You are on page 1of 19

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam seperti cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi merupakan salah satu kelainan neorologis yang terbanyak setelah stroke. Epilepsi adalah gangguan sementara system saraf akibat pelepasan listrik secara tiba-tiba dan berlebihan dari neuron serebral yang dapat mengakibatkan kejang, gangguan sensasi, dan kehilangan kesadaran. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukkan pola bimodal yaitu puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsy idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsy simtomatik akut dan epilepsy pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri-atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsy menonjol, ialah epilepsy idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindro yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Epilepsy simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan difisit neurologik yang jelas. Untuk itulah di dalam makalah ini akan di bahas hal-hal apa saja mengenai penyakit epilepsi, apa penyebabnya, cara pengobatannya, farmakoterapi epilepsi dan pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin.

1.2 Tujuan a. Untuk mengetahui apa definisi epilepsi. b. Untuk mengetahui apa penyebab epilepsi. c. Untuk mengetahui patofisiologi epilepsi. d. Untuk mengetahui jenis-jenis kejang dalam epilepsi. e. Untuk mengetahui bagaimana cara pengobatan epilepsi. f. Untuk mengetahui bagaimana cara terapi non farmakologi. g. Untuk mengetahui farmakoterapi epilepsi. h. Untuk mengetahui pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin.

1.3 Rumusan Masalah a. Apa definisi epilepsi? b. Apa penyebab epilepsi? c. Bagaimana patofisiologi epilepsi? d. Apa saja jenis kejang yang terjadi pada saat epilepsi? e. Bagaimana cara pengobatan epilepsi? f. Bagaimana cara terapi non farmakologi? g. Farmakoterapi epilepsi? h. Apa pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin?

1.4 Manfaat Manfaat disusun nya makalah ini agar kita dapat mengetahui apa saja mengenai penyakit epilepsi, apa penyebabnya, cara pengobatannya, farmakoterapi epilepsi dan pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epilepsi Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam seranganserangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi Epilepsi atau yang sering kita sebut ayan atau sawan tidak disebabkan atau dipicu oleh bakteri atau virus dan gejala epilepsi dapat diredam dengan bantuan orang-orang yang ada disekitar penderita

2.2 Penyebab Epilepsi Penyebab epilepsi secara pasti memang tidak diketahui, dalam dunia medis hal ini biasanya disebut dengan idiopatik. Namun beberapa hal yang bisa menyebabkan epilepsi atau faktor predisisposisi penyakit epilepsi adalah : a. Asfiksia neonatorum. b. Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, penggunaaan obat-obatan, diabetes, atau hipertensi). c. Pascatrauma kelahiran. d. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan. e. Riwayat demam tinggi. f. Adanya riwayat penyakit pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan, epilepsi bakteri). g. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol. h. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi atau gizi. i. Riwayat keturunan epilepsi.

2.3 Patofisiologi Epilepsi Patofisiologi dari epilepsi ini adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari gangguan sistem saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi (Brunner, 2003).

Pada tingkat membran sel, neoron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya yaitu : a. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. b. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun sehingga mudah terangsang dan dapat terangsang secara berlebihan c. Terjadi polarisasi yang abnormal ( polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi). d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan membran neuron mengalami depolarisasi. Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang. Akibat adanya distriknia

muatan listrik pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sapai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan ini dapat duhubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan, hilangnya tonus otot serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsi bukan penyakit tetapi suatu gejala. Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf pada salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini. Pola awal kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal. Juga penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat kilatan sinar dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipiatal). 2.4 Jenis jenis kejang dalam epilepsi Jenis kejang yang ada dalam penyakit epilepsi ini terbagi menjadi : 1. Kejang umum, kejang grand mal ditandai oleh empat fase yaitu : a. Fase AURA. Seseorang mengalami berbagai sensasi sebelum kejadian kejang kronik. Sensasi ini merupakan tanda akan datangnya kejang. Sensasi mungkin merupakan penciuman, pusing, cahaya, rasa tertentu, baal atau getaran pada tangan, itu bagian awal dari kejang epilepsi. b. Fase TONIK. Ditandai oleh hilangnya kesadaran, jeritan (suara bernada tinggi disebabkan lewatnya udara melalui laring yang menutup disertai kontraksi maksimal otot-otot dada dan perut), tubuh kaku karena kontraksi tiba-tiba dari seluruh otot volunteer ( tangan fleksi, kaki ekstensi dan gigi rapat). c. Fase KLONIK. Ditandai oleh gerakan-gerakan kejang agitasi seluruh tubuh karena pergantian relaksasi dan kontraksi yang cepat dari seluruh otot volunteer. Pernapasan terhenti dan terjadi sianosis. Mungkin disertai mulut berbusa karena banyaknya saliva yang mungkin berwarna merah bila terjadi pendarahan karena tergigitnya lidah.

