You are on page 1of 14

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan akal pikirannya. Hal ini jelas mempunyai pengaruh dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran. Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka Al-Quran harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Quran bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al Quran telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa kenabian Muhammad. Sementara di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan Al-Quran dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan AlQuran mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Quran, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara luas sebagai tafsir. Dalam peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Quran, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Quran juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman. Metode-metode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan itu juga terjadi karena kebutuhan manusia akan metode baru, sebagai akibat perkembangan zaman, tidak terelakkan. Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran alQuran secara estafet, yaitu tafsir bi al-matsur atau disebut juga dengan tafsir bi alriwayah dan tafsir bi al-rayi atau tafsir bi al-dirayah. Namun dalam kesempatan ini kita akan membahas tentang tafsir bi al-matsur. Untuk mengkaji tentang tafsir bi almatsur itu sendiri, di makalah ini akan coba untuk menjelaskan tentang pengertian tafsir dan tawil, tafsir bi al-matsur dan ragam bentuk penafsirannya, dan

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


nilai tafsir bi al-matsur menurut pandangan para ulama yang kemudian disertai dengan alasan-alasannya. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan tawil? 2. Apa itu tafsir bi al-matsur? 3. Bagaimana klasifikasi tafsir bi al-matsur? 4. Apa saja macam dan bentuk tafsir bi al-matsur ? 5. Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir bi al-matsur? 6. Bagaimana hubungan dan Kedudukan Israiliyat dalam Tafsir bi al-Matsur?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN Adapun tujuan dari pembahasan tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui makna dari tafsir dan tawil. 2. Untuk memahami makna dari tafsir bi al-matsur. 3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dalam tafsir bi al-matsur. 4. Untuk mengetahui macam dan bentuk tafsir bi al-matsur. 5. Untuk mengetahui pandangan para ulama terhadap tafsir bi al-matsur. 6. Untuk mengetahui hubungan dan Kedudukan Israiliyat dalam Tafsir bi al-Matsur.

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian tafsir dan tawil Kata tafsir secara etimologi diambil dari kata - - berarti yang

berarti penjelasan dan keterangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat AlFurqan; 33


Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya Sementara itu dari segi terminologi menurut Al-Zarqani : Ilmu yang di dalamnya membahas tentang Al-Quran Al-Karim dari segi petunjuk (dalalah)nya kepada yang dikehendaki Allah dari sekedar yang kemampuan manusia. Menurut Az-Zarkasyi : Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya. Menurut Ibnu Hayyan tafsir adalah: Ilmu membahas mengenai cara pengucapan kata-kata al-Quran serta cara mengungkapkan petunjuk (dalil-dalilnya), kandungankandungan hukum yang tersendiri (terpisah) dan yang tersusun serta makna-maknanya yang terkandung atasnya secara tersusun baik. Jadi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil Al-Quran dan maknamaknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT, menurut ukuran kemampuan manusia. Sedangkan kata tawil secara etimologi barasal dari kata - -,yang berarti (kembali ke asal). Sedangkan menurut terminologi As-Suyuti mendefenisikan tawil adalah: Pemalingan ayat kepada apa yang terkandung dari dalamnya dari maknamakna.

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Sedangkan tawil menurut mutaakhkhirin, fuqaha, mutakallimin dan

muhadits dan para sufi sebagai mana dinukilkan Ad-Dzahabi dalam At-tafsir wa alMufassirun mengatakan: Tawil adalah pemalingan lafazh dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh karena dalil yang sebanding dengannya. Sementara menurut kalangan salaf mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara tafsir dan tawil, mereka mengatakan bahwa kata-kata tafsir dalam kitab-kitab tafsir nereka dengan kata-kata tawil[8]. Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa tawil adalah memahami lafazh-lafazh Al-Quran meleui pemahaman arti yang terkandung oleh lafazh tersebut, dengan kata lain, tawil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternative kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Berdasarkan tafsir dan tawil: 1. Tafsir lebih umum dari tawil, kebanyakan penggunaan tafsir pada lafazhlafazhnya, dan sementara tawil kebanyakan penggunaannya pada maknamaknanya. 2. Tafsir menerankang lafadzmelalui jalan riwayah,sedangkan tawil menerangkan lafazh melaui dengan jalan dirayah. Dengan kata lain, tafsir menerangkan makna yang tersurat sedangkan tawil menerangkan makna yang tersirat. 3. Tafsir menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti, sementara tawil menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil. 4. Tafsir adalah apa yang telah dijelaskan di dalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan tawil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedangtawil adalah apa yang berhubungan dengan diwayah. 2.2 Pengertian tafsir bi al-matsur Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-matsur merupakan gabungan dari tiga kata; itafsir, bi dan al-matsur. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata bi berarti dengan sedangkan al-matsur berarti ungkapan yang pembahasan tentang makna tafsir dan tawil, dan untuk

mempermudah pemahaman tentang keduanya, disini akan diuraikan perbedaan antara

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


dinukil oleh khalaf dari salah. Dengan demikian secara etimologis tafsir bi almatsur berarti menyingkap isi kandungan al-Quran dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-matsur yaitu:

, . . .
Artinya : Tafsir bi al-Matsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Quran dengan al -Quran, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat karena

merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabiyn karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat.

