You are on page 1of 6

Equine Strangles Strangles disebut juga sebagai distemper kuda, tersebar diseluruh dunia.

Merupakan penyakit penting karena menyebabkan gangguan pada manajemen indukan kuda dan peternakan kuda pacu, waktu dan biaya untuk pengobatan. Penyakit ini menyerang kuda yang berusia kurang dari 5 atau 6 tahun, walaupun segala umur dapat terserang. Anak kuda kurang dari 3 bulan kebanyakan tidak terserang, kemungkinan karena perlindungan dari colostrum. Setelah masa inkubasi melewati 1-3 minggu, kudang yang terinfeksi menunjukan gejala depresi, anoreksia komplit, demam (39,5 oC 40o C), dan serous discharge nasalis. Discharge nasalis dengan cepat berubah menjadi berlimpah dan purulen, serta kuda menunjukan gejala dari pharingitis atau laryngitis parah, dengan kehilangan kemampuan menelan dan batuk basah yang menyakitkan. Kemungkinan sebagai hasil dari rasa sakit ini, kuda yang terinfeksi seringkali berdiri dengan kepala dan leher diluruskan dan dapat terlihat dispnea. Dalam 3 atau 4 hari, limpho nodule dari daerah leher membengkak, panas, terasa sakit, dan konsistensinya keras. Pembesaran limfo nodule yang cukup berat dapat

menyebabkan obstruksi untuk menelan, dipsneu, dan pada beberapa kasus, kematian karena asphiksia. Dalam 10 hari, limfo nodule yang membengkak mulai menghasilkan serum dan muncul sebuah bintik halus dari daerah yang ruptur yang mengalirkan cairan kuning yang kental. Terkadang, limfo nodul yang ruptur ini mengalirkan cairan secara internal ke dalam pharing. Kuda menunjukan keadaan yang membaik saat limfo nodul ruptur dan mengalir. Kebanyakan hewan sembuh dalam 3- 6 minggu, akan tetapi dapat terjadi banyak komplikasi sekunder. Termasuk diantaranya pneumonia sekunder akibat aspirasi dari internal ruptur atau memanjang sampai pada kantong guttural, menyebabkan emphysema kantung guttural. Anak kuda yang sangat muda dapat terjadi bakteremia atau septicemia dengan infeksi sendi atau limphadenopathy yang menyebar. Komplikasi yang paling umum adalah metastatik strangles, atau strangles jahat, dimana abses menyebar pada sistem organ internal dan menyebabkan gejala kelanjutan yang terlokalisir. Abses yang terlokalisir pada kaki dapat menyebabkan edema kaki dengan kaki bagian bawah membengkak tiga atau empat kali ukuran normal. Pada akhirnya, reaksi lambat akibat sensitifitas sistem imun pada protein streptococcal dapat menyebabkan vasculitis, menyebabkan purpura hemorrhagica. Outbreak pada hewan rentan terjadi pada udara lembab dan basah, walaupun pergerakan dan paparan pada kuda yang terinfeksi juga dapat menjadi faktor. Organisme kausatif sangat resisten pada lingkungan, dapat bertahan hidup sampai beberapa bulan diluar tubuh host, oleh karena itu air yang terkontaminasi, tempat pakan, bahkan benda seperti

