You are on page 1of 5

DEMOKRASI DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Oleh : Achmadi Touwe (Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) yang merupakan sebuah proses demokrasi (pesta demokrasi lima tahunan) yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk menentukan arah perjuangan Bangsa dan Negara melalui hasil-hasilnya setelah melibatkan seluruh elemen bangsa yang merdeka, lepas dari intimidasi dan interpensi oleh pihak manapun. Pemilu bagi negeri ini bukan sesuatu yang asing untuk semua elemen bangsa (rakyat, politisi, birokrat) yang senantiasa bertarung untuk memenuhi hak politiknya (memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik). Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Bab VII, Pasal 22E, (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada konteks otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) kemudian tertuang dalam UU 32 Thun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan payung hukum proses demokrasi (disamping UU Politik lainnya) - Pemilu Lokal untuk menentukan pemimpin di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tingkatan pemilu lokal, pemilihan kepala daerah (pilkada) telah diselenggarakan. Sejak pelaksanaannya yang dimulai pada Juni 2005 telah banyak menuai (menimbulkan) berbagai permasalahan dalam tahapan-tahapan penyelenggaraannya. Kewenangan yang diberikan seluas-luasnya dari Pemerintah (Pusat) kepada Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) adalah sesuatu hal yang semu, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai persoalan baru di Daerah. Kegamangan oleh para elit untuk mencapai tujuan politiknya dalam penyelenggaraan pemilu di Daerah sangat berpengaruh terhadap kinerja, eksistensi, indevendensi penyelenggara pilkada yang kemudian menjadi pemicu atas kekisruhan (kekacauan) pada proses maupun pasca pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang menelan biaya tidak sedikit pada berbagai daerah terkesan sia-sia walaupun hasilnya (proses demokrasi lokal) dapat menghasilkan pemimpin di daerah, namun produknya tetap saja diwarnai oleh kekisruhan. Kesan seperti ini seakan mengatakan bahwa demokrasi telah dicaplok. Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Sudirman, dalam RESOLUSI, Jurnal Pemikiran Kaum Muda Sulawesi Selatan, edisi 01, DPD. KNPI Sulawesi Selatan, tahun 2005, bahwa : Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sepuluh Kabupaten di Sulsel babak belur. Berbagai intrik dan kekisruhan mewarnai suksesi Bupati pertama secara langsung ini. Akibat desakan masa dan rongrongan aksi unjuk rasa, lima anggota KPUD Tana Toraja mengancam mengundurkan diri, empat anggota KPUD Pangkep yang masih aktifpun diminta diganti oleh anggota DPRD setempat. Anggota KPUD Gowa harus duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Gowa

karena dilapor telah melakukan pelanggaran dalam pilkada. Inilah rentetan kekisruhan pilkada di Sulawesi Selatan. Di daerah ini (Sulawesi Barat), yang menobatkan diri sebagai Masyarakat Malaqbi, hasil pemilihan Gubernurpun tak luput dari kekisruhan. Belum lagi hasil Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007. Semua rentetan persoalan Pilkada Langsung tersebut adalah sebuah gambaran tentang Matinya Mata Hati Elit Politik (Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik). Pertanyaannya kemudian, Akankah pesta rakyat daerah ini dicabut kembali hanya karena ketidak profesionalan penyelenggara, para actor politik dan partai menyikapinya ??....... Wallahualam. B. Rumusan Masalah Dari uraian diatas maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang terjadi pada berbagai daerah dalam menyelenggarakan proses demokrasi. 1. Kapasitas dan kapabilitas penyelenggara pemilu di Daerah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dalam berbagai regulasi yang berhubungan dengan proses pemilu lokal. 2. Para elit lokal yang tampil dalam konteks pilkada langsung tidak mampu menciptakan sintesa politik baru untuk mencapai tujuan politiknya. 3. Para elit terkesan sangat pragmatis dan tidak legowo dalam menerima kekalahan dalam pilkada langsung. 4. Ketidak dewasaan Partai Politik dalam melakukan komunikasi, recruitman, dan bahkan pendidikan politik terhadap rakyat tidak berfungsi. BAB II PEMBAHASAN (Demokrasi Dalam Konteks Otonomi Daerah) A. Demokrasi Demokrasi, secara etimologi dapat bermakna kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat (rakyat berkuasa). Dari negeri asalnya (Yunani), bahwa demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik). Dari makna ini bahwa demokrasi yang senantiasa kita dengar adalah merupakan proses kedaulatan rakyat dalam pemenuhan hak politik oleh setiap individu. Rakyatlah yang berdaulat, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan KPU No 13 Tahun 2007, tentang Pedomana Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari berbagai regulasi sebelumnya juga telah diamanatkan demikian. Tetapi pada kenyataannya proses pelibatan rakyat dari waktu ke waktu, dalam proses demokrasi (Pemilu) belum optimal, rakyat sebatas dijadikan obyek eksploitasi kepentingan elit untuk mencapai ambisi kekuasaan, yang pada gilirannya tidak memberi kemanfaatan bagi pemilik kedaulatan itu sendiri. Berbicara mengenai proses demokrasi (Pemilu) dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama, melalui sudut pandang politik. Pemilihan umum dan partai politik yang merupakan perwujudan dari adanya demokrasi, dimana rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan dengan ikut pemilihan umum, untuk memilih wakilnya yang dapat mengakomodasi kepentingannya, dan dengan cara memilih partai politik yang sesuai dengan keinginannya. Dan yang kedua, Jika kita lihat dari sudut Hukum Tata Negara maka kita mencoba melihat bagaimana aturan main dalam melaksanakan pemilihan umum dan tentang

