You are on page 1of 78

Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.

) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus.)

WENI KURNIATI

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Judul Skripsi

: Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses (Mus musculus Albinus.) Persembuhan Luka Pada Mencit

Nama NRP

: Weni Kurniati : B04104131

Disetujui

Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si Pembimbing I

Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc Pembimbing II

Diketahui Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini Tanggal lulus:

ABSTRAK WENI KURNIATI. Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus). Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan IETJE WIENTARSIH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui khasiat sediaan salep ekstrak etanol kunyit (Curcuma longa Linn.) sebagai obat penyembuhan luka, serta zat-zat aktif yang terkandung dalam kunyit yang dapat dilarutkan oleh pelarut etanol. Beberapa uji yang dilakukan adalah; penapisan fitokimia, uji patologi anatomi, dan histopatologi. Ekstraksi kunyit dilakukan dengan metode maserasi hingga dihasilkan sediaan kental dan selanjutnya dibuat menjadi sediaan salep. Sebagai hewan percobaan mencit (Mus musculus Albinus.) jantan sebanyak 45 ekor, yang berumur 8 minggu dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan, kelompok kontrol positif yang diberikan sediaan mengandung neomycin sulfat 5%, dan pemberian sediaan salep ekatrak etanol kunyit. Setelah itu mencit dilukai di bagian punggung sepanjang 1.5 cm. Sediaan ekstrak semi padat etanol kunyit kemudian diuji dengan menggunakan metode fitokimia, diketahui bahwa senyawa yang teridentifikasi adalah kelompok alkaloid dan kuinon. Setelah itu pengamatan Patologi anatomis dilakukan pada hari ke 2, 4, 7, 14, 21. Parameter yang diamati secara patologi anatomi adalah warna luka, folikel rambut, penyempitan luka, oedema, dan keberadan keropeng. Peubah yang diamati secara histopatologis adalah jumlah polimorfonuklear, neovaskularisasi, presentasi reepitelisasi, dan luasan kolagen. Data yang didapatkan kemudian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan. Dari pengamatan histopatologi salep ekstrak etanol kunyit dan kontrol positif dapat mempercepat prases pembentukan neovaskularisasi. Sementara untuk jumlah polimorfonuklear, persentasi reepitelisasi dan luasan kolagen, ketiga kelompok memberikan hasil yang tidak berbeda.

Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus.)

WENI KURNIATI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan tadak lupa salawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak dan Mamah tercinta untuk doa, dukungan, dan kepercayaannya. 2. Ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si. dan Ibu Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc. selaku pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. drh. Agus Setiono, Ms. PhD. selaku dosen penguji. 4. Bapak drh. Isdhoni, M. Biomed. selaku pembimbing akademik, yang telah membimbing penulis selama menjalani masa kuliah di FKH. 5. Bapak Bayu, Ibu Lina, dan Ibu Rini atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian da laboratorium farmasi. 6. Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Endang, yang telah membantu selama bekerja di laboratorium patologi. 7. Kakak-kakak tercinta (Teh Entin, Teh Lilis, Ka Ichsan, Ka Ibnu) dan pangeran-pangeran kecilku (Ilham, Azriel, Ivander) yang selalu menjadi inspirasi. 8. Ratih, Rina, Dika, Agus, Tia atas kerjasamanya selama penelitian. 9. Penghuni Pondok Iswara (Upik, Nora, Tika, Nona, Eni, Lala, Ismi) atas pengertian dan persaudaraannya. 10. Teman dan sahabat Mba Rina, Ami, Ria, Dc, Siti, Srie, Akil, Ratna, Dilla, Rina F, Winda M, penghuni HAMAS, serta penghuni pondok Saka. 11. Riva, dan Arwin yang senantiasa mengajarkan indahnya kebersamaan. 12. Himpro Ruminansia dan DKM An-Nahl yang memberikan begitu banyak pengalaman dan pengajaran. 13. Kakak-kakak 39, 40, Adik-adik 42 dan 43, dan tentu saja para pejuang Asteroidea 41 yang selalu menjadi terbaik dan teristimewa. 14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak mungkin

dituliskan satu persatu. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun amat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2008

Weni Kurniati

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor 5 Mei 1986 dari ayah Katidjo dan Ibu

Marah. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SD Empang 2 (1992-1998), SLTPN 1 Bogor (1998-2001), dan SMUN 1 Bogor (2001-2004). Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Himpro Ruminansia (2005/2007) dan DKM An-Nahl (2004/2008). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam (PAI) tahun 2007 dan Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan (PKHL) pada tahun 2008.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xii PENDAHULUAN ................................................................................................1 TINJAUAN PUSTAKA Kunyit Sejarah Tanaman Kunyit.....................................................................4 Taksonomi...........................................................................................4 Manfaat ...............................................................................................6 Mencit Mencit Sebagai Hewan Percobaan......................................................6 Kulit Struktur dan Fungsi kulit ....................................................................8 Histologi Kulit ....................................................................................8 Fitokimia ....................................................................................................12 Kurkuminoid ..............................................................................................13 Etanol .........................................................................................................13 Ekstraksi .....................................................................................................14 Salep...........................................................................................................15 Persembuhan Luka .....................................................................................16 Faktor-Faktor yang mempengaruhi persembuhan Luka ............................20 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu .....................................................................................22 Bahan dan Alat ...........................................................................................22 Hewan Percobaan............................................................................ 22 Bahan ................................................................................................22 Alat ....................................................................................................23 Tahapan Penelitian Ekstraksi Rimpang Kunyit ................................................................23 Penapisan Fitokimia ..........................................................................24 Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit ..........................26 Mencit Untuk Perlakuan ...................................................................26 Aplikasi Obat ....................................................................................26 Pengamatan Patologi Anatomi ..........................................................26 Pengambilan Sampel Kulit ...............................................................27 Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi.............27 Pembuatan Sediaan Haematoxilin-Eosin ..........................................28 Pembuatan Sediaan Masson Trichrome ............................................28

Pengamatan Histopatologi ................................................................29 Analisis Data .....................................................................................31 HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Fitokimia ...................................................................................32 Patologi Anatomi .......................................................................................33 Hasil Pengamatan Histopatologi Polimorfonuklear ..............................................................................36 Neovaskular ......................................................................................39 Reepitelisasi ......................................................................................41 Luasan Jaringan Ikat Kolagen ...........................................................44 KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................48 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................49 LAMPIRAN ........................................................................................................52

DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil penapisan fitokimia ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol....................................................... 32 2. Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka ketiga perlakuan ............................................................ 33 3. Rataan jumlah sel polimorfonuklear pada pemeriksaan mikroskopis ................................................................... 36 4. Rataan jumlah neovaskularisasi pada pemeriksaan mikroskopis.. ................................................................. 39 5. Rataan persentase reepitelisasi pada pemeriksaan mikroskopis .................................................................. 42 6. Rataan persentase jaringan ikat kolagen pada pemeriksaan mikroskopis.. ................................................................. 45

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Tanaman kunyit ...........................................................................................4 Rimpang Kunyit ...........................................................................................6 Mencit laboratorium.....................................................................................6 Struktur skematis kulit ...............................................................................11 Struktur kimia kurkumin ............................................................................13 Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol .............................23 Metode penentuan luasan jaringan ikat kolagen pada pengamatan histopatologis .............................................................................................30 Gambaran patologi anatomis luka hari ke-4 ketiga perlakuan....................35 Sel radang netrofil yang mengilfiltrasi jaringan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-7. ...............................37 Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada proses persembuhan luka...................................................................38 Neovaskularisasi yang yang terbentuk pada jaringan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-14...................40 Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi pada proses persembuhan luka.................................................................41 Reepitelisasi persembuhan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol pada hari ke-14...........................................................43 14. Perbandingan presentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka ............................................................................44 15. Jaringan ikat berwarna biru pada perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-21 ................................................46 16. Perbandingan persentase luasan jaringan ikat kolagen pada proses persembuhan luka ...............................................................47

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear...................................................52 2.Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi ....................................................55 3.Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi .........................................58 4.Hasil perhitungan statistik persentase luasan kolagen ...................................61

PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki ekosistem berupa flora dan fauna yang tergolong cukup beragam di dunia. Kekayaan alam yang cukup berpotensi di Indonesia adalah adanya berbagai spesies flora, dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan, sedangkan sisanya masih liar di hutan-hutan. Lebih dari 940 jenis tanaman yang dibudidayakan digunakan sebagai obat tradisional, salah satunya adalah kunyit (Syukur dan Hernani 2002). Kunyit sebagai tanaman yang digunakan untuk pengobatan, telah digunakan secara tradisional oleh nenek moyang kita sejak lama. Diantara beberapa manfaat rimpang kunyit yang dapat digunakan adalah sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, bakterisida, obat sakit perut, memperbanyak ASI, fungisida, mengobati keseleo, memar dan rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu, amandel, sariawan, tambah darah, menghilangkan noda di wajah, penurun panas dan mengobati luka (Tilaar 2002). Seiring dengan berjalannya waktu dan arus industrialisasi yang makin hebat, kunyit kini banyak diolah sebagai obat alternatif, namun beberapa manfaat dari kunyit belum terkelola dengan maksimal diantaranya adalah kunyit sebagai obat penyembuh luka. Obat-obat kimia untuk persembuhan luka hingga kini masih menjadi pilihan utama di pasaran karena efek penyembuhan yang bisa dirasakan langsung, serta mudah diperoleh. Namun ketakutan masyarakat akan efek samping obat kimia dan harganya yang semakin tinggi, membuat masyarakat beralih kepada pengobatan alternatif, serta perawatan kesehatan dan kecantikan secara tradisional. Hal ini didukung juga dengan tingginya nilai manfaat dengan efek samping yang relatif kecil, serta harga yang terjangkau bila dibandingkan dengan obat-obatan modern. Perkembangan ini pulalah yang akhirnya mendorong para ahli untuk terus menggali potensi tanaman-tanaman obat dengan cara mencari zat aktif dari

tanaman obat tersebut yang dapat bermanfaat. Teknik yang dikenal untuk mengetahui zat aktif dalam tumbuhan dikenal dengan nama penapisan fitokimia. Ketersediaan kunyit yang melimpah di Indonesia tidak didukung dengan pengembangan obat luka herbal secara komersil, dengan berkembangnya metode di bidang pengolahan obat tradisional diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan kunyit sebagai penyembuh luka sehingga dapat menjadi produk siap pakai dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat.