handuk atau sisir juga dapat menjadi sumber infeksi. Organisme diketahui terus ada pada pharing yang normal, kuda yang sembuh sampai 8 bulan. Strangles disebabkan oleh hemolitik streptococcus, Streptococcus equi, yang terdapat pada discharge nasal dan abses yang mengalir pada kuda terinfeksi. Organisme ini bukan merupakan bagian dari flora normal pada nasal kuda. Bakteri ditularkan lewat inhalasi namun dapat juga tertelan. Setelah masa inkubasi 1 3 minggu, organisme menyebabkan pharingitis dan rhinitis akut. S. Equi memilik protein M pada kapsulnya, yang merupakan antiphagosit dan dapat menghindari sistem pertahanan normal. Dari permukaan mukosal, organisme berpindah dengan aliran limfatik menuju limpho nodul lokal (submandibular dan retropharingeal) dengan absesasi lanjut pada daerah tersebut. Imunitas kuat muncul setelah infeksi dan bertahan 6 bulan sampai beberapa tahun. Untuk tambahan dari gejala klinis, kultur dari swab nasalis atau limfo nodul adalah kunci untuk diagnosa. Walaupun spesies streptococcal lainnya, seperti S. zooepidemicus, juga dapat ditemukan pada swab nasalis, dan dapat menyebabkan gejala ringan saluran pernafasan atas bersamaan dengan absesasi limfo nodul, identifikasi dari S. equi sangat penting karena membutuhkan pemeriksaan yang teliti karantina berjangka. Hematology rutin menunjukan leukositosis neutrophil, hiperfibrinogenemia, dan anemia oleh infeksi kronis, tetapi hal ini tidak spesifik strangles. Rencana terapi untuk kuda dengan gejala klinis awal ( anoreksia, depresi, pharingitis, nasal discharge purulen) antara lain procaine peniciline G sebagai drug of choice yang diberikan 22.000 IU/kg dua kali sehari secara intramuskuler untuk 5 hari sampai gejala klinis hilang. Tetracycline juga efektif namun sebaiknya dihindari karena resiko colitis. Trimethorprim-sulfadiazine adalah alternatif untuk pengobatan peniciline, dengan kelebihan dapat diberikan secara peroral. Untuk kuda dengan absesasi limfo nodul membutuhkan pengobatan lokal untuk meningkatkan maturasi dan drainase dari abses. Kompres panas dapat diberikan pada daerah pembengkakan beberapa kali sehari. Saat abses telah mature, dengan penipisan dari kulit yang melapisi, dapat ditusuk dan dibilas dengan 3%- 5% povidone iodine. Kuda yang baru terpapar pada strangles yang belum menunjukan gejala klinis dapat sembuh dengan terapi antimikrobial (benzathine penicilin) pada waktu paparan dan setiap 2 hari setelah sampai outbreak berakhir. Hal ini mencegah perlekatan limfo nodul dengan organisme. Pengobatan untuk infeksi sekunder strangles jahat, pengobatan penicillin jangka panjang (3-6 bulan) dibutuhkan. Phenoxymethyl penicillin oral (110.000 IU/kg setiap 8 jam) dimungkinan akan tetapi sangat mahal. Untuk purpura hemorrhagica, menjadi sebuah penyakit imunologis, membutuhkan glucocortikoid (dexamethasone) dan pengobatan suportif

