Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACK
This research to know characteristic and partnership pattern on sea weeds cultivator
society, relevance patterns production system partnership and marketing to social net construction
and implication to sea weeds cultivator’s household welfare. The data was collected through
interview, quisionere and direct obeservation. The data was analysed by using qualitative and
quantitative. The result of this research partnership that did by sea weed cultivator consisting of
three patterns which is; pattern traditional partnership, market and government. Patron-client
social net is still institution in society so punggawa's position so sentral well of dimensioning
economic and also social. Implication to welfare hasn’t on level that significant yet cause
cultivator position effect in partnership don't in bargaining position one that one par bases its
role.
PENDAHULUAN
1
persen saja, selebihnya jatuh ke tangan mereka (para tengkulak tingkat desa, pedagang
tingkat lokal, pedagang tingkat regional dan sebagainya)
Dalam konteks sekarang, seiring dengan upaya pemberdayaan masyarakat,
strategi yang banyak dikembangkan baik dari pemerintah, maupun swasta dalam
mengatasi situasi tersebut adalah melalui konsep kemitraan. Jika dikontekskan konsep
kemitraan dengan usaha perikanan yang digeluti oleh masyarakat pesisir di Sulawesi
Selatan, maka salah satu potensi komoditas perikanan adalah budidaya rumput laut.
Komoditas ini (rumput laut ; sea weed) telah dijadikan sebagai komoditas unggulan
dalam revitalisasi dibidang perikanan yang memiliki nilai tambah (added value) tinggi.
Pola kemitraan usaha melalui jaringan produksi dan pemasaran pada kondisi ideal akan
membuka akses mereka (orang miskin) terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal,
manajemen, serta pergaulan bisnis yang akan berdampak pada peningkatan aksebilitas
dan kesejahteraannya secara menyeluruh
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha dan pola kemitraan
pada masyarakat pembudidaya rumput laut, keterkaitan pola kemitraan sistem produksi
dan pemasaran terhadap konstruksi jaringan sosial serta implikasi terhadap kesejahteraan
rumahtangga pembudidaya rumput laut.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 - Juni 2008, di Desa Punaga
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar. Keseluruhan tahapan penelitan, mulai
persiapan, pengumpulan data maupun pengolahan data dilakukan dengan prinsip
pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 1994). Teknik pengumpulan data adalah
observasi, wawancara dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indept interview) dan kuisioner. Populasi
adalah seluruh pembudidaya di Desa Punaga sebayak 409 orang pembudidaya, sampel
(30%) sebanyak 123 orang pembudidaya.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa orang tertentu (key informan)
yang dilakukan secara purposif, yaitu dipilih orang-orang yang dianggap mengetahui
permasalahan yang diteliti. Mereka itu adalah ponggawa, pa’palele, tokoh masyarakat,
sawi. Selain dengan cara purposive pemilihan informan juga dilakukan dengan cara
snowball, yaitu melalui informasi dari informan yang sudah diwawancari sebelumnya
(Milles, 1992).
2
agama dan kepercayaan masyarakat. Sementara untuk struktur berdasarkan ikatan
pekerjaan mempolakan hubungan sosial yang menyangkut dengan mata pencaharian
sebagai aktivitas ekonomi masyarakat. Konteks tersebut dikenal dengan pola hubungan
punggawa-sawi, dimana punggawa sebagai pemilik alat produksi dan sawi sebagai tenaga
pekerja.
2. Karakterisik Pola Kemitraan Usaha
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sedikitnya tiga bentuk pola kemitraan
usaha budidaya rumput laut di Desa Punaga sebagai karakteristik kerjasama usaha
(kemitraan) dalam ruang sosial masyarakat, meskipun dalam operasionalitasnya nampak
saling tumpang tindih dan bervariasi, sehingga dari bentuk yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat secara tegas dipisahkan dari pengaruh bentuk lainnya. Ketiga
karakteristik ketiga pola kemitraan usaha budidaya rumput laut di Desa Punaga adalah :
a. Pola Kemitraan Tradisional. Kerjasama usaha yang terjadi pada masyarakat
pembudidaya rumput laut mengikuti pola hubungan patron – client
b. Pola Kemitraan Pemerintah. pola kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah,
sedikit-banyaknya juga telah megintroduksi ciri dari model atau pola kemitraan
inti plasma. Dalam hal ini (UPT BBAP Takalar sebagai unit kasus) telah
menempatkan diri dalam posisi sebagai perusahaan plasma, dengan melakukan
pembuatan demplot sebagai budidaya percontohan yang sekaligus berfungsi
sebagai “kebun bibit” bagi masyarakat, disamping bimbingan/pelayanan teknis
dan permodalan kepada pembudidaya rumput laut.
