You are on page 1of 61

Jumlah istri Rasulullah yang lebih dari 1 membawa hikmah yang sangat mendalam di masa kini yaitu semakin

banyaknya sumber-sumber ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan fiqih wanita, karena memang dari sanalah umumnya pelajaran Rasulullah SAW tentang wanita itu berasal. Seandainya Rasulullah SAW hanya beristrikan satu orang saja, maka kajian fiqih wanita sekarang ini akan menjadi sangat sempit karena sumbernya terbatas hanya dari satu orang. Dengan beristri sampai 11 orang, maka sumber itu menjadi cukup banyak. Maka purnalah Islam sebagai agama yang syamil mutakamil. Berikut adalah nama nama dan alasan alasan beliau memperistri : 1. Khodijah binti Khuwailid RA,ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun. Dari pernikahnnya dengan Khodijah Rasulullah SAW memiliki sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi semua anak laki-laki beliau meninggal. Sedangkan yang anak-anak perempuan beliau adalah: Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain selama Khodijah masih hidup. 2. Saudah binti Zamah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr. 3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah atau dua tahun dan lima bulan sebelum Hijrah. Ia dinikahi ketika berusia 6 tahun dan tinggal serumah di bulan Syawwal 6 bulan setelah hijrah pada saat usia beliau 9 tahun. Ia adalah seorang gadis dan Rasulullah SAW tidak pernah menikahi seorang gadis selain Aisyah. Dengan menikahi Aisyah, maka hubungan beliau dengan Abu Bakar menjadi sangat kuat dan mereka memiliki ikatan emosional yang khusus. Posisi Abu Bakar sendiri sangat pending dalam dakwah Rasulullah SAW baik selama beliau masih hidup dan setelah wafat. Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah yang pertama yang di bawahnya semua bentuk perpecahan menjadi sirna. Selain itu Aisyah ra adalah sosok wanita yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat tinggi dimana begitu banyak ajaran Islam terutama masalah rumah tangga dan urusan wanita yang sumbernya berasal dari sosok ibunda muslimin ini. 4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob. Dengan menikahi hafshah putri Umar, maka hubungan emosional antara Rasulullah SAW dengan Umar menjadi sedemikian akrab, kuat dan tak tergoyahkan. Tidak heran karena Umar memiliki pernanan sangant penting dalam dakwah baik ketika fajar Islam baru mulai merekah maupun saat perluasan Islam ke tiga peradaban besar dunia. Di tangan Umar, Islam berhasil membuktikan hampir semua kabar gembira di masa Rasulullah SAW bahwa Islam akan mengalahkan semua agama di dunia. 5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho?sho?ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh

bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Ia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah SAW . 6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA, sebelumnya menikah dengan Abu salamah, akan tetapi suaminya tersebut meninggal di bulan Jumada Akhir tahun 4 Hijriyah dengan menngalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anakanak yatim tersebut. 7. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo?dah tahun kelima dari Hijrah. Pernikahan tersebut adalah atas perintah Alloh SWT untuk menghapus kebiasaan Jahiliyah dalam hal pengangkatan anak dan juga menghapus segala konskuensi pengangkatan anak tersebut. 8. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza?ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya?ban tahun ke 6 Hijrah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang. 9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin Hasanah. Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah. 10. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah. Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.

11. Maimunah binti Al- Harits RA , saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa?dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho. Dari kesemua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, tak satupun dari mereka yang melahirkan anak hasil perkawinan mereka dengan Rasulullah SAW, kecuali Khadijatul Kubra seperti yang disebutkan di atas. Namun Rasulullah SAW pernah memiliki anak laki-laki selain dari Khadijah yaitu dari seorang budak wanita yang bernama Mariah Al-Qibthiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis pembesar Mesir. Anak itu bernama Ibrahim namun meninggal saat masih kecil. Demikianlah sekelumit data singkat para istri Rasulullah SAW yang mulia, dimana secara khusus Rasulullah SAW diizinkan mengawini mereka dan julah mereka lebih dari 4 orang, batas maksimal poligami dalam Islam. Dari kesemuanya itu, umumnya Rasulullah SAW menikahi mereka karena pertimbangan kemanusiaan dan kelancaran urusan dakwah. Buat para pejuang hak asasi manusia, para pejuang hak hak perempuan, para penentang poligami, para pejuang feminis, para pejuang kesetaraan gender, dan para pendakwah islam silahkan baca Surat Untuk Pejuang Hak-Hak Wanita . Bagaimana perasaan anda jika ada di posisi mereka

Khadijah Binti Khuwailid


Khodijah merupakan sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahiryah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. ia dikenal sebagai seorang wanita yang teguh dan cerdik bahkan memiliki perangai yang amat luhur. Karena itu tidak heran jika banyak laki-laki dari kaumnya (pada waktu itu) yang menaruh simpati kepadanya. Pada mulanya, khodijah dinikah oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikah oleh Atiq bin Aid bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya, namun akhirnya mereka bercerai. Setelah itu, banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan khodijah agar menajdi istri mereka, namun seperti yang tercatat dalam buku sejarah, ia selalu memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, menyibukkan diri mengurusi perniagaan yang -bahkan- membuatnya menjadi wanita janda yang kaya raya. Suatu hari, ia berhasrat mencari seseorang yang dapat menjual dagangannya, tatkala khodijah mendengar tentang Muhammad sebelum bitsah (diangkat menjadi Nabi), terkenal memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka khodijah meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantu laki-laki yang bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujui tawaran Khodijah sehingga berangkatlah Muhammad bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang sangat banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang amat memuaskan itu, akan tetapi dalam kenyataannya, khodijah malah lebih tertarik dan takjub akan pribadi luhur yang di tonjolkan Muhammad melebihi hasil dagang yang dibawanya dari perniagaan. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, sesuatu yang sangat abstrak dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Akan tetapi dia merasa pesimis; kemungkinan pemuda seperti Muhammad tidaklah mau menikahi seorang wanita janda yang sudha berumur lebih tua daripadanya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun sedngkan Muhammad saat itu sudha baru berusia 25 tahun. Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?

Saat kebingungan dan kegelisahan menerobos sendi perasannya itu yang sangat halus, tibatiba saja muncul pada waktu itu seorang sahabat karib yang bernama Nafisah binti Munabbih yang member banyak informasi sehingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah tentang problematika hidup yang dihadapinya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah merupakan seorang wanita pilihan yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang begitu getol melamar dirinya. Setelah itu, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad alAmin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya: Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad? Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah. Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya? Muhammad : Siapa dia ? Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju. Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Saat itu juga, berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar. Setelah usai akad nikah, disembelih beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orangorang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan yang salah satu diantara mereka terdapat Halimah as-Sadiyah yang dating menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang telah menjadi suami tercinta. Akhirnya Sayyidah Quraisy menjadi istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami yang selalu mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan pribadi. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallhu anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam .

Allah memberikan karunia pada rumah tangga yang penuh kasing saying ini-berupa kebahagaiaan dan kenikmatan yang berlimpah-ruah, dan mengkaruniakan kepada mereka putra-putri yang amat baik bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kultsum dan Fatimah. Allah akhirnya menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq (pada wkatu itu) menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit dan jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain lain. Sayyidah ath-Thahirah ini tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya yang terkasih itu dari jauh. Bahkan kerapkali tanpa sepengetahuan Muhammad- dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri itu. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu. Di waktu fajar Nabi Saw keluar dari gua menuju rumahnya dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata: Selimutilah aku .selimutilah aku . Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Nabi menjawab Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku. Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran. Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.

Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan Khodijah dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, ia menceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Maka tiada ucapan yang keluar dari mulut Waraqah selain perkataan: Qudus.Qudus..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar, maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung. Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakanmu, menyakitimu, mengusir bahkan memerangimu. Seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong agama Allah . Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Apakah mereka akan mengusirku?. Waraqah menjawab: Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu kalau saja aku masih hidup. Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat. Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu merupakan sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan agama Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi. Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam. Seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kecuali Allah melapangkan dadanya melalui istri saat Muhammad Saw kembali ke rumahnya. Khadijah meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkan dan mengingatkan bahwa celaan manusia tidak akan berpengaruh pada beliau Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Apalagi Allah selalu mendukung dan menyemangatinya dengan ayat-ayat Al-Quran Hai orangorang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan agungkanlah RabbMu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah kamu memberi

(dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!(Al-Muddatstsir:1-7). Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallhu anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepadanya. Diantara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya. Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Mengenai hal ini Allah berfirman: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman , sedangkan mereka tidak diuji lagi? . (Al-Ankabut:1-2). Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Ia melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan. Khodijah harus berpisah pula dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallhu anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik. Ia menyaksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus asa bagi seorang Mujahidah sekaliber Khodijah. Ia laksanakan setiap saat apa yang difirmankan Allah Taala : Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguhsungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu dan dari orangorang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan . (Ali Imran:186). Sebelumnya, Khodijah juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya alAmin ash-Shiddiq saat berdakwah di jalan Allah, namun Muhammad Saw menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Muhammad Saw mencampakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu pula, Muhammad bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran

yang belum pernah dikenal orang sebelumnya, Beliau bersabda: Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya. Saat orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan kaum muslimin dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding kabah; Khadijah tidak ragu bergabung dengan kaum muslimin dan rela meninggalkan kampung halaman guna menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertainya, Khodijah menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan dengan keimanan yang tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul Khodijah yang sabar tiga tahun sebelum hijrah. Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang dihadapi Roasulullah. Karena bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Khadijah merupakan teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam. Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah SWT dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, beliau menjadi istri yang bijaksana, maka tidak aneh jika Khodijah mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan segala kemampuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah melambangkan keistimewaan Khodijah dengan sabdanya Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid.

Saudah binti Zamah

Walaupun Saudah binti Zamah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah Seorang Janda Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tengah mengalami masa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orangorang Quraisy untuk menyiksa Rasulullah dan kaum muslimin. Pada tahuntahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah. Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra Miraj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau

menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Kabah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zamah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah. Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zumah. Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madhum. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madhum kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya. Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan mengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, Siapakah yang kau pilih untukku? Dia menjawab, Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zamah. Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zamah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa

Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat. Jika kita rajin menyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zamah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup. Nasab dan Keislamannya Saudah binti Zamah yang bernama lengkap Saudah binti Zamah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbaiat di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah. Hijrah ke Habbasyah Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zumah). Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum

muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya. Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah. Betapa sedih perasaan Saudah binti Zumah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalami betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah. Rahmat Allah Subhanahu wa Taala Saudah binti Zamah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zamah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang. Akan tetapi, Zamah bin Qais tetap menerima dan menghormati

putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang. Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya. Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zamah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan perkawinan itu terlaksana dengan baik. Berada di Rumah Rasulullah Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalamnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik. Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan

posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi. Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah. Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut? Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hijrahnya ke Madinah Pertama kali Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zamah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbaiat setia kepada Rasulullah. Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-

putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Islam di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul? Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah. Sikap Hidupnya Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah berkata, Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah binti Zamah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain. Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum wanita. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun mengurungkan niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.

Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu. Saudah menunaikan haji wada bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada, Shallallahu alaihi wasallam sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 Hijrah. Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua. Sifat dan Keutamaannya Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk

kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya. Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zamah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit DarusSaabu, Riyadh Tambahan kisah lainnya: Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah. Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.

Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan. Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakhai bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54). Ketika Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Quran, yang artinya: Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.. (QS. An-Nisa:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720). Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54). Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zamah, ketika dia tua dia

berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. ( Shahih Muslim 2/1085). Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika haji wada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140). Aisyah berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim). Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagibagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721). Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasai. Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah.

Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah. Aisyah binti abu bakar Dia adalah gurunya kaum laki-laki, seorang wanita yang suka kebenaran, putri dari seorang laki-laki yang suka kebenaran, yaitu Khalifah Abu Bakar dari suku Quraisy At-Taimiyyah di Makkah, ibunda kaum mukmin, istri pemimpin seluruh manusia, istri Nabi yang paling dicintai, sekaligus putri dari laki-laki yang paling dicintai Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam

. Ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Amr bin Ash Rodhiallahu anhu pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam: Siapakah orang yang paling engkau cintai, wahai Rasulullah?" Rasul menjawab: '''Aisyah.'' 'Amr bertanya lagi: "Kalau laki-laki?" Rasul menjawab: "Ayahnya. Selain itu Aisyah adalah wanita yang dibersihkan namanya langsung dari atas langit ketujuh. Dia juga adalah wanita yang telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa seorang wanita memungkinkan untuk lebih pandai daripada kaum laki-laki dalam bidang politik atau strategi perang. Wanita ini bukan lulusan perguruan tinggi dan juga tidak pernah belajar dari para orientalis dan dunia Barat. Ia adalah murid dan alumni madrasah kenabian dan madrasah iman. Sejak kecil ia sudah diasuh oleh seorang yang paling utama, yaitu ayahnya, Abu Bakar. Ketika menginjak dewasa ia diasuh oleh seorang nabi dan guru umat manusia, yaitu suaminya sendiri. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Dengan demikian, terkumpullah dalam dirinya ilmu, keutamaan, dan keterangan-keterangan yang menjadi referensi manusia sampai saat ini. Teks hadits-hadits yang diriwayatkannya selalu menjadi bahan

kajian di fakultas-fakultas sastra, sebagai kalimat yang begitu tinggi nilai sastranya. Ucapan dan fatwanya selalu menjadi bahan kajian di fakultas-fakultas agama, sedang tindakan-tindakannya menjadi materi penting bagi setiap pengajar mata pelajaran/mata kuliah sejarah bangsa Arab dan Islam. Pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dengannya merupakan perintah langsung dari Allah 'Azza wa jalla setelah wafatnya Khadijah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari 'Aisyah Rodhiallahu anha, dia berkata: "Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam pernah bersabda: 'Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku tiga hari berturut-turut (sebelum aku menikahimu). Ada malaikat yang datang kepadaku dengan membawa gambarmu yang ditutup dengan secarik kain sutera. Malaikat itu berkata: 'Ini adalah istrimu'. Aku pun lalu membuka kain yang menutupi wajahmu. Ketika ternyata wanita tersebut adalah engkau ('Aisyah), aku lalu berkata: 'Jika mimpi ini benar dari Allah, kelak pasti akan menjadi kenyataan.''

Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam menikahi 'Aisyah dan Saudah pada waktu yang bersamaan. Hanya saja pada saat itu Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam tidak langsung hidup serumah dengan 'Aisyah. Setelah kurang lebih tiga tahun hidup serumah dengan Saudah, tepatnya pada bulan Syawal setelah perang Badar, barulah beliau hidup serumah dengan 'Aisyah. 'Aisyah menempati salah satu kamar yang terletak di komplek Masjid Nabawi. yang terbuat dari batu bata dan beratapkan pelepah kurma. Alas tidurnya hanyalah kulit hewan yang diisi rumput kering; alas duduknya berupa tikar; sedang tirai kamarnya terbuat dari bulu hewan. Di rumah yang sederhana itulah 'Aisyah memulai kehidupan sebagai istri yang kelak akan menjadi perbincangan dalam sejarah.

Pernikahan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang utama dan penting.

