You are on page 1of 18

1

SKRIPSI KONFLIK ANTARA KEPALA DESA DAN BADAN PERWAKILAN DESA


(Studi di Desa Timahan, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek)

Latar Belakang Desa atau yang di sebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten1 memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Atas dasar pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyeragamkan warna, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa, adalah tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui hak asal-usul yang bersifat istimewa sehingga perlu di ganti atau di cabut. Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang selama ini di kenal dengan sebutan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), merupakan suatu wujud demokrasi yaitu peran serta masyarakat di dalam sistem pemerintahan dan pembangunan desa. Keberadaan BPD memiliki peranan sangat penting terutama dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat dengan Kepala Desa atau pemerintahan yang lebih tinggi. Keberadaan BPD dapat di sejajarkan dengan parlemen atau badan legislatif-nya desa, yang berfungsi sebagai penampung berbagai aspirasi yang muncul dan berkembang serta dalam masyarakat dalam untuk kemudian desa dan mengakomodasikan memformulasikan kebijakan

mensosialisasikan kepada masyarakat. Di harapkan dalam mengelola desa, Kepala Desa beserta perangkat desa dengan BPD dapat bekerja sama guna mencapai tujuan bersama, yaitu membangun desa bersama-sama. Di dalam pelaksanaan roda pemerintahan desa
1

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ketentuan umum.

pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal visi dalam melihat sesuatu yang terjadi, apakah itu menyangkut masalah pemerintahan, peraturan desa, masalah dana atau masalah yang lainnya.. Konflik yang muncul atau terjadi antara Kepala Desa dan BPD juga dapat di picu oleh aspek-aspek yang sudah terjadi sebelumnya seperti pada saat pemilihan Kepala Desa. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui sumber konflik antara Kepala Desa dan BPD. 2. Untuk mengetahui bentuk Konflik antara Kepala Desa dan BPD. 3. Untuk mengetahui kewenangan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Definisi Konsep Definisi konsep di dalamnya merupakan batasan-batasan mengenai yang berdasarkan pada pendapat para ahli atau pengertian tentang konsep

peraturan-peraturan yang berlaku. Maka di temukan batasan-batasan yang di inginkan oleh peneliti dalam melihat konsep. a. Konflik Konflik menurut Alfian, dapat diartikan secara luwes dan longgar, di mana perbedaan kepentingan dan pendapat termasuk di dalamnya. Pada tingkat yang tinggi, konflik dapat berwujud pertentangan kepentingan, pendapat dan ide atau lebih tinggi lagi dapat berupa konfrontasi ideologis, bentrokan fisik dan semacamnya.2 Kewenangan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa Kewenangan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa adalah Tugas, Hak, Wewenang, Kewajiban dan Fungsi dari Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa sesuai dengan UU. No.22 Tahun 1999 dan Perundang-undangan di bawahnya. 1. Kewenangan Kepala Desa Kepala Desa berdasarkan UU. No.22 Tahun 1999 Pasal 101, mempunyai Tugas dan Kewajiban, sebagai berikut : 2

Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa Membina kehidupan masyarakat desa

Muhammad Ryaas Rasyid, Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, halaman 189

Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa Mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajiban.

Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa : a. Bertanggung jawab kepada Rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. b. Menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. 2. Badan Perwakilan Desa (BPD) Menurut UU. No. 22 Tahun 1999 Pasal 104, Badan Perwakilan Desa atau yang di sebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Sedangkan dalam pandangan lain, Drs. Winarno Suryo Adi Subrata mengatakan bahwa BPD merupakan penyandang Demokrasi dan juga sebagai badan legislatif di desa, yang juga berfungsi sebagai pengawas anggaran desa, keputusan desa dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa3. Dari kedua pandangan di atas peneliti menyimpulkan bahwa BPD atau sebutan lain dalam institusi Pemerintahan Desa adalah Badan legislatif desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, penyandang demokrasi, dan sebagai pengawas anggaran desa, keputusan desa dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat di katakan bahwa BPD mempunyai kewenangan-kewenangan, antara lain : Mengayomi adat istiadat, yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan desa. Legislasi, yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa.