partai politik. Masalah pemilihan umum dan tentang partai politik di Indonesia, jika dilihat dari paraturan perundangan-undangan baik yang pernah maupun yang sedang berlaku, selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan, juga dipengaruhi pula dengan keadaan rezim yang berkuasa saat berlakunya suatu undang-undang politik. Terkadang peraturan perundangan tersebut digunakan untuk menggulingkan suatu partai atau kelompok yang dianggap membahayakan rezim (penguasa) yang berkuasa pada saat itu (Prof. Abdul Bari Azed, SH., MH. dan Makmur Amir, SH., MH., Pemilu & Partai Politik di Indonesia). Partai politik sebagai wadah partisipasi politik rakyat dalam pemilihan umum, untuk menyalurkan aspirasi, memperoleh dan mempertahankan tujuan politik untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya melalui kekuasaan. Sebagaimana dikatakan oleh Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, bahwa Partai politik adalah : 1. Partai politik merupakan suatu organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu masyarakat. 2. Partai politik mencurahkan perhatian untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kekuasaanya. 3. Partai politik berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. 4. Partai politik merupakan lembaga perantara yang menghubungkan antara kekuatankekuatan social dan ideology yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah maupun lembaga-lembaga kenegaraan. Di negeri (Indonesia) yang sejak awal (Pemilu 1955) yang sangat panatik dengan system multi partai, kehidupan demokrasi tidak berjalan sesuai makna dari kata demokrasi itu sendiri. Tumbuh dan berkembang dalam suasana carut marut (tidak bermakna). Hal ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa system multy partai sesungguhnya tidak efektif dan efisien diterapkan dalam mengusung demokrasi di Indonesia. Sebab partai politik yang tumbuh ibarat cendawan di musim hujan hanya karena alasan geografis, keragaman suku, dengan latar belakang kultur yang berbeda. Dilihat dari sejumlah aspek, pembentukan partai politik baru pada era sekarang ini lebih memiliki tujuan yang praktis, bukan tujuan ideal, yaitu sebagai wahana untuk mengartikulasi berbagai kepentingan dan memperebutkan kekuasaan politik. Bahkan, dengan melihat berbagai sepak terjang dan manuver politik yang dilakukan tokoh sentralnya, tampak jelas ada sebagian partai yang didirikan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana tokohtokohnya masih memiliki pengaruh politik, dan sebagian lagi sekadar alat untuk bisa menghimpun dana politik. Hal ini agak berbeda dengan tujuan pembentukan partai pada masa awal kemerdekaan. Pembentukan partai pada masa itu merupakan mekanisme yang tepat untuk mengukur kekuatan perjuangan bangsa Indonesia yang baru merdeka (Saifullah Mashum, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999). Sementara revolusi membawa tuntutan yang besar kepada perubahan system dan kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas yang relative rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai system politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan salah satu atau kombinasi dari berbagai system yang dikenalnya; di dalam waktu yang singkat sekaligus dihadapkan kepada tanggungjawab untuk mengatasi segala keterbelakangannya. Demikian halnya dengan partai politik (Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia). Pada konteks politik lokal, gambaran tersebut di atas adalah merupakan penyebab terjadinya konflik berkepanjangan (kekisruhan) Apalagi menjelang, dan bahkan setelah ditetapkannya hasil Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung baik antar pendukung maupun para elit dalam proses politik.

