You are on page 1of 10

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG Pada zaman yang sudah dianggap sangat modern ini kita sebagai masyarakat yang berpendidikan harus memberikan pengertian yang lebih jelas pada gizi penyakit tertentu, karena dengan mengetahuinya gizi yang diperlukan akan mempermudah proses pemulihan dan penyembuhan dari penyakit yang dirasakan, namun dengan tidak mengertinya kita dalam hal ini akan sangat memperburuk dan merugikan semua pihak, karena akan berakibat fatal bagi kita semua. Penyakit yang kita rasakan tidak berujung dengan pemulihan malah menjadi semakin parah, dan apabila kita tahu betul kita akan memberikan bantuan pemenuhan gizi yang betul.

1.2 TUJUAN Apabila kita menguasai masalah gizi pada penyakit hati, akan mempermudah kita memenuhi kebutuhan gizi pada penyakit tersebut, dan mempermudah pula dalam proses penyembuhannya, kita tidak terlalu mengambang dalam memikirkan jalan untuk mencari penyembuhannya, kita juga bisa memperkecil resiko dalam memperbaiki asupan gizinya

BAB II ISI

Hati sebagai salah satu organ tubuh yang vital mempunyai fungsi yang penting dalam metabolisme gizi dan fungsi detoksikasi yang diperlukan untuk menjaga keadaan tubuh.Penyakit hati dapat mengganggu proses metabolisme tersebut yang dapat memberikan dampak yang kurang baik. Sebaliknya keadaan kekurangan gizi atau kelebihan gizi atau pengobatan serta manipulasi lain dapat mengganggu hati. Perlu sekali kita memonitor keadaan gizi pada pasien penyakit hati karena gangguan gizi dapat memperberat morbiditas serta memperburuk prognosis dari penyakit hati. Hati mempunyai banyak sekali fungsi baik dalam metabolisme maupun dalam detoksikasi dan akan terpengaruh oleh beratnya penyakit hati sendiri. Selain itu kebutuhan dan toleransi terhadap beberapa komponen gizi mungkin akan berubah pada pasien dengan gangguan hati dan saluran empedu. Gangguan Gizi Terhadap Hati Unsur gizi ternyata dapat menimbulkan gangguan pada hati. Keadaan kwashiorkor dengan perlemakan dan sedikit fibrosis pada hati akan timbul dalam keadaan kekurangan protein tetapi dengan kalori cukup dari lemak dan hidrat arang pada anak-anak. Pada keadaan ini ditemukan hepatomegali dan gangguan perkembangan terutama terjadi pada anak, yang dapat disertai edema.

Pada keadaan malnutrisi protein dan kalori atau disebut protein calori malnutrition (PCM) dapat terjadi pula gangguan pertumbuhan tetapi tanpa hepatomegali dan tidak ditemukan pembesaran hati, histologinya tidak spesifik. Dengan memperbaiki asupan protein dan kalori yang cukup, kelainan pada hati tersebut akan hilang. Tidak dijumpai sirosis yang sebenarnya pada keadaan tersebut. Sedangkan pemberian kalori yang berlebihan sampai menimbulkan steatosis mungkin menimbulkan gangguan pada hati.

Keadaan Gizi pada Penyakit Hati

Kekurangan gizi dapat timbul pada seorang dengan penyakit hati serta dapat mempengaruhi beberapa fungsi hati, memperberat gangguan hati dan mungkin mempengaruhi prognosis. Perubahan status gizi perlu dinilai, di samping itu mungkin diperlukan pengarahan dan dukungan gizi pada seorang dengan gangguan hati. Pembatasan gizi diperlukan pula pada keadaan komplikasi penyakit hati umpamanya pada keadaan retensi cairan, pada hepatitis fulminan atau pada gagal hati yang lanjut.

Untuk itu perlu penilaian status gizi. Tujuannya adalah pertama untuk mengetahui pasien dalam keadaan risiko, kedua mencatat akibat perkembangan penyakit terhadap keadaan gizi dan ketiga memantau perbaikan akibat pengobatan dan intervensi gizi.

Dalam penilaian status gizi perlu dicatat mengenai perubahan berat badan, serta adanya gejalagejala seperti anoreksia, muntah, frekuensi dan bentuk defekasi dan lain-lain.

Pada penyakit hati sering ditemukan keadaan malnutrisi dan tergantung kepada cara pemeriksaannya dapat berkisar antara 10-80% dengan rincian dengan tingkat yang ringan 2060%, 20-40% tingkat sedang, dan 10-25% tingkat yang lanjut. Secara umum ditemukan bahwa keadaan malnutrisi lebih berat pada tingkat penyakit yang lebih lanjut. Tidak jelas kaitan antara penyebab penyakit dengan tingkat malnutrisi.

