You are on page 1of 58

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR TAHUN TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2009 - 2029 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara dengan memanfaatkan ruang wilayah secara serasi, selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah c. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomr 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara.

Mengingat

: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Propinsi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3406);

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444); 20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 );

25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 27. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 29. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 31. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660); 32. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776); 33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3034); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696); 41. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik

42.

43. 44. 45. 46. 47.

Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4833); Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor .......Tahun 2008 tentang Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun ...........

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 17/K/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009 - 2029

BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah 2. Daerah adalah Provinsi Sumatera Utara; 3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara; 4. Kepala Daerah adalah Gubernur Sumatera Utara; 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara; 6. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara; 7. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara; 8. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi; 9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya; 10. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak; 11. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; 12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang; 13. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional; 14. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya;

15.

16. 17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26. 27.

28. 29.

30. 31.

32.

Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang menudukung prikehidupan dan penghidupan. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. Kawasan Alur Pelayaran adalah wilayah perairan yang dialokasikan untuk alur pelayaran bagi kapal. Kawasan Pertahanan Keamanan adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk kepentingan kegiatan pertahanan dan keamanan, yang terdiri dari kawasan latihan militer, kawasan pangkalan TNI Angkatan Udara, kawasan pangkalan TNI Angkatan Laut, dan kawasan militer lainnya. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda

33.

34. 35. 36. 37. 38.

39. 40.

41.

42.

43. 44.

45.

46.

47.

48. 49. 50.

51.

52.

transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya. Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri. Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri. Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi. Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas. Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke Bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan. Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan udara. Tatanan Kepelabuhanan Nasional suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hirarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sector lain. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminan dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia serta norma, kriteria, persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.

53. 54. 55.

56.

57. 58. 59. 60.

61. 62. 63.

64.

65. 66. 67. 68. 69. 70. 71.

72. 73.

74.

75.

Prasarana Perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis

76.

77.

78.

79. 80. 81. 82.

83.

84.

85. 86.

87. 88. 89. 90. 91. 92.

93. 94. 95.

yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk kelestarian fungsi mata air. Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau yang berfungsi memberi perlindungan kepada kehidupan pantai dan laut. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan pendidikan. Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau didirikan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus, selanjutnya disebut ODTWK, adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana. Wilayah Prioritas adalah wilayah yang dianggap perlu diprioritaskan penanganannya serta memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu perencanaan. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah yang ditetapkan secara nasional selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. Pusat Kegiatan Wilayah yang di promosikan oleh provinsi selanjutnya disebut PKWp adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (WS-WS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Pengelolaan WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara

96.

97.

98. 99.

100. 101. 102.

103. 104.

105.

106.

107.

108. 109. 110. 111.

sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan masyarakat (manusia) dapat bertahan. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup. Habitat adalah lingkungan fisik, kimia dan biologis dengan ciri-ciri khusus yang mendukung spesies atau komunitas biologis tertentu. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan). Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang tumbuh dan berkembang pada daerah air payau atau daerah pasang surut dengan substrat berlumpur dicampur dengan pasir. Biasanya berada di mulut sungai. Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama dengan 10.000 km, jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat insuler, memiliki biota indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan sempit, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda dengan pulau induk. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

112. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Ruang Lingkup Pasal 2 (1) Ruang lingkup rencana tata ruang wilayah provinsi mencakup struktur dan pola ruang serta strategi pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kota sampai batas ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini berisi : a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; b. rencana struktur tata ruang wilayah provinsi; c. rencana pola ruang wilayah provinsi; d. penetapan kawasan strategis provinsi; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi; f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang provinsi; g. peran serta masyarakat. Tujuan Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Pasal 3

Penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk mewujudkan wilayah Provinsi Sumatera Utara yang sejahtera, merata, berdaya saing dan dan berwawasan lingkungan Pasal 4 RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang provinsi ; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah provinsi; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah provinsi; d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota. Bagian Kedua Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Pasal 5 (1) kebijakan pertama yaitu mengurangi kesenjangan pengembangan wilayah timur dan barat, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah barat sesuai dengan daya dukung b. membangun dan meningkatkan jaringan jalan poros timur dan barat kebijakan kedua mengembangkan sektor ekonomi unggulan melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi produk, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. mendorong kegiatan pengolahan komoditi unggulan di pusat produksi komoditi unggulan b. meningkatkan prasarana perhubungan dari pusat produksi komoditi unggulan menuju pusat pemasaran c. menyediakan sarana dan prasarana pendukung produksi untuk menjamin kestabilan produksi komoditi unggulan d. mengembangkan pusat-pusat agropolitan untuk meningkatkan daya saing e. meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia serta memperluas jaringan transmisi tenaga listrik guna mendukung produksi komoditas unggulan kebijakan ketiga mewujudkan ketahanan pangan melalui intensifikasi lahan yang ada dan ekstensifikasi kegiatan pertanian pada lahan non-produktif, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. mempertahankan luasan pertanian lahan basah yang ada saat ini b. meningkatkan produktivitas pertanian lahan basah c. mencetak kawasan pertanian lahan basah baru untuk memenuhi swasembada pangan kebijakan keempat menjaga kelestarian lingkungan dan mengembalikan keseimbangan ekosistem, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. mempertahankan luasan dan meningkatkan kualitas kawasan lindung b. mengembalikan ekosistem kawasan lindung

(2)

(3)

(4)

10

(5)

(6)

kebijakan kelima mengoptimalkan pemanfaatan ruang budidaya sebagai antisipasi perkembangan wilayah, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. Mengendalikan perkembangan fisik permukiman perkotaan b. Mendorong intensifikasi pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan kebijakan keenam meningkatkan aksesibilitas dan memeratakan pelayanan sosial ekonomi ke seluruh wilayah provinsi, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. membangun dan meningkatkan kualitas jaringan transportasi keseluruh bagian wilayah provinsi b. menyediakan dan memeratakan fasilitas pelayanan sosial ekonomi (kesehatan, pendidikan, air bersih, pemerintahan dan lain-lain).

BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Rencana struktur ruang wilayah provinsi meliputi: a. sistem perkotaan provinsi; b. sistem jaringan transportasi provinsi; c. sistem jaringan energi provinsi; d. sistem jaringan telekomunikasi provinsi; dan e. sistem jaringan sumber daya air provinsi. f. sistem jaringan sarana dan prasarana lingkungan Rencana struktur ruang wilayah provinsi digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional Pasal 7 Kebijakan pengembangan tata ruang yang ditetapkan pada tingkat nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dipertimbangkan dalam RTRWP Sumatera Utara yang meliputi : (1) menetapkan kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro) sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN); (2) menetapkan Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau Prapat, Kisaran, Gunung Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); (3) menetapkan jalan bebas hambatan (jalan tol) meliputi : a. Ruas Medan Kualanamu Tebing Tinggi b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat d. Ruas Binjai Langsa e. Ruas Tebing Tinggi Pematang Siantar Parapat Tarutung - Sibolga f. Ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung Morawa) g. Ruas Medan - Binjai (4) menetapkan Pelabuhan Belawan dan pelabuhan Sibolga sebagai pelabuhan internasional serta Tanjung Balai Asahan sebagai Pelabuhan Nasional (5) menetapkan bandar udara Kuala Namu diarahkan sebagai pusat penyebaran primer dan Silangit sebagai pusat penyebaran tersier. (6) menetapkan wilayah sungai strategis nasional meliputi : Belawan Ular Padang, Toba Asahan, Batang Angkola Batang Gadis serta wilayah sungai strategis lintas provinsi adalah Batang Natal Batang Asahan. (7) menetapkan kawasan lindung nasional cagar alam Dolok Sibual-buali, Dolok Sipirok dan Sei Ledong, suaka marga satwa meliputi : Karang Gading Langkat Timur Laut, Barumun, Siranggas,

(2)

11

(8)

Dolok Surungan. taman nasional adalah Batang Gadis, Taman nasional gunung Leuser, taman hutan raya adalah Bukit Barisan menetapkan kawasan strategis nasional adalah Kawasan Perkotaan Medan Binjai Deli Serdang Karo (Mebidangro), Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Ekosistem Leuser yang berbatasan dengan Provinsi Aceh serta Kawasan Perbatasan Pulau Kecil Terluar Pulau Berhala. Bagian Kedua Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Pasal 8

Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara diarahkan menjadi 3 (tiga) hirarki pusat pelayanan, yaitu : (1) Pusat Kegiatan Nasional, yaitu pusat pelayanan primer yang melayani wilayah Provinsi Sumatera Utara dan wilayah nasional/internasional yang lebih luas. (2) Pusat Kegiatan Wilayah, yaitu pusat pelayanan sekunder yang melayani satu atau lebih daerah Kabupaten/Kota dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah sekitarnya. (3) Pusat Kegiatan Lokal, yaitu pusat pelayanan tersier melayani satu atau lebih kecamatan. Pusat pelayanan tersier ini terutama dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih efisien sebagai sentra pelayanan kegiatan Pasal 9 Sistem perkotaan Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut : (1) PKN mencakup kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro) (2) PKW meliputi kawasan perkotaan : Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau Prapat, Kisaran, Gunung Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga (3) PKL meliputi kawasan perkotaan : Pangkalan Brandan, Stabat, Pancur Batu, Lubuk Pakam, Sei Rampah, Limapuluh, Indrapura, Perdagangan, Tanjung Balai, Simpang Empat, Aek Kanopan, Labuhan Bilik, Kota Pinang, Aek Nabara, Gunung Tua, Sipirok, Natal, Panyabungan, Sibuhuan, Pandan, Barus, Pangururan, Parapat, Dolok Sanggul, Tarutung, Siborong-borong, Kaban Jahe, Brastagi, Merek, Tiga Binanga, Salak, Pematang Raya, Lahewa/Lolu, Teluk Dalam, Lahomi/Sirombu, Gido/Lasara, Gunung Sitoli.