d. Fase PEMULIHAN / POSTIKTAL. Ditandai oleh terhentinya gerakangerakan kejang. Individu tidak sadar. Kesadaran dan semua gerakan volunteer perlahan kembali. Kebingungan, agitasi dan peka rangsang mungkin muncul. Individu akan merasa lelah. Mungkin mengalami inkontinensia urine. Individu jua lupa akan kejang yang dialaminya. 2. Kejang fokal atau parsial Kejang fokal sederhana ditandai dengan kejang pada bagian tubuh tertentu merupakan tempat dimana konduksi neural abnormal terjadi goncangan pada satu sisi wajah meluas kepada otot-otot tubuh pada sisi yangt sama. Gejala somatosensori bisa terjadi misalnya kesemutan, rasa logam, halusinasi visual; gejala otonom juga dapat terjadi seperti mual, berkeringat, individu tidak mengalami kehilangan kesadaran. Kejang fokal kompleks ditandai oleh adanya kehilangan kesadaran, disertai tingkah laku kacau seperti lip smaking, menarik-narik pakaian, atau menunjukkan jari. Kemudian kacau mental dan peka rangsang terjadi kemudian. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum. Dengan kejang pertama, seseorang dirawat dan mengalami pemeriksaan diagnostic lengkap untuk menentukan penyebab kejang.

2.5 Pengobatan Epilepsi a. tujuan terapi Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari factor pencetus, dan memakai obat anti konvulsi. b. sasaran terapi Sasaran terapi pada epilepsi yaitu menstabilkan membran saraf dan mengurangi aktifitas kejang dengan meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pemasukan ion Na+ yang melewati membran sel pada kortek selama pembangkitan impuls saraf. c. strategi terapi

Strategi terapi untuk epilepsi yaitu menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Dengan penanganan yang tepat, 80% penderita epilepsi menunjukkan respon pengobatan yang bagus. Dengan catatan: a. Minum obat secara teratur. b. Hindari pencetus (makan tidak teratur, kelelahan, stres fisik dan psikis, kurang tidur). c. Jika anak sakit cepat berobat, karena demam tinggi, diare, atau muntah yang menyebabkan kekurangan cairan dan elektrolit dapat mencetuskan kejang. d. Pada epilepsi fotosensitif, hindari cahaya yang berkedip-kedip seperti dari komputer, TV, playstation, video, dan sebagainya.

Dari catatan di atas, jelas terlihat bahwa penderita epilepsi membutuhkan hidup teratur atau pola hidup sehat. Khusus pada remaja putri yang baru saja mendapat menstruasi perlu perhatian khusus, karena perubahan hormonal yang terjadi bisa memicu terjadinya kekambuhan epilepsi. Uniknya, tidak semua epilepsi perlu diobati, jika interval antara kejang pertama dengan kejang berikutnya. Lebih dari 6 bulan, maka tidak perlu obat. Jadi, tak perlu kawatir secara berlebihan, karena ada jalan bagi penderita epilepsi. Dengan mengenali secara dini(e-smartschool).

