You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kelangsungan hidup dan berfungsinya sel secara normal bergantung pada pemeliharaan konsentrasi garam, asam, dan elektrolit lain di lingkungan cairan internal. Kelangsungan hidup sel juga bergantung pada pengeluaran secara terus menerus zat-zat sisa metabolisme toksik dan dihasilkan oleh sel pada saat melakukan berbagai reaksi demi kelangsungan hidupnya. Ginjal adalah organ yang berperan penting dalam hal ini. Sewaktu difiltrasi oleh ginjal, plasma mempetahankan konstituen-konstituen yang diperlukan bagi tubuh dan mengeliminasi bahan-bahan yang tidak diperlukan atau berlebihan di urin. Urin yang merupakan produk akhir ginjal mengandung beberapa zat-zat tertentu dan memiliki karakter fisik tertentu. Pada hasil urin yang normal memiliki karakter fisik yang khas dan hanya terdapat beberapa zat saja, zat-zat tersebut juga dalam nilai tertentu. Berbagai hal dapat menyebabkan karakter fisik urin tersebut berubah, baik secara fisiologis maupun patologis Pada praktikum ini kita akan melakukan pemeriksaan-pemeiksaan untuk lebih memahami tentang perubahan karakter fisik urin. Dengan melakukan praktikum ini , diharapkan kita menjadi paham dan mengerti benar tentang berbagai perubahan karakter fisik urin sehingga dapat menerapkannya dalam dunia kedokteran dan dapat berguna bagi masyarakat di sekitar kita.

B. TUJUAN
Mengerti dan memahami perubahan karakter fisik urin sebagai akibat dari asupan

berbagai tipe air berbeda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Fungsi spesifik Ginjal :

Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh. Mengatur Jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES. Memelihara volime plasma yang sesuai. Membantu memelihara keseimbangan asam-basa. Memelihara Osmolaritas. Mengkskresikan (eliminasi) produk-produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh. Mengekskresikan banyak senyawa asing. Mengekskresikan eritropoietin. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. (Sherwood, 2001 : 463)

Proses pembentukan urin Filtrasi Glomerulus : Merupakan langkah pertama pembentukan urin. Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsul bowman. Setiap hari terbentuk filtrat rata-rata 180 L. Tubulus-tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga dapat terjadi perpindahan bahan-bahan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler peritubulus. Reasorbsi Tubulus : Pada saat filtrat mengalir melalui tubulus, zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan bahan-bahan yang bersifat selektif dari bagian dalam tubulus ke dalam darah ini disebut reasorbsi tubulus. Zat-zat yang direasorbsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus
2

melalui sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direasorbsi, zat-zat yang tidak dibutuhkan dan perlu dieliminasi akan tetap berada di urin. Sekresi tubulus : perpindahaan selektif zat-zat yang tidak diperlukan tubuh dari darah kapiler peritubuluske dalam lumen tubulus, merupaka rute kedua bagi dari darah masuk ke dalam tubulus. (Sherwood, 2001 : 467)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.

ALAT DAN BAHAN


Alat : Tabung reaksi Pipet Wadah penampung urin Dipstick Urinometer Bahan : Air putih Minuman isotonik Teh tawar

Naracoba: Mahasiswa

B. CARA KERJA
Memilih 4 orang mahasiswa untuk dijadikan probandus dari tiap kelompok. Meminta naracoba untuk miksi dan menampung urinnya dalam wadah.

Mencatat volume, penampakan urin, serta mengukur dengan dipstick dan catat hasil dipsticknya. Meminta naracoba II minum 1000mL air mineral (4 gelas air mineral kemasan), naracoba III minum 1000mL cairan isotonik (2 botol sedang), dan naracoba IV minum 1000mL teh tawar (5 gelas) maksimal dalam waktu 15 menit; naracoba I tidak minum apapun dan berperan sebagai kontrol. Meminta naracoba untuk miksi dan menampung urinnya setiap 30 menit sebanyak 2 kali; Jangan lupa untuk mengukur dan mencatat volume, penampakan, berat jenis menggunakan urinometer, dan dipstik. Menambahkan air kedalam urin untuk mengukur berat jenis apabila volume urin tidak mencukupi.

BAB IV ANALISIS

A.