Paragraf Kedua Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Pasal 10 (1) Pusat Kegiatan Nasional PKN, Pusat Kegiatan Wilayah PKW, dan PKL Pusat Kegiatan Lokal dapat berupa: a. kawasan megapolitan; b. kawasan metropolitan; c. kawasan perkotaan besar; d. kawasan perkotaan sedang; atau e. kawasan perkotaan kecil. PKL ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan Menteri. PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional; b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau

(2) (3)

12

(4)

(5)

c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi. PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN; b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten. PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Pasal 11 (1) kawasan megapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan yang ditetapkan dengan kriteria memiliki 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang mempunyai hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satu juta) jiwa; b. terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beberapa kawasan perkotaan di sekitarnya yang membentuk satu c. kesatuan pusat perkotaan; dan d. terdapat keterkaitan fungsi antarkawasan perkotaan dalam satu sistem metropolitan. kawasan perkotaan besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa. kawasan perkotaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa. kawasan perkotaan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa. Bagian Ketiga Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Transportasi Paragraf Pertama Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Pasal 12 Sistem jaringan transportasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b terdiri atas: (1) sistem jaringan transportasi darat yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan jalur kereta api, dan jaringan transportasi penyebrangan sungai, danau,dan jalan bebas hambatan; (2) sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran. (3) sistem jaringan transportasi udara terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan. Pasal 13

(2)

(3)

(4)

(5)

13

Sistim Transportasi di Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b diarahkan untuk sistim transportasi multi moda yang terintegrasi dari melayani Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Darat Sistim Transportasi Jaringan Jalan Pasal 14 (1) (2) jaringan jalan terdiri atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer dan jalan tol/bebas hambatan. jaringan jalan arteri primer dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan sistem orientasi untuk menghubungkan: a. antar-PKN; b. antara PKN dan PKW; dan/atau c. PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional. jaringan jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL. jalan tol/bebas hambatan dikembangkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian dari jaringan jalan nasional yang terdiri dari Jalan bebas hambatan antar kota dan Jalan bebas hambatan dalam kota Pasal 15 Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk : (1) Rencana Pengembangan Jaringan jalan arteri primer dan Kolektor Primer di Provinsi Sumatera Utara diarahkan atas tiga jalur regional, yaitu a. Jalur Lintas Timur merupakan muara pergerakan dari seluruh pusat kegiatan ekonomi di pantai Timur, termasuk Kawasan Perkotaan Mebidang yang merupakan pusat pelayanan primer yaitu mulai dari batas Aceh, - Pangkalan Susu, Tanjung Pura Binjai Medan Lubuk Pakam Perbaungan Sei Rampah Tebing Tinggi - Tanjung Kasau Indrapura Lima puluh Sei Bejangkar Kisaran Sp KawatRantau Prapat Aek Nabara kota Pinang Batas Riau b. Jalur Lintas Tengah yang merupakan prasarana yang melayani pergerakan penumpang dan barang di wilayah Sumatera Utara bagian Tengah yang menghubungkan pantai Barat dan pantai Timur, terutama pusat pelayanan primer Mebidang dan Sibolga, mulai dari batas Aceh Lawe Pakam Kota Buluh Sidikalang Panji Dolok Sanggul Siborong borong Tarutung Sipirok Padang sidempuan- Jembatan Merah Ranjau Batu Muara Sipomgi batas Sumatera Barat c. Jalur Lintas Barat merupakan prasarana untuk perkuatan wilayah pantai Barat, mengembangkan potensi ekonominya, terutama untuk mendukung aksesibilitas pusat primer Sibolga yaitu batas aceh Saragih Manuamas- Barus Sibolga Batang Toru - Riniate Batu Mundon (2) Pengembangan jaringan diagonal atau feeder road yaitu Medan Brastagi kabanjahe Sidikalang, Tebingtinggi Pematang Siantar- Prapat Balige Siborong borong Tarutung Sibolga, Padang Sidempuan Batang toru (3) Pengembangn jaringan yang terpisah dengan jaringan jalan nasional atau pun provinsi yaitu Lingkar Pulau Nias dan Pulau Samosir (4) Peningkatan kapasitas jaringan bebas hambatan ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung Morawa) (5) Pengembangan dengan pembangunan baru bebas jalan hambatan dalam dan antar kota yang mendukung perkembangan PKN Mebidangro meliputi : a. Ruas Medan Lubuk Pakam - Kualanamu Tebing Tinggi b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat d. Ruas Binjai Langsa e. Ruas Tebing Tinggi Pematang Siantar Parapat f. Ruas Medan - Binjai

(3) (4)

14

(6)

(7)

Pengembangan derajat aksesibilitas antara Provinsi Sumatera Utara dengan Nangroe Aceh Darussalam adalah melalui jalur Medan - Stabat - Pangkalan Brandan ke arah Langkat dan Medan Sidikalang - ke arah Tapaktuan. Akses ke Provinsi Riau dibentuk melalui peningkatan jalur Medan - Perbaungan - Tebing Tinggi Tanjungbalai - Kota Pinang ke arah Dumai dan jalur kereta api dari Medan - Tebing Tinggi Kisaran - Rantau Prapat ke arah Dumai. Sedangkan akses dengan Provinsi Sumatera Barat dikembangkan melalui jalur Padang Sidempuan ke arah Muara Sipongi dan jalur Sibolga - Lumut Natal ke arah Air Bangis. Sistim Jaringan Kereta Api Pasal 16

(1)

(2)

(3)

jaringan jalur kereta api di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas: a. jaringan jalur kereta api antarkota; dan b. jaringan jalur kereta api perkotaan. Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangkan untuk menghubungkan: a. antar-PKN; b. PKW dengan PKN; atau c. antar-PKW Jaringan jalur kereta api perkotaan dikembangkan untuk: a. menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; dan b. mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan. Sistim Jaringan Kereta Api di Provinsi Sumatera Utara Pasal 17

Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1) (2)
(3)

Pengembangan Jaringan jalur kereta api yang merupakan bagian Trans Asia Raillway meliputi : Banda Aceh Pangkalan Susu Medan Rantau Prapat Teluk Bayur Pemantapan jalur KA antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD Medan Lubuk Pakam Tebing tinggi kisaran - Rantau Prapat - batas Riau

Pemantapan jaur kereta api antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD Medan Lubuk Pakam Tebing tinggi kisaran - Rantau Prapat - batas Riau (4) pemantapan jalur kereta api antar kota di bagian tengah utara yang menghubungkan batas Riau Gunung Tua Rantau Prapat (5) pengembangan jalur kereta api antar kota di pantai barat bagian utara yang menghubungkan Kota Sibolga ke Tapak Tuan (6) pembangunan jaur trasportasi kerea api antar kota Sibolga- Padangsidempuan Rantau Prapat, Pematang siantar Tebing Tinggi, Kisaran Tanjung Balai. (7) Pengembangan simpul kereta api di stasiun KA antar kota Medan, Sibolga, Pematang Siantar dan stasiun KA kelas B di Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat. (8) Pengembangan jalur KA menuju pelabuhan yaitu Belawan Gabion (Pelabuhan Peti Kemas), Bandar Tinggi Pel. Kuala Tanjung, Kisaran Pelabuhan. Tanjung. Tiram, R.Prapat A.NabaraNegeri Lama-Lab.Bilik (9) Pengembangan jalur KA menuju bandar udara Kuala Namu. (10) Pengoperasian kembali jalur Medan - Pancur Batu dan Medan - Deli Tua untuk antisipasi rencana relokasi perguruan tinggi, pembangunan sarana olah raga, dan taman botani di sekitar Pancur Batu. (11) Pembangunan jalan layang (fly over) pada beberapa titik pertemuan rel kereta api dengan jalan raya. Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan Pasal 18 (1) Jaringan transportasi sungai dan danau dan penyebrangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terdiri atas:

15

(2) (3)

(4)

a. pelabuhan sungai dan pelabuhan danau; dan b. alur pelayaran untuk kegiatan angkutan sungai dan alur pelayaran untuk kegiatan angkutan danau. Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terdiri atas pelabuhan penyeberangan dan lintas penyeberangan. Pelabuhan penyeberangan terdiri atas: a. pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi dan antarnegara; b. pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/kota;dan c. pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota. Lintas penyeberangan terdiri atas: a. lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghubungkan antarjaringan jalan nasional dan antarjaringan jalur kereta api antarprovinsi; b. lintas penyeberangan antar negara yang menghubungkan antar jaringan jalan pada kawasan perbatasan; c. lintas penyeberangan lintas kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan provinsi dan jaringan jalur kereta api dalam provinsi; dan d. lintas pelabuhan penyeberangan dalam kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan kabupaten/kota dan jaringan jalur kereta api dalam kabupaten/kota. Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara Pasal 19

Pengembangan sistim angkutan sungai dan penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk : (1) Penyebrangan lintas negara yaitu Belawan Malaysia dan Tanjung Balai Malaysia (2) Penyebrangan lintas kabupaten/kota yaitu Sibolga- Gunung Sitoli, Ajibata Tomok, Simanindo Tigaras, Belawan Lama- Batang Sere, Belawan Lama- Karang Gading Rencana dan Pengembangan Sistim JaringanTransportasi Laut Pasal 20 (1) tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) terdiri atas: a. pelabuhan umum; dan b. pelabuhan khusus. pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal. pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional dikembangkan untuk: a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah besar; b. menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan c. menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional. Pelabuhan nasional dikembangkan untuk: a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah; b. menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan c. memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional. Pelabuhan regional dikembangkan untuk: a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan b. menjangkau wilayah pelayanan menengah. Pelabuhan lokal dikembangkan untuk: a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan b. menjangkau wilayah pelayanan terbatas.