Pasien penyakit hati kronis dengan keadaan malnutrisi yang sedang atau berat cenderung mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi, albumin yang lebih rendah, dan masa protrombin yang lebih panjang. Golongan ini cenderung mempunyai asites yang lebih sulit diatasi, sering mendapat infeksi yang berulang dan mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi.

Pengaruh keadaan gizi terhadap perjalanan penyakit hati kronis mungkin dikaitkan pula dengan

adanya retensi cairan, varises esofagus, atau komplikasi lain. Keadaan malnutrisi juga dikaitkan dengan seringnya timbul komplikasi pasca-operasi dan kematian.

Penanggulangan Gizi pada Penyakit Hati

Pasien penyakit hati sering mendapat nasihat mengenai penanggulangan gizinya yang kurang tepat seperti pemberian kalori tinggi dan rendah protein pada pasien hepatitis tanpa berkomplikasi yang dapat menimbulkan kekurangan protein dan gangguan gizi. Pasien dengan ikterus harus memakan makanan yang rendah lemak sampai tanpa lemak sama sekali, yang mungkin tidak menimbulkan nafsu makan dan pada jangka panjang dapat menimbulkan kekurangan vitamin yang larut lemak dan asam lemak yang esensial.

Umumnya gizi untuk penyakit hati haruslah mengandung kalori yang cukup disertai protein, vitamin, mineral yang memadai dengan mempertimbangkan balans nitrogen yang positif, dan memperbaiki keadaan defisiensi yang ditemukan.

Keadaan anoreksia, mual dan pembesaran abdomen mungkin mengganggu untuk ambilan yang cukup. Pada tahap pertama dicoba untuk memberikan makanan lebih sering dengan jumlah yang lebih kecil, dapat sampai 4-6 kali pemberian dalam 24 jam. Bila belum memadai mungkin diperlukan makanan tambahan yang dapat berupa larutan mengandung 1-1,5 Kkal/ml.

Tingkat lebih lanjut adalah memberi makanan secara enteral dan varises esofagus ternyata tidak merupakan kontraindikasi untuk memasang tabung nasogastrik. Bila diperlukan sekali diberikan bantuan gizi secara parenteral. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian parenteral adalah mengenai jumlah dan waktu pemberian unsur gizi tersebut untuk mendapat hasil yang baik. Umpamanya pada sintesis protein diperlukan beberapa jenis asam amino untuk diberikan bersama-sama dan ada beberapa jenis asam amino yang jadi esensial untuk diberikan seperti sistein dan tirosin yang dalam keadaan normal dibuat oleh hati dari metionin dan fenilalanin yang pada keadaan penyakit hati tidak dapat diolah karena gangguan faal hati dan selain itu

karena gangguan pembentukan ureum mungkin asam amino seperti glisin, prolin, dan lain-lain akan menumpuk dalam darah. Pertimbangan juga harus menyangkut jumlah cairan yang dapat diberikan. Adakalanya tidak dapat lebih dari 1 liter/24 jam. Pada pemberian parenteral dapat dipertimbangkan pula penggunaan emulsi lemak, yang ternyata tidak mengganggu hati seperti diperkirakan sebelumnya.

Obat-obat yang dapat mengganggu absorbsi atau penggunaan nutrisi juga perlu diperhatikan seperti neomisin dan kolestiramin dapat mengganggu absorbsi lemak, vitamin, dan mineral. Dpenisilamin mengganggu penggunaan piridoksin dan memperbesar ekskresi seng dan tembaga dalam urin. Pemberian diuretik meninggikan ekskresi beberapa mineral dalam urin.Dalam keadaan tertentu mungkin diperlukan pemberian tambahan vitamin. Pada penyakit-penyakit tertentu mungkin diperlukan perhatian khusus.

Pada hepatitis akut yang menjadi kendala adalah anoreksia, mual, dan muntah. Cara yang dapat menolong adalah makanan dengan porsi yang kecil dan frekuensi lebih sering. Bila mungkin diberikan protein dan kalori yang tinggi umpamanya 2000-3000 Kkal dengan protein lebih kurang 1,5 g/kgBB dalam 24 jam.

Pemberian cairan perlu hati-hati pada hepatitis yang berat karena kadang-kadang terjadi gangguan kemampuan ekskresi air.

Pada hepatitis fulminan mungkin ditemukan hipoglikemia yang berat dan kehilangan nitrogen akibat respons endokrin karena nekrosis sel hati yang berat. Bila perlu diberikan larutan glukosa 10-20% untuk mencapai lebih kurang 100 gram dalam 24 jam dan disertai pemberian asam amino bersama-sama glukosa untuk mencegah katabolisme sampai 3 gram asam amino dan 5 gram glukosa setiap jam. Dapat dipertimbangkan pemberian larutan lemak sebagai tambahan.

