You are on page 1of 110

ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE

A. KONSEP MEDIS 1. Definisi Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik. Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain : o polineuritis akut pasca infeksi o polineuritis akut toksik o polineuritis febril o poliradikulopati,dan o acute ascending paralysis. 2. Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG. 3. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan

kemarau. 4. Etiologi Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: a. Infeksi o Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie) o Vaksin : rabies, swine flu o Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni b. Vaksinasi c. Pembedahan d. Penyakit sistematik: o keganasan, Hodgkinsdisease, carcinoma,lymphoma o systemic lupus erythematosus o tiroiditis o penyakit Addison e. Kehamilan atau dalam masa nifas SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB Infeksi Definite Probable Possible Virus CMVEBV HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox InfluenzaMeaslesMumps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo Bakteri CampylobacterJejeniMycoplasma Pneumonia Typhoid Borrelia BParatyphoidBrucellosis Chlamydia Legionella Listeria 5. Patogenesa Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi c. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. 6. Patofisiologi Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. 7. Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.

Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

8. Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia 9.Gambaran Klinis Penyakit infeksi dan keadaan prodromal : Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa . Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Keluhan utama Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak. a. Gejala Klinis 1.Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4). 2.Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas

fisik. 3.Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. 4.Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5. Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .

6. Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang . 7. Perjalanan penyakit Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu . Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu . Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan. b. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : >

0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah : o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat o Distal motor retensi memanjang o Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna . 10. Penatalaksanaan a.Terapi Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadangkadang dalam waktu yang lama. Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Pengobatan imunosupresan: o Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. o Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: o 6 merkaptopurin (6-MP) o Azathioprine

o cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. b. Perawatan Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance) Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke 11. Prognosa Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal o mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset o progresifitas penyakit lambat dan pendek o pada penderita berusia 30-60 tahun 12. Komplikasi a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic b. Tetraparese oleh karena penyebab lain c. Hipokalemia d Miastenia Gravis e. Adhoc commite of GBS f. Tick Paralysis g. Kelumpuhan otot pernafasan h. Dekubitus B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Anamnesa o Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status o Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan o Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit. b. Pemeriksaan Fisik o B1 (Breathing) Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret. o B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan. o B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman

penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan. o B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih. o B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal. o B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi. c. Pengelompokan data Data subjektif: o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan o Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya o Tidak mampu menelan air liurnya o Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya Data Objektif: o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke o Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator) o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis d. Analisa Data Data Masalah Etiologi DS: Tidak mampu menelan air liurnya DO: Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler Bunyi paru wheezing +/+ Pengembangan dada tidak maksimal GDA kurang dari normal menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-otot bantu pernapasan DS: Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan DO: Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya Kekuatan otot imobilisasi Paralisis 2. Diagnosa Keperawatan a. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas b. Resiko tejadi ggn pertukaran gas c. Ketidakefektifan pola nafas d. Ggn komunikasi verbal e. Resiko tinggi terjadi infeksi

f. Resiko terjadi trauma g. Resiko terjadi disuse syndrome h. Kecemasan pada orang tua 3. Rencana keperawatan a. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi Tindakan: o Lakukan perawatan EET setiap 2 jam o Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction o Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 % o Monitor status hidrasi o Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan o Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru Tujuan : Setelah dirawat o BGA dalam batas normal o Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+ o Cyanosis (-), SpO2 > 95 % Tindakan: o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam o Monitor SpO2 setiap jam o Monitor respirasi dan cyanosis o Kolaborasi : seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2 SAnalisa hasil BGA c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus Tujuan : setelah dirawat diharapkan Tanda-tanda infeksi (-) leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), Suhu tubuh 36,5-37 oC Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)

Tindakan o Rawat ETT setiap hari o Lakukan prinsip steril pada saat suction o Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari o Ganti kateter setiap 72 jam o Kolaborasi : Pengggantian ETT dengan Tracheostomi Penggantian insersi surflo dengan vanocath

Pemeriksaan leuko Pemeriksaan albumin Lab UL Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS Tujuan : Setelah dirawat o Kontraktur (-) o Nutrisi terpenuhi o Bab dan bak terbantu o Personal hygiene baik Tindakan: o Bantu Bab dab Bak o Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam o Mandikan klien setiap hari o Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam o Berikan latihan pasif 2 kali sehari o Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik o Monitor status neurologi setiap 8 jam o Kolaborasi: Alinamin F 3 X 1 ampul Sonde pediasuer 6 X 50 cc Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama Tujuan : Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan Tindakan : o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya. o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath o Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas

Kepustakaan 1. Brunner and suddart, Medical practical nursing, 1st edition, 2002 2, Dr. dr. Eddy Raharjo,Sp.An . Manual practical of anastesia, Airlangga unerversity,1999. 3. Husni tanra, prof.dr,Sp.An(K), neurofisiologi of brain for Guillan barre sindroma, Hasanuddin unerversity,2003

ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE

ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE


A. Definisi Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :

polineuritis akut pasca infeksi polineuritis akut toksik polineuritis febril poliradikulopati,dan acute ascending paralysis.

B. Etiologi Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

Infeksi Vaksinasi Pembedahan Penyakit sistematik :

Keganasan systemic lupus erythematosus tiroiditis penyakit Addison

Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB Infeks i Virus CMVEBV HIVVaricellazosterVaccinia/sma llpox InfluenzaMeaslesM umps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo Definite Probable Possible

Bakter i

CampylobacterJejeniMyc oplasma Pneumonia

Typhoid

Borrelia BParatyphoidBrucel losis Chlamydia Legionella Listeria

C. Patogenesa Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli

membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. D. Patofisiologi E. Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. F. Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia J. Gambaran Klinis Penyakit infeksi dan keadaan prodromal : Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .

Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, ratarata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Keluhan utama Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak. Gejala Klinis 1. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.

Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4). 2. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. 4. Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5. Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .

6. Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang . 7. Perjalanan penyakit Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu . Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu . Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan. Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB . 1.Variasi klinis Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :

Sindroma Miller-Fisher Defisit sensoris kranialis Pandisautonomia murni Chronic acquired demyyelinative neuropathy

2.Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 12 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :

Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat Distal motor retensi memanjang Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.

Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .

Terapi Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama. Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Pengobatan imunosupresan: 1. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP) Azathioprine cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data subjektif:

Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya Tidak mampu menelan air liurnya Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya

Data Objektif:

Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)

Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis

Analisa Data Data DS:

Masalah Pola Tidak liurnya mampu menelan napas gas

Etiologi dan Kelemahan tidak otot-otot bantu pernapasan

pertukaran air efektif

DO:

Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler

Bunyi paru wheezing +/+ Pengembangan maksimal dada tidak

GDA kurang dari normal menggunakan ventilator Imobilisasi Bangun tidur di pagi hari Paralisis

DS:

mengeluh tidak bisa berjalan DO:

Kelemahan

pada

kedua

ekstremitas atasnya

Kekuatan otot

2. Diagnosa Keperawatan 1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.

2). Kerusakan Mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler 3) Resiko gangguan integritas kulit : dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontenensia. 4) perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas. 5) gangguan eliminasi : konstipasi, diare berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi. 6) gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis saraf kranial VII, trakeostomi. 7) Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya 8) Kurangnya pengetahuan pasien / keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya. Rencana asuhan keperawatan 1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan Tujuan : Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator Kriteria Hasil : Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal Tindakan keperawatan a. Selidiki Etiologi gagal pernapasan R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien b. Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan

c. Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan d. Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri e. Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas f. Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun diindikasikan R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari ventilator Kolaborasi a. Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar b. Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan c. Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada komputer

R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin. 2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler Tujuan Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus ) Kriteria Hasil ; Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit Tindakan keperawatan a. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5. R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien b. Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit c. Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur. d. Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi e. Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan f. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual

R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif g. Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.

Kolaborasi a. Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari. 3. Gangguan integritas kulit : dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontenensia. Data pendukung : Pasien menyatakan kelemahan dan paresthesia Ketidakmampuan melakukan aktivitas Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas Kekuatan otot menurun Atropi Hilangnya sensori Hilangnya refleks tendon Perubahan nutrisi Inkontenensia kriteria hasil

Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.

Rencana tindakan a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam R/ paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik. b. Kaji derajat ketergantungan pasien. R/ mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL c. Monitor daerah yang tertekan R/ mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus d. Jaga kebersihan tempat tidur, laken tetap bersih, kencang dan kering. R/ laken yang basah, kotor dan kusur memudahkan terjadinya dekubitus e. Monitor intake dan output nutrisi R/ nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam R/ melancarkan aliran darah bagian yang tertekan g. Lakukan ROM R/ mencegah atropi h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai. R/ bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi dekubitus.

i. Lakukan massage pada daerah yang tertekan R/ memperlancar aliran darah j. Gunakan alat bantu untuk mencegah penekanan R/ mengurangi resiko dekubitus 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas. Data pendukung Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan Pasien menyatakan tangannya tidak dapat digerakkan Ketidakmampuan melakukan aktivitas Terpasang NCT Diet makan, nilai gizi Berat badan menurun Nilai albumin dan Hb Tanda-tanda kekurangan gizi Adanya mual Intake makanan yang masuk tidak sesuai porsi Kriteria hasil Intake makanan sesuai kebutuhan Tidak terjadi aspirasi saat makan Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal Rencana tindakan

a. Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ektremitas R/ identifikasi kemampuan makan pasien b. Monitor intake dan output nutrisi R/ menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien c. Kaji tanda-tanda kurang gizi : anemis, nilai albumin, Hb. R/ mengetahui status nutisi pasien d. Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori protein R/ memenuhi kebutuhan nutrisi e. Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semifowler R/ menghindari terjadinya aspirasi f. Berikan posisi duduk setelah makan R/ menghindari refluks makanan g. Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan R/ meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan nafsu makan h. Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari R/ mencegah terjadinya phlebitis, kepatenan infuse i. Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan R/ mengetahui status nutrisi 5. Gangguan eliminasi : konstipasi, diare berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi. Data pendukung Pasien menyatakan tidak dapat BAB, diare. Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi

Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas Kekuatan otot menurun Pola BAB di rumah Meningkat atau menurunnya bising usus Diet rendah serat Feses keras atau cair Kriteria hasil Pola BAB teratur Konsistensi feses lembek Bising usus normal Rencana tindakan a. Kaji pola BAB pasien R/ menentukan perubahan pola eliminasi b. Kaji bising usus, frekuensi, intensitas R/ bising usus yang lambat dan lemah memungkinkan terjadinya konstipasi c. Berikan diet tinggi serat R/ meningkatkan residu makanan dan memperlancar BAB d. Berikan banyak minum sesuai batas toleransi R/ melancarkan atau melembekkan feses e. Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas R/ meningkatkan pergerakan untuk melancarkan BAB f. Jaga privasi pasien dalam BAB

R/ meningkatkan keinginan BAB g. Berikan obat pelembek feses : laksadin, supposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya R/ melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan paralisis saraf cranial VII, trakeostomi. Data pendukung Kesulitan dalam komunikasi Penggunaan bahasa isyarat Paralisis saraf fasialis Adanya trakeostomi Kriteria hasil Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan non verbal Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung Rencana tindakan a. Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal / non verbal R/ identifikasi kemampuan komunikasi pasien b. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak R/ memudahkan pasien untuk menjawab c. Bicara pelan dan terjadi kontak mata R/ komunikasi mudah dipahami d. Gunakan bahasa isyarat R/ membantu memudahkan komunikasi e. Konsultasikan dengan speck terapi dalam latihan bicara

R/ penangan lebih lanjut f. Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi R/ keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.

