Professional Documents
Culture Documents
Itu sebabnya diperlukan peraturan perundangan yang bisa memilah-milah perlakuan. Ambillah contoh Amerika Serikat. Di negara itu, ada pornografi yang secara nasional dinyatakan terlarang, yakni kid pornography alias pornografi yang menggunakan model anak. Berikutnya ada pula pornografi terlarang yang penafsirannya bisa berbeda di antara negara bagian, yakni yang ditafsirkan masuk dalam kategori obscene (cabul). Tafsirannya antardaerah bisa berbeda, karena yang disebut obscenity adalah "penggambaran aktivitas seksual yang menjijikkan dan berlebihan menurut standar komunitas tertentu". Di luar pornografi yang terlarang adalah pornografi yang diizinkan. Hanya, diizinkan tidak berarti bisa dijual bebas. Karena pornografi ditafsirkan sebagai sesuatu yang hanya layak dikonsumsi orang dewasa, penjualannya dibatasi. Sebagai contoh majalah seperti Playboy harus dijual dalam sampul plastik dan dipajang di tempat yang tidak terjangkau anak-anak di bawah usia 17 tahun. Pola semacam ini yang bisa diperkenalkan melalui Undang-Undang Antipornografi di Indonesia nanti. Dalam undang-undang itu, bisa saja dibuat dua kategori pornografi: pornografi terlarang dan pornografi yang diizinkan namun dibatasi. Memang sejauh ini rancangan undang-undang yang dibuat parlemen masih cenderung menggeneralisasi seluruh pornografi. Namun, dari rangkaian pembicaraan atas inisiatif Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia, dan berbagai perwakilan kelompok masyarakat, ada kesan sangat kuat bahwa yang nanti akan dikembangkan adalah undang-undang yang mempertimbangkan keragaman pornografi. Jadi, jangan terlalu khawatir dulu. UU Antipornografi belum tentu meniadakan semua bentuk pornografi. Ada yang akan dilarang, itu pasti. Tapi bukankah memang tidak ada di antara kita yang setuju bahwa kid pornography bisa beredar di negara ini?