You are on page 1of 24

APENDISITIS

REFRAT
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Bedah Rumah sakit dr.Soedjono Magelang

Oleh :

Anjelia Paramita
01.208.5605

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2012

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb Dengan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat, nikmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Refrat ini yang berjudul Apendisitis sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan dalam menempuh program pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung di Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono Kota Magelang. Pada kesempatan ini penulis ini ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Dadiya, Sp.B selaku pembimbing kepaniteraan Klinik 2. Teman-teman sekelompok Co-ass Bedah Unissula. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan Refrat ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat memperbaiki kekurangan Refrat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Refrat ini dapat bermanfaat sebagaimana yang diharapkan.

Wassalamualaikum wr.wb Semarang, September 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat, karena usus buntu tersebut sebenarnya adalah caecum. Appendicitis adalah suatu peradangan pada

appendiks. Dahulu disebut dengan typhlitis (inflamasi dari caeceum). Hal ini dikemukakan oleh Baron Guillaume Dupuytren. Peradangan akut dari appendiks (appendicitis akut) memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Appendektomi pertama kali dikerjakan oleh seorang ahli bedah, Claudius Amyand pada tahun 1736. Sumbangan terbesar pada terapi appendicitis adalah Charles McBurney. Makalah ini disusun dengan harapan sebagai bekal calon dokter umum agar mampu mendiagnosa dan mampu melakukan pengelolaan cepat dan tepat sebelum dilakukan tindakan yang lebih lanjut, agar setidaknya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI
Appendicitis adalah peradangan pada appendiks dahulu disebut

dengan typhlitis (inflamasi dari caecum) oleh dupuytren. Appendiks baru diketahui menyebabkan penyakit pada abad 19. Appendiktomi pertama dilakukan tahun 1736 oleh Claudius amyand. Titik Mc burney diperkenalkan pertama kali oleh Charles McBurney (1889).

II.

EPIDEMIOLOGI Peradangan pada appendiks merupakan salah satu masalah operasi Satu dari setiap 2000 orang di dunia pernah

yang paling sering ditemukan.

mengalami appendektomi. Paling sering terjadi di Amerika dan Inggris (dunia barat), jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.

Appendicitis diasosiasikan dengan kurangnya diet tinggi protein. Pada benua Asia, insidens terjadinya appendicitis di Indonesia merupakan urutan negara ke-3 setelah Cina dan India. Pada tahun 1886, Reginald Fitz melaporkan angka kematian yang berhubungan dengan appendicitis yang tidak dioperasi sebesar 67%. Sekarang ini, angka kematian untuk appendicitis akut < 1%. Rata-rata kematian akibat komplikasi appendicitis sebesar 0,2 0,8%. Mortalitas

meningkat 20% pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun. Perforasi lebih tinggi terjadi pada pasien usia dibawah 18 tahun dan pada pasien diatas 50 tahun.
4

III.

ANATOMI DAN FISIOLOGI APPENDIKS Appendiks mulai terbentuk pada minggu kedelapan perkembangan Selama

embriologi sebagai protuberensia dari bagian akhir caecum.

perkembangan antenatal dan postnatal, pertumbuhan caecum jauh melebihi appendiks sehingga appendiks menjadi terdorong ke arah medial dari katup ileocaecal. Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan

tersebut memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Ketiga taenia coli menjadi satu pada

persambungan antara caecum dan appendiks, dan dapat menjadi tanda yang sangat berguna untuk mengidentifikasi appendiks. Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi dari < 1 cm sampai > 30 cm (rata-rata 6 9 cm). Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun

demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a. Mesenterika superior dan a.

Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X. Karena itu nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren. A. Appendikularis ini merupakan cabang dari a. Ileocolica yang berasal dari a. Mesenterika superior. Appendiks merupakan organ dengan fungsi imunologi yang berperan aktif dalam mensekresi imunoglobulin, terutama imunoglobulin A (Ig A). Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Appendiks menghasilkan lendir oleh sel goblet pada mukosa sebanyak 1 2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan atas terjadinya appendicitis.

IV.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering

terjadinya appendicitis akut. Fekalit adalah penyebab paling sering terjadinya obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti E. histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% kasus appendicitis akut sederhana, 65% kasus adalah appendicitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus adalah appendicitis gangrenosa dengan ruptur.

V.

PATOGENESIS

Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya 0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60 cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan merata pada midabdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat. Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar. Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk arteriola tetap sehingga menghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan mengenai lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah, dan terjadi dalam 24 48 jam pertama. Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh akibat kerusakan aliran darah. terjadinya invasi bakteri. Hal ini mengakibatkan mudah

Karena pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan

reaksi inflamsi (edem), dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem dan iskemi. Nekrosis dari dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari bakteri. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis gangrenosa. Bila tidak

ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebut akan pecah (appendicitis perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses (appendiceal abses) yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk

abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik

eksaserbasi akut).