HASIL

B. PEMBAHASAN 1. Volume
Pada menit ke 0 volume masing-masing naracoba berbeda-beda hal itu dikarenakan asupan cairan masing-masing naracoba yang berbeda-beda setiap harinya, karena urin yang diekskresikan oleh masing-masing orang dipengaruhi oleh asupan cairan oleh masing-masing pribadi. Semakin banyak asupan cairan seseorang maka urin yang diekskresikan pun makin banyak, begitu pula sebaliknya. Urin yang dihasilkan pada menit pertama ini bisa dijadikan pembanding untuk urin yang dihasilkan setelah naracoba diberi perlakuan. Sedangkan naracoba yang tidak diberi perlakuan bisa menjadi kontrol untuk dibandingkan dengan urin yang diberi perlakuan. Pada urin yang dihasilkan oleh naracoba I (kontrol) didapatkan hasil bahwa volumenya semakin berkurang setelah 30 menit, dari yang pada menit awalnya 140 mL menjadi 26 mL. Pada menit ke 60 pun volume urinnya juga makin berkurang menjadi 15 mL. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada orang yang tidak menambah asupan cairannya semakin lama volume urinnya semakin berkurang. Jika hal itu terus menerus berlanjut maka lama kelamaan cairan yang dikeluarkan akan dikurangi karena tubuh juga memiliki mekanisme untuk menjaga keseimbanan H2O dalam tubuh. Tubuh akan mengurangi pengeluaran agar H2O dijaga agar tetap berada dalam tubuh untuk kelangsungan hidup sel-sel tubuh. Pada naracoba II yang diberi perlakuan meminum air mineral sebanyak 4 gelas yaitu sekitar 1000 mL, volume urin yang dihasilkan pertama kali termasuk banyak yaitu 405 mL. Hal itu dapat menyatakan bahwa asupan cairan naracoba II termasuk cukup. 30 menit setelah diberi perlakuan volume urin naracoba II sebanyak
6

296 mL, walaupun lebih sedikit dari volume urin sebelum diberi perlakuan tetapi urin tersebut termasuk banyak. Pada menit ke 60 setelah diberi perlakuan volume urin bertambah menjadi 300 mL. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa air mineral yang diminum oleh naracoba II perlu melalui proses tertentu terlebih dahulu sebelum ia diekskresikan. Ia perlu melalui beberapa tahap dahulu sebelum akhirnya ditampung di vesica urinaria dan dikeluarkan sebagai produk akhir. Pada menit ke 30 proses pembentukan urin di dalam ginjal masih setengah berjalan atau masih sedikit urin yang telah selesai diproses. Sedangkan pada menit ke 60 urin yang telah selesai diproses telah banyak. Dengan begitu didapatkanlah hasil urin pada menit ke 60 lebih banyak daripada menit ke 30. Hasil dan proses yang sama dialami juga pada naracoba III dan IV. Jika membandingkan antara kontrol dengan naracoba II, III, dan IV, volume urin dari kontrol berkurang karena tubuh mempertahankan H2O di dalam tubuh tetap seimbang karena tidak adanya asupan cairan tambahan ke dalam tubuhya, sedangkan pada naracoba II, III, dan IV volume urin pada menit ke 30 setelah diberi perlakuan berkurang dari volume urin sebelum diberi perlakuan dan pada menit ke 60 mengalami kenaikan karena asupan cairan kedalam tubuh perlu waktu untuk diproses terlebih dahulu baik diedarkan ke setiap sel dalam tubuh, beredar di pembuluh darah, maupun diolah di ginjal sebelum akhirnya ditampung di vesika urinaria dan diekskresikan. Selain itu karena naracoba II, III, IV mendapatkan asupan cairan yang cukup kedalam tubuh mereka maka keseimbangan cairan di dalam tubuh pun tetap terjaga dan masih ada cairan tubuh yang berlebih yang akhirnya dibuang lewat urin sehingga urinnya tidak terus menerus berkurang melainkan bertambah dari sebelumnya.

2. Penampakan
Pada menit ke 0 penampang-masing masing naracoba berbeda-beda, yaitu pada naracoba I adalah kuning, jernih; naracoba II adalah kuning muda, jernih; naracoba III adalah kuning tua, jernih; naracoba IV adalah kuning tua, jernih. Perbedaan tersebut dikarenakan asupan cairan masing-masing naracoba yang berbeda-beda setiap harinya, karena penampakan urin yang diekskresikan oleh masing-masing orang dipengaruhi oleh asupan cairan oleh masing-masing pribadi baik dari segi jumlah maupun jenis asupannya. Semakin banyak asupan cairan
7

