You are on page 1of 21

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Terdapat berbagai macam sistem kepartaian di dunia. Dimana masing masing sistem itu memberikan pengaruh terhadap sistem pemerintahan terutama terhadap sistem pemilu di berbagai negara. Dalam ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri. Pemilihan umum berfungsi sebagai legimitasi atau pengabsahan dalam penugasan seseorang pada jabatan tertentu di dalam jabatan-jabatan politis di pemerintahan. Aspek penting yang lain pada pemilihan umum adalah partisipasi individu dalam pemilihan dan otoritas abash yang diberikan kepada mereka yang terpilih. Dalam kaitan ini organisasi kepartaian selain berfungsi pemersatu berbagai kepentingan juga berfungsi sebagai wadah untuk membina karir politik sekarang. Sistem kepartaian yang dianut suatu negara juga dapat mempengaruhi sistem pemerintahannya. Banyaknya partai dapat mempengaruhi jalannya penyelenggaraan negara atau pemerintahan negara yang disesuaikan dengan keadaan dari masing masing negara tersebut. misalnya sistem pemerintahan presidensial indonesia yang lebih cocok dengan sistem kepartaian multipartai karena sesuai dengan kondisi masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa,bahasa, ras, agama dan budaya.

B. Tujuan

Pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas Hukum Tata Negara juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem pemerintahan di berbagai negara di dunia beserta pengaruhnya masing-masing. C. Perumusan Masalah 1. Apasaja sistem pemerintahan di dunia? 2. Apa saja sistem kepartaian di dunia? 3. Apa saja sistem pemilu di dunia? 4. Apakah pengaruh sistem kepartaian terhadap sistem

pemerintahan? 5. Apakah pengaruh sistem pemilu terhadap sistem kepartaian?

Bab II Pembahasan

A.

Sistem Kepartaian

Menurut Maurice Duverger (1967 : 207 ) dalam bukunya yang berjudul Political parties berpendapat bahwa sesungguhnya klasifikasi partai politik dapat di bedakan menjadi tiga bentuk yaitu : 1. Sistem Partai Tunggal (One-Party System) Yaitu bilamana dalam suatu negara hanya terdapat satu partai politik saja yang berperan dalam kurun waktu yang sangat lama, maka dapat dikatakan bahwa di negara tersebut menganut sistem partai tunggal. Keberadaan sistem partai tunggal ini disebabkan karena memang hanya terdapat satu partai yang dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat. Atau mungkin pada awalnya terdapat beberapa partai politik (multy atau two party
3

system), namun dalam perkembangannya hanya terdapat satu partai politik yang selalu memenangkan mayoritas suara dalam setiap pemilu. Sehingga partai ini menjadi dominan dan menjadikan partai politik yang lain hanya sekedar sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berperan. Salah satu ciri dari keberadaan sistem partai tunggal ini dalam suatu negara ialah bahwa kehidupan politik yang timbul penuh dengan suasana non-kompetitif. Dalam keadaan yang seperti ini, maka partai politik yang lain akan sulit untuk bersaing dengan partai yang selalu mendominasi kehidupan partai politik di negara tersebut. Sistem partai tunggal ini biasanya terdapat pada negara-negara komunis, seperti Rusia dan China. Namun pola paretai ini juga terdapat di beberapa negara Afrika seperti Ghana pada masa pemeriuntahan Nkrumah, Guinea, Mali atau Pantai Gading. 2. Sistem Dwi Partai (two-party system) Suatu negara dengan sistem dua partai berarti bahwa dalam negara tersebuut ada dua partai atau lebih dari dua partai, akan tetapi yang memegang peranan dominan hanya dua partai. Dalam sistem dua partai ini maka partai di bagi menjadi dua yaitu partai yang besar, yang berkuasa, karena menang dalam pemilihan umum, dinamakan mayority party, partai ini memegang tanggungb jawab untuk urusan-urusan umum. Sedangkan lainnya dinamakan minority party atau partai oposisi karena kalah dalam pemilu. Partai oposisi biasanya hanya bertugas memeriksa dengan teliti dan mengkritik politik pemerintah. Negara dengan sistem dua partai ini contohnya adalah Amerika Serikat dan Inggris. 3. Sistem Multi Partai (Multy-Party System) Dalam negara dengan sistem multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama kekuatannya. Masing-masing partai mempertahankan suatu politik tertentu tentang satu atau sejumlah persoalan-persoalan penting. Suatu negara dengan sistem

multi partai masing-masing pemilih mendukung partai yang hampir sesuai dan mewakili pandangannya sendiri. Dalam sistem multi partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalaisi dengan partai lainnya. Demikian juga partai yang berkoalisi harus pandai mengadakan kompromi dengan partai-partai lainnya lagi, karena selalu ada kemungkinan suatu ketika dukungan partnernya dapat ditarik kembali. B. Sistem Pemilu

