You are on page 1of 28

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA PRE-EKLAMSIA/ EKLAMPSIA PADA IBU HAMIL DENGAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE 1 JANUARI 2005 31 DESEMBER 2005 Yayan Andriyani1, Burham Warsito2. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Di Indonesia Eklampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu, diagnosis dini Pre-eklampsia, yang merupakan tingkat pendahuluan Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan kematian ibu dan anak. Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Pre-eklampsia dan Eklampsia dengan bayi berat lahir rendah. Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif dan dilakukan terhadap seluruh ibu yang melahirkan dengan ruwayat pre-eklampsia/ eklampsia serta seluruh bayi dengan berat badan lahir rendah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama satu tahun mulai dari 1 januari sampai 31 Desember 2005. Dari hasil penelitian, kondisi ibu melahirkan dengan preeklampsia/ eklampsia yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 35 orang (35%). Sedangkan pada kondisi ibu melahirkan dengan non preeklampsia/eklampsia yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 9 orang (9%) Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p (signifikansi) sebesar 0,000 yang berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna kondisi ibu melahirkan terhadap berat bayi lahir. Kata kunci : pre-eklampsia, eklampsia, berat bayi lahir rendah

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Di Indonesia Eklampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu, diagnosis dini Pre-eklampsia, yang merupakan tingkat pendahuluan Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan kematian ibu dan anak (Prawirohardjo, 2002). Zuspan F. P (1978) dan Arulkumaran A. (1995) melaporkan angka kejadian preeklampsia didunia sebesar 0 - 13%. Di Singapura 0,13 6,6%, sedangkan di Indonesia 3,4 8,5%. Dari penelitian Soejoenoes di 12 Rumah Sakit rujukan pada 1980 dengan jumlah sampai 19,506, didapatkan kasus Pre-eklampsia 4,78%, kasus Eklampsia 0,51% dan angka kematian perinatal 10,88 per seribu. Penelitian yang dilakukan oleh Soejoenoes pada pada tahun 1983 di 12 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia, didapatkan kejadian Pre-eklampsia dan Eklampsia 5,30% dengan kematian perinatal 10,83 per seribu (4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan normal) (Sudhabrata, 2002). Frekuensi Pre-eklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah prigavida, keadaan sosial-ekonomi, perbedaan kriterium dalam penentuan diagnosis, dan lain-lain. Dalam kepustakaan frekuensia dilaporkan berkisar 3 10%. Di negara-negara sedang berkembang, frekuensi Eklampsia dilaporkan berkisar antara 0,3% - 0,7%, sedang di negaranegara maju, angka tersebut lebih kecil

yaitu 0,05% - 0,1% (Prawiroharjo, 2002). Pre-eklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama persalinan premature dan kematian perinatal. Anak yang dilahirkan oleh ibu penderita Preeklampsia mempunyai berat badan yang rendah sering malahan lahir mati dan mempunyai resiko tinggi mati pada periode neonatus (WHO, 1978). Menurut Soejoenoes (1985), resiko mendapatkan persalinan prematuritas pada ibi-ibu dengan Preeklampsia/eklampsia adalah 2,68 lebih banyak. Rata-rata umur kehamilan Preeklampsia yang dilahirkan di Rumah Sakit rujukan mencapai 38,55 2,65 minggu. Disamping ada kecenderungan untuk mendapatkan anak yang lebih kecil. Persalinan buatan pada ibu dengan Pre-eklampsia 4,39 di banding dengan ibu yang sehat. Angka kematian perinatal lebih tinggi pada Pre-eklampsia 3,8 4,7 kali dibanding dengan anak yang lahir sehat. Kenaikan kematian pada grup Pre-eklampsia (108,83/1000 persalinan) adalah 4,98 kali lebih besar yang disebabkan oleh tingginya angka Stillbirth 5,65 kali lebih besar pada ibuibu dengan Pre-eklampsia. Kematian perinatal bayi preterm adalah 6,97 lebih besar bila dibandingkan dengan bayi aterm dan pusterm, bila ibu menderita Pre-eklampsia angka ini meningkat menjadi 7,78 kali lebih tinggi. Dalam pelayanan obstetri, selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat Angka Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan. Namun, keberhasilan menurunkan AKM dinegara-negara maju saat

inimenganggap AKP merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Hal ini mengingat kesehatan dan keselamatan janin dalam rahim sangat tergantung pada keadaan keadaan serta kesempurnaan bekerjanya sistem dalam tubuh ibu, yang mempunyai funasi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudigah menjadi janin cukup bulan. Salah satu penyebab kematian perinatal adalah Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dari latar belakang diatas maka timbul suatu permasalahan, yaitu: 1. Pre-eklampsia dan Eklampsia merupakan masalah kesehatan ibu hamil yang cukup serius karena Indonesia termasuk negara berkembang yang insidensinya cukup banyak setiap tahun. 2. Pre-eklampsia dan Eklampsia banyak menyebabkan persalinan premature dan kematian perinatal. 3. Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti terjadinya preeklampsia dan eklampsia. Rumusan Masalah Permasalahan yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan Pre-Eklampsia dan

Eklampsia dengan bayi berat lahir rendah pada pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2005 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tujuan Khusus Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Pre-eklampsia dan Eklampsia dengan bayi berat lahir rendah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2000 2004. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi: 1. Ilmu Kodokteran Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan antara kejadian Pre eklampsieklampsi dengan berat bayi lahir rendah sehingga para tenaga medis terutama dokter mempunyai pengetahuan yang memadai untuk melakukan tindakan medis sehingga komplikasi yang lebih berat dapat dihindari. 2. Rumah Sakit Pihak rumah sakit dapat memperoleh informasi mengenai ada tidaknya hubungan antara Pre eklampsi-eklampsi dengan berat bayi lahir rendah di rumah sakit tersebut, sehingga dapat dilakukan tindak lanjut dan penanganan medis yang lebih baik lagi. 3. Peneliti Peneliti mendapatkan informasi mengenai hubungan antara Pre eklampsi eklampsi dengan berat bayi lahir rendah yang dapat digunakan sebagai

perbandingan dengan peneliti lain yang berkaitan dengan Pre eklampsi eklampsi dan berat bayi lahir rendah. 4. Umum dan Peneliti Lain Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagain bahan pembanding dan dapat dikembangkan lagi untuk penelitian-penelitian berikutnya terutama yang berhubungan dengan Pre eklampsieklampsi dan berat bayi lahir rendah. Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan peneliti, ada beberapa penelitian yang sejenis dilakukan oleh beberapa peneliti lain, antara lain: 1. Penelitian oleh Tri Widjaja dengan judul pengaruh Preeklampsia/eklam psia terhadap berat badan janin dan usia kehamilan waktu bayi dilahirkan di RSUP. Dr. SARDJITO tahun 1988 1991. yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tahun 1993. 2. Penelitian oleh Nurul Utami Handayani dengan judul keadaan klinis