2.6 Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi pada kasus epilepsy mencakup diet, operasi dan stimulasi vagus nerve. Stimulasi vagus nerve merupakan tindakan implantasi medis yang disetujui oleh FDA untuk penggunaannya sebagai terapi penunjang dalam mengurangi frekuensi kejang pada dewasa dan remaja dengan usia lebih dari 12 tahun dengan onset kejang parsial. Mekanisme kerja sebagai antikejang dari VNS belum diketahui pada manusia, tetapi studi pada hewan mengindikasikan bahwa VNS mempunyai banyak aktivitas. Studi pada manusia memperlihatkan bahwa VNS mengubah konsentrasi cairan serebrospinal terhadap penghambatan dan stimulasi

neurotransmitter dan aktivitas pada area spesifik otak yang mengatur aktivitas kejang melalui peningkatan aliran darah.

Operasi merupakan terapi pilihan pada pasien tertentu dengan epilepsy focal yang susah disembuhkan. Keberhasilan dilaporkan pada 80-90% terpilih untuk operasi. Dapat terlihat bahwa pembedhan bisa mengurangi resiko kematian, tetapi juga meningkatkan depresi dan kecemasan pada pasien epilepsi.

2.7 Farmakoterapi Epilepsi Penanganan yang optimal terhadap epilepsi memerlukan terapi anti epilepsi yang disesuaikan untuk masing-masing individu khususnya pada kelompok pasien tertentu (seperti anak, wanita yang beresiko melahirkan dan orang tua). Terapi lebih diutamakan dengan satu jenis obat berdasarkan pada tipe kejang dan resiko terjadinya efek samping obat. Obat-obat Antiepilepsi diantaranya yaitu : a. Carbamazepine Carbamazepin (CBZ) merupakan derivat iminostibene yang berhubungan dengan antidepresan trisiklik yang digunakan untuk mengobati tonik klonik . Range teraupetik CBZ yang diterima untuk pengobatan kejang adalah 4-12 mg/ml. ikatan protein plasma berbeda pada masing-masing pasien hal ini karena CBZ terikat pada albumin dan 1-acid glycoprotein (AAG). Pada pasien yang konsentrasinya normal ikatan proteinnya adalah 75-80%. AAG meningkat pada pasien stress, penyakit seperti trauma, gagal jantung dan infark miokard. Pada pasien ini ikatan proteinnya sampai 85-90%. Walaupun ikatan protein plasma CBZ tinggi tetapi sulit untuk dilepaskan oleh obat lain. Farmakologi dan mekanisme kerja Mekanisme nyata Carbamazepine menakan kejang belum jelas, walaupun CBZ diyakini dapat menghambat channel Na. Farmakokinetika Absorpsi CBZ dalam bentuk tablet lambat dan tidak teratur karena memiliki kelarutan yang rendah. CBZ tidak melewati firs past metabolism. Makanan dapat meningkatkan bioavailabilty dari obat. Bentuk suspense lebih cepat diabsorpsi dari pada bentuk tablet. CBZ juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dan lepas control. CBZ lebih bersifat lipofil.

Lebih dari 98-99 % dari dosis CBZ yang diberikan dimetabolisme di hati,

khususnya dengan CYP3A4. Metabolit umum dari CBZ adalah carbamazepine10,11-epokside yang mempunyai aktivitas antikonvulsan pada hewan dan manusia. CBZ bersifat autoinduksi. Efek Samping Obat Metabolit CBZ adalah karbamazepin-10,11-epoxide yang memiliki efek dan juga bersifat toksik. Konsentrasi epoxide ini bisa lebih tinggi pada pasien dengan penginduksi enzim dan bisa lebih rendah pada pasien dengan inhibitor enzim. Gejala yang berhubungan dengan efek samping obat antara lain mual, muntah, letargi, dizziness, diplopia, unsteadiness, ataksia, dan incoordination. Carbamazepin sendiri juga menginduksi enzim metabolisme hati. Parameter monitor klinik yang harus diukur pada pasien ini adalah : o Efek samping yang berhubungan dengan konsentrasi karena carbamazepin memiliki efek antidiuretik yang berhubungan dengan penurunan kadar hormon antidiuretik, beberapa pasien mungkin mengalami hiponatrium selama penggunaan terapi jangka panjang, dan konsentrasi serum natrium perlu di ukur secara periodic. o Efek samping hematologi dapat dibagai menjadi dua yaitu : a. Leukopenia yang terjadi pada kebanyakan pasien yang tidak membutuhkan intervensi terapi. b. Efek hematologi yang berat dan membutuhkan terapi untuk dihentikan yaitu trombositopenia, leukopenia (sel darah putih kurang dari 2500 cell/mm2) atau netrofil kurang dari 1000 cel/mm2 atau anemia. Efek samping yang jarnag bisa menyebabkan anemia aplastik, dan agranulositosis. o Obat menginduksi hepatitis juga pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan CBZ.