(2) (3)

(4)

(5)

(6)

16

Sistim Transportasi Laut di Provinsi Sumatera Utara Pasal 21 Pengembangan sistim transportasi laut di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk : (1) Pelabuhan internasional direncanakan di Belawan dan Sibolga, pelabuhan nasional direncanakan di Tanjung Balai. (2) pelabuhan skala regional dan lokal di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan untuk menunjang perkembangan aktifitas ekonomi wilayah pelayanannya, adalah : a. pelabuhan Labuhan Bilik dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan barang di wilayah pantai Timur bagian Selatan, sehingga komoditi setempat tidak berorientasi ke Pelabuhan Dumai di Provinsi Riau. b. pelabuhan Barus dikembangan sebagai pelabuahn pengumpan lokal untuk melayani pergerakan di wilayah pantai timur Provinsi Sumatera Utara c. pelabuhan Pangkalan Brandan dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal dengan skala pelayanan angkutan penumpang dan barang di wilayah pantai Timur Sumatera Utara d. pelabuhan Natal dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan penumpang dan barang di wilayah pantai Barat bagian Selatan, sehingga komoditi setempat tidak berorientasi ke pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat. e. pelabuhan Gunung Sitoli dan Sirambu dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan penumpang dan barang dari dan menuju Pulau Nias. f. pelabuhan Balige, Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Simanindo dan Pelabuhan Pangururan dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan tourist/wisatawan mengunjungi objek-objek wisata di daerah tujuan wisata Danau Toba. (3) alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran internasional dan alur pelayaran nasional.

Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Udara Pasal 22 (1) tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) terdiri atas: a. bandar udara umum; dan b. bandar udara khusus. bandar udara umum terdiri atas: a. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer; b. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder; c. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier;dan d. bandar udara bukan pusat penyebaran Pasal 23 Rencana pengembangan jaringan transportasi udara terdiri dari : (1) Bandara udara Kuala Namu, Deli Serdang sebagai pusat penyebaran primer berskala internasional (2) Bandara udara Silangit, Siborong-borong, Tapanuli Utara sebagai pusat penyebaran tersier (3) Bandara bandar udara Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Sibolga ditingkatkan menjadi pusat penyebaran sekunder (4) Bandar Udara Aek Godang, di Tapanuli Selatan, Bandar Udara Sibisa di Toba Samosir, Bandar udara Binaka di Gunung Sitoli Pulau Nias, Lasondre Pulau Batu sebagai pusat penyebaran tersier. (5) Bandar udara perintis di Aek Nabara Labuhan Batu dan Madina. Paragraf kedua Kriteria Sistem Jaringan Transportasi Pasal 24 (1) Jalan arteri primer diarahkan untuk melayani pergerakan antar kota antar provinsi, dengan kriteria sebagai berikut :

(2)

17

(2)

(3) (4)

(5) (6)

(7)

a. Menghubungkan antar-PKN b. Menghubungkan antara PKN dan PKW c. Menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/ nasional; d. Berupa jalan umum yang melayani angkutan utama; e. Melayani perjalanan jarak jauh; f. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata tinggi; dan g. Jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar kota dalam provinsi, dengan kriteria sebagai berikut : a. Menghubungkan antar-PKW; b. Menghubungkan antara PKW dengan PKL; c. Berupa jalan umum yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi; d. Melayani perjalanan jarak sedang; e. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata sedang; dan f. Membatasi jumlah jalan masuk. Jalan strategis nasional dikembangkan berdasarkan kriteria menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan kawasan strategis nasional. Jalan tol dibangun untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang dan meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pengembangan jalan kereta api ditetapkan dengan kriteria menghubungkan antar PKN, PKW dengan PKN, antar PKW dan menghubungkan pusat-pusat Sentra produksi dan distribusi. Pengembangan terminal regional tipe A, dengan kriteria sebagai berikut : a. Lokasi terletak di PKN dan/atau di PKW dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP); b. Terletak di jalan arteri primer dengan kelas jalan minimum IIIA; c. Jarak antara terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) km; d. Luas minimum 5 (lima) ha; e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 100 (seratus)m; dan f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKAP, AKDP, Angkutan Perkotaan, serta Angkutan Pedesaan Pengembangan terminal regional tipe B, dengan kriteria sebagai berikut : a. Lokasi terletak di PKW dan/ atau di PKL dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP); b. Terletak di jalan arteri atau kolektor primer dengan kelas jalan minimum IIIB; c. Jarak antara terminal regional tipe B dan/atau antara terminal regional tipe B dengan terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 15 (lima belas) km; d. Luas minimum 3 (tiga) ha; e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 50 (lima puluh) m; dan f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKDP, Angkutan Perkotaan, serta Angkutan Pedesaan. Rencana pengembangan pelabuhan internasional dengan fungsi pelabuhan utama ditetapkan dengan kriteria : a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut internasional dalam jumlah besar; b. Menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; c. Menjadi simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar internasional; d. Berhadapan lansung dengan alur laut kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional; e. Berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari alur laut kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran internasional; f. Bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar negara; g. Berada di luar kawasan lindung; dan

(8)

18

h. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk pelabuhan internasional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internasional. (9) Rencana pengembangan pelabuhan nasional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan dengan kriteria : a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah; b. Menjangkau wilayah pelayanan menengah; c. Memiliki fungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasn andalan ke pasar nasional; d. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar provinsi; e. Memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal; f. Berada di luar kawasan lindung; dan g. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter. (10) Rencana pengembangan pelabuhan regional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan dengan kriteria : a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dan PKW dalam sistem transportasi antar provinsi; c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional; d. Memberi akses bagi pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan pulau-pulau kecil, termasuk pengembangan kawasan tertinggal; e. Berada di luar kawasan lindung; dan f. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 4 (empat) meter. 25 (11) Rencana pengembangan pelabuhan lokal dengan fungsi pelabuhan pengumpan ditetapkan dengan kriteria : a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW/ PKWp atau PKL dalam sistem transportasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budidaya di sekitarnya ke pasar lokal; d. Berada di luar kawasan lindung; e. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan f. Dapat melayani pelayaran rakyat.

Bagian Keempat Rencana Pengembangan dan Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Pasal 25 (1) sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c terdiri atas: a. penyediaan minyak dan gas bumi; b. pembangkit tenaga listrik; dan c. jaringan transmisi tenaga listrik. Pengembangan jaringan energi bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan daya energi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara

(2)

19

Pasal 26 Pengembangan sistem jaringan energi di Provinsi Sumatera Utara adalah : (1) pengembangan pengelolaan sistim penyediaan minyak dan gas bumi yang berasal dari Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, dan Riau (Pertamina Sumbagut) (2) Pengembangan pembangkit tenaga listrik dengan peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik antara lain PLTG/U Belawan, PLTG Paya, Pasir, PLTG Glugur, PLTD Titi Kuning, PLTA Sipansihaporas, PLTA Renun, PLTU Labuhan Angin, PLTA Inalum, PLTP Sibayak, PLTM Kombih I & VII, PLTM Boho, PLTM Silang, PLTM Sibundong, PLTD G. Sitali, PLTD T. Dalam, PLTMH Batang Gadis I & II, PLTMH Aek Raisan I & II (3) Pengembangan dan penyediaan pembangkit listrik baru yang berbasiskan pertambangan batu bara, panas bumi, hidro, yaitu:

No . 1 2 3 4 5 6 7
(4)

Nama Pembangkit PLTG Barge Maunted Asahan I Sumut Sarulla Kuala Tanjung Paluh Merbau Asahan III

Jenis PLTG PLTA PLTU PLTP PLTU PLTU PLTA

Jumlah Unit 1
2 2 3 2

Unit Size (MW) 60


90

Kapasitas (MW) 60
180

200
110 125

400
330

2
2

125
87

250 250
174

(5) (6)

Pengembangan sistim jaringan terisolasi pada pulau-pulau kecil atau gugus pulau serta kawasan terpencil dilaksanakan dengan sistem pembangkit mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin dan tenaga diesel. Pengembangan sistim jaringan transmisi interkoneksi se Sumatera dan sistim energi Asean Pengembangan sistim jaringan strasmisi SUTET dan SUTUT dengan mempertimbangkan pola pemanfaatan ruang yang ada Paragraf Kedua Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Pasal 27

(1)

(2)

Pengembangan prasarana energi ditujukan untuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik dengan kriteria : a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil; b. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi ketergantungan sumber energi tak terbarukan; c. Berada pada lokasi aman dari bahaya bencana alam dan aman terhadap kegiatan lain; d. Tidak berada pada kawasan lindung. Pengembangan prasarana jaringan energi listrik ditetapkan dengan kriteria : a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil; b. Melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, pertanian, dan jalur transportasi; c. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi ketergantungan sumber energi tak terbarukan;

Bagian Kelima Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi

20

Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 28 (1) Sistem jaringan telekomunikasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d terdiri atas : a. jaringan terestrial dan b. jaringan satelit termasuk yang menggunakan spektrum frekuensi radio sebagai sarana transmisi, Pengembangan jaringan telekomunikasi bertujuan untuk mewujudkan sarana komunikasi dan informasi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara. Pasal 29 Sistim jaringan telekomunikasi di Provinsi Sumatera Utara adalah : (1) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pusat pertumbuhan di wilayah pantai timur (2) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pelayanan di PKN Mebidangro dan di pusat pertumbuhan wilayah pantai barat (3) sistim jaringan telekomunikasi satelit dikembangkan pada kawasan tertinggal, terisolasi dan kawasan perbatasan yaitu Pulau Berhala serta pembangunan Stasiun Bumi di Kabupaten Karo Paragraf Pertama Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 30 (1) Pengembangan jaringan telekomunikasi dengan sistem terestrial ditetapkan dengan keriteria : a. Jaringan dikembangkan secara berkesinambungan dan terhubung dengan jaringan nasional; b. Menghubungkan antar pusat kegiatan; dan c. Mendukung kawasan pengembangan ekonomi. Pengembangan jaringan sistem satelit ditetapkan dengan kriteria : a. Mendukung dan melengkapi pengembangan jaringan terestrial; b. Mendukung pengembangan telekomunikasi seluler; dan c. Pemanfaatan bersama menara untuk paling sedikit 3 (tiga) operator setiap menara. Bagian Keenam Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Pasal 31 (1) (2) (3) sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e merupakan sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan air tanah. wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai strategis nasional dan wilayah sungai strategis provinsi. cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah lintas provinsi. Pasal 32 Pengembangan prasarana sumber daya air di Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk : (1) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi SDA antara lain sungai, danau, rawa dan sumber daya air lainnya (2) Pengembangan dan pengelolaan jaringan sumberdaya air bagi penyediaan air baku di pusat pusat pertumbuhan dan kawasan perkotaan.

