You are on page 1of 19

URTIKARIA Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Nama : Putri Primasari/ 07711188 Dosen Pembimbing : dr. H. M. Wahyu R, Sp. KK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA RSUD DR SOETOMO NGAWI 2012

REFERAT URTIKARIA

Oleh : Putri Primasari 07711188

Disetujui oleh:

Penyusun

Kepala SMF Departemen Kulit dan Kelamin

Putri Primasari

dr. Muh Wahyu Riyanto Sp.KK

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 2. Tujuan . .

BAB II PEMBAHASAN II. 1. Definisi II. 2. Epidemiologi II. 3

. .

BAB I PENDAHULUAN

I.

1. Latar Belakang

Urtikaria (gelagata) merupakan reaksi alergi hipersensivitas tipe 1 pada kulit yang ditandai oleh munculnya mendadak lesi yang menonjol dan reaksi alergi pada kulit akibat pengeluaran histamin yang

edematous, berwarna merah muda dengan ukuran serta bentuk yang bervariasi, keluhan gatal dan menyebabkan gangguan rasa nyaman yang setempat. Kelainan ini dapat mengenai setiap bagi an tubuh,

termasuk membran mukosa (khususnya mulut), laring (kadang-kadang dengan komplikasi respiratoriusyang serius) dan traktus gastrointestinal. Setiap urtikaria akan bertahan selama periode waktutertentu yang bervariasi dari beberapa menit hingga beberapa jam sebelum menghilang. Selama berjam-jam atau berhari-hari, kumpulan lesi ini dapat timbul, hilang dan kembali lagisecara episodik (Brunner dan Sudarth, 2002). Urtikaria (biduran) adalah lesi kulit yang banyak dikenal, yang pada saat tertentudapat mengenai sedikitnya 25% dari populasi. Sebagian besar episode urtikaria berlangsungsingkat dan bersifat swasirna, terutama di masa kanak-kanak bila berkaitan dewasa dengan (dan infeksipernapasan. jarang pada anak-

Namun, sebagian

kecil

orang

anak) urtikariayang tidak diketahui sebabnya dapat menetap selama berbulanbulan atau bertahun-tahun. Faktor pencetus terjadinya urtikaria, antara lain: makanan tertentu, obat-obatan, bahanhirupan (inhalan), infeksi, gigitan serangga, faktor fisik, faktor cuaca (terutama dingin tapibisa juga panas berkeringat), faktor genetik, bahan-bahan kontak (misalnya: arloji, ikatpinggang, karet sandal, karet celana dalam, dan lain-lain) dan faktor psikis. Untuk pengobatan secara farmakologi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan obat antihistamin. Antihistamin ini sendiri sekarang sudah terbit 2

generasi, Generasi I dengan efek sedative nya (yang dapat menyebabkan kantuk) dan Antihitamin II yang tidak yang tidak lagi mempunyai efek sedative. Antihistamin generasi II ini lebih aman untuk mereka yang mempunyai pekerjaan berat yang harus tahan kantuk. Selain dengan Antihistamin, korticosteroid pun bias dipakai untuk kombinasi.

I.

2. Tujuan

1. Untuk memahami definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan pada Urtikaria, serta komplikasi yang mungkin menyertai. 2. Memahami pencegahan dan terapi Urtikaria. 3. Memenuhi salah satu tugas progam koasistensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN II. 1. Definisi Urtikaria adalah suatu reaksi pada kulit yang timbul mendadak (akut) karena pengeluaran histamin yang mengakibatkan pelebaran pembuluh darah dan perembesan cairan dari pembuluh darah (Qauliyah, 2007). Secara lengkap urtikaria (hives, nettle rash, cnidosis) ialah reaksi di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema (bengkak) setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit serta disertai keluhan gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Di Indonesia, urtikaria dikenal dengan nama lain biduran atau kaligata (Baskoro et al, 2007). II . 2. Epidemilogi Urtikaria dapat terjadi pada semua ras. Kedua jenis kelamin dapat terkena, tapi lebih sering pada wanita usia pertengahan. Urtikaria kronik idiopatik terjadi 2 kali lebih sering pada wanita daripada laki-laki. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan urtikaria kronik lebih sering terjadi pada usia dewasa (Qauliyah, 2007). II. 3. Etiologi Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya: 1. Obat Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya adalah antibiotik golongan penisilin,

