You are on page 1of 7

BENTUK USAHA TETAP

I. Pajak Penghasilan 1. Berdasarkan undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan Bentuk Usaha Tetap diatur dalam pasal 2 ayat (3) huruf c. dimasukkan dalam golongan Subyek Pajak dalam negeri. Pengertian Bentuk Usaha Tetap yaitu: bentuk usaha yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia oleh badan untuk menjalankan kegiatan usaha secaraa teratur di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau bertempat kedukdukan di Indonesia. Karena dimasukkan sebagai subyek pajak dalam negeeri maka pengenaan pajak penghasilanya adalah atas seluruh penghasilan yang diperoleh di Indonesia maupun di luar Indonesia. Perlu diketahui dalam hal ini, bahwa yang dapat mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia tidak saja yang berbentuk suatau badan usaha, tetapi setiap perushaan termasuk perusahaan yang bersifat peerseorangan yang tidak bertempat tinggal di Indonesia pun dapat mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Sebagai perkembangan pengertian Bentuk Usaha Tetap dijumpai: 1. berdasarkan undang-undang no. 10 tahun 1004 tentang perubahan kedua atas undangundang pajak penghasilan 1984, ternyata Bentuk Usaha Tetap di ubah, tidak lagi sebagai kelompok/golongan subyek pajak luar negeri. 2. berdasarkan undang-undang no.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga undangundang pajak penghasilan 1984, subyek pajak Bentuk Usaha Tetap statusnya masih sama dengan undang-undang No.10 Tahun 1994 yang berlaku samapai sekarang, yakni pembuat undang-undang mengembalikan kepada dasar legalitasnya, karena Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai kepanjangan tangan atau sarana memperoleh penghasilan usaha di Indonesia dari subjyek pajak luar negeri. II. Pengertian Bentuk Usaha Tetap 1. pengertian Bentuk Usaha Tetap sesuai dengan undang-undang no. 17 tahun 2000 tengtang pajak penghasilan. Berdasakan pasal 2 ayat (5) undang-undang PPh tahun 2000, Bentuk Usaha Tetap diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa: 1. 2. 3. 4. 5. tempat kedudukan manajemen cabang perusahaan kantor perwakilan gedung kantor pabrik

6. bengkel 7. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan. 8. Perikanan, perternakan, instalasi, atau proyek perakitan 9. Pemberian jasa dalam beentuk apapun oleh pegawai atu oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 10. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. 11. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. Pengertian Khusus: Subyek pajak Bentuk Usaha Tetap dalam pengertian khusus pada perjanjian penghindaran pajak berganda (PIB) / tax treaty. Setiap negera mempunyai wewenang untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayah negaranya, sesuai dengan ketentuan undang-undang negera yang bersangkutan. Untuk dapat menghindari benturan kepentingan atas pelaksanaan hak Negara untuk memungut pajak, termasuk penghasilan wajib pajak suatau Negara yang diperoleh di luar negeri, yang kemungkinan akan mengakibatkan pengenaan pajak berbganda atas jenis penghasilan yang diterima wajib pajak tersebut, oleh karena itu diadakan P3B untuk menghindari / mencegah terjadinya pajak berganda yang akan membebani wajib pajak. BUT juga dapat dijumpai dalam P3B dengan Negara lain (56 Negara P3B). Pengertian P3B ini digunakan untuk menentukan hak pemajakan dari suatu negera sumber atas laba yang diperoleh subyek pajak (perusahaan / penduduk) Negara mitra perjanjian dengan Indonesia. Dalam P3B biasanya dianut konsep suatu bahwa perushaan yang bertempat kedudukan disuatu Negara hanya dapat dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha oleh Negara lain, apabiala di negara lain tersebut perusahaan milik subyek pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT. Sebagai kesimpulan, apabila antara Negara Indonesia dengan Negara kedudukan wajib pajak luar negeri terdapat P3B (Tax treaty), maka pengertian BUT tetap sesuai dengan definisi BUT yang terdapat dalam masing-masing tax treaty tersebut. Penjelasan pasal 3 ayat (5) undang-undang No.17 tahun 2000 tentang PPh, menyatakan: suatu BUT mengandung pengertian: 1. suatu tempat usaha (place of business) yaitu ffasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. 2. Tempat usaha tersebut bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan idak bertempat kedudukan di Indonesia. 3. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan seelaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang berindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

4. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempuanyai BUT apabila orang pribadi/badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. 5. Perusahaan asing yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perushaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asurransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai. 6. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. III. Syarat-syarat BUT. 1. Adanya tempat usaha 2. Sifat Usaha / kegiatan harus permanent (Certain degree of permanent). 3. Adanya sifat ketergantungan (dependence) dengan Kantor Pusat. IV. Pengelompokkan BUT 1. 2. 3. 4. BUT fasilitas (asset) BUT aktifitas BUT Keagenan BUT Perusahaan Asuransi

Contoh: 1. BUT fasilitas (Asset) dapat berupa: Tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber daya alam, pengeboran migas, perikanan, perkebunan dan kehutanan. 2. BUT Aktivitas dapat beruap: proyeek konstruksi, intalsi, proyek perakitan (tanpa memperhatikan time test yang ada di P3B) maka menjadi BUT. 3. BUT Keagenan yang eksitensinya karena ada hubungan usaha/bisnis dengan wajib pajak luar negeri tanpa harus memanfaatkan tempat usaha tetap di Indonesia, syarat sebagai BUT agen tersebut harus tergantung dengan pusatnya di luar negeri, jadi merupakan agen tidak bebas. 4. BUT perusahaan asuransi, untuk usaha asurransi sebagai BUT, sebagai pertimbangannya tidak hanya didasarkan pada suatau tempat usaha atau keagenannya saja, tetapi karena perusahaan asuransi tersebut menerima premi dan penutupan resiko di Indonesia melalui agennya atau pegawainya. V. Saat dan berakhirnya kewajiban wajib pajak subyektif BUT. Kewajiban subyektif orang pribadi atau badan yang melakukan usaha / kegiatan melalui BUT sebagaimana di dimaksud dalam pasal 2 ayat (4 a) undang undang pajak penghasilan.

Dimulai : pada saat orang pribadi / badan tersebut menjalankan usaha / melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menj lankan a usaha atau melakukan kegiatan BUT. VI. Obyek Pajak Penghasilan BUT. Penghasilan fiskal BUT yang merupakan obyek pajak / penghasilan fiskal dari BUT diatur dalam pasal 5 undang-undang pajak penghasilan sebagai brikut: 1. Penghasilan dari usaha / kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.BUT dikenakan pajak penghasilan atas semua penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha (dagang / industry / jasa / lainnya) dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia (asas sumber). 2. Penghasilan Kantor Pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia. Alasam karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh BUT di Indonesia, misalnya bank luar negeri mempunyai BUT, memberikan pinjaman langsung kepada wajib pajak Indonesia tanpa melalui BUTnya di Indonesia, maka penghasilan tersebut ditarik secara paksa (force of attraction method) ketentuan ini merupakan upaya pencegahan penghindaran pemajakan indonesia oleh wajib pajak luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia. 1. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh Kantor Pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (Effectively connected income), misalnya: S Incl (LN) menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y (Indonesia) untuk PT.Y menggunakan merk dagang X Inc. sehingga merupakan PPh Pasal 26. Namun X Inc. (Luar Negeri / LN) juga memberikan jasa manajemen untuk pemasaran produk atas merk dagang tersebut kepada PT. Y melalui BUT nya di Indonesia. Sehingga secara fiskal terdapat / ada hubungan efektif antara PT.Y dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan royalty X Inc. (LN) diperlakukan sebagai penghasilan BUT (Indonesia). 1. Pembayaran sebagaimana tersebut pada pasal 5 ayat (3b) yang diterima atau diperoleh dari Kantor Pusat tidak dianggap sebagai Obyekk Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankkan. VII. Biaya-Biaya Subyek Pajak BUT. 1. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1b) undang-undang Pajak Penghasilan: Penghasilan Kantor Pusat dari Usaha atau kegiatan penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan oleh BUT di Indonesia. 2. Pasal 5 ayat (1c) Undang-undang Pajak Penghasilan : Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima oleh Kantor Pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.

3. Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT terdapat ketentuan khusus yakni: Biaya administrasi Kantor Pusat, yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha / kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Syarat sepanjang digunakan untuk menunjang kegiatan BUT di Indonesia (Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 62/PJ/1995 tanggal 24 Juli 1995: Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dan dalam rangka menunjang kegiatan usaha BUT yang bersangkutan. Maksimum sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia teerhadap seluruh peredaran usaha pperusahaann diseluruh dunia. BUT di Indonesia mengurangkan seluruh biaya administrasi Kantor Pusat, wajib melampirkan dalam SPT PPh Tahunannya, laporan keuangan konsolidasi yang meliputi seluruh usaha di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan. Laporan keuangan konsolidasi tersebut harus telah diaudit oleh Akuntan Publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha perushaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan pada masing-masing BUT di Negara tempat BUT tersebur berada. VIII. Biaya yang tidak boleh dikurangkan secara fiskal dari suatu BUT Pembayaran yang dilakukan BUT Indonesia kepada Kantor Pusatnya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal beerdasarkan ketentuan Pasal 5 UU PPh berupa: 1. Pembayaran biaya royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan pengguanaan Harta, Paten, atau hak-hak lainnya. 2. Pembayaran imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya. 3. pembayaran biaya bunga, kecuali biaya bunga yang berkenaann dengan usaha BUT dibidang perbankan. 4. pembayaran sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (3b) yang diterima / diperoleh dari Kantor Pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan BUT di Indonesia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan Kantor Pusatnya, pembyaran BUT ke Kantor Pusat merupakan perputaran dana dalam satu perushaan, sehingga pembayaran BUT kepada Kantor Pusat antara lain pembayaran royalti, imbalan jasa dan bunga, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan BUT di Indonesia. Kecuali Kantor Pusat dan BUT yang bergerak dalam bidang usaha perbankkan. Konsekuensinya : pembayaran Kantor Pusat kepada BUT tiddak dianggap sebagai Obyek Pajak bagi BUT di Indonesia, kecuali pembayaran bunga (khusus bidang usaha perbankkan. Konsekuensinya: pembayaran Kantor Pusat kepada BUT tidak dianggap sebagai obyek pajak BUT bagi BUT di Indonesia, kecuali pembayaran bunga (khusus perbankan).

IX. Penghasilan Kena Pajak (PKP) Bentuk Usaha Tetap. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk Wajib Pajak BUT disamakan dengan dengan Subyek Pajak Dalam Negeri Lainnya, sehingga Wajib Pajak BUT berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa, maka sesuai dengna Pasal 16 ayat 3 Undang-undang Pajak Penghasilan disebutkan: Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia, Penghasilan dalam satu tahun pajak dihitung dengan cara: Penghasilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dengan memperhatikan Pasal 4 ayat (1), dengan pengurang segaimana dalam: Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 9 ayat (1) huruf c & d Pasal 9 ayat (1) huruf 3

Contoh: Peredaran Bruto Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Laba Bruto Penghasilan Bunga Penjualan langsung oleh Kantor Pusat atas barang yang sejenis dengan barang yang dijual oleh BUT Biaya untuk Mendapatkan, Menagih & Memelihara Penghasilan Dividen yang diterima / diperoleh Kantor Pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT Laba sebelum Pajak Biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Penghasilan Kena Pajak (PKP) Pajak Terutang Laba Bersih Setelah Pajak Rp. 2.000.000 Rp. 182.000.000 (Rp. 7.000.000) Rp. 175.000.000 (Rp. 35.000.000) Rp. 140.000.000 Rp. 200.000.000 (RP. 150.000.000) Rp. 400.0000.000; (Rp. 275.000.000) Rp. 125.000.000 Rp. 5.000.000

Maka PPh Pasal 17 yang terutang adalah: Peraturan lamaPeraturan Baru 2009 10% x Rp. 50.000.000 = 15% x Rp. 50.000.000 = 30% x Rp. 75.000.000 = PPh Terutang Rp. 5.000.000 Rp. 7.500.000 Rp.22.500.000 Rp.35.000.000 Rp.49.000.000 28% x Rp.175.000.000 = Rp. 49.000.000

Jumlah PPh terutang tersebut dikurangkan dengan Kredit Pajak seperti PPh Pasal 21/26 Badan, PPh Pasal 22,23,25 dan Fiskal Luar Negeri. Khusus untuk BUT dalam kredit pajak tidak terdapat PPh Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri). Berikut adalah ilustrasi atas Kredit Pajak yang dimiliki oleh perusahaan BUT. Jumlah Pajak Terutang (PPh Pasal 17) Kredit Pajak: PPh Pasal 21 Badan PPh Pasal 22 PPh Pasal 23 PPh Pasal 25 Rp. 8.239.000 Rp. 5.420.000 Rp. 5.525.000 Rp. 5.500.000 (+) (Rp. 24.684.000) Rp. 10.316.000 Rp. 35.000.000

Jumlah Kredit Pajak selam tahun Pajak Jumlah Pajak yang harus dibayar (PPh Pasal 29)

Jadi Kredit Pajak PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya adalah: PPh Terutang (PPh Pasal 17) (Kredit Pajak PPh Pasal 21/26,22,23,24,25, Fiskal Luar Negeri) 12 Bulan PPh Pasal 25 : Rp. 10.316.000 = Rp.859.667 atau Rp.859.000 (pembulatan ke bawah)

You might also like