You are on page 1of 10

MANAJEMEN TERKINI KEJANG DAN STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK

PENDAHULUAN Kejang merupakan suatu manifestasi klinik lepas muatan listrik berlebihan dari sel-sel neuron di otak yang terganggu fungsinya. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan fisiologis, anatomis, biokimia atau gabungan dari ketiga kelainan tersebut.1 Penatalaksanaan kejang akut sering kali tidak dilakukan secara adekuat sehingga dapat berkembang menjadi status epileptikus dan sangat merugikan pasien.Status epileptikus (SE) merupakan masalah kegawatan neuropediatri yang cukup sering dijumpai dan menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.1,2 Angka kejadian SE tertinggi dijumpai pada anak usia di bawah 2 tahun, yakni antara 135,2 156 kasus per 100.000 anak/tahun dengan puncak kejadian pada 1 tahun pertama kehidupan dengan angka mortalitas sekitar 22,5%.3-5 Dalam makalah ini akan dibahas mengenai diagnosis dan algoritme tatalaksana kejang akut dan status epileptikus.

DEFINISI International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 mendefinisikan SE sebagai bangkitan kejang yang berlangsung terus-menerus atau kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang selama lebih dari 30 menit.3 Penelitian pada hewan tahun 1970 dan 1980 menunjukkan kerusakan otak setelah kejang selama 30 menit meskipun telah dilakukan kontrol pada tekanan darah, laju napas, dan temperatur. Fakta inilah yang menjadi dasar penetapan durasi waktu 30 menit untuk mendefinisikan suatu SE.4,5 Sebenarnya parameter durasi kejang pada SE sampai saat ini masih menjadi perdebatan.6,7 Definisi operasional SE yang direkomendasikan oleh Lowenstein,dkk adalah kejang menetap atau episode kejang berulang tanpa pemulihan kesadaran di antara bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit. Shinnar dkk, pada penelitiannya menyimpulkan bahwa kejang dengan durasi > 5 hingga 10 menit umumnya tidak berhenti secara spontan, untuk itu memerlukan penanganan sesegera mungkin.1,7,8 Jadi untuk tujuan penatalaksanaan SE, umumnya digunakan batasan durasi waktu yang lebih pendek.

Gambar 1. Skema durasi status epileptikus (Dikutip dari Chaure et al., 2007)

Gambar 1 menunjukkan bahwa kejang sebagian besar berhenti secara spontan dalam 5 menit pertama apapun penyebab yang mendasari. Apabila kejang berlangsung lebih dari 5 menit, penanganan harus secepatnya diberikan mengingat kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit bahkan mencapai 30 menit akan memberikan resiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi SE refrakter, resisten terhadap obat-obatan, dan kerusakan neuron yang diinduksi oleh kejang.9,15

EPIDEMIOLOGI Penelitian epidemiologi terbaru di Amerika Serikat melaporkan angka kejadian SE pada anak berkisar 17/100.000 hingga 23-58/100.000 anak per tahun. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia di bawah 1 tahun yakni 135,2 -156 per 100.000 anak/tahun. SE sering merupakan manifestasi pertama yang dijumpai pada anak dengan epilepsi yakni sekitar 20%, dan juga sekitar 20% anak dengan epilepsi menunjukkan episode SE berulang. Riwayat menderita epilepsi, riwayat mengalami kejang dengan maupun tanpa demam, etiologi yang mendasari, manifestasi klinis ensefalopati-epilepsi yang menyertai, serta rendahnya kadar obat anti epilepsi dalam plasma merupakan faktor resiko dari kecacatan pada SE.10-12.

ETIOLOGI Beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi (meningitis dan ensefalitis), demam, trauma kepala, ketidakpatuhan terhadap obat antiepilepsi, tumor pada susunan saraf pusat, trauma serebrovaskular, ensefalopati hipoksikiskemia, gangguan elektrolit, dan sindrom neurokutaneous. Sekitar 25% penyebab SE diklasifikasikan sebagai idiopatik.2,5,13 Sebuah penelitian prospektif berbasis populasi di Amerika serikat telah melakukan stratifikasi penyebab SE pada anak. Urutan penyebab terbanyak seperti ditampilkan pada tabel 1.5 Tabel 1.Etiologi terbanyak status epileptikus pada anak. Akut

Simptomatis akut (17%-52%) Infeksi SSP akut (meningitis bakteri, meningitis viral, ensefalitis)