b. Phenobarbital Mekanisme kerja Menghentikan kejang dengan menurunkan eksitasi postsinaptik,

kemungkinan melalui respon stimulasi inhibitor GABAergic post sinaptik.

10

Efek antikonvulsi yang selektif terutama diberikan oleh gugus 5-fenil. Barbiturate bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada semua tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik, walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA sebagian menyerupai benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturate dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. Phenobarbital meningkatkan ambang kejang dengan berinteraksi dengan reseptor GABA untuk memfasilitasi fungsi saluran Cl- intrasel, menghambat saluran Ca yang mengaktivasi tegangan tinggi. Beberapa aktivitas obat disebabkan oleh kemampuannya menghambat receptor AMPA (amino-3-hydroxy5-methylisoxazol-4-propionic acid) dan reseptor kainite. Efek Samping Efek samping fenobarbital yang umum adalah ataxia, sakit kepala, sedasi, konfusi, dan letargi, nausea, irritabilitas dan hiperaktif, gangguan berpikir dan memori. Penggunaan jangka lama mengakibatkan defisiensi asam folat dan efek samping yang jarang menyebabkan anemia megaloblastik. Tujuan terapi antikejang ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejang dan meningkatkan kualitas hidup, dengan efek samping yang minimum. Parameter klinik yang harus dimonitor pada pemakaian obat ini antara lain efek samping, gastrointestinal upset (mual, muntah) ketika menggunakan obat ini. Reaksi idiosinkratik (sangat jarang) yaitu connective tissue disorder, lesi kulit dan blood dyscrasia. Parameter farmakokinetik klinik dasar dari fenobarbital sebagai berikut: o Dieliminasikan terutama melalui (65-70%) melalui metabolisme

hati menjadi metabolit inaktif. Lebih kurang 30-35% fenobarbital dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah . Ekresi renal terhadap unchanged fenobarbital tergantung kepada pH, pada pH basa akan meningkatkan klirens ginjal. o Fenobarbital terikat dengan protein plasma sekitar 50%

11

Bioavailabilitas oral fenobarbital mencapai 100%.

Clearence rate (Cl) fenobarbital untuk anak adalah 8 mL/jam/kg, volume distribusinya adalah 0.7 L/kg dan T1/2 nya adalah 60 jam pada anak-anak. Fenobarbital merupakan penginduksi yang poten terhadap obat yang

dimetabolisme dihati yaitu enzim CYP1A2, CYP2C9, dan CYP3A4. Oleh karena itu perlu diperhatikan interaksi obat yang mungkin muncul pada pasien yang menggunakan obat ini. Berikut adalah obat-obat yang clearencenya meningkat karena pemakaian bersama dengan fenobarbital yaitu karbamazepin, lamotigrin, asam valproat, siklosporin, nifedipin, diltiazem, verapamil, kontrasepsi oral, antidepresan trisiklik, quinidin, teofilin dan warfarin. Toleransi terhadap barbiturate dapat terjadi secara farmakodinamik dan farmakokinetik. Farmakodinamik lebih berperan dalam penurunan efek dan berlangsung lebih lama daripada toleransi farmakokinetik. Toleransi terhadap efek sedasi dan hipnosis terjadi lebih segera dan lebih kuat daripada efek antikonvulsinya. Penderita yang toleran terhadap barbiturat juga toleran terhadap senyawa yang mendepresi SSP, seperti alcohol. Bahkan dapat juga terjadi toleransi silang terhadap senyawa dengan efek farmakologi yang berbeda seperti opioid. Keuntungan Phenobarbital mempunyai farmakokinetika linear dimana jika dosis digandakan, maka konsentrasi serum juga akan meningkat dua kali lipat. Obat tersedia dalam bentuk oral, solid, oral liquid, IM, IV. Harga obat mudah dijangkau. Kerugian ESO yang sangat signifikan. Obat ini dapat menginduksi enzim dan berinteraksi dengan banyak obat yang dimetabolisme oleh enzim Cytochrome P450. Phenobarbital mempunyai waktu paruh yang panjang.