(2)

(2)

21

(3) (4)

Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya untuk mendukung ketahanan pangan Pengembangan bagi pengendalian banjir dan pengamanan pantai pada kawasan pusat pertumbuhan. Pasal 33

Sistim Jaringan Sumaber Daya Air di Provinsi Sumatera Utara adalah : (1) Pengembangkan waduk/bendungan, situ, dan embung, Waduk Lau Simeme (multi Purpose dam) di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. (2) Satuan Wilayah Sungai Strategis nasiolnal adalah SWS Belawan Ular Padang, SWS Toba Asahan dan SWS Batang Angkola -Batang Gadis. (3) SWS Lintas Provinsi yaitu SWS Alas Singkil dengan Provinsi NAD, SWS Batang Natal-Batang Batahan Sumatera Barat dan SWS Rokan dengan Riau. (4) SWS Lintas Kabupaten Kota yaitu SWS Wampu - Besitang, SWS Bah Bolon, SWS Barumun Kualuh, SWS Pulau Nias, SWS Sibundong - Batang Toru.

Paragraf Kedua Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Pasal 34 Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota ditetapkan dengan kriteria melintasi dua atau lebih provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketujuh Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan Pasal 35 Sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f meliputi : a. Tempat pembuangan akhir (TPA) terpadu (regional). b. Tempat pengolahan dan atau pengelolaan limbah industri B3 dan non B3. c. Sistem Jaringan Drainase. d. Sistem pengelolaan air minum (SPAM). e. Sarana dan prasarana lingkungan yang sifatnya menunjang kehidupan masyarakat

Paragraf Pertama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan Pasal 36 Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud pasal 35 adalah upaya bersama dalam menghadapi dampak lingkungan, maka perlu dikembangkan lokasi yang digunakan bersama antara kabupaten/ kota dengan sistem pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Pasal 37 (1) Arahan pengembangan pengelolaan jaringan persampahan dimaksudkan untuk: a. Meningkatkan pengembangan pengelolaan lingkungan di permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan yang dapat berpengaruh langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan kesehatan individu b. Meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan dan sumber daya alam terutama air dari kerusakan dan penurunan kualitasnya yang disebagkan oleh pencemaran. Sistim Jaringan Persampahan terdiri dari :

(2)

22

(3)

a. Revitalisasi TPA yang telah ada dari sistim open dumping menjadi control lanfill pada TPA Terjun Kota Medan, TPA Namo Bintang, TPA Pancur Batu, TPA Tanjung Mowawa Kabupaten Deliserdang, TPA Mencirim di Kota Binjai b. Penyediaan TPA Regional dan pengolahan sampah/limbah regional untuk melayani kawasan perkotaan antara lain Kawasan Mebidangro, Kota Siboga kota Pandan, Tapanuli Tengah, Kota Tebing Tinggi - Rampah Serdang Bedagei, Kota Tanjung Balai-Kisaran, Asahan, Kota Pematang Siantar - Kabupaten Simalungun dan di Kabupaten Nias Arahan pengembangan sistem jaringan air minum di Provinsai Sumatera Utara adalah sebagai berikut : a Jaringan air minum dikembangkan di pusat-pusat primer dan sekunder. Di kota tertentu lainnya yang memiliki potensi permintaan cukup memadai dapat dikembangkan sistem penyediaan air bersih. b Prasarana air minum yang dikembangkan meliputi fasilitas air bersih dan sumber air yang akan dimanfaatkan guna meningkatkan pelayanan air minum yang memenuhi standar kesehatan. Paragraf Kedua Kriteria Sistem Prasarana Lingkungan Pasal 38

Sistem prasarana lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA Bagian Kesatu Umum Pasal 39 (1) Rencana pola ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi: a. kawasan lindung provinsi; dan b. kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi. Kawasan lindung provinsi terdiri atas: a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; b. kawasan perlindungan setempat; c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. kawasan rawan bencana alam; e. kawasan lindung lainnya Kawasan budi daya terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perkebunan; e. kawasan peruntukan perikanan; f. kawasan peruntukan peternakan; g. kawasan peruntukan pertambangan; h. kawasan peruntukan industri; i. kawasan peruntukan pariwisata; j. kawasan peruntukan permukiman; dan/atau k. kawasan peruntukan lainnya rencana pola ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(2)

(3)

(4)

23

Bagian Kedua Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Paragraf Pertama Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya Pasal 40 Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a terdiri atas: (1) kawasan hutan lindung, berada pada ketinggian 2.000 meter d.p.l. dengan kelerengan lebih dari 45%, mempunyai skor lebih dari 175, mempunyai jenis tanah dengan nilai 5 (regosol, litosol, organosol dan rezina) dan kelas lereng lebih besar dari 15 %, memiiki bercurah hujan tinggi dan mampu meresapkan air ke dalam tanah, termasuk kawasan tanah gambut dengan ketebalan 3 m yang terdapat dibagian hulu sungai/rawa dan yang ditetapkan sebagai hutan lindung (2) kawasan lahan gambut di Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah serta hutan mangrove di kawasan pantai timur. (3) kawasan resapan terletak menyebar di wilayah kabupaten dan kota, yang secara rinci kawasan tersebut akan ditetapkan oleh masingmasing kabupaten dan kota;

Kriteria kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya Pasal 41 (1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasa 34 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut. Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa. Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan.

(2) (3)

Paragraf Kedua Kawasan perlindungan setempat Pasal 42 kawasan perlindungan setempat di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas: (1) kawasan sempadan pantai, meliputi dataran sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dihitung dari sepertiga titik pasang tertinggi ke arah daratan; (2) kawasan sempadan sungai meliputi daratan sepanjang kiri dan kanan sungai-sungai besar dan kecil; (3) kawasan sekitar danau/waduk, meliputi daratan sekeliling tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk kondisi fisik danau/waduk (antara 50 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan); (4) kawasan sekitar mata air, meliputi kawasan sekurang-kurangnya dengan radius 200 meter di sekililing mata air, kecuali untuk kepentingan umum; (5) Ruang terbuka hijau kota ditetapkan 30% dari luas wilayah dengan dominasi komunitas tumbuhan yang dapat berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur dan atau kombinasi keduanya.

24

Kriteria kawasan perlindungan setempat Pasal 43 (1) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar; b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi; atau sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk. Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria: a. lahan dengan luas paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) meter persegi; b. berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan c. didominasi komunitas tumbuhan. Paragraf Ketiga Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya Pasal 44 Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya di Provinsi Sumatera Utara, terdiri atas: (1) Kawasan cagar alam antara lain Sibolangit (Deli Serdang); Liang Balik dan Batu Ginurit (Labuhan Batu); Dolok Sibual buali (Tapanuli Selatan), Dolok Sipirok (Tapanuli Selatan), Sei Ledong (Labuhan Batu), Lubuk Raya Tapanuli Selatan (2) Kawasan Suaka margasatwa antara lain Karang Gading (Deli Serdang dan Langkat); Siranggas (Dairi); Dolok Surungan (Toba Samosir); Dolok Saut (Tapanuli Utara), Barumun (Tapanuli Selatan) dan Pulau Nias serta kawasan pantai hutan bakau atau hutan mangrove. (3) Kawasan pelestarian alam termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional Gunung Leuser di Langkat; Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, Taman Hutan Raya Bukit Barisan (Deli Serdang, Simalungun, Karo, dan Langkat), Taman Wisata Alam di Sibolangit (Deli Serdang), Holiday Resort (Labuhan Batu), Lau Debuk-Debuk (Karo), Deleng Lancuk (Karo), Si Cikeh-Cikeh (Dairi), Sijaba Hutan Ginjang (Tapanuli Utara), dan Muara (Tapanuli Utara). (4) Kawasan cagar budaya yaitu kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun yang memiliki bentuk geologi alami yang khas. Terdapat di kawasan permukiman baik di perkotaan maupun di pedesaan antara lain, Kompeks Istana Maimoon, rumah adat Lingga di Simalungun, makam batu dan permukiman tradisionil di Tomok pulau Samosir permukiman tradisional di Pulau Nias. (5) Pulau-pulau kecil dengan luasan maksimal 10 km2 yang terletak di perairan pantai Barat dan di perairan Pantai Timur. (6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau atau hutan mangrove, terletak membentang di wilayah Pantai Timur dari pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah selatan pantai Kabupaten Labuhan Batu. Di

(2)

(3)

(4)

25

wilayah Pantai Barat membujur Tengah serta di daerah ke Kepulauan Nias.

dari

pantai

selatan

Kabupaten

Tapanuli

Kriteria kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya Pasal 45 (1) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan yang memiliki keanekaragaman biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang khas baik di darat maupun di perairan; dan/atau b. mempunyai fungsi utama sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang terdapat di dalamnya. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki ekosistem khas, baik di lautan maupun di perairan lainnya; dan b. merupakan habitat alami yang memberikan tempat atau perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya; b. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi; c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau d. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Cagar alam dan cagar alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf d ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, dan tipe ekosistemnya; b. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya; c. memiliki kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli atau belum diganggu manusia; d. memiliki luas dan bentuk tertentu; atau e. memiliki ciri khas yang merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi. Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf e ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sedikit 130 (seratus tiga puluh) kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam; b. memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; c. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh; d. memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia; dan e. memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf g ditetapkan dengan kriteria: a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan/atau satwa yang beragam; b. memiliki arsitektur bentang alam yang baik; c. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; d. d merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh maupun kawasan yang sudah berubah; e. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

26

(8)

(9)

memiliki luas yang memungkinkan untuk pengembangankoleksi tumbuhan dan/atau satwa jenis asli dan/atau bukan asli. Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal34 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka; b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf i ditetapkan dengan kriteria sebagai hasil budaya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

f.