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, sedera anoksia) Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi Overdosis obat anti epilepsi Penyebab di luar ketidakpatuhan dan overdosis obat anti epilepsi Prolonged febrile convulsion (23%-30%) Influenza Exantema Subitum Remote symptomatic/simptomatis berulang (16%-39%) Cerebral Migrational Disorders (lissencephaly, schizencephaly) Cerebral Dysgenesis Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy Progressive Neurodegenerative Disorders Idiopatik/Kriptogenik (5%-19%) (Dikutip dari Singh RK dan Gaillard WD, 2009)

PATOFISIOLOGI Terjadinya SE melalui mekanisme yang panjang dan rumit. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa terdapat 2 neurotransmiter utama yakni -aminobutyric acid (GABA) dan glutamat yang memegang peranan terpenting dalam proses inisiasi hingga penyebaran kejang. Saat kejang muncul secara intrinsik pada sebuah neuron, yang biasanya berlokasi di dekat fokus kerusakan otak (fokus epileptogenik), sering terjadi kegagalan mekanisme inhibisi yang dimediasi oleh GABA sehingga memungkinkan keterlibatan neuron-neuron disekitarnya dalam propagasi muatan listrik otak. Kejang berlanjut untuk kemudian disebarluaskan, melalui pelepasan mediator eksitasi seperti glutamat dan aktivasi reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA). Pengamatan pada hewan coba menunjukkan penurunan jumlah reseptor GABA di membran sinap saat berlangsungnya kejang,

sebaliknya jumlah reseptor NMDA meningkat. Perubahan pada sinap inilah yang dapat menjelaskan resistensi pengobatan seiring dengan berlanjutnya kejang dan berkembangnya SE.10,13,14 Glutamat merupakan neurotransmiter asam amino utama dan berikatan dengan beberapa reseptor neuron, salah satunya adalah reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang teraktivasi akibat suatu proses depolarisasi. Glutamat juga mengaktifkan reseptor yang dapat membuka saluransaluran sehingga natrium dan kalsium dapat masuk ke dalam sel neuron. Melalui mekanisme neurotransmisi eksitasi yang berlebihan tersebut maka terjadi kerusakan neuron melalui mekanisme yang cukup rumit. Disamping itu, pemberian obat-obatan yang dapat menghambat efek GABA, yang merupakan neurotransmiter inhibisi utama dalam otak, mampu memicu terjadinya SE. 13-15 Penelitian pada hewan coba, telah membuktikan bahwa ada berbagai mekanisme yang terlibat dalam patofisiologi SE. Mekanisme tersebut mencakup peningkatan mediator prokonvulsif (reseptor AMPA, NMDA, takinin, substansi P, dan neurokinin B), dan rendahnya faktor inhibisi (reseptor GABA, dinorfin, galanin, somatostatin, dan neuropeptida Y).7 Gangguan regulasi modulator siklus sel merupakan mekanisme lain yang terlibat pada kerusakan otak akibat SE. Protein p53 berperan sebagai regulator penting untuk apoptosis yang diduga terlibat dalam merangsang kejang secara in vivo. SE juga diketahui mampu menginduksi resistensi obat. Pada kejang yang berkepanjangan, terjadi peningkatan ekspresi gen dan protein transporter (seperti P-glikoprotein dan Multidrug Resistence Proteins). Protein tersebut mampu menurunkan kadar obat antikonvulsi di dalam otak. Pada fase awal SE, ekspresi dari protein transporter rendah oleh karena ada peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi seperti interleukin-beta-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor-. Sebaliknya, pada SE fase lanjut terjadi mekanisme yang dapat meningkatkan ekspresi protein transporter tersebut sehingga resistensi obat lebih sering terjadi pada fase ini.7,12,15

KLASIFIKASI SE dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe kejang dan etiologi. Tipe kejang ditentukan oleh asal dari gelombang epileptik yakni fokal (partial) dan umum (general) seperti pada Tabel 2.7,12 Kejang dengan onset partial berasal dari fokus tunggal di daerah korteks yang kemudian terjadi propagasi menyebar ke seluruh area korteks. Hal tersebut berbeda dengan kejang umum yang melibatkan seluruh area korteks secara simultan. Karakteristik SE dengan onset kejang umum frekuensinya yang lebih sering dijumpai pada anak-anak dibandingkan dewasa. Sementara kejang partial merupakan kejang konvulsif umum sekunder yang dapat terjadi pada semua usia, namun insiden terbanyak dijumpai pada pasien dewasa. Di samping itu, kejang tipe convulsive lebih banyak terjadi dibandingkan tipe non convulsive yakni sekitar 70-86%.10,16