Setelah menikah, seorang wanita akan menjadi istri dan selanjutnya akan menjadi seorang ibu. Kekayaan dunia sebanyak apa pun, kemuliaan setinggi awan, kepandaian yang tak tertandingi, dan jabatan yang begitu tinggi, sekalikali tidak akan ada artinya bagi seorang wanita jika tidak menikah dan tidak mempunyai suami, sebab tidaklah mungkin bahagia seseorang yang berpaling dari fitrahnya.

Dalam kehidupan berumah tangga, 'Aisyah merupakan guru bagi setiap wanita di dunia sepanjang masa. Ia adalah sebaik-baik istri dalam bersikap ramah kepada suami, menghibur hatinya, dan menghilangkan derita suami yang berasal dari luar rumah, baik yang disebabkan karena pahitnya kehidupan maupun karena rintangan dan hambatan yarig ditemui ketika menjalankan tugas agama.

'Aisyah adalah seorang istri yang paling berjiwa mulia, dermawan, dan sabar dalam mengarungi kehidupan bersama Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam yang serba kekurangan, hingga pernah dalam jangka waktu yang lama di dapurnya tidak terlihat adanya api untuk pemanggangan roti atau keperluan masak lainnya. Selama itu mereka hanya makan kurma dan minum air putih. Ketika kaum muslim telah menguasai berbagai pelosok negeri dan kekayaan datang melimpah, 'Aisyah pernah diberi uang seratus ribu dirham. Uang itu langsung ia bagikan kepada orang-orang hingga tak tersisa sekeping pun di tangannya, padahal pada waktu itu di rumahnya tidak ada apa-apa dan saat itu ia sedang berpuasa. Salah seorang pelayannya berkata: "Alangkah baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meskipun satu dirham saja untuk berbuka puasa!" Ia menjawab: "Seandainya engkau katakan hal itu dari tadi, niscaya aku melakukannya.

Dia adalah wanita yang tidak disengsarakan oleh kemiskinan dan tidak dilalaikan oleh kekayaan. Ia selalu menjaga kemuliaan dirinya, sehingga dunia dalam pandangannya adalah rendah nilainya. Datang dan perginya dunia tidaklah dihiraukannya.

Dia adalah sebaik-baik istri yang amat memperhatikan dan memanfaatkan pertemuan langsung dengan Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam, sehingga dia menguasai berbagai ilmu dan memiliki kefasihan berbicara yang menjadikan dirinya sebagai guru para shahabat dan sebagai rujukan untuk memahami Hadits, sunnah, dan fiqih. Az-Zuhri berkata: "Seandainya ilmu semua wanita disatukan, lalu dibandingkan dengan ilmu 'Aisyah, tentulah ilmu 'Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka."1

Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: "Sungguh aku telah banyak belajar dari 'Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada 'Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum, serta pengobatan. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai bibi, dari manakah engkau mengetahui ilmu pengobatan?' 'Aisyah menjawab: 'Aku sakit, lalu aku diobati dengan sesuatu; ada orang lain sakit juga diobati dengan sesuatu; dan aku juga mendengar orang banyak, sebagian mereka mengobati sebagian yang lain, sehingga aku mengetahui dan menghafalnya. "'2

Dalam riwayat lain dari A'masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, Abud Dhuha berkata: "Kami pernah bertanya kepada Masruq: 'Apakah 'Aisyah juga menguasai ilmu faraidh?' Dia menjawab: 'Demi Allah, aku pernah melihat para shahabat Nabi Sholallahu alaihi wasallam yang senior biasa bertanya kepada 'Aisyah tentang faraidh. "'3

Selain memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan, 'Aisyah juga memiliki kekurangan, yakni memiliki sifat gampang cemburu. Bahkan dia termasuk istri Nabi Sholallahu alaihi wasallam yang paling besar rasa cemburunya. Rasa cemburu memang termasuk sifat pembawaan seorang wanita. Namun demikian, perasaan cemburu yang ada pada 'Aisyah masih berada dalam batas yang wajar dan selalu mendapat bimbingan dari Nabi, sehingga tidak sampai melampaui batas dan tidak sampai menyakiti istri Nabi Sholallahu alaihi wasallam yang lain.

Di antara kejadian paling menggelisahkan yang pernah menimpa 'Aisyah adalah tuduhan keji yang terkenal dengan sebutan Haditsul ifki (berita bohongInsyaa Allah akan dibahas diKIS.com di pembahasan yang lain) yang dituduhkan kepadanya, padahal diri 'Aisyah sangat jauh dengan apa yang dituduhkan itu. Akhirnya, turunlah ayat Al-Qur'an yang menerangkan kesucian dirinya. Cobaan yang menimpa wanita yang amat utama ini merupakan pelajaran berharga bagi setiap wanita, karena tidak ada wanita di dunia ini yang bebas dari tuduhan buruk.

Ketika Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam sakit sekembalinya dari haji Wada' dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, setelah dirasa selesai dalam menunaikan amanat dan menyampaikan risalah, beliau lalu berkeliling kepada istri-istrinya sebagaimana biasa. Pada saat membagi jatah giliran kepada istriistrinya itu beliau selalu bertanya: "Di mana saya besok? Di mana saya lusa?" Hal ini mengisyaratkan bahwa beliau ingin segera sampai pada hari giliran 'Aisyah. Para istri Nabi yang lain pun bisa mengerti hal itu dan merelakan Nabi untuk tinggal di tempat istri yang mana yang beliau sukai selama sakit, sehingga mereka semuanya berkata: "Ya Rasulullah, kami rela memberikan jatah giliran, kami kepada 'Aisyah.4

Kekasih Allah itu pun pindah ke rumah istri tercintanya. Di sana 'Aisyah dengan setia menjaga dan merawat beliau. Bahkan saking cintanya, sakit yang diderita Nabi itu rela 'Aisyah tebus dengan dirinya kalau memang hal itu memungkinkan. 'Aisyah berkata: "Aku rela menjadikan diriku, ayahku, dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah." Tak lama kemudian Rasul pun wafat di atas pangkuan 'Aisyah.

'Aisyah melukiskan detik-detik terakhir dari kehidupan Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam sebagai berikut: "Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, dan beliau bersandar di dadaku. Sesaat sebelum beliau wafat, 'Abdur Rahman bin Abu Bakar (saudaraku) datang menemuiku sambil membawa siwak, kemudian Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam melihat siwak tersebut, sehingga aku mengira bahwa beliau menginginkannya. Siwak itu pun aku minta, lalu kukunyah (supaya halus), kukebutkan, dan kubereskan sebaik-baiknya sehingga siap dipakai. Selanjutnya, siwak itu kuberikan kepada Nabi Sholallahu alaihi wasallam. Beliau pun bersiwak dengan sebaik-baiknya, sehingga belum pernah aku melihat cara bersiwak beliau sebaik itu. Setelah itu beliau bermaksud memberikannya kembali kepadaku, namun tangan beliau lemas. Aku pun mendo'akan beliau dengan do'a yang biasa diucapkan Jibril untuk beliau dan yang selalu beliau baca bila beliau sedang sakit. (Alloohumma robban naasi... dst.) Akan tetapi, saat itu beliau tidak membaca do'a tersebut, melainkan beliau mengarahkan pandangannya ke atas, lalu membaca do'a: 'Arrofiiqol a'laa (Ya Allah, kumpulkanlah aku di surga bersama mereka yang derajatnya paling tinggi: para nabi, shiddiqin, syuhada', dan shalihin). Segala puji bagi Allah yang telah menyatukan air liurku dengan air liur beliau pada penghabisan hari beliau di dunia.5

Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam dimakamkan di kamar 'Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sepeninggal Rasulullah, 'Aisyah banyak menghabiskan waktunya untuk memberikan ta'lim. baik kepada kaum laki-laki maupun wanita (di rumahnya) dan banyak berperan serta dalam mengukir sejarah Islam sampai wafatnya. 'Aisyah wafat pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah pada usia 66 tahun.6