Sistem kepartaian berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum. Dalam berbagai literatur ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri. Penentuan sistem pemilihan umum sangat penting artinya guna menentukan terciptanya pemilihan wakil rakyat yang representatif dan dimungkinkan adanya jaminan bahwa aspirasi rakyat didengar oleh sistem politik yang berlaku. Meskipun banyak variasinya, namun dalam khasanah ilmu politik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: Single Member Constituency atau lebih dikenal dengan Sistem Distrik, dan yang kedua Proportional Resoresentation atau lebih dikenal Sistem Perwakilan Berimbang (proporsional).
1. Single Member Constituency atau sisten distrik

Sistem

ini

dimaksudkan

sistem

pemilihan

yang

mengatur bahwa setiap distrik atau daerah pemilihan hanya diperebutkan satu kursi perwakilan. Oleh karena itu negara sdibagi kedalam beberapa distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau yang tersedia di parlemen. Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik yang bersangkutan di parlenen.

Oleh karena itu sistem ini juga disebut Single Member Constituency. Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak atau mayoritas. Oleh karena itu juga disebut sistem mayoritas di distrik yang bersangkutan. Di dalam sistem ini yang terpilih bukanpartainya melainkan langsung si calon. Kemudian si calon akan bersaing secara langsung, sedangkan partainya sebagai pendukung akan bersaing secara tidak langsung. Dalam sistem ini makin banyak calon yang tampil maka akan semakin banyak suara yang terbuang. Besarnya distrik ditentukan oleh jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Karena tiap distrik hanya diwakili oleh satu maka suara dari pendukung calon lain yang tidak mendapat suara mayoritas dianggap hilang. Dalam sistem ini partai dapat tampil sebagai pemenang cukup hanya dengan memperoleh suara mayoritas tanpa memperhatikan selisih dari pihak lawannya. Bentuk pemilihan seperti ini sering menimbulkan over atau under representation. Keunggulan dari sistem distrik adalah dimungkinkannya adanya pengelompokan secara alamiah partai-partai kecil untuk mengimbangi dominasi partai- partai besar. Mungkin saja tidak dalam pengelimpokkan permanen, tetapi hanya dalam bentuk kerjasama biasa. Namun, adanya kemungkinan tersebut dapat menjamin stabilitas politik. Alasannya, fragmentasi yang muncul dalam tubuh partai politik dapat dihindari. Jangankan membuat partai baru, partai yang sudah adapun belum tentu dapat bersaing dengan partai-partai besar. Sedangkan kelemahan sistem Distrik adalah adanya kemungkinan aspirasi politik masyarakat yang telanjur tersalurkan lewat partai politik kecil tidak dapat terwakili, seiring dengan gagalnya si calon untuk memperoleh mayoritas suara pemilih. Keadaan ini dapat menimbulkan distortion effect, yaitu terjadinya kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh

satu partai politik dengan jumlah kursi yang tersedia. Keadaan ini justru dapat menimbulkan atau memunculkan mayoritas tunggal dimana partai yang menang dapat memerintah tanpa koalisi.
2. Proporsional Representation System

Menganut prosedur pemilihan tidak langsung. Massa pemilih hanya diminta menjatuhkan pilihannya terhada partaipartai yang ikut dalam pemilihan umum. Dalam system Proporsional ini diterapkan prinsip kuota, yakni jumlah penduduk yang menggunakan hak pilihnya dibagi jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang telah ditentukan. Dalam system ini kesatuan administratof dipandang sebagai daerah pemillihan. Dari daerah ini dapat dipilih lebih dari satu orang wakil dari satu Organisasi Peserta Pemilihan Umum (OPP) yang ada berdasarkan jumlah perbandingan yang telah disepakati. Oleh karena itu, pemenang dari daerah pemilihan umum tersebut dapat lebih dari satu orang, sehingga system ini bias disebut dengan Multy Member Constituency. Wakil ini ditunjuk olek OPP sehingga terkesan sebagai wakil partai daripada wakil rakyat. Karena pada dasarnya menggunakan kesatuan administrative, maka dimingkinkan adanya penggabungan suara oleh satu OPP di dua tempat dalam daerah pemilihan yang sama. Tujuannya adalah untuk memafaatkan sisa suara yang diperoleh di sutu daerah oleh daerah lain yang membutuhkan. Dengan demikian system ini menjamin aspirasi masyarakat tercapai tetapi belum tentu didengar. Jumlah suara yang diperoleh OPP dijadikan landasan untuk menentukan jumlah wakil di dalam parlemen. Karena itu, rasio suara yang diperoleh OPP didalam pemilu sebanding dengan wakil mereka di dalam parlemen. Selain itu, system proporsiolnal ini juga dianggap adail, sebab dapat dipastikan

