You are on page 1of 4

DRAMA

A.Hakikat Drama a. Sejarah Drama Kebanyakan dari kita mengira bahwa drama berasal dari Yunani Kuno. Namun demikian, sebuah buku yang berjudul A History of the Theatre menunjukan pada kita bahwa pemujaan pada Dionisus, yang kelak diubah kedalam festival drama di Yunani, berasal dari Mesir Kuno. Teks Piramid yang bertanggal 4000SM adalah naskah Abydos Passion Play yang terkenal. Tentu saja para pakar masih meragukan apakah teks itu drama atau bukan sebelum Gaston Maspero menunjukan bahwa dalam teks tersebut ada petunjuk action dan indikasi berbagai tokohnya. Ada tiga macam teori yang mempersoalkan asal mula drama. 1. Teori Pertama Menurut Brockett, drama mungkin telah berkembang dari upacara religius primitif Yang dipentaskan untuk minta pertolongan dari Dewa. Upacara ini mengandung banyak benih drama. Para pendeta sering memerankan mahluk super alami atau binatang dan kadang kadang meniru akting berburu, misalnya. kisah-kisah berkembang sekitar beberapa ratus dan tetap hidup bahkan setelah upacara itu sendiri sudah tidak diadakan lagi. Kelak mite-mite itu merupakan dasar dari banyak drama. 2. Teori Kedua Teori kedua memberi kesan bahwa himne pujian dinyanyikan bersama didepan makam seorang pahlawan. Pembicara memisahkan diri dari koor dan memperagakan perbuatanperbuatan dalam kehidupan almarhum pahlawan itu. Bagian yang diperagakan makin lama makin rumit dan koor tidak dipakai lagi. Seorang kritisi memberi kesan bahwa sementara koor makin lama makin kurang penting, muncul pembicara lain. Dialog mulai terjadi ketika ada dua pembicara diatas panggung. 3. Teori Ketiga Teori ketiga memberi kesan bahwa drama tumbuh dari kecintaan manusia untuk bercerita. Kisahkisah yang diceritakan disekeliling api perkemahan menciptakan kembali kisahkisah perburuan atau peperangan, atau perbuatan gagah seorang pahlawan yang telah gugur. Ketiga teori itu merupakan cikal-bakal drama. Meskipun tak seorang pun merasa pasti mana yang terbaik, harus diingat bahwa ketiganya membicarakan tentang action. Konon, action adalah intisari dari seni pertunjukan. b. Pengertian Drama Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axcting), dan ketegangan pada para pendengar. Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan kehendak dengan action. Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak. Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience). Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan. Adapun istilah lain drama berasal dari kata drame, sebuah kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat, sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia. Tapi tidak bertujuan mengagungkan tragedi. Bagaimanapun juga, dalam jagat modern istilah drama sering diperluas sehingga mencakup semua lakon serius, termasuk didalamnya tragedi dan lakon absurd. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebutkan bahwa drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak pelaku