seperti pembalutan kaki untuk edema kaki. Untuk emphysema kantong guttural dapat diobati secara lokal dengan flushing kantong yang terinfeksi dengan saline melalui pembukaan pharingeal. Strategi manajemen untuk preventif antara lain dari onset dari gejala klinis, sangat penting untuk mengisolasi hewan terinfeksi karena infeksi contangius sangat tinggi dapat menyebar melalui hewan-hewan muda. Isolasi setidaknya 6 minggu setelah mulainya gejala klinis, namun berdasarkan pengalaman lapangan, beberapa dokter hewan menyarankan 8 bulan adalah jangka waktu yang lebih aman. Karena organisme sangat bertahan pada lingkungan, harus dilakukan pembersihan menyeluruh dengan desinfektan pada stall, dan peralatan grooming maupun peralatan pakan, serta membakar alas kandang dari hewan terinfeksi. Vaksinasi terhadap organisme hanya menyediakan perlindungan parsial, mengurangi keparahan dan insiden dari penyakit jika dan saat penyakit muncul (Timothy, 1998). Twinning Twinning (bayi kembar) adalah sebuah kondisi yang tidak diinginkan pada kuda, dan merupakan abnormalitas kebuntingan yang umum selain pemisahan plasenta prematur, torsio uteri, hydrallantois, dan ruptura tendo prepubis. Jika fetus kembar tidak reduksi menjadi tunggal pada tahap awal dari kebuntingan, biasanya hasilnya berupa abortus masa akhir. Komplikasi yang muncul pada abortus masa akhir dari fetus kembar atau kelahiran fetus kembar dapat berupak distokia, placenta tertinggal, involusi uterus tertunda dan metritis, atau tentu saja kematian salah satu atau kedua fetus. Fetus kembar muncul dari ovulasi ganda, berarti fetus kembar adalah dizygotik. Insiden dari konsepsi kembar bervariasi pada tiap breed, menjadi lebih sering pada breed dengan insiden lebih tinggi dari ovulasi ganda (thoroughbreed memiliki insiden tertinggi dari ovulasi ganda, kurang lebih 15% - 25%). Ovulasi ganda dapat sinkronis ( terjadi dalam waktu 1 hari antara satu dan lainnya) atau asinkronis (terpisah lebih dari 1 hari). Ovulasi sinkronis menghasilkan konseptus kembar yang berukuran sama saat diperiksa dengan ultrasonografi, sedangkan ovulasi asinkronis menghasilkan konseptus kembar dengan ukuran yangbervariasi sampai beberapa milimeter. Setelah konseptus kembar muncul dalam uterus, mereka bermigrasi melalui kedua cornua uteri dan corpus uteri seperti konseptus tunggal. Saat konseptus melekat pada cornua uteri yang sama pada hari ke-16 atau 17 dari kebuntingan, dikatakan sebagai kembar unilateral (atau unicornua), namun jika melekat pada cornua uteri yang berbeda dikatakan sebagai kembar bilateral (atau bicornua). Kuda betina mampu secara spontan mereduksi kembar unilateral menjadi kebuntingan tunggal dengan derajat yang tinggi dari efisiensi (75% dari

kembar unilateral pada hari ke-16 atau 17 dari kebuntingan akan tereduksi menjadi kebuntingan tunggal pada hari ke 40 dari kebuntingan). Namun, kuda dengan kebuntingan ganda bilateral atau kebuntingan ganda unilateral diatas hari ke 40 kebuntingan cenderung untuk abortus kedua fetus kembar pada masa kebuntingan akhir saat kontak plascenta dengan uterus menjadi tidak cukup untuk menjaga kehidupan fetus. Pada beberapa kasus, salah satu fetus kembar akan mati dan terjadi mummifikasi, supaya yang lain tetap lanjut untuk berkembang dan terjaga selama masa kebuntingan. Diagnosis dari kebuntingan kembar paling baik dilakukan pada hari ke 14 atau 15 postovulasi, sebelum fiksasi, dengan pemeriksaan ultrasound rektal. Jika kebuntingan kembar didiagnosa dan belum terfiksasi, salah satu kembar dapat dihancurkan (per rektum). Dengan pengalaman, angka keberhasilan kurang lebih 90% saat salah satu kembar direduksi secara manual pada tahap kebuntingan ini. Kuda yang kehilangan kebuntingan kembar biasanya kembali estrus fertil dalam 2 minggu. Jika kedua kebuntingan hilang setelah pembentukan endometrial cup ( kurang lebih hari ke-36 sampai 40 dari kebuntingan), kuda betina biasanya tidak akan kembali pada estrus fertil sampai endometrial cup dan corpora lutea supplemen regresi ( 2 sampai 3 bulan berikutnya, tergantung pada umur kebuntingan pada kehilangan kebuntingan). Jika kebuntingan kembar tidak secara spontan atau manual tereduksi menjadi kebuntingan tunggal sebelum hari ke 35 dari kebuntingan, prostalglandin diberikan ( sebagai injeksi tunggal cukup untuk menginduksi abortus sebelum stimulasi endometrial cup dari pembentukan corpora lutea suplemen) untuk memastikan bahwa kuda betina akan kembali pada estrus fertil pada saat akan dikawinkan ulang selama masa kawin yang sama. Metode lain dari reduksi kembar menjadi kebuntingan tunggal, yang telah digunakan dengan angka keberhasilan yang terbatas, termasuk aspirasi dari isi vesikel melalui sebuah jarum yang dimasukan kedalam uterus per vagina, injeksi dari ruang allantoik atau jantung fetus dengan bahan toxic seperti colchicine atau larutan potassium chloride, dan puncture jantung fetus pada usia kebuntingan lanjut (diatas 100 hari) melalui sebuah jarum yang dimasukan pada uterus dengan panduan ultrasound transabdominal. Untuk menginduksi abortus dari kebuntingan kembar jika dideteksi antara hari 40 sampai 100 dari masa kebuntingan, injeksi beberapa kali dari prostalglandi F2 (sekali sehari untuk 4 sampai 5 hari) digunakan. Untuk kebuntingan yang tidak terpengaruh dengan suntikan prostalglandi F2 (lebih dari 110 sampai 120 hari), membran fetus dapat di puncture secara transcervical dan bahan toxic dapat diinfuskan pada ruang allantoik. Sebagaimana metode lain untuk menginduksi abortus, pemeriksaan ulang dilakukan pada hari ke-1 sampai