seseorang maka urin yang diekskresikan pun makin jernih karena zat-zat sisa yang di sekresikan kedalam urin sedikit dan tetap dipertahankan di dalam tubuh, sedangkan kelebihan H2O di dalam tubuh diekskresikan keluar. Seperti halnya pada volume, urin yang dihasilkan pada menit pertama ini bisa dijadikan pembanding untuk urin yang dihasilkan setelah naracoba diberi perlakuan. Sedangkan naracoba yang tidak diberi perlakuan bisa menjadi kontrol untuk dibandingkan dengan urin yang diberi perlakuan. Pada urin yang dihasilkan oleh naracoba I (kontrol) didapatkan hasil bahwa warna urinnya semakin berubah menjadi tua setelah 30 menit jika dibandingkan denganwarna urin sebelum diberi perlakuan. Pada menit ke 60 pun volume urinnya juga makin bertambah tua. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada orang yang tidak menambah asupan cairannya semakin lama warna urinnya semakin tua. Sedangakan pada kejernihan urin tetap, dengan kata lain tidak berubah menjadi keruh. Hal itu terjadi karena tanpa adanya asupan cairan tambahan maka H2O dipertahankan didalam tubuh dan sebagai gantinya zat-zat yang berlebih di sekresikan kedalam urin untuk menjaga keseimbangan cairan, ion dan asam basa dalam tubuh. Pada naracoba II yang diberi perlakuan meminum air mineral sebanyak 4 gelas yaitu sekitar 1000 mL, naracoba III yang diberi perlakuan meminum cairan isotonik sebanyak 2 botol sedang sekitar 1000 mL, dan naracoba IV yang diberi perlakuan meminum teh tawar sebanyak 5 gelas yaitu sekitar 1000 mL, warna urin yang dihasilkan pada menit ke 30 dan ke 60 semakin muda dan jernih. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa asupan cairan yang cukup dapat menjaga warna urin tetap normal, yaitu kuning muda - kuning tua, selain itu juga menjaga agar urin tetap jernih. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan asupan cairan yang cukup kedalam tubuh maka keseimbangan cairan di dalam tubuh tetap terjaga sehingga zat-zat dan ion-ion penting seperti K+, Cl+, dan yang lainnya tidak perlu dikeluarkan dari tubuh. Denang begitu H2O yang berlebihan dapat dibuang lewat urin dan karena dominasi dari H2O yang sangat besar maka warna urin menjadi lebih muda. Kejernihan urin pun dapat terjaga karena pada asupan cairan para naracoba yaitu air mineral, minuman isotonik, dan teh tawar tidak mengandung zat-zat makromolekul seperti karbohidrat dan protein yang dapat menyebabkan kekeruhan urin. Akan tetapi minuman isotonik mengandung banyak garam atau disebut juga elektrolit yang dapat
8

meningkatkan produksi Tamm Horsefall Protein (THP), suatu protein yang berfungsi mencegah infeksi kuman, dan mempunyai efek samping dapat menginduksi agregasi atau pengumpulan zat-zat lain dalam urin (kalsium,dll). Akan tetapi hasil tidak menyatakan adanya kekeruhan yang dapat menyatakan adanya pengendapan dan produksi THP tersebut. dengan begitu dapat dikatakan konsumsi minuman elektrolit yang secukupnya dan tidak terlalu sering masih dapat ditoleransi dan tidak menyebabkan terjadinya kelainan. Hal tersebut penting untuk diperhatikan.

3. Berat Jenis (BJ)


Pada menit ke 0 BJ masing-masing naracoba hanya diukur menggunakan dipstick. Didapatkan hasil BJ : naracoba I 1,030; naracoba II 1,020; naracoba III 1,025; naracoba IV 1,025. Perbedaan disebabkan oleh asupan cairan masing-masing naracoba yang berbeda-beda setiap harinya, karena BJ urin yang diekskresikan oleh masing-masing orang dipengaruhi oleh asupan cairan oleh masing-masing pribadi baik dari segi jumlah maupun jenis asupannya. Selain itu BJ juga dapat menyatakan keadaan patologis pada seseorang. BJ normal berkisar 1,015-1,025. Semakin tinggi BJ seseorang maka pada urin orang tersebut semakin mengandung zat-zat yang membuat BJ urin naik, bisa protein, glukosa, dan lain-lain. Pada urin yang dihasilkan oleh naracoba I (kontrol) didapatkan hasil bahwa BJ urin yang diukur menggunakan urinometer semakin lama semakin tinggi. Pada pemeriksaan BJ mengguankan dipstick pun begitu. Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa pada orang yang tidak menambah asupan cairannya semakin lama BJ-nya semakin naik. Hal itu terjadi karena tanpa adanya asupan cairan tambahan maka H 2O dipertahankan didalam tubuh dan sebagai gantinya zat-zat yang berlebih di sekresikan kedalam urin untuk menjaga keseimbangan cairan, ion dan asam basa dalam tubuh. Dengan sekresi zat-zat tersebut kedalam darah maka BJ urin semakin naik. Pada naracoba II yang diberi perlakuan meminum air mineral sebanyak 4 gelas yaitu sekitar 1000 mL, naracoba III yang diberi perlakuan meminum cairan isotonik sebanyak 2 botol sedang sekitar 1000 mL, dan naracoba IV yang diberi perlakuan meminum teh tawar sebanyak 5 gelas yaitu sekitar 1000 mL, BJ yang dihasilkan dari pengukuran dengan urinometer mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa asupan cairan yang cukup dapat menjaga BJ urin tetap
9