c. Pola Kemitraan Pasar. Konsep yang serupa atau hampir serupa dengan pola
kemitraan dagang umum dimana dicirikan sebagai pola hubungan kemitraan
antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar, yang didalamnya usaha
menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha
kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha
besar.
3
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Pola Kemitraan Tradisional, Pemerintah dan Pasar Secara
Konseptual.
Pola Kemitraan
Aspek
Tradisional Pemerintah Pasar
Bentuk Kemitraan Kemitraan Kerjasama Pola Kemitraan Inti Kemitraan Dagang
Operasional Agribisnis Plasma Umum
Orientasi Utama Pemenuhan kebutuhan Melayani masyarakat Keuntungan profit
hidup komunal (profit oreinted)
Sifat kerja sistem Patron-klien dan
Monopolis Kompetitif.
sosialnya berdasarkan egaliter
penuh perhitungan
Sandaran kontrol sosial kultural (cultural Coersive compliance
(renumeration
compliance)
compliance)
Penerapan bentuk simbol Mistis melalui
Pseudorealis Realis
singkritinisasi
Bentuk norma utama Komunal & kepatuhan Modifikasi perilaku Individualis
4
Bank (-) Pappalele
Koperasi
(-) 1
1 3 2
2 (- ) 3
3 Pembudidaya
(- ) 3 2 1 Punggawa
Keluarga rumput laut
(- ) 2 3
3 2 (- ) Tetangga
(+) 2 (+) 3
Jasa Bengkel 3 3
Toko Bahan/Alat
Pemerintah
Gambar 1. Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi dengan Pembudidaya Rumput Laut di
Pandang sebagai Pusat.
5
Pappalele
2 3
(+) Pedagang Desa
1 2
Koperasi 2 3 3
23 3 2 2
(-)
3 2 (-) Pedagang
Pembudidaya 23 Kecamatan
rumput laut
( +) 2 3 (- )
Jasa Angkut 3 (-) 1 23
Kaki tangan
23 23 Eskportir
Punggawa
Gambar 2. Jaringan Sosial dalam Sistem Pemasaran dengan Pembudidaya Rumput Laut di Pandang
sebagai Pusat.
Tabel 3. Perbedaan Peranan dari Ketiga Aktor yang Terlibat dalam Sistem Bagi Hasil pada
aktivitas Budidaya Rumput Laut di Desa Punaga
Proses Sosial Substantif yang Menjadi bagian Hubungan Produksi
Hubungan Aktor Pemilikan ekonomi : Penguasaan : Penguasaan : kontrol
kontrol atas investasi kontrol atas tenaga kerja
atas produksi fisik orang lain
Pappalele dengan + - -
pembudidaya (sawi) maksimal parsial parsial
Punggawa dengan + + +
sawi maksimal maksimal maksimal
Pembudidaya (sawi) - + -
dengan pappalele parsial maksimal parsial
Sawi dengan - - -
Punggawa
Sumber : Hasil Penelitian Setelah Diolah, 2008.
Keterangan :
+ : kontrol sepenuhnya parsial : kontrol lemah
- : tidak ada control maksimal : kontrol residual
6
C. Implikasi Pola Kemitraan Usaha terhadap Kesejahteraan Rumahtangga
Pembudidaya Rumput Laut
1. Hubungan Pola Kemitraan terhadap Struktur Nafkah (Livelihood Structure)
dalam Ekonomi Rumahtangga Pembudidaya
Tulisan Pakpahan dan Pasandaran (1990) menyebutkan bahwa masalah
mempertahankan kelangsungan hidup berbeda-beda menurut derajatnya yakni mulai dari
mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup agar
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mampu bekerja secara normal sesuai
dengan jenis pekerjaannya masing-masing. Lapangan pekerjaan yang tersedia bagi
rumahtangga merupakan sumber tersedianya pendapatan bagi rumahtangga yang
bersangkutan. Seberapa luas tersedianya lapangan pekerjaan dapat dimanfaatkan sesuai
dengan keterampilan yang dimiliki setiap anggota rumahtangga akan menentukan derajat
tingkat pendapatan bagi rumahtangga tersebut.
