You are on page 1of 2

01 Desember 2003

Pornografi: Dilarang atau Dibatasi?


Ade Armando Dosen ilmu komunikasi FISIP Universitas Indonesia KETIKA dikabarkan parlemen mulai menyiapkan Rancangan Undang-Undang Antipornografi, wajar bila ada banyak pihak terganggu. Yang khawatir bukan saja penggemar VCD porno atau pelanggan majalah porno atau pula para pekerja di biro iklan yang lazim menampilkan perempuan sebagai bagian dari daya tarik produk kreatif mereka, tapi juga mereka yang peduli pada "kebebasan berekspresi". Ada bayangan bahwa undang-undang semacam ini akan menghadirkan rangkaian larangan yang membatasi banyak hak individu dalam negara demokratis. Sebenarnya UU Antipornografi tidak mesti berarti pelarangan terhadap pornografi. Bila intervensi negara dalam pornografi dianggap sebagai cermin pengekangan hak asasi manusia, semua negara industri maju masuk dalam kategori negara pelanggar hak asasi. Faktanya, tak ada negara di dunia yang tidak memberlakukan pembatasan terhadap pornografi. Derajatnya mungkin berbeda, tapi bahkan negara liberal pun tak mengizinkan pornografi terjaja secara bebas. Dengan beragam argumen, kaum feminis, penganut agama taat, kaum pendidik, lazim menjadi pihak yang paling keras menyuarakan penolakan terhadap pornografi. Dengan begitu, bila pornografi dibiarkan tersebar luas dengan dalih sebagai "hak warga negara", itu akan mengancam kepentingan sebagian publik. Sebaliknya, dalam sebuah masyarakat multikultur di abad ke-21, bila dilarang sama sekali itu pun akan bertentangan dengan hak sebagian publik lainnya yang tidak menganut keyakinan serupa. Kompromi antara kedua kepentingan itu lazimnya diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan formal. Di satu sisi, ketentuan tersebut mengatur distribusi pornografi sehingga hanya bisa dikonsumsi oleh mereka yang menganggap pornografi sebagai bukan hal bermasalah, dan di sisi lain, menetapkan bentuk-bentuk pornografi yang sama sekali terlarang. Definisi pornografi yang diterima secara relatif sama di seluruh dunia adalah segenap materi di media yang membangkitkan hasrat seksual. Dengan menggunakan makna generik itu, pornografi bisa mencakup begitu banyak hal. VCD porno yang dalam durasi 50 menit menyajikan 50 menit adegan hubungan seksual jelas dikategorikan pornografi. Tapi bila goyang Inul di layar televisi bisa dipersepsikan merangsang secara seksual bagi umumnya penonton pria normal, juga masuk ke dalam pornografi. Begitu juga foto gadis-gadis pada serial Baywatch dan foto di cover sejumlah majalah di Indonesia. Jadi makna pornografi tidak tunggal, dan karena itu diperlukan payung perundangan yang memperlakukan pornografi bukan sebagai sesuatu yang tunggal. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana memang ada ancaman terhadap mereka yang menyebarkan media yang melanggar kesusilaan dan mampu membangkitkan berahi. Masalahnya, bila pasal itu yang digunakan, ia akan digunakan atas seluruh bentuk pornografi tanpa pandang bulu. Ambillah misal sebuah buku pendidikan seks yang mengajarkan secara mendetail teknik bercinta. Bila pengadilan memutuskan ia tergolong dalam kategori "melanggar kesusilaan", buku itu akan diperlakukan sebagai barang terlarang di negara ini. Sebaliknya bila buku itu dinyatakan tidak melangar hukum, ia bisa dijual bebas di mana pun serta dapat dibeli atau dibaca oleh siapa pun, termasuk oleh anak-anak.

Itu sebabnya diperlukan peraturan perundangan yang bisa memilah-milah perlakuan. Ambillah contoh Amerika Serikat. Di negara itu, ada pornografi yang secara nasional dinyatakan terlarang, yakni kid pornography alias pornografi yang menggunakan model anak. Berikutnya ada pula pornografi terlarang yang penafsirannya bisa berbeda di antara negara bagian, yakni yang ditafsirkan masuk dalam kategori obscene (cabul). Tafsirannya antardaerah bisa berbeda, karena yang disebut obscenity adalah "penggambaran aktivitas seksual yang menjijikkan dan berlebihan menurut standar komunitas tertentu". Di luar pornografi yang terlarang adalah pornografi yang diizinkan. Hanya, diizinkan tidak berarti bisa dijual bebas. Karena pornografi ditafsirkan sebagai sesuatu yang hanya layak dikonsumsi orang dewasa, penjualannya dibatasi. Sebagai contoh majalah seperti Playboy harus dijual dalam sampul plastik dan dipajang di tempat yang tidak terjangkau anak-anak di bawah usia 17 tahun. Pola semacam ini yang bisa diperkenalkan melalui Undang-Undang Antipornografi di Indonesia nanti. Dalam undang-undang itu, bisa saja dibuat dua kategori pornografi: pornografi terlarang dan pornografi yang diizinkan namun dibatasi. Memang sejauh ini rancangan undang-undang yang dibuat parlemen masih cenderung menggeneralisasi seluruh pornografi. Namun, dari rangkaian pembicaraan atas inisiatif Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia, dan berbagai perwakilan kelompok masyarakat, ada kesan sangat kuat bahwa yang nanti akan dikembangkan adalah undang-undang yang mempertimbangkan keragaman pornografi. Jadi, jangan terlalu khawatir dulu. UU Antipornografi belum tentu meniadakan semua bentuk pornografi. Ada yang akan dilarang, itu pasti. Tapi bukankah memang tidak ada di antara kita yang setuju bahwa kid pornography bisa beredar di negara ini?

You might also like