dan berat badan lahir bayi dengan Pre eklampsi ringan, berat dan eklamsi pada kehamilan cukup bulan di RSUP. dr. Sardjito yogyakarta periode 1997 2000. yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tahun 2001.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Pre-Eklampsia/Eklampsia Pre-Eklampsia adalah kelainan pada ibu hamil dengan umur kehamilan lebih dari 24 minggu atau segera setelah persalinan terjadi ditandai dengan hipertensi, proteinuria, dan atau udema. Gejala ini timbul sebelum minggu ke-24 bila terjadi penyakit trofoblastis (Denis dkk., 1982; Prawirohardjo, 1986). Pre-Eklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi, proteinuria, dan udema (Mochtar R., 1998). The New England Jounal of Medicine menyebutkan bahwa Pre-Eklampsia ditunjukan dengan kenaikan tekanan darah paling tidak mencapai 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan. Peningkatan diastolik 15 mmHg dari tekanan darah sebelum 20 minggu kehamilan, atau peningkatan sistolik paling tidak 30 mmHg sebelum 20

minggu kehamilan yang disertai adanya proteinuria (exresi protein minimal 0,3 gr/24 jam) (Esplin, 2003). Istilah Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti halilintar. Kata tersebut dipakai seolah-olah gejalagejala Eklampsia timbul tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain (Prawirohardjo, 2002). Eklampsia adalah Pre-Eklampsia disertai kejang dan disusul koma, kejangnya bukan karena kelainan neulogik (Daryono, 1987). Kejadian Pre-Eklampsia/Eklampsia Pre-Eklampsia/Eklampsia seringkali terdapat pada primigravida, pada primigravida tua lebih sering menderita hipertensi kronika yang merupakan predisposisi akan timbulnya PreEklampsia, sedangkan pada primigravida muda merupakan kehamilan resiko tinggi, karena biasanya penderita jarang memeriksakan diri sehingga adanya kelainan dini tak dapat segera diketahui (Supono, 1985). Frekuensi Pre-Eklampsia/Eklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya: jumlah primigravida, keadaan sosial, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar antara 3 10% (Greenhill dan Friedman, 1978; Towsend, 1984). Kejadian Pre-Eklampsia kira-kira 5%, sedangkan kejadian berkisar antara 1:1000 1:1500 (Supono, 1985). Frekuensi rendah umumnya merupakan petunjuk adanya pengawasan antenatal yang baik: penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan

Pre-Eklampsia yang sempurna. Di negara-negara yang sedang berkembang, frekuensi dilaporkan 0,3 0,7% (Hardjito dan Martohoesodo cit Prawirohardjo, 1986), sedangkan pada negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05 0,1% (Clayton dkk cit Prawirohardjo, 1986). Eklampsia dapat dicegah dengan perawatan prenatal yang baik. Pre-Eklampsia/Eklampsia cenderung familier (Supono, 1985). Etiologi Pre-Eklampsia/Eklampsia Etiologi Pre-Eklampsia belum diketahui dengan pasti (Sastrawinata, 1976); Ralhimhad (1991); Redman (1984); Supono (1985), masih merupakan The Diseases of Theory (Reynolds dkk, 2003) Beberapa teori yang dianggap berkaitan dengan terjadinya PreEklampsia/Eklampsia antara lain (1) kerusakan sel endothelial, (2) fenomena rejeksi, (3) gangguan perfusi plasenta, (4) perubahan aktivitas vaskuler, (5) ketidakseimbangan antara protaksiklin dan tromboksan, (6) penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dengan retensi air dan garam, (7) penurunan udumentavaskuler, (8) peningkatan kejadian iritasi pada sistem syaraf pusat, (9) Disseminated intra vascular coagulation, (10) tegangan otot uterus (Iskemi), (11) faktor diet, (12) faktor genetik (Reynolds dkk, 2003). Teori yang banyak dikemukakan dewasa ini sebagai sebab Pre-Eklampsia ialah iskemia plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang bertalian

dengan penyakit ini (Rachimhadhi, 1991). Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) sebab bertambahnya frekuensi dan primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan molahidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi Eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinnuria, kejang, dan koma (Rachimhadhhi, 1991). Perubahan Anatomi - Patologik Perubahan histopatologik yang khas pada penderita Pre-Eklampsia/Eklampsia terjadi pada bayak organ. Perubahan tersebut berupa perdarahan, infark, nekrosis, trombosis serta penimbunan fibrin dalam pembuluh darah kecil. Spasmus pembuluh darah adalah dasar kejadian Pre-Eklampsia/Eklampsia (Rachimhadhi, 1991) Beberapa organ yang mengalami perubahan, misalnya: Plasenta. Pada Pre-Eklampsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan yang paling jelas pada Pre-Eklampsia /Eklampsia ialah atroti sinsitium sedangkan pada hipertensi kronis terutama perubahan pada dinding pembuluh darah dan stoma (Rachimhadhi, 1991). Ginjal. Besarnya dapat normal atau lebih besar, pada simpai ginjal kadang-kadang dapat ditemukan perdarahan-perdarahan kecil. Biopsy ginjal menunjukan

kelainan berupa hipertensi sel-sel jukta glomerulus, kelainan tubulus henle, spasmus darah ke glomerulus (Rachimhadhi, 1991). Hati. Besarnya normal, pada permulaan dan pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak teratur. Pemeriksaan mikroskopis menunjukan adanya perdarahan dan nekrosis pada tepi lobulus, disertai dengan trombosis pada pembuluh darah kecil terutama disekitar vena porta (Rachimhadhi, 1991). Otak. Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan (Rachimhadhi, 1991). Retina. Kelainan yang sering terjadi pada retina adalah spasmus pada arteriola, edema discus dan retina. Ablatio dapat juga terjadi tetapi komplikasi ini akan kembali kenormal lagi dalam beberapa minggu post partum (Rachimhadhi, 1991). Paru-paru. Organ ini menunjukan adanya edema dan perubahan karena bronchopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan adanya abses paru (Rachimhadhi, 1991). Jantung. Pada sebagian besar penderita yang mati karena Eklampsia, jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak, nekrosis serta perdarahan sub-endotelial (Rachimhadhi, 1991). Kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal dapat menunjukan kelainan berupa perdarahan dan nekrosis dalam berbagai tingkat (Rachimhadhi, 1991)

Patofisiologi Pre-Eklampsia dan Eklampsia Vasospasmus atau vasokonstriksi merupakan dasar dari patogenesis PreEklampsia/Eklampsia. Vasokonstriksi menimbulkan perifer dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi menimbulkan pula hipoksia pada endotel setempat dan terjadi kerusakan dan kebocoran arteriola endotel tersebut (Cunningham dkk., 1995). Angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel antar endotel, sehingga melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembekuan darah, seperti trambosit dan fibrinogen, tertimbun pada lapisan subbendotel (Cunningham dkk., 1995). Pada Pre-eklampsia terjadi penurunan volume plasma sebesar 30% sampai 40% dari kehamilan normal. Penurunan plasma ini menimbulkan hemokonsentrasi dan meningkatnya viskositas darah. Konsekuensi dari keadaan ini akan menimbulkan hipoperfusi jaringan. Sistema yang paling peka terhadap hipoperfusi jaringan yaitu unit fetoplasenta. Pada Pre-eklampsia perfusi fetoplasenta menurun 35% sampai 65%, yang berakibat oksigenasi janin menurun dan mengakibatkan pertumbuhan janin dalam rahim terhambat, bahkan bisa terjadi kematian janin dalam kandungan (Wallenburg, 1989). Mills, dkk (1999) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa dibandingkan dengan kehamilan yang normal pada kehamilan dengan Pre-eklampsia akan terjadi penurunan produksi prostasiklin