aspirin, obat-obatan hormonal, vaksinasi, pil kontrasepsi, dll. Selain in itu ada obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostagladin dari asam arakidonat. 2. Makanan Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat pewarna, penyedap rasa atau bahan pengawet juga dapat menimbulkan urtikaria. Contohnya adalah susu, keju, telur, gandum, ikan, udang, ayam, dll. 3. Lingkungan Terpapar dengan debu rumah, jamur, perubahan temperatur, serbuk sari bunga, dll. Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan nafas. 4. Trauma fisik Diakibatkan oleh faktor dingin dan panas, misalnya seperti berenang atau memegang benda dingin,terkena sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran. Trauma yang lain seperti tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, dll. Klinis biasanya terjadi ditempat yang mudah terkena trauma. Urtikaria timbul setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier. 5. Infeksi dan infestasi Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri (misalnya infeksi tonsil, gigi, dan sinusitis), virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering menyebabkan urtikaria. Cacing tambang, cacing pita, Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.

6. Psikis Pada urtikaria yang berulang, faktor emosional perlu diperhatikan. Tekanan jiwa dapat memacu sel mast langsung menyebabkan peningkatan permeabilitasdan vasodilatasi kapiler. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria. 7. Penyakit sistemik Beberapa penyakit dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, Lupus Eritematosus Sistemik, dll. 8. Gigitan/sengatan serangga Gigitan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, biasanya diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya juga dapat mengaktifkan komplemen. Nyamuk,lebah dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria bentuk papul di sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh sendiri dalam waktu beberapa hari, minggu, atau bulan (Aisah, 2007). Ada beberapa sumber yang bisa menimbulkan urtikaria kronik, yaitu : 1. Faktor non imunologik : a. Bahan kimia Berbagai bahan kimia dapat menyebabkan pelepasan histamine dari mastosit atau basofil. Bahan-bahan kimia utama yang dapat menyebabkan pelepasan histamine oleh mastosit ialah amina dan derivate amidine serta berbagai macam obat, sepertimorfin, kodein tubokurarin, polimiksin, tiamin, kinin dan papaverin.

b. Paparan fisik Paparan fisik dapat secara langsung menyebabkan pelepasan histamine dari matosit,misalnya pada dermatografism. c. Zat kolinergik Zat yang bersifat kolinergik dapat menyebabkan pelepasan histamine. Pada urtikaria kolinergik, asetilkolin dilepaskan melalui ujung saraf kolinergik kulit dan menyebabkan pelepasan histamine dengan mekanisme yang belum diketahui. d. Infeksi dan penyakit infeksi Penyakit infeksi dan penyakit sistemik yang lain dapat menyebabkan urtikaria, misalnya pada hepatitis B. 2. Faktor imunologik Pada umumnya proses imunologik lebih sering merupakan faktor penyebab terjadinya urtikaria akut daripada urtikaria kronik. Mekanisme hipersensitivitas yang mendasari terjadinya urtikaria pada umumnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe I dengan perantaraan IgE. Penelitian menunjukkan bahwa insidensi urtikaria kronik tidak bertambah pada orang atopi, dan pada urtikaria kronik seringkali pengukuran kadar IgE di dalam serum tidak menunjukkan kenaikan apabila dibandingkan orang tanpa urtikaria kronik. 3.Faktor modulasi Beberapa faktor lain yang juga dapat menyebabkan urtikaria ialah alkohol, panas, demam, latihan fisik, stress emosional, hormonal. Penyakit autoimunitas dapat juga merangsang timbulnya gambaran urtikaria (Qauliyah, 2007).

II. 4. Patogenesis Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan local. Sehingga secara klinis tampak edema local disertai eritem. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anafilacsis (SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin didalam sel mast. Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Imunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kolinergik, asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit secara tidak diketahui mekanismenya, langsung dapat mempengaruhi sel mast melepaskan mediator. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria akut daripada kronik, biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini tampak jelas pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan (Aisah, 2007).

(Aisah, 2007) Dilatasi kapiler kulit memungkinkan ekstravasasi serum ke dalam dermis di sekitarnya.Disebabkan oleh berbagai mediator; yang paling sering adalah histamin. Hipotesis yang mendukung pernyataan bahwa histamin meripakan mediator sentral dari urtikaria adalah: 1. Respon kulit terhadap injeksi histamin. 2. Respon klinik terhadap terapi antihistamin. 3. Peningkatan histamin plasma pada lesi urtikaria. 4. Gambaran degranulasi mastosit kulit.