Winarno, Adisubrata, Suryo, Reformasi Dalam Otonomi Daerah, Penerbit YPNK, Yogyakarta, 1999, halaman 15

Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Desa.

Menampung aspirasi masyarakat, yaitu menumbuhkan demokrasi dan menyalurkan aspirasi yang di terima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang.

Definisi Operasional Setelah di dapatkan definisi konsep maka langkah selanjutnya di perlukan definisi operasional guna menunjukkan identitas konsep yang lebih nyata untuk di amati, dengan kata lain definisi operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana unsur yang akan di analisis, di bawah ini di susun definisi operasionalnya. Adapun indikator-indikatornya adalah : 1. Konflik a. Sumber Konflik Laporan Pertanggung jawaban Kepala Desa. Kebijakan (Peraturan Desa, Keputusan Desa dan lain-lain). Dana yang masuk ke Desa. Faktor lain yang di mungkinkan terjadi. Pikiran / ide Fisik / materi 2. Kewenangan a. Kepala Desa Bersama-sama BPD merumuskan Peraturan Desa Rapat Koordinasi BPD dengan Kepala Desa Pengawasan langsung terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. b. Badan Perwakilan Desa Kepala Desa dan Badan

b. Bentuk atau macam Konflik yang terjadi

c. Intensitas Konflik yang terjadi Perwakilan Desa

Metode Penelitian Menurut Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Metode Penelitian adalah cara yang di gunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya.4 Sehubungan dengan penelitian ini maka metode yang di gunakan meliputi : 1. Jenis Penelitian Di dalam penelitian ini di gunakan penelitian jenis deskriptif, di mana deskriptif dapat di artikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang di selidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.5 2. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini tidak menggunakan adanya populasi dan sampel, melainkan subyek penelitian atau unit analisis. Unit analisis pada penelitian ini meliputi pihak-pihak yang terlibat konflik antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa, yaitu Kepala Desa beserta Perangkat Desa yang berjumlah 6 orang dan Anggota BPD yang terdiri atas 13 orang. Unit analisis yang di gunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Kepala Desa 2. Perangkat Desa 3. Ketua BPD 4. Wakil Ketua BPD 5. Sekretaris BPD 6. Bendahara BPD 7. Anggota BPD : 1 orang : 6 orang : 1 orang : 1 orang : 1 orang : 1 orang : 9 orang

Jadi total subyek penelitian ini sebanyak 20 orang. Apabila nantinya data yang di dapat di anggap masih kurang, maka bisa di peroleh informasi dari informan yang terkait dengan penelitian ini.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1998, halaman 151. 5 Hadari Nawawi & Mimi Martini , Penelitian Terapan, UGM Press, Yogyakarta, 1996, halaman 73.

3. Sumber data a. Data Primer Sumber data primer di peroleh dari responden yang telah di tentukan peneliti meliputi Kepala Desa, 6 Perangkat Desa, Ketua BPD, Wakil Ketua BPD, Sekretaris BPD, Bendahara BPD dan 9 anggota BPD lainnya. b. Data Sekunder Sumber data sekunder di peroleh dari Studi Pustaka yang berasal dari membaca, menelaah dan mengklasifikasi dokumen atau sumbersumber tertulis lain yang mendukung dan tidak tertutup kemungkinan, sumber data sekunder adalah para informan yang terkait atau ada hubungannya dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Inguided Interview atau wawancara bebas. Dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa saja yang akan di kumpulkan 9. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman (ancer-ancer) apa yang akan di tanyakan. b. Observasi Di lakukan melalui pengamatan oleh peneliti secara langsung di lapangan berhubungan dengan konflik antara Kepala Desa dan BPD. c. Dokumentasi Teknik dokumentasi yang peneliti gunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan sumber catatan-catatan, arsip dan catatan secara tertulis yang tersimpan di Perpustakaan. Analisa Data Mengingat tujuan penelitian tentang konflik antara Kepala Desa dan BPD, maka analisa yang di pakai adalah kualitatif yaitu dengan menggambarkan uraianuraian berdasarkan data yang ada pada obyek penelitian. Data yang sudah ada di periksa untuk melihat apakah ada data yang kurang sesuai dengan penelitian atau tidak, atau apakah ada data yang di peroleh sudah
9

Prof.Dr.Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1998, halaman 145.

lengkap atau belum, kemudian data yang sudah di periksa di olah dan di interpretasikan. Dalam memberikan kegiatan interpretasi peranan proses berpikir dari peneliti semakin dominan dan harus bersifat rasional, kritik, analitik dan logis. Cara berpikir seperti itu dimaksudkan adalah berpikir yang tertib, teratur, terarah, konstruktif dan kreatif.