Tujuan 1. Melakukan preparasi sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit dalam bentuk salep dan membandingkannya dengan sediaan komersil yang beredar di pasaran. 2. Mengetahui khasiat sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit sebagai obat penyembuhan luka. 3. Mengetahui senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit yang dapat ditarik oleh pelarut etanol, sehingga dapat memberikan manfaat secara maksimal dalam proses persembuhan luka.

Permasalahan Penelitian Penelitian mengenai aktivitas kunyit secara in vivo sebagai obat penyembuhan luka masih sedikit, dan belum ada penelitian mengenai aktivitas sediaan salep kunyit dalam persembuhan luka pada hewan di Indonesia. Oleh karena itu masih perlu dicari pelarut terbaik yang dapat menarik zat-zat aktif dari kunyit yang dapat memberikan efek maksimal sebagai obat penyembuhan luka. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbandingan khasiat dari sediaan salep kunyit dengan pelarut etanol dengan obat persembuhan luka komersil.

Manfaat Penelitian kunyit dalam bentuk salep belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga untuk diperoleh data awal perlu diketahui terlebih dahulu pelarut tepat

yang dapat menarik zat aktif dari kunyit agar kunyit sebagai obat penyembuh luka dapat memberikan efek maksimal. Penelitian kali ini menggunakan pelarut etanol yang kemudian akan diolah menjadi bentuk sediaan salep dan diaplikasikan secara topikal. Diharapkan dengan demikian sediaan salep dapat lebih mudah diaplikasikan, praktis, tahan lama, serta lebih efektif digunakan sebagai obat persembuhan luka.

TINJAUAN PUSTAKA Kunyit Sejarah Tanaman Kunyit Kunyit telah digunakan oleh bangsa Assyiria sebagai obat herbal sejak 600 tahun sebelum masehi. Sejak beratus-ratus tahun kunyit juga digunakan oleh orang India sebagai pewarna dan pemberi rasa pada makanan. Pada tahun 1971 kunyit pertama kali dilaporkan sebagai anti peradangan baik bagi kasus akut maupun kronik (Miils 2000). Taksonomi Kunyit (Gambar 1) merupakan tanaman herba, dengan tinggi mencapai 100 cm. Batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, berwarna hijau kekuningan. Daun tunggal, lanset memanjang, helai daun berjumlah 3-8 dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12.5 cm, pertulangan menyirip , berwarna hijau pucat. Bunga tumbuh dari ujung batang semu, panjang 10-15 cm, bunga berwarna kuning atau kuning pucat, mekar secara bersamaan. Rimpang induk bercabang, rimpang cabang lurus atau sedikit melengkung, keseluruhan rimpang membentuk rumpun yang rapat, berwarna jingga, tunas muda berwarna putih. Akar serabut berwarna cokelat muda (Syukur dan Hernani 2002).

Gambar 1: Tanaman kunyit (Sumber: Dokumentasi Pribadi. 2008)

Klasifikasi kunyit Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Subkelas Famili Genus Spesies

menurut Linnaeus dalam : Palantae : Spermatophita : Angiospermae : Monocotyledonae : Zingiberales : Zingibereaceae : Curcuma : Curcuma Longa Linn.

Winarto (2003),

selengkapnya adalah sebagai berikut:

Kunyit (Gambar 1) dapat tumbuh di daerah tropis dan sub tropis mulai dari ketinggian 240-2000 meter di atas permukaan laut (dpl). Daerah dengan curah hujan 2000-4000 mm/tahun merupakan tempat tumbuh yang baik bagi kunyit. Kunyit dapat pula tumbuh di daerah dengan curah hujan kurang dari 1000 mm/tahun, tetapi diperlukan pengairan yang cukup dan tertata dengan baik (Syukur dan Hernani 2002). Kunyit dapat tumbuh dan biasa di tanam di Asia Selatan, Cina, Taiwan, Indonesia, dan Filipina (Tilaar 2002). Kunyit dapat menghasilkan rimpang yang cukup besar dan baik (Gambar 2), saat di tanam didaerah yang terbuka sedikit naungan (Tilaar 2002). Jenis tanah yang cocok bagi tanaman kunyit adalah tanah ringan dengan bahan organik yang tinggi, seperti tanah lempung berpasir yang terbebas dari genangan air. Tanaman ini dapat hidup di daerah yang memiliki intensitas cahaya matahari penuh atau di daerah yang ternaungi. Rimpang kunyit dapat pula ditanami tumpang sari bersama dengan padi gogo, jagung, singkong, kacang merah atau palawija lainnya ( Syukur dan Hernani 2002). Rimpang kunyit (Gambar 2) mengandung minyak atsiri 3-5% (Departemen Kesehatan 1989). Minyak atsiri tersebut terdiri dari senyawa antara lain, fellandrene, sabinene, sineol, borneol, zingibrene, curcumene, turmeron, kamfene, kamfor, seskuiterpene, asam kafrilat, asam methoksisinamat, tolilmetil karbinol. Selain itu rimpang kunyit juga mengandung alkohol kurkumin (Syukur dan Hernani 2002).

Gambar 2: Rimpang Kunyit (Sumber: Dokumentasi Pribadi. 2008) Manfaat Rimpang kunyit (Gambar 2) dapat digunakan sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, bakterisida, obat sakit perut, memperbanyak ASI, fungisida, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu, amandel, sariawan, tambah darah, menghilangkan noda diwajah, penurun panas, melindungi jantung, radang hidung, menghilangkan rasa gatal, menyembuhkan kejang, mengobati luka dan obat penyakit hati. Selain obat, rimpang kunyit dapat dimanfaatkan untuk bumbu dapur. Zat warna kuning yang dikandungnya dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami dan tambahan untuk makanan ternak (Syukur dan Hernani 2002).

Mencit Mencit Sebagai Hewan Percobaan Mencit (Gambar 3) dipilih sebagai hewan percobaan karena merupakan hewan yang praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil dan dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan Pramono 1989) .

Gambar 3. Mencit laboratorium (Sumber: http://www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg . 2008)

Klasifikasi mencit sebagai berikut: Kingdom Filum Sub filum Kelas Ordo Sub ordo Familia Sub familia Genus Species

menurut Linnaeus dalam Arington (1972), adalah

: Animalia : Chrodata : Vertebrata : Mammalia : Rodentia : Myomorphoa : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus

Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium. Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia. Mencit laboratorium memiliki berat yang relatif sama dengan mencit liar yaitu mencapai 18-20 gram pada umur empat minggu dan saat dewasa dapat mencapai 30-40 gram (Smith 1988). Mencit laboratorium (Gambar 3) adalah strain mencit yang telah dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Penn 1999). Mencit laboratorium setelah diternakkan secara selektif memiliki berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda- beda (Smith 1988). Mencit laboratorium dapat dikandangkan dalam kotak sebesar sepatu. Hal yang paling penting dalam sistem perkandangan mencit adalah persyaratan fsiologis dan tingkah laku mencit harus terperhatikan. Persyaratan ini meliputi menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang memadai, dan memberi ruang yang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Banyak faktor-faktor lingkungan terutama kualitas pakan berpengaruh pada kondisi mencit secara keseluruhan. Status makanan hewan yang diberikan dalam percobaan biomedis mempunyai pengaruh nyata pada kualitas hasil percobaan.

Mencit membutuhkan protein sbanyak 20-25% lemak 10-12%, pati 45-55%, dan serat kasar 4% atau kurang. Tiap hari mencit dewasa makan 3 - 5 gram makanan (Smith 1988). Mencit berkembang biak dalam waktu yang singkat sehingga keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak . Kebanyakan mencit mampu kawin pada umur kurang lebih 5 minggu. Tetapi, biasanya lebih baik kalau mencit tidak dikawinkan sebelum umur 8 minggu. Estrus terjadi kira-kira tiap 4-5 hari, dan segera setelah beranak. Lama bunting biasanya 19-21 hari dan anak-anak dapat disapih pada umur 18-28 hari tetapi biasanya 21 hari (Smith 1988).