7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya. Data pendukung Apatis Sensitive Kesulitan tidur Menarik diri Kriteria hasil Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif Pasien dapat memandang secara realistic tentang penyakitnya Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan dan berespon positif terhadap keadaan dirinya. Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya Rencana tindakan a. Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien R/ penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup b. Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya

R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan R/ membantu menurunkan ketegangan d. Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya R/ pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri e. Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien R/ meningkatkan harga diri pasien f. Kolaborasi dengan psikolog/ psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien. R/ membantu meningkatkan koping yang positif. 8. Kurangnya pengetahuan pasien / keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya. Data pendukung Pasien/keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya Pasien /keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien Pasien/keluarga menanyakan tentang penyakitnya Kriteria hasil Pasien/keluarga memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatannya. Pasien/ keluarga kooperatif dalam perawatan Rencana tindakan a. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya R/ mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya b. Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya

R/ memahami tentang penyakitnya c. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya R/ memperjelas materi yang diberikan d. Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya R/ memberikan motivasi dalam perawatan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta. Jukarnain.,2011. Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Makassar.

3. 4. 5.

R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta. http://fayldestu.blogspot.com/2010/08/askep-sindrom-guillain-barre.html http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-gullain-barre.html

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GBS (Guillain Barre Syndrome)


ASKEP PADA PASIEN GBS A. PENGERTIAN GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.

B. ETIOLOGI Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun. Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum onset, antara lain : - Peradangan saluran napas bagian atas - Vaksinasi

- Diare - Kelelahan - Peradangan masa nifas - Tindakan bedah - Demam yang tidak terlalu tinggi

C. TANDA DAN GEJALA lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa : Paraestasia (rasa baal, kesemutan) Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah) Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata, mimik wajah, Sulit dideteksi pada awal kejadian Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala

bicara, dll Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi) Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis) Gangguan frekuensi jantung Ganggua irama jantung Gangguan tekanan darah Gangguan proprioseptive dan persepsi thd tubuh Diikuti rasa nyeri pada bagian punggung dan daerah lainnya.

D. PATOFISIOLOGI

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada

GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat

sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

E. Komplikasi 1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic 2. Tetraparese oleh karena penyebab lain 3. Hipokalemia 4. Miastenia Gravis

5. adhoc commite of GBS 6. Tick Paralysis 7. Kelumpuhan otot pernafasan 8. Dekubitus

F.

Penatalaksanaan Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.

1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. 2. Plasmaferesis Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu. 3. Penatalaksanaan nyeri Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi

listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik. 4. Nutrisi Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat. 5. Gangguan tidur Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan. 5. Dukungan emosional Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui

bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.

ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit. 2. Pemeriksaan Fisik B1 (Breathing) Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret. B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan. B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan. B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih. B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal. B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi. Pemeriksaan FT Anamnesis Keluhan utama pasien Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri

Paraestasia jari kaki s/d tungkai Progresive weakness > 1 Ekstremitas Hilangnya refleks tendon Pendukung Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu Gangguan sensory Ringan Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil Tidak ada demam Inspeksi Tampak kelelahan pada wajah Otot-otot bibir terkesan bengkak Kemungkinan adanya atropi Kemungkinan adanya tropic change Palpasi Nyeri tekan pada otot Auskultasi Breathsound terdengar cepat Vital Sign Blood Preasure Labil (selalu berubah-ubah) Heart Rate Tachicardy Cardiac arythmia Respiratory Rate Hyperventilasi

Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar Aktif Kekuatan otot Pasif

Lingkup Gerak Sendi, endfeel

Tes Isometrik Melawan Tahanan Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adanya kelemahan. Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama

Pemeriksaan Khusus

Kekuatan Otot MMT Vital Capacity (Spirometry) Sensorik Dermatom Test Myotom Test Mobilitas Thorax Mid line lingkar thorax Tendon refleks Lingkar otot Mid line lingkar otot ROM ROM Test (Goniometer) Fungsional ADL IADL Laboratorium Lumbar punksi Cairan cerebrospinal dijumpai peningkatan protein, berisi 10 atau sedikit mononuclear leukosit/mm3 Electro Diagnostik (EMG) Kecepatan hantar saraf melemah Prinsip Penanganan

Pemeliharaan sistem pernapasan Mencegah kontraktur Pemeliharaan ROM Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated Re-edukasi otot Dilakukan sedini mungkin Deep breathing Exercise Mobilisasi ROM Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai Change position untuk mencegah terjadinya decubitus

Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah kontraktur Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah Edukasi terhadap keluarga

Diagnosa keperawatan 1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas 3. Ketidakefektifan pola nafas 4. Ggn komunikasi verbal 5. Resiko tinggi terjadi infeksi 6. Resiko terjadi trauma 7. Resiko terjadi disuse syndrome 8. Kecemasan pada orang tua

4. Rencana keperawatan

Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi Tindakan: - Lakukan perawatan EET setiap 2 jam

- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction - Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 % - Monitor status hidrasi - Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan - Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru Tujuan : Setelah dirawat - BGA dalam batas normal - Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+ - Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan: - Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam - Monitor SpO2 setiap jam - Monitor respirasi dan cyanosis - Kolaborasi : Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2 Analisa hasil BGA

Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus Tujuan : setelah dirawat diharapkan - Tanda-tanda infeksi (-) leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), Suhu tubuh 36,5-37 oC Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-) Tindakan : - Rawat ETT setiap hari -Lakukan prinsip steril pada saat suction - Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari

- Ganti kateter setiap 72 jam - Kolaborasi : Pengggantian ETT dengan Tracheostomi Penggantian insersi surflo dengan vanocath Pemeriksaan leuko Pemeriksaan albumin Lab UL Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS Tujuan : Setelah dirawat -Kontraktur (-) - Nutrisi terpenuhi - Bab dan bak terbantu - Personal hygiene baik Tindakan: - Bantu Bab dab Bak - Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam - Mandikan klien setiap hari - Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam - Berikan latihan pasif 2 kali sehari - Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik - Monitor status neurologi setiap 8 jam - Kolaborasi: Alinamin F 3 X 1 ampul Sonde pediasuer 6 X 50 cc Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama Tujuan :

- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan Tindakan : He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.

