You are on page 1of 12

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Layang Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat

permukaan laut (pelagis), berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut: Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Sub ordo Famili Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Percomorphi : Percoidea : Carangidae : Decapterus : Decapterus spp.

Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, ratarata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan

ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan layang ( Decapterus spp). Ikan layang termasuk ikan pelagis dan dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil berdasarkan ukurannya. Di perairan Indonesia, terdapat lima jenis (spesies)

ikan layang, yaitu Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus kurroides, Decapterus tabl dan Decapterus maruadsi (Burhanudin et al. 1983). Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Ambon, dan Laut Jawa (Suyedi 2001). Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari, ikan pelagis kecil berada di dasar perairan yang membentuk gerombolan yang padat dan kompak sedangkan pada malam hari ikan ini naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001). Ikan layang merupakan ikan perenang cepat yang hidup berkelompok di laut yang jernih dan bersalinitas tinggi. Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi yaitu 32 (Hariati 2005). Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar antara 10-20%, juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging. Pada saat ikan mengalami post-mortem, akan cepat mengalami glikolisis membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan turun secara cepat, mencapai pH 5,6 (Shimizu et al. 1992; Noguchi 1992). Pada umumnya, komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%; protein 15-24%; lemak 0,1-22%; karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2% (Suzuki 1981). Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung Matsumoto dan

spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) dalam 100 g Parameter Kadar Air (% ) Kadar Abu (% ) Lemak ( % ) Protein ( % ) TVB (mg N/100g ) pH
Sumber: Chairita (2008)

Ikan Layang 78,58 1,03 1,90 18,13 9,79 5,98

2.2 Tepung Ikan Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan (Ilyas 2003). Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik,

umumnya berwarna cokelat yang diperoleh setelah melalui proses pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Produksi pembuatan tepung ikan dalam jumlah yang besar menurut FAO PBB yaitu hampir 90% digunakan

sebagai konsumsi makanan manusia (Green 2010). Tepung ikan memiliki kadar air tidak lebih dari 4% ( BPOM 2006). Produksi tepung ikan di Indonesia mencapai 57.010 ton dengan nilai ekspornya adalah sebesar 39.945 ton (BPS 2011). Tepung ikan mengandung nilai gizi yang tinggi terutama kandungan protein yang kaya akan asam amino

esensial, yaitu lisin dan metionin. Tahap pembuatan tepung ikan teri untuk bahan pangan seperti terlihat pada Gambar 2. Ikan Teri

Sortasi

Pengeringan

Pemasakan

Penggilingan

Penggilingan basah

Tepung ikan Segar

Pengeringan

Penggilingan kering

Tepung ikan Gambar 2 Bagan alir pembuatan tepung ikan teri untuk pangan (Dullah et al. 1985).

2.3 Mutu tepung Ikan Tepung ikan dengan mutu yang tinggi mempunyai tekstur tepung ikan halus, bebas benda asing dan serangga, baunya khas tepung ikan, berwarna coklat kekuningan khas tepung ikan. Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu bahan baku yang digunakan, metode pengolahan serta cara dan lama penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat

meningkatkan kualitas dan rendemen tepung yang dihasilkannya sehingga dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009). Proses pembuatan tepung ikan menggunakan metode konvensional, yaitu persiapan bahan baku, pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penganginanginan. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kesegaran bahan mentah yang diolah dan juga teknologi pengolahannya (Annafi 2009). Pengolahan tepung ikan pada dasarnya adalah perubahan bentuk dari ikan utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan (Mulki 2005), sedangkan teknologi pengolahannya dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah. Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. Tepung ikan yang bermutu harus

mempunyai komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan Zat gizi Air Lemak Protein Abu Serat Calcium (Ca) Fosfor NaCL
Sumber: BSN (1996)