Pada hepatitis kronis sebenarnya kebutuhan protein meningkat dapat mencapai 1,2 gr/kgBB/hari dan dalam keadaan gagal hati sebagian memerlukan kalori lebih tinggi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai penelitian mengenai nutrisi dan sirosis hati adalah sebagai berikut.

1.

Pasien dapat toleransi protein tinggi dan kalori tinggi dalam makanannya tanpa eksaserbasi

dari status ensefalopati, azotemia, atau retensi cairan

2.

Tinggi protein dan tinggi kalori dapat memperbaiki balans nitrogen

3.

Dapat memperbaiki status gizi pada sirosis yang stabil dengan pemberian lebih dari 50-60

gram protein dalam sehari

4.

Pemberian nutrisi yang cukup tidak dengan sendirinya memperbaiki survival rate

Untuk keadaan sirosis stabil diperlukan 25-30 Kkal/kgBB dengan 1-1,2 g/kg BB protein dalam 24 jam dan pada keadaan malnutrisi dan gagal hati diberikan 35-40 Kkal/kgBB kalori nonprotein bersama 1,5 gram/kgBB protein dalam sehari. Diberikan dalam jumlah kecil dan seringkali dan sedapat mungkin nutrisi diberikan secara oral atau enteral.

Pada keadaan ensefalopati upaya ditujukan untuk mencegah pembentukan dan absorbsi dari toksin yang dibentuk dalam usus terutama amonia. Pada ensefalopati perlu diperhatikan bahwa pada pemberian protein yang berlebihan dapat memperberat ensefalopati, terutama pada kelompok dengan shunt porto-systemic yang besar. Pada beberapa percobaan ternyata bahwa pemberian protein bersama-sama dengan laktulosa atau antibiotik yang tidak diserap dapat menambah kemampuan untuk memperbaiki gizi di samping mengatasi keadaan ensefalopati.

Kecenderungan peninggian AAA (asam amino aromatik) pada pasien dengan sirosis hati dapat diatasi dengan pemberian nutrisi yang banyak mengandung AARC (asam amino rantai cabang) dengan demikian mencegah berulang timbulnya ensefalopati. Pada beberapa penelitian di Jakarta pemberian AARC pada pasien sirosis hati dapat memperbaiki fungsi hati dalam hal pembentukan albumin dan CHE serta juga memperbaiki nilai psikometrik pasien. Pemberian AARC mungkin

dapat dilakukan untuk memperbaiki gizi pada sirosis hati dengan malnutrisi dan gagal hati yang tidak dapat mentoleransi protein biasa.

Dalam hal toleransi ternyata pasien dengan ensefalopati lebih toleran terhadap pemberian protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan daripada yang berasal dari hewan. Hal ini mungkin dikaitkan dengan efeknya terhadap fungsi usus besar yaitu pemendekan waktu transit, peninggian pH intraluminal usus, dan merangsang pertumbuhan mikroba serta peninggian ekskresi amonia dalam feses.

Pasien penyakit hati mempunyai kecenderungan untuk retensi cairan yang dihubungkan dengan gangguan fungsi ginjal, perubahan sirkulasi sistemik, gangguan sistem vasokontriksi, dan gangguan sistem anti-natriuretik. Keadaan ini ditimbulkan oleh retensi garam dan air di ginjal. Dengan demikian akan terjadi peningkatan jumlah natrium tubuh walaupun dalam keadaan hiponatremia oleh dilusi. Dalam hal ini perlu pertimbangan untuk mengatur pemberian cairan dan natrium, tetapi terutama untuk natrium.

Pada pemberian diuretik pemberian natrium dapat dikurangi hingga sampai 60-80 mmol dalam sehari. Pemberian lebih rendah dari jumlah tersebut umumnya tidak dapat dimakan dan dapat berakibat menurunnya asupan energi dan protein. Natrium juga dapat diperoleh dari sumber lain seperti dari obat-obatan.

Mengenai pembatasan cairan mungkin hanya diperlukan sementara karena belum ada bukti bahwa pembatasan cairan benar-benar bermanfaat. Untuk sementara pembatasan cairan dapat dilakukan pada keadaan retensi cairan dengan hiponatremia yang berat.

Pada gangguan yang disertai kolestasis perlu pertimbangan apakah obstruksinya akut atau kronik.

Pada keadaan obstruksi akut mungkin terjadi steatorea tetapi tidak banyak mengganggu absorbsi lemak. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gangguan absorbsi vitamin yang larut lemak. Tindakan operasi memerlukan tambahan vitamin K parenteral.

