Professional Documents
Culture Documents
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali untuk tujuan
pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.
Penerbit:
Kelompok Kerja Biodiversitas
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Bagian 2. Biodiversitas 57
1. Pengantar
2. Genetik – Isozim/Protein
3. Spesies – Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem – Analisis Vegetasi
Bagian 3. Praktikum 73
1. Area Kajian dan Populasi Sampel
2. Genetik – Isozim/Protein
3. Spesies – Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem – Analisis Vegetasi
5. Faktor Kimia Fisika Lingkungan
Bagian 4. Lampiran 95
1. Indeks Mangrove di Jawa
2. Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa
3. Borang A. Praktikum Genetik
4. Borang B. Praktikum Spesies
5. Borang C. Praktikum Ekosistem
6. Borang D. Praktikum Kimia Fisika Lingkungan
1
2
1
MANGROVE
Definisi Mangrove
3
2
MANGROVE
Asal dan Distribusi
Para peneliti berteori bahwa spesies mangrove berasal dari kawasan Indo-
Malaysia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kawasan nusantara
merupakan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove dapat
terdispersal ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya memiliki kekhasan
dapat mengapung dan terbawa arus laut ke area yang luas dan jauh dari
asalnya. Dari kawasan Indo-Malaysia, spesies mangrove tersebar ke arah
barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga Amerika dan
Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia
melewati selat yang kini menjadi negara Panama.
Pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66 s.d. 23 juta
tahun yang lalu, tanah genting tersebut masih berupa laut terbuka. Selanjut-
nya propagul mangrove terbawa arus laut hingga pantai barat Afrika.
Penyebaran ke arah timur diikuti penyebaran ke arah utara hingga Jepang dan
ke arah selatan hingga Selandia Baru. Hal ini menjelaskan mengapa
mangrove di Afrika Barat dan Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama
dan keragamannya lebih rendah, karena harus melewati samudera Pasifik
yang luas, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih
banyak spesies, mengingat jaraknya yang lebih dekat dengan kepulauan
nusantara (Indo-Malaysia).
4
DISTRIBUSI MANGROVE
5
memiliki spesies yang berbeda di kedua kawasan tersebut, mengindikasikan
adanya spesiasi yang mandiri. Hal ini menunjukkan kawasan Indo-Malaysia,
khususnya Indonesia merupakan pusat asal usul, keanekaragaman, dan
distribusi mangrove.
6
3
MANGROVE
Klasifikasi Taksonomi & Ekologi
KLASIFIKASI MANGROVE
7
Ciri-ciri tumbuhan mangrove:
• Tumbuhan berpembuluh (vaskuler).
• Dapat menggunakan air garam sebagai sumber air; daun keras, tebal,
mengkilat, sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam
• Dapat mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan
dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam.
• Dapat menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk
(vivipar) dan dapat tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta
dapat mengapung.
• Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob.
• Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen
pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang.
8
KLASIFIKASI VEGETASI MANGROVE
9
4
MANGROVE
Ekosistem
HABITAT MANGROVE
Habitat mangrove. Hutan mangrove hidup di dua dunia, antara darat dan
laut. Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan sub tropis
dengan suhu tinggi, terdapat endapan lumpur (alluvial) berbutir halus, gelom-
bang laut lemah, air garam dan tawar, serta jangkauan pasang surut yang
lebar. Mangrove menempati kawasan luas sepanjang pantai, bantaran sungai,
muara, delta, dan teluk yang terlindung, serta pulau-pulau yang "overwash".
Mangrove juga dapat ditemukan pada laguna tepi pantai, yang terhubung
langsung dengan laut namun pengaruh aliran pasang lemah dan salinitas
rendah. Ekosistem ini dipengaruhi perbedaan salinitas yang lebar dari aliran
pasang dan hujan. Istilah mangrove dapat digunakan untuk hutan intertidal
yang toleran terhadap salinitas terdiri dari pohon, semak, dan palem, serta
paku terestrial, epifit, dan rumput yang berasosiasi dalam tegakan tersebut.
10
Gambar: Tipe ekosistem mangrove
11
dan udang yang biasa ditemukan di lepas pantai menggunakan habitat
mangrove selama sebagin siklus hidupnya. Mangrove merupakan tempat
penting untuk berkembangbiak dan membesarkan anak berbagai spesies
komersial. Beberapa spesies kecil yang tidak memiliki nilai ekonomi juga
menggunakan mangrove, spesies ini akan menjadi sumber makanan spesies
yang lebih besar. Sebaliknya spesies lain seperti kepiting lumpur (Thalassina
anomala), menghabiskan sebagian besar hidupnya di mangrove dan bergerak
ke laut bebas untuk bertelur. Habitat pantai dihubungkan oleh aliran air.
Pasang dan arus membawa nutrien dari mangrove ke rumput laut dan karang,
dan sebaliknya. Saling pengaruh ini tergantung dekat-jauhnya habitat satu
terhadap habitat lainnya
12
mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau atau teluk yang terlindung,
lainnya tumbuh jauh ke pedalaman hulu sungai pada muara yang masih
dipengaruhi pasang surut.
Tumbuhan di zona pasang-surut dipengaruhi fluktuasi salinitas yang
sangat tinggi. Mereka terendam air laut pada saat pasang, sebaliknya pada
saat surut atau musim hujan mereka dapat terendam air tawar. Pasang surut
dan aliran sungai dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan
oksigen ke sistem perakaran. Tanah di daerah pasang-surut biasanya lembek,
berlumpur dan sering anaerob. Spesies yang kurang toleran terhadap garam
sering ditemukan di bagian atas zona pasang surut atau di tempat-tempat
yang memiliki masukan air tawar. Spesies yang toleran dapat tumbuh pada
zona pasang surut dimana tingkat evaporasi tinggi sehingga tanah lebih asin
dari pada air laut (hipersalin). Tumbuhan mangrove memiliki keunikan dalam
kemampuannya tumbuh di lingkungan yang dinamis ini.
13
Lingkungan laut (marine
environment) terbentuk pada
pantai tanpa sungai, sebagian
besar air berasal dari laut,
dimana masukan air tawar
sedikit, yakni hanya dari aliran
permukaan akibat hujan.
Struktur hutan mangrove
terbentuk di tepi pantai dan
semakin ke dalam terdapat
hutan tropis, yang menghindari
tanah asin dimana mereka
tidak dapat tumbuh.
Lingkungan laut dan darat
seringkali berasosiasi terutama
pada anak-anak sungai di
mulut muara. Pada ilustrasi di
samping, tanah yang lebih salin
diwarnai lebih gelap.
ALIRAN ENERGI
14
mangrove sangat penting bagi keberlanjutan hidup semua organisme.
Terurainya daun, batang, dan akar mangrove yang mati menghasilkan karbon
dan nutrien yang digunakan oleh organisme lain dalam ekosistem tersebut.
Tidak ada yang menjadi sampah dalam ekosistem mangrove. Tumbuhan
mangrove merupakan lumbung sejumlah besar daun yang kaya nutrien yang
akan diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting yang
hidup di lantai hutan. Material organik yang mati diuraikan menjadi partikel-
partikel kecil (detritus) oleh sejumlah besar bakteri yang kaya protein. Detritus
merupakan sumber makanan bagi beberapa spesies moluska (siput),
Crustacea (kepiting dan udang) dan ikan, yang selanjutnya menjadi makanan
bagi hewan yang lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama
periuraian daun, kayu dan akar juga dimakan plankton dan alga.
15
5
MANGROVE
Komponen Abiotik Ekosistem
TANAH
16
abu-abu gelap atau hitam (gleying), dan menghasilkan bau menyengat karena
tidak teraerasi, menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan
bakteri anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio) yang tumbuh dengan
baik pada kondisi anoksik. Variasi setempat dapat terjadi karena adanya
hewan-hewan liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan udara
dapat terbawa melalui lubang-lubang yang terbentuk dalam tanah.
Kondisi tanah merupakan salah satu penyebab terbentuknya zonasi
penyebaran hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda
menempati kondisi tanah yang berbeda pula, dan tumbuhan seperti Avicennia
dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan
Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun
Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik.
OKSIGEN
Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara
untuk menyerap oksigen, sehingga beberapa tumbuhan membentuk metode
yang luar biasa untuk menyerap oksigen. Avicennia marina menumbuhkan
sejumlah akar kecil sebesar pensil (akar pasak) dari akar utama ke atas
permukaan lumpur untuk menyerap oksigen, sedangkan Bruguiera
gymnorrhiza membentuk akar lutut, yakni akar utama yang tumbuh ke atas
lalu masuk lagi ke lumpur seperti lulut yang terkubur. Rhizophora stylosa
membentuk akar penyangga untuk menyerap oksigen sekaligus menyangga
pohon. Beberapa pohon seperti Xylocarpus granatum membentuk akar papan
yang lebar di atas permukaan tanah.
Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah
daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang
kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan
organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik di badan air. Oksigen pada
17
permukaan sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk
mengurai dan respirasi. Kandungan oksigen pada beberapa milimeter lapisan
sedimen teratas diperoleh melalui sirkulasi pasang-surut dan pengaruh
atmosfer. Di bawahnya lumpur yang mengandung bahan organik dan partikel-
partikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi bakteri
anaerob yang dapat mengurai bahan organik tanpa oksigen. Hal ini
menghasilkan H2S yang mengubah warna tanah menjadi abu-abu gelap, dan
berbau seperti telur busuk.
NUTRIEN
Kondisi di atas dataran lumpur terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat
berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut
surut di siang hari menjadi sangat panas dan memantulkan cahaya,
sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove terlindung dari
sinar matahari dan tetap sejuk. Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih
kering dari pada hutan tropis pada umumnya karena adanya angin. Suhu dan
kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies di
suatu habitat.
18
ANGIN DAN ARUS LAUT
Secara garis besar iklim di Jawa dibagi menjadi musim hujan (Oktober-
April) dan kemarau (April-Oktober), namun secara lebih detail dapat dibagi
menjagi empat musim (monsoon), yaitu: musim timur laut (Desember-Maret)
dengan angin kuat dan hujan lebat, khususnya dua bulan pertama; antar
musim (pancaroba) yang pertama (April) dengan angin tidak terlalu kuat;
musim barat daya (Mei-September) dengan angin kuat dan hujan sangat
sedikit; serta antar musim yang kedua (Oktober-Nopember) seperti antar
musim yang pertama, namun curah hujannya kadang-kadang lebih tinggi.
Arus laut terbentuk oleh musim angin, sehingga ketinggian gelombang laut
mengikuti musim ini.
ALIRAN PASANG-SURUT
Laut mengalami aliran air pasang (HW; high water, rising, flood tide)
sebanyak dua kali dalam sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low,
receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi dan gaya sentrifugal
rotasi bumi, bulan dan matahari, serta kondisi geografi setempat. Aliran
pasang surut biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang tinggi dan
dua pasang rendah yang dalam satu hari tingginya tidak sama. Waktu pasang
bergeser selama 50 menit dalam sehari, karena tergantung peredaran bulan,
yaitu 24 jam 50 menit.
Jangkauan pasang dan surut terbesar terjadi selama dua hari setelah
bulan baru (perbani). Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan purnama
terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring tide; HWST). Kondisi yang
sama pada bulan baru menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring
tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap dua minggu sekali.
Rata-rata jangkauan antara pasang dan surut pada bulan baru dapat
mencapai 3,5 m, sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m.
Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi (highest high water
spring tide; HHWST) dan surut terendah (lowest low water spring tide;
LLWST) dikenal sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove
tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL) dan pasang tertinggi
(HHWST) (periksa diagram di bawah).
Jangkauan pasang-surut tertinggi terjadi setiap dua minggu secara
bergantian(purnama dan perbani). Di antara dua periode pasang purnama,
matahari dan bulan mendekati sudut kanan masing-masing, sehingga
19
Gambar: ketinggian pasang surut dalam satu bulan
20
Gambar: Zonasi Bruguiera dan Rhizophora karena pengaruh pasang surut.
SALINITAS
Kadar garam dalam air dinyatakan sebagai parts per thousand (ppt), yakni
jumlah garam (gram) yang terlarut dalam 1000 gram air. Garam dapur (sodium
chloride; NaCl) merupakan zat padat utama dalam air laut, salinitas rata-rata
air laut adalah 35 ppt. Derajat salinitas dapat dikelompokkan menjadi
oligohalin dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas
sedang (5-18 ppt), dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-30 ppt). Air tawar
memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Istilah air payau (brackish water) merupakan air
pada derajat oligohalin hingga agak mesohalin. Salinitas kawasan mangrove
sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan air laut saat
pasang dan air tawar dari sungai, khususnya pada musim hujan.
Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman badan air di muara sungai.
Garam yang terkandung dalam air laut cenderung tenggelam karena berat
jenis (BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk
pada saat pasang naik dapat menjadi hipersalin (>30 ppt) terutama jika surut
lebih lama. Hal ini terjadi karena evaporasi yang menguapkan air
menyebabkan konsentrasi garam naik. Biarpun di dalam mangrove pengaruh
aliran permukaan air tawar sangat signifikan, terutama selama musim hujan.
Sungai-sungai kecil dalam hutan mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke
dalam semakin tawar. Di batas ekosistem mangrove pengaruh masukan air
tawar sangat nyata.
21
6
MANGROVE
Adaptasi Lingkungan
SALINITAS
22
oleh kelenjar garam di daun, sehingga daun tampak seperti ditaburi kristal
garam dan terasa asin. Beberapa tumbuhan menyimpan garam dalam kulit
kayu atau daun tua yang hampir gugur. Tingginya kadar garam pada
lingkungan mangrove akan menyebabkan tingginya konsentrasi garam dalam
jaringan, sehingga terjadi gangguan metabolisme.
Penyimpanan air juga merupakan masalah penting bagi tumbuhan
mangrove, karena tumbuh di tepi laut terbuka dimana kecepatan angin relatif
tinggi, laju transpirasi tumbuhan mangrove juga relatif tinggi. Tumbuhan
mangrove mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi kehilangan air
melalui daun. Mereka dapat mengatur pembukaan stomata dan orientasi
daun, sehingga mengurangi serapan sinar matahari dan evaporasi. Sebagian
tumbuhan mangrove memiliki daun keras, tebal, berlilin atau berbulu rapat
untuk mereduksi hilangnya air. Beberapa daun bersifat sukulen untuk
menyimpan air dalam jaringan.
Fluktuasi salinitas di hutan mangrove dipengaruhi pasang-surut dan iklim.
Selama musim hujan jumlah air yang menggenangi mangrove dan deposit
sedimen bertambah. Beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik
pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh
selama ribuan tahun pada danau air tawar di dataran tinggi, sedangkan di
Kebun Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada
lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke air tawar
tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies
lain, sehingga tumbuhan mangrove mengembangkan adaptasi untuk tumbuh
di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap
salinitas umumnya berupa kelenjar sekresi untuk membuang kelebih garam
dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam
jaringan.
23
Ultrafiltrasi. Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera,
Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki alat sekresi. Membran sel pada
permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam. Mereka
secara selektif hanya dapat menyerap ion-ion tertentu melalui proses
ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, untuk itu
kelebihan garam dibuang melalui transpirasi melalui permukaan daun
(stomata) atau disimpan di dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali
daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi. Sebagian
spesies mangrove menyimpan kelebihan garam dalam daun tua yang akan
segera gugur atau kulit kayu.
AKAR
24
Akar penyangga (sangga). Pada
Rhizophora akar panjang dan
bercabang-cabang muncul dari
pangkal batang untuk menyangga
batang. Akar ini dikenal sebagai prop
root dan pada akhirnya akan menjadi
stilt root apabila batang yang
disangganya terangkat ke atas hingga
tidak lagi menyentuh tanah. Akar
penyangga membantu tegaknya
pohon karena memiliki pangkal yang
luas untuk mendukung di lumpur yang
lembut dan tidak stabil. Juga
Gambar: Akar penyangga pada membantu aerasi ketika terekspos
Rhizophora pada saat laut surut.
Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di
bawah permukaan tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian
kembali tumbuh ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk.
Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut dengan jarak teratur
secara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan
25
karena tersebar sangat luas dapat
menjadi tempat bertahan di lumpur
yang tidak stabil. Lumnitzera
membentuk akar lutut kecil yang
bentuknya merupakan kombinasi
antar akar lutut dan akar pasak.
REPRODUKSI
26
mineral nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon
mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang
tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa
tahun kemudian.
27
disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air. Salah satu hipotesis adalah
vivipari disebabkan karena mangrove tumbuh pada kondisi yang relatif tidak
stabil, sehingga memerlukan propagul yang tahan lama dan dapat tumbuh
dengan cepat, misalnya seedling Rhizophora yang berbentuk runcing seperti
anak panah sering tumbuh langsung di bawah induknya karena tarikan
gravitasi, meskipun hal ini dapat menyebabkan kekalahan dalam berkompetisi
dengan tumbuhan induk untuk mendapatkan cahaya, hara dan lain-lain.