Para generasi sepeninggal 'Aisyah selalu mengkaji dan meneliti detail kehidupannya sejak usia 6 tahun, dengan harapan bisa mengambil hikmah dan ibrah dari model tarbiyyah (pendidikan) yang telah membentuk pribadi beliau menjadi figur tunggal yang belum ada duanya sejak empat belas abad silam. 1) Baca Al-Mustadrak IV/11, pembahasan tentang Pengetahuan para shahabat, oleh Al-Hakim; dan Majma'uz Zawaa'id IX/245 oleh Al-Haitsami. AlHaitsami berkata: "Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan rawi yang tepercaya." 2) Baca Hilyatul Auliya' II/49. Riwayat ini memiliki rawi yang tsiqqah. 3) Hadits ini diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan II/342, Ibnu Sa'd dalam AtThabaqat Aisyah VIII/66, dan Hakim dalam Al-Mustadrak IV/11. anha. 4) Baca Shahih Muslim, kitab Keutamaan Para Shahabat, bab Keutamaan Rodhiallahu 5) Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (Al-Musnad V1/48) dan Hakim (AlMustadrak 1V/7). Hakim berkata: "Hadits ini shahih berdasarkan syarat yang ditetapkan Bukhari dan Muslim." Adz-Dzahabi juga sepakat atas keshahihan Hadits tahun 58 Hijriyah). ini. 6) Baca Al-Istii'aab IV/1885 dan Taariikhut Thabari (Peristiwa-peristiwa pada

Hafsah ra binti Umar bin Khattab (Istri rasulullah yang hafal alQura'an)

Beliau adl Hafsah putri dari Umar bin Khaththab seorang shahabat agung yg melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adl seorang wanita yg masih muda dan berparas cantik bertaqwa dan wanita yg disegani. Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yg mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yg pernah berhijrah dua kali ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah krn sakit yg beliau alami waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yg masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yg ketika itu masih berumur 18 tahun. Umar benar-benar merasakan gelisah dgn adanya keadaan putrinya yg menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dgn wafatnya menantunya yg dia adl seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan kesedihan tiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar berkesimpulan utk mencarikan suami utk putrinya sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yg telah hilang tatkala dia menjadi seorang istri selama kurang lbh enam bulan dapat kembali. Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar AshShidiq radhiallaahu anhu orang yg paling dicintai Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam krn Abu Bakar dgn sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yg mewarisi watak bapaknya yakni

bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh berserta ujian yg menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan dgn rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau menerima seorang yg masih muda dan bertakwa putri dari seorang laki-laki yg dijadikan oleh Allah penyebab utk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dgn membawa kekecewaan hatinya yg hampir-hampir dia tidak percaya . Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yg mana ketika itu istri beliau yg bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat krn sakit yg dideritanya. Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi putrinya namun beliau menjawab Aku belum ingin menikah saat ini. Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu utk bertemu dgn salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adl kawan karibnya dan teman kepercayaannya yg faham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah SAW seraya berkata Hafshoh akan dinikahi oleh orang yg lbh baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yg lbh baik daripada Hafshoh Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri krn kemuliaan yg agung ini yg mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya maka dgn segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada tiap orang yg dicintainya sedangkan Abu Bakar adl orang yg pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar krn aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam; seandainya beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya. Maka Madinah mendapat barokah dgn indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam dgn Hafshoh binti Umar pada bulan Syaban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan dgn Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga. Begitulah Hafshoh bergabung dgn istriistri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yg suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah krn dia lbh pantas dan lbh layak utk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dgn Aisyah mengikuti pesan bapaknya yg berkata Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dgn Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dgn ayahnya. Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi maka turunlah ayat Jika kamu berdua

bertaubat kepada Allah maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong utk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabimaka sesungguhnya Allah adl pelindungnya dan Jibril . Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam telah mentalak sekali utk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dgn perintah yg dibawa oleh Jibril alaihissalam yg mana dia berkata Dia adl seorang wanita yg rajin shaum rajin shalat dan dia adl istrimu di surga. Hafshoh pernah merasa bersalah krn menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dgn menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup bersama Nabi dgn hubungan yg harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yg mulia menghadap Ar-Rafiiq Al-Ala dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq maka Hafshoh-lah yg dipercaya diantara Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya utk menjaga mushaf AlQuran yg pertama. Hafshoh radhiallaahu anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan taat kepada Allah rajin shaum dan juga shalat satusatunya orang yg dipercaya utk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini dan kitabnya yg paling utama yg sebagai mukjizat yg kekal sumber hukum yg lurus dan aqidahnya yg utuh. Ketika ayah beliau yg ketika itu adl Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Luluah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah maka Hafshoh adl putri beliau yg mendapat wasiat yg beliau tinggalkan. Hafshoh wafat pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu anhu setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yg bernama Abdullah dgn wasiat yg diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu anhu. Semoga Allah meridhai beliau krn beliau telah menjaga al-Quran alKarim dan beliau adl wanita yg disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah dan bahwa beliau adl istri Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam di surga. Sumber Al-Sofwa Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Wanita-Wanita Terkemuka: Zainab binti Khuzaimah, Ibu Orang-Orang Miskin

REPUBLIKA.CO.ID, Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasulullah kedua yang wafat setelah Khadijah Al-Kubra. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri. Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Shashaah Al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamatsah. Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Sa'ad. Gelar tersebut disandangnya sejak masa Jahiliyah. Ath-Thabari, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Muminin pun menerangkan bahwa Rasulullah SAW menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul Masakin sejak zaman Jahiliyah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat pemurahnya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanam dalam dirinya sejak memeluk Islam, walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik,

penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah. Zainab binti Khuzaimah termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan Jahiliyah. Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib. Oleh karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk memuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahinya. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut. Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban hidup yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah-lembutannya terhadap orang-orang miskin. Sebagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum Muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beliau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin. Selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai istri Rasulullah SAW yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha bin Yasir, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah dengan sabdanya, "Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka." Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi SAW, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah menikahinya

karena kasih sayang terhadap umatya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak terdapat perbedaan pendapat. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat karena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari 30 tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya.

Ummu Salamah Ummul Mukminin (Hindun binti Abu Umayyah Al Makhzumiyah) Beliau adalah seorang wanita yang sangat terlindungi dan suci. Dia adalah Hindun binti Abu Umayyah Al Makhzumiyah, keponakan Saifulloh Khalid bin Walid dan Abu Jahal bin Hisyam. Termasuk wanita yang hijrah pertama kali. Sebelum menjadi istri Nabi, dia menjadi istri saudara sepersusuan beliau, yaitu Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzumi, seorang lelaki sholih. Nabi Shollallohu Alaihi Wa Sallam menikahinya pada tahun 4 Hijriyah dan dia termasuk wanita yang paling cantik serta paling mulia nasabnya. Dia istri Nabi yang terakhir kali meninggal dunia. Diberi umur panjang dan mengetahui pembunuhan Husain Asy Syahid, sehingga membuatnya pingsan karena sangat bersedih. Tidak berselang lama setelah peristiwa itu, dia pun meninggal dunia. Ummu Salamah memiliki anak dan para sahabat, yaitu Umar, Salamah dan Zainab. Selain itu juga memiliki sejumlah hadits. Beliau berusia kurang lebih 90 tahun. Ayahnya adalah seorang penunggang kuda terbaik dan seorang dermawan bernama Hudzaifah. Ada yang menamakan Ummu Salamah dengan Ramlah, yaitu Ummu Habibah. Beliau juga termasuk salah seorang shohabiyah yang faqih. Diriwayatkan dari Ziyad bin Abu Maryam, dia berkata, Ummu Salamah berkata kepada Abu Salamah, Aku mendapat berita bahwa wanita yang memiliki suami yang dijamin masuk surga, kemudian dia tidak menikah lagi, maka Alloh akan mengumpulkan mereka kembali di surga. Oleh karena itu, aku memintamu berjanji agar tidak menikah lagi sesudahku dan aku tidak menikah lagi sesudahmu. Abu Salamah menjawab, Apakah kamu akan menantiku? Ummu Salamah berkata, Ya. Abu Salamah berkata, Jika aku mati maka menikahlah. Ya Alloh, berilah Ummu Salamah orang yang lebih baik dariku, yang tidak membuatnya sedih dan tidak menganiayanya. Setelah Abu Salamah meninggal, Ummu Salamah berkata, Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah? Aku menunggu. Tiba-tiba Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam muncul sambil berdiri di depan pintu lalu menyatakan pinangannya kepada dirinya. Ummu Salamah menjawab, Aku ingin mendatangi sendiri Rosululloh atau mendatangi beliau bersama keluargaku. Keesokan harinya Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam melamarnya.