(PGI2) plasenta dan peningkatan tromboksan A2 (TXA2) yang signifikan. Prostasiklin mempunyai pengaruh menurunkan tekanan darah, mencegah agregasi platelet dan menaikkan aliran darah uterus, sebab prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat, inhibitor agregasi platelet dan inhibitor konstraksi uterus. Klasifikasi Pre-eklampsia/Eklampsia Pre-eklampsia Berat Disebut pre-eklampsia berat jika terdapat salah satu kelainan dibawah ini: a. Tekanan darah sistolik paling rendah 110 mmHg yang tidak turun dengan dirawat istirahat rebah. b. Proteinuria sedikitnya 5 gram dalam waktu 24 jam atau 3 atau 4 (+) pada pemeriksaan kualitatif. c. Oliguria: urine paling banyak 500 ml dalam 24 jam dan kadar kreatinin plasma meningkat. d. Udema pulmonum atau sianosis. e. Trombositopenia berat atau hemolisis intaravaskuler yang jelas. f. Kemunduran pertumbuhan fetus. g. Gangguan cerebral atau gangguan penglihatan menetap. Tekanan darah saja tidak selalu merupakan pre-eklampsia berat karena

pada wanita muda dengan tekanan darah 145/85 mmHg dapat timbul kejang, tetapi sebaliknya penderita dengan tekanan darah 180/120 mmHg kadangkadang tidak akan terjadi kejang. Pre-eklampsia Ringan Pre-eklampsia ringan jika tidak didapatkan kelainan dari kriteria pada pre-eklampsia berat. Eklampsia Awal Eklampsia awal ialah pre-eklampsia yang disertai dengan keluhan dibawah ini: a. Pusing sekali pada daerah frontal, kadang-kadang pada daerah oksipital yang tak dapat sembuh dengan pengobatan. b. Nyeri epigastrium atau kuadran atas sebagai akibat kapsula hepatis yang teregang karena perdarahan atau sebab sentral. c. Gangguan penglihatan yang disebabkan oleh spasmus arteriole, ischemia, udem dan kadang-kadang ablatio retina/sebab sentral. Eklampsia

Eklampsia ialah pre-eklampsia yang disertai kejang/koma yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologik, misalnya epilepsi. Hipertensi Kronik Diagnosa bersamaan dengan kehamilan, dibuat jika hipertensi telah ada sebelum penderita hamil, atau hipertensi telah ada sebelum kehamilan 20 minggu tanpa adanya neoplasma trofoblastik atau hipertensi telah ada setelah 6 minggu post partum. Hipertensi Kronik yang Diperberat oleh Pre-eklampsia (HKP) Bahaya yang paling sering dihadapi ibu yang sedang hamil dengan hipertensi kronika ialah timbulnya keadaan yang disebut hipertensi kronika yang diperberat oleh pre-eklampsia. Diagnosa dibuat jika tekanan darah mendadak meninggi atau sedikitnya tekanan diastolik naik 30 mmHg dan yang akhirnya disertai proteinuria yang bermakna dan biasanya dengan udema (Supono, 1985). Diagnosis Diagnosis dari kelainan hipertensi yang memperberat kehamilan ditunjukkan pada tabel 2, dibawah ini:

Tabel 2. Diagnosis kelainan hipertensi yang memperberat kehamilan Hipertensi pada masa kehamilan (gestasional) Tekanan darah 140/90 mmHg pada awal kehamilan Tidak terdapat proteinuria Tekanan darah kembali normal < 12 minggu postpartum Diagnosis akhir dibuat hanya pada saat postpartum Mungkin terdapat gejala Pre-eklampsia lain, seperti ketidaknyamanan epigastik dan trombositopenia Pre-eklampsia

Pre-eklampsia ringan (Kriteria Minimal) Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu masa kehamilan Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1 + dipstick Pre-eklampsia berat (Diagnosis Pasti) Tekanan darah 160/110 mm Hg Proteinuria 2,0 g/24 jam atau 2+ dipstick Eklampsia Kejang yang tidak disebabkan oleh penyakit lain pada wanita dengan preeklampsia Superimposed Pre-eklampsia (pada hipertensi kronik) Onset-baru proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita hipertensi tetapi terdapat proteinuria sebelum masa kehamilan 20 minggu Terjadi peningkatan secara tiba-tiba dari proteinuria atau tekanan darah atau platelet count < 100.000 /mm3 pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum masa kehamilan 20 minggu Hipertensi kronik Tekanan darah 140/90 mmHg sebelum hamil dan terdiagnosis sebelum masa kehamilan 20 minggu dan bertahan setelah 12 minggu postpartum Dikutip dari Cunningham dkk, 2001 Gambaran Klinis Pre-eklampsia Pre-eklampsia diketahui dengan kenaikan tekanan darah disertai proteinuria dan atau edema. Tiga tanda khas ini bukan hal yang penting, tetapi berdasarkan pengalaman tiga gejala inilah yang harus didefinisikan pertama

Kreatinin serum > 1,2 mg/dL kecuali diketahui adanya peningkatan pada pemeriksaan sebelumnya Platelet < 100.000 /mm3 Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH) Peningkatan ALT atau AST Sakit kepala menetap atai terjadi kelainan serebral ataupun visual lainnya Nyeri epigastrik menetap kali dan dapat diketahui dengan mudah di klinik (Redman, 1984). Hipertensi Hipertensi ialah keadaan dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal sebesar 30 mmHg (Skjaerven dkk, 2002). Dengan demikian kenaikan tekanan darah dari 105/70 mmHG menjadi 135/85 merupakan tanda peringatan akan adanya kelainan. Bila gejala ini didapatkan pada umur kehamilan kurang 24 minggu maka ini hanya merupakan suatu kehamilan biasa yang disertai dengan hipertensi esensial (Eastman dkk, 1996). Tekanan darah harus diukur paling sedikit 2 kali dengan selang waktu 6 jam (Cunningham dkk., 1995). Proteinuria Menurut hasil Chesley (1985) yang dikutip oleh Cunningham dkk (1995) bahwa pada wanita hamil dengan hipertensi. Harus terdapat proteinuria dengan kadar yang cukup agar diagnosis Pre-eklampsia/Eklampsia dapat dibuat secara akurat. Kadar protein dalam urin; melebihi 0,3 gram/liter atau melebihi 1 gram/liter dalam 2 kali pengambilan urin selang 6 jam, melebihi ++ (2 positif)

dalam pemeriksaan urin sembarang secara kualitatif (Daryono dkk.,1987). Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya lebih belakang dari pada kenaikan berat badan yang berlebihan (Cunningham dkk., 1995), karena itu harus dianggap sebagai tanda yang serius (Rachimhadhi, 1991). Edema Terjadi penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka (Rachimhadhi, 1991). Supono (1985) menyatakan, edema adalah timbunan cairan seluruh tubuh yang melebihi pitting edema satu (+) setelah istirahat rebah 12 jam atau tambahan berat badan 2,5 kg lebih perminggu. Kenaikan Berat Badan Peningkatan berat badan yang terjadi secara tiba-tiba dapat mendahului serangan Pre-eklampsia, dan bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama Pre-eklampsia pada sementara wanita. Tanda khas Preeklampsia adalah peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan, dan bukannya peningkatan secara merata selama kehamilan (Cunningham dkk., 1995). Gejala Subjektif Kelainan mulai dirasakan setelah muncul pada Pre-eklampsia tingkat lanjut. Gejala ini antara lain; nyeri kepala yang hebat, sakit pada epigastrium, gangguan penglihatan menjadi kabur atau kadangkadang menjadi buta yang sifatnya sementara (Sastrawinata dkk., 1976).