Pemeriksaan histopatologi pada dermis yang edema ditemukan berbagai sel infiltrat di sekitar pembuluh darah. Sel yang paling banyak ditemukan ialah limfosit, netrofil, dan eosinofil yang polimorf. Dengan mikroskop elektron dapat terlihat degranulasi mastosit, diikuti oleh aktivasi dan degranulasi eosinofil (Adi, 2000). II. 5. Klasifikasi Ada bermacam-macam penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya

serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul tiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada perempuan usia pertengahan. Urtikaria juga dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya atau mekanisme patofisiologik sebagi berikut: I. Urtikaria imunologik

A. Bergantung pada IgE (IgE dependent urticaria) 1. Sensitivitas terhadap antigen spesifik 2. Atopik diatesis 3. Urtikaria fisik: Dermografisme, vibratori, cold, light, kolinergik. 4. Urtikaria kontak. B. Urtikaria dengan peranan komplemen (Complement dependent) 1. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II) 2. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III) 3. Defisiensi tipe I esterase inhibitor (genetic)

Urtikaria non-imunologik A. Sebagai akibat paparan bahan yang dapat langsung memicu pelepasan mediator oleh mastosit, misalnya: 1. Opium 2. Polimiksin B 3. Tubokurare 4. Zat kontras B. Sebagai akibat paparan bahan yang menyebabkan perubahan metabolisma asam arakidonat, misalnya aspirin II. Urtikaria idiopatik (Adi, 2000; Aisah, 2007)

(Siregar, 2005)

II. 6. Gejala Keluhan utama biasanya, rasa terbakar atau tertusuk. Tampak eritema (kemerahan) dan edema (bengkak) setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Urtika biasa terjadi dalam berkelompok.

Satu urtika sendiri dapat bertahan dari empat sampai 36 jam. Bila satu urtika menghilang, urtika lain dapat muncul kembali (Baskoro et al, 2007). Pembengkakan kulit yang gatal, disertai edema, berbatas tegas sementara "wheal", bila terjadi pembengkakan besar, misalnya pada sekitar mata, disebut urtikaria raksasa (Baratawidjaja, 2006). Bila mengenai organ dalam, misalnya saluran cerna dan napas, disebut angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak napas dan serak. Sekitar 40% penderita urtikaria kronis akan menderita angioedema. Gejala mungkin tidak terjadi setiap saat. Untuk beberapa orang, kondisi tertentu seperti panas, dingin atau stress akan menyebabkan perburukan gejala.

(Siregar, 2005)

(Siregar, 2005) II. 7. Pemeriksaan penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membuktikan penyebab urtikaria, yaitu:

Pemeriksaan darah, air seni dan tinja rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam

Pemeriksaan imunologis seperti pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.

Test kulit, walaupun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch) dan uji tusuk (prick test) dapat dipergunakan untuk mencari alergen.

Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu (Baratawidjaja, 2006). Diperlukan pada urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut. Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu pemeriksaan urinalisis (mencari fokal infeksi di saluran kemih), feses rutin (mencari adanya parasit cacing), pemeriksaan darah tepi (LED dapat meningkat), pemeriksaan kadar IgE total, pemeriksaan hitung eosinofil total (eosinofilia), pemeriksaan uji kulit alergen ,

dermografisme, uji tempel es atau IgE spesifik dan kadar komplemen (C3, C4) untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari urtikaria, pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga (Baskoro et al, 2007). II. 8. Diagnosis Banding Beberapa penyakit mempunyai lesi yang mirip dengan urtikaria sehingga perlu dibuat diagnosis banding. Edema pada kulit yang mirip urtikaria dapat terjadi pada pemfigoid bulosa, herpes gestasiones, penyakit bula kronik pada anak. Beberapa penyakit lain yang didiagnosis banding dengan urtikaria kronik adalah : dermatitis atopik, pemfigoid bulosa, dermatitis kontak alergi, mastocytosis, gigitan kutu busuk, eritema multiforme, gigitan serangga, scabies, dan urtikaria vasculitis (Simon, 2005). II. 9. Pengobatan Hentikan obat-obatan, makanan atau penyebab lain yang mungkin sebagal pencetus, Antihistamin. Urtikaria yang sangat akut mungkin memerlukan suntikan epinephrine 1:1000. Kadang-kadang steroid sistemik diperlukan. Terdapat 3 jenis obat yang cukup baik untuk mengontrol gejala pada urtikaria, yaitu agen simpatomimetik, antihistamin dan kortikosteroid. Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, sedikit-dikitnya tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan penyebabnya. Gejala dapat diobati dengan efektif. Beberapa obat yang dapat dipergunakan antara lain adalah antihistamin oral (lewat mulu). Obat ini dapat mengontrol gejala bagi sebagian besar orang, namun tidak menghilangkan penyebabnya. Kombinasi dari beberapa antihistamin dapat menghasilkan hasil yang lebih baik. Contoh antihistamin yang tidak menyebabkan kantuk antara lain Loratadine,

