tidak
membuka.
Buah: Biasanya steril dan
tidak menghasilkan biji.

Biji: Tidak menghasilkan biji


Kulit: Abu-abu s.d. abu-abu
tua, tessellatus, seperti mosaik
halus, mudah dipatahkan.
Ciri khas: Hampir sama
dengan R. apiculata, tetapi
tangkai berbunga 4, akar
sangga panjang. Merupakan
hibrida, steril.

Mirip : R. apiculatus, R. mucronata, R. stylosa


Distribusi : -
Habitat : Tepi sungai berlumpur lembut.
Manfaat : -

123
Rhizophora mucronata Lamk. Bakau bandul
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 25 m.


Akar: Akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, ujung aristatus,
mirip gigi, panjang 15-20 cm.
Bunga: Infloresensi aksiler,
cymus berbunga4-8, dikotom,
pendulous; petala putih 4, ber-
bulu; kelopak cuping 4, kuning
krem s.d. hijau kekuningan;
stamen 8; diameter 3-4 cm,
panjang 1,-2 cm; stylus
pendek, stigma hampir sessil.
Ags-Des.
Buah: Diameter 2-2,3 cm,
panjang 50-70 cm, hijau s.d.
hijau kekuningan, kotiledon
kuning saat masak;
permukaan berkutil; hipokotil
menempel di bawah kotiledon,
terapung. Okt-Des.
Biji: Vivipar
Kulit: sangat kasp, abu-abu
s.d. hitam, tessellatus.
Ciri khas: Daun lebih besar
dari R. stylosa, melebar di
tengah, tangkai pendek.

Mirip : R. apiculatus, R. lamarckii, R. stylosa


Distribusi : Afrika Timur s.d. Australia, Melanesia, Mikronesia
Habitat : Melimpah di muara sungai berlumpur, beradaptasi terhadap
fluktuasi genangan. Serupa R. apiculata tetapi lebih toleran
terhadap pasir dan tanah keras.
Manfaat : Kayu bakar, arang, tanin kulit kayu untuk pewarna dan obat.

124
Rhizophora stylosa Griff. Bakau
Rhizophoraceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 6-8 m.


Dapat mencapai 20 m.
Mangrove paling terkenal,
asal nama hutan bakau
Akar: Akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai eliptis, ujung aristatus,
mirip gigi, panjang 10-18 cm,
sisi bawah hijau kekuningan,
bertitik-titik hitam.
Bunga: Infloresensi aksiler,
cymus berbunga 8-16,
dikotom, pendulous; petala 4,
putih; kelopak cuping 4, hijau-
kuning; stamen 8; diameter
2,5-3,5 cm; stylus panjang
ramping, 0,4-0,6 cm. Peb-Apr.
Buah: Diameter 1,5-2 cm,
panjang > 30 cm; hipokotil
hijau s.d hijau kekuningan,
kotiledon kuning kehijauan
saat masak; permukaan agak
halus, berkutil; hipokotil
melekatdi bawah kotiledon,
terapung. Jan-Des.
Biji: Vivipar
Kulit : Abu-abu s.d. hitam, akar halus, tesselatus.
Ciri khas : R. apiculata daun lebih runcing, tanpa bintik coklat.
R. mucronata daun lebih besar, panjang propagul dua kalinya.
Mirip : R. apiculatus, R. lamarckii, R. mucronata
Distribusi : Taiwan, Asia Tenggara s.d. Irian, Melanesia, Australia
Habitat : Tumbuh di tepi laut, beradaptasi terhadap elevasi air.
Manfaat : -

125
Scyphyphora hydrophyllacea Gaertn.f. Duduk rambat
Rubiaceae Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m.


Akar: Tanpa pneumatofora,
kadang ada akar sangga.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai obovatus, ujung
membulat, panjang 5-7 cm
Bunga: Infloresensi aksile,
cymus rapat, bunga 3-7;
petala 4-5, putih atau agak
merah; stamen 4-5.