Diriwayatkan dari Tsabit, bahwa Ibnu Umar bin Abu Salamah menceritakan kepadaku dari ayahnya ketika masa iddah (penantian bagi istri yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya) Ummu Salamah habis, dia dilamar oleh Abu Bakar, tetapi dia menolak, kemudian dilamar Umar, namun dia menolak. Setelah itu Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam mengutus seseorang untuk melamarnya, dan dia berkata, Selamat datang, katakan kepada Rosululloh aku adalah seorang yang pencemburu dan aku mempunyai anak kecil. Aku juga tidak mempunyai wali yang menyaksikan. Setelah itu Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam mengirim seorang utusan kepadanya untuk menyampaikan jawaban mengenai perkataannya, Mengenai perkataanmu bahwa kamu mempunyai anak kecil, maka Alloh akan mencukupi anakmu. Mengenai perkataanmu bahwa kamu seorang pencemburu, maka aku akan berdoa kepada Alloh agar menghilangkan kecemburuanmu. Sedangkan para wali, tidak ada seorang pun diantara mereka kecuali akan ridha kepadaku. Ummu Salamah kemudian berkata, Wahai Umar, berdirilah dan nikahkanlah Rosululloh denganku. Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam bersabda, Sedangkan aku tidak akan mengurangi apa yang aku berikan kepada si fulanah. Beliau menikahinya tepat pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah. Diriwayatkan dari Muththalib bin Abdullah bin Hanthab, dia berkata, Ada seorang janda Arab menghadap pemimpin kaum muslimin pada awal Isya sebagai pengantin, lalu dia berdiri pada akhir malam untuk membuat adonan. Maksudnya adalah Ummu Salamah. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mendatangi Nabi Shollallohu Alaihi Wa Sallam dan berkata, Apa yang harus aku katakan? Beliau bersabda, Katakan, Ya Alloh, ampunilah kami dan dia dan gantilah untukku seorang pengganti yang baik. Aku lalu membacanya dan Alloh menggantikannya dengan Muhammad Shollallohu Alaihi Wa Sallam. Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda kepada istri-istrinya, Jika kamu menjadi istriku di surga maka janganlah menikah sesudahku, karena wanita yang akan menjadi istri seseorang di surga adalah yang menjadi istri

terakhirnya di dunia. Oleh karena itu, Beliau mengharamkan istri-istrinya untuk menikah sepeninggal beliau, karena mereka akan menjadi istri-istri beliau di surga. Ummu Salamah wafat pada tahun 61 Hijriyah. Sumber: Ringkasan Siyar Alam An Nubala (Imam Adz Dzahabi). Posted by Aditya at 5:03 AM Labels: Shahabiyah (Sahabat Wanita)

Ummu Salamah
Dicelah-celah kita mengkaji sirah tentang kehebatan kehidupan insan agung bernama Muhammad bin Abdulllah, Rasul utusan Allah kepada kita , kesetiaan Abu Bakar Assiddiq, ketegasan Umar Al-Khatab dan kisah Saidina Ali yang bersemangat, terselit kisah-kisah wanita hebat dizaman Rasulullah s.a.w. Mungkin kisah-kisah sahabiah ini jarang kita dengar, namun disebalik kisah sahabiah ini terselit seribu satu pengajaran untuk menjadi contoh ikutan buat kita yang mendamba syurga dan redha Allah. Kali ini saya memilih kisah Ummu Salamah r.a, mari kita membaca dan menghayati kisah hidup wanita mulia ini. Wanita yang kesabaran dan ketabahannya membuahkan balasan yang agung. Imam Adz-Dzahabi menjelaskan identiti Ummu Salamah; Ummu Salamah adalah wanita terhormat, berhijab dan suci. Namanya Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Makhzumiyah. Ummu Salamah merupakan sepupu kepada Khalid bin Walid yang digelar Pedang Allah dan Abu Jahal bin Hisyam. Dia termasuk wanita yang pertama kali berhijrah. Sebelum menjadi isteri Nabi Muhammad s.a.w, Ummu Salamah menikah dengan Abu Salamah bin Abdul Asad Aal-Makhzumi, seorang lelaki yang soleh. Mari kita melirik sejenak kehidupan Ummu Salamah sebelum kedatangan islam. Ummu Salamah adalah seorang wanita yang sangat terhormat dan mulia, berasal dari keluarga yang terhormat kerana beliau berasal dari bani Makhzum. Ayahnya juga adalah seorang tokoh Quraisy yang dermawan dan pemurah dan selalu memberi bekal kepada musafir yang kehabisan bekal. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dermawan membuatkan Ummu Salamah menjadi seorang yang dermawan, mempunyai hati yang bersih serta sangat menghayati erti belas kasihan sehingga memancarlah kebaikan dan kemurahan hatinya kepada manusia. Sejak kecil lagi Ummu Salamah sudah menampakkan keperibadian yang kuat untuk menjadi wanita terhormat. Beliau juga memiliki rupa paras yang cantik jelita. Setelah meningkat dewasa, Ummu Salamah dipinang oleh Abdullah(Abu Salamah) bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Abu Salamah merupakan seorang pemuda Quraisy yang terkenal dengan kesatriaan beliau menunggang kuda, beliau juga saudara sesusu Nabi Muhammad s.a.w. Pernikahan Hindun (Ummu Salamah) dan

Abu Salamah dilangsungkan dan mereka hidup bahagia. Setelah Islam tersebar ke Mekah, Ummu Salamah dan suaminya termasuk antara yang segera beriman kepada Allah s.w.t. Ketika hendak berhijrah ke Madinah, Ummu Salamah dan suaminya mengalami peristiwa yang amat memilukan. Ketika Abu Salamah, Ummu Salamah dan putera mereka, Salamah bin Abu Salamah sedang bersiap sedia mahu ke Madinah, berlaku pergaduhan antara keluarga bani Asad dan Bani Mughirah. Keluarga bani Mughirah (keluarga Ummu Salamah) tidak membenarkan Abu Salamah membawa Ummu Salamah pergi ke Madinah manakala bani Asad ( keluarga Abu Salamah) pula tidak membenarkan anak mereka ( Salamah) bersama Ummu Salamah. Setelah itu keluarga bani Mughirah dan bani Asad merebut putera mereka dan keluarga bani Asad berjaya mendapatkan putera Ummu Salamah. Ummu Salamah dibawa pulang oleh keluarganya ( bani Mughirah), anaknya dibawa oleh keluarga suaminya (bani Asad) manakala suaminya, Abu Salamah meneruskan perhijrahan ke Madinah. Maka Ummu Salamah terpisah dengan anak dan suaminya. Namun begitu Ummu Salamah diberi kesabaran yang tinggi untuk terus sabar melalui ujian itu. Sejak terpisah dengan suami dan anaknya, setiap pagi Ummu Salamah akan pergi ke tanah lapang dan duduk sambil menangis. Hal itu dilakukan selama setahun sehingga pada suatu hari seorang sepupunya dari bani Mughirah melihatnya dan berkata kepada keluarga bani Mughirah yang lainya; Tidakkan kalian merasa simpati terhadap wanita malang itu? Kalian telah memisahkannya dari suami dan anaknya. Tidak lama selepas itu keluarga bani Mughirah membenarkan Ummu Salamah pergi mencari suaminya di Madinah. Keluarga bani Asad juga mengembalikan puteranya, Salamah kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah mengeluarkan untanya dan membawa bersama puteranya keluar mencari suaminya. Beliau memulakan perjalanan sendirian bertemankan puteranya yang masih kecil, namun pergantungannya kepada Allah sentiasa melebihi segala-galanya.Di dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Utsman bin Thalhah dan Utsman membantu perjalanannya sehingga beliau bertemu dengan suami tercinta, Abu Salamah. Setelah bertemu dengan suaminya di Madinah, Ummu Salamah hidup bahagia dan dapat beribadah dengan tenang dan bertaqwa serta menggali setiap bentuk kebaikan daripada Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah berusaha keras mendidik empat anaknya ( Zainab, Umar, Salamah dan Durrah) dengan menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah.