normal, yaitu sekitar 1,015-1,025, nilai yang berada di bawah tidak jauh dari nilai normal dianggap masih normal. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan asupan cairan yang cukup kedalam tubuh maka keseimbangan cairan, ion, dan asam-basa di dalam tubuh tetap terjaga sehingga zat-zat dan ion-ion penting seperti K+, Cl+, dan yang lainnya tidak perlu dikeluarkan dari tubuh. Denang begitu zat-zat di dalam urin masih normal dan tidak mengakibatkan kenaikan BJ. Air mineral dan teh yang tawar tidak mengandung makromolekul yang dapat mengakibatkan konsentrasi dalam cairan tubuh dapat berubah. Akan tetapi minuman isotonik mengandung banyak garam atau disebut juga elektrolit. Seharusnya hal itu dapat mempengaruhi kenaikan BJ urin, tetapi pada hasil yang didapat tidaklah demikian. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa BJ tidak dapat berubah dengan segampang itu, tubuh masih memiliki mekanisme kompensasi untuk mengatasi ketidakseimbangan kecil yang dihasilkan oleh makanan dan minuman yang kita makan. Tetapi jika kita meminum minuman isotonik tersebut secara sering dan dalam jumlah besar maka lama-lama BJ urin pun pasti akan berubah. Dari hasil juga ditemukan beberapa perbedaan antara BJ yang diukur dengan urinometer dan dipstick. Hal itu dapat disebabkan oleh bemacam-macam hal. Mungkin terjadi kesalahan pada praktikan pada saat mengukur BJ menggunakan urinometer baik karena BJ yang menempel pada dinding tabung ukur sehingga pembacaannya tidak valid ataupun karena memang terjadi kesalahan pembacaan oleh praktikan; bisa juga karena dipstick yang tidak sensitif lagi terhadap zat-zat yang terkandung di dalam urin; atau pun bisa karena saat pembacaan dipstick pada kertas pembacaan dipstick, dipstick terkena oleh urin lain yang menempel pada kertas pembacaan dipstick pada pembacaan dipstick sebelumnya (dipstick sebelumnya juga dimasukkan ke dalam urin dan dipstick langsung diangkat dan ditempelkan pada kertas pembacaan dipstick untuk mempermudah hasil pembacaan) yang belum dibersihkan.

4. Darah (Blood) dan Leukosit


Pada pembacaan hasil pengukuran urin dengan dipstick tidak ditemukan adanya darah maupun leukosit pada urin naracoba I, II, III, dan IV baik pada menit 0, 30, maupun 60. Normalnya darah memang tidak terdapat di dalam urin. Adanya darah di dalam urin (hematuria) dan leukosit di dalam urin (leukosituria) dapat
10

mengindikasikan terjadinya perdarahan di saluran kemih yang dapat disebabkan oleh nephrolitiasis, infark ginjal, maupun ISK dengan disertai hemoragik. Pada wanita hematuria juga dapat terjadi jika ia sedang menstruasi maupun postmenstruasi. Berarti jika memang dari awal naracoba tidak mengalami kelainan patologis maka jenis cairan apapun yang dimasukkan kedalam tubuh tidak mempengaruhi adanya darah dan leukosit di dalam urin.