B. Otonomi Daerah Dalam membincang (mengemukakan) tentang otonomi, hendaknya tidak sekadar mengambil alih pengertian otonomi yang dikembangkan secara politik dalam kehidupan bernegara. Otonomi yang dimaksudkan disini adalah istilah dengan pengertian lebih luas. Otonomi adalah sikap mental yang merasa merdeka, tidak terbelenggu secara mental psikologis melakukan usaha-usaha preservasi, pengembangan serta usaha-usaha inovasi kebudayaan. Pembicaraan mengenai otonomi daerah juga tidak bisa dilepaskan dari asas desentralisasi yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintah daerah. Desentralisasi adalah prinsip pembelahan wilayah satu Negara ke wilayah-wilayah yang lebih kecil, dan di wilayahwilayah itu dibentuk institusi politik dan institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat di satu tempat. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya pemerintah melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu service, regulation, dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat, dan setepat mungkin (Abdul Gaffar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia). Untuk mewujudkan semua ini, maka pemerintah memberikan otonomi kepada pemerintah daerah agar semua itu dapat terlaksana secara efektif dan efisien berdasarkan nilai-nilai local untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan ini juga akan mendukung penguatan civil society dan mendukung kesadaran kolektif masyarakat terhadap pembangunan nasional..??.. Jawaban dari pertanyaan di atas seakan masih menjadi misteri yang masih harus dicari dan dikaji lebih lanjut. Jika dilihat dari perjalanan otonomi daerah ada kecenderungan pemaknaan otonomi daerah identik dengan rejim politik yang sedang berkuasa, hal ini sebagaimana digambarkan oleh Sri Djaharwinarlien, Otonomi : Peluang atau Beban Daerah (Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia) Dari sisi lain dapat kita lihat, bahwa kewenangan daerah yang semakin besar tanpa dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang otonomi daerah, dapat dipastikan akan memunculkan berbagai sikap; egoisme daerah semakin tinggi, yang dapat menurunkan solidaritas daerah dan merangsang munculnya konflik kedaerahan (regional). Dan ini adalah salah satu bentuk kekeliruan yang juga dapat mencipkan arogansi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pada pentas politik local, telah tergambar arogansi kedaerahan, dimana recruitmen pemerintahan (PNS, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Legislatif Daerah) hanya dilihat dari sisi putra daerah dan bukan putra daerah (pri nonpri) untuk mengisi kekosongan itu. Penapsiran seperti ini juga mempunyai andil terciptanya disintegrasi bangsa. Dan ini sangat dikhawatirkan beberapa pakar, bahwa akan muncul raja-raja kecil di daerah. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Implementasi otonomi daerah, sejauh ini hanya, menghasilkan preseden buruk, karena dalam pengimplementasiannya tidak diiringi dengan prinsip-prinsip demokratisasi. Akibatnya, sejumlah kepala daerah yang telah dihasilkan (kepemimpinannya), berubah wujud hanya menjadi raja-raja kecil di daerah, untuk memanfaatkan peluang dalam pemenuhan kepentingan dirinya, yang justru melukai prnsip-prinsip dasar dan asas yang dikandung otonomi daerah dan demokratisasi itu sendiri bagi kedaultan rakyat. Kata demokrasi senantiasa dikumandangkan oleh setiap elit dalam proses apapun, tetapi pada kenyataannya rakyat sebatas dijadikan obyek eksploitasi kepentingan orang-orang untuk

mencapai ambisi kekuasaan, yang pada gilirannya tidak memberi kemanfaatan bagi pemilik kedaulatan itu sendiri. Prinsip demokrasi hanya sebatas jargon-jargon politik untuk meninabobokkan rakyat. Kekisruhan yang senantiasa terjadi baik dalam proses maupun pada pasca hasil pemilu senantiasa dipicu oleh penyelenggara pemilu, hal ini diakibatkan oleh karena ketidak profesionalan penyelenggara. Dan lebih diperparah lagi oleh adanya interpensi oleh para elit politik . Pembentukan civil society yang difasilitasi dengan kantor, peralatan, perpustakaan dan pelatihan-pelatihan akan dapat mempercepat pemahaman masyarakat terhadap otonomi daerah dan sekaligus dapat dijadikan alat pengawasan bagi penyelenggaraan otonomi itu sendiri. Civil society yang kuat dan dapat mengimbangi public sector diyakini akan dapat mempercepat terwujudnya Good Governance. Sedang Civil Society yang kuat dan dapat mengimbangi sector bisnis, Public Sector diyakini akan dapat mempercepat terwujudnya Good Corporate Governance. C. Saran 1. Perlu dibuat suatu Undang-Undang politik yang benar-benar dapat mengatur tentang pemilihan umum dan partai politik untuk mengakomodir segala kepentingan rakyat dalam partisipasi politik. 2. Aspirasi otonomitas, serta vitalitas masyarakat yang telah diperlihatkan selama ini perlu terus dibina dan diarahkan oleh badan-badan kepemerintahan maupun badan-badan swadaya masyarakat yang selanjutnya akan membakukannya (standardisasi). Usaha standardisasi perlu terus didukung untuk melestarikan bentuk-bentuk budaya yang telah dicapai dan dikreasi sendiri maupun yang diserap dari budaya lain yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup masyarakat yang terus berkembang. 3. Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang profesional dan legitimated, tidak ada cara lain kecuali melakukan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) . Meskipun terjadi kekurangan disana sini, pilkada langsung masih merupakan pilihan terbaik dari semua cara yang sesuai dengan kultur politik Indonesia dengan masyarakat mejemuk yang menghendaki transparansi dan legitimasi yang tinggi bagi seorang pemimpinnya, setelah sekian lama kita dipaksa untuk membeli kucing dalam karung. Dimasa lalu, hampir tidak pernah bergaris lurus antara siapa yang dikehendaki rakyat, dengan siapa yang dipilih wakil kita di DPRD.

You might also like