You are on page 1of 1

Kronologi (1947-1948)

Pasca-proklamasi kemerdekaan, Indonesia mendapat pengakuan secara de facto, diantaranya dari Inggris (31 Maret 1947) dan AS (23 April 1947). Persetujuan Linggarjati yang diparaf sejak 15 November 1946 dan baru ditandatangani 25 Maret 1947 terbukti telah membuka keran pengakuan internasional. Bulan April 1947, Soetan Sjahsam tiba di New York sebagai komisioner perdagangan Indonesia. Bulan Juli 1947, Sumitro Djojohadikusumo, Thambu, dan Soedjatmoko Mangoendiningrat tiba di New York untuk menjadi Perwakilan Tetap RI untuk Amerika Serikat dan PBB. Namun perjuangan mendapatkan pengakuan internasional demi mempertahankan kemerdekaan dari Belanda, yang ingin berkuasa kembali, belum selesai.

PERUNDINGAN RENVILLE
8 Desember 1947
Tempat
Geladak kapal U.S.S. Renville

Delegasi Indonesia
Amir Sjarifuddin (ketua), Ali Sastroamidjojo (wakil, PNI), Sukiman Wirjosandjojo (wakil, Masyumi), dr. Tjoa Siek Ien, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Mr. Nasrun, dr. J. Leimena, Kol. T.B. Simatupang Pihak Republik setuju dengan proposal Pesan Natal dari Komisi Jasa Baik (KJB): gencatan senjata di sepanjang garis Van Mook; ditariknya pasukan Belanda dari wilayah yang diserang pada bulan Juli 1947; dipulihkannya pemerintahan Republik di wilayah-wilayah tersebut.

1947

21 Juli
Agresi Militer Belanda I. Belanda menyerang Jakarta, Surabaya, Padang, dsb. Ibu kota RI pindah ke Yogyakarta.

28 Juli
India dan Australia (30 Juli) mengirim permintaan resmi kepada Dewan Keamanan (DK) PBB agar membahas masalah Indonesia. Delegasi Australia mengutip Bab VII Piagam PBB tentang pelanggaran perdamaian. Belanda mengatakan ini adalah jurisdiksi domestik, tetapi PBB menolak argumen tsb. Dengan demikian, masalah ini adalah masalah antara dua pihak yang masing-masing memiliki status internasional.

Delegasi Belanda
R. Abdulkadir Widjojoatmodjo (ketua), Mr. H.A.L. Van Vreedenburg (wakil), Dr. P.J. Koets, Mr. Ch. R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adji Pangeran Kertanegara, Mr. Masjarie, Thio Thian Tjiong, Mr. A.H. Ophuyzen, A. Th. Band Pihak Belanda mengajukan 12 kontra-proposal: menuntut diadakannya pemungutan suara yang bebas; menolak usulan gencatan senjata dan menekan Indonesia agar menyerahkan wilayah-wilayah yang telah direbut dalam Agresi Militer I tanpa syarat; menginginkan RI berada di bawah suatu federasi (menjadi salah satu negara bagian) bernama Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Ratu Belanda.

1 Agustus
DK PBB memerintahkan gencatan senjata, yang berlaku mulai 4 Agustus 1947.

14 Agustus
Sutan Sjahrir berbicara masalah Indonesia dalam forum DK PBB. Sjahrir mendapat kesempatan berbicara tanggal 14, 19, dan 25 Agustus 1947.

8 Desember
Perundingan Renville di atas geladak kapal angkutan pasukan milik AS bernama U.S.S. Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Komisi Jasa Baik atau Good Offices Committee mengajukan proposal Pesan Natal.

Delegasi Komisi Jasa Baik


Richard Kirby (Australia, pilihan dari Republik Indonesia), Paul van Zeeland (Belgia, pilihan Belanda), Dr. Frank Graham (mediator Amerika Serikat) Graham membawa kepentingan AS bahwa Hindia Belanda sentral untuk penyuplai makanan & komoditas lain demi memulihkan krisis Eropa. Di Eropa, Belanda pendukung kuat kebijakan AS. Pengaruh Graham yang kuat membuat KJB setuju menerima 12 kontraproposal Belanda, ditambah 6 prinsip tambahan. Kepada RI, Graham berkata, You are what you are.

26 Desember

1948

23 Januari
Amir Sjarifuddin mundur dari kursi perdana menteri RI.

19 Desember
Agresi Militer Belanda II. Belanda menyerang lebih dalam wilayah RI dan menangkap para pemimpin RI di Yogyakarta.

Hasil Perundingan
Renville kental dengan pendekatan great power. Meski wilayah de facto makin sempit, RI berhasil: (1) mempertahankan eksistensi sebagai negara yang merdeka; (2) menunjukkan semangat perdamaian kepada masyarakat internasional. Dari sisi kebijakan AS & Belanda, hal-hal yang mempengaruhi adalah potensi kekayaan alam RI yang melimpah untuk Program Pemulihan Eropa.

Pasca-Renville
PNI & Masyumi menuntut PM Amir Sjarifuddin mundur, dan digantikan Kabinet Hatta dengan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim. Hatta memperkenalkan prinsip non-blok dalam sidang KNIP, menolak merevisi strategi diplomasi, & mengharap bantuan AS untuk mencapai tujuan politik RI. 35.000 pasukan TNI ditarik dari Jabar & Jatim. Belanda melakukan blokade ekonomi & blokade komunikasi, serta membuat negara-negara boneka untuk adu domba.
Sumber: Baskara T. Wardaya, Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, (Yogyakarta: Galang Press, 2008), hal. 54-60; Departemen Luar Negeri, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Periode 1945-1950, (Jakarta: Deplu RI, 1995), hal. 257-273; Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1986), hal. 23-28.
Arief Bakhtiar D.

You might also like