VI.

KLASIFIKASI

VI.I. APPENDISITIS AKUT Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tenda setempat, disertai maupu tidak disertai rangsang peritoneum local. Gejala klasik apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada

muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah kekanan ketitik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehinggamerupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita memerlukan obat pencahar. TANDA Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-tanda vital hanya mengalami sedikit perubahan pada appendicitis tanpa komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 38,5oC) dan nadi normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna biasanya mengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain. Pasien dengan appendicitis biasanya lebih enak dengan posisi supine (telentang) dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak, mereka akan melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan hati-hati. Tanda klasik kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada posisi anterior. Rasa nyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney. Hal ini mengindikasikan adanya iritasi lokal peritoneum. Rovsings sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri bawah (pada daerah kontralateralnya). Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum. Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini juga

mengindikasikan adanya iritasi peritoneum. Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas. Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut. Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi lalu dilakukan rotasi interna secara pasif. Dunphys sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila sengaja dibatukkan (cough sign).

PEMERIKSAAN PENUNJANG o LABORATORIUM Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 18.000 /

mm3) yang didominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit > 18.000 / mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa abses. Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6 12 jam

10

setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya mencapai 50 87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri. Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan keluhan nyeri perut. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan

kemungkinan adanya infeksi saluran kemih (ISK). o RADIOLOGI Foto Polos Abdomen Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis

akut dapat terlihat abnormal gas pattern dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat

mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Pemeriksaan ini mungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda yang tidak khas. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.

o ULTRASONOGRAFI Sonografi merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak

invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang

11

sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi.

Secara sonografi, Kriteria

appendiks diidentifikasi sebagai blind end, tanpa peristaltik usus.

sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. o CT-Scan

CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis. Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi. Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar > 5 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau

edem terlihat sebagai perkaburan dari lemak mesenterium (dirty fat), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. o DIAGNOSIS

12

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis appendicitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15 20% kasus. Laparoskopi dapat digunakan sebagai diagnosis dan terapi pada pasien dengan acute abdominal pain dan dicurigai appendicitis.

o DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding tergantung lokasi anatomik dari appendiks yang inflamasi, stadium dari prosesnya (simple / ruptur), usia pasien, dan jenis kelamin pasien. Adenitis mesenterik akut Penyakit urogenital pria seperti torsio testis, epididimitis akut, dan seminal vesikulitis. Intususepsi Gangguan saluran kemih seperti pyelonefritis akut dan batu ureter kanan. Pada wanita harus dipikirkan adanya pelvic inflamatory disease (PID), kehamilan ektopik terganggu (KET), dan torsio kista ovarium.

Terapi Medikamentosa Menurut Eriksson dan Granstrom, inisial kesuksesan terapi dengan medikamentosa sebesar 95%, akan tetapi dengan follow up yang singkat didapatkan angka rekurensi sebesar 35%. Karena adanya rekurensi yang tinggi inilah, standar terapi untuk appendicitis akut adalah operatif Open appendectomy Incisi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
13

1. Incisi Mc Burney (incisi oblique) 2. Incisi Rocky Davis (incisi transversal) Keduanya dilakukan dengan memisahkan serat-serat otot sesuai dengan arahnya (muscle splitting incision / grid incision). Incisi ini dilakukan pada bagian tengah dari garis midclavicula. Sayatan ini mengenai

cutis, subcutis, dan fascia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Teknik inilah yang paling

sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan Lapangan operasi dapat diperluas dengan

waktu operasi lebih lama. memotong otot secara tajam.

3. Incisi Roux (muscle cutting incision) Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, Sedangkan kerugiannya adalah

mudah diperluas, sederhana, dan mudah.

diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang

14

mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama. 4. Incisi paramedian / pararektal. Tetapi jenis incisi ini jarang dilakukan. Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. Rectus abdominis dextra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau caecum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.

Appendektomi laparoskopi Pertama kali dikerjakan oleh Semm pada tahun 1983. Appendektomi laparoskopi dilakukan dengan anestesi umum. Biasanya memerlukan 3 lubang masuk 4 lubang masuk pada appendiks retrocaecal. Trocar I (10 mm) diletakkan di umbilicus, trocar II (10 12 mm) diletakkan di suprapubic, dan trocar III (5 mm) dapat diletakkan bervariasi, biasanya bisa di dan kuadran kuadran kiri kanan bawah, atas

epigastrium,

tergantung lokasi dari appendiks.