TINJAUAN PUSTAKA Konflik

a. Pemikiran dan Teori Di sepanjang sejarah yang tercatat, manusia telah meneliti sifat realitas dan menemukan konflik di situ. Perhatian manusia terhadap konflik, telah tercermin dalam literatur keagamaan kuno. Weber menyatakan, perang antardewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi "kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa-dewa lain seperti mereka sendiri, sebagaimana komunitas mereka juga berperang, dan dalam peperangan ini pun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka.6 Tak satu pun agama besar dunia yang mengabaikan tema perang. Tema utama agama Budha adalah perang di dalam diri individu menentang hawa nafsu. Kitab agama Hindu klasik Bhagawat Gita menerangkan masalah perang dan kesempurnaan hidup, yang untuk mencapainya manusia harus berjuang di muka bumi. Dalam Islam, jihad diperintahkan Allah dan barangsiapa yang memerangi orang kafir akan mendapatkan ganjaran berlimpah, yang bila mati dalam perang dinyatakan syahid yang diimbali dengan surga. Dalam tradisi Kristen, antara lain terdapat karya St. Agustinus tentang konflik antara kota Tuhan dan kota duniawi, suatu konflik yang menandai keseluruhan sejarah manusia. Sejumlah sosiolog Eropa dan Amerika, terutama yang bekerja di pertengahan kedua abad 19 dan di perempat abad 20, dengan cepat berhasil membangun teori konflik dan digunakan untuk menerangkan jenis-jenis perubahan tertentu, Sosiolog Eropa terkenal, termasuk Gumplowicz, menyatakan bahwa evolusi sosial dan kultural sepenuhnya adalah hasil dari konflik antarkelompok. Di kalangan sosiolog Amerika sendiri, konflik menjadi pusat perhatian, dan seperti dikatakan Coser, setiap pandangan tentang perubahan sosial "yang tidak menyangkut fenomena konflik, menurut mereka sangat tidak sempurna.7 Di antara sosiolog Amerika ini sumberlah yang mengubah Darwinisme
6

Max Weber, From Marx to Weber : Essays in Sociology, Terjemahan dan edit oleh H.H. Gerth and C. Wright Mills, New York, Oxford University Press, 1958, halaman 333. 7 Lewis A. Coser, The Functions of Social Conflict, Clencoe, Free Press, 1956, halaman 18.

menjadi pernikiran sosial yang dikembangkannya. la menyimpang dari kecenderungan eksplisitnya untuk kepentingan kejayaan kaum pengusaha. Di dalam karyanya Folkwasys, ia melihat peruangan untuk mempertahankan hidup sebagai: "Proses di mana individu dan alam merupakan dua pihak terlibat ... Dalam kompetisi kehidupan, pihak yang terlibai adalah manusia dan organisme lain . . . Kompetisi kehidupan adalah persaingan, antagonisme, clan saling menggantikan, individu melibatkan organisme lain dalam usahanya melanjutnya pe~uangan mempertahankan hidupnya sendiri.8 Dahrendorf melihat hubungan erat antara konflik dan perubahan:
"Seluruh

kreativitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompoknya dan masyarakatnya, disebabkan tedadinya konflik antara kelompok dan kelornpok, individu dan individu serta antara emos! dan emosi di dalam diri individu" 9 Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalarn struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antarkelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada. Teori Dahrendorf tidak hanya dapat diterapkan pada tingkat kemasyarakatan. la sendiri memberikan contoh penerapannya pada tingkat organisasi - yakni dalam sebuah organisasi industri.10 la menyatakan, perusahaan industri adalah sebuah kelompok kekuasaan (an imperatively coordinated group) karena perusahaan ini mempunyai hirarki kekuasaan yang ditandai oleh buruh di bawah (tingkat kekuasaan terendah) dan beberapa tingkat pinipman (manajemen) di atasnya. Kekuasaan manajemen adalah sah dan dipertahankan melalui berbagai sanksi (penurunan pangkat, pemecatan dan sebagainya). Karena itu terdapat konflik kepentingan yang melekat antara manajer dan buruh.