Kulit Struktur dan Fungsi Kulit Kulit (Gambar 4) adalah suatu jaringan atau organ yang kompleks , suatu organ yang dinamis dengan berbagai macam sel multiple dengan tipe dan fungsi yang khas. Kulit mempunyai fungsi ganda (multiple function) yang unik sebagai pelindung sel dan jaringan yang lebih dalam dari pengaruh lingkungan, mengatur dan mempertahankan suhu tubuh, sebagai organ neuroreseptor seraya memonitoring rangsanganrangsangan dari lingkungannya, memproses substansi antigenik yang ditugaskan kepadanya, serta sebagai tempat beradanya kelengkapan (appendages) berupa rambut, bulu, struktur keratin, kelenjar keringat, zat tanduk (kuku) yang berfungsi sebagai pelindung, penampilan (appearences) dan menentukan ciri individu (warna, pola, dan sebagainya) (Dharmojono 2002). Histologi Kulit Lapisan Kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan subkutis. Kulit dilengkapi pula oleh derivatnya seperti rambut, serta sistem vaskular dan neural (Dellmann dan Brown 1992). Epidermis Epidermis, merupakan lapis paling luar kulit, berbentuk epitel pipih

banyak lapis berkeratin. Paling sedikit ada empat lapis yang dapat diidentifikasi,

yakni stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum (Dellmann dan Brown 1992). Stratum basale (stratum germinativum) terdiri atas selapis sel kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis pada batas epidermis-dermis dan memisahkan epidermis dari dermis. Stratum spinosum terdiri atas sel-sel kuboid, poligonal, atau agak gepeng dengan inti di tengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen (Junqueira et al. 1998). Stratum Granulosum ditandai oleh tiga sampai lima lapis sel poligonal gepeng dengan sitoplasma yang berisi granula basofilik kasar yang disebut granula keratohialin. Struktur khas lainnya adalah sel-sel stratum granulosum epidermis merupakan granula berlamel, yatu sebuah struktur lonjong atau mirip batang kecil yang mengandung cakram berlamen yang dibentuk oleh lapis-ganda lipid. Stratum lusidum tampak lebih jelas pada kulit tebal, bersifat transluen dan terdiri atas selapis tipis sel eusinofilik sangat gepeng. Stratum korneum terdiri atas sel berkeratin tanpa inti gepeng yang sitoplasmanya dipenuhi skleroprotein filamentosa berpigmen yaitu keratin (Junqueira et al. 1998). Epidermis memiliki empat tipe sel. Paling banyak adalah keratinosit yang bertanggungjawab memproduksi keratin, suatu jenis protein yang sulit larut dan mengisi sel-sel stratum korneum. Tiga tahap aktivitas sel ini adalah, pertama tahap proliferasi dimana sel-sel terletak tepat diatas lamina basalis yang mengalami pembelahan secara mitosis. Kedua adalah tahap pemasakan dimana sel-sel bermigrasi ke arah permukaan dan mengumpulkan filamen keratin (tonofilamen) secara tidak teratur, butir-butir keratohialin akan meningkat jumlahnya setelah sel mencapai permukaan atas epitel. Tahap ketiga adalah tahap inaktif di mana inti sel lenyap, juga filamen keratin dan butir keratohialin bersifat kompak dan memipih (Dellmann dan Brown 1992). Warna pada kulit dan bulu terjadi karena butir melanin yang dihasilkan oleh melanosit. Melanosit adalah sel-sel dendrit. Melanosit akan mensintesis melanin (biochrome) berwarna kuning, merah, dan cokelat berupa polimer besar yang terikat pada protein (Dharmojono 2002). Sel-sel langerhans (sel-sel dendritik agranural) adalah sel-sel imun

epidermis berasal dari sumsum tulang. Mereka mewakili sistem kekebalan paling luar dan berfungsi sebagai penghubung antara lingkungan luar dengan organisme. Sel-sel merkel terdapat dalam epidermis pada elevasi peraba pada banyak spesies. Daerah tersebut terdiri dari epidermis menebal dengan deretan sel epiteloid peraba membalut ujung terminal serabut saraf yang menembus lamina basalis (Dellmann dan Brown 1992). Hubungan antara dermis dan epidermis umumnya halus pada kulit yang dilindungi dengan selimut bulu tebal (Dellmann dan Brown 1992). Hubungan (dermal-epidermal junction) bertindak sebagai penghalang bagi berkembangnya radang dari sel-sel neoplastik di antara dermis dan epidermis (Dharmojono 2002). Dermis Dermis (Corium) terletak di antara epidermis dan jaringan lemak subkutan (Dharmojono 2002). Dermis merupakan serabut kolagen, serabut elastik dan serabut retikuler. Folikel bulu, kelenjar peluh dan palit, pembuluh darah dan limfe, serta saraf tertanam pada kedalaman yang berbeda pada dermis (Dellmann dan Brown 1992). Dermis umumnya dibagi menjadi lapis superfisial (stratum papillare) yang berbatasan dengan lapis dalam (stratum reticulare) tanpa adanya batasan yang jelas. Lapis superfisial langsung berbatasan dengan dengan epidermis dan menyesuaikan diri dengan garis bentuk stratum basale. Terbentuk dari jalinan halus serabut kolagen, serabut retikuler dan elastik, fibrosit, makrofag, sel plasma, dan sel mast. Seringkali kromatofor (melanosit) dan sel lemak terdapat didalamnya (Dellmann dan Brown 1992). Subkutis Subkutis (tela subcutanea) berupa lapis jaringan ikat longgar yang mempertautkan kulit dengan otot dan tulang dibawahnya. Jaringan serabut kolagen dan elastik yang longgar memungkinkan fleksibilitas kulit serta gerakan bebas di sekitar daerah tersebut. Jaringan lemak sering terdapat di daerah tersebut, dapat berupa sel-sel lemak individu atau sel-sel lemak besar yang biasa disebut panikulus adiposus (Dellmann dan Brown 1992).

Rambut Menurut Junqueira et al (1998), rambut adalah struktur berkeratin

panjang berasal dari invaginasi epitel epidermis. Setiap rambut berkembang dari sebuah invaginasi epidermal, yaitu folikel rambut, yang selama pertumbuhannya mempunyai pelebaran pada bagian ujung yang disebut bulbus rambut. Pada dasar bulbus rambut dapat dilihat papila dermis. Papila dermis memiliki jalinan kapiler yang vital bagi kelangsungan hidup folikel rambut. Hilangnya aliran darah atau vitalitas papila dermis akan mengakibatkan matinya folikel. Sel epidermis yang menutupi papila dermis membentuk akar rambut yang menghasilkan dan berhubungan langsung dengan batang rambut yang menonjol di atas kulit. Inervasi dan Vaskularisasi Kulit mendapatkan vaskularisasi dari tiga pleksus yang dilepaskan oleh arteri kutanea. Pleksus profundus atau pleksus subkutaneus akan melepaskan pleksus medius, yang selanjutnya akan membentuk cabang yang membentuk pleksus superfisialis atau pleksus subpapilaris. Sebaliknya berlaku untuk pengembalian vena balik ke vena kutaneus. Dengan susunan demikian, semua komponen kulit dijamin mendapatkan darah secara sempurna. Pleksus superfisialis juga mendapatkan lengkung kapiler yang menjulur ke dalam papil dermis (Dellmann dan Brown 1992). Inervasi kulit bervariasi pada bagian tubuh berbeda. Tali saraf subkutaneus membentuk fleksus saraf yang menyelimuti dermis, menginervasi kelenjar, otot dan bulu, juga mengirim cabang menuju epidermis. Serabut saraf berakhir dalam berbagai bentuk ujung saraf yakni, ujung saraf bebas dalam epidermis, atau ujung saraf yang berselubung maupun tidak berselubung (Dellmann dan Brown 1992).

Gambar 4 Struktur skematis kulit (Sumber: Yahya. 2008) Fitokimia Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia memberikan aroma khas, rasa dan warna tertentu bagi tanaman dalam berintegrasi dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan, diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia 2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat antara lain sebagai berikut : 1. Alkaloid Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumnya terdapat sebagai garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air, etanol) (Voight1994) . 2. Flavonoid Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya

akan berubah jika ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987). 3. Tanin Tanin dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk suatu polimer mantap yang tidak dapat bereaksi dengan air (Harborne 1987). 4. Kuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksiliasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol terwarna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). 5. Saponin Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol telah terdeteksi dari 90 tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah (Harborne 1987).

Kurkuminoid Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberikan warna, dan zat ini digunakan baik dalam industri pangan maupun kosmetik. Salah satu fraksi yang terdapat dalam kurkuminoid adalah kurkumin ( Sembiring et al. 2006). Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan juga antiinflamasi. Selain itu kurkumin juga diyakini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosisi sel kanker. Bahan warna kurkumin dapat juga digunakan untuk memecah penggumpalan darah di otak seperti yang terjadi pada pasien penyakit alzheimer (Dheni 2007). Menurut Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2,38 % per 100 gram kunyit.

Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Secara kimia, kurkumin dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5 Struktur kimia kurkumin (Sumber: Best 2008)

Etanol Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar). Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Houghton dan Raman 1998).

Ekstraksi Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan. Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi amat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979). Prosedur klasik ekstraksi untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan menggunakan alat soxlet dengan menggunakan sederetan pelarut secara berganti-

ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk memisahkan lipid dan terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat untuk senyawa yang lebih polar. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dengan penguap putar yang akan menguapkan larutan menjadi volume kecil. (Harborn 1987). Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) metode ekstraksi dibagi kedalam 5 cara, yaitu: 1. Maserasi Maserasi adalah cara ekstraksi paling sederhana. Proses maserasi adalah proses menyatukan bahan yang telah dihaluskan dengan bahan ekstraksi. Waktu maserasi, semua farmakope mencantumkan 4-10 hari. Setelah waktu itu, sebaiknya ditetapkan suatu keseimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan, dengan demikian difusi akan berakhir. Melalui usaha ini diharapkan akan terjadi keseimbangan konsentrasi simplisia yang lebih cepat ke dalam cairan. Sedangkan keadaan diam saat maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight 1994). Metode ekstraksi maserasi memiliki kelebihan karena pengerjaan dan alat yang dipakai sederhana. Tetapi proses ekstraksi dengan metode ini membutuhkan waktu yang relatif lama, serta hasil ekstraksi yang kurang sempurna (Yuliani dan Sofyan 2003). 2. Metode Perkolasi Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam perkolator, dan ditutup selama 24 jam setelah itu biarkan menetes sedikit demi sedikit. Kemudian ditambahkan larutan pencuci secara berulang-ulang hingga terdapat selapis cairan pencuci. Perkolat yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 3. Digesti Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 4. Infusi

Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia pada suhu 90C dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 5. Dekoksi Metode yang digunakan sama dengan metode infusi hanya saja waktu pemanasannya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Farmakope Indonesia 1979). Menurut Ansel (1989), salep merupakan sediaan dermatolologi yang paling sering dipakai. Sediaan topikal dapat digunakan untuk perlindungan setempat (lokal) atau dengan alasan terapeutik (Blodinger 1994). Menurut Farmakope Indonesia (1979), bahan obat dalam pembuatan salep harus dapat larut/terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Pemilihan dasar salep harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabil secara fisik dan kimia, warna dan bau stabil selama penyimpanan / pemakaian, dapat dicampur dengan semua obat, teksturnya halus dan licin sehingga mudah dioles pada kulit. Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi perkutan dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar salep dalam jangka waktu lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar salep (Ansel 1989). Salep merupakan sediaan yang digunakan secara topikal. Salep, baik salep penutup maupun pelindung berguna untuk melindungi kulit dari kerja yang merusak. Salep diharapkan mampu melakukan penetrasi sampai ke dalam lapisan

kulit teratas dan dapat memberikan efek penyembuhan untuk menangani luka maupun penyekit kulit lainnya tang bersifat akut ataupun kronis (Ansel 1989).