Cetirizine. Antihistamin yang dapat menyebabkan kantuk antara lain CTM, difenhidramin. Jika antihistamin saja tidak mengurani gejala, pengobatan lain yang dapat dipergunakan adalah dengan kortikosteroid oral (lewat mulu) seperti prednison dapat mengurangi bengkak, kemerahan dan gatal, namun hanya diminum dalam jangka waktu sebentar saja untuk urtikaria yang berat dan angioedema karena prednison mempunyai efek samping yang cukup serius. Selain itu dapat dipakai adrenalin injeksi (suntik) untuk urtikaria yang berat dan angioedema yang berat. Edukasi pasien untuk menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Obat opiat dan salisilat dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE. Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis 0,01 ml/kg intramuskular (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1 seperti CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali yang dikombinasi dengan HCL efedrin 1 mg/tahun/kali sehari 3 kali. (Lihat penanggulangan anafilaksis). Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid misalnya prednison (sesuai petunjuk dokter). Pada urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari efek samping obat mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin 0,25 mg/kg/hari sekali sehari (Baratawidjaja, 2006). Non-medikamentosa
o

Hindari alergen yang diketahui. Termasuk beberapa makanan dan penyedap makanan, obat-obatan dan beberapa situasi seperti panas, dingin atau stress emosional

Membuat catatan. Mencatat kapan dan dimana urtikaria terjadi dan apa yang kita makan. Hal ini akan membantu anda dan dokter untuk mencari penyebab urtikaria.

Hindari pengobatan yang dapat mencetuskan urtiakria seperti antibiotik golongan penisilin, aspirin dan lainnya (Baskoro et al, 2007).

KESIMPULAN Telah dibicarakan mengenai klasifikasi patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, dan pengobatan urtikaria. Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat yang tegas untuk menentukan patogenesis semua bentuk urtikaria. Mastosit dan histamin memegang peranan penting pada hampir semua bentuk urtikaria. Ada beberapa faktor baik imunologi maupun non-imunologi yang dapat menyebabkan pelepasan mediator dari mastosit dan basofil, kemudian menimbulkan lesi urtikaria. Pengobatan urtikaria yang paling baik adalah mencari dan menghilangkan penyebab. Apabila penyebab tidak diketahui maka hindari faktor-faktor yang dapat memperburuk, seperti alkohol, aspirin dll. Terdapat 3 jenis obat yang cukup baik untuk mengontrol gejala pada urtikaria, yaitu agen simpatomimetik, antihistamin dan kortikosteroid.

I.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Sudigdo., Urtikaria, in : Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit, Penerbit Hipokrates, Jakarta. 2000 Aisah, Siti., Urtikaria, in : Adhi Djuanda, Mochtar. Hamzah. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin, Edisi Kelima, Penerbit FKUI. 2007 Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. Urtikaria dan Angiodema, in : Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007 Daniel K. Urtkaria, in: Isselbacher et all ed, Harrison Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Penyakit Dalam, Volume 1, Jakarta: EGC, 2000. Ronald A. Simon, M.D. et all, Urticaria and Angioedema In : New England Journal of Medicine, 2005, 350:1646-54, <http://www.nejm.org.pdf> accesed Dec. 31, 2009 Siregar, R. S., Urtikari, Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, EGC. 2005 http://ezcobar.com/dokteronline/dokter15/index.php?option=com_content&view= article&id=324:urtikaria-hives&catid=48:kulit-a-kelamin&Itemid=67 http://astaqauliyah.com/2007/06/20/referat-urtikaria-kronik-chronic-urticaria http://sampahtutorial.blogspot.com/search/label/urtikaria

You might also like