12

c. Ethosuximide Mekanisme kerja Menghambat enzim NHDPH aldehyd reductase, inhibisi sistem Na K ATPase, menurunkan aktivasi arus Na menghambat channel Ca2+ yang tergantung pada channel K+, inhibisi arus Ca2+ tipe T. Farmakokinetik Metabolisme terjadi di hati melalui hidroksilasi, menghasilkan metabolit inaktif Efek samping obat Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual dan muntah (lebih dari 40 %) efek ini dapat diminimalisir dengan pemberian dosis yang lebih kecil dan frekuensi pemakaian yang lebih sering. Efek samping lain meliputi mengantuk, lelah, lethargy, pusing, cegukan dan sakit kepala. Efek yang jarang timbul adalah reaksi idiosinkratik, seperti ruam, lupus dan kelainan darah. Keuntungan Obat ini sangat befektif pada pengobatan pilepsi tanpa kejang, mempunyai toleransi yang baik dan mempunyai interaksi farmakokinetik. Kerugian Obat ini mempunyai efektifitas spektrum yang sempit.

d. Felbamate Mekanisme kerja Bekerja sebagai antagonis reseptor glisin pada reseptor N-methyl Daspartat (NMDA). Aksi ini menghambat inisiasi dan perkembangan kejang. Obat ini juga menghambat peningkatan stimulasi NMDA/glycine pada Ca2+ intrase. Farmakokinetik Absorbsi felbamate cepat dan baik. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan dan antasid. 40-50 % dosis felbamate dimetabolisme melalui hidroksilasi dan konyugasi di hati. Metabolisme dieksresikan melalui urin. Felbamate menggambarkan farmakokinetik linier. Efek samping obat

13

Anorexia, turunnya berat badan, insomnia, mual, sakit kepala. Anorexia dan turunnya berat badan terjadi terutama pada anak-anak dan pasien dengan intake kalori yang sedikit. Keuntungan Felbamate mempunyai mekanisme kerja yang unik. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan kejang atonik dan efektif pada pengobatan kejang parsial. Kelemahan Penggunaan felbamate dibatasi pada pasien dengan anemia aplastik dan hepatotoksisitas.

2.8 Pengaruh epilepsi dan obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin a. Pengaruh terhadap kehamilan Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko timbulnya preeklampsia 50%-250%.30 Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik dan kemungkinan untuk dilakukannnya seksio sesaria.

Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada saat serangan. Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak meningkat, yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia.5 Eklampsia atau Pregnancy Induced Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika media arteriola, merembesnya protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera diatasi dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.

14

b. Pengaruh terhadap janin Kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi. Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan atau kematian pada janin. Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil mengalami kecelakaan seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan trauma dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban, persalinan prematur, infeksi. Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi denyut jantung janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20 menit), sedangkan bila kejang berulang dan berlangsung lama komplikasi terhadap jantung menjadi lebih berat serta dapat mengganggu sirkulasi sistemik janin sehingga bisa timbul hipoksia. Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita hamil yaitu keguguran 3-4 kali dari kehamilan normal, kemampuan untuk hidup janin menurun seperti Apgar skor yang rendah, lahir mati dan kematian perinatal , gangguan perkembangan janin (berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi perdarahan intra kranial, dimana setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal sudah mengalami maserasi. Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibuibu dan setengah dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang kehamilannya.

c. Pengaruh terhadap neonatus Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih banyak daripada populasi umum.6,35 Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII, IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan ini dapat dicegah

