You are on page 1of 10

Patofisiologi

SLE adalah interaksi antara factor genetic dan lingkungan yang menghasilkan suatu respone imun yang abnormal. Beberapa mekanisme yang mendasari SLE adalah: Aktivasi inatte imunity oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun atau RNA pada selfantigen Menurunkan threshold respon imun adaptive oleh sel T dan sel B Regulasi dan inhibisi sel T CD4+ dan CD8+ yang tidak efektive/aktif Penurunan bersihan dari sel yang diappoptosis atau kompleks imun, sehingga mengendap dijaringan dalam jangka waktu yang lebih lama. SLE terkait dengan mutasi/kelainan pada gen penyandi antibody sehingga menyebabkannya mampu menghasilkan autoantibody. Sedangkan efek lingkungan lebih berperan kepada eksaserbasi penyakit sehingga memunculkan manifestasi klinik. Sel-sel yang terpapar lingkungan akan menyebabkan apoptosis sel yang selanjutnya akan merangsang inflamasi yang nantinya dapat mengaktifasi respon imun non-spesifik maupun

spesifik. Aktivasi sel T nantinya akan membentuk suatu autoantibady. Atau rangsang luar menyebabkan sel target mengekspresikan self-antigen yang dikenali sel APC sebagai non-self sehingga mengaktivasi sel T autoreasktif dan mengaktivasi kaskade autoimun. Pada tahap akhir, autoantibody yang terbentuk akan berikatan dengan self-antigen yang akan membentuk suatu kompleks antigen-antibody. Kompleks antigen-antobody ini akan bertahan lebih lama (karena penurunan clearance) sehingga terakumulasi dijaringan membentuk suatu deposit yang dapat memunculkan gejala SLE tergantung organ tempat deposit. Pada penderita yang secara genetic menunjukkan predisposisi untuk SLE dapat dijumpai gangguan system regulasi sel T dan fungsi sel B, yang dapat diinduksi berbagai hal, seperti sinar UV (radiasi matahari), infeksi mikroba, obat-obatan dll. Manifestasi awal yang menetap adalah anergi terhadap antigen umum. Diduga hal ini muncul karena adanya limfosit T yang memiliki kepekaan terhadap infeksi oportunistik dan defisiensi limfosit T penekan. Karena tidak adanya sel T penekan, terjadi hiperaktif sel B sehingga produksi antibody berlebihan melalui pembentukan BCGF dan BCDF. Hiperaktifitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobinemia pada darah tepi. Tapi, hal ini saja belum cukup untuk menjelaskan manifestasi SLE. Pembentukan ANA atau anti-DNA juga membutuhkan adanya kelainan gen yang menyebabkan system imun responsive terhadap self-sntigen. Pembentukan ANA pada SLE ini kemudian akan berikatan dengan self-antigen membentuk kompleks imun yang dapat mengaktifasi komplemen yang berakibat kerusakan jaringan. Hal-hal yang dapat menyulut gangguan pengendalian respons imun pada penderita SLE contohnya adalah paparan sinar UV yang dapat mempengaruhi sel Langerhans untuk memproduksi IL-1 yang merangsang se T CD4+ sehingga terjadi respond imun selular spontan pada daerah tersebut. Infeksi juga dapat menyulut respon imun karena mampu merangsang aktivasi makrofag dan monosit, serta penggunaan obat yang dapat mengikat DNS misalnya isoniazid.

patogenesis SLE

Pembentukan autoantibodi
Gen -C14,C2,C4, -HLA, DR,3,8,MBL,Fc2A, 3A,2B,IL-10MCP-1 Lingkungan -Sinar UV -Infeksi? -EBV(Eipstein Barr Virus)

-Ekpresi respon imun abnormal -Aktivasi innate imunity(dendrtik sel -penurunan clearence dari sel apoptotik -penurunan batas ambang aktivasi sel imun adaptif(antigen spesifik T dan BLimfosit) -Regulasi dan inhibisi yang tidak efektif dari sel TCD4+ dan CD8+ Aktivasi sistem komplemen abnormal Antigen masuk

Dendritik sel

B cell

T cell

Produksi autoantibodi (ANA)terus menerus

Pelepasan bahanseperti: -Bahan vasoaktif; Vasodilatasi jaringan vaskular sehingga antibodi autoreaktif gampang masuk -Chemocine -Chitokine= Manifestasi klinis demam