Hasil temuan dilapangan memperlihatkan bahwa struktur nafkah komunitas
rumahtangga pembudidaya rumput laut di Desa Punaga, ada kaitannya antara kombinasi
pola kemitraan, penguasaan lahan budidaya dengan kegiatan pencaharian nafkah.
Kegiatan pencarian nafkah dalam kaitannya dengan pola kemitraan menunjukkan
hipotetis adanya perbedaan kemampuan diantara berbagai lapisan sosial rumahtangga
pembudidaya di desa ini dalam membangun jaringan social (social net) mengelola
sumberdaya yang dimilikinya.
Pada masyarakat pembudidaya Desa Punaga strategi nafkah yang diadaptasi dan
memberi gambaran terhadap struktur nafkah (livelihood structure) dalam ekonomi
rumahtangganya, teridentifikasi dalam tiga hal : (1) intensifikasi atau ekstensifikasi
usaha yang digelutinya, (2) pola nafkah ganda (keragaman nafkah), dan (3) migrasi
temporer. Untuk strategi pertama (intesifikasi atau ekstensifikasi) banyak terbangun
melalui jaringan integrasi dari pola-pola kemitraan usaha yang dilakukkan. Jaringan
relasi dan hubungan sosial merupakan pencerminan hubungan antar status-status dan
peran-peran dalam masyarakat. Secara skematik dapat dilihat pada gambar 3.
7
Individu (aktor)
Keterangan :
8
lain.
Dari hasil perhitungan jumlah pendapatan responden (lihat lampiran 3) maka total
pendapatan yang diperoleh dari hasil pendapatan sampingan dan pendapatan pokok
sebagai pembudidaya rumput laut diperoleh hasil pendapatan per bulan sebesar Rp.
1.355.336 atau sekitar Rp. 45.179 per hari. Realitas ini menunjukkan bahwa responden di
Desa Punaga tidak dapat dikategorikan ke dalam masyarakat miskin, hal ini jika kita
mengacu pada standar Bapenas yang menyatakan bahwa masyarakat dikategorikan
miskin apabila pendapatan hariannya $ 1 per hari, dengan mengacu dari standar kurs
dolar ($) dewasa ini yang berada pada kisaran Rp. 9.000 - Rp.10.000. Dan jika
menggunakan standar Bank Dunia yaitu sebesar $ 2 per hari, maka dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan kedua standar tersebut di atas memperlihatkan kondisi masyarakat di
lokasi penelitian tidak berada dalam kategori miskin dengan total pendapatan rata berada
di atas atau > $ 2 per hari, dengan kisaran yang > Rp. 18.000 – Rp. 20.000 per hari.
Dalam skala yang lebih makro dengan membandingkan Upah Minimum Regional (UMR)
atau UMP (Upah Minimum Provinsi) sebesar Rp. 610.000 maka pendapatan sudah
melewati standard yang dimaksud.
9
kegiatan-kegiatan yang menyangkut acara-acara budaya karena adanya kebanggan sosial
yang diperolehnya. Sementara hukum Engel (Engel’s law) disebutkan bahwa semakin
tinggi pendapatan seseorang maka persentase konsumsi untuk makanan relatif semakin
berkurang (Nurland, 1993).
Tabel 6. Gambaran Selisih Pendapatan dan Pengeluaran Responden
Nilai Perbandingan (Selisih) Jumlah Responden %
(orang)
Nilai Perbandingan Positif 74 60
Nilai Perbandingan Negatif 6 5
Tidak memiliki nilai perbandingan (impas) 43 35
Total 123 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2008.