Eklampsia Eklampsia dapat dogolongkan menjadi Eklampsia antepartum, intrapartum dan postpartum. Biasanya Eklampsia paling sering timbul pada trimester terakhir kehamilan dan semakin sering terjadi ketika kehamilan mendekati usia aterm (Cunningham dkk., 1995). Kejang Eklampsia merupakan kelainan akut dengan karakteristik adanya klonik dan kejang tonik yang dalam beberapa hal disebabkan hipertensi karena kehamilan atau hipertensi yang bertambah berat karena kehamilan. Menurut Rachimhadhi (1991), kovulsi pada Eklampsia terbagi dalam 4 tingkat: 1. Tingkat awal atau aura Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan dan ke kiri (Rachimhadhi, 1991). 2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok kedalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadisianotik, lidah dapat tergigit (Rachimhadhi, 1991).

3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung antara 12 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianotis. Penderita menjadi tidak sadar. (Rachimhadhi, 1991). 4. Sekarang penderita memasuki tingkat koma. Lamanya kesadaran tidak selalu sama. Secara berlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga penderita tetap dalam koma (Rachimhadhi, 1991). Respirasi

Selama kejang, diafragma terfiksasi sehingga respirasi berhenti, penderita seperti meninggal, jika dapat diatasi penderita akan bernafas panjang dan dalam serta bersuara (mendengkur), setelah kejang respirasi naik (50 atau lebih/menit); hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap hiperkarbia karena asam laktat bertambah. Bila keadaan ini bertambah berat, akan terjadi sianosis, nadi menjadi lebih cepat dan lemah (Supono, 1985). Suhu badan Suhu 39, 5O atau lebih menunjukan suatu prognosa yang jelek, yang mungkin karena sebab sentral (Supono 1985). Diuresis Diuresi berkurang atau kadang-kadang tak ada. Hampir selalu terdapat proteinuria, yang sering kali berat. Jarang terdapat hemoglobinemia dan hemoglobinuria. (Supono, 1985). Edema Edema yang cukup berat dapat ditemukan pada semua wanita dengan Eklampsia, kerapkali edema terlihat dengan jelas, bahkan secara massif, namun dapat juga hanya samar-samar. Edema paru-paru, suatu tanda prognosis yang buruk dapat menyertai kejang Eklampsia (Cunningham dkk., 1995). Penanganan dan Pengobatan Pre-eklampsia Tujuan penanganan ialah: (1) Mencegah terjadinya Pre-eklampsia berat dan Eklampsia (2) Melahirkan janin hidup (3) Melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.

Pada dasarnya penanganan Preeklampsia terdiri atas pengobatan medis dan obstetri. Penanganan Pre-eklampsia Ringan Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi utama untuk penanganan Pre-Eklampsia. Istirahat dengan baring pada sisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal lebih banyak, tekanan vena pada ekstremitas bawah turun dan resorbsi cairan dari daerah tersebut bertambah, juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Penanganan Pre-eklampsia Berat Pada penderita yang masuk rumah sakit dengan tanda-tanda dan gejala Preeklampsia berat segera harus diberi sedativ yang kuat untuk mencegah kejang-kejang, apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut dapat diatasi, dapat dipikirkan cara terbaik menghentikan kehamilan. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan obat sebagai berikut: a. Larutan sulfas magnesikus 50% sebanyak 10 ml secara im sebagai dosis permulaan dan dapat diulang dengan 2 ml/4 jam.

Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan jika diuresis baik, reflek patella positif dan kecepatan pernafasan lebih dari 16 /menit. b. Lytic cocktail digunakan sebagai infus intra vena. Penanganan Eklampsia Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya serangan dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengancara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan. Tujuan pertama pengobatan Eklampsia ialah menghentikan kejangan, mengurangi vasospasmus dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu pertolongan yang perlu diberikan jika timbul kejangan ialah mempertahankan jalan pernafasan, mencegah tergigitnya lidah, pemberian oksigen dan menjaga agar penderita tak mengalami trauma. Beberapa obat yang dapat digunakan antara lain: a. Sodium pentothal Sangat berguna untuk menghentikan kejangan dengan segera. Karena obat ini

mengandung bahaya tak kecil, maka pemberian obat ini hanya dilakukan di rumah sakit dengan pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan resusitasi. Dosis yang diberikan sebanyak 0,2-0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan. b. Diazepam/vali um 40 mg dalam botol glukosa 10% sebanyak 500 ml diberikan secara infus intra vena dengan kecepatan 30 tetes/menit. Selanjutnya diteruskan setiap 2 jam sebanyak 10 mg dengan infus intra muskuler sampai tak ada kejangan. c. Sufas magnesikus, untuk mengurangi syaraf pusat pada hubungan neuro muskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan syaraf. Dosis initial

diberikan 10 g dalam larutan 50% secara intra muskuler selanjutnya tiap 6 jam 5 gram, dengan syarat dosis initial secara intra vena 2-4 g diikuti 1 g/jam dan selalu disediakan kalsium glukosa 1 g dalam 10 ml sebagai antidotum. d. Lytic cocktail terdiri atas 100 mg petidin, klorpromazin 100 mg dan prometazin 50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara intravena (Prawirohardj o, 1985). Berat Bayi Lahir Rendah Klasifikasi Berat Bayi Lahir Rendah Bayi berat lahir rendah adalah kelahiran dengan berat bayi kurang dari atau sama dengan 2500 gram. Menurut Budjang (1999) bayi berat badan lahir rendah dibagi menjadi 2

kategori menurut resiko tinggi:

kelompok

dengan

1. Bayi berat lahir rendah sekali Bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500 gram. 2. Bayi berat lahir sangat rendah sekali. Bayi dengan berat lahir kurang dari 100 gram kebanyakan dari bayi-bayi ini sangat premature yaitu 22 sampai 33 minggu gestasi (Campbell, 2001). Istilah prematur bayi sejak 1961 diganti WHO dengan Low Birth Weight Baby (bayi dengan berat lahir rendah = BBLR), karena tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Menurut Budjang (1999) hal tersebut disebabkan oleh faktor sebagai berikut: 1. Masa kehami lan kurang dari 37 mingg u dengan berat yang sesuai (masa kehami lan dihitun g dari hari pertam a haid terakhi

r dari haid yang teratur) . 2. Bayi Small for Gestati on Age (SGA). 3. Keduaduanya . Sedangkan menurut Pittard (1999) dengan menggunakan hubungan berat lahir dengan umur kehamilan, berat bayi lahir dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Bayi sesuai masa kehamilan (SMK). 2. Bayi kecil masa kehamilan (KMK). 3. Bayi besar masa kehamilan (BMK). Usher (1975, cit Budjang, 199) menggolongkan bayi prematur berdasarkan atas timbulnya problematika pada derajat prematuritasnya dalam 3 kelompok: 1. Bayi sangat prematur (bayi dengan masa gestasi 24-30 minggu).