Ummu Salamah sangat menyokong suaminya untuk berjuang di medan jihad. Beliau setia menyembuhkan luka-luka pada badan suaminya seusai peperangan,sehinggalah suaminya mengalami kecederaan teruk ketika perang Uhud. Ketika terbaring menanti detik kematian, terjadilah perbualan yang sangat mengharukan antara Abu Salamah dan Ummu Salamah. Ziyad bin Abu Maryam menuturkan, saat itu Ummu Salamah berkata, Aku mendengar bahawa jika seorang isteri ditinggal mati oleh suaminya, sementara suaminya itu menjadi penghuni syurga, lalu isterinya tidak menikah lagi, maka Allah akan mengumpulkan mereka kembali di dalam syurga. Kerana itu aku bersumpah bahawa engkau tidak akan menikah lagi (seandainya aku yang mati terlebih dahulu) dan aku tidak akan menikah lagi setelah engkau mati. Abu Salamah berkata, Adakah engkau mahu taat kepadaku? Ummu Salamah menjawab, ya. Abu Salamah berkata, Jika aku mati terlebih dahulu maka menikahlah lagi. Ya Allah, jika aku mati maka berilah Ummu Salamah seorang suami yang lebih baik dariku yang tidak akan membuatnya sedih dan tidak akan menyakitinya. Tidak lama selepas itu, Abu Salamah meninggal dunia. Allah memakbulkan doa Abu Salamah apabila setelah kematian Abu Salamah, Allah mendatangkan insan paling mulia kepada Ummu Salamah. Setelah kematian suaminya, Rasulullah s.a.w telah datang meminang Ummu Salamah. Ummu Salamah berkahwin dengan Rasulullah s..a.w dan termasuk dalam keluarga yang mulia dan suci. Betapa Allah mengagungkan Ummu Salamah, keagungan yang tiada tolak bandingnya dengan dunia dan seluruh isi dunia. Ummu Salamah menjalani kehidupan yang sangat bahagia dan barakah bersama Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah menjadi seorang isteri yang sangat baik kepada Rasulullah s.a.w. Beliau banyak membantu dakwah Rasulullah s.a.w kerana beliau memiliki pemikiran yang bernas. Diceritakan dalam satu kisah ketika perjanjian Hudaibiyah, setelah selesai menandatangani perjanjian damai dengan kaum musyrik, Rasulullah s.a.w berkata kepada para sahabatnya, Bersiap-siaplah, sembelihlah haiwan-haiwan korban kalian dan cukurlah rambut kalian. Namun, saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang berdiri dan melaksanakan perintah baginda walaupun perintah itu diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah s.a.w. Melihat tidak ada tindakan dari pihak sahabatnya, Rasulullah lantas masuk ke khemah dan menemui Ummu Salamah, menceritakan kejadian tersebut. Disinilah Ummu Salamah memainkan peranannya dengan baik sekali. Wanita yang punya pemikiran

yang hebat ini menyelamatkan para sahabat dari derhaka kepada Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah berkata; Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin sahabat-sahabatmu mengerjakan perintahmu? Keluarlah dan jangan berbicara dengan siapa pun sebelum engkau menyembelih haiwan korbanmu, memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu. Rasulullah s.a.w mengikut saranan Ummu Salamah. Baginda keluar tanpa berbicara dengan siapa pun lalu menyembelih haiwan korbannya serta mencukur rambutnya. Ketika para sahabat melihat tindakan baginda, para sahabat lantas bangkit dan menyembelih haiwan korban mereka serta mencukur rambut mereka. Ummu Salamah juga sangat menyayangi orang-orang yang ada disekelilingnya. Beliau akan sentiasa bahagia jika dapat memberi khabar gembira kepada orang sekelilingnya. Beliau juga yang menyampaikan khabar kepada Abu Lubabah bahawa Allah telah menerima taubatnya. Ummu Salamah juga pernah memujuk Rasulullah untuk memaafkan Abu Sufyan bin Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah. Ketika mereka berdua ingin menemui Rasulullah s.a.w di Abwa, mereka berusaha mengadap baginda namun ketika melihat kedatangan mereka, Rasulullah lantas memalingkan muka kerana tidak dapat menerima perlakuan mereka selama ini yang sangat menyakitkan baginda. Namun Ummu Salamah bertindak memujuk Rasulullah dengan berkata; Wahai Rasulullah, bagaimanapun mereka bukanlah orang yang paling menyakitimu selama ini. Imam Adz-Dzahabi menyebut sifat Ummu Salamah; Dia dianggap salah seorang ulama generasi sahabat. Bagaimana Ummu Salamah tidak mencapai darjat setinggi itu, setiap saat beliau mendengar langsung bacaan al-quran daripada Rasulullah dan mendengar kata-kata Nabi s.a.w dari lisan baginda. Ummu Salamah juga menjadi rujukan para sahabat dalam beberapa persoalan hukum dan fatwa, terutama persoalan yang berkaitan dengan wanita. Ummu Salamah juga meriwayat 378 hadis yang dihafalnya dengan baik. Ummu Salamah meninggal dunia ketika usianya sekitar 90 tahun dan sempat berada dalam dalam pemerintahan Khulafah ar-Rasyidin hingga pemerintahan Yazid bin Muawiyyah. Imam Adz-Dzahabi berkata; Dia adalah Ummul Mukminin yang paling akhir meninggal dunia.

Demikianlah diceritakan kisah hidup wanita agung, Hindun atau dikenali sebagai Ummu Salamah. Betapa kemuliaan akhlaknya, kesucian hatinya dan ketabahannya menjalani ujian kehidupan menjadikan beliau insan yang diagungkan darjatnya oleh Allah s.w.t. sehingga diberi tempat oleh Allah s.w.t. menjalani kehidupan yang barakah bersama insan semulia Rasulullah s.a.w. Betapa kematangan pemikiran beliau menyumbang kepada kejayaan dakwah Rasulullah s.a.w.Semoga ketabahan hatinya, kesetiaannya kepada insan tersayang, kesuciaan hatinya, kesungguhannya mendidik sifat taqwa dalam diri, kesungguhannya menanamkan rasa cinta anak-anaknya kepada Allah dan Rasullah menjadi teladan buat kita yang sentiasa mendamba redha Ilahi. Semoga Allah meredhai Ummu Salamah dan menjadikan syurga firdaus sebagai tempat persinggahan terakhir buat beliau.