Buah: Diameter 0,4-0,5 cm,


panjang > 1 cm; hijau s.d.
coklat; permukaan glaber
(kasap); beralur-alur dalam
memanjang, seperti gir kecil.
Mengapung
Biji: Normal
Kulit: Coklat, kasap.
Ciri khas: Daun licin, biji kecil
seperti ger.
Mirip : -
Distribusi : India Selatan s.d. Kaledonia Baru
Habitat : Di dalam hutan mangrove atau pasir tepi pantai yang bersalinitas
tinggi.
Manfaat : Ekstrak daun yang dipanaskan dapat mengurangi sakit perut.

126
Sonneratia alba J. Smith Prapat
Sonneratiaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 16-20 m


Akar: Pneumatofora akar
pasak.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai memanjang s.d.
obovatus, ujung membulat s.d.
emarginatus, panjang 5-10 cm.
Bunga: Infloresensi terminal,
atau anak ranting; petala putih
(ujung kadang putih); kelopak
cuping 6-8, sisi dalam merah,
luar hijau; stamen banyak,
putih; diameter 5-8 cm; bunga
mekar semalam; nektar di
tabung kelopak.
Buah: Diameter 3,5-4,5 cm,
hijau, permukaan halus;
kelopak bentuk cawan,
menutup pada pangkal,
cuping kelopak melebar atau
membalik, biji 150-200 dalam
satu buah
Biji: Normal.
Kulit: Kasap, dengan celah-
celah kecil memanjang, krem
s.d. coklat.
Ciri khas: Tangkai daun tua
kuning, cuping kelopak buah
membalik. Pada S. ovata cu-
ping kelopak menutupi buah.
Mirip : S. ovata, S. caseolaris.
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara dan Australia.
Habitat : Muara sungai berpasir, sering di tepi laut, salinita relatif tinggi
Manfaat : Kayu bakar, kayu bangunan, buah masak dapat dimakan.

127
Sonneratia caseolaris (L.) Engler Bogem
Sonneratiaceae Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 16 m.


Akar: Pneumatofora akar
pasak, > 1 m.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai oval s.d oblong, ujung
membulat, panjang 4-8 cm.
Bunga: Infloresensi terminal,
cymus, bunga 1-beberapa;
petala merah; kelopak cuping
6-8, hijau; stamen banyak, me
rah-putih, diameter 8-10 cm.
Buah: Diameter 6-8 cm, hijau
kekuningan, permukaan licin,
kelopak datar membuka hori-
zontal, tidak menutupi buah,
cuping kelopak melebar atau
membalik, buah lebih besar
dari S. alba, biji 800-1200.
Biji: Normal.
Kulit: Halus.
Ciri khas: Tangkai daun tua
merah muda-kemerahan,
stamen merah dan putih,
pneumatofota berkembang
dengan baik, > 1m, lebih
panjang dari S. alba.
Mirip : S. alba, S. ovata. Serupa S. alba tetapi petala merah (vs. putih
cabang muda menggantung ke bawah mirip angsana (vs. tegak).
Distribusi : Afrika Timur s.d. Australia, Mikronesia, Kaledonia Baru.
Habitat : Tepi muara sungai, menyukai salinitas rendah berair tawar.
Manfaat : Buah masak dapat dimakan. Jus buah setengah masak untuk
mengobati batuk. Kulit buah tua untuk vermifuge. Jus bunga
mengobati darah dalam urin. Pneumatofora untuk sumbat botol.