8 9

William Granam Sumner, Folkways, Boston, Ginn & Co, 1906, halaman 16. Ralt Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford Univ. Press, 1959, halaman 208. 10 Ralt Dahrendorf, Toward a Theory of Social Conflict, Jour hal of Conflict Resolution 2, 1958, halaman 180.

10

Kita hampir tak perlu diyakinkan lagi bahwa konflik merupakan fakta yang terdapat di niana-mana dalam kehidupan di zaman kita. Seperti ditunjukkan oleh hasil studi sejarah, konflik menandai kehidupan sosial di seluruh sejarah yang tercatat. Hubungan yang dibuat para. pemikir antara konflik dan perubahan adalah hubungan yang logis. b. Konflik antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) atau sebutan lain dalam institusi pemerintahan desa, selaras dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dan demokratisasi di segala lapisan masyarakat. Kehadirannya mendapat jaminan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan lebih dipertegas pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, dari Pasal 32 sampai dengan Pasal 42. Hal ini semakin ditunjang dengan iklim desentralisasi atau otonomi daerah. Bisa juga terjadi konflik pemilikan aset desa, serta hal lain yang dapat berdampak pada polarisasi kehidupan masyarakat dan ketidakharmonisan hubungan antara lembaga pemerintahan desa. Adanya kewenangan BPD yang berlebihan karena berkaca pada kewenangan DPR. Dengan mengidentikkan diri sebagai legislatifnya desa membuat perannya berkesan arogan. BPD yang seharusnya berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa menjelma menjadi momok pemerintah desa. Kepala desa dan perangkat ketakutan apabila sewaktu-waktu dijatuhkan BPD. Ini karena fungsi BPD sebagai pengayom kelestarian adat, legislasi, pengawasan (pengawasan pelaksanaan peraturan desa, APBD dan keputusan kepala desa) serta menampung aspirasi rakyat menjadi kabur. Pengawasan juga diartikan meliputi kinerja perangkat desa, termasuk segi positif kepala desa dan perangkat, sehingga akan memacu etos kerjanya sebagai pelayan masyarakat. Namun di sisi lain tidak jarang ditunggangi unsur subjektif, yaitu suka atau tidak suka, apalagi bila merupakan imbas pemilihan kepala desa yang dapat memicu ketidakharmonisan hubungan antara BPD dan pemerintah desa.

11

Tidak mengherankan peraturan daerah yang disusun masih memiliki kekurangan karena setelah terjadinya permasalahan (kasus) baru kita mengetahui kekurangan yang ada. Dalam peraturan mengenai BPD banyak mengatur secara individu (anggota), sedangkan larangan serta sanksi secara institusi belum ada, sehingga tidak mengherankan bila BPD memiliki kekuatan mengelola kewenangannya. Apabila pengaturan mengenai larangan atau sanksi secara institusi belum ada, tidak mustahil akan muncul persoalan serupa karena melebarnya kewenangan tersebut. Yang dikhawatirkan, apabila tendensi pribadi atau kelompok menjadi dasarnya akan mengakibatkan pertentangan horizontal antarkelompok masyarakat. Dengan demikian kehadiran BPD yang semula diharapkan dapat menyejukkan iklim demokrasi di desa, justru akan menambah persoalan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Di lain pihak keberadaannya dapat menjadi beban bagi desa yang minim pendapatannya. Ketentuan adanya uang sidang membuat pemerintah desa harus menganggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa, padahal untuk memenuhi kebutuhan rutin dan pembangunan saja sangat minim. Ini berbeda dari desa yang berpendapatan lebih. Hal tersebut akan menjadi sangat ironi bila tidak ditunjang dengan kinerja BPD dalam upaya membantu peningkatan pendapatan desa tersebut. Dalam hal ini BPD pun harus introspeksi diri, sejauh mana upaya yang telah dilakukan bagi kemanfaatan masyarakat seiring dengan kehadirannya. Itu akan lebih bermanfaat daripada memperdalam pertentangan atau mengurangi kesan balas dendam. Namun di sisi lain tidak jarang di tunggangi unsur subyektif, yaitu suka atau tidak suka, apalagi bila merupakan imbas pemilihan kepala desa yang dapat memicu ketidakharmonisan hubungan antara BPD dan Pemerintahan Desa. Berikut ini merupakan contoh-contoh kasus konflik yang terjadi antara Kepala Desa dan BPD.