2. Bayi prematur sedang (bayi dengan masa gestasi 31-36 minggu). 3. Bayi Borderline prematur (bayi dengan masa gestasi 37-38 minggu). Pada bayi kecil untuk masa kehamilan banyak istilah yang dipergunakan untuk menunjukan bahwa bayi KMK ini menderita gangguan pertumbuhan di dala uterus yaitu IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Ada dua bentuk IUGR menurut Renfels (1975 Cit Budjang, 199) yaitu: 1. P r o p o r t i o n a t e

lingkar kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang sebenarnya. 2. D i s p r o p o r t i o n a t e I U G R Terjadi akibat distress subakut, gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Panjang dan lingkar kepala normal akan tetapi tidak sesuai dengan masa gestasi. Angka Kejadian BBLR Angka kejadian BBLR di negara berkembang 4 kali lebih besar dibandingkan dengan negara maju, angka ini meningkat 6,6 kali pada kasus yang dilahirkan cukup bulan. WHO mengkonfirmasikan pada tahun 1982 kira-kira 127 juta bayi dilahirkan di dunia dengan sekitar 20 juta (16%)

I U G R Janin yang menderita distress yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulanbulan sebelum lahir. Berat, panjang dan

adalah BBLR dan sebagian besar lahir di negara berkembang (Karsono, 1998). Menurut Setyowati dkk (1996) angka kejadian BBLR di Indonesia bervariasi, yaitu: 14,6% di daerah pedesaan dan 17,5% di Rumah sakit. Dilaporkan juga bahwa dari hasil studi di 7 daerah multicenter pada tahun 1990 diperoleh angka BBLR dengan rentang antara 2,1% - 17,2% dan secara nasional berdasarkan analisis lanjut SDKI tahun 1991 didapatkan angka BBLR sekitar 7,5%. Tingginya angka kejadian BBLR juga mempengaruhi angka kematian perinatal. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan bayi yang lahir tidak cukup bulan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada kematian perinatal (Sugiarto, dkk, 1991). Hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang oleh Megadhana dan Suharsono (1997) menunjukan bahwa AKP tertinggi pada bayi lahir dengan berat badan lahir 1000 1499 gram sebesar 293,5. Sedangkan di RSUP Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto pada tahun 2000 oleh Iskandarsyah dkk (2001) melaporkan bahwa AKP tertinggi terjadi pada kelompok bayi berat lahir 1000 1499 (647,06). Prognosis Bayi Berat Lahir Rendah Menurut Budjang (1999) berat ringannya masalah perinatal sangat mempengaruhi prognosis BBLR, contohnya: sindroma gangguan pernafasan, perdarahan intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, asfiksia atau iskemia otak, retrolental fibroplasia, infeksi, gangguan metabolik (asidosis, hipoglikemia, hiperbilirubenemia).

Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan, persalinan dan post natal (pengaturan suhu lingkungan, resuitasi, makanan, mencegah infeksi, Mengatasi gangguan pernafasan, asfiksia, hiperbilirubin, hipoglikemia, dan lainlain). Masa gestasi juga sangat mempengaruhi kejadian kematian seperti diungkapkan oleh Rangkuti dkk (1980) yang menyatakan bahwa makin muda gestasi dan makin rendah berat badan lahir, makin tinggi pula angka kematiannya. Problematika yang sering terjadi pada bayi prematur adalah asfiksia yang disebabkan karena kontrol mekanisme pernafasan dalam otak belum matur dan kurangnya surfaktan paru-paru yang menyebabkan kolapsnya alveoli sehingga terjadi respiratory distress syndrome (RDS). Selain itu juga pada bayi BBLR kurang masa kehamilan terdapat hiperbilirubinemia dan faktorfaktor pembekuan darah turun karena sel-sel hepar belum mature. Efek lainnya adalah kemampuan absorpsi makanan dan minuman berkurang, ginjal immatur sehingga mengakibatkan uremia, ketidakmampuan pengendalian suhu tubuh, imunitas rendah sehingga mudah terjadi infeksi, perdarahan intrakranial karena trauma lahir atau adanya hipoksia atau anoksia (Sofoewan dan Pranoto, 1985). Bayi-bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dari ibu melahirkan yang berusia muda biasanya disertai dengan kelainan kongenital, cacat fisik dan cacat mental termasuk epilepsi, retardasi mental, kebutaan dan tuli sebagai manifestasi dari malnutrisi yang

berujung pada otaknya yang kurang sempurna selama dalam kandungan. Meskipun bayi-bayi ini dapat berhasil hidup tetapi akan menimbulkan masalahmasalah yang lebih besar pada pertumbuhannya, dimana kemungkinan besar akan mengalami perkembangan yang terhambat atau tidak optimal, termasuk cacat karena prospek pembinaanfisik dan psikososial yang kurang memadai dan mencukupi disamping membutuhkan biaya perawatan yang tinggi (Setyowati, dkk, 1996). Faktor Resiko BBLR Faktor resiko yang memperbesar rresiko bayi dengan berat badan lahir rendah adalah: 1. Status sosial ekonomi yang rendah Hariadi (1998) mengungkapkan bahwa keadaan sosial ekonomi yang rendah menyebabkan nilai gizi ibu hamil juga rendah dan berpengaruh negatif pada janin. Diungkapkan juga oleh Sugiarto dkk (1991) bahwa kebanyakan dari kejadian BBLR disebabkan tingkat gizi yang rendah. 2. Tingkat pendidikan ibu yang rendah Pendidikan ibu mencerminkan keadaan sosial ekonomi keluarga. Ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah biasanya kurang menyadari pentingnya perawatan pra kelahiran. Disamping itu juga mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan pelayanan antenatal yang adekuat, keterbatasan mengkonsumsi makanan yang bergizi selama