2 hari interval dibutuhkan untuk memastikan kematian fetus dan pengeluaran fetus serta membran fetus telah terbentuk. (Terry et al, 2003) Parturient Paresis (hipocalcemia, milk fever) Distribusi dari penyakit ini pada sekita masa kelahiran, dengan 75% dari kasus klinis terjadi pada 24 jam pasca kelahiran. 12% terjadi pada 24-48 jam pasca kelahiran dan 6% terjadi saat kelahiran. Hipokalsemia saat kelahiran sering kali diasosiasikan dengan distokia. Dan 7% terjadi sebelum atau tidak berasosiasi dengan kelahiran. Bentuk tersebut dari penyakit ini berasosiasi dengan kehilangan kalsium namun tidak disebabkan karena masa laktasi. Temuan klinis terbagi atas tiga tahapan, tahap I, gejala meliputi eksitasi ringan dan tetani tanpa rebah. Anoreksia juga merupakan temuan konsisten. Gejala ini dapat tejadi tanpa diketahui karena tahap I berprogres cepat menuju tahap II. Tahap II, terdapat gejala depresi, paralisis, dan rebah. Kepala dicirikan menoleh pada flank atau rebah pada lantai pada posisi memanjang. Tremor otot dapat terlihat dan sapi melakukan gerakan mengancam dengan kepalanya ( misal, menggoyangkan kepala). Pemeriksaan menunjukan tachycardia dengan penurunan suara jantung, ekstrimitas dingin, dan suhu rektal yang rendah (35.5oC 37,8oC). Atony gastrointestinal ( misal, bloat ringan, konstipasi), kehilangan refleks anal, dan reflek pupil terhadap cahaya lambat. Gejala klini pada tahap ini dapat berasosiasi dengan prolaps uteri, tahap II dapat berlangsung 1 sampai 12 jam. Tahap III, sapi dengan milk fever tahap III menunjukan kelemahan lanjut dan kehilangan kesadaran yang progresif. Bloat dapat mengancam nyawa karena rebah lateral dan atony saluran gastrointestinal. Saat pengeluaran kalsium mendadak dan tajam ( misal laktasi), kalsium homeostasis dapat gagal. Sapi dewasa yang sedang laktasi membutuhkan tambahan kalsium dan sapi yang lebih tua kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari saluran gastrointestinal telah berkurang. Saluran gastrointestinal stasis pada saat proses kelahiran juga terganggu dengan penyerapan kalsium. Paralisis terjadi karena kekurangan kalsium yang tersedia pada neuromuskular junction. Kalsium penting untuk rilis acetilkolin, dan juga, tingkat kalsium yang rendah mengganggu kontraktilitas dengan jalan menghambat interaksi aktin kalisiumdependen dan miosin. Disfungsi neuromuskular dapat terjadi bervariasi (tetani atau paralisis flacid) dengan penurunan rendah konsentrasi kalsium atau pada spesies selain sapi. Retensi plasenta sangat umum terjadi sebagai kelanjutan dari milk fever. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, sejarah, dan respon terhadap terapi. Pada saat pengobatan, serum sebaiknya diambil untuk dilakukan analisi kalsium. Total kalsium kurang dari 1,9 mmol/L dapat menghasilkan gejala klinis, tahap I dari penyakit biasanya dicirikan dengan tingkat kalsium