Kandungan (%) 10-12 8-12 45-65 20-30 1,5-3 2,5-7,0 1,6-4,7 2-4

Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung

lemak (Ilyas 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

2.4 Singkong Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ) merupakan sumber utama kalori di daerah tropis dan biasanya terdapat pada daerah dataran tinggi. Menurut Oluwole et al. (2007), singkong merupakan sumber utama kalori di daerah tropis yang dapat diproses menjadi beberapa makanan dan mengandung senyawa sianogen. Singkong dikelompokkan menjadi singkong yang agak manis dan singkong yang agak pahit sehingga memerlukan pemrosesan yang lebih ekstensif sebelum dikonsumsi (Fregene et al. 2003; Manu-Aduening et al. 2005). Menurut AgborEgbe dan Lape Mbome (2006) serta Aloys (2006), umbi singkong dapat diproses menjadi beberapa makanan. Tanaman singkong memiliki banyak kelebihan, yakni (a) dapat tumbuh pada kondisi yang kurang baik dan iklim yang ekstrim, seperti tanah masam, (b) mampu berproduksi pada tanah yang subur tetapi tetap menghasilkan pada tanah yang kurang atau tidak subur, (c) rentang panen yang panjang, yakni antara 10 hingga 30 bulan, (d) merupakan makanan pokok terbesar dunia setelah gandum, beras dan jagung, (e) sumber terbesar karbohidrat, (f) sekitar 500 juta orang bergantung padanya dan (g) memiliki umbi manis dan pahit (Laswai et al. 2006; Vessia 2008). Tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku pati (tapioka) harus memiliki kandungan protein rendah, viskositas (kekentalan) pati tinggi, kandungan pati tinggi, dan kandungan serat rendah. Secara tradisional, ubi kayu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai makanan pokok seperti halnya beras dan jagung. Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan nomor tiga di Indonesia setelah padi dan jagung sekaligus sumber kalori pangan termurah dan cukup ketersediaannya. Ubi kayu di

Indonesia terutama digunakan untuk bahan pangan (58%), bahan baku industri (28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%) dan pakan (2%) (DKU 2004). Umbi ubikayu dari setiap jenis dan cara pengolahan umbi sangat berpengaruh terhadap komposisi kimianya. Kandungan gizi ubi kayu, gaplek dan tepung tapioka yang

10

dibandingkan dengan beras dan terigu serta tepung ubi kayu untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2 dan standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu Zat Makanan Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbihidrat (g) Zat Kapur (mg) Phospor (mg) Zat Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Thiamine (mg) Vitamin C (mg) Singkong Beras Giling Gaplek 154,00 1,00 0,30 36,80 33,00 40,00 1,10 0,06 20,00 30,00 360,00 6,80 0,70 78,90 6,00 140,00 0,80 0 0 0,12 338,00 1,50 0,70 81,30 80,00 60,00 1,90 0 0 0 Tapioka 363,00 1,10 0,50 83,20 89,00 125,00 1,00 0 0,40 0 Terigu 365,00 8,90 1,30 77,30 16,00 106,00 1,20 0,12 0 0,12

Sumber : Dir. Gizi Depkes diacu dalam DKU (2004)

Tabel 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992 Uraian Keadaan: Bau Rasa Warna Benda-benda asing Derajat putih Abu Air Derajat Asam Asam sianida Kehalusan Pati
Sumber: (DKU 2004)

Satuan

Persyaratan Khas ubi kayu Khas ubi kayu Putih Tidak boleh ada Min . 85 Maks. 1.5 Maks. 12 Maks 3 Maks. 40 Min. 90 Min. 75

%,b/b BaSO4 = 100 %0 %, bb %, bb Ml N NaOH/100g mg/Kg % %,

2.5 Enbal Enbal (dalam bahasa daerah Kei) merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Daerah Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Enbal terbuat dari bahan ubi kayu yang telah diparut dan diperas untuk

11

mengeluarkan air dari patinya yang kemudian disebut enbal gepe, lalu diayak untuk mendapatkan tepung enbal. Bagi masyarakat Maluku Tenggara, enbal memiliki arti penting dan strategis. Enbal dijadikan makanan pokok sekaligus sebagai media keakraban dan persaudaraan. Suasana seperti itu semakin terasa pada saat datang dari rantau, niaga maupun setelah menyelesaikan pendidikan. Enbal dijadikan makanan

utama mengalahkan jenis makanan pokok lainnya (beras dan jagung) atau sebagai bekal perjalanan dan buah tangan untuk sesama masyarakat Maluku Tenggara (Tual). Proses pengolahan enbal secara tradisional disajikan pada Gambar 3.