ZAINAB binti Jahsy Pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab binti Jahsy r.a. didasarkan pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab. A. Nasab dan Masa Pertumbuhannya Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Riab bin Yamar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Riab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik. Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah. B. Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah Terdapat beberapa ayat A1-Quran yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah saw. Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman. Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid, Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad) Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau. Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi saw.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:

Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab: 36) Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi saw. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah saw. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab. Mendengar itu, beliau bersabda, Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah. Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah. Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah. Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Quran telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah SWT berfirman, Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab:5) Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, d an kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anakanak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab:37) Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi saw. menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat. C. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.

Zainab mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya. Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Qs. Al-Ahzab: 40) Zainab berkata kepada Nabi, Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku. Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab r.a., wanita Yahudiyah itu. Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah. D. Saat Wafatnya Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain. Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah. Tentang Zainab, Aisyah berkata, Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras. Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin. (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Kisah-kisah teladan : Juwairiyah Binti al-Harits

Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuzaiyah alMushthaliqiyyah. Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi. Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya. Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallhu alaihi wa sallam melihat kondis seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?. Maka dia menjawab dengan sopan: Apakah itu Ya Rasulullah ?. Beliau menjawab: Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampirhampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:Mau Ya Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam bersabda: Aku telah melakukannya. Aisyah, Ummul Mukmini berkata:Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:Kerabat Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallhu alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah. Dan Ummul Mukminin Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -

demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat. Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum. Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu anha. Beliau berkata: Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata: Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka Nabi Shallallhu alaihi wa sallam bersabda: Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?. Baiklah, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab:Aku memilih Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H. Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.

JUWAIRIYAH BINTI AL-HARITS SEBAGAI ASBAB HIDAYAH BAGI KAUMNYA


January 26, 2011 by aan in Ummul Mukminin

Parasnya begitu cantik, luas ilmunya dan mulia akhlaknya. Begitulah sejarah Islam melukiskan Juwairiyah binti Al-Harits. Sejatinya, ia bernama Barrah.Wanita itu berasal dari Bani Musthaliq yang menyembah berhala. Ayahnya, Al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang gemar menyembah patung dan sangat memusuhi Islam. Barrah sempat menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi bin Shafwan. Ayahnya berencana untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq sangat bernafsu untuk mengalahkan pasukan tentara Islam dan mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana itupun sampai ke telinga Rasulullah SAW. Untuk memastikan kabar itu, Nabi SAW lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran informasi itu. Ternyata, rencana penyerangan yang akan dilakukan Bani Musthaliq itu tak sekedar isu melainkan kenyataan. Rasulullah pun menyusun kekuatan dan menyerang terlebih dahulu. Pertempuran tentara Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal sebagai perang Perang Muraisi dan terjadi pada bulan Syaban tahun kelima Hijrah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits melarikan diri dari medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh. Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang terpelajar, mengetahui dirinya menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Ia lalu mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi SAW. Upayanya membuahkan hasil. Ya Rasulullah, aku Barrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku! ujarnya.

Nabi SAW berpikir sejenak. Lalu Rasulullah SAW balik bertanya, Maukah engkau yang lebih baik dari itu? Seketika Barrah tercengang dan balik bertanya, Apakah gerangan itu, wahai Rasulullah? Lalu Nabi SAW berkata, Aku tebus dirimu, lalu kunikahi engkau. Mendengar jawaban Nabi SAW, wajah Barrah pun berubah berseri-seri. Baiklah, wahai Rasulullah, tutur Burdah. Lalu Rasulullah SAW menikahinya dan nama Barrah pun diganti menjadi Juwairiyah. Seperti diriwayatkan Aisyah RA, kabar pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah menyebar cepat di kalangan kaum Muslimin. Secara tak terduga, pernikahan itu menjadi berkah bagi kaum Bani Musthaliq yang tertawan dan menjadi budak. Para sahabat membebaskan semua tawanan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Juwairiyah. Dan makin banyak yang berbondongbondong masuk agama islam

kisah istri rosulullah Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah (Wafat 50 H)

Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirnya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya: .. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirin ya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin (QS. Al-Ahzab:50)

Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keirnanan Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertarna kali merneluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam.), Asma binti Urnais (istri Jafar bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul-Muththalib). Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan Nama lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Shashaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy. Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, Al-Muminah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma. Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung. Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.

Kekokohan Iman Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam A1-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi azZuhri. Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. ini telah dinyatakan dalam AlQuran surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhi menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya. Mimpi yang Menjadi Kenyataan Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslirnin rneninggalkan Mekah. Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata. Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami. Dia dik enal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayatriwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas. Saat Wafatnya Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan p erjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Ummu Habibah
Ummu Habibah atau nama sebenarnya Ramlah Binti Abu Sufyan. Inilah serikandi islam yang patut dijadikan teladan bagi muslimah zaman sekarang. Bagaimana tidak? orang-orang terdekat dan dicintainya merupakan musuh baginya. Mereka berusaha memurtadkan dan memalingkannya dari jalan kebenaran. Dialah salah seorang ummul mukminin yang banyak diuji keimanannya. Ramlah Binti Abu Sufyan merupakan puteri kepada seorang pemimpin Quraisy dan orang-orang musyrik hingga penaklukan Mekah. Namun, Ramlah binti Abu Sufyan tetap beriman sekalipun ayahnya memaksa dirinya untuk kafir ketika itu. Abu Sufyan tidak mampu memaksa anaknya ketika itu kerana anaknya menunjukkan pendirian yang kuat dan semangat yang tekad. Ramlah Binti Abu Sufyan rela menanggung beban yang melelahkan dan berat kerana memperjuangkan akidahnya. Pada mulanya, beliau menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy, seorang muslim seperti beliau. Tatkala kekejaman kaum kafir terhadap kaum muslimin, Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya. Disanalah beliau melahirkan seorang anak perempuan, yang diberi nama Habibah. Dengan nama anaknya inilah beliau digelar dengan Kun` yah Ummu Habibah. Ummu habibah senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran memperjuangkan dirinya yang dalam keterasingan dan hanya seorang diri, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Bahkan terjadi musibah yang tidak dia sangka sebelumnya. Beliau bercerita, "Aku melihat dalam mimpi, suamiku dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Aku pun terperanjat dan bangun, kemudian aku

memohon perlindungan kepada Allah SWT dari hal itu. Ternyata tatkala pagi suamiku telah memeluk agama Nasrani. Kuceritakan mimpiku kepadanya, namun ia tidak mengubah pendiriannya." Suaminya mencuba dengan segala kemampuan untuk memurtadkannya, namun Ummu Habibah tetap istiqamah. Bahkan beliau berusaha mengajak suaminya untuk kembali ke Islam, walaupun ditolak mentah-mentah dan malah suaminya semakin asyik dengan khamr. Hal ini berterusan hingga ia meninggal. Hari-hari berlalu di bumi hijrah, dengan ujian-ujian berat menemani Ummu Habibah. Tetapi dengan keimanan yang dikaruniakan Allah SWT, dirinya mampu menghadapinya. Suatu malam, dia melihat dalam mimpinya ada yang memanggilnya; "Wahai ummu mukminin...!" Beliaupun terperanjat bangun. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah SAW kelak akan menikahinya. Setelah selesai masa iddah-nya, tiba-tiba ada seorang budak wanita (jariyah) dari Raja Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa Rasulullah SAW telah meminangnya. Alangkah bahagianya beliau mendengar khabar gembira tersebut. Sehingga beliau berkata; "Semoga Allah memberikan khabar gembira untukmu" Kerana terlalu gembira dengan khabar itu, beliau menanggalkan gelang kakinya lalu diberikan kepada budak wanita yang membawakan perkhabaran tersebut. Setelah itu, beliau meminta Khalid bin Sa'id bin Al-Ash untuk menjadi wakil baginya menerima lamaran Raja Najasy. Rasulullah bertemu dengannya pada tahun ke enam atau ke tujuh Hijriyah. Ketika itu Ummu Habibah berumur 40 tahun. Ummu Habibah

menempatkan urusan agama pada tempat yang pertama. Beliau utamakan akidahnya daripada keluarga. Beliau menyatakan bahwa kesetiaan beliau adalah tidak berbelah bahagi untuk Allah dan RasulNya bukan untuk seorang pun selain keduanya.