128
Sonneratia ovata Gedalbu
Sonneratiaceae Mayor

Seperti S. alba, tetapi lebih


kecil.
Bentuk: Pohon, tinggi 16 m.
Akar: Pneumatofora akar
pasak.
Daun: Tunggal, oppositus,
helai memanjang s.d. obova-
tus, ujung membulat, 4-8 cm.
Bunga : Infloresensi terminal; petala putih; kelopak cuping 6-8, sisi dalam
merah, luar hijau; stamen banyak, putih; diameter 5-8 cm; bunga
mekar semalam; nektar di kelopak.
Buah : Diameter 2,5-4 cm, hijau, permukaan halus; kelopak bentuk
cawan, menutup pada pangkal, cuping kelopak menutup buah,
biji 150dalam satu buah
Biji : Normal
Kulit : Krem s.d. coklat, agak kasap, dengan celah kecil memanjang.
Mirip : S. alba, S. caseolaris
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara dan Australia.
Habitat : Muara sungai berpasir, sering di tepi laut, salinita relatif tinggi
Manfaat : Kayu bakar, buah masak dapat dimakan.

Perbandingan buah spesies Sonneratia

Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Sonneratia ovata


Kelopak melengkung ke Kelopak peralihan S. Kelopak mencengkeram
belakang menuju tangkai. alba dan S. ovata. (metutup) buah
Pangkal stylus “dekok”. Stylus tegak panjang. menjauhi tangkai.

129
Xylocarpus granatum Koen. Nyuruh, Nyirih bunga
Meliaceae Minor

Bentuk: Pohon, tinggi > 8-25 m


Akar: Akar papan.
Daun: Majemuk, alternatus,
anak daun biasanya 2 pasang,
helai eliptis s.d. obovatus, ujung
membulat, panjang 7-12 cm.
Bunga: Infloresensi umumnya
aksiler, panicula, panjang > 6
cm, bunga 8-20; petala krem
s.d. putih kehijauan; kelopak
cuping 4, hijau kekuningan;
stamen berfusi membentuk
tabung, putih krem; diameter
1-1,2 cm; bunga uniseksual.
Buah: Diameter 15-20 cm,
coklat kekuningan, permukaan
seperti kulit, buah bulat seperti
melon, 1-2 kg, 6-12 biji,
mengapung, bila kering pecah
seperti “puzzle”.
Biji: Normal.
Kulit: Merah kecoklatan, agak
halus, pucat, bertotol-totol
kehijauan atau kekuningan
tidak teratur.
Ciri khas : Akar papan berkembang baik, memunculkan akar seperti ular,
buah bulat, besar, keras, seperti melon, coklat kekuningan.
Dibedakan dari X. moluccensis karena ujung daun membulat
(vs. runcing) dan seukuran melon atau jeruk besar (vs. jeruk).
Mirip : X. moluccensis, X. rumphii.
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Tonga.
Habitat : Tepi sungai, bagian yang bersalinitas rendah.
Manfaat : Kayu bakar, kayu perahu, furniture. Kulit kayu untuk tanin,
menghitami baju. Akar mengobati kolera dan disentri.

130
Xylocarpus moluccensis (Lam.) Roem. Nyirih batu
Meliaceae Minor

Bentuk: Pohon, tinggi > 6-10


m.
Akar: Akar papan pendek,
pneumatofora akar pasak.
Daun: Majemuk, alternatus,
anak daun biasanya 2-3
pasang, helai eliptis s.d.
obovatus, ujung acutus,
panjang 5-9 cm.
Bunga: Infloresensi umumnya
aksiler, panicula, panjang > 8
cm, bunga 10-35; petala 4,
krem s.d. putih kehijauan;
kelopak cuping 4, hijau
kekuningan; stamen berfusi
membentuk tabung, putih
krem; diameter 0,8-1 cm;
bunga uniseksual.
Buah: Diameter 10 cm, hijau,
permukaan seperti kulit, buah
seukuran jeruk, 4-10 biji,
mengapung.
Biji: Normal.
Kulit: Merah tua hampir hitam,
beralur-alur memanjang.
Ciri khas: Akar papan kadang
sangat pendek atau tidak ada,
buah hijau, lebih kecil dari X.
granatum.
Mirip : X. granatum, X. rumphii.
Distribusi : India s.d. Asia Tenggara dan Australia.
Habitat : Tepi sungai, bagian yang bersalinitas rendah.
Manfaat : Sama dengan X. granatum.