Kerusakan organ target: -Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi Manifestasi berlangsung lama akibat regulasi dan inhibisi sel T. Organ yang paling sering terkena adalah organ seperti jantung, ginjal dan paru-paru, -dsb

proses kerusakan organ target

Aktivasi komplemen

Autoantibodi terus menerus

Pelepasan bahan vasoaktif

Vasospasme pembuluh darah Infiltrasi ke organ target

Regulasitas dan inhibisi sel T CD 4+ dan CD8

Kerusakan organ target : -Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi -Biasanya yang menjadi organ sasaran yang paling tersering adalah jantung, renal, paru dan kulit -Pada organ jantung; Yang paling tersering adalah katup jantung akibat dari akumulasi ANA, sehingga terjadi peradangan dan yang paling tersering adalah infiltrasi sel mononuklear, jaringanparut dan jaringan nekrosis sehingga terjadi penyakit jantung -Pada organ paru biasanya sering akibat reaksi peradangan,emboli paru, hipertensi pulmonal sehingga terjadi hemoptisis paru -Manifestasi renal Biasanya sering terjadi setelah 5 tahun menderita SLE,puncak insiden pada usia 20-30 thn Biasanya yang sering adalah akibat nefritis -Pada gastrointestinal Tidak spesifik, menggambarkan keterlibatan berbagai organ pada SLE atau sebagai akibat pengobatan Gangguan seperti disfagia akibat gangguan motilitas, nyeri abdomen akibat mesentric

PATOFISIOLOGI demam rematik

Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung, organ lain seperti sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi, dan otak.

JANTUNG Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat.

Peradangan endokardium biasanya mengenai endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul di sepanjang pinggir daun katup. Perubahan akut ini dapat mengganggu penutupan katup yang efektif, mengakibatkan regurgItasi katup, stenosis tidak terdeteksi sebagai lesi akut. Gangguan katup akut sering bermanifestasi klinis sebagai bising jantung.

Bila myocardium terserang, timbul lesi nodular kahs yang dikenal sebagai badan Aschoff pada dinding jantung. Miokarditis dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung kongestif. Namun, perkembangan klinis menjadi gagal jantung jarang ditemukan pada awal serangan. Bila terdapat gagal jantung, biasanya disertai gangguan pada katup jantung. Perikarditis yang biasanya timbul bersamaan dengan miokarditis dan valvulitis, relative jarang terjadi. Perikarditis eksudatif yang diserati penebalan lapisan pericardium merupakan ciri khas demam rematik akut. Perikarditis biasanya timbul sebagai suara gesekan, walaupun dapat pula timbul efusi pericardium. Hal ini jarang berkembang menjadi tamponade jantung.

JARINGAN LAIN Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin ada pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang lebih kecil. Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini cenderung ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel dan mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada benda Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik. Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis. Pada artritis reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi lapisan sinovia menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus subkutan, yang membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo ekstensor, telah diuraikan di atas. Vaskulitis, yang merupakan dasar proses patologis eritema marginatum, juga menyebabkan lesi ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang ditemukan pada demam reumatik akut. Demikian pula, vaskulitis dapat merupakan proses patologis yang berhubungan dengan korea Sydenham (St. Vitus dance). Ganglia basalis dan serebellum adalah tempat perubahan patologis yang sering ditemukan pada pasien dengan gejala korea Sydenham. Perubahan ini terdiri dari perubahan selular dengan infiltrasi perivaskular oleh sel limfosit. Pada literatur lain menyebutkan kelainan-kelainan pada susunan saraf pusat ini (korteks, ganglia basalis, serebellum) tidak dapat menerangkan terjadinya korea, kelainan tersebut dapat ditemukan pada penderita demam reumatik yang meninggal dan diautopsi tetapi sebelumnya tidak pernah menunjukkan gejala korea.

Nekrosis Fibrinoid Lokal JANTUNG SENDI Atrhtritis sendi besar Sebukan sel radang kronis dan edema sendi yang terkena + jaringan lunak periartikuler PULMO Infiltrat peradangan interstisial kronis dan peradangan fibrosa permukaan pleura KULIT Nodus Subkutis Eritema Marginatum Ruam makulo papular Lesi fokal Badan Aschoff besar

Endokarditis Miokarditis Perikarditis

You might also like