12

Kasus di Klaten Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2000 tentang Badan Perwakilan Desa sebagai tindak lanjut Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999. Ada beberapa hal yang menonjol berkaitan dengan over capacity BPD, antara lain yang terjadi di Desa Tumpukan, Kecamatan Karangdowo. BPD membuat keputusan serta rancangan peraturan desa untuk mengurangi bengkok kepala desa dan perangkat agar menjadi tanah kas desa guna menambah pendapatan desa. Kasus di Sidoarjo Karir HM Rifai di ujung tanduk. Badan Perwakilan Desa (BPD) Sidodadi ternyata sepakat Direktur CV Ridha Surya Sentosa (RSS) itu diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Desa (Kades) Sidodadi, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Ketua BPD Sidodadi, Ir Tugas Herupurwanto, mengatakan, jauh sebelum kasus Rifai mencuat, BPD sebetulnya sudah membahas mengenai ketidakaktifan Rifai sebagai kades. Dijelaskan, hampir setiap ada rapat guna membahas anggaran dan pertanggungjawaban desa, Rifai yang diundang tidak pernah datang. Beberapa kali dikirimi surat teguran, juga tidak pernah ditanggapi secara serius. Diungkapkan pula, dengan tidak aktifnya Rifai sebagai Kades, secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kinerja dan kedisiplinan staf lain. Banyak di antara staf desa yang belakangan ikut-ikutan tidak masuk kerja. Kasus di Pemalang Andai Ny Endang Leganingsih (30) tidak menjabat Kepala Desa (Kades) Cibelok, Kecamatan Taman, Pemalang yang sudah berlangsung satu tahun ini, keluarga besar Kustoro Raharjo (79) pengusaha kontraktor pengeboran minyak dapat hidup tenang tanpa terusik siapa pun. Namun akibat jabatan itu, kini keluarga besar tersebut menjadi sorotan banyak orang. ia dianggap melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/ 1990, terutama Pasal 15 ayat (2). Di situ disebutkan, wanita pegawai negeri sipil (PNS) tidak diizinkan menjadi istri kedua/ ketiga/keempat.

13

Sebagai calon PJs adalah Suwarsono yang kini menjabat kaur keuangan. Dengan munculnya kasus itu ke permukaan, kehidupan keluarga Kustoro menjadi menarik untuk diketahui. Kasus di Kebumen Badan Perwakilan Desa (BPD) Semanding, Kecamatan Gombong, Kebumen, didukung Forum Remaja saat ini mengadukan Kepala Desa Bambang Senggoto ke Bupati Dra Rustriningsih dan Ketua DPRD Budi Utomo. Sebab, dia telah menjual tanah desa 50 ubin atau 700 m2 tanpa musyawarah. Ketua BPD Sukemi Jatmiko menyatakan perbuatan itu dikategorikan melanggar peraturan perundangan, sehingga bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat. Tanah yang dipersoalkan oleh beberapa tokoh masyarakat, termasuk perangkat desa, itu diakui sebagai tanah desa. Tanah bisa terjual lebih dulu disertifikatkan atas nama Kadar Kartosuwito. Yang aneh, Kadar yang kini berusia 63 tahun mengaku tak tahu-menahu.Tanah itu laku Rp 20 juta. Namun si pembeli, Ny Aenawati Tan, mengaku membeli Rp 32.500.000. Jual-beli berlangsung Oktober 1999 di hadapan notaris Ny Sri Muryati SH. 2. Kewenangan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) Seperti yang telah di sebutkan di atas, pada BAB I Bagian Definisi Konsep, yaitu Kewenangan Kepala Desa dan BPD adalah Tugas, Hak, Wewenang, Kewajiban dan Fungsi dari Kepala Desa dan BPD. a. Kewenangan Kepala Desa Kepala Desa sebagai Pemerintah Desa memiliki Tugas dan Kewajiban menurut Pasal 101 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, perlu menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.