15

Kontraindikasi relatif untuk dilakukan appendektomi laparoskopi antara lain : Infeksi dan / atau abses yang ekstensif Appendiks yang mengalami perforasi Obesitas Adanya riwayat operasi pada abdomen yang meninggalkan bekas Tidak dapat melihat jelas organ-organ abdomen Ada masalah perdarahan selama operasi Bila hal-hal tersebut tejadi, maka lebih baik dilakukan open appendektomi. Tabel 3. Perbandingan Open Appendectomy dan Appendektomi

Laparoskopi

Lama operasi Alat yang dibutuhkan Harga Infeksi luka operasi Abses intraabdominal Nyeri post operasi Reaktivitas

Open appendectomy Butuh waktu sebentar Lebih sedikit Lebih murah Lebih sering Lebih jarang Lebih lama Lebih lama

Appendektomi laparoskopi Lebih lama Lebih banyak Lebih mahal Lebih jarang 3x lebih sering Lebih cepat Lebih cepat

Sumber : Jaffe & Berger, 2005

KOMPLIKASI POST OPERATIF Infeksi merupakan komplikasi paling sering setelah tindakan operasi dari appendicitis. Biasanya infeksi terjadi pada bekas luka operasi. Infeksi dapat mengenai subkutaneus dan rongga abdomen. Insidens terjadinya komplikasi tersebut tergantung pada beratnya suatu appendicitis, umur pasien, kondisi tubuh dan tipe dari penutupan luka.
16

Pada umumnya pasien dengan appendicitis akut tanpa perforasi, insidens terjadinya infeksi < 5% dan pembentukan abses abdominal < 1%. Penanganan dari luka pada appendicitis dengan komplikasi masih merupakan kontroversi. Adanya yang mengatakan lebih baik untuk melakukan delayed primary wound closure. Ada juga yang mengatakan bahwa penutupan luka operasi dengan jahitan subkutikuler dapat dilakukan dan disertai dengan pemberian antibiotik. Sedangkan untuk abses intraabdominal dilakukan drainage percutaneus dan antibiotik intravena.

PROGNOSIS Mortalitas akibat appendicitis menurun dari 9,9 / 100.000 tahun 1939 menjadi 0,2 / 100.000 pada tahun 1986. Mortalitas dapat terjadi apabila terjadi ruptur sebelum operasi ( 3%). Morbiditas terjadi pada 3% pasien tanpa perforasi dan 47% pada pasien dengan perforasi. Komplikasi serius yang dapat terjadi antara lain sepsis, abses, dan infeksi pada luka. Infeksi post operatif masih dapat terjadi sekitar 30% pada kasus appendicitis gangrenosa atau appendicitis perforasi.

VI.2 .

APPENDICITIS PERFORASI

Tindakan appendektomi segera sudah sejak lama direkomendasikan untuk mengobati appendicitis akut karena telah diketahui resikonya besar untuk terjadinya ruptur. Secara keseluruhan, rata-rata terjadinya perforasi dari Anak usia < 5 tahun dan orang tua > 65 tahun

appendiks adalah 25,8%.

mempunyai rata-rata tertinggi.


17

FAKTOR RESIKO Tidak ada cara yang akurat untuk membedakan kapan dan appendiks yang bagaimana yang akan mengalami ruptur karena proses inflamasi. Walaupun disarankan observasi dan terapi antibiotik saja untuk mengobati appendicitis akut, tetapi terapi non operatif meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan ruptur appendiks. Keterlambatan dalam mencari perawatan medis, adanya fekalit dalam lumen, dan umur (orang tua atau anak muda) merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur / perforasi. Ruptur appendiks terutama terjadi pada distal dari obstruksi lumen. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah adanya gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Sedangkan insidens tertinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan yang kurang sempurna akibat perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.

GEJALA DAN TANDA Ruptur ini harus dicurigai bila ada demam yang > 39oC, rasa nyeri yang lebih parah, dan leukosit > 18.000 / mm3. Biasanya ruptur jarang terjadi dalam 12 jam pertama. Konsekuensi dari terjadinya ruptur ini dapat bervariasi, mulai dari terjadinya peritonitis umum sampai pembentukan abses kecil yang dapat mengubah gejala dan tanda dari appendicitis. Perforasi yang terjadi pada wanita muda akan meningkatkan resiko infertilitas tuba sekitar 4 kali lipat.