melalui tingkah laku atau dialog yang dipentaskan. Drama sering disebut dengan teater, yaitu sandiwara yang dipentaskan sebagai ekspresi rasa keindahan atau seni Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan. Dengan demikian, tujuan utama drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi. Drama yang sebenarnya adalah cerita yang membawakan tema tertentu, diungkapkan oleh dialog dan perbuatan para pelakunya (Sumardjo dan saini dalam Nuryatin 2005:56) Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokohtokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Meskipun merupakan satu bentuk kesusastraan, cara penyajian drama berbeda dari bentuk kekusastraan lainnya. Novel, cerpen dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, dan merupakan karya sastra yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog dan mungkin ada semacam penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara. Oleh para ahli, dialog dan tokoh itu disebut hauptext atau teks utama sedangkan petunjuk pementasannya disebut nebentext atau tek sampingan. Drama, sebagai karya seni, barulah lengkap jika dimainkan atau dipentaskan. Maksudnya, cakapan tiap-tiap tokoh harus diucapkan oleh orang yang memerankannya (Disebut aktor untuk yang pria, aktris untuk wanita). Cakapan tidak sekedar diucapkan, tetapi disertai dengan gerak-gerik yang sesuai menurut tafsiran aktor atau aktrisnya. Didalam suatu pementasan drama, pengelola dan penanggung jawab seluruh kegiatan pementasan disebut produser, sedangkan yang bertanggung jawab atas nilai artistik pementasan disebut sutradara. Tugas utama sutradara adalah menata gerak para aktor dan aktris. Ia juga harus bekerja sama dengan berbagai pihak yagn terlibat, seperti penata panggung, penata cahaya (lampu), dan penata bunyi (musik). B. Unsur-unsur Pementasan Drama Karya sastra drama barulah sempurna jika sudah dipentaskan. Adapun unsur-unsur pementasan drama sebagai berikut : 1. Lakon atau Cerita Lakon atau cerita merupakan unsur esensial dalam sebuah drama. Secara struktural, lakon atau cerita terdiri atas lima bagian, yaitu : a. Pemaparan atau eksposisi (penjelasan situasi awal suatu cerita). b. Penggawatan atau kompilasi (bagian yang menunjukkan konflik yang sebenarnya). c. Puncak atau klimaks 9puncak ketegangan cerita, titik perselisihan tertinggi protagonist dan antagonis). d. Peleraian atau anti klimaks (bagian pengarang mengetengahkan pemecahan konflik). e. Penyelesaian atau kongkulasi (bagian yang berfungsi mengembalikan lakon pada kondisi awal). 2. Pemain (aktor/aktris) Pemain atau pemeran adalah orang-orang yang menerjemahkan dan sekaligus menghidupkan setiap deretan kata-kata dari sebuah naskah drama. Pemain berfungsi sebagai alat pernyataan watak dan penunjang tumbuhnya alur cerita (Suharianto 2005:61) 3. Tempat Unsur tempat dalam sebuah drama adalah suatu tempat yang dapat digunakan sebagai pertunjukan. Dalam hal ini tempat yang dimaksud adalah gedung, lapangan, atau arena. Tempat tidak hanya dibutuhkan oleh para pemain, namun juga oleh para penonton. Oleh karena itu, tempat yang memenuhi syarat akan sangat mendukung terjadinya sebuah pagelaran yang baik (Suharianto 2005:62) 4. Penonton atau Publik Penonton atau publik yang dimaksud disini adalah penonton yang aktif, yang dengan kesungguhan hati berusaha menyambut ajakan berdialog pengarang drama yang disalurkan lewat para pelaku. Dengan menempatkan penonton pada kedudukan seperti itu, maka sebuah drama atau pementasan baru dapat diharapkan berhasil apabila terdapat tiga hal, yaitu lakon atau cerita yang baik, para pelaku yang pandai, dan para penonton yang mengerti. Tidak dipenuhinya salah

satu dari ketiga hal diatas, tidak akan penrah kita dapatkan pementasan atau drama yang dapat dikatakan berhasil atau baik (Suharianto 2005:62-63) 5. Tata Pentas dan Dekorasi Tata pentas dan dekorasi dalam pementasan drama biasanya disesuaikan dengan kebutuhan lakon dan penontonnya. Dalam hal ini penonton diberi kenyamanan dan lakon diberi kemudahan dalam pengimajinasiannya. Oleh karena itu, tata pentas dan dekorasi yang baik akan sangat mendukung terjadinya sebuah pementasan yang baik. 6. Tata Rias dan Busana Tata rias dan busana adalah untuk menciptakan peran sesuai dengan tuntutan lakon yang akan dibawakan. Fungsi pokok tata rias adalah untuk membantu seorang tokoh dalam mengubah watak baik dari segi fisik, psikis, maupun sosial. Tujuan utama tata ruas adalah untuk memberikan tekanan terhadap peran yang akan dibawakan oleh seorang pemain. Tata busana juga akan membantu seorang pemain dalam membawakan peran sesuai dengan tuntutan lakon melalui latihan penyesuaian diri dengan rias dan kostum yang dipakainya. 7. Tata Lampu Tata lampu bertujuan untuk memberikan pengaruh psikologis seorang pemain dan sekaligus berfungsi sebagai ilustrasi (hiasan) serta sebagai penunjuk waktu suasana pentas yang berlangsung. 8. Tata Suara dan Ilustrasi Musik Dalam pementasan drama, ilustrasi musik dapat juga menjadi bagian dari lakon, akan tetapi yang paling banyak adalah sebagai ilustrasi atau pembuka. Sedangkan tata suara berfungsi untuk memberikan efek suara yang akan membantu seorang pemain untuk menguatkan penghayatan peran. C. Bentuk Drama Drama dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, bentuk pertama yaitu naskah drama, dan kedua yaitu drama pentas. 1. Naskah Drama Drama naskah disebut juga sastra lakon. Naskah drama dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur (Waluyo 2003:6) 2. Drama pentas Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti music, tata lampu, seni lukis (dekor, penggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya (Waluyo 2003:2) D. Klasifikasi Drama Klasifikasi drama dapat digolongkan dari berbagai tinjauan. Dalam hal ini, Waluyo (2001: 2-3) secara tegas memisahkan kedua jenis drama itu. Drama naskah merupakan salah satu jenis sastra yang setara dengan puisi maupun prosa. Drama jenis ini merupakan jenis karya sastra yang tersulit dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipergelarkan. Drama pentas yang sering disebut juga seni peran/teater adalah jenis kesenian mandiri yang pergelarannya bersifat kolektif, melukiskan kehidupan manusia dengan segala konfliknya dan disampaikan melalui action dan dialog. Waluyo (2001: 38-44) juga menjabarkan mengenai klasifikasi drama. Berbagai macam jenis drama dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut: a) Tragedi (drama duka) Adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, pengarang secar bervarariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia. Kenyataan hidup yang dilukiskan berwarna romantic idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna.