Pada kolestasis yang kronik umpamanya sirosis bilier, sclerosing cholangitis, atau atresia bilier dapat timbul intoleransi lemak. Sehingga perlu mengurangi jumlah lemak dan menambah hidrat arang. Bila lemak terlalu rendah, makanan tidak dapat dimakan. Diperlukan tambahan vitamin A dan D. Pada anak-anak vitamin E, oral atau parenteral. Masa protrombin perlu diamati. Tambahan kalsium diperlukan baik pada anak maupun orang dewasa.

Pemberian MCT (medium chain triglyceride) dapat meninggikan absorbsi kalsium.

Mengenai diet hati yang masih digunakan sekarang di rumah-rumah sakit mungkin perlu dievaluasi kembali. Pada diet hati ada pertimbangan mengenai jumlah kalori dan susunan protein yaitu dari diet hati I sampai diet hati IV jumlah kalori dari 1025 sampai 2554 Kkal/hari dengan protein dari hampir tidak ada sampai jumlah 90 g/24 jam dengan rata-rata jumlah lemak mencapai 25%. Tentang diet untuk penyakit kandung empedu dan saluran empedu masih digunakan diet rendah lemak I sampai rendah lemak III dengan maksimum pemberian 20% lemak.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Penilaian gizi pada penyakit hati perlu memperhatikan 3 faktor, yaitu seringnya ditemukan keadaan kurang gizi, status penyakit hati yang dapat dihubungkan dengan status gizi yang dinilai dan pengaruh unsur gizi terhadap hati. Keadaan gangguan gizi pada penyakit hati terutama yang kronis berkisar antara 10-80%. Pada keadaan gizi yang jelek biasanya ditemukan tingkat penyakit hati yang lebih lanjut dan cenderung ada komplikasi seperti bilirubin yang tinggi, asites, dan mudah terkena infeksi. Karena keadaan malnutrisi perlu dipertimbangkan pemberian tinggi kalori bersama-sama dengan unsur gizi lain yang memadai.

Gizi pada orang sehat umumnya mengandung hidrat arang sampai 50-60% lemak sampai 30% dan sisanya 10-20% adalah protein. Toleransi gizi pada penyakit hati perlu dipertimbangkan, yaitu asupan protein yang rendah untuk sementara pada ensefalopatihepatik, toleransi lemak yang menurun pada keadaan kolestasis, dan pembatasan natrium pada retensi cairan tubuh.

Tidak jelas hubungan antara gangguan gizi dengan penyebab penyakit hati.

Dengan pengertian gizi pada penyakit hati diharapkan agar manipulasi unsur gizi bersama-sama dengan upaya penanggulangan lainnya untuk memperoleh hasil penanggulangan penyakit hati yang lebih baik dengan mengurangi morbiditas dan memperkecil mortalitas.

Diet hati yang masih dipakai sekarang agaknya masih dapat digunakan, sedang pembatasan lemak untuk gangguan saluran empedu mungkin perlu disesuaikan dengan toleransi pasien.

Daftar Pustaka

1.

Morgan, M.Y. Nutritional aspects of liver and biliary disease. In: Bircher J, Benhamou JP, Mc Intyre N, Rizetto M, Rodes J, editors. Oxford textbook of clinical hepatology, oxford medical publications. 2nd ed. Oxford: 1999. p. 1923-82.

2.

Daldiyono, Butar-Butar J, Lanny Ch.Salim, Tambunan V, Soemarno A. Peranan

pemberian nutrisi enteral asam amino rantai cabang (AARC) pada penderita sirosis hati di RS. ST. Carolus Jakarta. Diajukan pada Simposium Terapi Nutrisi pada Sirosis Hepatis, Semarang 7 Desember 1996.

3.

Aknar N, Gani RA, Budihusodo U, Lesmana LA, Zulhanif, Sulaiman A, Noer S.

Efektifitas suplementasi asam amino rantai cabang enteral pada pasien sirosis hati. Diajukan pada Simposium Nasional Hepatitis dan Konferensi Kerja Nasional PPHI-PGI-PEGI, Mataram 25-28 Juni 1998.

4.

Plauth M, Merli M, Kondrup J, Weimann A, Ferenci P, Muller M.J. ESPEN guidelines for nutrition in liver disease and tranplantation. Clinical Nutrition (1997) 16: 43-55.

5.

Yoshida T, Muto Y, Moriwaki H, Yamamoto N. Effect of long-term oral supplementation

with branched-chain amino acid granules on the prognosis of liver cirrhosis. Gastroenterologia Japonica 24;6: 692-8.

6. Penuntun Diit. Bagian Gizi RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Persatuan Ahli Gizi Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta; 1990.

You might also like