kehamilannya dan mempunyai resiko melahirkan bayi BBLRlebih besar. Ibu dengan tingkat pendidikan tidak sekolah dan berpendidikan SD kebawah mempunyai resiko melahiran bayi BBLR 1,29 kali dibandingkan ibu yang berpendidikan SMU keatas (Setyowati, dkk, 1996). 3. Karakteristik ibu Menurut Rangkuti dkk (1980) bayi lahir dengan berat badan rendah dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor tinggi dan berat badan ibu terutama golongan sosial rendah. 4. Komplikasi kehamilan Penyakit menahun pada ibu, hipertensi, preeklamsi, ancaman abortus pada ibu terutama pada ibu hamil muda dan pendarahan antepartum beresiko tinggi terhadap kejadian BBLR (Rangkuti, dkk, 1980). Sedangkan menurut Wiknjosastro (1999) ada beberapa kondisi medis dan kondisi ibu yang mendorong terjadinya persalinan preterm sehingga dapat mengakibatkan kelahiran BBLR yaitu hipertensi, perkembangan janin terhambat, solusio plasenta, kelainan rhesus dan diabetes. Persalinan preterm ini dapat dipicu juga oleh kondisi ibu yang menimbulkan kontraksi seperti kelainan baewaan uterus, ketuban pecah dini, serviks inkompeten dan kehamilan ganda. 5. Umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun Setyowati dkk (1996) membuktikan bahwa vibu berusia < 20 tahun

mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR sebesar 1,28 kali dibandingkan ibu berusia 20-34 tahun. Sedangkan penelitian olehSugiarto dkk (1991) membuktikan bahwa ada hubungan yanmg cukup kuat antara usia ibu pada waktu melahirkan (<20 tahun dan 35 tahun dibandingkan dengan usia 20-34 tahun) dengan kejadian BBLR. Pada ibu melahirkan berusia < 20 tahun perkembangan biologis dan psikologisnya belum optimal. Pada umur tersebut sistem reproduksi wanita belum siap menanggung beban kehamilan yang berat dan beresiko tinggi untuk melahirkan bayi BBLR. 6. Kehamilan diluar perkawinan Kehamilan diusia remaja baik yang kebanyakan terjadi di luar pernikahan merupakan kehamilan resiko tinggi dan berpotensi melahirkan bayi dengan berat lahir kurang dari normal (Widijanti, dkk, 1997). 7. Gangguan gizi dan anemia dalam kehamilan Ibu dengan anemia mempunyai resiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) 1,3 lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia (Setyowireni dkk, 1999). Penelitian lain oleh Hassan dkk (1985) menyebutkan bahwa nutrisi ibu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian bayi BBLR. 8. Riwayat kehamilan dan persalinan dengan

komplokasi medis dan obstetri Setyowati dkk (1996) melaporkan bahwa ibu dengan riwayat keguguran atau lahir mati pada kehamilan sebelumnya mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR sebesar 1,38 kali dibandingkan ibu dengan riwayat tidak pernah keguguran atau lahir mati. Sedangkan Monintja (1999) menyatakan bahwa kehamilan dengan riwayat kesehatan ibu yang tidak adekuat atau tidak dinilai berisiko terhadap kejadian BBLR. 9. Ibu yang merokok, peminum alkohol dan pengguna narkotika Ibu perokok berisiko tinggi terhadap kanker serviks dan bayi BBLR, karena ibu perokok dalam getah serviks dan serumnya mengandung bahan-bahan yang ada di dalam rokok seperti nikotin dan kotinin. Kadar yang tinggi dalam getah serviks akibat dari nikotin ini menyebabkan immunitas serviks menurun sehingga rentan terhadap virus (pappiloma) yang dapat menyebabkan kanker serviks da n infeksi pada janin sehingga berisiko menghasilkan bayi BBLR (College of Human Ecology, 2001). Ibu hamil yang merokok dan peminum alkohol berisiko lebih beasr untuk menghasilkan bayi BBLR (budjang, 1999) Landasan Teori Sampai saat ini belum diketahui secara pasti teori yang dapat menjelaskan teori yang dapat

menjelaskan bagaimana pre-eklampsia / eklampsia dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah. Namun, beberapa teori telah dikemukakan untuk menjelaskan proses hubungan pre-eklampsia/ eklampsia dengan berat bayi baru lahir. Umur kehamilan dan berat badan lahir erat hubunganya dengan proses maturasi janin. Maturasi janin berguna untuk mempersiapkan janin dalam menghadapi masa transisi dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstra uterin. Berat badan lahir bayi sendiri bukan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan kejadian primitua akan tetapi karena berat badan lahir dapat dipakai sebagai salah satu indikator untuk menilai morbiditas dan mortalitas bayi di samping nilai apgar, dan kelainan bawaan. Berat badan lahir rendah lebih erat kaitannya dengan prematuritas. ( alisjahbana, 1997 )

Pre-eklampsia /eklampsia dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan anak. Komplikasi pada ibu dapat berupa perdarahan otak yang merupakan penyebab utama kematian ibu, penglihatan menjadi kabur atau buta yang bersifat sementara, hipofibrinomia, dan pada ginjal terjadi kelainan glomerulus serta pembengkakaan sel epitel tubulus uriniferus. Akibat pada anak dapat berupa kematian perinatal yang umumnya karena insufisiensi placenta kronik sehingga perkembangan janin terhambat dan kelahiran yang belum saatnya. ( Wightman dkk, 1978 ) Pre-eklampsia / eklampsia merupakan penyebab utama persalinan premature dan kematian perinatal. Anak yang dilahirkan oleh ibu penderita preeklampsi mempunyai berat badan yang rendah. Sering malahan lahir mati dan mempunyai resiko tinggi mati pada penderita neonatus. (WHO ,1978 )

II.3 Kerangka Konsep


Pre-eklampsia/ eklampsia Umur ibu Paritas Usia kehamilan

Diabetes melitus Solutio placenta Kelainan rhesus Perokok Anemia Riwayat abortus Status gizi

BBLR

Keterangan : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Konsep

Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : Ada hubungan pre- eklampsi / eklampsi pada ibu hamil dengan berat bayi lahir rendah. Pertanyaan penelitian Apakah pre-eklampsia / eklampsia, umur ibu, paritas, dan usia kehamilan ibu dapat mempengaruhi terjadinya BBLR ? METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan secara retrospektif yang bertujuan untuk mencari hubungan antara dua variabel yang ditetapkan. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh ibu yang melahirkan dengan ruwayat pre-eklampsia/ eklampsia serta seluruh bayi dengan berat badan lahir rendah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama satu tahun mulai dari 1 januari sampai 31 Desember 2005. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah semua ibu yang melahirkan dengan riwayat preeklampsia / eklampsia dengan BBLR. Variabel Penelitian Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara penderita preeklampsia / eklampsia dengan BBLR adalah :

a. Variabel bebas Faktor resiko terjadinya BBLR yaitu : pre-eklampsia / eklampsia, umur ibu, paritas, dan usia kehamilan ibu. b. Variabel terikat : BBLR c. Variabel luar : DM, solutio placenta, kelainan rhesus, perokok, status gizi ibu, dan ibu dengan riwayat abortus Definisi Operasional 1. Kelompok pre-eklampsia Pasien pada kelompok ini dengan ciri ciri : a. Tekanan darah : 140 170 / 90 110 mmHg ; atau meningkat 30 / 15 mmHg b. Proteinnuria : kurang dari 5 gr / lt / 24 jam c. Volume urin : lebih dari 500 ml / 24 jam d. Edema : general tapi belum ada edema pulmoner atau anasarka 2. Kelompok eklampsia Pasien pada kelompok ini memiliki ciri ciri : Ada gejala pre-eklampsia ( hipertensi, edema, dan atau proteinnuria ) diikuti dengan kejang dan atau koma. 3. BBLR BBLR ditentukan dengan penimbangan bayi setelah kelahiran di kamar bersalin yaitu bayi yang berat lahirnya 2500 gram atau kurang. 4. Umur ibu Umur saat melahirkan dikelompokan menjadi < 20 tahun, 20 35 tahun dan > 35 tahun