setiap segmen dalam masyarakat pasti memiliki wakil. Secara formal system ini tidak kalah dengan system distrik dan dapat menghindari terjadinya distortion effect. Di samping sederet keunggulan di atas, system proporsional pun memiliki kelemahan-kelemahan. Karena adanya jaminan bahwa tiaptiap segmen dalam masyarakat akan memperoleh seorang wakil, maka pragmantasi politik akan lebih mudah terjadi. Dengan kata lain system ini kurang menjamin kestabilan politik. Tiap kali terjadi konflik dalam tubuh parpol yang ada, seseorang cenderung untuk membentuk partai politik yang baru. Hal ini secara potensial dapat menyulitkan tercapainya mayoritas suara oleh satu partai politik dalam pemilihan umum. Kelemahan yang lain dalam system proporsional dalam pemilihan umum adalah sangat memberikan kedudukan yang sangat kuat terhadap pemimpin organisasi social politik (orsospol) dalam penentuan calon-calonnya, di samping penggunaan dana yang besar. Dari uraian singkat tersebut, dikemukakan perbedaan pokok antara system distrik dan system proporsional dalam pemilihan umum adalah terletak pada prosedur pemilihan langsung dan tidak langsung. Dan prinsip yang dipergunakan sebagai dasar dalam penentuan para calon wakil rakyat. Sedangkan John G. Grum berpendapat bahwa system distrik cenderung membentuk system dua partai, sedangkan system proporsional cenderung membentuk system multi partai.

Merujuk pada proposisi yang dikemukan oleh Maurice Duverger pilihan suatu masyarakat pada sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan sistem pemilu yang sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki kemungkinan untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang memiliki stabilitas politik political order. Namun sebaliknya, kesepakatan masyarakat untuk menggunakan suatu sistem
8

kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan suatu sistem pemilu yang tidak sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki peluang untuk melahirkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil. Secara lebih detail hubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemilu, backgourd masyarakat, dan stabilitas politik dapat dielaborasi dalam enam hipotesis sebagai berikut: a) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik yang diterapkan pada masyarakat yang backgroundnya homogen, dari sisi etnis, aliran pemikiran politik, agama memiliki peluang besar untuk menghasilkan stabilitas politik. b) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakaat yang memiliki background menghasilkan heterogen kehidupan memiliki politik kecederungan yang stabil. untuk Namun,

memungkinkan aspirasi politik masyarakat yang heterogen yang tidak tertampung oleh dua partai politik. c) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang background heterogen memiliki peluang lebih besar pada kehidupan politik yang kurang stabil, terutama pada awal perkembangannya. d) Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan model distrik pada masyarakat yang backgroundnya homogen akan memiliki kecenderungan menuju pada kehidupan politik yang bergerak ke arah stabilitas. Hal tersebut dikarenakan akan mendorong terjadinya evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem dua partai. e) Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakat yang background heterogen akan memiliki kecenderungan menghasilkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil. Hal tersebut tidak mendorong

untuk terjadi evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem kepartaian yang sederhana. (sistem dua partai). f) Sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang backgroundnya heterogen, memiliki kecenderungan untuk menghasilkan stabilitas politik, namun memiliki peluang yang menimbulkan ketidakpuasan politik.

C. 1.

Sistem Pemerintahan Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut : 1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya

badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif. 2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen. 3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri
10

dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen. 4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet. 5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara. 6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru. Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:

Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena

mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.

Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap

pelaksanaan kebijakan public jelas.

kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan. Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :

11

Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung

pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatanjabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

2. Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut.
1.

Penyelenggara negara berada ditangan presiden.

Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

12

2.

Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden.

Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif. 3. 4. 5. 6. parlemen. Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial : Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen. dalam sistem parlementer. lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

tergantung pada parlemen. waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan dengan jangka waktu masa jabatannya. eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri. Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial : Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung Sistem pertanggungjawaban kurang jelas. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya

legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.

hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

13

3.

Sistem Pemerintahan Komunis

Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme di awal abad ke-19an, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangannya yang saling berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia Ciri-ciri komunisme Adapun ciri pokok pertama ajaran komunisme adalah :

Sifatnya yang ateis Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada. Anti-kapitalisme

Ciri pokok kedua adalah :


Sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. Manusia itu seperti mesin. Kalau sudah tua, rusak, jadilah ia rongsokan tidak berguna seperti rongsokan mesin. Komunisme juga kurang menghargai individu, terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi

Kelebihannya:

Sistem komunis membuat suatu pemerintahan dan negara lebih stabil. pemerintah jauh lebih kuat dari rakyatnya. Semua kebijakan pemerintah dapat diterapkan dengan otoriter Adanya pemerataan pendapatan bagi rakyatnya
14

Kekurangannya :

Rakyat tidak bisa banyak bersuara, Pemerintah sewenang-wenang terhadap rakyatnya pemimpinnya cenderung otoriter privasi dan kehidupan individu terganggu dan tidak merdeka

D. Pengaruh Pemerintahan Sistem

Sistem

Kepartaian

terhadap

Sistem

kepartaian

memiliki

pengaruh

terhadap

sistem

pemerintahan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai sistem pemerintahan di berbagai dunia. Misalnya sistem pemerintahan komunis di cina yang menganut sistem partai tunggal. Sistem partai tunggal Cina merupakan sistem kepartaian dimana dalam negara atau badan legislatif dan badan eksekutifnya hanya terdapat satu partai terbesar yang menguasai mayoritas secara terus-menerus di samping partai-partai kecil lainnya. Sistem partai tunggal memiliki kecenderungan akan selalu menumbuhkan corak pemerintahan yang diktator karena suasananya bersifat non-kompetitif. Dapat ditarik kesimpulan bahwa di Cina sendiri memang terdapat beberapa partai akan tetapi hanya ada satu partai yang digunakan penguasa untuk memobilisasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya, partai lain dibatasi ruang geraknya. Kemudian contoh negara yang menganut sistem dwi partai yaitu negara Amerika Serikat yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan berdasarkan konstitusi. Ada 2 partai yang menentukan sistem politik dan pemerintahan Amerika Serikat, yaitu partai demokrat dan partai Republik. Dalam setiap pemilu kedua, partai ini saling memperebutkan jabatan-jabatan politik dimana yang memenangkan pemilu akan memegang jabatan sebagai pemimpin negara. Sistem partai di amerika menggunakan sistem pemilu distrik karena cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil sehingga dapat memperkokoh sistem dwi-partai
15

Contoh negara yang menganut sistem multipartai yaitu negara Indonesia yang juga menganut sistem pemerintahan presidensial. Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu dan menghindari unsur negatifnya. Sistem kepartaian multi partai dianggap cocok untuk masyarakat Indonesia, hal ini mengingat keanekaragaman budaya politik masyarakat Indonesia. Perbedaan tajam yang ada dalam masyarkat yaitu meliputi ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Hal ini dijadikan alasan bahwasanya pola sistem multi partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya politik daripada sistem politik tunggal maupun sistem politik dwi partai. Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan secara lebih specifik apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk memenangkan atau berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah.

Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and Mair (2008) dan Blau (2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu akan tetapi sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair menjelaskan bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu vertikal, horisontal dan fungsional. Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai politik dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam
16

masyarakat pemilih (bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi horisontal ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu. Dimensi fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi (nasional, regional, dan lokal).