serum 1,4 2 mmol/L. Kebanyakan hewan rebah sebelum tingkat kalsium 1,25 mmol/L (jangakauan untuk tahap II milk fever adalah 0,9-1,6 mmol/L). Dengan tahap III dari penyakit saat tingkat kalsium mencapai 0,5 mmol/L. Diagnosa banding termasuk diantaranya penyebab rebah; trauma, paralisis saraf peripheral, cendera saat melahirkan, atau septicemia dan toxemia (misal coliform mastitis akut). Penyakit ini hari ditangani sebagai keadaan darurat, terlebih saat hewan mencapai tahap II. Rebah dalam waktu yang lama dapat menyebabkan komplikasi (bloat, prolaps uteri, decubitus, pneumonia aspirasi). Hewan tidak sembuh secara spontan. Respon individual terbaik pada tahap awal penyakit dan dengan pengobatan awal. Antara 5%-15% sapi tidak merespon terhadap pengobatan awal dan tetap rebah untuk waktu yang bervariasi. Berikan kalsium. Larutan kalsium intravena dan subkutan masing-masing mengandung 8 g dan 10 g kalsium. Satu botol 500 ml sudah cukup untuk pengobatan akan tetapi kalsium tetap hilang dari susu dan tidak diserap karena saluran gastrointestinal atoni dan peningkatan rilis calcitonin. Berikan 500 ml dari 23% calcium gluconate intravena. Injeksi intravena harus diberikan pelan (selama 20 menit) dan jantung diperiksa untuk iregularitas. Detak jantung harus lambat dan menjadi kuat selama periode pemberian kalsium. Respon lain pada terapi termasuk eruktasi, urinasi, defekasi, pergerakan otot dan perbaikan sikap. Dalam waktu 30 menit pengobatan, 60% dari hewan yang menderita milk fever akan berdiri. Kalsium tanpa glukosa diberikan pula lewat subcutan. Untuk tahap I penyakit pemberian subkutan saja sudah cukup. Kesembuhan total dari kalsium homeostasis tidak terjadi selam 2-3 hari. Pengobatan ulang diberikan sampai dua kali lagi. Jika hewan tidak responsif terhadap terapi segera setelah pemberian, rebahkan hewan pada rebah sternal, dan sediakan pijakan aman untuk sapi berdiri. Sediakan tempat berteduh yang memiliki akses mudah terhadap pakan dan air jika rebah terus berlanjut. Alas yang tebal dan putar tiap sisi 4-5 kali sehari sangat penting untuk menghindari kerusakan otot. Pencegahan untuk penyakit ini meliputi pakan sapi kering, dimana rendah kalsium dihindari. Pakan yang tinggu anion (klorida dan sulfur) dibandingkan kation (sodium dan potasium) lebih baik untuk mencegah hipokalsemia. Vitamin D3 yang diberikan prepartum dapat mencegah atau memperbaiki gejala klinis, namun waktu pemberian sangat kritis (Timothy, 1998).

You might also like