14

Pada Pasal 111 UU No.22 Tahun 1999 poin (1) disebutkan pengaturan lebih lanjut mengenai Desa di tetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten sesuai dengan pedoman umum yang di tetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang ini. Pada Pasal 5 ayat 2 dan 3 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Trenggalek Nomor 9 Tahun 2001 di sebutkan tentang Tugas dan Kewajiban Kepala Desa, sedangkan fungsi Kepala Desa di atur pada Pasal 5 ayat 6 Perda No.9 tahun 2001. b. Kewenangan BPD Menurut UU No.22 Tahun 1999 Pasal 104, BPD atau yang di sebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 dan 2 Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 10 tahun 2001, di sebutkan bahwa BPD sebagai Badan Perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintahan Desa. Tugas BPD di atur pada Pasal 8 Perda No.10 tahun 2001, sedangkan Fungsi BPD di atur pada Pasal 9 ayat 1 Perda No.10 Tahun 2001. Hak dan wewenang BPD di atur pada Pasal 10 Perda N0.8 Tahun 2002, sedangkan Kewajiban BPD di atur pada Pasal 13 Perda No.10 Tahun 2001.

Hasil Penelitian 1. Konflik

15

a.

Sumber Konflik 1. Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Kepala Desa Timahan belum pernah membuat Laporan Pertanggung jawaban, karena belum ada mekanisme yang mendukungnya, yaitu Peraturan Desa. 2. Kebijakan Desa Tidak terdapat konflik yang berarti antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa yang bersumber pada Kebijakan Desa, mulai dari Perumusan Peraturan Desa sampai pada Kebijakan teknis yaitu Keputusan Kepala Desa. 3. Dana Yang Masuk ke Desa Banyak sekali konflik yang terjadi anatar Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa, mulai dari dropping sembako sampai pada penilapan kambing yang di lakukan oleh BPD, di samping kasus-kasus yang lain seperti retribusi dari CV. Artomoro yang di tilap oleh Kepala Desa Timahan. 4. Faktor lain yang di mungkinkan terjadi Penunjukan PJs Sekretaris Desa sempat menjadi polemik tersendiri, dengan penunjukan yang di lakukan oleh Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Kedua-duanya mengklaim diri merasa berhak atas penunjukan PJs Sekretaris Desa. Sampai Camat Kampak-pun tidak mampu menyelesaikan masalah di atas, hingga pemilihan Sekretaris Desa yang di laksanakan pada bulan Juli 2003.

b.

Bentuk atau Macam Konflik yang terjadi 1. Pikiran / Ide Konflik yang terjadi antara Kepala Desa dan BPD, kebanyakan adalah dalam bentuk perbedaan pendapat, kepentingan, ide dan interpretasi (pemahaman). Konflik antara Kepala Desa dan BPD di Desa timahan dalam bentuk perbedaan pendapat terjadi pada saat rapat-rapat koordinasi dengan BPD atau saat merumuskan Peraturan Desa. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan selama ini