Definisi seperti ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama kontemporer. AlZarqani adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bi al-matsur adalah penafsiran al-Quran dengan al-Quran, atau hadits atau pendapat sahabat atau tabiin. Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-matsur adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabiin. Ulama yang memahami bahwa tafsir bi al-matsur bukan penafsiran al-Quran dengan al-Quran atau hadits atau pendapat sahabat atau tabiin adalah al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari kitab tafsirnya adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi SAW dan para shahabat. Sedangkan menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, tafsir bi al-matsur ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Quran dan al-Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai keterangan/penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran AlQuran dengan al-Sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-Matsur adalah tafsir AlQuran dengan Al-Quran atau penafsiran Al-Quran dengan Al-Sunnah. Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwasanya tafsir bi alMatsuradalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan ayat lain atau sunnah Rasulullah Saw. dan sebagian ulama berpendapat bahwa menjelaskan Al-

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Quran dengan perkataan para sahabat bahkan tabiin masih termasuk tafsir bi alMatsur bahkan mereka memberi alasan karena para tabiin langsung menerimanya dari para sahabat, dan tafsir bi al-Matsur ini adalah merupakan jalan yang paling aman dari kesesatan dalam memahami Al-Quran. 2.3 Klasifikasi Tafsir bi al-Matsur Di atas telah dibahas tentang perbedaan dalam memaknai tafsir bi almatsur. Pertama adalah pendapat yang meyakini tafsir bi al-matsurdengan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, hadits, pendapat shahabat dan tabiin. Kedua, tafsir yang berupa kompilasi penafsiran Nabi, shahabat dan tabiin. Sekalipun redaksionalnya berdekatan, namun hakekat dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda. Tafsir bi al-matsur, jika diartikan sebagai kompilasi penafsiran Nabi, shahabat dan tabiin, maka riwayat menjalankan fungsi interpretatif. Riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi, shahabat dan tabiin secara langsung menjelaskan ayat-ayat alQuran. Riwayat tersebut langsung menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah begini. Oleh karena itu, ruh dari tafsir bi al-matsur yang semacam

adalah naql (penukilan riwayat). Dengan demikian, maka penulis kitab tafsir (baca: penafsir) hanya menulis tafsir dengan menukil riwayat Nabi, Shahabat atau tabiin dalam menafsirkan ayat al-Quran, bukan sebagai penafsir. Definisi semacam inilah yang dipegang oleh al-Suyuthi. Sedangkan bila tafsir bi al-matsur diartikan sebagai penafsiran al-Quran dengan al-Quran, atau hadits atau pendapat shahabat atau tabiin, maka ruhnya bukan lagi naql melainkan istidlal. Istidlal berarti menafsirkan al-Quran dengan rayi (akal) yang didasari dengan dalil, baik dalil itu dari al-Quran sendiri atau dari hadits Nabi, atau dari pendapat shahabat atau tabiin. Dalam definisi tafsir jenis ini, riwayat tidak lagi berfungsi interpretatif, melainkan argumentatif. Mufassir akan mengatakan bahwa menurut pendapatnya tafsir ayat ini adalah begini dasarnya adalah al -Quran surat ini ayat ini, atau hadits ini, atau pendapat shahabat ini, atau pendapat tabiin ini. Sehingga dalil al-Quran, hadits nabi, pendapat shahabat atau tabiin hanya sebagai sandaran, sedangkan penafsiran berasal dari pemikiran penafsir sendiri. Dalam perdebatan ini, maka penulis sepakat dengan Nur Faizin yang mengatakan bahwa definisi tafsir bi al-matsur yang lebih tepat adalah tafsir yang