Melalui vivipari perkecambahan embyo dimulai sejak biji masih menempel
pada pohon induk. Ketika buah jatuh sudah berupa seedling yang dapat
membentuk akar pada tanah di bawahnya. Vivipari merupakan mekanisme
adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar jauh, dapat bertahan dan
tumbuh dalam lingkungan salin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi
makan oleh pohon induk, sehingga propagul dapat menyimpan dan
mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk
pertumbuhan mandiri. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini
akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim,
dimana biji tumbuhan lain tidak dapat berkecambah secara normal.
Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung
selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah
yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat dalam
beberapa hari. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan
mangrove dapat tersebar pada area yang luas.
28
Propagul. Tumbuhan mangrove
memiliki biji terapung yang sesuai
untuk terdispersi melalui air. Berbeda
dengan kebanyakan tumbuhan, biji
mangrove dapat berkecambah ketika
masih melekat pada tumbuhan induk.
Beberapa biji tumbuh memecah kulit
buah (vivipari), seperti Acanthus,
Avicennia dan Aegiceras, sedang biji
lainnya tanpa memecah-kan kulit
buah (kriptovivipari), seperti Ceriops,
Rhizophora, Bruguiera, dan Nypa
untuk menghasilkan propagul, berupa
seedling yang dapat terbawa air
kemana-mana.
Propagul yang masak akan jatuh
ke air dan tetap dormansi hingga
tersangkut di tanah yang aman,
menebarkan akar dan mulai tumbuh.
Pembentukan propagul Rhizophora
diilustrasikan pada gambar di
samping. Tumbuhan lain dalam
familia Rhizophoraceae memiliki cara
yang serupa, misalnya Ceriops dan
Bruguiera. Beberapa mangrove
menggunakan cara konvensional (biji
normal) untuk reproduksi seperti
Gambar: Pembentukan propagul
Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan
Rhizophora
Xylocarpus.
29
7
MANGROVE
Zonasi
30
perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul diduga lebih
berpengaruh dari faktor lain, dimana beting lumpur baru akan didominasi
tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut,
misalnya di Segara Anakan.
31
8
MANGROVE
Hewan
32
Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien,
kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia,
limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik,
proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang
besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang
bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan
mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora)
lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria)
merupakan elemen tanah mangrove yang penting.
Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah
artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska
baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak
ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula
reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove.
Odites (ngengat)
33
Monolepta (kumbang)
Tetraponera (semut)
34
Macrobrachium equidens (udang muara)
Caridina propinqua
35
Myomenippe harwicki (kepiting batu)
36
Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain
laba-laba, kutu (mite), dan kepiting ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai.
Trombiculus (mite)
37
Moluska. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling
banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia.
Nerita lineata
Chicoreus capucinus
Nassarius jacksonianus
Onchidium griseum
Marcia marmorata
38
Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung
dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang
hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di
hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda
dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area
mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor
penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini.
Bandeng (Mugilidae)
Scatophagus argus
Stigmatogobius sadanundio
Mystus gulio
Zenarchopterus buffonis
39
Periophthalmodon schlosseri
Periophthalmodon schlosseri
Periophthalmus novemradiatus
Boleophthalmus boddarti
Nycticorax nycticorax
40
Egretta garzetta (bangau)
41
Nectarinia calcostetha (burung madu)
Rana cancrivora
42
Reptilia. Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove
paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat
bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil
yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk
mencari makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan gelodok dan
ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia.
Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung
mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di
mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang
menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang
memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga
menggunakan mangrove sebagai habitat utama.
43
Emoia atrocostata
Varanus salvator
44
9
MANGROVE
Nilai Kegunaan
MANFAAT MANGROVE
45
Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti
secara mendalam hingga diperoleh obat modern.
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air
laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon
dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang,
kerang, burung, dan biota-biota lain, serta berperan dalam ekoturisme dan
pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang
karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri,
perdagangan, perumahan dan gangguan alam.
Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi
dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua
kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam
berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi
sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah
pantai dari erosi, menjaga tanah, dan stabilisasi sedimen; purifikasi polutan
secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.
KEGUNAAN LANGSUNG
46
Kayu bakar dan arang. Kayu mangrove sering digunakan secara
langsung sebagai kayu bakar atau diolah lebih dahulu menjadi arang. Kayu
Rhizophora dan Avicennia memiliki nilai kalor tinggi dan menghasilkan panas
sangat tinggi, sehingga sangat sesuai untuk kayu bakar dan arang. Di
Indonesia hal ini telah dilakukan secara komersial sejak tahun 1887.
47
yang diperoleh dari batang Metroxylon sagu juga digunakan sebagai makanan
pokok. Cairan nira Nypa dan Borassus dapat dibuat tuak yang memabukkan.
Nypa dapat menghasilkan gula dari cairan nira yang dimasak, yang
selanjutnya dapat difermentasi menjadi alkohol dan cuka. Minyak goreng juga
dapat diperoleh dari tumbuhan ini. Ekstrak kayu Avicennia alba dan A.
officinalis menghasilkan tonikum, serta jelly yang enak dan terasa asin dapat
diperoleh dengan mengasapi leafletnya. Seedling Avicennia dan Bruguiera
dapat dimasak dan dimakan terutama pada musin paceklik.
48
KEGUNAAN TIDAK LANGSUNG
49
Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik dan jumlah sesuai,
komunitas mangrove dapat berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah.
Polutan dan sampah dari kawasan industri dan domestik, secara lamiah dapat
terbenam dan terurai dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan
nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di daur ulang di hutan
mangrove. Ekosistem ini, misalnya, mampu menyerap kelebihan nitrat dan
fosfat dari lahan pertanian di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan
pantai (eutrofikasi). Namun sebaliknya volume limbah yang berlebihan dapat
meracuni dan merusak ekosistem mangrove.
50
KEGUNAAN POTENSIAL: KANDUNGAN KIMIA MANGROVE
51
10
MANGROVE
Konservasi dan Legislasi
KONSERVASI
52
(propagul) atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hutan
mangrove hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus
dihilangkan terlebih dahulu. Mangrove juga dapat dibuat dengan
menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang
dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove.
Restorasi mangrove tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk
melakukan penyembuhan dapat menyia-nyiakan dana investasi yang besar.
Pada tahun 1989-1995 area seluas 9050 ha di Bengali Barat, India ditanami
mangrove, namun hanya 1,52% yang berhasil tumbuh. Sebaliknya di
Tembilahan, Indonesia dari area seluas 715 ha hanya 10%-nya yang perlu
ditanami mangrove, karena sebagian besar memiliki seedling alami sebanyak
2500 pohon per ha.
Demi keberhasilan restorasi hutan mangrove perlu diperhatikan:
• Autekologi setiap spesies mangrove, terutama pola reproduksi,
penyebaran propagul, dan kemampuan seedling untuk bertahan.
• Pola hidrologi yang mengatur distribusi, keberhasilan bertahan, dan
pertumbuhan spesies mangrove.
• Lingkungan mangrove yang menghambat suksesi sekunder secara alami.
• Restorasi pola hidrologi dan penggunaan propagul alami setempat.
• Penanaman dilaksanakan setelah langkah-langkah di atas dilakukan.
Bibit tanaman dapat diperoleh dari seedling alamiah (wildling), biji dan
propagul, serta seedling dari kebun bibit. Restorasi hutan mangrove dengan
Rhizophora seluas 500 hektar di Sinjai, Sulawesi pada tahun 1985 dilakukan
dengan wildling sehingga mengurangi biaya pembibitan. Namun beberapa
spesies seperti Avicennia, Sonneratia, dan Xylocarpus memerlukan
pembibitan, karena bentuk dan ukuran bijinya yang lebih kecil. Pembibitan
biasanya dilakukan pada Desember-Januari. Terdapat 12 spesies yang biasa
digunakan untuk restorasi hutan mangrove, sepuluh spesies merupakan
tumbuhan mangrove mayor dan minor, yaitu Rhizophora, Bruguiera,
Sonneratia, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Avicennia, Excoecaria, Xylocarpus,
Nypa, serta dua spesies tumbuhan asosiasi, yaitu Cassuarina dan Hibiscus.