Persembuhan Luka Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya. (Vegad 1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi menjadi dua macam. Luka paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani sendiri oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu disebut persembuhan primer atau healty by first intention (Price dan Wilson 1992). Pola kedua adalah penyembuhan luka terjadi jika kulit yang mengalami luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Keadaan ini disebut sebagai healing by second intention atau terkadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Luka seperti ini biasanya menimbulkan jaringan parut dan memerlukan waktu yang lama dalam proses persembuhannya (Price dan Wilson 1992). Menurut Nayak dan Pereira (2006), persembuhan luka merupakan suatu proses untuk memperbaiki kulit dan jaringan lunak setelah terjadinya proses perlukaan. Setelah perlukaan terjadi akan diikuti dengan reaksi peradangan pada daerah dermis yang diikuti penurunan produksi jaringan ikat kolagen. Kemudian akan terjadi regeneresi dari sel epitel. Oleh karena itu, proses persembuhan luka umumnya terdiri atas tiga fase yaitu, proses peradangan, fase proliferasi, serta remodeling atau fase maturasi (Singer dan Clark 1999). Fase Peradangan ( Fase Inflamasi) Peradangan adalah reaksi universal dari kerusakan jaringan karena terjadinya trauma mekanis, nekrosa jaringan, dan terjadinya infeksi (Price dan Wilson 1992). Pada fase inflamasi terjadi respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak (Tawi 2008 ; Vegad 1995). Pada awal fase ini, luka yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah

akan menyebabkan keluarnya darah (Spector dan Spector 1993). Menurut Tawi (2008), kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris, local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin, serotonin, dan sitokin. Sitokin terdiri dari Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateledderived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) . Keberadaan sitokin akan mempercepat kehadiran makrofag dan monosit (Singer dan Clarc 1999). Sementara histamin, selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis (Tawi 2008). Oedema yang terjadi akan mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah luka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Sel makrofag berfungsi untuk fagositosis, mensintesa kolagen, membentuk jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi, serta membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis (Tawi 2008) Setelah luka bersih dari infeksi dan bakteri serta terbentuknya makrofag, dan fibroblas, dapat dikatakan bahwa fase inflamasi telah terjadi. Fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya perlukaan (Tawi 2008).

Fase Proliferasi Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini

adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang mengalami perlukaan, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Singer dan Clark 1999). Kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008). Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut, disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respon yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, serta kontraksi luka (Tawi 2008). Angiogenesis merupakan proses komplek pembentukan pembuluh proliferasi kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap

persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (grawth factors) (Tawi 2008).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblas yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan dengan luka biasa (Tawi 2008). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk (Anonim 2003). Fase Maturasi Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Selain teejadi pembentukan kolagen baru, enzim kolagenase akan mengubah kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling) (Singer dan Clark 1999). Menurut Tawi (2008) luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu melakukan aktivitas yang normal. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peradangan Dan Penyembuhan Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, nutrisi, infeksi, sirkulasi dan oksigenasi, keadaan luka dan obat (Drakbar 2008). Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering

terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Drakbar 2008). Menurut Drakbar (2008) proses penyembuhan membuat tubuh bekerja lebih keras, sehingga penderita memerlukan waktu lebih lama memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, untuk persembuhan, karena mereka harus lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Penderita kurang nutrisi memperbaiki status nutrisi mereka terlebih dahulu baru melakukan proses persembuhan. Sedangkan pada penderita yang nutrisinya berlebih (gemuk) infeksi luka akan memerlukan waktu penyembuhan yang lama karena suplai darah jaringan adipose tidak merata. Penggunaan obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama juga dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka (Drakbar 2008). Penyembuhan luka juga terganggu oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik pada luka yang menyebabkan infeksi jaringan, sehingga persembuhan luka lebih lama (Price dan Wilson 1992). Faktor lain yang mempengaruhi proses persembuhan luka adalah proses sirkulasi dan oksigenisasi. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak pada orang-orang yang gemuk membuat penyembuhan luka lambat. Hal ini dikarenakan pada jaringan lemak jumlah pembuluh darah sedikit, sehingga jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus aliran darah terganggu sehingga persembuhan luka terhambat. Begitupula pada penderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok, oksigenasi jaringan menurun sehingga prosesnya lebih lama dibandingkan pada orang yang sehat (Drakbar 2008). Menurut Price dan Wilson (1992), hal lain yang dapat mempengaruhi proses persembuhan luka adalah pemakaiaan obat-obatan tertentu seperti penderita yang mengkonsumsi sediaan kortikosteroid dalam dosis tinggi ataupun obat antiinflamasi, seperti steroid dan aspirin yang membuat proses persembuhan luka akan terhambat.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi, dan Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2007- April 2008.

Bahan dan Alat Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino jantan sebanyak 45 ekor umur 8 minggu dengan berat badan 20-40 gram. Mencit dipelihara dalam kotak plastik berukuran 20 X 30 cm. Pada sisi atas kotak ditutup dengan kawat kasa agar mencit tidak lepas, namun udara tetap bersirkulasi. Pada bagian dasar diberi serbuk gergaji atau sekam untuk menjaga suhu tetap optimal. Mencit diberi pakan pelet dan minum ad libitum. Bahan Bahan yang digunakan antara lain rimpang kunyit berumur 9 bulan yang diperoleh dari Balitro dan telah diidentifikasi di Herbarium LIPI Bogorience. Kemudian rimpang kunyit tersebut diolah menjadi simplisia rimpang kunyit. Bahan lainnya antara lain etanol 96%, eter, larutan Netral Buffer Formalin (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, dan kapas serta vaselin kuning untuk pembuatan salep. Obat komersil yang digunakan mengandung ekstrak plasenta 0.5%, neomycin sulfate 5% dan jelly base. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan 100%), larutan Lithium Carbonat, Aquades, Asam Asetat 1%, larutan Mordant, larutan Carrazis Hematoxylin, larutan Orange G 0,75% larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, Larutan Phosphotungstic acid 2,5%, Anilin Blue, dan parafin.

Alat Alat-alat yang digunakan antara lain toples, kandang mencit, pisau bedah untuk mendapatkan sediaan kulit, peralatan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu tissue processor, mikrotom, penangas air, gelas objek dan gelas penutup. Mikroskop cahaya dan mikroskop video mikrometer untuk pengamatan histopatologi. Sedangkan, alat-alat untuk ektraksi rimpang kunyit adalah maserator, evaporator, gelas elenmayer 100 ml, dan oven untuk pengeringan.

Tahapan Penelitian Ekstraksi rimpang kunyit Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Metode ini dilakukan dengan cara serbuk kunyit (simplisia) yang didapatkan dari rimpang kunyit 9 bulan, dengan dimasukkan ke dalam wadah, setelah itu ditambahkan pelarut etanol melakukan pengadukan secara berkala. Setelah itu dilakukan (alkohol 96%) dengan perbandingan 10 : 1. Kemudian direndam selama 24 jam penampungan filtrat. Ampas yang didapatkan dari penyaringan kemudian direndam kembali dengan menggunakan etanol 96%. Prosedur ini dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah filtrat didapatkan maka dilakukanlah evaporasi dengan menggunakan evaporator hingga dihasilkan ekstrak semi padat etanol rimpang kunyit. Kemudian keringkan dalam oven bersuhu 40 C hingga didapatkan ekstrak kental etanol rimpang kunyit.

Rimpang Kunyit Serbuk Halus

Simplisia Kunyit Maserasi Etanol 96%

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak Semi Padat Panaskan (Oven)

Ekstrak Kental

Gambar 6. Penapisan Fitokimia

: Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol

Metode fitokimia dilakukan untuk menganalisis senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit yang dapat berguna dalam membantu proses persembuhan luka. Dalam metode ini senyawa yang dianalisis keberadaannya adalah senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, dan senyawa kuinon. a. Senyawa Alkaloid Serbuk simplisia dibebaskan dengan amonia, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida (HCl) 2N. Campuran dikocok

kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer, setelah itu amati adanya endapan atau kekeruhan yang terjadi. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna putih berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff. Terjadinya endapan jingga b. kuning atau kekeruhan kemungkinan simplisia tersebut mengandung Senyawa Polifenolat Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna hijau-biru hitam hingga hitam. c. Senyawa Tanin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air, kemudian disaring. Setelah itu kedalam filtrat ditambahkan larutan larutan pereaksi besi (III) klorida sehingga terjadi warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih. d. Senyawa Flavonoid Simplisia dipanaskan dengan campuran Magnesium (Mg) dan asam klorida (HCl) 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. e. Senyawa kuinon Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air, kemudian disaring. Kedalam filtrat ditambahkan larutan KOH 5%. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah. f. Senyawa Saponin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi dikocok kuat-kuat selama kurang lebih 30 detik. Pembentukkan busa sekurangkurangnya setinggi 1 cm dan persisten hilang selama beberapa menit serta tidak alkaloid. Bagian ketiga digunakan sebagai blanko.

hilang pada penambahan

tetes demi tetes asam klorida encer menunjukkan

adanya saponin dalam simplisia. Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit. Ekstrak kental etanol kunyit yang telah dihasilkan kemudian ditimbang dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. dilakukan homogenisasi hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah itu disimpan dalam tabung dan diberi label. Mencit Untuk Perlakuan Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor dan dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan; 1) kontrol negatif, yaitu kelompok mencit yang dilukai namun tidak diberikan pengobatan, 2) kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang diberikan salep neomycin sulfat 5%, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberikan sediaan salep ekstrak etanol kunyit. Perlukaan Pada Mencit Sebelum melakukan perlukaan, rambut di sekitar punggung mencit dicukur. Sebelum disayat kulit mencit diulas dahulu dengan menggunakan alkohol 70%. Mencit diberi anastesia perinhalasi dengan eter, kemudian dilakukan penyayatan pada punggung mencit sepanjang satu centimeter sejajar os. Vertebrae dengan menggunakan pisau bedah steril. Aplikasi Obat Aplikasi obat luka komersil yang mengandung neomicin sulfat 5%, plasenta, dan jelly base, dilakukan dengan mengoleskan obat pada luka dengan menggunakan cotton buds. Begitupula dengan aplikasi obat luka salep ekstrak etanol rimpang kunyit dilakukan dengan cara yang sama. Aplikasi sediaan obat tersebut dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca perlukaan.