E. Pengaruh Sistem Pemilu terhadap Sistem Kepartaian Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi masyarakat yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen. Untuk kondisi di Indonesia, yang masyarakatnya memiliki background aliran pemikiran politik, etnis, agama, budaya yang heterogen secara teoritis jika ingin menghasilkan suatu tata kehidupan politik yang stabil adanya political order, maka perlu pertimbangan untuk diterapkan sistem pemilu dengan model distrik. Penerapan sistem pemilu model distrik memberi dorongan untuk terjadinya evalusi sistem kepartaian banyak partai kepada dua sietem partai. Jika berhasil didorong berjalannya evolusi sistem kepartaian menuju sistem dua partai melalui penerapan sistem pemilu distrik maka kehidupan politik di Indonesia memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kestabilan politik. Namun demikian, kondisi sebaliknya akan sering hadir jika proposisi tersebut tidak dapat dipenuhi. Kehidupan politik di Indonesia sulit diharapkan untuk mampu menghadirkan suatu tatanan politik yang stabil, jika tidak terjadi kombinasi yang harmonis antara pilihan sistem
17

kepartaian dengan sistem pemilu yang sesuaikan dengan background masyarakat Indonesia. Kiranya perlu diberikan penjelasan mengapa pemilu dengan sistem distrik dengan berbagai variannya yang merujuk pada model sistem pluralisme-mayoritas, memberikan dorongan untuk secara alamiah terjadinya pengurangan jumlah partai yang ikut berkompetisi dalam pemilu?. Pelaksanaan kegiatan yang merujuk pada model pluralitas-mayoritas yang lebih dikenal dengan sistem distrik memiliki prinsip bahwa jumlah wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan politik seperti parlemen (DPR) sama dengan jumlah distrik (daerah pemilihan yang ada pada suatu negara , sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh kekuatan politik (partai politik) yang ada pada suatu negara. Setiap satu distrik daerah pemilihan ditentukan hanya mempunyai satu wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Dengan ketentuan sebagaimana dirujuk dalam sistem distrik tersebut, maka disetiap distrik hanya ada satu partai politik yang memiliki wakil parlemen. Penerapan model tersebut secara berulang-ulang mendorong untuk memunculkan suatu kondisi kehidupan kepartaian, dimana hanya ada satu sampai dua partai yang mendapatkan dukungan yang kuat di suatu distrik pemilu. Sementara itu, pemilu tidak berhasil mendatangkan dukungan yang memadai secara alamiah akan mengalami kematian. Bukti empiris dari negara-negara yang mempraktikan model sistem distrik secara nasional, menunjukkan bahwa secara nasional akan lahir suatu kecenderungan lahirnya sistem dua partai, yakni hanya ada dua partai politik yang bisa eksis dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan politik nasional. Dengan terjadinya pengurangan jumlah partai politik yang memiliki wakil formal di lembaga parlemen, maka juga dapat mengurangi serta mereduksi sumber dan istrumen untuk terjadinya berbagai macam konflik dalam suatu masyarakat, khususnya konflik politik. Pengurangan jumlah partai secara alamiah melalui penerapan sistem distrik juga mampu memberikan iklim
18

agar berbagai spektrum aliran pemikiran politik yang memiliki kedekatan ideologi berkumpul pada satu partai politik tertentu. Jika kondisi tersebut dapat terwujud hal itu berati juga salah satu fungsi partai politik untuk menjalankan fungsi manajemen konflik dapat diperankan. Dengan demikian, kiranya dapat dinyatakan bahwa pilihan untuk menggunakan model sistem peilu distrik memberikan peluang pada partai politik untuk memperkuat fungsi-fungsinya sebagai pengatur konflik. Implikasi dan kondisi partai politik memiliki konstribusi bentuk menghadirkan adanya suatu tertib politik-stabilitas kehidupan politik. Dan pemaparan diatas, kiranya dapat ditarik suatu pemahaman bahwa antara sistem pemilu dengan sistem kepartaian dan stabilitas politik memiliki hubungan. Sebagaimana telah diuraikan bahwa pilihan untuk menerapkan suatu sistem pemilu tertentu misalnya sistem pemilu distrik akan memiliki pengaruh pada munculnya sistem kepartaian yang dengan sistem dua partai. Sementara itu, pilihan untuk menerapkan sistem proposional akan memberi peluang untuk lahirnya sistem banyak partai pada suatu masyarakat yang secara sosial fragmentasi dan mamiliki aliran pemikiran politik, dengan perpedaan yang tajam, akan memberikan kemungkinan untuk sulit memberikan kontribusi bagi yang ada stabilitas politik.

Bab III Penutup


Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terusmenerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat
19

perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada. Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik. Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi masyarakat yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.

Daftar Pustaka

1. Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/hubungan-antara-

sistem-kepartaian.html#ixzz2DQhywUn4
20

3. http://indraachmadi.blogspot.com/2012/04/sistem-kepartaian-

dan-sistem-pemilu.html

21

You might also like