Selain berdasarkan tipe kejang, SE juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yang mendasari. Berdasarkan etiologi, SE dapat diklasifikasikan menjadi simptomatis akut, remote symptomatic, remote symptomatic with an acute precipitant, ensefalopati progresif, febrile, dan kriptogenik/idiopatik. Kategori idiopatik saat ini dibatasi untuk SE yang disebabkan oleh faktor genetik. Remote symptomatic with an acute precipitant merupakan SE pada anak yang telah didiagnosis epilepsi sebelumnya.3,11

Tabel 2. Klasifikasi SE pada anak berdasarkan semiologi kejang Epileptikus non konvulsif Absan (tipikal/atipikal) SE Fokal dengan gejala sensorial SE autonomik atau fokal dengan gejala afektif SE fokal dengan gejala autonomik SE kompleks-partial Continuous spike and wave during slow sleep SE konvulsif Fokal Motorik fokal Motorik fokal dengan generalisasi sekunder Epilepsi partial kontinua Umum Myoklonik Klonik Tonik Tonik-klonik (Dikutip dari Mastrangelo, M dan Celato, A., 2012)

Manifestasi Klinis Pada SE konvulsivus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut: 1. Pre-status, adalah suatu fase sebelum status yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE. 2. Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus-menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis. 3. Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit, yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh. 4. Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama. 5. Substle status/super refrakter status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burtsupression pattern).17,18

Pemeriksaan Penunjang Lumbal Punksi Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.3,9,18

Elektoensefalografi (EEG) EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.3,12

Pencitraan American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.3,11 Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.3,5,12

PENATALAKSANAAN Sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional mengenai penatalaksanaan kejang akut dan status epileptikus pada anak. Masing-masing pusat pelayanan kesehatan maupun pendidikan memiliki pedoman yang berbeda, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.7,9,11 Apapun tipe dan etiologi kejang yang terjadi, tatalaksana yang harus dilakukan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.19,22 1. Manajemen Airway, Breathing dan fungsi circulation (ABC) yang cepat dan adekuat. Jalan nafas harus baik agar oksigenasi terjamin baik, pasien diposisikan miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Bila pasien datang dalam keadaan kejang,

atasi kejang secepatnya. Tanyakan hal-hal yang penting saja, anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap baru dilakukan setelah kejang teratasi. 1. Terminasi kejang dan pencegahan berulangnya kejang berikutnya Upaya menghentikan kejang dan mencegah berulangnya kejang dapat mengikuti algoritme tatalaksana kejang akut dan status epileptikus konvulsif sesuai gambar 2.20 Salah satu penyebab tersering kegagalan mengatasi kejang adalah kesulitan mendapatkan akses intravena. Akan tetapi, saat ini sudah tersedia antikonvulsan dengan berbagai jalur pemberian, misalnya intravena (diazepam, lorazepam, midazolam, fenobarbital, phenitoin), intramuskuler (midazolam), rectal (diazepam, paraldehid), dan sublingual (lorazepam, midazolam). Jalur intraoseus hanya dilakukan bila jalur lain tidak berhasil.20-22 Dalam keadaan darurat, semua obat antikonvulsan tersebut kecuali paraldehid dapat diberikan secara oral melalui kateter intranasal, tetapi absorpsi per oral biasanya kurang baik, onsetnya lama dan ada risiko aspirasi. Obat-obatan antikonvulsan yang sering digunakan, dosis, tatacara pemberian, dan efek samping obat tercantum pada tabel 3.4.19,20

Gambar 2. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus konvulsive

Tabel 3. Obat Antikonvulsan pada kejang dan status epileptikus

PROGNOSIS

Luaran pasien anak dengan SE sangat ditentukan oleh kecacatan dan kematian yang ditimbulkan. Angka kematian SE pada anak masih tinggi, dengan penyebab utama kematian adalah infeksi intrakranial dan gangguan neurologi berat sebagai penyakit yang mendasarinya.5,7,11 Waslon (2010) melaporkan bahwa SE refrakter yang bertahan hidup memiliki banyak kecacatan di bidang neurologi termasuk salah satunya adalah epilepsy.2 Beberapa penelitian melaporkan bahwa faktor umur, status neurologi sebelumnya dan etiologi SE yang mendasari merupakan faktor resiko kematian pada SE.2,7,21 Resiko berulangnya SE dalam 1 tahun pertama adalah 11-16%, sementara pada 2 tahun pertama sebesar 18%.5,8,22 Angka kematian bayi dan anak akibat SE saat ini cenderung mengalami penurunan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh penanganan yang lebih baik dan ketersediaan fasilitas ruang intensif yang semakin memadai.11,20