15

dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu terakhir kehamilan.5,6 Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur maka vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir. Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi koagulopati. Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar (tremor), mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan muntah-muntah.36 Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 2-4 bulan. Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan perkembangan bahasa.6 Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%) pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti epilepsi dan kadar asam folat yang rendah. Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar malformasi kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita hamil trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada factor genetiknya. Tidak ada malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti epilepsi satu jenis tertentu. Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural tube) dan malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin (0,5%).39 Oleh karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita hamil penyandang epilepsi. Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses detoksifikasi

16

dan inhibisi yang berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko teratogenitas. Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain, tampaknya phenytoin paling banyak disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero. Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20% perkembangan yang lambat.40 Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu: Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi mental, lipatan epikantal, hernia inguinalis dll. Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat ini tidak digunakan lagi. Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat timbul akibat phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan defisiensi asam folat. Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah, gangguan perkembangan dan defek jantung. Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal, Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal. Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan gangguan perkembangan. American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital sebagai obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di berhentikan atau tidak mendapat pengobatan. Keputusan yang ekstrim ini dianggap tidak mempertimbangkan banyak aspek seperti toleransi obat terhadap penderita, efek penghancuran yang potensial terhadap phenobarbital

17

pada janin dan penggantian obat anti epilepsi lain ke phenobarbital. Saat ini di Perancis para dokter kandungan lebih menyukai penggunaan phenobarbital sedangkan di Inggris dan Amerika Serikat lebih menyukai phenytoin. Akhir-akhir ini ada beberapa obat baru yang pada percobaan hewan tidak teratogenik misalnya felbamat dan gabapentin. Wanita penyandang epilepsi yang menyusui bayinya dapat menyebabkan obat anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi dalam ASI adalah sebagai berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%, karbamazepine 40%, asam valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI tetap diberikan, karena penghentian ASI yang mendadak dapat menyebabkan kejang pada neonatal.

d. Pengaruh obat anti epilepsi terhadap kehamilan Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi mempunyai risiko, karena itu memilih antara minum atau tidak minum obat haruslah berpedoman pada risiko timbulnya komplikasi obat anti epilepsi pada ibu dan janin atau neonatus. Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin. Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5 4,5 kali dan induksi partus dilakukan 2-4 kali.43 Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria (dua kali lebih sering dari biasa). Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi.

18

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan Epilepsi adalah Gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan (seizure, fit attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan terjadi berulang (kambuhan). Dalam literatur lain definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. Keputusan memulai pengobatan dengan antiepilepsi dan pemilihan pengobatan tergantung kepada frekuensi kejang, adanya gangguan secara neurologi, teridentifikasinya sindrom epilepsy dan harapan terhadap anak kehidupannya. Untuk anak kebanyakan, epilepsy dikontrol dengan pemberian antiepilepsi tunggal. Tujuan dari pengobatan adalah untuk mencegah kejang berulang dengan memberikan dosis pengobatan yang efektif dari satu atau lebih obat antiepilepsi. Penyesuaian dosis dengan hati-hati penting . dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sampai kejang terkontrol atau atau efek samping yang signifikan.

3.2 Saran Bahwa setelah membaca makalah ini, para pembaca dapat mengetahui dan menghindari hal-hal apa yang dapat menyebabkan epilepsi dan bagaimana cara pencegahan dan perawatan bagi penderita.

19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Makalah Epilepsi. [Online] Tersedia : http://www.scribd.com/doc/39746285/makalah-epilepsi (Akses : Minggu, 17 maret 2013, 08.00 WIB) Anonim. 2013. Makalah Epilepsi. [Online] Tersedia : http://www.scribd.com/doc/111469904/MAKALAH-EPILEPSI (Akses : Minggu, 17 maret 2013, 08.20 WIB) Annegers JF., 2001. The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment of Epilepsy, 3d ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. A.Price Sylvia dan M.Wilson Lorraine. Patofisiologi volume 2 edisi 6. 2006. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions andBackground. In: Handbook of Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P. Ganiswarna. Farmakologi Terapan Edisi IV. 2006. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. Gilman, A. G. Dasar Farmakologi Terapi Volume I. 2007. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tjay Hoan Tan Drs dan Raharja Kirana Drs. 2008. Obat-Obat Penting Edisi 6. Gramedia. Jakarta.

You might also like