- He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath

- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial Etiologi Sindroma Guillain-Barre (SGB) Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparap proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Manifestasi Klinis Sindroma Guillain-Barre (SGB) Terdapat variasi dalam awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuih dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okuler, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan para simpstis seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah(hipertensi transien, hipotensi ortostatik). Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanyarefleks tendon . Perubahan sensori dimanifestasikan dengan bentuk parestesia. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai 1 tahun , tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan Diagnostik Sindroma Guillain-Barre (SGB) Cairan spinal menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dengan bentuk lambatnya laju konduksi saraf Penatalaksanaan Sindroma Guillain-Barre (SGB) dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.

Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardi selama penghisapan endotrakheal dan terapi fisik.

ASKEP Guillan Barre Sindrom ( GBS )


BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

I. 2. Permasalahan Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Guillan Barrre Sindrome (GBS)?

I. 3. Tujuan Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah: 1. Tujuan Umum

Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II). 2. Tujuan Khusus a. Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS). b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).

I. 4. Manfaat Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu: 1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa b. Sebagai salah satu tugas akademik 2. Kegunaan Praktis Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).

BAB II KONSEP MEDIS

II. 1. Pengertian Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis yang disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa paralisis flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan perawatan proses rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan support emosional. Sedangkan menurut Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain), antara lain : 1. Polineuritis akut pasca infeksi 2. Polineuritis akut toksik 3. Polineuritis febril 4. Poliradikulopati,dan 5. Acute ascending paralysis.

II. 2. Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis

diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa

disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

II. 3. Epidemiologi (Insidensi) Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

II. 4. Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia

II. 5. Etiologi Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan : 1. Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS (15% dari kasus) 2. Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus) 3. Reaksi immunologi Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. 4. Kehamilan atau dalam masa nifas

5. Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan immunobiologik. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

II. 6. Patofisiologi Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin berfungsi menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak. Keadaan ini mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian berjalan ke tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf bagian interkosta dan diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan. Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan respon peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai terjadi kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena respon autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi. Fase Sindroma Guillain Barre. 1. Fase Progresif Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu. 2. Fase Plateau Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2 hari samapi 3 minggu. 3. FaseRekonvalesen(perbaikan) Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.

II. 7. Manifestai Klinik 1. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak

atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4). 2. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. 4. Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5. Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita . 6. Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang

II. 8. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 2. Pemeriksaan elektromyography (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah : a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat b. Distal motor retensi memanjang c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. d. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi

menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna . 3. Test Fungsi Paru Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2,

meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH). II. 9. Penatalaksanaan Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre syndrom, yaitu:

1. Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan, persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD 2. Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler 3. Management bowel dan bladder 4. Support nutrisi 5. Perawatan immobilisasi 6. Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan kemampuan motorik 7. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive dan antikoagulan 8. Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan

II. 10. Komplikasi Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien dengan guillan barre syndrom, yaitu: 1. Kegagalan jantung 2. Kegagalan pernapasan 3. Infeksi dan sepsis 4. Trombosis vena 5. Emboli paru 6. Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretik Hormon (SIADH).

BAB III KONSEP KEPERAWATAN

III. 1. Pengkajian 1. Riwayat kesehatan a. Riwayat kejadian/gejala b. Riwayat ISPA, pembedahan dan imunisasi c. Riwayat hepatitis dan influenza 2. Pemeriksaan fungsi tubuh a. Fungsi motorik 1) Kelemahan otot yang menjalar ke atas 2) Paresthesia, atropi otot b. Saraf cranial Kelemahan saraf fasial (VII), glossopharegeal (IX), vagus (X) menyebabkan kelemahan otot wajah, disphagia, distrimia dan gangguan jantung. c. Refleks Tidak adanya reflek tendon dalam d. Fungsi pernapasan Bunyi napas berkurang, ekspansi paru berkuran. e. Fungsi jantung Sinus takhikardia, bradikardia, distrimia. 3. Pemeriksaan psikososial a. Rasa kecemasan, ketakutan dan panic b. Intonasi bicara lambat c. Penampilan fisik d. Kemampuan kognitig

III. 2 . Diagnosa

Kemungkina diagnosa yan akan timbul pada pasien dengan Guillan Barre Sidrome, yaitu: 1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): a. Pasien mengatakan kesulitan bernapas. b. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran. Data Objektif (DO): a. Pasien terlihat kesulitan bernapas. b. Berkurangnya bunyi napas. c. Perubahan nilai AGD. d. Perubahan warna kulit (pucat) e. Penurunan kesadaran. f. Perubahan frekuensi pernapasan, napas pendek. g. Penumpukan sekret. 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia. Data Objektif (DO): a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas. b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas. c. Kekuatan otot menurun. d. Atropi. e. Hilangnya sensori. f. Hilangnya refleks tendon. 3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia. Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia. Data Objektif (DO): a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas. b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas. c. Kekuatan otot menurun. d. Atropi. e. Hilangnya sensori. f. Hilangnya refleks tendon. g. Perubahan nutrisi. h. Inkontinensia. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): a. Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan. b. Pasien mengatkan tangannya tidak bisa digerakkan. Data Objektif (DO): a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas. b. Terpasang NGT c. Diet makan, nilai gizi. d. Berat badan menurun. e. Nilai albumin dan Hb. f. Tanda-tanda kekurangan gizi. g. Adanya mual. h. Intake makanan yang masuk tidak sesuai dengan porsi. 5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan tidak dapat BAB ataupun terjadi diare.