Paragraf Keempat Kawasan Bencana Alam Geologi Pasal 46 (1) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b terdiri atas: a. kawasan rawan letusan gunung berapi; b. kawasan rawan gempa bumi; c. kawasan rawan gerakan tanah; d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif; e. kawasan rawan tsunami; f. kawasan rawan abrasi; dan g. kawasan rawan bahaya gas beracun. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf c terdiri atas: a. kawasan imbuhan air tanah; dan b. sempadan mata air.

(2)

Pasal 47 Kawasan bencana aam geologi di Provinsis sumatera utara terletak pada : (1) kawasan rawan tanah longsor; termasuk dalam kawasan ini sekeliling Danau Toba, Tapanuli Selatan bagian Selatan, Utara Sibolga, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah, bagian selatan Mandailing Natal, Asahan, Labuhan Batu, Langkat, Pulau Nias bagian Selatan dan bagian Tengah. Sebagian besar wilayah Sumatera Utara di sekitar Bukit Barisan membujur arah Utara Selatan pada dasarnya potensial terhadap gerakan tanah, rayapan, longsoran, gelombang pasang dan banjir bandang. (2) kawasan rawan gelombang pasang; terletak pada wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi Sumatera Utara serta wilayah pantai Pulau Nias (3) kawasan rawan banjir terletak pada kawasan perkotaan di sepanjang Pantai Timur yang dilalui oleh jalur lintas timur sumatera (4) Kawasan rawan kebakaran hutan terletak di

Kriteri Kawasan Bencana Alam Geologi Pasal 48 (1) Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. wilayah di sekitar kawah atau kaldera; dan/atau

27

(2)

(3) (4)

(5) (6) (7)

b. wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar lontaran atau guguran batu pijar dan/atau aliran gas beracun. Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria kawasan yang berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi dengan skala VII sampai dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI). Kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi. Kawasan yang terletak di zona patahan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria sempadan dengan lebar paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) meter dari tepi jalur patahan aktif. Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e ditetapkan dengan kriteria pantai dengan elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah mengalami tsunami. Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf f ditetapkan dengan kriteria pantai yang berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi. Kawasan rawan bahaya gas beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf g ditetapkan dengan kriteria wilayah yang berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya gas beracun. Pasal 49

(1)

(2)

(3)

Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf a ditetapkan dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran. Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf b ditetapkan dengan kriteria kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang dengan kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer per jam yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi bulan atau matahari. Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam banjir. Pasal 50

(1)

(2)

Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki jenis fisik batuan dengan kemampuan meluluskan air dengan jumlah yang berarti; b. memiliki lapisan penutup tanah berupa pasir sampai lanau; c. memiliki hubungan hidrogeologis yang menerus dengan daerah lepasan; dan/atau d. memiliki muka air tanah tidak tertekan yang letaknya lebih tinggi daripada muka air tanah yang tertekan. Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi mata air; dan b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air. Kawasan lindung lainnya Pasal 51

Kawasan lindung lainnya di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas ; (1) cagar biosfer; (2) ramsar; (3) kawasan lindung Taman Buru Pulau Pini di kepulauan Nias . (4) kawasan perlindungan plasma nutfah; (5) kawasan pengungsian satwa;

28

(6)

(7)

kawasan terumbu karang terletak di pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Selatan, perairan Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu perairan pulau Poncan Godang, Poncan Kecil, Pulau Unggas, Pulau Bakal, Pulau Tunggul Nasi, Pulau Bansalar dan Pulau Talam, di kepulauan Nias sekitar perairan Pulau Nias, Pulau Masin, Pulau Pasakek, Pulau Sumbawa dan Pulau Kasik, di Pantai Timur perairan sekitar pulau Berhala Kabupaten Serdang Bedagai kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi

Kriteria kawasan lindung lainnya Pasal 52 (1) Cagar biosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami, kawasan yang sudah mengalami degradasi, mengalami modifikasi, atau kawasan binaan; b. memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan indah; c. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alam dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau d. berupa tempat bagi pemantauan perubahan ekologi melalui penelitian dan pendidikan. Ramsar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang mewakili langka atau unit yang sesuai dengan biogeografisnya; b. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam; c. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/atau flora di wilayah biogeografisnya; atau d. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/atau flora saat melewati masa kritis dalam hidupnya. Taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan b. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara teratur dan berkesinambungan dengan mengutamakan segi aspek rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa. Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf d ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhannya; dan b. memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhan jenis plasma nutfah. Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf e ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut; b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa. Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a. berupa kawasan yang terbentuk dari koloni masif dari hewan kecil yang secara bertahap membentuk terumbu karang; b. terdapat di sepanjang pantai dengan kedalaman paling dalam 40 (empat puluh) meter; dan c. dipisahkan oleh laguna dengan kedalaman antara 40 (empat puluh) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) meter. Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria: a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan; b. mendukung alur migrasi biota laut. Pasal 53

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

29

(1)

(2)

Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas paling sedikit 1.000 (seribu) hektar tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas kurang dari 1.000 (seribu) hektar dan sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Kawasan Budi Daya Paragraf Pertama Kawasan peruntukan hutan produksi Pasal 54 Kawasan peruntukan hutan produksi di Provinsi Sumatera utara terdiri atas: (1) kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, berlokasi di Kabupaten Langkat, Karo, Dairi, Pakpak Bharat , Tapanuli Tengah bagian Utara, Tapanuli Utara bagian Selatan, Simalungun bagian Selatan, Asahan, Labuhan Batu bagian Barat, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal (di sekitar kawasan lindung), Toba Samosir, Pulau Nias bagian Utara dan Timur, Pulau Tanahmasa bagian Selatan, dan Pulau Tanahbala bagian Tengah. (2) kawasan peruntukan hutan produksi tetap, berlokasi di Kabupaten Langkat sebelah Barat, Deli Serdang bagian Selatan, Simalungun bagian Utara dan Barat, Asahan bagian Selatan, Labuhan Batu bagian Utara dan Timur, kawasan sekitar Danau Toba (Toba Samosir), Mandailing Natal bagian Selatan dan Utara, Tapanuli Selatan bagian Timur, hutan Siosar (Karo) serta di Pulau Nias, Pulau Tanahmasa dan Tanahbala. (3) kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi, berlokasi di Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, dan Pulau Nias dan sekitarnya, Deli Serdang, Dairi dan Tapanuli Selatan.

Kriteria Kawasan peruntukan hutan produksi Pasal 55 (1) kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluh empat). kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat). kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat); dan/atau b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan. kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan produksi tetap, dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.

(2)

(3)

(4)

Paragraf Kedua Kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat

30

Pasal 56 Kriteria Kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat Pasal 57 (1) (2) kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan kriteria kawasan yang dapat diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik. kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Paragraf Ketiga Kawasan peruntukan pertanian Pasal 58 (1) (2) kawasan budidaya pertanian terdiri atas kawasan pertanian tanaman pangan, kawasan pertanian tanaman perkebunan, kawasan peternakan, kawasan perikanan, dan kawasan kehutanan; rencana pengembangan kawasan budidaya pertanian tanaman pangan adalah : a. kawasan budidaya pertanian tanaman pangan terdiri dari tanaman pangan lahan basah dan pertanian tanaman pangan lahan kering dengan jenis tanaman padi sawah dan padi ladang, palawija, dan hortikultura; b. lokasi pertanian lahan basah yang tersebar di seluruh kabupaten tetap dipertahankan dan untuk beberapa lokasi dilakukan pengembangan pada lahan yang sesuai dan belum dimanfaatkan untuk kegiatan lain, yaitu di Langkat, Asahan, Labuhan Batu, Karo, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Nias. c. lokasi lahan kering yang merupakan lahan pertanian tanaman pangan yang ada tetap dipertahankan dan dilakukan pengembangan pada lahan yang sesuai, antara lain di kabupaten Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Tapanuli Utara, Simalungun, Dairi, Toba Samosir, dan Langkat;

Pasal 59
(1) rencana pengembangan kawasan perkebunan adalah: a. kawasan budidaya tanaman perkebunan/kegiatan perkebunan merupakan sektor hulu dari kegiatan industri pengolahan hasil perkebunan, khususnya industri pengolahan minyak kelapa sawit dan berbagai kegiatan hilir lainnya; b. pengembangan perkebunan diarahkan ke beberapa lokasi yang sesuai, diantaranya : di Kabupaten Langkat, Karo, Dairi, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Nias, sedangkan untuk perkebunan besar di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan. Pasal 60 (1) rencana pengembangan kawasan peternakan adalah: a. kawasan budidaya peternakan diarahkan sesuai dengan lokasi kegiatan pertanian, baik lahan basah, lahan kering, maupun kebun campuran; b. pengembangan jenis ternak besar potensial di Kabupaten Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Dairi, Simalungun, Karo, Langkat, Deli Serdang, Labuhan Batu, Asahan, Toba Samosir, dan Mandailing Natal. Jenis ternak kecil dikembangkan di seluruh kabupaten/kota, kecuali kota Pematangsiantar, Medan, dan kabupaten Mandailing Natal

Kriteria Kawasan peruntukan pertanian Pasal 61

31

(1)

(2) (3)

(4) (5)

(6)

kawasan peruntukan pertanian lahan basah ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian; b. ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi; c. mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau d. dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air. kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian ditetapkan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanian. kawasan peruntukan perkebunan ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki kesesuaian lahan untuk perkebunan b. memiliki lahan yang cukup untuk pengembangan kegiatan perkebunan c. didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai untuk pengembangannya kriteria teknis kawasan peruntukan perkebunan ditetapkan oleh instansi bertanggung jawab di bidang perkebunan . kawasan peruntukan peternakan ditetapkan dengan kriteria: a. terdapat pada wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan peternakan b. tidak mengganggu lingkungan sosial kemasyarakatan serta lingkungan disekitarnya kriteria teknis kawasan peruntukan peternakan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang peternakan Paragraf Keempat Kawasan peruntukan perikanan Pasal 62

(1)

(2)

(3)

rencana pengembangan kawasan budidaya perikanan adalah: a. pemanfaatan lahan perikanan budidaya tersebar di seluruh kabupaten/kota, sedangkan pengembangan pemanfaatan ruang bagi perikanan danau di kabupaten yang memiliki kawasan danau terutama di Toba Samosir; Simalungun, Tapanuli Utara, Karo, Dairi dan Tapanuli Selatan; b. perikanan laut dikembangkan di seluruh daerah kabupaten/kota yang memiliki potensi perikanan laut terutama di kabupaten Asahan, Langkat, Deli Serdang, Sibolga, Tanjung Balai, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Nias, Labuhan Batu dan Kota Medan. kawasan peruntukan perikanan ditetapkan dengan kriteria: a. wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya, dan industri pengolahan hasil perikanan; dan/atau b. tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup. kriteria teknis kawasan peruntukan perikanan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perikanan. Paragraf Kelima Kawasan peruntukan pertambangan Pasal 63

(1)

(2)

(3)

kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan mineral dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, serta air tanah. kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi; b. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan/atau c. merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil. kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pertambangan.

