Professional Documents
Culture Documents
BAB I PENDAHULUAN Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup system limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar system limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu: Table 1. klasifikasi limfoma Limfoma Hodgkin (LH) Limfoma non Hodgkin (LNH) Histiositosis x Mycosis fungoides
Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan. Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit. Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH).3
3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 88-89. 1995.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed Steinberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening1 2.2. KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin. Limphocyte-predominan (LP) Mixed cellularity (MC) Lymphocyte-depletion (LD) Noduler-sclerosis (NS)
Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur penting. Sebab ada kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih banyak pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat.3
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 622. 1996. 3 Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 90. 1995.
2.3. EPIDEMIOLOGI Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita.1 Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negaranegara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.2 2.4. PATOLOGI
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 623-624. 1996. 2 Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 1984. 2000.
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 160. 1996.
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JIlid II. Edisi 3. Bagian IlmuPenyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 4 Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995 5 Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep. 66:615, 1982
Vianna, N. J, and Polan, A.K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin`s disease N. Engl. J. Med. 289:499, 1973 3 Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkins disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
2.7. GAMBARAN KLINIS (SIMTOMATOLOGI) Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen.
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
2.8. STADIUM PENYAKIT. Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging : Clinical staging Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh. Pathological staging. Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit. Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai konferensi Cotswald.1 Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald. Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer). Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal : II2, II3, dsb. Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah diafragma. III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu. Table 2. Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium) penyakit Hodgkin.1 I. Riwayat dan pemeriksaan :
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
10
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4, Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000 ,4 Hoffbrand A V, Pettit JE, Darmawan I, editor, Kapita Selakta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
11
12
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, Editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
13
2.10. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara. Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini.
14
I. I.1.
Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal) Radioterapi saja. Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin
dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk
15
II.
Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi
awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-crossresistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk mereka yang : 1. 2. mengalami relaps sesudah remisi lengkap resistant terhadap terapi
Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant) V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1 E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1 P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5 V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1 A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1, 18 diberi selang 3 minggu diberi selang 3-6minggu
E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15, diulang selang 4 minggu
M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescue O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22 P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 L = Leukovorin rescue A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1 19
Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD, ABDIC, CBVD, CEP, EVA, LVB, MIME, M-CHOP, CEM, EVAP, MOPLACE dll. (lihat table IV). Kemajuan dibidang pencangkokan sumsum tulang atau selbakal (stemcell)-autologous memberikan dampak pula pada terapi limfoma yang resisten. Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi hingga timbul aplasi sumsum tulang (myeloablative chemotherapy), kemudian dilakukan penyelamatan dengan pencangkokan sel bakal autologus yang diambil dari darah tepi setelah sebelumnya diberi Hemopoetic Growth Factors. Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus stem-cell rescue (KDTrPSC) adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut dengan disertai factor-faktor prognosis buruk yaitu antara lain : 1. Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau partial (PR) yang baik (stabil) (yang didefinisikan sebagai hal yang sangat mungkin karena adanya fibrosis residu dengan terapi awal). 2. 3. 4. 5. 6. Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal. CR yang lamanya kurang dari 1 tahun Relaps berulang ( 2x) tanpa melihat lamanya remisi Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IV
Faktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan pengobatan garis ke 2 (salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik untuk KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa fakto-faktor buruk tersebut bila relaps masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua untuk mendapatkan CR kedua, namun kemungkinannya hanya 35% saja, sisanya akhirnya juga memerlukan KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal, namun kesimpulannya masih belum ada.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
22