3. Hubungan Pola Kemitraan dengan Kesejahteraan Rumahtangga Pembudidaya Rumput
Laut
Pola kemitraan ini (tradisional dan pasar) secara empirik dapat diasumsikan
bahwa dominasi partisipan yang bermitra, kekuatan dari salah satu pihak (punggawa,
pappalele dan eksportir) membuka akses permodalan dan informasi pasar kepada pihak
mitranya tidak pada tataran kesadaran yang saling menguntungkan, sehingga bantuan
modal usaha, pembelian hasil produksi tidak serta merta dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rumahtangga pembudidaya rumput laut dalam konteks general di
desa ini. Bahkan bantuan-bantuan modal yang senantiasa diberikan justru dijadikan
sebagai ”senjata” dan strategi untuk ”mengikat” pembudidaya dalam dimensi
ketergantungan. Dan yang menjadi menarik di Desa Punaga sebagai kasusistik dalam
konteks ini adalah adanya dominasi aliran penghasilan rumahtangga untuk kegiatan-
kegiatan yang sifatnya kultural, sehingga kelompok pelepas uang (debitor lokal)
memperoleh ruang yang strategis dengan posisi yang diperankan untuk senantiasa
menghasilkan sesuatu yang selalu menguntungkan baginya baik dari segi finansial, akses
kepada pembeli serta penghormatan sosial dari masyarakat. Dapat di istilahkan bahwa
masyarakat Desa Punaga, perolehan pendapatan dari pekerjaan yang dilakukan hanya
direduksi semata-mata untuk membiayai upacara-upacara adat, dan jika perolehan
penghasilan tidak mencukupi maka strategi peminjaman kepada pemilik modal
merupakan hal normatif yang harus mereka lakukan.
Sementara untuk pola kemitraan pemerintah untuk konteks empirik di desa ini,
meskipun bantuan modal juga menjadi bagian dari kegiatan yang diintroduksi kepada
masyarakat pembudidaya, namun kegiatan yang lebih dominan adalah bantuan teknis
dengan tujuan terjadinya transper teknologi kepada masyarakat pembudidaya. Model
kemitraan yang seperti ini memberikan harapan yang besar akan pengembangan usaha
masyarakat. Artinya, tahap awal dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
terlebih dahulu harus memperkenalkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi dari
usaha mereka, yang kemudian diikuti oleh dukungan permodalan dan kepastian pasar
serta perlindungan regulative dari pemerintah yang menjamin dari kepastian dan
keberlanjutan usaha masyarakat.
KESIMPULAN
10
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Karakteristik usaha budidaya rumput laut mencirikan sebuah bentuk usaha
rumahtangga dengan pelibatan sepenuhnya anggota keluarga inti (nuclear family)
sebagai tenaga kerja. Sementara konstruksi pola kemitraan teridentifikasi tiga
bentuk pola kemitraan sebagai karakteristik kerjasama usaha yaitu; pola kemitraan
tradisional, pola kemitraan pasar dan pola kemitraan pemerintah yang dalam
operasionalitasnya saling tumpang tindih dan bervariasi dari pengaruh bentuk yang
satu dengan yang lainnya.
2. Keterkaitan pola kemitraan sistem produksi dan pemasaran masih didominasi oleh
konstruksi jaringan sosial secara tradisional yang masih kental dengan hubungan
relasi patron-klien yang berbasis tradisi.
3. Implikasi pola kemitraan usaha terhadap kesejahteraan rumahtangga pembudidaya
rumput laut di Desa Punaga belum berada pada tataran yang signifkan akibat posisi
pembudidaya dalam kemitraan tidak dalam kondisi tawar (bargaining position)
yang setara berdasarkan peranannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, C. 1982. Mengelola sumber daya yang terbuka: Kasus penangkapan ikan di
daerah pantai, dalam D.C. Korten dan Syahrir (Eds). Pembangunan berdimensi
kerakyatan. Kerjasama Yayasan Obor Indonesia dan USAID. YOI. Jakarta.
Evers, Hans-Dieter. 1998. Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar, Prisma, No. 5.
LP3ES. Jakarta.
Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang
Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mubyarto, Loekman Sutrisno, dan Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi
Ekonomi-Antropologi di Dua Desa Pantai. Penerbit Rajawali. Jakarta.
Nurland, Farida. 1993. Alokasi Waktu dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan Etnis
Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. (Disertasi) PPS IPB –
UNHAS. Ujung Pandang.
11
Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar : Asal Usul Politik dan Ekonomi Zaman
Sekarang. (Terjemahan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sajogyo. 1991. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Aditya Media..
Yogyakarta.
12