32

Paragraf Kelima Kawasan peruntukan Industri Pasal 64 . (1) wilayah pengembangan industri khususnya Pengembangan industri kecil diarahkan di seluruh kabupaten/kota, baik berupa industri pengolahan hasil pertanian maupun jenis industri rumah tangga lainnya. Sedangkan untuk industri besar dan menengah diarahkan di Kawasan Perkotaan Mebidang sebagai pusat kegiatan industri terbesar di Sumatera Utara, sedangkan industri besar dan menengah lainnya diarahkan di Labuhan Batu termasuk Rantau Prapat, di Asahan termasuk Tanjungbalai, serta Pematangsiantar. Bagi Kabupaten Toba Samosir, kota Porsea dan Balige sebagai pusat industri dan untuk kota Sibolga serta kota lainnya di Pantai Barat, Padangsidimpuan untuk industri pengolahan hasil perikanan. kawasan peruntukan industri ditetapkan dengan kriteria: a. berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan industri; b. tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau c. tidak mengubah lahan produktif. kriteria teknis kawasan peruntukan industri ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang industri. Paragraf Keenam Kawasan peruntukan pariwisata Pasal 65 (1) kawasan pariwisata diarahkan untuk dikembangkan di kawasan yang memiliki obyek wisata yang potensial. Pengembangan kawasan wisata utama diarahkan di Danau Toba dan sekitarnya untuk wisata alam dan budaya; Nias dan sekitarnya untuk wisata alam, budaya, dan minat khusus; Brastagi dan Tanah Karo untuk wisata alam dan budaya; serta Bahorok untuk wisata alam, minat khusus, dan budaya. Kawasan Pantai Timur sekitar kabupaten Deli Serdang dan kawasan Pantai Barat Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga dan Mandailing Natal untuk wisata bahari dan minat khusus. kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki objek dengan daya tarik wisata; dan/atau b. mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan. kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan instansi yang bertanggung jawab di bidang pariwisata. Paragraf Keenam Kawasan peruntukan permukiman Pasal 66 (1) (2) kawasan permukiman diarahkan pada kawasan perkotaan Mebidangro serta kawasan perkotaan pada ibu kota kabupaten/kota. kawasan peruntukan permukiman ditetapkan dengan kriteria: a. berada di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana; b. memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; dan/atau c. memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung. kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawabnya di bidang perumahan dan permukiman.

(2)

(3)

(2)

(3)

(3)

BAB IV PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS PROVINSI SUMATERA UTARA Bagian Ke satu Umum Pasal 67

33

Penetapan kawasan strategis di Provinsi Sumatera Utara dilakukan berdasarkan kepentingan: (1) pertahanan dan keamanan; (2) pertumbuhan ekonomi; (3) sosial dan budaya; (4) pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau (5) fungsi dan daya dukung lingkungan hidup Pasal 68 Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan ditetapkan dengan kriteria: a. Diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional; b. Diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba system persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pertahanan; atau c. Merupakan wilayah kedaulatan negara termasuk pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga dan/atau laut lepas.

Pasal 69 Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi ditetapkan dengan kriteria: a. Memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh; b. Memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional; c. Memiliki potensi ekspor; d. Didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi; e. Memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi; f. Berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan nasional dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional; g. Berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi sumber energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi nasional; atau h. Ditetapkan untuk mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal. Pasal 70 Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya ditetapkan dengan kriteria: a. Merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional; b. Merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa; c. Merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan; d. Merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional; e. Memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; atau f. Memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial skala nasional. Pasal 71 Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi ditetapkan dengan kriteria: a. Diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan lokasi sumber daya alam strategis nasional, pengembangan antariksa, serta tenaga atom dan nuklir; b. Memiliki sumber daya alam strategis nasional; c. Berfungsi sebagai pusat pengendalian dan pengembangan antariksa; d. Berfungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom dan nuklir; atau e. Berfungsi sebagai lokasi penggunaan teknologi tinggi strategis.

34

Pasal 72 Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria: a. Merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. Merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; c. Memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara; d. Memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; e. Menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup; f. Rawan bencana alam nasional; atau g. Sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Tujuan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara Pasal 73 1. Mendukung terciptanya struktur ruang Propinsi Sumatera Utara yang dituju. 2. Meningkatkan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terpadu dan serasi. 3. Menciptakan kawasan unggulan yang potensial dikembangkan secara nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan wilayah Sumatera bagian Utara. 4. Membangun pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya. 5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang mantap terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai prinsip ekonomi kerakyatan. 6. Mengembangkan Kawasan Danau Toba sekitarnya dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilengkapi dengan penataan kawasan yang memikili fungsi utama melestarikan dan melindungi Bagian Kedua Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara Pasal 74 Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut: a. b. c. d. Kawasan Mebidangro Kawasan Danau Toba dsk Kawasan Ekosistem Leuser dan Bahorok Kawasan Lindung Tapanuli dan sekitarnya (termasuk Taman Nasional Batang Gadis dan Hutan Lindung Batang Toru) e. Kawasan Pulau Nias f. Kawasan Labuhan Angin Sibolga g. Kawasan Tanjung Balai - Asahan h. Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi i. Kawasan Tebingtinggi Siantar

BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA Pasal 75 (1) (2) Pemanfaatan ruang wilayah provinsi berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya.

35

(3)

Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 76 Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, dan/atau kerja sama pendanaan. Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(1)

(2) (3)

BAB VII ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) (2) arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. arahan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas: a. indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi; b. arahan perizinan; c. arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi. Bagian Kedua Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Ruang Wilayah Provinsi Pasal 78 (1) indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyusun peraturan zonasi. indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi meliputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang, yang terdiri atas: a. sistem perkotaan provinsi; b. sistem jaringan transportasi provinsi; c. sistem jaringan energi nasional; d. sistem jaringan telekomunikasi provinsi; e. sistem jaringan sumber daya air; f. Sistim jaringan persampahan g. kawasan lindung provinsi dan h. kawasan budi daya.

(2)

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Struktur Ruang Pasal 79 Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem perkotaan provinsi dan jaringan prasarana provinsi disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sekitar jaringan prasarana provinsi untuk mendukung berfungsinya sistem perkotaan nasional dan jaringan prasarana provinsi;

36

b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap berfungsinya sistem perkotaan provinsi dan jaringan prasarana provinsi; dan c. pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem perkotaan provinsi dan jaringan prasarana provinsi.

Paragraf Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan Provinsi Pasal 80 (1) Peraturan zonasi untuk PKN disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional dan nasional yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah vertikal. Peraturan zonasi untuk PKW disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah horizontal dikendalikan. Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya Paragraf Ketiga Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Transportasi Provinsi Pasal 81 Peraturan zonasi untuk jaringan jalan provinsi disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan provinsi; dan c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan nasional yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan. Pasal 82 Peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api; d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api. Pasal 83

(2)

(3)

37

(1)

(2) (3)

peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan disusun dengan memperhatikan: a. keselamatan dan keamanan pelayaran; b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; c. ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan. pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan. pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 84

(1)

(2)

peraturan zonasi untuk pelabuhan umum disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan; b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan c. pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. peraturan zonasi untuk alur pelayaran disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran. Pasal 85

(1)

(2) (3)

peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan disusun dengan memperhatikan: a. keselamatan dan keamanan pelayaran; b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; c. ketentuan-ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan. pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan. pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 86 (1) peraturan zonasi untuk bandar udara umum disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara; b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. batas-batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan.

38

(2)

peraturan zonasi untuk ruang udara untuk penerbangan disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar tidak mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Paragraf Keempat Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Energi Pasal 87

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Energi disusun dengan memperhatikan: (1) peraturan zonasi untuk jaringan pipa minyak dan gas bumi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan pipa minyak dan gas bumi harus memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya. (2) peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain. (3) peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 Peraturan zonasi untuk jaringan energi disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang yang memanfaatkan energi baik energi non terbarukan maupun energi baru terbarukan harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; b. pelarangan pemanfaatan ruang bebas disepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. pemanfaatan ruang disepanjang jaringan terinterkoneksi dibatasi hanya untuk fungsi budidaya non hunian; dan d. pemanfaatan ruang di sekitar jaringan terisolasi harus memperhatikan keamanan jaringan terisolasi. Paragraf Kelima Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 89 peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan disekitarnya. peraturan zonasi untuk jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang disepanjang jaringan telekomunikasi harus memperhatikan aspek keamanan terhadap fungsi jaringan mikro digital dan kabel serat optik; dan b. pelarangan pemanfaatan ruang bebas disepanjang jalur telekomunikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(1)

(2)

Paragraf Keenam Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Pasal 90 (1) pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar jaringan sumber daya air disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan. indikasi arahan untuk pemanfaatan ruang pada kawasan disekitar jaringan Sumber Daya Air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang disekitar jaringan wilayah sungai lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada jaringan wilayah sungai di provinsi yang berbatasan; b. pembatasan pemanfaatan ruang disekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam;

(2)

39

c. pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi lingkungan. Paragraf Ketujuh Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Persampahan Pasal 91

Bagian Ketiga Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Pola Ruang Pasal 92 Peraturan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang membahayakan keselamatan umum; c. pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam; dan d. pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi lingkungan.