Ummu Habibah Binti Abu Sufyan (Wafat 44 H/664 M)


Posted on 20 Juni 2008. Filed under: Isteri-isteri Nabi, Wanita | Kaitkata:Biografi, Hadits, Ibu, isteriisteri rasulullah, istri nabi, Jejak, Kisah,Motivasi, Muslim, Muslimah, Perempuan, Salaf, Sejarah, Tauladan, Ulama, ummul mukminin, Wanita, Wanita Sholehah |

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat? Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau menikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman. Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori pernentangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu Alaihi Wasallam dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin

Unayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim alaihissalam. Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya. Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah. Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu

Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah. Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah. Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, Demi Allah, keadaannya telah berubah. Pagi harinya Ubaidillah berkata, Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani. Aku berkata, Sungguhkah hal itu baik bagimu? Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya. Demikianlah, Ubaidillah keluar dari agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan mempertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kemurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suaminya telah meninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia

kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya. Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku. Dia melanjutkan, Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, Raja berkata kepadamu, Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau. Aku menjawab, Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan. Dia berkata lagi, Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak mengawinkanmu. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya. Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah. Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Hidup bersama Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam

Rasululullah Shalallahu Alaihi Wasallam mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kemenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dari Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalam rumah, yang ketika itu bersamaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi membebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah. Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu. Posisi yang Sulit Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya. Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tandatangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan

yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah. Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu menemui Ummu Habibah dan berusaha memperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melihat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau menyingkirkannya dariku? Ummu Habibah menjawab, Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya. Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaum muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalamnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar memperoleh kemenangan. Allah mengizinkan kaum muslimin untuk membebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung. Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia

akan selamat. Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya. Akhir sebuah Perjalanan Setelah Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Muawiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: Aku mendengar Rasulullah bersabda, Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga. Ummu Habibah berkata, Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. (HR. Muslim) Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalam usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.

Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA. (628672 M) Status ketika menikah: Janda dari Kinanah, salah seorang tokoh Yahudi yang terbunuh dalam perang Khaibar. Periode menikah: 628 M, tahun ke-7 Hijriyah. Anak: tidak ada. Fakta penting: Shafiyah adalah istri Rasulullah SAW yang berlatar belakang etnis Yahudi. Sukunya diserang karena telah melanggar perjanjian yang sudah mereka sepakati dengan kaum Muslimin. Shafiyyah termasuk salah seorang tawanan saat itu. Nabi berjanji menikahinya jika ia masuk Islam. Maka masuklah ia dalam Islam.

RAIHANAH Para perawi hadits berselisih pendapat tentang kehidupan Raihanah. Selain itu, tidak banyak riwayat yang menjelaskan istri Rasulullah yang satu ini. Permasalahan berpusat pada data apakah Rasulullah membebaskannya kemudian menikahinya atau beliau hanya menjadikannya sebagai budak? Sebagian riwayat mengatakan bahwa Raihanah termasuk salah seorang istri beliau, namun riwayat lain mengatakan bahwa dia bukan istri beliau. Agar permalahannya jelas, berikut ini dipaparkan perjalanan hidup Raihanah. Di dalam Thabaqat yang diriwayatkan Ibnu Saad, dikatakan bahwa Raihanah sendiri berkata, Ketika Bani Quraizhah ditawan, saya termasuk yang dihadapkan kepada Rasulullah. Beliau menyuruhku menyendiri karena Rasulullah saw. memiliki hak sebagai pemilih pertama atas rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin. Ketika aku menyendiri, Allah memberiku petunjuk. Beliau mengirirnku ke rumah Urnrnul-Mundzir binti Qais untuk beberapa hari. Beliau mernanggilku dan rnenyuruhku duduk di hadapannya seraya herkata, Jika engkau memilih Allah dan Rasul-Nya maka Rasul-Nya akan memilihmu untuk dirinya. Aku menjawab, Aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya. Ketika aku memeluk Islam, beliau membebaskan dan menikahiku. Kernudian beliau memberiku dua belas uqiyah dan satu nasya sebagaimana beliau berikan kepada istri-istri lainnya, kemudian melangsungkan pernikahan denganku di rumah Ummul-Mundzir. Beliau memberi bagian kepadaku sebagaimana terhadap istri-istri lainnya, dan beliau menyuruhku memakai hijab. Nama lengkap Raihanah adalah Raihanah binti Zaid bin Amru Khunaqah bin Syamun bin Zaid dan Bani Nadhir. Suaminya, al-Hakam, berasal dan Bani Quraizhah. Di dalam kitab As-SamthustTsamin fii Manaqih Ummahatul-Mukminin (Perangkai Mutiara Berharga dalam Keunggulan Istriistri Nabi), Ath-Thabari rneriwayatkan, Muhammad bin Umar mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin Jafar bin Yazid ibnul-Haad mengabarkan kepada kami, dari Tsalabah bin Abi Malik, Raihanah binti Zaid bin Amru bin Khunaqah dari Bani Nadhir bersuarnikan seseorang dari kalangan mereka yang bernama al-Hakam. Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah rnenawannya, kemudian membebaskannya dan menikahinya hingga dia meninggal di sisinya. Di dalam kitab ini pun disebutkan bahwa Muhammad bin Umar mengabarkan kepada karni, Shaleh bin Jafar mengabarkan dari Muhammad bin Kaab, Raihanah termasuk yang Allah bebaska n. Dia adalah wanita cantik dan menawan. Ketika suaminya terbunuh, dia berada dalam tawanan. Dia menjadi bagian Rasulullah pada hari penaklukan Bani Quraizhah. Rasululah saw. memberinya pilihan antara Islam dan tetap dalam agamanya, dan ternyata dia memilih Islam. Rasulullah membebaskannya kemudian menikahi dan memberikannya hijab. Suatu waktu dia sangat cemburu kepada Rasulullah sehingga beliau menceraikannya. Akibat percerainnya, dia tidak

dapat tidur dan sangat bersedih. Rasulullah saw. menemui dan merujuknya kembali sehingga dia tetap bersama Rasulullah hingga meninggal dunia sebelum Rasulullah wafat. Di dalam riwayat lain dalam buku yang sama disebutkan bahwa Raihanah tidak termasuk istri-istri Rasulullah. Abdul Malik bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, dari Ayyub bin Abdur-Rahman bin Shashaah, dari Ayyub bin Basyir al-Muawy, Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah saw. mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qais atau yang dikenal dengan sebutan Ummul-Mundzir. Dia tinggal bersamanya hingga datang haid sekali lalu suci dari haidnya itu. Ummul-Mundzir memberi kabar kepada Rasulullah. Beliau mendatanginya di rumah Ummul Mundzir, dan berkata, Jika kamu suka, aku akan membebaskanmu lalu menikahimu, niscaya akan aku lakukan. Dan jika kamu suka, aku akan menjadikanmu sebagai budakku. Dia menjawab, Ya Rasulullah, aku lebih suka menjadi budakmu. Hal itu lebih meringankan bagiku dan bagimu. Lalu dia tetap menjadi budak beliau dan digauli sebagai budak hingga akhir hayatnya. Demikianlah sekilas riwayat Raihanah binti Zaid bin Amru. Dalam hal kami (penulis buku) tidak terlalu menganalisis riwayat-riwayat yang lain, hanya saja kami sudah meyakini kesepakatan para perawi hadits tentang wafatnya Raihanah semasa hidup Nabi saw. Semoga Allah SWT mengasihi dan meridhainya. Amin. (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)

You might also like