16

antara Kepala Desa dan BPD dalam hal pikiran atau ide, semua tetap berjalan dengan baik dan lancar, dan tidak sampai mengganggu jalannya pemerintahan desa. Mungkin hanya pada satu kasus yang membuat jalannya roda pemerintahan desa agak terganggu, yaitu pada saat penentuan Pjs Sekretaris Desa , yang membuat masyarakat Desa Timahan maupun masyarakat lainnya bingung karena terdapat dualisme. 2. Fisik / Materi Bentuk atau macam konflik yang terjadi dalam bentuk Fisik / Materi bukan berarti ada bentrokan fisik. Melainkan lebih pada mempersoalkan materi dalam hal ini benda atau uang. Seperti yang telah di jelaskan di atas, bahwa konflik dalam bentuk fisik / materi ini lebih banyak di sebabkan aliran bantuan yang masuk ke Desa Timahan. Mulai dari Dropping sembako sampai pada Kasus Retribusi CV. Artomoro dan penilapan kambing yang di lakukan oleh BPD. c. Intensitas Konflik Sejak BPD di angkat sebagai instrumen Pemerintahan Desa pada Bulan Agustus 2002, telah terjadi konflik antara Kepala Desa sebagai Eksekutif Desa dan BPD sebagai legislatifnya. Intensitas Konflik yang terjadi di antara keduanya, terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu Intensitas yang terjadi perminggu dan Intensitas yang terjadi setiap saat. Intensitas konflik yang terjadi pada tiap minggunya, terjadi saat koordinasi dengan Kepala Desa, karena jelas perbedaan pendapat pasti terjadi. Rapat koordinasi antara Kepala Desa dan BPD di kantor desa, membahas masalah-masalah seperti rencana perumusan peraturan desa, pelatihan-pelatihan, bantuan yang akan masuk ke Desa Timahan, dan lain sebagainya. Sedangkan yang setiap saat adalah pada saat kasus retribusi CV. Artomoro, kambing yang di tilep BPD yang kemudian di ributkan dan kasus-kasus lainnya yang terjadi. 2. Kewenangan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD)

17

a. Kewenangan Kepala Desa 1. Bersama-sama BPD merumuskan Peraturan Desa Sejak efektifnya Pemerintahan Desa dengan di angkatnya BPDpada bulan Agustus 2002, Kepala Desa dan BPD Timahan telah membuat 3 (tiga) Peraturan Desa, yaitu Peraturan Desa Nomor 1 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi Pemerintahan Desa ; Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan atau Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa ;dan, Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan atau Pengangkatan, dan Pemberhentian Perangkat Desa. Ketiga Peraturan Desa di atas di tetapkan pada tanggal 1 Juli 2003, di Kantor Desa Timahan. b. Kewenangan Badan Perwakilan Desa (BPD) 1. Rapat Koordinasi BPD dengan Kepala Desa Koordinasi BPD dengan Kepala Desa di laksanakan setiap hari Sabtu dan di selenggarakan di Kantor Desa. Di samping rapat Koordinasi dengan Kepala Desa, BPD setiap hari Sabtu juga mengadakan latihan-latihan terhadap anggotanya, yang latihan-latihan itu bisa berupa pengarahan tentang Pemerintahan Desa atau masalah lainnya. 2. Pengawasan Pemerintahan Desa. Selama ini memang BPD begitu intent dalam mengawasi gerak laju Kepala Desa dan Perangkat Desa. Mulai dari Pengawasan terhadap bantuan yang masuk ke Desa sampai pada masalah administrasi. Kesimpulan dan Saran / Rekomendasi Terdapat berbagai macam konflik yang terjadi antara Kepala Desa dan BPD, dari masalah dana yang masuk ke Desa Timahan sampai pada masalah penunjukan PJs Sekretaris Desa yang menjadi masalah. Langsung terhadap Penyelenggaraan

18

Saran dari kami, hanya terletak pada kewenangan BPD itu sendiri. BPD seharusnya lebih di perlihatkan kewenangan yang lebih jelas dan terarah. Di karenakan selama ini BPD merupakan momok yang menakutkan bagi Kepala Desa khususnya dan Pemerintah Desa pada umumnya. Seharusnya kewenangan BPD di revisi ulang, karena sekarang ini BPD merupakan Badan yang terlalu superior di dalam Pemerintahan Desa, dan harus ada mekanisme yang mengatur tentang kewenangan BPD atau sebagai pengawas BPD itu sendiri. Adapun langkah konkretnya adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan Kualitas BPD maupun Kepala Desa dan Perangkat Desa, lewat syarat minimal pendidikan (misalnya SLTA sederajat) 2. Mengadakan latihan-latihan atau arahan-arahan (sosialisasi) lebih lanjut terhadap bagaimana seharusnya Pemerintahan Desa itu di selenggarakan. 3. Bila perlu merevisi UU. No. 22 / 1999 atau di bawahnya, dengan memperjelas garis kewenangan BPD dan Kepala Desa.

You might also like