131
Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb. Nyirih (?)
Meliaceae Minor

Bentuk: Pohon, tinggi > 6 m.


Akar: Tanpa pneumatofora.
Daun: Majemuk, alternatus,
anak daun biasanya 3-4
pasang, helai ovatus s.d.
cordatus, ujung acutus s.d.
acuminatus, panjang 7-12 cm.
Bunga: Infloresensi umumnya
aksiler, panicula, panjang > 12
cm; petala 4, krem s.d. putih
kehijauan; kelopak cuping 4,
hijau kekuningan; stamen
berfusi membentuk tabung,
putih krem; diameter 0,8-1 cm;
bunga uniseksual.
Buah: Diameter > 8 cm, hijau,
permukaan licin, buah
seukuran jeruk, 4-10 biji,
mengapung.
Biji: Normal.
Kulit: Coklat, kasap, beralur-
alur tajam.
Ciri khas: Sering dijumpai di
pantai berpasir, anak daun 3-4
pasang, ovatus s.d. cordatus
lebar, tajam, buah hijau, lebih
kecil dari X. granatum.

Mirip : X. granatum, X. moluccensis..


Distribusi : -
Habitat : Mangrove pantai tumbuh di pasir pantai.
Manfaat : -

132
Lampiran 3. Borang A.
(PERIKSA BUKU KERJA)

133
Lampiran 4. Borang B.
(PERIKSA BUKU KERJA)

134
Lampiran 5. Borang C.
(PERIKSA BUKU KERJA)

135
Lampiran 6. Borang D.
(PERIKSA BUKU KERJA)

136
Daftar Pustaka

AIMS. 2000. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of
Marine Science. www.aims.gov.au
Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 1 (strategy
and action plan). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry,
Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove
Foundation.
Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 2
(mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment,
Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and
The Mangrove Foundation.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen:
P.Noordhoff.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt
Marshes 2: 133-148.
Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo
Park: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc.
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian
subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems.
Amsterdam: Elsevier.
Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-New Guinea. In
Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam:
Elsevier.
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs (including an introduction to
fresh water aquatic vegetation). PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27.
Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia.
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Co.
Banks J.C.G. 2001. Trees and Forests. Melbourne: School of Resource Management and
Environmental Science, Department of Forestry, The Australian National University.

137
Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of guideline for scoping EIA in
Indonesia wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta:
Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau
Indonesia
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999. Sustainable Management
Models for Mangrove Forests. Jakarta: Ministry of Forest and Estate Crops.
Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia;
Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project,
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency.
Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in
South East Asia, with Special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The
Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore
Science Centre.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper
Collins College Publishers.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Co..
Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F.
and K. Soewardi (eds.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara
Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program,
Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-
Kollf.
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-137
Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of
Sustainable Mangrove Management Project.
Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.
Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water. New York: Academic
Press Inc.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and Bali. Singapore:
Periplus.
Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan hutan payau Cilacap.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional
LIPI.

138
Istilah mangrove digunakan
secara luas untuk menamai
tumbuhan yang dapat
beradaptasi dengan baik
pada ekosistem hutan tropis
dan subtropis pasang-surut,
meliputi pantai dangkal,
muara sungai, delta, rawa
belakang dan laguna. Kata
mangrove merupakan
perpaduan bahasa Melayu
manggi-manggi dan bahasa
Arab el-gurm menjadi
mang-gurm, keduanya
sama-sama berarti
Avicennia (api-api),
pelatinan nama Ibnu Sina,
seorang dokter Arab yang
banyak mengidentifikasi
manfaat obat tumbuhan
mangrove. Kata mangrove
dapat ditujukan untuk
menyebut spesies,
tumbuhan, hutan atau
komunitas.

© 2002 Jurusan Biologi


Fakultas Matematikan dan ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Surakarta

You might also like