SIMPULAN Status epileptikus dapat terjadi karena kurang adekuat tatalaksana kejang akut. Meskipun sebagian besar kejang akut dapat berhenti sendiri sebelum 5 menit, tetapi sebagian lain memerlukan pengobatan yang adekuat untuk mencegah berkembang menjadi status epileptikus. Setelah kejang berhasil diatasi, selanjutnya adalah mencegah berulangnya kejang, melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis yang lengkap serta pemeriksaan penunjang untuk mencari dan mengobati etiologi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bassin S. Smith TL, Bleck TP. Clinical review:status epilepticus. Critical Care. 2002;6:137-42. 2. Walson KH. Pediatric status epilepticus: pathophysiology and management. Neuro Update. 2010;2:5. 3. Riviello JJ, Hirtz AD, Glauser T, Ballaban-Gil K, Kelley LD, Phillips MS, et all. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with status epilepticus (an evidence-based review) : report of the quality standards subcommittee american academy of neurology and the practice committee of the neurology society. American Academy of Neurology. 2006;67:1542-50. 4. Scott RC, Surtees RAH, Neville BGR. Status epilepticus: pathophysiology, epidemiology, and outcome. Arch Dis Child. 1998;79:73-7. 5. Singh RK, Gaillard, WD. Status epilepticus in children. Current Neurology anad Neuroscience Reports. 2009;9:137-44.

6. Behera CMK, Rana KS, Kanitkar M, Adhikari KM. Status epilepticus in children. MJAFI. 2005;61:2. 7. Mastrangelo MC. A diagnostic work-up and therapeutic options in management of pediatric status epilepticus. World J Pediatr. 2012;8:2 8. Kang DC, Lee YM, Lee J, Kim HD, Choe C. Prognostic factor of status epilepticus in children. Yonsei Medical Journal. 2005;46:1:27-33. 9. Chaure MC, Neville BG, Bedford H, Scott RC. The epidemiology of convulsive status epilepticus in children: a critical review. Epilepsia. 2007;48(9):1652-63. 10. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Epilepsy. 2010;48:1091-102. 11. Kravljanac R, Jovic N, Djuric M, Jankovic B, Pekmezovic T. Outcome of status epilepticus in children treated in the intensive care unit: a study of 302 cases. Epilepsia. 2011; 52(2):358-63. 12. Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, Polat M, Tosun A. Serdaglu G, et al. Convulsive status epilepticus in children. Seizure. 2011; 20:115-118. 13. Martin LD, Pellock JM. Status Epileptikus. Dalam: Swaiman KF, Stephen A, Donna M, Ferriero. Pediatric Neurology. Principles & Practice. Volume 1 Fourth edition. 2006.Chapter 48: 1091-1104 14. Chen JWY, Naylor DE, Wasterlain CG. Advances in the pathophysiology of status epilepticus.Acta Neurol Scand. 2007; 115(suppl.186):7-15. 15. DeLorenzo RJ, Sun DA. Basic mechanism in status epilepticus: Role of caklcium in neural injury and the induction of epileptogenesis. Dalam: Blume WT, editor. Intractable epilepsy; Advance in Neurology. 2006.vol.7.p.187-197. 16. Dan B, Boyd SG. Nonconvulsive (dialeptic) status epilepticus in children. Current Pediatric review. 2005; 1:7-16. 17. Shorvon Simon. The Management Status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2001;70(suppl II):ii22-ii27. 18. Siddiqui TS, Rehman AU, Jan MA, Wazeer MS. Status epilepticus: aetologi and outcome in children. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2008; 20:3. 19. Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with generalized convulsive status epilepticus. Paediatr Child Health. 2011;11:2. 20. Widodo DP. Algporitme penatalaksanaan kejang dan status epileptikus pada bayi dan anak. Dalam: Pediatric Neurology and neuroemergency in daily practice; PKB FKUI/RSCM Jakarta 2006, hal.63-69. 21. Wheless JW, Clarke DE. Status Epilepticus. Dalam: Bernard Maria, editor. Current management in child neurology. 3ed. 2005.p 503-508. 22. Scott RC, Neville BGR. Pharmacological management of convulsive status epilepticus in children. Develepmental medicine & child neurology. 1999; 41:207-10.

You might also like