Pemilihan spesies yang tepat untuk setiap lingkungan mikro sangat penting
dalam penanaman mangrove, jumlah bibit untuk setiap luasan perlu diketahui
untuk menjaga kompetisi. Penghutanan mangrove memerlukan perhatian
intensif selama sekitar 75 hari pertama sejak penanaman, dimana perlu
dilakukan penyulihan tanaman yang rusak. Hal-hal lain yang juga perlu
diperhatikan adalah: luas area yang digenangi pasang-surut, tingginya
genangan pasang, kecepatan aliran permukaan dan arus pasang surut,
salinitas air pasang, masukan air tawar, sedimen yang terbawa air, tekstur
tanah, pengaruh fisik gelombang pasang, dan suhu air.
53
Strategi manajemen:.
• Manajemen mangrove merupakan bagian dari manajemen kawasan
daratan dan pantai secara keseluruhan.
• Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen
stakeholders, seperti pemerintah, LSM, pengguna hutan (perhutani),
masyarakat setempat dan ilmuwan.
• Peningkatan kepedulian masyarakat setempat dengan meningkatkan nilai
mangrove yang terkait langsung dengan kepentingan mereka.
• Perlu database penelitian yang sistematis.
• Perlu komitmen politik untuk manajemen mangrove berkelanjutan.
• Perlu kerjasama konsep dan pengalaman lapangan dalam pengelolaan.
LEGISLASI
54
11
MANGROVE
Riset
55
12
MANGROVE
Jalan-jalan di Hutan Mangrove
56
Bagian 2
BIODIVERSITAS
57
58
1
BIODIVERSITAS
Pengantar
59
alam, adaptasi dan evolusi selama jutaan tahun.Menurut Wallace kepulauan
Nusantara memiliki tiga bioregion, yaitu Indo-Malaya yang bertipe Asia di
bagian barat meliputi Sumatera, Kalimantan dan Jawa; Austro-Malaya yang
bertipe Australia di bagian timur meliputi Irian dan Maluku, serta tipe peralihan
di bagian tengah, meliputi Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat.
Setiap kawasan memiliki keanekaragaman spesies sangat tinggi.
Indonesia bagian barat memiliki gajah dan macan, seperti Asia, sedangkan
Indonesia bagian timur memiliki berbagai burung paruh bengkok dan hewan
berkantung, seperti Australia. Adapun Indonesia bagian tengah memiliki
spesies peralihan seperti burung rangkon yang “bercula” dan Tarsius yang
berkantung. Sebagai negara kepulauan terluas, Indonesia memiliki spesies
endemik paling beragam, misalnya orangutan di Sumatra dan Kalimantan,
cendrawasih di Irian, komodo di Nusa Tenggara, dan babi rusa di Sulawesi.
Indonesia memiliki bermacam-macam ekosistem, yang dihuni berbagai
macam spesies. Meskipun luasnya hanya 1,3% permukaan bumi, kawasan ini
merupakan habitat bagi 10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptilia
dan amfibia, 17% burung, dan 25% ikan. Beragam tipe pantai ditemukan di
Indonesia, mulai dari pantai landai dan berpasir atau berpasir putih, pantai
terjal berkarang, hingga muara sungai yang berlumpur. Terumbu karang
Indonesia sangat luas (42.000 km2), dengan keanekaragaman jenis karang,
ikan dan organisme terumbu karang terkaya di dunia.
Kekayaan laut di wilayah Indo-Pasifik Barat merupakan yang tertinggi di
dunia. Lebih dari 25% ikan dunia dapat ditemukan di Indonesia. Hutan
mangrove Indonesia merupakan yang terluas didunia, yakni lebih dari 4 juta
hektar. Terdiri dari 100-an spesies mangrove mayor, minor dan tumbuhan
asosiasi. Indonesia mempunyai cukup banyak sungai besar, seperti
Bengawan Solo di Jawa, Sungai Musi dan Batanghari di Sumatra, Sungai
Mahakam dan Barito di Kalimantan, Sungai Mamberamo di Irian dan lain-lain.
Sungai-sungai ini memiliki keragaman spesies endemik cukup tinggi, misalnya
arwana di Kalimantan dan Irian, serta pesut di Mahakam.
Negara kepulauan dengan sungai-sungai besar ini menjadi habitat
sejumlah besar tumbuhan mangrove. Kawasan Asia Tenggara yang di
dominasi negara Indonesia merupakan tempat asal, pusat biodiversitas dan
pusat distribusi tumbuhan mangrove dunia. Sayangnya kawasan mangrove ini
seringkali tidak dipahami fungsi ekonomi dan ekologinya sehingga dirusak
oleh penebangan hutan, konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan
garam, industrialisasi dan urbanisasi.
Dalam praktikum ini dicoba untuk mengungkapkan keanekaragam tingkat
genetik, spesies, dan ekosistem kawasan mangrove di Jawa, salah satu
lingkungan di Indonesia yang paling dinamis dan berubah cepat.
60
2
BIODIVERSITAS
Genetik – Isozim/Protein
61
terhadap perubahan habitatnya. Dalam jangka panjang hal ini akan
menyebabkan munculnya ekotipe-ekotipe yang spesifik sebagai bentuk
penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat hidup.
Kenakeragaman hayati dalam populasi dapat didekati dengan metode-
metode yang biasa digunakan dalam taksonomi. Secara tradisional
keanekaragaman hayati didekati melalui karakter morfologi, namun sifat ini
memiliki banyak keterbatasan mengingat sedikitnya jumlah ciri-ciri yang dapat
dianalisis, di samping adanya plastisitas fenotipe dan pengaruh lingkungan.
Pada tingkat populasi penggunaan sifat ini untuk menganalisis
keanekaragaman semakin tidak berarti, karena tingginya persamaan ciri-ciri
morfologi dan semakin sedikitnya sifat pembeda yang dapat diungkapkan.
Perkembangan peralatan mikroskopi dan metode biokimia, membuka luas
sifat-sifat yang dapat dianalisis, sehingga dikenal biosistematika atau
taksonomi eksperimen, sebagai bidang biologi yang mewadahi kajian
keanekaragaman hayati berdasarkan pendekatan sifat-sifat baru yang
ditemukan dengan kemajuan peralatan dan metode tersebut, antara lain:
sitologi, sitogenetika, palinologi, kemotaksonomi dan lain-lain. Perkembangan
lebih lanjut pada biologi molekuler menyebabkan ruang lingkup kajian
keanekaragaman hayati hampir tanpa batas, mengingat sifat ini mampu
menguji adanya variasi hingga tingkat individu.
62
misalnya Coomassie Blue dan Indigo Black. Penggunaan pola protein biji
(atau polen) yang dihasilkan oleh serangkaian kondisi elektroforesis untuk
studi populasi, di masa depan kemungkinan akan surut karena dipertanya-
kannya validitas data yang dihasilkan. Dengan metode ini setiap protein biji
dapat memunculkan lebih dari 20 pita dengan pola yang kompleks sehingga
sulit diitepretasikan. Di samping itu pola pita yang dihasilkan tidak stabil dan
sangat tergantung kondisi peralatan elektroforesis yang digunakan, sehingga
untuk memastikan pola pita yang muncul adalah asli atau hanya akibat kondisi
elektroforesis perlu dilakukan beberapa kali ulangan dalam kondisi yang
berbeda-beda. Kesulitan ini menyebabkan metode protein biji mulai
ditinggalkan, sejalan dengan meningkatnya popularitas penggunaan isozim.
63
Isozim. Isozim merupakan pola pita multiple yang muncul pada
elektroforesis dengan pewarna histokimia, karena adanya aktifitas enzim. Pita-
pita ini dikode lebih dari satu lokus gen struktural, apabila dikode alel yang
segregasi pada lokus tunggal disebut allozim. Metode ini sangat berguna
untuk studi keanekaragaman pada tingkatan taksa yang rendah, seperti
spesies, subspesies dan populasi. Selama beberapa dekade terakhir, isozim
telah memberikan sumbangan nyata terhadap studi variasi populasi. Isozim
mendeteksi variasi urutan asam amino suatu protein yang memiliki fungsi
katalitik sama, atau dengan kata lain ia mendeteksi variasi urutan DNA yang
mengkode protein. Variasi isozim secara efektif dapat digunakan untuk
mengetahui persamaan genetik di antara individu, populasi dan spesies yang
memiliki kekerabatan dekat. Penggunaan data isozim untuk studi populasi
lebih baik menggunakan beberapa enzim dari pada hanya satu jenis saja.
Salah satu kelebihan isozim adalah mereka merupakan karakter
kodominan, sehingga individu heterozigot dapat dibedakan dengan homozigot.