b) Komedi (drama ria) Adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan didalamnya terdapat dialog kocak yang besifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Kelucuan bukan tujuan utama, maka nilai dramatic dari komedi masih tetap terpelihara. Dalam komedi, nilai dramatic tidak dikorbankanuntuk mencari kelucuan. c) Melodrama Adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Cirri-ciri dari melodrama yaitu (1) lakon serius, tetapi tokohnya tidak otentik seperti dalam tragedy; (2) dalam melodrama terdapat unsure-unsur perubahan; (3) mencerminkan timbulnya rasa kasihan sentimental; (4) tokoh utamanya adalah pahlawan yang biasanya memang di dalam perjuangan. d) Dagelan (farce) Disebut juga banyolan. Sering kali drama ini di sebut dengan komedi murahan atau komedi picisan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan arus situasi dan tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatic serta perkembangan cerita sang tokoh.

E. Pembabakan Drama Drama yang memiliki muatan sastra mulai ada pada 1926, yaitu dengan lahirnya karya Rustam Effendi yang berjudul Bebasari. Boen S. Umaryati membuat pembabakan drama sebagai berikut: a. Periode I976-1942 (periode kebangkitan) b. Periode 1942-1945 (periode pembangunan) c. Periode 1945-1950 (periode awal perkembangan) d. Periode 1950-1965 (periode perkembangan) Pada periode kebangkitan, tema dan motif lakonnya sangat bersifat kepahlawanan, pengungkapannya romantis dan idealistis. Sastrawan pada masa ini adalah sebagai berkut 1. Rustam Efendi, karyanya Bebasari 2. Muhammad Yamin, karyanya Ken Arok dan Ken Dedes , Kalau Dewi Tara Sudah Berkata 3. Sanusi Pane, karyanya Airlangga, Kertajaya, Sandhyakala Ning Majapahit, dan Manusia Baru 4. Armin Pane, karyanya Lukisan Masa dan Setahun di Bedahulu Periode pembangunan merupakan periode yang produktif. Hal ini ditandai pula dengan munculnya tema-tema romantis-realistis. Sastrawan pada masa ini adalah sebagai berikut: 1. Dr. Abu Hanifah (El Hakim), karyanya Taufan di Atas Asia, Dewi Reni, dan lnsan Kamil. 2. Usmar Ismail, karyanya Citra, Libwan Seniman, dan Mutiara di Nusa laut. Idrus, karyanya Jinak-jinak Merpati, Barang Tiada berharga, dan Antara Bumi dan Langit. F. Prinsip-prinsip Kritik Drama Pada abad ke-18 seorang dramawan Jerman yang bernama Goethe memformulasikan tiga prinsip kritik drama, yang sangat terkenal yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Ketiga prinsip itu, biasa disebut Prinsi Goethe adalah sebagai berikut : 1. Apakah yang hendak dilakukan oleh seorang seniman? 2. Betapa baikkah dia melakukan hal itu? 3. Bermanfaatkah hal itu dilakukan?

You might also like