Paragraf pertama Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Kawasan Lindung Provinsi Pasal 93 (1) peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan: a. pelarangan merubah bentang alam; b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luasan kawasan hutan termasuk kegiatan penambangan liar; c. pembatasan kegiatan pertambangan tertutup. peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik; dan c. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air. peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan air dan waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan c. penerapan prinsip zero delta terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. Pasal 94 (1) peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan: a. pelarangan merubah bentang alam; b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luasan kawasan hutan termasuk kegiatan penambangan liar; c. pembatasan kegiatan pertambangan tertutup. peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik; dan c. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air. peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

(2)

(3)

(2)

(3)

40

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan air dan waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan c. penerapan prinsip zero delta terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. Pasal 95 (1) peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai; d. pelarangan pendirian bangunan selain dimaksud pada huruf c; e. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan sekitar kawasan danau/waduk disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan a. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air. peraturan zonasi untuk kawasan terbuka hijau kota disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi; b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan c. pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf b. Pasal 96 (1) peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam laut serta suaka alam laut dan perairan lainnya disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam; b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam; c. pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang- undangan; d. pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan e. pelarangan kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan ekositem. peraturan zonasi untuk kawasan pantai berhutan bakau disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata alam; b. pelarangan pemanfaatan kayu bakau; dan c. pelarangan kegiatan yang dapat merubah mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem bakau. peraturan zonasi untuk taman provinsi dan taman provinsi laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. pelarangan kegiatan budi daya di zona inti; c. pelarangan kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu karang di zona penyangga; dan d. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budi daya hanya diizinkan bagi penduduk asli di zona penyangga dalam luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat. peraturan zonasi untuk taman hutan raya disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam; b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

(2)

(3)

(4)

(2)

(3)

(4)

41

(5)

(6)

(7)

c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. peraturan zonasi untuk taman wisata alam disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebgaimana dimaksud pada huruf a; dan d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. peraturan zonasi untuk cagar alam dan suaka margasatwa disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruant untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam; b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. Dan e. pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan satwa endemik kawasan. peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan b. pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Pasal 87

(1)

(2)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana; b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum. untuk kawasan rawan bencana banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi disusun dengan memperhatikan: a. penetapan batas dataran banjir; b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan c. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum dengan kepadatan rendah dan fasiitas umum penting lainnya.

Pasal 98 (1) Peraturan zonasi untuk cagar biosfer disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam; b. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam; dan c. pengendalian kegiatan budi daya yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem. Peraturan zonasi untuk ramsar disusun dengan memperhatikan peraturan zonasi untuk kawasan lindung. Peraturan zonasi untuk taman buru disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk kegiatan perburuan secara terkendali; b. penangkaran dan pengembangbiakan satwa untuk perburuan; c. ketentuan pelarangan perburuan satwa yang tidak ditetapkan sebagai buruan; dan d. penerapan standar keselamatan bagi pemburu dan masyarakat di sekitarnya. Peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan plasma nutfah disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian flora, fauna, dan ekosistem unik kawasan; dan c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam. Peraturan zonasi untuk kawasan pengungsian satwa disusun dengan memperhatikan:

(2) (3)

(4)

(5)

42

(6)

(7)

a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian flora dan fauna endemik kawasan; dan c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam. Peraturan zonasi untuk terumbu karang disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk pariwisata bahari; b. ketentuan pelarangan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang; dan c. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf b yang dapat menimbulkan pencemaran air. Peraturan zonasi untuk kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi disusun dengan memperhatikan: a. ketentuan pelarangan penangkapan biota laut yang dilindungi peraturan perundang-undangan; b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk mempertahankan makanan bagi biota yang bermigrasi.

Pasal 99 (1) peraturan zonasi untuk kawasan keunikan batuan dan fosil disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam; b. pelarangan kegiatan pemanfaatan batuan; dan c. kegiatan penggalian dibatasi hanya untuk penelitian arkeologi dan geologi. peraturan zonasi untuk kawasan keunikan bentang alam disusun dengan memperhatikan pemanfaatannya bagi pelindungan bentang alam yang memiliki ciri langka berupa proses geologi tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan/atau pariwisata peraturan zonasi untuk kawasan keunikan proses geologi disusun dengan memperhatikan pemanfaatannya bagi pelindungan kawasan yang memiliki ciri langka dan/atau bersifat indah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata. Pasal 100 (1) peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana; b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum. untuk kawasan rawan bencana banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi disusun dengan memperhatikan: a. penetapan batas dataran banjir; b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan c. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum dengan kepadatan rendah dan fasiitas umum penting lainnya. Pasal 101 (1) (2) peraturan zonasi untuk kawasan rawan letusan Gunung Berapi diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga) tipologi, yaitu Tipe A, Tipe B dan Tipe C. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah: a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang; (2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha) dan rendah (<30 unit/Ha); (3) pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar. c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil.

(2)

(3)

(2)

43

(3)

(4)

e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural. g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe B adalah: a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang: kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman menyebar; (2) konstruksi bangunan semi permanen: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar: (3) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar. c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri sedang, maupun kecil. e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata biotis dan abiotis. g. Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir. h. untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, akan dikembalikan pada kondisi dan fungsi semula secara bertahap. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe C adalah: a. ditentukan sebagi kawasan lindung. b. masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya terbatas, antara lain kehutanan dan pariwisata dengan jenis wisata geofisik (kawasan puncak gunug berapi).

Pasal 102 (1) (2) peraturan zonasi untuk kawasan rawan Gempa Bumi diklasifikasikan berdasarkan 6 (enam) tipologi, yaitu Tipe A, Tipe B, Tipe C, Tipe D, Tipe E, dan Tipe F. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah; a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang; (2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha) dan rendah (<30 unit/Ha); (3) pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar. c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil. e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural. g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe B adalah: a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang: kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman menyebar; (2) konstruksi bangunan semi permanen: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar: (3) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar.

(3)

44

(4)

(5)

(6) (7)

c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil. e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural. g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe C adalah: a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan semi permanen: kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar: (2) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar. c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri sedang, maupun kecil. e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe D adalah: a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya. b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan semi permanen: kepadatan bangunan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar: (2) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar. c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan tahan gempa dan kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200). d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri kecil. e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe E ditetapkan sebagai kawasan lindung. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe F ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Pasal 103 (1) (2) peraturan zonasi untuk kawasan rawan Longsor diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga) tipologi, yaitu Tipe A, Tipe B, Tipe C. klasifikasi zona berpotensi longsor berdasarkan tingkat kerawanan : a. kawasan longsor dengan tingkat kerawanan tinggi: merupakan kawasan dengan total nilai bobot tertimbang dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran 2,40 3,00. b. kawasan dengan tingkat kerawanan sedang: merupakan kawasan dengan nilai bobot tertimbang dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran 1,70 2,39. c. kawasan dengan tingkat kerawanan rendah: merupakan kawasan dengan nilai bobot tertimbang dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran 1.00 1,69. acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah;

(3)

45

(4)

(5)

a. acuan peratuan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Tinggi: - tidak diizinkan untuk dibangun dan mutlak untuk dilindungi. - diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis wisata alam, (3) jenis usaha wisata pondokan, pendaki gunung dan camping ground. - diizinkan untuk kegiatan hutan kota dengan persyaratan: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan, (3) untuk jenis kegiatan penelitian. - fungsi tidak berubah/diubah sebagai kawasan dengan dominasi fungsi lindung. b. acuan peraturan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Sedang : - diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas, dengan syarat: (1) Analisis geologi, daya dukung lingkungan, kestabilan lereng, dan amdal, (2) Rekayasa teknis memperkecil lereng, jaringan transportasi yang mengikuti kontur, sistem drainase, (3) Jenis wisata alam, pemilihan tanaman yang tepat, (4) Jenis usaha wisata pondokan, camping ground, dan pendaki gunung. - diizinkan untuk kegiatan hutan kota dengan persyaratan pembangunan serta pengawasan dan pengendalian ketat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi resapan dan kelestarian lingkungan, terasering dan sistem drainase yang tepat, (3) untuk jenis kegiatan penelitian. - tidak diizinkan untuk kegiatan-kegiatan: hunian/permukiman, industri, pertambangan, hutan produksi, perkebunan, pertanian pangan, perikanan, dan peternakan. - fungsi tidak berubah/diubah sebagi kawasan dengan dominasi fungsi lindung. c. acuan peraturan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Rendah: - diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dan hutan kota/ruang terbuka hijau kota. - layak utuk kegiatan pertambangan dengan syarat: aspek kestabilan lereng, daya dukung lingkungan, reklamasi lereng, revitalisasi kawasan. - tidak layak untuk kegiatan industri, dapat untuk semua jenis kegiatan dengan persyaratan tertentu. - diperlukan pengawasan dan pengendalian, tetap memelihara fungsi lindung. acuan Zonasi Utuk Kawasan Tipe B adalah : a. acuan zonasi untuk Kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Tinggi : - tidak diizinkan untuk kegiatan budidaya - diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis wisata alam, (3) jenis usaha wisata pondokan, camping ground. - diizinkan untuk kegiatan hutan kota, hutan, dan hutan produksi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan, (3) untuk jenis kegiatan penelitian. b. acuan zonasi untuk kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Sedang : - diizinkan untuk kegiatan Pertanian dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi, (3) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan dikembalikan pada kondisi dan fungsi semula secara bertahap. - diizinkan untuk kawasan budidaya terbatas, dapat dikembangkan bersyarat. c. acuan zonasi untuk kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Rendah : - diizinkan untuk kegiatan pariwisata dengan syarat : (1) Rekayasa teknis, (2) Jenis wisata alam, (3) Jenis usaha wisata pondokan, camping ground. - diizinkan untuk kegiatan hutan kota dan hutan produksi, dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan vegetasi, (3) untuk jenis kegiatan penelitian. - diizinkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan vegetasi seperti karet dan kayu jati. acuan Zonasi Untuk Kawasan Tipe C adalah : a. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Tinggi : - diperuntukan sebagai kawasan lindung - diizinkan untuk kegiatan hutan kota, dan hutan produksi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan & kelestarian lingkungan, (3) untuk jenis kegiatan penelitian - diizinkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dengan syarat: (1) Rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi dan teknis pengelolaan.