Data Objektif (DO): a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi. b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas. c. Kekuatan otot menurun. d. Pola BAB di rumah. e. Meningkat atau menurunnya bising usus. f. Diet rendah serat. g. Feses keras atau cair. 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami hambatan dalam berbicara. Data Objektif (DO): a. Kesulitan dalam komunikasi. b. Pengguanaan bahasa isyarat. c. Paralisis saraf fasialis. d. Adanya trakeostomi. 7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya. Data Subjektif (DS): Kelurga pasien mengtakan bahwa pasien mengalami kesulitan tidur. Data Objektif (DO): a. Apatis. b. Sensitif. c. Menarik diri. 8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien/ keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya. Data Objektif (DO):

a. Pasien/ keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien. b. Pasien/ keluarga menanyakan tentang penyakitnya.

III. 2. Intervensi

Intervensi yang direncanakan pada pasien dengan kasus Guillan Barre Sindrome, yaitu: 1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi. Kriteria Hasil: a. Pernapasan optimal. b. Bunyi napas normal. c. Jalan napas paten. d. Nilai AGD dalam batas normal. Intervensi: a. Monitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam. R/: Paralisis pernapasan dapat terjadi 48 jam. b. Auskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam. R/: bunyi napas indkasi adekuatnya ventilasi. c. Pertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut. R/: Jalan napas paten. d. Bantu pasien untuk batuk efektif. R/: Meningkatkan kepatenan jalan napas. e. Lakukkan fisioterapi dada. R/: Mencegah pneumonia dan atelaktasis. f. Kolaborasi dalam pemberian O2. R/: Pemenuhan kebutuhan oksigen. g. Monitor AGD. R/: Mengetahui perubahan oksigen dalam darah. h. Kaji tingkat kesdaran dan warna kulit. R/: Perubahan AGD akan mempengaruhi tungkat kesadaran dan warna kulit. 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia. Kriteria Hasil: a. Pasien partisipasi dalam perawatan. b. Mobilisasi aktif atau pasif.

c. Tidak terdapat komplikasi berhubungan dengan immobilitas. Intervensi: a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam. R/: Paralisi otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik. b. Kaji derajat ketergantungan pasien. R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL. c. Kaji saraf kranial setiap 4 jam. R/: Saraf yang mungkin tenganggu adalah Nervus Cranial Vii, IX, X, XI, XII. d. Bantu ambulasi pasien. R/: Menghindari cedera dan rasa aman. e. Kaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru. R/: Mencegah komplikasi immobilisasi pemenuhan kebutuhan oksigen. f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam. R/: Menghindari dekubitus. g. Lakukan ROM. R/: Mencegah atropi dan kontraktur. h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai. R/: Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi dekubitus. i. Gunakan footboard untuk mengganjal tumit. R/: Mencegah Foot droop dan kerusakan kulit. j. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik, immunosupresi. R/: Menghilangkan gejala CBS. 3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia. Kriteria Hasil: a. Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh. b. Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus. Intervensi: a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.

R/: Paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik. b. Kaji derajat ketergantungan pasien. R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL. c. Monitor daerah yang tertekan. R/: Mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus. d. Jaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering. R/: Laken yang basah, kotor, kusut memudahkan terjadinya dekubitus. e. Monitor intake dan output nutrisi. R/: Nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus. f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam. R/: Melancarkan aliran darah bagian yang tertekan. g. Lakukan ROM. R/: Mencegah atropi. h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai. R/: Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena berisiko terjadi dekubitus. i. Lakukan massage pada daerah yang tertekan. R/: Memperlancar aliran darah. j. Gunakan alat bantu untuk mencegaha penekanan. R/: Mengurangi resiko dekubitus. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas. Kriteria Hasil: a. Intake makanan sesuai kebutuhan. b. Tidak tejadi aspirasi saat makan. c. Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi. d. Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal. Intervensi: a. Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas. R/: Identifiksi kemampuan makan pasien. b. Monitor intake dan output nutrisi.

R/: Menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien. c. Kaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb. R/: Mengetahui status nutrisi pasien. d. Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein. R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. e. Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler. R/: Menghindari terjadinya aspirasi. f. Berikan posisi duduk setelah makan. R/: Menghindari refluks makanan. g. Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan. R/: Meningkatnya rasa nyaman dan meningkatnya nafsu makan. h. Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari. R/: Mencegah terjadinya plebitis, kepatenan infus. i. Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan. R/: Mengetahui status nutrisi. 5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi. Kriteria Hasil: a. Pola BAB teratur. b. Konsistensi feses lembek. c. Bising usus normal. Intervensi: a. Kaji pola BAB pasien. R/: Menentukan perubahan pola eliminasi. b. Kaji bising usus, frekuensi, intensitas. R/: Bising usus yang lemah dan lambat memungkinkan terjadi konstipasi. c. Berikan diet tinggi serat. R/: Meningkatkan residu makanan danmemperlancar BAB. d. Berikan banyak minum sesuai batas toleransi. R/: Melancarkan atau melembekkan feses. e. Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas.

R/: Meningkatkan pergerakan untuk melancarakan BAB. f. Jaga privasi pasien dalam BAB. R/: Meningkatkan keinginan BAB. g. Berikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya. R/: Melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses. 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi. Kriteria Hasil: a. Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan nonverbal. b. Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung. Intervensi: a. Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal. R/: Identifikasi kemampuan komunikasi pasien. b. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak. R/: Memudahkan pasien untuk menjawab. c. Bicara pelan dan terjadi kontak mata. R/: Komunikasi mudah dipahami. d. Gunakan bahasa isyarat. R/: Membantu memudahkan komunikasi. e. Konsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara. R/: Penanganan lebih lanjut. f. Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi. R/: Keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga tidak mengakibatkan rasa frustasi pada pasien. 7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya. Kriteria Hasil: a. Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif. b. Pasien dapat memandang secara realistik tentang penyakitnya. c. Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan atau berespon positif terhadap keadaan dirinya.

d. Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya. Intervensi: a. Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien. R/: Penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup. b. Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya. R/: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya. c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan. R/: Membantu menurunkan ketegangan. d. Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya. R/: Pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri. e. Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien. R/: Meningkatkan harga diri pasien. f. Kolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien. R/: Membantu meningkatkan koping yang positif. 8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya. Kriteria Hasil: a. Pasien/keluarga perawatannya. b. Pasien/keluarga kooperatif dalam perawatan. Intervensi: a. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya. R/: Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya. b. Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya. R/: Memahami tentang penyakitnya. c. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya. R/: Memperjelas materi yang diberikan. d. Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya. R/: Memberikan motivasi dalam perawatan pasien. memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan

III. 4. Implementasi Tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi yang

direncanakan pada pasien dengan kasus guillan barre syndrome, yaitu: 1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi. Implementasi: a. Memonitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam. b. Mengauskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam. c. Mempertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut. d. Membantu pasien untuk batuk efektif. e. Melakukkan fisioterapi dada. f. Mengkolaborasi dalam pemberian O2. g. Memonitor AGD. h. Mengkaji tingkat kesdaran dan warna kulit.. 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia. Implementasi: a. Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam. b. Mengkaji derajat ketergantungan pasien. c. Mengkaji saraf kranial setiap 4 jam. d. Membantu ambulasi pasien. e. Mengkaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru. f. Melakukan alih posisi setiap 2 jam. g. Melakukan ROM. h. Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai. i. Menggunakan footboard untuk mengganjal tumit. j. Mengkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik, immunosupresi. 3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia. Implementasi:

a. Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam. b. Mengkaji derajat ketergantungan pasien. c. Memonitor daerah yang tertekan. d. Menjaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering. e. Memonitor intake dan output nutrisi. f. Melakukan alih posisi setiap 2 jam. g. Melakukan ROM. h. Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai. i. Melakukan massage pada daerah yang tertekan. j. Menggunakan alat bantu untuk mencegah penekanan. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas. Implementasi: a. Mengkaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas. b. Memonitor intake dan output nutrisi. c. Mengkaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb. d. Memberikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein. e. Memberikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler. f. Memberikan posisi duduk setelah makan. g. Melakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan. h. Melakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari. i. Menimbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan. 5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi. Implementasi: a. Mengkaji pola BAB pasien. b. Mengkaji bising usus, frekuensi, intensitas. c. Memberikan diet tinggi serat. d. Memberikan banyak minum sesuai batas toleransi. e. Melakukan ROM, tingkatkan aktivitas. f. Menjaga privasi pasien dalam BAB.

g. Memberikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya. 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi. Implementasi: a. Mengkaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal. b. Menggunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak. c. Membicarakan sesuatu dengan pelan dan terjadi kontak mata. d. Menggunakan bahasa isyarat. e. Mengkonsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara. f. Mengomunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi. 7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya. Implementasi: a. Mengkaji perilaku dan mekanisme koping pasien. b. Menggali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya. c. Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan. d. Melibatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya. e. Menghargai kemampuan yang telah dimiliki pasien. f. Mengkolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien. 8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya. Implementasi: a. Mengkaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya. b. Memberikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya. c. Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya. d. Memberikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.

III. 5. Evaluasi

Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu: 1. Mencapai fungsi pernapasan adekuat a. Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal dan optimal serta kekuatan otot normal. b. Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan. c. Menunjukkan bunyi napas yang normal. d. Menunjukkan jalan napas yang paten. e. Menunjukkan nilai AGD dalam batas normal. 2. Beradaptasi pada gangguan mobilitas a. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang. b. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan. c. Menunjukkan mobilisasi yang aktif. d. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot. e. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami. 3. Tidak mengalami integritas kulit (dekubitus) a. Menunjukkan kulit tetap kering dan utuh. b. Pasien bebas dari dekubitus akibat immobilitas aktivitas. c. Menetapkan jadwal alih posisi sehingga tidak terjadi dekubitus. 4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi. b. Mentaati program medikasi c. Menunjukkan intake makanan yang baik. 5. Kebutuhan eliminasi baik a. Menunjukkan pola BAB yang teratur. b. Menunjukkan konsistensi feses yang lembek. c. Bising usus normal.

BAB IV PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9

kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini dapat menyebabkan tidak efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko integritas kulit, nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta gangguan komunikasi verbal.

IV. 2. Saran Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.

Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrom (GBS)


A. KONSEP MEDIS 1. Definisi Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang mengyangkut saraf perifer dan kranial. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barr (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan. 2. Etiologi Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.

Penyakit

ini

timbul

dari

pembengkakan

syaraf

peripheral,

sehingga

mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya. 3. Patofisiologi GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat. Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam. Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang

tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000). Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin. Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris atau cross-talk listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik. Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.

4. Manifestasi klinik Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simapatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Sering kali pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestesia. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan. Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll) Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi. Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :

1. kelumpuhan manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. 2 gangguan sensibilitas parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik 3. saraf kranilis yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena paralis dan laringeus 4. gangguan fungsi otonom gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu. 5. kegagalan pernapasan

kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita 6. papiledema kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang 5. pemeriksaan diagnostik Pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa hari). Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahat dan perkembangan sinrdom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir. Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal. Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia. Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi. 6. Penatalaksanaan

Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis dan pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Distrimia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di obati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal dan terapi fisik. 7. Terapi Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya. a. Perawatan umum dan fisioterapi Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati. Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase

rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot. b. pertukaran plasma pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang di keluarkan per excange adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x excahange c. kortikostiroid walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada GBS masih di ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian kortikostiroid pada vase dini penyakit mungkin bermanfaat 8. prognosis Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang penderita meninggal oleh karena kegagalan pernasan. Sekarang ini berkisar antara 2-10%,deangan penyebab kematian, oleh karena kegagalan pernasan, ganggan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita 60-80% sembuh secara sempurna dalam waktu 6 bulan. Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 21 bulan dengan motorik ringan dan atrofi otot kecil di tangan dan di kaki. Kira- kira 3-5% penderita mengalami relaps B. KONSEP KEPERAWATAN DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN Aktifitas dan istirahat

Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris, yang biasanya dimulai pada ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas. Hilangnya kontrol motorik halus tangan Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksit (simetris) Cara berjalan tidak mantap Sirkulasi Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi) Distrimia, takikardia/bradikardia Wajah kemerahan, diaforesis Integritras ago Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi Tanda : tampak takut dan bingung Eliminasi Gejala : adanya perubahan pola eliminasi Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter Makanan/cairan Gejala : kesilitan dalam mengunyah dan menelan Tanda : gangguan pada refleks menelan

Neurosensori Gejala : kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terius naik (distribusi stoking atau sarung tangan) Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu. Perubahan Tanda : hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial), kehilangan kemampuan untuk berbicara Nyeri/kenyamanan Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan. Pernapasan Gejala : kesulitan dalam bernapas, napas pendek. Tanda : pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea. Penurunan atau hilangnya bunyi napas Menurunnya kapasitas vital paru Pucat/sianosis Gangguan refleks menelan/batuk

Keamanan Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda serangan Adanya riwayat terkena herpezoster, sitomegalo virus Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan) Penurunan kekuatan/tonus otot paralisis atau parestesia Interaksi sosial Tanda : kehilangan kemampuan untk berbicara atau komunikasi Penyuluhan pembelajaran Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran napas atas, gastroentritis) vaksinasi ( campak. Polio); keadaan kronis ( lupus erotematosus ), penyakit hodgkin/proses keganasan. Pembedahan/anestesia umum, trauma
Pertimbangan DRG menunjukan berapa lama perawatan : 6 hari Rencana pemulangan : mungkin pasien memerlukan bantuan menganai transportasi, penyiapan makanan, perawatan diri, dan kewajiban pekerjaan rumah. Mungkin perlu memerlukan perubahan pada teteruan dan bentuk rumah, pemindahan pusat rehabilitasi. DIAGNOSA, TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN. 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot pernapasan Tujuan/kriteria hasil :

Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas efektif Intervensi Mandiri a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa. R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan motorik c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat berbicara. R/ : merupakan inikator yang baik terhadap gangguan fungsi

pernapasan/menurunnya kapasitas paru d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia) e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret Kolaborasi

f. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan

untuk/keefektifan dari intervensi g. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis h. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret dan meningkatkan ekspansi alveoili paru. 2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan transmisi Tujuan/kriteria hasil : Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau orentasi umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/ komlikasi sensori. Intervensi Mandiri a. pantau status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon terhadap perintah yang sederhana dan berspon terhadap stimulasi nyeri R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan secara perlahan. b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap trauma termal)

R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma. c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien. R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan. e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut, televisi( berita atau pertunjukan ) R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien ( menurunkan perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut kolaborasi g. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis i. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan

R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien j. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi melalui intra vena. R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat 3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena Tujuan/kriteria hasil : mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak ada. Intervensi Mandiri a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer. b.pantau frekuensi jantung dan iramanya R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang menyebabkab henti jantung. c. pantau suhu tubuh. R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu ( seperti ketidakmampuan berkeringat). d. ubah posisi pasien secara teratur R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia

Kolaborasi e. berikan pengobatan : - cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah

hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi. - beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi outo - heparing R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis. 4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler Tujuan/kriteria hasil : Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus) Intervensi Mandiri a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5 R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan pasien b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman

R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit. c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi d. lakukan latihan rentang gerak pasif R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi. Kolaborasi e. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI Tujuan/kriteria hasil : Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi Intervensi Mandiri a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi

c. catat masukan kalori setiap hari R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri f. timbang berat badan setiap hari R/ : mengkaji keefektifan aturan diet Kolaborasi g. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi. f. pasang /pertahankan selang NG. R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral. 6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional Tujuan/kriteria hasil : Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi Intervensi Mandiri

a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur. R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan. b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyebuhan /perbaikan Kolaborasi e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri. 7. nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parestesia, disestesia) Tujuan/kriteria hasil : Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol Intervensi Mandiri

a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10 R/ : meenganjurkan pasien untuk melakolisasi/ mengetahui kuantitas nyeri yang menunjukan adanya perubahan b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di rasakan R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut c. lakukan perubahan posisi secara teratur R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot d. berikan latihan rentang gerak secara pasif R/ : menurunkan kekuan pada sendi e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton), latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi f. R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri. Kolaborasi g. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang memiliki efek yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan 8. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengingat, keterbatasan kognitif Tujuan/kriteria hasil : Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya

Intervensi Mandiri a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat pilihan informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi c. anjurka untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik secara individual R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi yang sebenarnya masih dapat di cegah

DAFTAR PUSTAKA Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta

MAKALAH ASKEP PERSARAFAN '' Guillain Barre Syndrome '' GBS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan? - Pengertian - ETIOLOGI - PATOFISIOLOGI - Insiden - Manifestasi Klinis - Pemeriksaan Diagnostik - Diagnosa Banding - Komplikasi - Penatalaksanaan medis - Pengkajian - Diagnosa keperawatan - Intervensi

yakit?

1.3 Tujuan Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah: kami bermaksud membahas dan berbagi pengetahuan tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS seperti yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca dan khususnya

bagi mahasiswa FIK Unmuh Ponorogo, serta kalangan medis lainya. Sehingga kita mengerti, memahami, serta menambah pengetahuan kita tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS Serta penanganannya. BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP DASAR PENYAKIT 2.1 Pengertian Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 287) Guillain Bare Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298) Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro -muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)

2.2 Etiologi Etiologi / Penyebab Guillain Bare Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.

2.3 Patofisiologi Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini. Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus Ranvier ) tempat kontaklangsung antara membran sel akson dengan cairan

eksraseluler.Membran sangat permiabel pada nodus

tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf

sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan. Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi, demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan funsi saraf kranial. ( Murray,1993)

2.4 Insiden Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-

kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.