18

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan foto polos abdomen. Gambaran foto polos pada appendicitis dengan perforasi adalah : Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah. Penebalan dinding usus di sekitar letak appendiks, seperti caecum dan ileum. Garis lemak pra peritoneal menghilang. Skoliosis ke kanan. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi. Adanya gambaran free air (jarang) Sedangkan kriteria USG untuk mendiagnosis appendicitis yang sudah mengalami perforasi adalah adanya cairan, massa periappendiceal, dan kehilangan integritas lapisan submukosa. KOMPLIKASI

Peritonitis Peritonitis lokal diakibatkan oleh perforasi mikroskopik dari appendiks gangrenosa, sedangkan peritonitis umum biasanya terjadi karena perforasi besar sehingga isi lumen masuk ke dalam rongga peritoneum. Gejala-gejala seperti peningkatan kekakuan otot abdomen, distensi abdomen, dan peristaltik yang berkurang terlihat pada pasien yang mengalami peritonitis.

19

TERAPI Pada appendicitis yang mengalami perforasi, penanganannya hampir sama

dengan appendicitis gangrenosa. Kebanyakan dari pasien-pasien ini mengalami penurunan volume cairan sehingga membutuhkan waktu 2 jam atau lebih untuk resusitasi cairan sebelum operasi. Pasien dengan appendicitis perforasi sudah mengalami peritonitis dan membutuhkan antibiotik spektrum luas secara intravena yang harus diberikan sesegera mungkin. Perawatannya membutuhkan waktu

lebih lama, bisa 7 sampai 10 hari atau setelah pasien bebas panas dengan leukosit yang normal.

VI.3.

APPENDICITIS KRONIK
Adanya kronik atau appendicitis rekuren adalah hal yang kontroversial, dan walaupun jarang, hal ini dapat terjadi. Insidensnya antara 1 5%. Obstruksi intermiten dari lumen appendiks dengan remisi spontan dicuragai sebagai penyebabnya. Inflamasi lokal ringan setelah serangan appendicitis

akut dapat mengakibatkan rasa tidak enak yang kronik pada kuadran kanan bawah. GEJALA DAN TANDA

Gejala klinisnya dikarakteristikan dengan : Rasa nyeri lebih lama (bisa 3 minggu atau lebih) dan intensitasnya lebih rendah daripada appendicitis akut tetapi gejala berada pada lokasi yang sama. Adanya riwayat serangan akut appendicitis yang hanya ditangani dengan obatobatan.
20

Insidens muntah berkurang Anoreksia, muntah, nyeri dengan gerakan, malaise

PEMERIKSAAN PENUNJANG Computed Tomography CT-scan dari pasien dengan rekuren atau appendicitis kronik memberikan gambaran yang mirip dengan appendicitis akut. Pasien yang telah melakukan appendektomi, gejalanya menghilang dan pada pemeriksaan histologinya didapatkan bahwa appendiksnya abnormal.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan bila memnuhi 3 kriteria : 1. Adanya riwayat serangan rasa sakit pada abdomen kuadran kanan bawah yang lebih dari 1 bulan dengan 3 kali serangan atau lebih. 2. Rasa tidak enak pada abdomen kuadran kanan bawah tanpa adanya tandatanda iritasi atau inflamasi peritoneal. 3. Pada pemeriksaan barium enema didapatkan irregular filling, non filling atau partial filling dari appendiks setelah 24 jam atau non emptying appendiks setelah 72 jam. Sedangkan kriteria mikroskopik untuk appendicitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamsi kronik.

21

Diagnosis pasti dengan operatif.

Sensitivitasnya mencapai 78% dan

spesifisitas 94%. Untuk terapi dilakukan appendektomi. Dengan appendektomi, gejala menghilang 82 93%.

22

23

DAFTAR PUSTAKA
Appendicitis. 2006. Available at : http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/ appendicitis/index.htm. Appendix. 2006. Available at : http://pathologyoutlines.com/appendix.html#normal anatomy. Craig, S. (Last updated : May 26th, 2005). Appendicitis, Acute. Available at : http:// www.emedicine.com/emerg/topic41.htm. Jaffe, B M., Berger, D H. 2005. The appendix. In Schwartzs Principles of Surgery. 8th Edition. McGraw Hill. United States of America. Page 1119 - 34. Kartono, D. 1995. Apendisitis Akuta. In Reksoprodjo, S (Ed). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Page 110, 112. Laparoscopic Appendectomy. 2006. Available at : http://www.sages.org/sages

publication.php?doc=PI08.
Lee, D. 2006. In Marks, J W (Ed). Appendicitis and Appendectomy. Available at :

http://www.medicinenet.com/appendicitis/article.htm.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W I., Setiowulan W. 2000. Apendisitis. In Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Page 310. Sjamsuhidajat, R. Jong, W D. 1997. UsusHalus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 865 - 75. Way, L W. 2006. Appendix. In Doherty, G M (Ed). A Lange Medical Book. Current Surgical Diagnosis and Treatment. International Edition. 12th Edition. McGraw Hill. United States of America. Page 648 52.

24

You might also like