Pengamatan patologi Anatomi Mencit perlakuan dan mencit kontrol diamati setiap hari khususnya pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 setelah perlukaan. Pengamatan patologi anatomi dilakukan terhadap mencit perlakuan dan mencit kontrol menggunakan metode deskriptif dengan membandingkan proses persembuhan yang terjadi parameter yang diamati adalah menyempitnya luka, panjang luka, keringnya luka, warna luka, keberadaan rambut, dan keberadaan keropeng. Pengambilan sampel kulit Sampel kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 paska perlukaan setelah mencit dieuthanasi dengan menggunakkan eter dosis berlebih perinhalasi. Daerah punggung yang diambil kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh. Kemudian kulit disekitar luka dipotong dengan ukuran 1.5 cm (sentimeter) dengan menggunakan skapel yang telah disterilkan terlebih dahulu. Kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral Formaline) 10 % selama 48 jam. Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi Potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tisue dan didehidrasi dengan cara merendam sediaan secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xylol I, xylol II, parafin I, dan terakhir ke dalam parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama 2 jam untuk masing-masing sediaan. Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair . Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air hangat 45 C dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan pada pita akibat pemotongan. Setelah itu sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah

diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Kemudian preparat dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 60C. Selanjutnya dilakukan pewarnaan umum Haematoxylin Eosin dan pewarnaan khusus Masson Trichrome. Pembuatan sediaan Haematoxilin Eosin (HE) Sediaan histopatologi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam xylol dua kali selama dua menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80 % dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan. Setelah sediaan kering kemudian diberi pewarna Mayers Hemaktosilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Pewarna Eosin yang berlebihan dihilangkan dengan cara mencuci sediaan pada air yang mengalir, setelah itu sediaan dikeringkan. Kemudiaan sediaan dicelupkan ke dalan alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celipan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama I menit, dan xylol II selama 2 menit. Sediaan lalu dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan gelas penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekatnya mengering. Preparat siap untuk diamati dibawah mikroskop cahaya. Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT) Sediaan histopatologi dideparafinasi dan rehidrasi hingga pencucian dengan air dan akuades dilakukan terlebih dahulu sebelum diwarnai. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dicuci dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazis Hematoksilin selama 40 menit dan dicuci dengan akuades. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0.75 % selama 1 sampai 2 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dengan cara menggoyangnya sebentar. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine

Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Phosphotungstic Acid selama 10 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dan terakhir dimasukkan ke dalam alkohol 95 %. Berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke dalam Anilin Blue selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama tiga menit. Sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup. Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan, 21 dengan menghitung sel jaringan ikat kolagen. Pengamatan terhadap jumlah sel polimorfonuklear menggunakan mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan videophoto dalam 10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450m2. Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDRA IV-560 dengan perbesaran objektif empat kali. Ketebalan dan luasan jaringan ikat dilihat dengan menggunakan preparat yang memakai pewarnaan Masson Trichrome. Presentase reepitelisasi dan jaringan ikat menggunakan video micrometer JVC, Japan dengan perbesaran objektif empat kali. Perhitungan panjang jaringan ikat kolagen dan reepitelisasi ditentukan dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer dengan perbesaran 180x, yaitu 200 m menjadi 3,6 cm. 200m X 180x = 3.6 x 104 m = 3.6 cm Kemudian dibuatlah pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan kertas plastik (Gambar 7) . Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada monitor video micrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan polimorfonuklear (Netrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan

ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil dari tengah bagian luka.

Gambar 7.

Metode penentuan luasan jaringan ikat pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke 14. Jaringan ikat terlihat berwarna biru pada sediaan Masson Trichrome.Pada tampilan gambar video mikrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiap sisinya berukuran 200m.

Jaringan ikat yang tampak pada video micrometer ditentukan dengan ketetapan sebagai berikut:

Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai luasan Perhitungan presentase jaringan ikat ditentukan dengan menggunakan rumus:

Luas jaringan ikat kolagen yang terbentuk Luas luka

X 100%

Sedangkan untuk presentase reepitelisasi ditentukan dengan rumus:

Luas luka yang telah ditutupi epitel Luas luka Analisis Data

X 100%

Hasil pengamatan patologi anatomi diuji secara deskriptif. Hasil pengamatan histopatologi berupa data banyaknya jumlah sel polimorfonuklear, neovaskularisasi, persentase luasan jaringan ikat kolagen, dan presentase reepitelisasi. Selanjutnya data diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk mengetahui hasil yang diperoleh berbeda secara nyata atau tidak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia Hasil pengamatan penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa pada kunyit yang dapat tertarik oleh pelarut etanol yang disajikan pada Tabel 1. Senyawa-senyawa yang dilakukan pengujian adalah alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, serta kuinon. Etanol yang merupakan pelarut polar hanya dapat menarik senyawa-senyawa yang juga bersifat polar (Houghton dan Raman 1998). Tabel 1 Hasil penapisan fitokimia ekstraksi rimpang kunyit etanol Pelarut Etanol Alkaloid + Flavonoid Tanin dan Polifenol Saponin Kuinon + Keterangan : ( + ) Etanol dapat menarik senyawa tersebut ( - ) Etanol tidak dapat menarik senyawa tersebut Berdasarkan penapisan fitokimia yang dilakukan, senyawa yang dapat tertarik dari proses ekstraksi rimpang kunyit memakai pelarut etanol adalah alkaloid dan kuinon. Alkaloid merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloid sering kali bersifat racun bagi manusia dan banyak memiliki kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga sering digunakan secara luas pada bidang pengobatan (Harborne 1987). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi adapula yang berguna bagi pengobatan. Misalnya adalah morfin, dan striknin yang terkenal memiliki efek fisiologis dan psikologis (Leny 2006). Keberadaan alkaloid pada ekstrak etanol rimpang kunyit memiliki peran menenangkan penderita luka sehingga dapat mengurangi rasa sakit. Kuinon adalah senyawa berwarna (Harborne 1987). Menurut Robinson (1995), kuinon berperan sebagai anti bakteri dan sebagai pewarna. Pada persembuhan luka, kuinon berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan. Senyawa dalam kunyit dengan pelarut

Patologi Anatomi Hasil pengamatan persembuhan luka berdasarkan gambaran patologi anatomi (PA) pada mencit kontrol positif yang diberi sediaan neomicin sulfat 5%, kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan apapun, serta mencit yang diberikan sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit, disajikan dalam Tabel 2 . Tabel 2. Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencit kontrol negatif dan mencit perlakuan dengan neomycin sulfat 5% dan ekstrak rimpang kunyit etanol
Kontrol Negatif Panjang luka 1.5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1.36 cm, luka basah, merah dan terbuka Luka mulai mengering dan menutup, kulit berwarna merah agak pucat Panjang luka 1,20 cm, luka kering dan berwarna merah pucat Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Luka semakin menutup, panjang luka 1,07 cm Luka hampir menutup Luka semakin mengecil Luka semakin mengecil Luka tertutup Luka telah menutup sempurna Terlihat adanya bekas luka Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat sedikit bekas luka, mulai tertutupi rambut Kontrol Positif Panjang luka 1.5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1.3 cm, luka masih terbuka dan mulai mengering Luka mengering dan masih terbuka dan berwarna merah pucat Luka menutup dan kering. Panjang luka 1 cm. Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras Luka mengecil, panjang luka 0,27 cm. Luka semakin mengecil Luka telah menutup Luka telah tertutup Luka telah menutup semputna Luka menutup sempurna, terlihat adanya bekas luka Terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat bekas luka dan ditumbuhi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat, dan ditutupi rambut baru Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit panjang luka 1.5 cm , basah dan merah Luka terbuka, panjang luka 1.3 cm, pinggiran mengering dan mengeras Luka terbuka, pinggiran mengering dan mengeras Luka mengering, belum menutup, panjang luka 1.3 cm Luka menutup namun masih terdapat keropeng Luka menutup namun masih terdapat keropeng Luka menutup panjang luka 0.98 cm, masih terdapat keropeng. Luka menutup namun masih terdapat keropeng Luka menutup namun masih terdapat keropeng Luka menutup Luka menutup sempurna Luka tertutup, masih terlihat bekas luka. Terlihat adanya bekas luka Luka menutup sempurna mulai ditutupi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat, ditutupi rambut baru Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru

Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-21

Pengamatan secara patologi anatomi, memperlihatkan bahwa pada hari

pertama dan kedua keadaan luka pada kulit masih terbuka dan memperlihatkan warna kemerahan baik pada kontrol positf, negatif maupun pelakuan dengan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Menurut Spector and Spector (1993), kulit yang tersayat akan kehilangan retraksinya dan membuat celah yang terbuka. Cedera yang mendadak membuat perubahan dalam pembuluh darah kecil yang menyusun reaksi inflamasi akut. Segera setelah terjadinya luka , akan terjadi konstriksi singkat arteriola yang diikuti dengan dilatasi berkepanjangan. Hal ini menyebabkan menjadi merahnya anyaman kapiler darah dan membukanya saluran kapiler yang tidak aktif, selain itu terjadi pula dilatasi vena dan pembuluh limfe. Keadaan ini memungkinkan darah mengalir ke dalam miikrosirkulasi lokal. Kapiler yang awalnya kosong atu sedikit meregang kini mulai terisi dengan darah secara cepat (Price dan Wilson 1992). Hal ini yang menyebabkan luka pada hari ke-1 dan ke-2 menunjukan warna kemerahan atau hiperemi. Pada hari pertama baik kontrol positif, kontrol negatif, maupun luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit masih dalam keadaan basah. Menurut Spector and Spector (1993), hal ini terjadi karena seiring dengan percepatan pergerakan cairan yang cepat melalui dinding pembuluh darah ke jaringan peradangan, memungkinkan molekul-molekul kecil lewat. Akan tetapi hal ini menahan protein-protein besar seperti protein plasma tetap berada dalam pembuluh darah. Sifat pembuluh darah yang permeable akan menimbulkan tekanan osmotik yang cenderung menahan cairan di dalam pembuluh darah dengan melawan tekanan hidrostatik. Pada kasus inflamasi, tekanan hidrostatik dalam darah meningkat sehingga mengganggu keseimbangan dan menyebabkan banyak air meninggalkan darah menuju jaringan. Hal ini akhirnya mengganggu pula sistem limfatik yang kemudian memindahkan cairan yang mencapai celah jaringan keluar menuju jaringan, untuk mempertahankan kesetaraan secara normal. Pergeseran cairan pada saat luka terjadi sangat cepat, sehingga eksudat pada masa peradangan mengandung protein plasma yang sangat signifikan. Pada peradangan akut terjadi perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil di daerah tersebut yang menyebabkan kebocoran protein. Proses ini kemudian diikuti oleh pergeseran keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama

protein, menimbulkan pembengkakan. Hal ini yang menyebabkan bertambahnya jumlah cairan secara abnormal di kompartemen ekstrasel (Spector dan Spector 1993). Sehingga pada patologi anatomi terlihat adanya udema ditunjukkan dengan keadaan basah di sekitar luka dan terjadi pembengkakan. Pada hari ke- 4 (Gambar 8) kondisi luka sudah mulai menutup pada ketiga perlakuan hal ini terjadi karena telah terjadinya proliferasi dari sel. Pada saat ini peran fibroblas sangat penting dalam proses persembuhan luka. Fibroblas bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan pada konstruksi jaringan (Tawi 2008). Perbaikan dari sistem sirkulasi menyebabkan tekaan hidrostatik seimbang menyebabkan luka mulai mengering dan oedema berkurang. Pada hari ke-14 dan ke-21 luka sudah menutup sempurna. Pada saat ini fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Hal ini menyebabkan luka pada ketiga kelompok sembuh, ditandai dengan mulai menghilangnya jaringan parut .

Gambar 8. Gambaran patologi anatomis luka hari ke-4 pada mencit kelompok kontrol negatif (A), kelompok kontrol positif (B), serta kelompok perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (C).

Hasil Pengamatan Histopatologi Sel Polimorfonuklear Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel polimorfonuklear,

akan ditunjukan pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Rataan jumlah relatif mikroskopis Salep Ekstrak Etanol Hari keKontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit 2 9.014.40 a 15.715.24 a 6.872.93a 4 4.071.09 a 3.701.29 a 5.271.57a 7 14.500.00 a 10.582.99 a 11.701.81a a a 14 0.831.44 3.002.00 1.330.58a 21 0.000.00 a 0.000.00a 0.000.00a Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05) Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan nyata (P>0.05) dari jumlah rataan sel netrofil untuk tiap kelompok (Tabel 3). Pada hari ke-2 diketahui bahwa sel polimorfonuklear (netrofil) telah hadir pada jaringan luka di setiap perlakuan. Menurut Price dan Wilson (1992), pada awal peradangan akut, aliran darah ke daerah yang meradang meningkat. Permeabilitas yang meningkat mengakibatkan cairan darah bocor keluar dari mikrosirkulasi, menyebabkan unsur-unsur darah dalam jumlah banyak (eritrosit, trombosit dan leukosit) tetap tertinggal sehingga viskositas darah meningkat mengakibatkan aliran darah di daerah luka melambat. Ketika viskositas darah meningkat dan aliran darah melambat, leukosit mulai mengalami marginasi, yaitu bergerak ke arah perifer di sepanjang lapisan pembuluh darah menuju ke daerah luka. Netrofil adalah leukosit yang pertama hadir pada proses persembuhan luka. Setelah terjadinya perlukaan sel-sel netrofil akan mengilfiltrasi jaringan luka dan terakumulasi pada benang-bengang fibrin. Benang-benang fibrin merupakan hasil dari polimerasi fibrinogen di jaringan ekstravaskular. Benang-benang fibrin ini akan mengisolasi jaringan perlukaan agar tidak mengakibatkan hal yang buruk bagi jaringan disekitarnya (McGavin dan Zachari 2007). sel polimorfonuklear pada pemeriksaan

Gambar 9.

Sel radang netrofil yang mengilfiltrasi jaringan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpamg kunyit pada hari ke 7. Pewarnaan HE. Bar: 20 m

Netrofil (Gambar 9) merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah luka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Keberadaan makrofag menjadi prasyarat terjadinya proses persembuhan. Keberadaan netrofil sudah terlihat pada awal perlukaan (Tabel 2). Netrofil sudah muncul pada hari ke-2 pada ketiga kelompok baik kontrol positif, negatif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Jumlah netrofil tertinggi pada kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit terjadi pada hari ke-7, sedangkan kelompok kontrol negatif jumlah netrofil tertinggi terjadi pada hari ke-2. Pada hari ke -14

kelompok kontrol positif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Penurunan jumlah netrofil pada kontrol positif dan dengan menggunaka sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit, dapat disebabkan karena adanya zat anti inflamasi yaitu neoimicin sulfat 5% pada kontrol positif, sedangkan pada sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa kuinon yang berfungsi sebagai anti mikrobial (Robinson 1995). Jika dibandingkan ketiga perlakuan bahwa baik kontrol positif, kontrol terlihat negatif, maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit

pada hari pertama kontrol positf dan perlakuan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit memperlihatkan jumlah netrofil yang rendah di hari pertama dan hari ke-4, namun kemudian meningkat pada hari ke-7 dan turun secara signifikan pada hari ke -14 dan 21. Sedangkan pada kontrol negatif jumlah netrofil tertinggi justru terjadi pada hari pertama, sedangkan jumlah netrofil dari hari ke-7 menuju hari ke-14 penurunan jumlah netrofil tidak sebesar pada kelompok kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear disajikan pada grafik pada Gambar 10 berikut ini :
Jumlah Sel Polimorfonuklear 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2 4 7 14 21 Hari KeKontrol Positif

Kontrol Negatif

Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit

Gambar 10.

Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada proses persembuhan luka

Neovaskularisasi Menurut Singer dan Clark (1999) pembentukan pembuluh darah baru memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka. Hasil pengamatan mikroskopis jumlah relatif rataan neovaskularisasi, akan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada pemeriksaan mikroskopis Salep Ekstrak Etanol Hari Kontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit a a 2 0.000.00 0.000.00 0.000.00 a 4 0.330.58 a 0.000.00 a 0.000.00 a a b 0.671.15 1.670.58 b 7 8.001.73 14 6.332.52 a 5.001.00 a 6.671.15 a a b 6.001.00 1.671.53 a 21 0.000.00 Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05) Pada hari ke-2 maupun hari ke-4 terlihat ketiga perlakuan baik kontrol positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit tidak memperlihatkan perbedaan nyata (P>0.05) (Tabel 4) .Pada hari ke-2 belum terlihat munculnya neovaskularisasi pada ketiga kelompok. Hari keempat mulai terbentuk pembuluh darah baru pada kontrol positif, meskipun jumlahnya relatif masih sedikit. Pada hari ke-7 terjadi perbedaan nyata (P<0.05) antara kontrol positif dengan kontrol negatif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (Tabel 4). Menurut Martin (1997), keberadaan memicu pertumbuhan neovaskularisasi (Gambar 11). makrofag yang mengeluarkan FGF2 dan vaskular endotelial growth faktor (VEGF) akhirnya Menurut Spector dan Spector (1993) Pembuluh darah baru mulai terlihat tanda-tandanya dalam satu minggu. Pembuluh darah baru tumbuh ke dalam luka sebagai pita padat dari selsel endotel yang tumbuh ke luar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi luka. Kuncup endotel yang terbentuk kemudian mengalami mitosis dan membentuk simpai serta lengkungan. Pita endotel padat kemudian berkembang menjadi saluran dalam beberapa jam dan darah mulai mengalir. Proses mengalirnya kembali darah menjadi amat penting dalam proses persembuhan

luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terjadi keadaan hipoksia (Singer dan Clark 1999). Pada hari ke-14 ketiga perlakukan kembali tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Menurut Spector dan Spector (1993), setelah dua minggu arteriola yang baru sudah mulai terbentuk dan memberikan suplai bagi saraf vasomotorik. Pada hari ke-21 terlihat terjadi perbedaan nyata (P<0.05) antara kontrol negatif dengan kontrol positif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol kunyit (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa kontrol positif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil yang lebih baik daripada kontrol negatif. Hal ini terjadi kemungkinan karena fase peradangan yang lebih cepat pada kontrol positif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit sehingga memberikan hasil yang lebih baik daripada kontrol negatif.