Di samping itu mereka relatif murah dan mudah diuji. Sayangnya setiap enzim
pewarna hanya memberikan sedikit pita isozim bahkan kadang-kadang tidak
muncul, sehingga perlu digunakan beberapa macam enzim pewarna sampai
diperoleh hasil yang dibutuhkan untuk studi variasi populasi. Hal ini
menyebabkan sebagian peneliti lebih menyukai menggunakan variasi urutan
DNA secara langsung, tidak melalui isozim. Enzim pewarna yang seringkali
muncul pada makhluk biologi adalah esterase (EST).
Mengingat setiap protein/isozim selalu merupakan hasil kerja sebuah gen,
sebagaimana dalil “one gene one protein” maka bersama penanda DNA
keduanya sering disebut penanda genetik (genetic marker) (periksa Gambar).
Oleh karena itu “semestinya” akurasi kedua karakter ini tidak berbeda jauh,
khususnya antara isozim dengan DNA, sedang protein sebagaimana
dijelaskan di atas memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga akurasinya
jauh di bawah isozim dan DNA. Namun bagaimanapun juga DNA memiliki
lebih banyak situs yang dapat dideteksi untuk variasi populasi karena adanya
intron yang tidak muncul dalam protein, khususnya pada organisme
eukaryota. Sedangkan pada organisme prokaryota, seperti bakteri, intron tidak
terdapat dalam materi genetik karena sudah dalam bentuk RNA.
64
3
BIODIVERSITAS
Spesies – Identifikasi Morfologi
65
namun dalam praktek identifikasi di lapangan bunga kadang-kadang kurang
berarti, sebaliknya sifat vegetatif lebih penting.
Klasifikasi tumbuhan mencakup empat proses dasar, yaitu:
1. Pengenalan sifat-sifat pembeda.
2. Penerapan terminologi botani.
3. Penggunaan kunci identifikasi,
4. Deskripsi spesies.
1. Habitus
1.1. Ukuran: besar > 30 m, sedang 10-30 m, kecil < 10 m, seedling < 0,5 m.
1.2. Bentuk: kubah (dome), kerucut (conic), kolom (columnar).
1.3. Percabangan: berkarang (whorled), beraturan (regular), tidak
beraturan (irregular), tegak (ascending), tergantung (pendulous).
1.4. Akar: aerial/ pneumatofora (penyangga, lutut, pasak), papan; di
permukaan tanah, di bawah tanah.
2. Batang
2.1. Bentuk batang: bentuk, papan, akar.
2.2. Kulit kayu: warna, tekstur, pola.
2.3. Blaze (kilap): warna, tekstur, getah, bau.
2.4. Lain-lain: lichenes, fungi, cauliflora, dll.
3. Daun
3.1. Rangking: tunggal, majemuk beranak daun dua, dst.
3.2. Duduk daun: daun duduk, bertangkai.
3.3. Stipula: absen, presen (persisten atau desidus).
66
3.4. Susunan: tunggal, majemuk (menjari atau menyirip)
3.5. Warna: warna yang tampak atau tidak berwarna.
3.6. Ukuran: lepto- nano- mikro- meso- makro- megafil.
3.7. Bentuk: keseluruhan, ujung, pangkal.
3.8. Tepi: keseluruhan, macam-macam gerigi.
3.9. Venasi: reticulate, penniveined, paralel, dikotom.
3.10. Lain-lain: kelenjar, pulvinus, bulu, lilin, bau, rasa.
4. Cabang
4.1. Pertumbuhan: terus tumbuh atau musiman, monopodial atau simpodial.
4.2. Tunas: vegetatif atau reproduktif, terminal atau lateral.
4.3. Kulit: warna, retakan, pola.
4.4. Bekas luka: daun, stipula.
4.5. Lentisel: jumlah, ukuran, warna, pola.
4.6. Pith (inti): solid atau berongga empulur, warna, ukuran, bentuk.
4.7. Lain-lain: kelenjar, bulu, lilin, bau.
6. Habitat
6.1. Distribusi spesies: geografi/regional/lokal, alamiah atau ditanam.
6.2. Preferensi tempat:
• Topografi: ketinggian, pemandangan, kemiringan lereng, posisi.
• Tanah: kimia, fisika, mikrobiologi.
• Iklim: suhu, curah hujan, arah angin, kebakaran.
• Biologi: hama dan penyakit, budidaya pertanian, poluasi.
6.3. Modifikasi tempat: erosi, reklamasi, pemupukan, irigasi dan lain-lain.
67
musim kemarau beberapa spesies asosiasi merontokkan sebagian daun.
Kesulitan mendapatkan sumber identifikasi juga terjadi apabila tumbuhan
terlelau tinggi, sehingga menghalangi akses mendapatkan daun, bunga, dan
buah segar. Pada hutan mangrove tanah yang tidak stabil kadang-kadang
berbahaya untuk didatangi.
Material dari satu pohon kadang-kadang sulit dibedakan dengan dengan
pohon lain untuk mengetahui keanekaragam spesies. Identifilasi sulit
dilakukan berdasarkan sifat bolus dan kulit batang, dalam hal ini daun
merupakan karakter kedua paling penting setelah bunga dan buah.
Sayangnya bunga kadang-kadang hanya tersedia dalam jangka waktu
pendek, dan musim pembungan setiap spesies berbeda-beda.
DEFINISI PENTING
Sub spesies
• Subspesies (Subsp.): tingkatan optional di bawah spesies dan di atas
varietas; berdasarkan karakter minor dan memiliki daerah sebaran
geografi tertentu.
• Varietas (Var): taksa di bawah spesies dan subspesies; berdasarkan
karakter warisan minor dan sering memiliki daerah sebaran geografi
tertentu.
• Forma (f): taksa yang didasarkan pada karakter yang lebih sepele dan
daerah sebaran geografinya kurang terpisah dibandingkan subspesies
atau varietas.
• Kultivar (cv): tingkatan yang terdiri dari genotip tertentu yang sengaja
diseleksi, sering diperbanyak secara aseksual untuk mendapatkan sifat-
sifat tertentu.
68
tertentu, sehingga membentuk unit genetik. Semua individu merupakan
spesies yang sama meskipun terletak pada komunitas yang berbeda.
• Takson (jamak: taksa): unit taksonomi dengan tingkat klasifikasi tertentu.
Kategori ekogenetik.
• Populasi: unit evolusioner yang terdiri dari sejumlah kelompok individu
yang saling dapat berkawin.
• Ras (race): populasi dalam suatu spesies yang diskontinue dan berbeda
dengan populasi lain spesies yang sama. Apabila sangat khas disebut
landrace (varietas lokal). Apabila sifat pembedanya merupakan ciri khas
untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut ekotipe.
• Ekotipe: ras yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap perbedaan habitat.
Perbedaan sifat fisiologi tertentu kadang-kadang hanya tampak apabila
ekotipe yang berbeda ditanam di tempat sama. Ras dan ekotipe dapat
beradaptasi terhadap iklim, tanah, dan lingkungan geografi yang berbeda.
• Klin (cline): gradien geografi fenotipe dalam jangkauan spesies, sering kali
merupakan pengaruh gradien lingkungan. Penerapan klin lebih ditujukan
untuk populasi dari pada ekotipe, verietas atau ras.
69
4
BIODIVERSITAS
Ekosistem – Analisis Vegetasi
70
Metode untuk menganalisis vegetasi tumbuhan tergantung pada berbagai
variabel, antara lain: tujuan penelitian, tipe struktur vegetasi, karakter vegetasi
yang diukur, seperti: densitas, dominansi, frekuensi, dan lain-lain, derajat
akurasi dan presisi yang diinginka, serta waktu, dana dan tenaga yang ada.
Parameter vegetasi yang diukur secara kuantitatif meliputi: densitas,
frekuensi dan dominansi. Dari nilai ini dapat diketahui nilai penting dan indek
similaritas arau diversitas.
Densitas (kerapatan)
Densitas adalah jumlah cacah individu suatu spesies per satuan luas.
Jumlah cacah individu seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = -------------------------------------------------------
Luas area cuplikan (m2 atau Ha)
Luas area cuplikan adalah jumlah plot dan luas plot yang diteliti. Misalnya
jumlah plot yang diamati sebanyak 10 buah, dengan luas masing-masing plot
10 m x 10 m = 100 m2, maka luas total seluruh area yang dicuplik adalah 10 x
100 m2 = 1000 m2. Apabila total cacah individu spesies A yang ditemukan
pada seluruh plot yang dikaji (10 plot) = 345 buah, maka densitas spesies A =
345 / 1000 m2 = 0,45 / m2. hal ini disebut densitas absolut atau aktual.
Informasi tentang hubungan antara cacah individu suatu spesies dengan
total cacah individu seluruh spesies dalam seluruh plot yang dikaji akan
diketahui dengan menghitung densitas relatifnya.