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


dinukil dari Nabi SAW, tafsir shahabat yang bernilai marfu, tafsir yang menjadi ijma shahabat dan tafsir yang menjadi ijma tabiin. Sedangkan selain keempat macam tafsir ini adalah masuk kategori tafsirbi al-rayi. 2.4 Macam dan Bentuk Tafsir bi al-Matsur Tafsir bi al-Matsur merupakan penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi alriwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal(tafsir dengan menggunakan pengutipan riwayat). Penafsiran corak ini dapat dibagi menjadi empat macam dan bentuknya yaitu: 1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran Pada prinsipnya ayat-ayat al-Quran merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, ia bagai mata rantai yang saling berkaitan antara satu dan yang lainnya, yang saling menjelaskan antara yang satu dengan yang lainnya (intertekstualitas). Penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah bentuk tafsir yang paling tertinggi. Keduanya tidak diragukan lagi dalam penerimaannya. Hal ini karena Allah SWT adalah sumber berita yang paling benar yang kemudian menjelaskannya, yang tidak mungkin tercampur perkara batil darinya. Penjelasan Al-Quran dengan Al-Quran ini dapat dilihat pada surat al-Maidah ; 3 yang berbunyi:


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. Yang mana ayat ini memberitahukan bahwa salah satu yang termasuk yang diharamkan oleh Allah SWT ialah darah. Kata-kata darah dalam ayat ini tidak menunjukkan jenis dan kadar darah tersebut. Dengan kata lain, bahwa darah apa sajapun termasuk kedalam kelompok yang diharamkan oleh Allah AWT baik sedikit maupun banyak. Akan tetapi bila kita lihat pernyataan ayat lain yaitu surat al-Anam ayat 145 menjelaskan bahwa ada darah yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu darah yang mengalir sebagaimana firmannya:

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir. Atau dalam surat Al-Hajj; 30:

.. Kata ( ) ditafsirkan dengan surat al-maidah; 3:


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. 2. Penafsiran al-Quran dengan Hadits Sebagaimana diketahui bahwa Hadits merupakan sebagai bayan (penjelas) dari Al-Quran itu sendiri, sehingga Hadits merupakan penjelas penguat, perinci, pembatas bahkan penambah dari Al-Quran itu sendiri. Tapi yang menjadi persoalan adalah jika Al-Quran yang qathiy al-tsubut itu dihadapkan dengan hadits yang zhanny al-wurud bertentangan dengan Al-Quran itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi permasalahan tentang penafsiran Al-Quran dengan Hadits, tentang segi keshahihan dari hadits itu sendiri. Penafsiran ini dapat dilihat pada surat Al-Anam; 82


Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Nabi SAW menafsirkan lafazh dengan Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi Muhamad SAW, tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan alQuran, penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya karena beliaulah yang langsung menerima ayat tersebut dan diberi keleluasaan untuk menjelaskannya. Penafsiran al-Quran dengan hadits dapat dilihat bagaimana Nabi menafsirkan kata dalam Surat yunus; 26, dengan melihat wajah

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Allah Taala, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, secara jelas dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Kaab ibn Ujrah, dan dalam Shahih Muslim barkata; maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai, dari pada melihat Rabb mereka Azza Wa Jalla, kemudian beliau membaca surat Yunus; 26:


Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya . Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan . Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. 3. Penafsiran al-Quran dengan perkataan shahabat Apabila penafsiran dengan al-Quran dengan al-Quran dan dengan hadits nabi tidak ditemui, maka dapat dengan melihat kepada perkataan para sahabat, karena merekalah yang lebih tau tentang tentang maksud ayat, hal ini disebabkan rasul sering menjelaskan kepada mereka tentang kandungan yang terdapat dalam al-Quran itu sendiri. Para masa shahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari nabi adalah secaramusyafahat artinya dari mulut ke mulut. Demikian pula generasi berikutnya hingga sampai datang masa tadwin (pembukuan) akan ilmu-ilmu Islam, termasuk pembukuan kitab-kitabtafsir yang terjadi sekitar abad 3 H. cara penafsiran serupa inilah yang menjadi cikal bakal apa yang disebut dengan tafsir bil matsur atau disebut juga dengan tafsir bil riwayah. Dengan demikian para shahabat umumnya dapat menafsirkan al-Quran . namun yang paling menonjol diantara mereka ada 10 (sepuluh) orang yaitu: Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa alAsyari juga Abdullah bin al-Zubair. Contoh ayat Al-Quran yang ditafsirkan oleh sahabat, sebagaimana yang diceritakan bahwa Umar bin Khaththab pada suatu hari barkata kepada para sahabat Nabi SAW, pada siapa kalian ayat ini diturunkan, kemudian Umar membacakan surat Al-Baqarah 266:

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Apa sukakah seseorang diantara kamu mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Para sahabat menjawab:Allah lebih mengetahui. Maka Umar marah, seraya berkata:katakanaku tahu atau tidak tahu. Kemudian Ibnu Abbas berkata dengan tenang tentang ayat itu. Lalu Umar berkata:wahai putra saudaraku,berkatalah! Jangan kamu menghinakan dirimu. Ibnu Abbas berkata:ayat itu mengetengahkan contoh suatu amal. Umar bertanya: amal apa?. Ibnu Abbas menjawab:sungguh seorang lelaki berlaku taat kepada Allah, lalu ia dipermainkan setan, sehingga ia melakukan kemaksiatan dan amalamalnya menjadi tenggelam. Namun demikian menurut sebahagian ulama tidak wajib mengambil tafsir dari sahabat karena menurut mereka para sahabat juga berijtihad dalam penafsirannya, dan seorang mujtahid bisa saja salah, dan sahabat dalam berijtihad sama saja seperti mujtahid pada umumnya. 4. Penafsiran al-Quran dengan perkataan Tabiin Adapun tafsir para tabiin ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebahagian ulama berpendapat bahwa tafsir itu termasuk kedalam matsur. Karena mereka berjumpa langsung dengan para sahabat yang lebih tahu akan turunnya ayat dan maksud-maksud ayat yan dijelaskan oleh Rasul sendiri. Ada pula yang berpendapat bahwa tafsir dari para tabiin sama saja dengan tafsir bi al-rayi. Artinya para tabiin itu mempunyai kedudukan yang sama dengan paramufassirun yang menafsirkan al-Quran dengan berdasarkan kaidah bahasa.dengan kata lain, terkadang merekapun melakukan ijtihad dan memberi interpretasi terhadap Al-Quran. Al-Rumy tidak memasukkan kelompok Tabiin dalam penjelasannya. Tidak dimasukkannya kelompok tabiin bisa diprediksikan bahwa pendapat para tabiin paling tidak menurut Al-Rumy tidak layak dijadika referensi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan metode tafsir bi al-matsur. Kelompok tabiin yang memberikan sumbangan besar dalam penafsiran Al-Quran terbagi menjadi tiga, yaitu kelompok Makkah, kelompok Madinah dan kelompok Iraq, hal ini disebabkan sudah semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam.

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


Dikalangan tabiin kelompok Makkah yang merupakan tokoh -tokoh besar dalam bidang tafsir seperti: Mujshid, Atha, Ikrimah, Thawus, dan Saad bin Jabir. Di kalangan kelompok Madinah adalah Muhammad bin Kaab alQardhiyyi, Abu al-Aliyah al-Riyahi, dan Zaid bin Aslam. Sementara kelompok ahli tafsir di Irak ada Hasan Bashri, Masruq bin al-Ajda, Qatadah bin Duamah, Atha bin Abi Muslim al-Khurasani, dan Murrah al-Hamdzani. Penafsiran tabiin dapat dilihat bagaimana Mujahid menafsirkan surat alqiyamah: 22-23:


Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Mujahid berkata bahwa orang mukmin menunggu balasan/pahala dari Tuhannya, dan dia tidak melihat dari sesuatu mankhlukpun. Pandangan Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Matsur Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Quran adalah khalifah yang empat, Ibn Masud, Ibn `Abbas, `Ubai bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy`ari, `Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, `Abdullah bin `Umar, Jabir bin `Abdullah, `Abdullah bin `Amr bin `Ash dan `Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat yang tentu saja berbeda-beda derajat keshahihan, dan kedhaifannya di lihat dari sudut sanad (mata rantai periwayat). Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Matsur yang berasal dari sahabat mempunyai nilai tersendiri . Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab alnuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki rayu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki rayu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah. Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir mauquf pada Sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa `Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, di samping mereka mempunyai pemahaman yang sahih. Yarkasy dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum

2.5

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


al Quran berkata : ketahuilah al-Quran itu ada dua bagian. Satu penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsirannya itu adakalanya dari Nabi, Sahabat atau tokoh Tabiin. Jika dari Nabi, hanya perlu dicari kesalahan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ? Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa `Arab, karena pendapatnya dapat dijadikan pegangan, atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal itupun tidak diragukan lagi. Hubungan dan Kedudukan Israiliyat dalam Tafsir bi al-Matsur Para ulama berbeda pendapat mengenai status tafsir bi al-Matsur, ada yang mengatakan bisa menjadi hujjah dan ada yang tidak bisa menjadihujjah. Ada beberapa hal yang menyebabkan tafsir bi al-Matsur tidak bisa menjadi hujjah, yaitu : a) b) c) Adanya tafsiran palsu yang disandarkan kepada Sahabat dan para Tabiin. Masuknya unsur-unsur cerita Israiliyat. Adanya Penghapusan Isnad, sehingga tidak diketahui dari siapa tafsir itu diriwayatkan. Tafsiran palsu terjadi karena adanya fanatisme dari golongan. Mereka membuat tafsir al-Quran yang menisbahkan kepada Nabi melalui sahabat dekat mereka, sementara golongan syiah menisbahkannya Rasulullah melalui imam ahli bait. Penafsiran yang paling dipalsukan adalah terhadap `Ali bin Abi Thalib dan Ibn `Abbas, karena mereka dari kalangan ahli bait, dengan menisbahkan tafsiran kepada mereka agar tafsiran tersebut dapat diterima sebagai hujjah, Sedangkan masuknya cerita Israiliyat ke dalam tafsir para sahabat dan Tabiin, menurut Ibn Khaldun kebanyakan dari kalangan bangsa `Arab, ketika mereka ingin mengetahui asal muasal kejadian rahasia alam dan lain-lain, dan mereka bertanya kepada kalangan ahli kitab, padahal pengetahuan ahli kitab hanya terbatas secara umum dan tidak diketahui secara pasti dari kitab mereka. Sedangkan dihapusnya sistem isnad dalam tafsir al-Quran menyebabkan sulitnya mencari otentitas riwayat. Hal ini terjadi pada masa Tabiin akibatnya terjadi penafsiran yang benar dan salah. Tentang tafsiran Tabiin sebagian ulama menolak untuk dijadikan hujjahsebab para Tabiin tidak mendengar langsung dari Rasulullah.

2.6

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah disebutkan diatas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa tafsir bi al-matsur dapat klasifikasikan kepada 4 (empat) bentuk penafsiran, yaitu : 1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran 2. Penafsiran al-quran dengan hadits 3. Penafsiran al-quran dengan perkataan sahabat 4. Penafsiran al-quran dengan dengan perkataan tabiin Kemudian penafsiran dengan Al-Quran dengan Al-Quran dinilai penafsiran yang paling tinggi, kemudian dengan hadits apabila hadits tersebut dapat diketahui akan keshahihannya, karena banyak hadits yang ditolak para ulama karena kelemahan dari perawinya, selain itu dengan perkataan sahabat dan tabiin, sebahagian ulama tidak memasukkan kedua kategori tersebut ke dalam tafsir bi al-matsur, karena tafsir sahabat menurut seabagian pendapat sama saja dengan para mujtahid pada umumnya dalam nerijtihad apalagi para tabiin karena mereka bukanlah termasuk orang yang mengetahui langsung tafsir tersebut dari segi turunnya atau penjelasan-penjelasan yang langsung diberikan oleh nabi. Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki dari tafsir bi al-matsur bukan berarti corak tersebut merupakan alternatif terbaik untuk situasi kekinian. Untuk beberapa periode pasca Nabi SAW (hingga tabiin), barangkali corak itu memang merupakan satusatunya alternatif mengingat jarak antara generasi mereka dan generasi tabiin masih cukup dekat dan laju perubahan sosial perkembangan ilmu pun belum sepesat sekarang ini. Perbedaan yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menyebabkan sebahagian sosio-kultural hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian Yng dihadapi. Ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran Al-Quran pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menawab persoalan yang dihadapi.

Makalah tentang Tafsir Bi Al-Matsur


DAFTAR PUSTAKA

Baidawi, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Denffer, Ahmad Von. Ulum Al-Quran; An Introduction To The Science Of The Quran.Kuala Lumpur: Islamic Fondation, 1983 Az-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 Maluf, Louis. Al-Munjid Fi al-Lughah wa Alam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986 Al-Qaththan, Manna. Mabahits fi Ulum al-Quran, T.Pn : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973 al-Rahman, Fahd ibn Abd. Dirasat Fi Ulum Al-Quran, terj. Amirul Hasan & Muhammad Halaby. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997 Ridha, M. Rasyid. Tafsir Al-Manar. Kairo: Al-Manar, 1367 H, Jilid. I Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, terj. M. Qodirun Nur Jakarta: Pustaka Amani, 2001 Ash Shiddieqy, M. Hashbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1992 As-Suyuti, Abd al-Rahman. Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995 Syihab, M. Quraisy. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1996 Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh as-Syariyah. Beirut: Dar al-Maarif, 1997 Al-Utsaimin, Muhammad. Pengantar Ilmu Tafsir, terj. Ummu Ismail. Jakarta: Darus Sunnah Press, 200 Az-Zarkasyi, Badr al-Din. Al-Burhan fi Ulum Al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1988 Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azham. Manahil Al-Quran fi Ulum Al-Quran.Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988

You might also like