Gambar 11 Neovaskularisasi yang yang terbentuk pada jaringan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke 14. Pewarnaan Masson Trichrome. Bar: 20 m

Apabila dibandingkan antara ketiga perlakuan (Gambar 12), terlihat bahwa kontrol positif mulai membentuk neovaskularisasai pada hari ke-4 berbeda dengan kontrol negatif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit yang baru membentuk neovaskularisasi pada hari ke-7. Pada kontrol positif puncak jumlah neovaskularisasi terjadi pada hari ke-7 sedangkan pada kelompok negatif maupun perlakuan dengan ekstrak etanol kunyit jumlah pembentukan neovaskularisasi tertinggi terjadi pada hari ke-14. Pada hari ke-21 terlihat penurunan jumlah neovaskularisasi pada kontrol positif dan perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat menggambarkan persembuhan luka yang relatif lebih cepat pada kontrol positif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Terjadinya keadaan seperti ini kemungkinan karena pada hari ke-14 dan 21 makrofag telah memfagositosis reruntuhan sel, terbukti dengan jumlah netrofil yang menurun pada kontrol positif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke- 14 dan 21, sedangkan kontrol negatif pada hari yang sama jumlah netrofilnya masih relatif lebih tinggi daripada yang lain. Fagositosit oleh makrofag inilah yang memicu pembentukan pembuluh darah baru (Spector dan Spector 1993).

Junlah Neovaskular

10 8 6 4 2 0 2 4 7 14 21 Hari Ke-

Kontrol Positif

Kontrol Negatif

Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit


proses

Gambar 12. Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi pada persembuhan luka

Reepitelisasi Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi dan terstruktur. Reepitelisasi pada kulit dicapai dengan meningkatkan aktivitas mitosis epitel di tepi luka (Spector dan Spector 1995). Hasil pengamatan mikroskopis mengenai gambaran reepitelisasi pada ketiga perlakuan ditunjukkan pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Persentase (%) reepitelisasi pada pemeriksaan mikroskopis Salep Ekstrak Etanol Hari Ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit a a 2 33.3333.35 44.4319.28 55.5719.28 a a a 4 33.3333.35 33.3333.35 22.2019.23 a 7 77.8019.23 a 77.8019.23 a 44.4738.51 a 14 66.6757.74 a 88.9019.23 a 77.7738.51 a 21 100.000.00 a 100.000.00 a 100.000.00 a Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05) Pada proses reepitelisasi terjadi migrasi dan proliferasi dari fibroblas yang akam mengeluarkan keranocyte growth factor, citokin dan reseptor yang akan memproduksi metalloprotein matiks dan inhibitor. Matriks ekstraselular kemudian akan mensintesis fibronectins, vitronectin, dan kolagen (Middelkoop 2005). Menurut Tawi (2008) keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan dengan luka biasa. Reepitelisasi (Gambar 13) pada ketiga perlakuan telah terjadi semenjak hari ke-2. Secara statistik ketiga perlakuan tersebut tidak memperlihatkan perbedaan nyata (P>0.05) (tabel 5). Menurut Price dan Wilson (1992), beberapa

hari

setelah perlukaan epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan

regenerasi, kemudian lapisan epitel yang tipis akan bermigrasi menuju permukaan atas luka. Setelah itu epitel akan menjadi matang sehingga menyerupai kulit di bawahnya.

Gambar 13.

Reepitelisasi persembuhan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke-14 dengan menggunakan pewarnaan Masson Trichrome. Bar: 200 m

Setiap hari pengamatan ketiga perlakuan masih menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat pada kontrol positif yang mengandung neomicin sulfat 5% maupun kandungan dalam salep ekstrak etanol rimpang kunyit tidak memberikan pengaruh pada proses reepitelisasi persembuhan luka. Apabila kita membandingkan ketiga perlakuan, kontrol positif dan kontrol negatif memberikan hasil yang lebih baik pada hari ke-7 dibandingkan perlakuan pemberian salep etanol rimpang kunyit (Gambar 13). Hal tersebut juga didukung dari data patologi anatomi bahwa pada perlakuan pemberian salep ekstrak kulit etanol pada jaringan perlukaan masih terdapat keropeng dan jaringan parut,

sedangkan pada kelompok yang lain tidak. Menurut Price dan Wilson (1992) matangnya jaringan parut akan bersinergis dengan menebal dan matangnya epitel sehingga menyerupai kulit. Pada perlakuan luka yang diberikan salep ekstrak etanol rimpang kunyit, jaringan parut yang masih hadir hingga hari ke-7 mengakibatkan melambatnya reepitelisasi. Pada hari ke 14 kontrol negatif memperlihatkan reepitelisasi yang lebih baik daripada kedua kelompok lainnya. Pada hari ke-21 reepitelisasi telah terjadi secara sempurna. Hal ini dapat diperkuat dengan data patologi anatomis yang memperlihatkan luka yang telah menutup secara sempurna.

120 100 Kontrol Positif 80 60 40 20 0 2 4 7 Hari Ke14 21 Kontrol Negatif Salep Ekstrak Etanol Kunyit

Gambar 14 Perbandingan presentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka Luasan Jaringan Ikat Kolagen Menurut Drakbar (2008) persembuhan ditandai dengan menyempitnya luka dan tepi luka bersatu menjadi lebih kuat. Penyempitan ini dipengaruhi oleh jaringan ikat yang terdapat pada luka (Gambar 15). Menurut Spector dan Spector (1993), ciri khusus jaringan pengikat yang mengalami rekonstruksi ialah aktivitas fibroblasnya. Fibroblas adalah sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang memiliki

sifat utama untuk mensisntesis komponen-komponen jaringan pengikat, yakni kolagen dan mukopolisakarid. Deposisi dari kolagen dan ikatan silangnya mampu memberikan kekuatan dan integritas pada perbaikan jaringan luka (Spector dan Spector 1993). Tabel 6 akan memperlihatkan hasil pengamatan mikroskopis terhadap jaringan ikat kolagen. Tabel 6 Presentase (%) luasan jaringan ikat kolagen pada pemeriksaan mikroskopis Salep Ekstrak Etanol Hari Ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit a a 2 0.000.00 0.000.00 0.000.00 a 4 0.000.00 a 0.000.00 a 0.000.00 a 7 66.6733.35 a 33.300.00 a 0.000.00 b 14 100.000.00 a 88.9019.23a 77.8019.23 a a a 21 88.9019.23 77.8019.23 77.8019.23 a Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05) Jaringan ikat kolagen (Gambar 15) Pada kontrol positif dan negatif telah terbentuk pada hari ke-7, sedangkan pada perlakuan pemberian salep ekstrak etanol rimpang kunyit, jaringan ikat kolagen pada hari yang sama belum terbentuk. Sehingga dari uji statistik terjadi perbedaan nyata antara kontrol positf dan negatif dengan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (Tabel 6). Jaringan ikat kolagen akan terbentuk setelah 3 hari setelah perlukaan. Hal ini terjadi karena setelah 72 jam fibroblas akan memproduksi faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel epitel, yaitu growth factor yang akan menstimulasi hadirnya sel peradangan dan mengaikibatkan dimulainya proses sintesis kolagen (Anonim 2003). Pada perlakuan dengan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pembentukan kolagen terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke-14 (Tabel 6), menurut Singer dan Clark (1999) kolagen yang matang akan membentuk jaringan parut pada akhir proses persembuhan. Jaringan parut yang terbentuk secara berlebihan disebut dengan keloid. Pencegahan terbentuknya keloid terjadi ketika beberapa sel seperti; makrofag, sel-sel epidermis, endotel dan fibroblas

mensekresi beberapa enzim

proteolitik yang disebut matriks metaloprotein.

Enzim inilah yang akan mensintesis kolagen. Hal ini didukung dengan persentase reepitelisasi pada sediaan kulit dengan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada awal pengamatan yang lebih rendah daripada kedua kelompok lainnya. Selain itu keadaan ini juga terjadi kemungkinan karena adanya kandungan alkaloid pada ekstrak etanol rimpang kunyit yang memberikan respon penenang tubuh (Leny 2006). Berkurangnya rasa sakit pada tubuh membuat respon tubuh terhadap persembuhan menjadi lambat (Spector dan Spector 1993).

Gambar 15 Jaringan ikat berwarna biru pada perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-21 dengan pewarnaan Masson Trichrome. Bar 200 m Jaringan ikat kolagen akan memiliki pematangan menjadi serabut yang lebih tebal dan besar. Serta memiliki ikatan intermolekuler yang lebih banyak. Fase perubahan ini dikenal dengan nama fase remodeling (Singer dan Clark 1999: Anonim 2003). Perubahan ini berlangsung secara lambat hingga minggu ke tiga. Apabila ketiga kelompok ini dibandingkan, akan terlihat bahwa kontrol positif marupakan kelompok terbaik diantara ketiga kelompok lainnya (Gambar 16). Pembentukan jaringan ikat kolagen tertinggi pada kontrol positif terjadi pada hari ke-14, setelah itu mengalami penurunan menunjukkan luka yang mulai

sembuh, begitupula yang terjadi pada kontrol negatif. Sedangkan pada perlakuan ekstrak etanol rimpang kunyit kehadiran kolagen terjadi lebih lambat daripada kedua kelompok lainnya.
Persentase (%) luasan kolagen 120 100 Kontrol Positif 80 60 40 20 0 2 4 7 Hari Ke14 21 Kontrol Negatif Salep Ekstrak Etanol Kunyit

Gambar 16 Perbandingan Presentase (%) Luasan Kolagen pada persembuhan luka.

proses

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa alkaloid dan kuinon. 2. Sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil yang lebih baik untuk proses neovaskularisasi dibandingkan tidak dilakukan pengobatan. 3. Secara umum sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit belum mempercepat proses persembuhan luka.

Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sediaan yang tepat bagi ekstrak etanol rimpang kunyit agar dapat bekerja efektif sebagai sediaan persembuhan luka.