Total cacah individu spesies A
Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah total cacah individu seluruh spesies
Frekuensi
Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesies yang ditemu-
kan pada plot yang dikaji.
Jumlah plot terdapatnya spesies A
Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah seluruh plot yang dicuplik
Misalnya dalam 10 plot yang dikaji spesies A ditemukan 2 kali (2 plot),
sehingga frekuensi spesies A = (2/10)x 100% = 20%. Selanjutnya dapat
dihitung, dapat dihitung frekuensi relatif dengan cara berikut:
Total frekuensi spesies A
Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total frekuensi seluruh spesies
71
Dominansi
Dominansi suatu spesies ditentukan dengan mengukur basal area pohon
atau nilai penutupan (coverage) pohon atau herba. Luas basal area suatu
jenis pohon dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1,5 m dari
permukaan tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah (dbh = diameter at
breast hight). Bila pohon berakar papan (akar banir), maka diameter pohon
diukur langsung diatas banirnya. Nilai penutupan pohon, semak atau herba
adalah luas proyeksi tajuk atau kanopi pohon, semak atau herba ke media
tumbuh (e.g. tanah).
Misalnya suatu kajian yang dilakukan pada 10 plot, dimana masing-masing
plot memiliki luas 100 m2, sehingga total luas area cuplikan 10 x 100 m2 =
1000 m2, menghasilkan luas total basal area spesies A sebesar 1250 cm2,
maka dominansinya = (1250 cm2/1000 m2) x 10000/Ha = 12.500 cm2I Ha.
72
Bagian 3
PRAKTIKUM
73
74
1
PRAKTIKUM
Area Kajian & Populasi Sampel
AREA KAJIAN
75
• Pantai selatan Jawa dimulai dari muara Sungai Bogowonto, Yogyakarta,
s.d. Sungai Jeruk Legi-Donan Cilacap sebanyak 8 stasiun, yaitu:
Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Cincingguling, Ijo, Bengawan, Serayu
dan Jeruk Legi-Donan. Adapun Segara Anakan disampel sebanyak 3
stasiun, yaitu Motehan, Klaces, dan Kembang Kuning (dapat diubah
sesuai kondisi di lapangan). Setiap stasiun dengan tiga ulangan.
• Pantai utara mulai dari Demak s.d. muara Bengawan Solo, Lamongan.
Apabila memungkinkan dilakukan pula di tapal kuda pantura Jawa Timur
dan pulau Madura. Pada asalnya hampir seluruh pantai utara Jawa
merupakan habitat mangrove, namun pengaruh antropogenik yang sangat
tinggi selama berabad-abad, menyebabkan sebagian besar kumpulan
(patches) mangrove telah hilang. Oleh karena itu stasiun yang dipilih untuk
praktikum akan ditentukan secara in cognito, pada 10 stasiun. Setiap
stasiun dengan tiga ulangan.
76
Peta Lokasi Praktikum
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok:
I. Pantai Utara: Demak s.d. Lamongan
II. Pantai Selatan: Bogowonto s.d. Jeruk Legi-Donan, dan Segara Anakan.
77
Keterangan:
Jarak antara pohon dalam
satu stasiun maksimal 200
m, selanjutnya seluruh area
yang terletak pada jarak
100 m dari batas terluar
pohon dimasukkan dalam
satu stasiun.
Stasiun I Stasiun II
Kebanyakan pohon mangrove mayor dan minor secara sangat efektif dapat
mensupai seedling hingga jarak ± 100 m, tergantung jenis dan biogeografi.
Berdasarkan hal ini, maka suatu area dianggap satu stasiun apabila berada
dalam lingkungan dimana pohon mangrove mayor dan minor paling jauh
berada dalam jarak 200 m, selanjutnya antar pohon-pohon tersebut ditarik
garis lurus membentuk lingkaran masif, dan ditambah 100 m ke arah luar
(perhatikan gambar). Khusus di Segara Anakan, sungai merupakan batas
mangrove meskipun lebarnya kurang dari 100 m, karena propagul dari suatu
lokasi umumnya akan tertahan ditepi sungai, dan apabila terbawa ke sungai di
sebelahnya maka juga tetap tertahan di tepian, sedangkan bagian dalam
mangrove umumnya tetap disuplai oleh propagul setempat.
POPULASI SAMPEL
78
aerenkim terpotong atau luka sehingga enzim/ protein rusak, maka digunakan
daun seeling. Untuk itu seedling perlu ditanam dalam pot.
Pada setiap stasiun dipilih lima titik secara acak dengan jarak sekurang-
kurangnya 10 meter untuk mengukur parameter lingkungan. Faktor lingkungan
yang dapat diukur secara in situ, maka diukur secara terpisah pada tiga dari
lima titik tersebut dan ditentukan reratanya, misalnya suhu dan pH tanah,
sedangkan faktor lingkungan yang harus diukur secara ex situ di laboratorium,
maka sampel dari kelima titik disatukan dan diukur sebagai “komposit”,
misalnya kandungan kimia tanah.
79
2
PRAKTIKUM
Genetik – Isozim/Protein
TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui keanekaragaman pola pita isozim pada tumbuhan
mangrove mayor dan minor di Jawa.
• Mengetahui keanekaragaman pola pita protein Nypa fruticans
(sebagai pembanding).
LANGKAH PRAKTIS:
• Koleksi daun.
• Pembuatan buffer.
• Pembuatan larutan stok .
• Pembuatan gel.
• Ekstraksi daun.
• Elektroforesis.
• Pewarnaan.
• Analisis data.
80
Koleksi daun. Bahan yang diperlukan untuk pengawetan koleksi adalah
air dingin dan es batu. Alat yang digunakan untuk koleksi di lapangan meliputi:
gunting tanaman atau pisau tajam, kantung plastik dengan klip (atau tali
karet), dan termos es. Di laboratorium diperlukan lemari pendingin suhu 4oC
untuk penyimpanan sementara sebelum dianalisis, serta rumah kaca untuk
menanam seedling.
CARA KERJA
Koleksi daun. Sampel daun dipilih daun urutan ketiga dari ujung cabang
yang pertumbuhannya optimum dengan penampilan, umur dan ukuran relatif
seragam, dan pernah berbunga. Koleksi daun dimasukkan ke dalam kantung
plastik hitam dan diikat rapat dengan tali karet, lalu disimpan dalam termos es
yang telah diisi es batu/air es. Sesampai di laboratorium daun disimpan dalam
lemari pendingin bersuhu 4oC. Daun dapat disimpan selama-lamanya 14 hari,
dan sebaiknya digunakan dalam kurun waktu 7 hari pasca pemetikan, setelah
itu isozim/protein tidak aktif. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak daun dapat
bertahan selama 30 hari. Apabila daun dari tumbuhan dewasa ini rusak, maka
praktikum dilakukan dengan daun seedling. Untuk itu perlu dilakukan
penanaman seedling di rumah kaca.
Pembuatan buffer.
• Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: boric acid (asam
boraks) 14,4 gram dan borex (boraks) 31,5 gram, dalam akuades
hingga mencapai volume 2 liter.
• Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat dengan melarutkan
0,018 gram sistein, 0,021 gram asam askorbat, dan 5 gram sukrosa
(PA) dalam 20 ml boraks buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer
ekstraksi dengan sampel daun adalah 4:1, dalam satuan μl buffer
ekstraksi dan μg sampel daun.
• Running buffer. Running buffer yang digunakan ialah TAE (Tris-
Acetic-Acid EDTA) 50x yang diencerkan sampai konsentrasi 1x.
81
Pembuatan larutan stock.
Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok yaitu:
• Larutan "L": 27,2 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 120
ml akuabides, diatur sampai pH 8,8 dengan menambahkan HCl, lalu
ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml.
• Larutan "M": 9,08 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 140
ml akuabides, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan penambahan HCl, lalu
ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml.
• Larutan "N": 175,2 gram akrilamid dan 4,8 gram bisakrilamid
dilarutkan dalam 400 ml akuabides dan buat volumenya hingga 600 ml.
• Loading dye: 250 μl gliserol ditambah 50 μl bromphenol blue
dilarutkan dalam 200 μl aquades.
Penyiapan gel.
Penyiapan cetakan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu
cetakan kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang
cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang
pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand. Untuk membuat
discontinuous gel 12,5%, bahan yang dicampur ialah:
Gel pemisah: 3,15 ml larutan "L", 5,25 ml larutan "N", 4,15 ml H2O, 5 μl
TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%.
Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu ditambahkan iso-butanol jenuh.
Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, iso-butanol jenuh tersebut
diserap dengan kertas hisap dan dibuang, lalu dibilas dengan air dan diserap
kembali air yang tersisa dengan kertas hisap. Setelah itu dipersiapkan bahan-
bahan untuk pembuatan stacking gel.
Stacking gel: 1,9 ml larutan "M", 1,15 ml larutan "N", 4,5 ml H2O, 5 μl
TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%.
Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang. Apabila telah
terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang telah terbentuk dipindahkan
ke clamping frame dan dimasukkan ke dalam buffer tank, diisi dengan running
buffer sampai terendam.
82
suhu ruang, sedang sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola pita
isozim disentrifugasi dengan kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada suhu
4oC, setelah disentrifugasi sampel tersebut direndam dalam kristal es.
Supernatan yang terbentuk segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis.
Pelaksanaan elektroforesis.
Supernatan sampel daun diambil dengan menggunakan mikropipet
sebanyak 3,5 μl dan dengan ditambah loading dye dan dibantu sample
loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada gel yang telah tercetak.
Setelah itu sampel dielektroforesis awal dengan menggunakan tegangan 200
volt, 60 mA selama 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah. Kemudian
sampel dielektroforesis lanjutan, untuk protein digunakan tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 180 menit, sedangkan untuk isozim tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 60 menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda
warna bromofenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah anoda. Lalu
gel dipindah ke nampan plastik dan diwarnai dengan enzim pewarna.
Pembuatan pewarna.
Pewarna untuk mendeteksi pola pita isozim. Dalam praktikum ini
digunakan dua sistem enzim peroksidase (PER) dan Esterase (EST). Adapun
langkah pembuatannya sebagai berikut:
Peroksidase. Sebanyak 0,0125 gram O-Dianisidine dimasukkan dalam
erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2
M buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes H2O2. Gel yang telah
dielektroforesis direndam dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil
digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna
dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto
atau scanner.
Esterase. Sebanyak 0,0125 gram α-naftil asetat (α-naphthyl aceatate)
dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton,
kemudian ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 dan 0,0125 gram
fast Blue BB Salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan dalam larutan
pewarna tersebut dan diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang secara
perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan
dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto atau scanner.
Pewarna untuk mendeteksi pola pita protein. Dalam hal ini diperlukan
larutan pewarna dan pencuci. Larutan pewarna Comassie blue dibuat dengan
melarutkan 1 gram zar warna tersebut ke dalam 100 ml asam asetat dan 400
ml metanol, lalu diencerkan dengan akuades hingga volume 1 L. Larutan
83
pencuci dibuat dengan mencampur 100 ml asam asetat dan 400 ml metanol,
lalu dilarutkan dalam akuades hingga volume 1 L.
Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan ke dalam larutan pewarna
selama semalam. Setelah itu gel diambil dan dibilas dengan air, lalu direndam
dalam larutan pencuci selama + 4 jam sambil digoyang perlahan. Kemudian
gel dapat direkam gambarnya dengan foto atau pemindai (scanner).
ANALISIS DATA
84
3
PRAKTIKUM
Spesies – Identifikasi Morfologi
TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor,
minor, dan tumbuhan lain yang berasosiasi di lingkungan mangrove di
Jawa.
• Mengetahui adaptasi morfologi khas tumbuhan mangrove mayor dan
minor, serta perbedaannya dengan tumbuhan asosiasi.
LANGKAH PRAKTIS:
• Koleksi spesimen
• Identifikasi morfologi
• Pembuatan herbarium
• Kunci identifikasi (diagnostik).
• Deskripsi (komparasi).
85
Identifikasi. Mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa
pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau/silet dan pinset, dan buku
identifikasi (Lampiran 1-2; buku lain),
Pembuatan herbarium. Herbarium kering: sasak, kertas koran, kertas
kardus, tali/kawat, gunting, pisau dan oven. Kertas herbarium, label herbarium,
amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Herbarium basah:
botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air.
CARA KERJA
86
Herbarium Basah. Spesimen dicuci bersih dari kotoran dan dimasukkan
dalam botol kaca bening berisi alkohol 70%. Ukuran botol disesuaikan kondisi
spesimen dan diberi etiket tempel. Botol ditutup rapat dan disimpan di dalam
lemari koleksi yang sejuk dan tidak terkena sinar matahari langsung.
87
4
PRAKTIKUM
Ekosistem – Analisis Vegetasi
TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui struktur, komposisi, dan distribusi tumbuhan mangrove di
Jawa, melalui densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks
diversitas dan indeks similaritas.
LANGKAH PRAKTIS:
• Identifikasi morfologi.
• Kuantifikasi spesies dengan metode plot kuadrat.
• Penghitungan sifat ekologi (densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting).
• Analisis data (indeks diversitas dan indeks similaritas).
88
CARA KERJA
ANALISIS VEGETASI
Densitas:
Jumlah cacah individu seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = -------------------------------------------------------
Luas area cuplikan (m2 atau Ha)
Frekuensi:
Jumlah plot terdapatnya spesies A
Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah seluruh plot yang dicuplik
Dominansi:
Total basal area spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
89
Jumlah total basal area seluruh spesies
H = – Σ Pi log Pi.
Keterangan:
m = Nirai penting cacah individu untuk setiap spesies
N = Total nilai penting
Pi = m /N
N (N – 1)
D = -------------------
Σn (n – 1)
Keterangan:
D = indeks diversitas
N = Totaljumlah individu seluruh
n = JumIah cacah individu suatu spesies
90
5
PRAKTIKUM
Kimia-Fisika Lingkungan
TUJUAN PRAKTIKUM:
• Mengetahui kondisi fisik dan kimia ekosistem mangrove di Jawa.
LANGKAH PRAKTIS:
• Pengukuran suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen
terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), daya hantar listrik
(EC) air dan sedimen, kapasitas listrik (CEC), padatan terlarut (TSD)
air, pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), dilakukan
secara in situ di lapangan.
• Kandungan fisik dan kimia berupa kadar air, tekstur tanah, kadar
bahan organik (OM), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-), dan pirit
(FeS2), dilakukan dilaboratorium [asisten dan laboran].
Parameter lingkungan yang diukur meliputi: suhu air dan sedimen, pH air
dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks
(Eh), pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), tekstur tanah;
kadar bahan organik (OC), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-) , dan pirit (FeS2).
91
polietilen, nampan, kipas angin, timbangan, mortar dan lumpang porselen,
saringan stainless steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm.
Penentuan kadar fosfor (PO43-). Alat yang digunakan: labu kjeldahl 100
ml, apparus digesti elektris, pipet, corong gelas, kertas Whatman 42, pipet
volumetri 100 ml, tabung gradasi 20 ml, labu volumetri 200 ml dan
spektrofotometer (AAS). Reagensia yang digunakan:HClO4 dan HNO3 pekat,
larutan HCl, larutan molibdat-vanadat, HNO3 2N, larutan fosfor standard (P 20
ppm; 250 ppm).
92
CARA KERJA
93
akuades, setelah dingin hasil distilasi dititrasi dengan H2SO4 0,01 N hingga
berwarna merah muda.
94
Bagian 4
LAMPIRAN
95
96
Lampiran 1. Indeks Mangrove di Jawa
Daftar spesies tumbuhan mangrove mayor dan minor di Jawa.
Famila Spesies Keterangan
Acanthaceae Acanthus ilicifolius Minor (asosiasi ?)
Arecaceae Nypa fruticans Mayor
Avicenniaceae Avicennia alba Mayor
Avicennia lanata
Avicennia marina
Avicennia officinalis
Combretaceae Lumnitzera racemosa Mayor
Lumnitzera littorea
Euphorbiaceae Excoecaria agallocha Minor
Lythraceae Pemphis acidula Minor
Meliaceae Xylocarpus granatum Minor
Xylocarpus moluccensis
Xylocarpus rumphii
Myrtaceae Osbornia octodonta Minor
Myrsinaceae Aegiceras corniculatum Minor
Aegiceras floridum
Pteridaceae Acrostichum aureum Minor
Acrostichum speciosum
Rhizophoraceae Bruguiera cylindrica Mayor
Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera parviflora
Bruguiera sexangula
Ceriops decandra
Ceriops tagal
Rhizophora apiculata
Rhizophora x lamarckii
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Rubiaceae Scyphiphora hydrophyllacea Minor
Sonneratiaceae Sonneratia alba Mayor
Sonneratia caseolaris
Sonneratia ovata
Sterculaceae Heritiera littoralis Minor
97
Daftar spesies tumbuhan asosiasi mangrove yang umum dijumpai di
Jawa.