5. Paritas Paritas adalah jumlah melahirkan bayi yang di alami oleh ibu. 6. Usia kehamilan Usia kehamilan adalah usia kehamilan saat ibu melahirkan. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang di gunakan adalah pengumpulan data sekunder melalui rekam medis dari pasien dengan riwayat pre-eklampsia dan eklampsia dan bayi lahir dengan BBLR di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dari tanggal 1 januari 2005 sampai 31 desember 2005 Metode Analisis Data Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah: 1. Analisis Univariat Vatiabel-variabel ditabulasikan dalam bentuk tabel, untuk mendapatkan gambaran distribusi dari variabelvariabel yang akan dianalisis 2. Analisis Bivariat Analisa ini digunakan untuk menguji kemaknaan perbedaan dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung 3. Analisis Multivariat Analisa ini digunakan untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan mengendalikan pengaruh variabel luar secara bersama-sama. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara endometriosis dengan infertilitas dilakukan Uji Chi Kuadrat

Rumus Chi kuadrat: (f o f h ) X2 (db) = fh Dimana: fo : Frekuensi yang diamati dari sampel fh : Frekuensi yang diharapkan db : (b-1) (k-1) : (jumlah baris -1) (jumlah kolom-1) Perhitungan Resiko Relatif (RR) pada penelitian ini dengan menggunakan Rasio Prevalensi (RP). Rasio Prevalensi (RP) menggambarkan prevalensi dari suatu penyakit dalam populasi yang berkaitan dengan faktor resiko yang dipelajari atau yang tumbuh sebagai akibat faktor resiko tertentu.

BAGAN UJI RASIO PREVALENSI BBLR P E / E C D + + A B

Kekuatan hubungan ini dicerminkan oleh Rasio Prevalensi (RP) yang diformulasikan dengan rumus A C : RP = A+B C+D A : Pasien penderita preeklampsia / eklampsia dengan BBLR B : Pasien penderita preeklampsia / eklampsia dengan BBLC C : Pasien tidak mennderita preeklampsia / eklampsia dengan BBLR D : Pasien tidak mennderita preeklampsia / eklampsia dengan BBLC Bila Resiko Relativnya lebih besar dari 1, maka pre-eklampsia / eklampsia benar-benar sebagai faktor resiko untuk terjadinya BBLR. Bila Resiko Relativnya sama dengan 1, maka pre-eklampsia / eklampsia tidak berpengaruh sebagai faktor resiko terhadap BBLR. Bila Resiko Relativnya lebih kecil dari 1, maka pre-eklampsia / eklampsia justru sebagai faktor resiko yang menghambat terjadinya BBLR.

Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan dan hambatan antara lain : 1. Data yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medis rumah sakit yang ditulis oleh banyak orang sehingga validitas penelitian sulit ditetapkan. 2. Beberapa data yang didapatkan dari catatan medis pasien kurang lengkap dan tidak jelas penulisannya sehingga dapat mempengaruhi reliabilitas penelitian. 3. Peneliti merupakan peneliti pemula, dengan pengetahuan yang dimiliki masih terbatas dan daya analisa yang tidak setajam peneliti yang telah biasa melakukan penelitian, sehingga hasil penelitian ini kurang sempurna. Jalannya Penelitian Pelaksanaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penyusunan proposal penelitian selama 4 minggu. 2. Pengurusan surat izin penelitian dari Fakultas Kedokteran UMY kemudian ke direktur utama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selanjutnya ke bidang diklat dan membawa surat pengantar ke sub bagian rekam medis untuk selanjutnya melakukan pengumpulan data sesuai dengan variabel penelitian. 3. Pengumpulan data dilakukan di ruangan khusus rekam medis yang disediakan untuk peneliti.

Pengumpulan data dilakukan selama 5 minggu. 4. Setelah data dikumpulkan, kemudian ditabulasi dan dianalisis dalam bentuk tabel dan naskah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan jumlah persalinan pada tahun 2005 sebanyak 2065 persalinan. Dalam penelitian ini

digunakan data (sebagai populasi penelitian) sebanyak 100 responden dengan rincian 47 pre-eklampsia / eklampsia dan 53 non pre-eklampsia / eklampsia. Hasil Penelitian Analisis Univariat Responden dalam penelitian ini adalah ibu dan anak yang telah melahirkan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Karakteristik meliputi karakteristik responden berdasarkan berat bayi lahir, kondisi ibu melahirkan, umur ibu, status paritas dan responden berdasarkan usia kehamilan.

Tabel 1 Gambaran Responden Berdasarkan Kondisi Ibu di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode 1 Januari-31 Desember 2005 Kondisi Ibu Jumlah Prosentase (%) Preeklampsia/Eklampsia 47 2,3 Non Preeklampsia/Eklampsia 2018 97,7 Jumlah 2065 100 Berdasarkan hasil penelitian, kondisi kasus (2,3%) dan non preeklampsia/ ibu dengan status eklampsia sebanyak 2018 kasus preeklampsia/eklampsia sebanyak 47 (97,7%). Tabel 2 Gambaran Responden Berdasarkan Berat Bayi Lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode 1 Januari-31 Desember 2005 Berat Bayi Lahir Jumlah Prosentase (%) BBLR 106 5,1 BBLC 1959 94,9 Jumlah 2065 100 Berdasarkan hasil penelitian, ibu melahirkan dengan status berat bayi lahir rendah (BBLR) sebanyak 106 kasus (5,1%) dan berat bayi lahir cukup (BBLC) sebanyak 1959 kasus (94,9%).

Tabel 3 Gambaran responden berdasarkan umur ibu di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Umur Ibu Jumlah Prosentase < 20 tahun 5 5 20 35 tahun 70 70 > 35 tahun 25 25 Jumlah 100 100 Dari data hasil penelitian, umur ibu < 20 tahun sebanyak 5 kasus (5%), umur ibu 20-35 tahun sebanyak 70 kasus (70%) dan umur ibu > 35 tahun sebanyak 25 kasus (25%).

Tabel 4 Gambaran responden berdasarkan status paritas di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Status Paritas Jumlah Prosentase Primigravida 53 53 Multigravida 47 47 Jumlah 100 100 Dari tabel di atas, status paritas ibu dengan status paritas primigravida sebanyak 53 kasus (53%) dan multigravida (47%). sebanyak 47 kasus

Tabel 5 Gambaran responden berdasarkan usia kehamilan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Usia Kehamilan Jumlah Prosentase < 37 minggu 20 20 37 40 minggu 76 76 > 40 minggu 4 4 Jumlah 100 100 Dari data hasil penelitian, usia kehamilan ibu < 37 minggu sebanyak 20 kasus (20%), 37-40 minggu sebanyak 76 kasus (76%) dan usia kehamilan > 40 minggu sebanyak 4 kasus (4%).

Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang saling berkaitan. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara kondisi ibu melahirkan, umur ibu, status paritas dan usia kehamilan terhadap terjadinya berat bayi lahir

Tabel 6 Hubungan kondisi ibu dengan berat bayi lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Berat Bayi Lahir Kondisi ibu melahirkan Jumlah BBLR BBLC 35 12 47 Preeklampsia/eklampsia 1,7% 0,6% 2,3% 71 1947 2018 Non Preeklampsia/eklampsia 3,4% 94,3% 97,7% 106 1958 2065 Jumlah 5,1% 94,9% 100% 2 X = 474,789 df = 1 p = 0,000 (p < 0,05) Dari hasil penelitian, kondisi ibu melahirkan dengan preeklampsia/ eklampsia yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 35 orang (1,7%). Sedangkan pada kondisi ibu melahirkan dengan non preeklampsia/eklampsia yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 71 orang (5,1%) Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p (signifikansi) sebesar 0,000 yang berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna kondisi ibu melahirkan terhadap berat bayi lahir.

Tabel 7 Hubungan umur ibu dengan berat bayi lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Berat Bayi Lahir Umur Ibu BBLR BBLC 4 1 <20 tahun 4% 1% 32 38 20-35 tahun 32% 39% 8 17 >35 tahun 8% 17% Jumlah 44 56

Jumlah 5 5% 70 70% 25 25% 100

44% 56% X2 = 4,174 df = 2 p = 0,124 (p> 0,05) Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa umur ibu <20 tahun dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 1 orang (1%). Sedangkan pada umur ibu 20-35 tahun melahirkan dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 38 orang (38%)

100%

Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p (signifikansi) sebesar 0,124 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna umur ibu melahirkan terhadap berat bayi lahir.

Tabel 8 Hubungan status paritas dengan berat bayi lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Berat Bayi Lahir Status Paritas BBLR BBLC 28 25 Primigravida 28% 25% 16 31 Multigravida 16% 31% 44 56 Jumlah 44% 56% X2 = 3,568 df = 1 p = 0,059 (p> 0,05) Berdasarkan hasil penelitian, ibu primigravida dengan berat bayi lahir rendah sebanyak 28 orang (28%). Sedangkan pada ibu multigravida dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 31 orang (31%)

Jumlah 53 53% 47 47% 100 100%

Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p (signifikansi) sebesar 0,059 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna status paritas ibu terhadap berat bayi lahir.

Tabel 9 Hubungan usia kehamilan dengan berat bayi lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Berat Bayi Lahir Usia Kehamilan Jumlah BBLR BBLC 17 3 20 <37 minggu 17% 3% 20% 27 49 76 37-40 minggu 27% 49% 76% 4 4 >40 minggu 0 4% 4% Jumlah 44 56 100

44% 56% X2 = 19,002 df = 2 p = 0,000 (p< 0,05) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa usia kehamilan < 37 minggu yang mempunyai berat bayi lahir cukup sebanyak 3 orang (3%). Sedangkan pada usia kehamilan 37-40 minggu dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 49 orang (49%) Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p (signifikansi) sebesar 0,000 yang berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna usia kehamilan terhadap berat bayi lahir. PEMBAHASAN Untuk mengetahui hubungan antara kondisi ibu melahirkan, umur ibu, status paritas dan usia kehamilan terhadap terjadinya berat bayi lahir digunakan uji statistik chi square. Dari hasil penelitian, kondisi ibu melahirkan dengan preeklampsi/eklampsi yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 35 orang (1,7%) sedangkan kondisi non preeklampsia/eklampsia yang mempunyai berat bayi lahir rendah sebanyak 71 orang (3,4%). Setelah dilakukan uji statistik chi square diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna kondisi ibu pre eklampsia/eklampsia melahirkan terhadap berat bayi lahir. Wightman dkk (1978) menyatakan bahwa preeklampsia/eklampsia akan menyebabkan perkembangan janin dalam uterus terhambat. Ditandai dengan berat badan bayi lahir kurang dari 10 percent berat badan yang harus dicapai pada usia tersebut.

100%

Dari 100 sampel yang diambil secara random, umur ibu <20 tahun dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 1 orang (1%) dan pada umur ibu 20-35 tahun melahirkan dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 38 orang (38%). Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p = 0,124 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna umur ibu melahirkan terhadap berat bayi lahir. Umur ibu dalam penelitian ini sebagai karakteristik responden saja yang pada umumnya tidak mempengaruhi berat bayi lahir. Pada ibu primigravida dengan berat bayi lahir rendah sebanyak 28 orang (28%) dan pada ibu multigravida dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 31 orang (31%) dari 100 sampel yang diambil secara random. Setelah dilakukan uji statistik chi square diperoleh nilai p = 0,059 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna status paritas ibu terhadap berat bayi lahir. Status paritas ibu dalam penelitian ini sebagai karakteristik responden saja yang pada umumnya tidak mempengaruhi berat bayi lahir. Pada penentuan karakteristik berdasarkan usia kehamilan, dari 100 sampel yang diambil secara random diperoleh bahwa usia kehamilan <37 minggu yang mempunyai berat bayi lahir cukup sebanyak 3 orang (3%) dan pada usia kehamilan 37-40 minggu dengan berat bayi lahir cukup sebanyak 49 orang (49%). Dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,005) yang berarti bahwa ada

pengaruh yang bermakna usia kehamilan terhadap berat bayi lahir. Semakin pendek masa kehamilan, semakin kecil berat badan lahir, sehingga banyak persoalan yang timbul dan kematian juga semakin tinggi (Soefwan, 1983). Umur kehamilan dan berat badan lahir erat hubungannya dengan proses maturasi janin. Maturasi janin berguna untuk mempersiapkan janin dalam menghadapi masa transisi dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstra uterin. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan pada analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh yang bermakna kondisi ibu preeklampsia/eklampsia terhadap berat bayi lahir. 2. Tidak ada pengaruh yang bermakna umur ibu melahirkan terhadap berat bayi lahir. 3. Tidak ada pengaruh yang bermakna status paritas ibu terhadap berat bayi lahir. 4. Ada pengaruh yang bermakna usia kehamilan terhadap berat bayi lahir. Bayi lahir dengan berat badan rendah untuk masa

kehamilan kurang akan meningkat jika sejak awal kehamilan seorang ibu masih menderita preeklampsi/eklampsi dan tidak ditangani secara efektif. Saran 1. Perlunya penyuluhan bagi ibu hamil dan calon ibu untuk meningkatkan kesadaran ibu pada waktu hamil agar selalu memeriksakan kehamilannya secara teratur. 2. Sebagai instansi yang terkait sebaiknya rumah sakit atau puskesmas perlu melakukan pemberian pendidikan dan penyuluhan untuk meningkatkan keterampilan kader kesehatan agar dapat mengenali preeklampsia/eklampsia sedini mungkin. 3. Pencatatan rekam medis di kamar bersalin sebaiknya dilakukan lebih lengkap dan jelas. 4. Untuk memperoleh hasil analisis yang lebih baik diperlukan penelitian lebih lanjut dan penelitian secara prospektif dengan lingkup yang lebih luas.

You might also like