46

diizinkan untuk kegiatan pariwisata dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis wisata air, (3) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, dikembalikan pada kondisi dan fungsi semula secara bertahap. b. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Sedang : - diizinkan untuk kegiatan peternakan dengan syarat: (1) rekayas teknis, (2) menjaga kelestarian lingkungan. - diizinkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga kelestarian lingkungan, (3) pengendalian kegiatan tambang sesuai peraturan yang ada. - diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan syarat: (1) rekayasa teknis/rumah panggung, (2) pemilihan tipe bangunan rendah hingga sedang, (3) menjaga kelestarian lingkungan. - diizinkan untuk transportasi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) mengikuti pola kontur, (3) fungsi tidak diubah/berubah sebagai hutan lindung, (4) diperlukan pengawasan tinggi terhadap pemanfaatan ruang. c. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Rendah: - diizinkan untuk kegiatan peternakan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga kelestarian lingkungan. - diizinkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga kelestarian lingkungan, (3) pengendalian kegiatan pertambangan sesuai peraturan yang ada. - diizinkan untuk permukiman dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan tipe bangunan rendah hingga sedang, (3) menjaga kelestarian lingkungan. - diizinkan untuk transportasi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) mengikuti pola kontur, (3) fungsi tidak diubah/berubah sebagai hutan lindung, (4) diperlukan pengawasan tinggi terhadap pemanfaatan ruang. Pasal 104 (1) Peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.

(2)

Paragraf Kedua Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya Provinsi Pasal 105 Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi dan hutan rakyat disusun dengan memperhatikan: a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan c. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf b. Pasal 106 Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan: a. pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama; b. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; c. penerapan pola tanam yang sejalan dengan upaya pengendalian hama; dan d. pembatasan penggunaan input produksi yang dapat mengurangi produktivitas lahan.

47

Pasal 107 Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan denan kepadatan rendah; b. pembatasan pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari; c. pelarangan penangkapan biota yang dilindungi peraturan perundang-undangan; dan d. pelarangan penggunaan peralatan tangkap yang mengancam kelestarian sumber daya perikanan; Pasal 108 Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan pertambangan adalah: a. pengelolaan lingkungan pasca kegiatan pertambangan; b. pengolahan limbah agar tidak mencemari tanah, udara, dan badan air; c. penerapan standar keselamatan untuk melindungi pekerja dan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan; d. pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan; dan e. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara resiko dan manfaat. Pasal 109 Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; dan b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri. Pasal 110 Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan; b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. Pasal 111 Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman disusun dengan memperhatikan: a. penetapan amplop bangunan; b. penetapan tema arsitektur bangunan; c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

Bagian Keempat Arahan Perizinan Pasal 112 (1) Arahan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini. Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.

(2) (3)

48

(4)

Pemberian izin pemanfaatan ruang yang berdampak besar dan penting dikoordinasikan oleh Gubernur. Bagian Kelima Arahan Insentif dan Disinsentif Pasal 113

(1) (2) (3)

Arahan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 114 (1) (2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilakukan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya. Pasal 115 (1) Insentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk: a. pemberian kompensasi; b. urun saham; c. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; atau d. penghargaan. Insentif kepada masyarakat diberikan, antara lain, dalam bentuk: a. keringanan pajak; b. pemberian kompensasi; c. imbalan; d. sewa ruang; e. urun saham; f. penyediaan infrastruktur; g. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau h. penghargaan. Pasal 116 (1) Disinsentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk: a. pembatasan penyediaan infrastruktur; b. pengenaan kompensasi; dan/atau c. penalti. Disinsentif dari Pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk: a. pengenaan pajak yang tinggi; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. pengenaan kompensasi; dan/atau d. penalti. Pasal 117

(2)

(2)

49

(1) (2)

Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dikoordinasikan oleh Gubernur. Bagian Keenam Arahan Pengenaan Sanksi Pasal 118

Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf d merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap: a. b. c. d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola RTRWP pelanggaran ketentuan arahan peratuan zonasi sistem Provinsi; pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP; pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP; e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP; f. pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Pasal 119 (1) (2) pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana; sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. denda administratif.

(2)

50

BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 121 (1) setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan, yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2)

(3)

Pasal 122 (1) setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 123 Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 124 Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 125 setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Pasal 126 (1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang

(2)

(3)

(4)

(1)

(2)

51

(2)

dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82; selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. Pasal 127 setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.

(1)

(2)

BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Pertama Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 128 Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara, setiap orang berhak : a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang c. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; d. mengetahui secara terbuka perencanaan penataan ruang wilayah provinsi, ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana detail lainnya; e. menikmati manfaat ruang atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari pembangunan dan penataan ruang; f. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan ruang. Pasal 129 Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara, setiap orang wajib : a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang , dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, dan baku mutu sesuai dengan nilai kebenaran ilmiah serta aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Pasal 130 (1) untuk mengetahui perencanaan penataan ruang, masyarakat dapat melihat dan mempelajari dokumen penataan ruang, dan mengetahui dari pengumuman atau penyebarluasan atau informasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

52

pengumuman atau penyebarluasan informasi tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diketahui masyarakat di kantor-kantor yang secara fungsional menangani kegiatan penataan ruang atau melalui media massa dan internet (Web Site). Masyarakat dapat menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya yang dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat atau kaidah yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat. Pasal 131 (1) hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat pelaksanaan Penataan Ruang diselenggaraan dengan cara musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan. dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka penyelesaiannya dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 132 Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran serta masyarakat dapat dilakukan, antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 133 (1) tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan memperhatikan tata nilai, paradigma, dan adat istiadat setempat. pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikoordinasikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

(2)

(2)

Pasal 134 Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran serta masyarakat dapat berbentuk : a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang dimaksud; b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang. Pasal 135 Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang, dapat disampaikan secara lisan atau tertulis kepada Kepala Daerah dan pejabat yang berwenang. Apabila terjadi konflik tata ruang antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) maka penyelesaiannya diupayakan melalui musyawarah mufakat berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang berkepentingan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat.

(1) (2)

BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 136 (1) penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

53

(2)

dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

BAB XIV PENYIDIKAN Pasal 137 (1) penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini, dan dalam pelaksanaannya dapat koordinasi dengan Penyidik POLRI. penyidik POLRI melakukan penyidikan kejahatan pidana sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan pemeriksaan, penyitaan benda dan atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik POLRI memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya; i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara setiap tindakan dalam hal: a. pemeriksaan tersangka; b. pemasukan rumah; c. penyitaan barang; d. pemeriksaan saksi; e. pemeriksaan tempat kejadian; f. pemeriksaan surat.

(2) (3)

(4)

(1)

(2) (3) (4) (5)

BAB XV PENGAWASAN PENATAAN RUANG Pasal 138 untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. pengawasan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah Daerah.

54

Pasal 139 (1) (2) pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang daerah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan penataan ruang daerah, Gubernur, dan Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya. dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota. Pasal 140 Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang, pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

BAB XVI ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Pasal 141 Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Pasal 142 (1) (2) ketentuan perizinan diatur oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masingmasing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin. izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) (4)

(5) (6)

(7) (8)

(1) (2)

Pasal 143 dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. insentif, yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau

55

(3)

(4) (5)

(6)

d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau Pemerintah Daerah. disinsentif, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat. insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh: a. Pemerintah Daerah Provinsi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; b. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota kepada masyarakat. ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif oleh Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 144 dalam pelaksanaan penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, Pemerintah Provinsi melakukan : a. pengawasan atas pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi oleh Kabupaten/Kota; b. koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota; c. koordinasi perencanaan pemanfaatan ruang oleh Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan keselarasan/keterpaduan pembangunan dalam wilayah Provinsi; d. pembinaan dan monitoring pelaksanaan kebijakan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara oleh Kabupaten/Kota. pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota secara operasional melakukan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

(1)

(2)

BAB XVII KETENTUAN LAIN LAIN Pasal 145 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini ini.

Pasal 146 Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara, digunakan sebagai matra ruang dari Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara jangka menengah dan jangka panjang. Pasal 147 Materi teknis Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara, dapat ditinjau ulang untuk dimutakhirkan atau disempurnakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 148 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. semua ketentuan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang provinsi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini; dan b. semua Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini.

56

BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 149 Jangka waktu Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah 20 (dua puluh) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan

Pasal 150 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara nomor 7 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara tahun 2003 2018 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Pasal 151 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Keputusan Gubernur Sumatera Utara.

Pasal 152 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Pasal 153 Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Sumatera Utara.

Disahkan di : MEDAN Pada Tanggal :

GUBERNUR SUMATERA UTARA dto

Diundangkan di Pada tanggal

: :

MEDAN

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI dto

Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003 Nomor 9 Seri C

57

Lampiran Peta Tematik : 1. Peta Batas Administrasi 2. Peta Rencana Struktur Ruang 3. Peta Rencana Poa Ruang 4. Peta Rencana Struktur Perkotaan 5. Peta Rencana Struktur Jaringan Transportasi 6. Peta Rencana Struktur Jaringan Energi 7. Peta Rencana Struktur Jaringan Telekomunikasi 8. Peta Rencana Struktur Jaringan Prasarana SDA 9. Peta Rencana Kawasan Strategis Provinsi 10. Peta Rencana Kawasan Andalan Provinsi

Skala 1 ; 500.000 Skala 1: 250.000 ( 4 lbr) Skala 1: 250.000 ( 4 lbr) Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000 Skala 1 ; 500.000

58

You might also like