Spesies Familia
1. Barringtonia asiatica Lecythidaceae
2. Calophyllum inophyllum Guttiferae
3. Calotropis gigantea Asclepiadaceae
4. Cerbera manghas Apocynaceae
5. Clerodendrum inerme Verbenaceae
6. Derris trifoliata Leguminosae
7. Finlaysonia maritima Asclepiadaceae
8. Hibiscus tiliaceus Malvaceae
9. Ipomoea pescaprae Convolvulaceae
10. Pandanus tectorius Pandanaceae
11. Pongamia pinnata Leguminosae
12. Scaevola taccada Goodeniaceae
13. Sesuvium portulacastrum Aizoaceae
14. Spinifex littoreus Gramineae
15. Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae
16. Terminalia catappa Combretaceae
17. Thespresia populnea Malvaceae
18. Scirpus littoralis Cyperaceae
19. Vitex ovata Verbenaceae
20. Welingi Cyperaceae
98
Lampiran 2.
99
Acanthus ilicifolius L. Jeruju
Acanthaceae Minor (atau asosiasi)
100
Acrostichum aureum L. Paku laut laya
Class Filicopsida, Family Pteridaceae Minor
Mirip : A. speciosum
Distribusi : Pantropis.
Habitat : Tepi sungai atau rawa mangrove di arah laut, salinitas rendah,
mendapat aliran air tawar.
Manfaat : Daun kering untuk atap, rhizoma untuk mengobati luka.
101
Acrostichum speciosum Paku laut lasu
Class Filicopsida, Family Pteridaceae Minor
Mirip : A. aureum
Distribusi : Asia dan Australia tropis.
Habitat : Zona pasang surut, tepi rawa mangrove di arah laut, biasanya di
bawah naungan atau tanah garapan.
Manfaat : -
102
Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Gedangan
Myrsinaceae Minor
103
Aegiceras floridum Roemer & Schultes Manghe kashian
Myrsinaceae Minor
Mirip : A. corniculatum.
Distribusi : India s.d. Irian dan Australia.
Habitat : Pantai berpasir, tepi sungai, toleran terhadap kadar garam tinggi
Manfaat : Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan.
104
Avicennia alba Blume Api-api putih
Avicenniaceae Mayor
105
Avicennia lanata Ridley Api-api (?)
Avicenniaceae Mayor
Biji: Kriptovivipar
Kulit: Gelap, coklat s.d. hitam,
kasap.
Ciri khas: Sisi bawah daun
berbulu, kekuningan, spesies
pioner.
106
Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Api-api jambu
Avicenniaceae Mayor
107
Avicennia officinalis L. Api-api ludat
Avicenniaceae Mayor
108
Bruguiera cylindrica Blume Tancang putih
Rhizophoraceae Mayor
Ciri khas : Bunga kecil, cuping kelopak jelas, membaluk, panjang > 0,3 cm.
Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula
Distribusi : Asia Tenggara s.d. Australia.
Habitat : Tanah lempung di belakang Avicennia; menempati tanah baru.
Manfaat : Kayu bakar, kayu bangunan; radikula muda dapat dimakan,
tanin kulit kayu berbau khas untuk menangkap ikan.
109
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Tancang merah
Rhizophoraceae Mayor
110
Bruguiera parviflora Wight & Arnold ex Griffith.
Rhizophoraceae Lenggadai Mayo
111
Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. Tancang sukun
Rhizophoraceae Mayor
112
Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Tingi
Rhizophoraceae Mayor
113
Ceriops tangal (Perr.) C.B. Robinson Tengar
Rhizophoraceae Mayor
114
Excoecaria agallocha L. Buta-buta
Euphorbiaceae Minor
115
Heritiera littoralis Dryand in Aiton Dungun
Sterculiaceae Minor
Biji: Normal.
Kulit: Abu-abuan, beralur
dan pecah-pecah.
Ciri khas: Akar papan
sangat pipih.
Mirip : -
Distribusi : India s.d. Pasifik Barat.
Habitat : Tepi hutan mangrove, ke arah darat, sepanjang tepi sungai,
salinitas rendah.
Manfaat : Kayu bangunan yang keras dan kuat, juga untuk tiang perahu,
kayu bakar, huma, tiang telepon, dan lain-lain. Ekstrak biji untuk
mengobati diare dan disentri.
116
Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Teruntum merah
Combretaceae Mayor
Biji: Normal
Kulit: Abu-abu s.d. coklat tua,
beralur-alur, merekah menurut
aksis batang.
Ciri khas: Petala merah (pada
L. racemosa putih)
Mirip : L. racemosa
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia, Australia dan Polinesia
Habitat : Tepi muara sungai berair tawar, ke arah darat.
Manfaat : Kayu bakar, kayu untuk bangunan jembatan dan lantai. Daun
untuk mengobati sariawan. Berpotensi untuk tanaman hias.
117
Lumnitzera racemosa Willd. Teruntum putih
Combretaceae Mayor
Biji: Normal
Kulit: Abu-abu
Ciri khas: Petala putih (pada
L. littorea merah).
118
Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb. Nipah
Palemae Mayor
119
Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Baru-baru
Myrtaceae Minor
120
Pempis acidula Forst. Sentigi laut
Lythraceae Minor
121
Rhizophora apiculata Bl. Bakau putih; Bakau minyak
Rhizophoraceae Mayor
122
Rhizophora x lamarckii Montr. Bakau (hibrida)
Rhizophoraceae Mayor
123
Rhizophora mucronata Lamk. Bakau bandul
Rhizophoraceae Mayor
124
Rhizophora stylosa Griff. Bakau
Rhizophoraceae Mayor
125
Scyphyphora hydrophyllacea Gaertn.f. Duduk rambat
Rubiaceae Minor
126
Sonneratia alba J. Smith Prapat
Sonneratiaceae Mayor
127
Sonneratia caseolaris (L.) Engler Bogem
Sonneratiaceae Mayor
128
Sonneratia ovata Gedalbu
Sonneratiaceae Mayor
129
Xylocarpus granatum Koen. Nyuruh, Nyirih bunga
Meliaceae Minor
130
Xylocarpus moluccensis (Lam.) Roem. Nyirih batu
Meliaceae Minor
131
Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb. Nyirih (?)
Meliaceae Minor
132
Lampiran 3. Borang A.
(PERIKSA BUKU KERJA)
133
Lampiran 4. Borang B.
(PERIKSA BUKU KERJA)
134
Lampiran 5. Borang C.
(PERIKSA BUKU KERJA)
135
Lampiran 6. Borang D.
(PERIKSA BUKU KERJA)
136
Daftar Pustaka
AIMS. 2000. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of
Marine Science. www.aims.gov.au
Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 1 (strategy
and action plan). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry,
Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove
Foundation.
Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 2
(mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment,
Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and
The Mangrove Foundation.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen:
P.Noordhoff.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt
Marshes 2: 133-148.
Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo
Park: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc.
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian
subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems.
Amsterdam: Elsevier.
Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-New Guinea. In
Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam:
Elsevier.
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs (including an introduction to
fresh water aquatic vegetation). PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27.
Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia.
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Co.
Banks J.C.G. 2001. Trees and Forests. Melbourne: School of Resource Management and
Environmental Science, Department of Forestry, The Australian National University.
137
Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of guideline for scoping EIA in
Indonesia wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta:
Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau
Indonesia
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999. Sustainable Management
Models for Mangrove Forests. Jakarta: Ministry of Forest and Estate Crops.
Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia;
Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project,
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency.
Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in
South East Asia, with Special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The
Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore
Science Centre.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper
Collins College Publishers.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Co..
Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F.
and K. Soewardi (eds.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara
Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program,
Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-
Kollf.
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-137
Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of
Sustainable Mangrove Management Project.
Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.
Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water. New York: Academic
Press Inc.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and Bali. Singapore:
Periplus.
Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan hutan payau Cilacap.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional
LIPI.
138
Istilah mangrove digunakan
secara luas untuk menamai
tumbuhan yang dapat
beradaptasi dengan baik
pada ekosistem hutan tropis
dan subtropis pasang-surut,
meliputi pantai dangkal,
muara sungai, delta, rawa
belakang dan laguna. Kata
mangrove merupakan
perpaduan bahasa Melayu
manggi-manggi dan bahasa
Arab el-gurm menjadi
mang-gurm, keduanya
sama-sama berarti
Avicennia (api-api),
pelatinan nama Ibnu Sina,
seorang dokter Arab yang
banyak mengidentifikasi
manfaat obat tumbuhan
mangrove. Kata mangrove
dapat ditujukan untuk
menyebut spesies,
tumbuhan, hutan atau
komunitas.