Singkong segar

Pemarutan Tangan

Pengepresan dengan papan penjepit

Enbal mentah

Pengayakan

Penepungan

Tepung enbal Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional. (komunikasi pribadi). 2.6 Pengeringan Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya menggunakan energi panas.

12

Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu, dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008). Tujuan pengeringan pada suatu bahan pangan di antaranya adalah untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air (aw), mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, yaitu aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009). Proses pengeringan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum pemanasan (preheating period), tahap kecepatan pengeringan konstan (constant drying-rate period) dan tahap penurunan kecepatan pengeringan (decreasing drying-rate period). Tahap pertama, air bebas dan terikat masih berada dalam bahan dengan tidak mengalami perubahan. Pada tahap kedua, air bebas berada di permukaan bahan, suhu bahan tetap konstan dan sebanding dengan suhu basah pada udara panas. Semua panas yang diterima oleh bahan digunakan untuk proses Pada tahap ketiga, tidak ada air bebas pada permukaan bahan,

penguapan.

penguapan telah terjadi di seluruh bagian permukaan sehingga terjadi penurunan kecepatan pengeringan sampai akhir waktu pengeringan yaitu saat terjadi kesetimbangan kadar air (Masuda et al. 2006). Menurut Brooker et al. (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain: 1) Suhu udara pengering Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh

terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya

pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan. 2) Kelembaban relatif udara pengering Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama.

13

Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang terjadi karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada udara dengan RH yang tinggi. 3) Kecepatan udara pengering Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada permukaan bahan sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan. 4) Kadar air bahan Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air pada bahan yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat basah dan pada saat kering. Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering (artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial

drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarno dan Fardiaz 1973).

2.7 Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan Pengeringan dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan lainnya walaupun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan

14

yang akan dikeringkan. Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-

reaksi browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Reaksi browning nonenzimatik yang sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi (Muchtadi 2008). Pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi namun sejumlah vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno dan Fardiaz 1973). Menurut hasil penelitian Chukwu (2009), jika

dibandingkan dengan bahan baku, ikan jenis tilapia yang telah dikeringkan mengalami penurunan persentase kadar air, sedangkan persentase kadar protein, lemak, vitamin A, potassium, serta fosfor mengalami kenaikan. Jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Case hardening juga dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadinya pengumpulan protein pada permukaan bahan karena adanya panas atau terbentuknya dekstrin dari pati yang dikeringkan (Winarno dan Fardiaz 1973). Pemanasan yang berlebih pada proses pemasakan produk seafood kering dapat mengakibatkan hilangnya asam amino yang tidak stabil terhadap panas (Pan 1988 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Suatu tipe pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas produk akhir. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier dan kuartener dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan perubahan sekuen asam amino pada struktur protein (Kusnandar 2010).

2.8 Umur Simpan Pengembangan teknologi pengolahan, pengemasan dan metode lain untuk mengukur dan meramalkan masa simpan produk makanan sangat penting dan

15

strategis. Semakin tinggi masa simpan produk makanan, semakin jauh jangkauan pemasarannya sehingga makin ekonomis. Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu produk olahan yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun

menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya akibat mekanis contoh vibrasi, kompresi, dan abrasi (Arpah 2001). Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian diterapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS) (Floros dan Gnanasekharan 1993). Metode ESS sering juga disebut sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang

memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan. Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, mengeplotkan kadar air tersebut pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis produk. Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis ditarik garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk (Herawati 2008). Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan

menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan ( Arpah dan Syarief 2000). Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan (Herawati 2008), yaitu: 1) Pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa.

16

2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu menggunakan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan. Analisis penurunan mutu dengan metode akselerasi memerlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik atau uji mikrobiologi seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. biasanya ketengikan. Untuk produk berlemak, parameternya

Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam

kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud cair, bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, tidak semua parameter yang diuji melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat yang mempengaruhi konsumen (Syarief dan Halid 1993). Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan, yaitu suhu, kelembaban, kandungan

oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya disebut sebagai deteriorasi (Arpah 2001). Produk pangan mengalam deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi. Reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari lingkungan (Arpah 2001). Hal ini akan meyebabkan

perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi maupun mikrobiologis. Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).

You might also like