2.5 Manifestasi Klinis Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot. Gejala-gajala parastesia termasuk semutan jarum dan peniti dan kebas dapat terjadi secra sementara, jika saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering terserang. Tanda dan gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam tersenyum , bersiul, atau cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ), tanda tanda pupil, atau fugsi serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minngu, tatapi dapat berkembnag selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja terhenti setiap saat. Fugsi motorik kembali dalam gaya desending. Demielinasi terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinasi sekitar 1 sampai 2 mm perhari.

2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik 1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus - perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, > 1 tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen) 2. Pemeriksaan Neurologis : - kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal - simetris - gejala motorik lebih nyata daripada sensorik 3. Pada Lumbal Pungsi : - didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) pada minggu II 4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :

- penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf 5. Darah Lengkap - Terlihat adanya leukositosis pada fase awal. 6. Foto ronsen - Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan , seperti atelektasis, pneumonia. 7. Pemeriksaan fungsi paru - Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi

2.7 Diagnosa Banding 1. Polineuropathy karena defisiensi 2. Hipokalemi 3. Myasthenia Gravis

2.8 Komplikasi Gagal pernapasan Penyimpangan Kardiovaskuler Komplikasi Plasmafaresis

2.9 Penatalaksanaan Medis Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga. Dukungan Pernapasan Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik. Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Dukungan Kardiovaskuler

Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara hati-hati. Plasmafaresis Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal. IVIg = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama 5-7 hari CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN AKTIVITAS/ISTIRAHAT Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris) Cara berjalan tidak mantap SIRKULASI Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi ) Disritmia, takikardia/bradikardia Wajah kemerahan, diaforesis INTEGRITAS/EGO

Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda : Tampak takut dan binggung ELIMINASI Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi Tanda : Kelemahan otot-otot abomen. Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter. MAKANAN DAN CAIRAN Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan Tanda : Gangguan pada refleks menelan NEUROSENSORI Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu. Perubahan ketajaman penglihatan. Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam. Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mataketerlibatan saraf kranial) Kehilangan kemampuan untuk berbicara ( terus naik

NYERI/KENYAMANAN Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan. PERNAPASAN Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek. Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi napas. Menurunnya kapasitas vital paru Pucat/sianosis Gangguan refleks menelan/batuk KEAMANAN

Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda seangan. Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus. Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ). Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia. INTERAKSI SOSIAL Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

II. PRIORITAS KEPERAWATAN 1. 2. 3. 4. 5. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan. Meminimalkan/mencegah komplikasi. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya. Mengendalikan/menghilangkan nyeri. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri. 2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan

kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. 3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis ) 4. Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. 5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas. 6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestisia ) 7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. 8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.

9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

IV. INTERVENSI Diagnosa 1 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan / Kriteria Hasil : Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; ( kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD. Intervensi: 1. Pertahankan ROM sendi. 2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur. 3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi. 4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam. 5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik. 6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan demielinasi. 7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter. 8. Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2 Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan

kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. Tujuan / Kriteria Hasil : Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.

Intervensi: 1. Auskultasi bunya napas dengan teratur. 2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri. 3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.

4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak. 5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas. 6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas. 7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas ) 8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan. 9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan diperlukan. 10. Pasang alrm ventilator.

Diagnosa 3 Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis ) Tujuan / Kriteria Hasil : Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada. Intervensi: 1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien. 2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia. 3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman. 4. Catat masukan dan haluaran. 5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur. 6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi. 7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum. 8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu.

Diagnosa 4

Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. Tujuan / Kriteria Hasil : Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori Mempertahankan mental/orientasi umum. Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori. Intervensi: 1. Pantau status neurologis secara periodik 2. Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara. 3. Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal ) 4. Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan. 5. Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi ( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai. 6. Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk memlihara keterikatan.

Diagnosa 5 Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas. Tujuan / Kriteria Hasil : Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi Intervensi: 1. Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran. 2. Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi. 3. Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah makanan. 4. Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.

Diagnosa 6 Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestesia ) Tujuan / Kriteria Hasil : Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri. Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu. Intervensi: 1. Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10 2. Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik diri/menangis. 3. Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan. 4. Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn sesuai toleransi pasien. 5. Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau selimut. 6. Berikan latihan rentang gerak pasif 7. Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing. 8. kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.

Diagnosa 7 Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. Tujuan / Kriteria Hasil : Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius. Intervensi: 1. Ctat frekuensi dan jumlah berkemih.

2. Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih. 3. Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung. 4. Lakukan menuver Crede. 5. Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan. 6. Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan. Diagnosa 8 Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI. Tujuan / Kriteria Hasil : Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi. Intervensi: 1. Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur. 2. Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman. 3. Cata masukan kalori setiap hari. 4. Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien. 5. Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien membutuhkan 6. Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi 7. Timbang berat badan setiap hari. 8. Kolaborasi pemberian diet TKTP 9. Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.

Diagnosa 9 Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan. Tujuan / Kriteria Hasil : Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya. Menerima dan mendiskusikan rasa takut.

Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi. Intervensi: 1. Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya. 2. Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan. 3. Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai kebutuhan. 4. Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. Insiden Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasankardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual. Manifestasi Klinis Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan

tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Pemeriksaan dan Diagnostik 1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus 2. Pemeriksaan Neurologis 3. Pada Lumbal Pungsi : 4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) 5. Darah Lengkap Komplikasi Gagal pernapasan Penyimpangan Kardiovaskuler Penatalaksanaan Medis Dukungan Pernapasan Dukungan Kardiovaskuler Plasmafaresis IVIg CSFF - Komplikasi Plasmafaresis 6. Foto ronsen 7. Pemeriksaan fungsi paru

PRIORITAS KEPERAWATAN 1. 2. 3. 4. 5. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan. Meminimalkan/mencegah komplikasi.

Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya. Mengendalikan/menghilangkan nyeri. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

sakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri. 2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan

kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. 3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )

4.

Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.

5.

Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.

6.

Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler parastesia, disestisia )

7. 8.

Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.

9.

Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC

4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC

5. Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com

You might also like