DAFTAR PUSTAKA Amelia. 2002. Fitokimia Komponen Kanker. Bogor: Puslitbang Gizi. Ajaib Cegah PJK, DM dan

Ane. 2008. Kegunaan Alkohol. http www.web kimia.com. [24 Agustus 2008]. Anonim. 2003. The Phases Of Cutaneus Wound healing. Cambridge University Press.5:1. Anonim .2008. http://www.rooj.com/Radioprotection_files/image002. [14 Juli 2008]. Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi ke 4. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). hlm: 494-506. Arington.L. R. 1972. Introduction Laboratory Laboratorium Animal Science. The interstate printer andpubliser inb Danville. Illones. Best, B. 2005. Phytochemicals as Nutraceuticals. http www.phytochemicals.com [Rabu,6 Agustus 2008]. Blodinger, J. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner. Drs. Sugiharto Hadimoelj, Penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari Formulation of Veterinary Dosage Forms. Dellmann HD, dan Brown EM. 1992. Buku tekxt Histologi Veteriner. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Textbook of veterinary histology.hlm:593-617. Deni, R. 2007. Menyembuhkan kanker dengan kunyit. Bogor: Jurnal Nasional. Dharmojono. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner Buku 2. Jakarta: Pustaka populer Obor. hlm:105-117. Drakbar. 2008. Rawat Luka. http://drakbar.wordpress.com/xmlrpc.php">. [14 Juli 2008]. Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Harborne. J. B. 1987. Metode Fitokimia edisi ke-2. Bandung: Institut Teknologi Bandung. hlm 1-243. Houghton, PJ dan Raman. 1998. Laboratory Handbook For The Fractination of Natural Extracts. London UK: Chapman & Hall.

Junquira,

LMD. 1998. Histologi Dasar. Jan Tambayang, penerjemah. Jakarta:EGC. Terjemahan dari Basic Histology. hlm: 358-368.

Leny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilproponoida, Alkaloida. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Malole, MBM dan C.S.U Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Coba di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB. Martin, P. 1997. Wound Healing-Aiming for Perfect Skin Regeneration. Science. 276:75-80. McGavin, D dan Zachary, J. 2007. Pathologic Basic Veterinary Disease .Philadelpia: Elsevier Inc. Middelkoop, E. 2005. The International Jurnal of Lower Extremity Wounds. SAGE Publication. 4:9-10. Mills, S. 2000. Principles And Practice of Phitotherapy Modern Herbal Medicine. London: Churchill Livingstone. hlm: 569-570. Nayak BS, Pereira LM. 2006. Catharanthus Roseus Flower Extract Has WoundHealing Activity In Sprague Dawley Rats. BMC Complementary and Alternative Medicine. 41:2. Purwanti, S. 2008. Kajian Efektivitas Pemberian Kombinasi Kunyit, Bawang Putih, dan Mineral Zink Terhadap Perfoma, Kadar Lemak, Kolesterol dan Status Kesehatan Broiler. Tesis. Bogor. Pascasarjana IPB. Penn D. 1999. A House Mouse Primer. http://stormy.biology.utah.edu/lab/mouse_primer.html. [3 juni 2008].

Price, A. dan Wilson L McCarty. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Brahm U. Pendit, penerjemah: Huriawati Hartono,editor. Jakarta:EGC.Terjemahan dari: Pathophisiology: Clinical Concept of Disease Processes). hlm: 57-76. Robinson, Tr. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Edisi ke 6. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari The Organic Constituents of Higher Plants. Sembiring, Mamun, dan Ginting. Pengaruh Kehalusan dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Ekstrak Temulawak ( Curcuma xantorhiza,Roxb).17:53-58.

Singer, AJ dan Clark RAF. 1999. Cutaneus Wond Healing. N England J Med. 341:738-154. Smith JB, Mangkowidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. . Hlm. 10-17. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. ED ke 3. Soetjipto NS,Harsoyo,Hana A,Astuti P, penerjemah: Moelyono MPE, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology. 3th Edition. hlm 72-144. Syukur, C dan Hernani. 2001. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. HLm :76-77. Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka. http://syehaceh.wordpress.com [14Juli 2008]. Tilaar, M. 2002. Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta: Penebar Swadaya.hlm:56-70. Vadamekum Bahan Obat Alam. 1989. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.hlm:177. Vegad JL. 1995. Textbook of veterinary General Pathology. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD. Voigt, R.1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Ed-5. Noerono Soendani, penerjemah. Samhoedi Raksohadiprojo, editor. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Terjemahan dari Lehburch Der Pharmazeutischen Technologie.hlm: 314-316. Wientarsih, I dan Prasetyo B. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptier. Bogor:PPDH FKH IPB. hlm:1-9. Winarto, WP. 2003. Khasiat dan Tanaman Kunyit. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Yahya, H. 2008. Gambaran Histologi harunyahya.com/imagestubuh/23/jpg [14 Juli 2008]. Kulit. www.

Yuliani, S dan Sofyan R. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor: Balai Penelitian Rempah dan Obat.

LAMPIRAN

Lampiran 1

Polimorfonuklear Hari ke-2 The GLM Procedure Class Level Information Class perlk Levels Values

3 Ethanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.260630 DF 2 6 8 Sum of Squares 0.19919021 0.56507386 0.76426407 Coeff Var 14.06351 Root MSE 0.306886

Mean Square 0.09959510 0.09417898

F Value 1.06

Pr > F 0.4042

respon Mean 2.182143

Hari Ke-4 Class perlk Levels Values

3 Ethanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used Sum of Squares 0.19919021 0.56507386 0.76426407 Root MSE 0.306886

Source Model Error Corrected Total R-Square 0.260630

DF 2 6 8

Mean Square 0.09959510 0.09417898

F Value 1.06

Pr > F 0.4042

Coeff Var 14.06351

respon Mean 2.182143

Hari Ke-7 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.482428 Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.49900346 0.24950173 2.80 0.1386 6 0.53535586 0.08922598 8 1.03435932 Coeff Var 8.399742 Root MSE 0.298707 respon Mean 3.556147

9 9

Hari ke-14 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values 9 9

perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.386425

Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.89282660 0.44641330 1.89 0.2310 6 1.41765036 0.23627506 8 2.31047696 Coeff Var 34.67146 Root MSE 0.486081 respon Mean 1.401964

Hari Ke-21 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 Sum of DF Squares Mean Square F Value 2 0 0 . . 6 0 0 8 0 Coeff Var Root MSE respon Mean 0 0 0.707107 Pr > F 9 9

Lampiran 2

Neovaskularisasi Hari Ke-2 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Sum of Squares 0 0 0 Mean Square F Value 0 . . 0 Pr > F 9 9

Coeff Var 0

Root MSE respon Mean 0 0.707107

Hari Ke-4 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values 9 9

perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used

Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.250000 Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.05954424 0.02977212 1.00 0.4219 6 0.17863273 0.02977212 8 0.23817698 Coeff Var 22.56617 Root MSE 0.172546 respon Mean 0.764622

Hari Ke-7 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values 9 9

perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.886281

Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 5.93718587 2.96859294 23.38 0.0015 6 0.76180580 0.12696763 8 6.69899168 Coeff Var Root MSE respon Mean 19.91883 0.356325 1.788886

Hari Ke-14 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.217096

9 9

Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.17871630 0.08935815 0.83 0.4799 6 0.64449688 0.10741615 8 0.82321318 Coeff Var 12.94659 Root MSE 0.327744 respon Mean 2.531508

Hari Ke-21 The GLM Procedure Class Level Information Class perlk Levels Values 3 Ethanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 5.17835004 2.58917502 19.14 0.0025 Error 6 0.81145596 0.13524266 Corrected Total 8 5.98980600 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.864527 23.78789 0.367754 1.545970

Lampiran 3 Reepitelisasi (%)

Hari Ke-2 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.209378

Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 9.76304509 4.88152254 0.79 0.4942 6 36.86570347 6.14428391 8 46.62874856 Coeff Var 39.30913 Root MSE 2.478767 respon Mean 6.305829

Hari Ke-4 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP

Number of Observations Read 9 Number of Observations Used 9 Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 1.26276137 0.63138068 0.05 0.9517 Error 6 75.96365618 12.66060936 Corrected Total 8 77.22641754 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.016351 76.66360 3.558175 4.641283

Hari Ke-7 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.315512 Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 19.29390464 9.64695232 1.38 0.3207 6 41.85716562 6.97619427 8 61.15107026 Coeff Var 33.98687 Root MSE 2.641249 respon Mean 7.771379 9 9

Hari Ke-14 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 9.76304509 4.88152254 0.41 0.6826 Error 6 71.93076068 11.98846011 Corrected Total 8 81.69380577 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.119508 41.62234 3.462436 8.318696 9 9

Hari ke-21 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Ethanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Sum of Squares 0 0 0 Mean Square F Value 0 . . 0 Pr > F 9 9

Coeff Var 0

Root MSE respon Mean 0 10.02497

Lampiran 4 Luasan Kolagen (%) Hari ke-2 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Etanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Sum of Squares 0 0 0 Mean Square F Value 0 . . 0 respon Mean 0.707107 Pr > F 9 9

Coeff Var 0

Root MSE 0

Hari Ke-4 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Etanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Model 2 0 0 . . Error 6 0 0 Corrected Total 8 0 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.000000 0 0 0.707107

Pr > F

Hari ke-7 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Etanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.904298 Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 84.27367592 42.13683796 28.35 0.0009 6 8.91866543 1.48644424 8 93.19234135 Coeff Var 25.16754 Root MSE 1.219198 respon Mean 4.844329 9 9

Hari ke-14 The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlk 3 Etanol KN KP Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.333333 DF 2 6 8 Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 2.22628244 1.11314122 1.50 0.2963 4.45256487 0.74209415 6.67884731 Root MSE 0.861449 respon Mean 9.415834 9 9

Coeff Var 9.148939

Class perlk

Hari Ke-21 The GLM Procedure Class Level Information Levels Values 3 Etanol KN KP 9 9

Number of Observations Read Number of Observations Used Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total R-Square 0.100000

Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.74209415 0.37104707 0.33 0.7290 6 6.67884731 1.11314122 8 7.42094145 Coeff Var 11.71016 Root MSE 1.055055 respon Mean 9.009743

You might also like