5. Nitrit dan keton


Pada urin naracoba I, II, III, dan IV baik pada menit 0, 30, maupun 60 juga tidak ditemukan adanya nitrit dan keton di dalam urin. Normalnaya nitrit dan keton tidak terapat di dalam urin. Hal ini dapat menyatakan bahwa keseimbangan cairan di dalam tubuh naracoba I, II, III, dan IV masih baik. Dan juga dapat dikatakan bahwa tubuh masih dalam keadaan baik dan tidak terjadi keracunan zat-zat yang berlebihan, contohnya nitrit dan keton yang dapat menyebabkan shock. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa asupan yang dimasukan oleh para naracoba tersebut tidak mempengaruhi kandungan nitrit dan zat-zat keton dalam tubuh dan urin.

6. Bilirubin dan urobilinogen


Pada pembacaan hasil pengukuran urin dengan dipstick tidak ditemukan adanya bilirubin akan tetapi ditemukan adanya urobilinogen sebanyak 0,2 pada urin naracoba I, II, III, dan IV baik pada menit 0, 30, maupun 60. Normalnya bilirubin memang tidak terdapat di dalam urin, tetapi urobilin dalam jumlah 0 sedikit normalnya terdapat di dalam urin. Normalnya, bilirubin direct telah diubah menjadi urobilinogen, 1 %-nya masuk ke urin, sebagian berkurang di feses, sebagian besar kembali ke hepar melalui aliran darah untuk diproses lagi menjadi empdu. Jadi seharusnya bilirubin tidak terdapat di dalam urin dan urobilinogen bisa terdapat dalam jumlah kecil maupun tidak terdapat di dalam urin. Adanya bilirubin di dalam urin dapat dijumpai diantaranya pada ikterus parenkimatosa (hepatitis infeksiosa, koksik hepar) dan ikterus obstruktif. Sedangkan adanya urobilinogen yang berlebih di dalam urin terjadi bila sel hepar menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal yang melebihi batas kemampuan hepar untuk melakukan reekskresi. Berarti jika memang dari awal naracoba tidak mengalami

11

kelainan patologis yang berhubungan dengan proses di atas maka apapun jenis cairan yang dimasukkan kedalam tubuh tidak mempengaruhi adanya bilirubin dan urobilinogen di dalam urin.

7. Glukosa
Pada urin naracoba I, II, III, dan IV baik pada menit 0, 30, maupun 60 juga tidak ditemukan adanya glukosa di dalam urin. Normalnaya gluksa memang tidak terapat di dalam urin. Ambang ginjal dan daya reasorbsi tubulus renalis naracoba I, II, III, dan IV masih baik. Dan juga sedikit banyak dapat dikatakan bahwa kadar gula darah para naracoba masih dalam keadaan baik. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa asupan yang dimasukan oleh para naracoba tersebut tidak mempengaruhi adanya glukosa urin. Tetapi jika cairan yang diminum oleh seseorang mengandung glukosa yang tinggi ada kemungkinan dapat mempengaruhi adanya glukosa dalam urinnya.

8. pH
Pada naracoba I yang tidak mendapat asupan cairan pH-nya makin lama makin asam. Hal itu terjadi karena tubuh akan menjaga keseimbangan cairan tubuh dengan mengeluarkan ion-ion kedalam urin dan mereaorbsi H2O. Dengan penambahan ion-ion di dalam tubuh maka pH urin akan menjadi bertamabah asam. Pada naracoba II yang diberi perlakuan meminum air mineral yang tidak mengandung zat-zat apapun maka di dalam tubuhnya akan mengalami kelebihan cairan sehingga ion-ion di dalam tubuh pun dipertahankan tetap berada di dalam tubuh dan sisa H2O-nya dibuang lewat urin. Dengan begitu kandungan zat-zat yang terlarut dalam urin pun sedikit dan pH-nya pun menjadi sedikit tinggi daripada naracoba I. Selain itu karena naracoba II memang memiliki pH yang tinggi yaitu 6,5 maka air mineral yang di minumnya tidak akan berubah terlalu jauh dari pH tersebut. Pada naracoba III yang diberi asupan minuman isotonik memiliki pH urin yang lebih rendah daripada saat sebelum dia diberi perlakuan. Hal itu dapat terjadi karena minuman isotonik yang mengandung banyak garam membuat keseimbangan cairan di dalam tubuh sedikit banyak berubah sehingga untuk mempertahankan

12

keseimbangan cairan di dalam tubuh beberapa ion harus disekresikan ke urin, dengan begitu pH urinnya akan menjadi lebih asam. Sedangkan pada naracoba IV yang meminum teh tawar mengalami penurunan pH pada 30 pertama setelah diberi perlakuan, hal itu bisa terjadi karena proses pembentukan urin di dalam injal belum selesai sehingga urin yang dihasilkan sedikit dan pH-nya menjadi lebih rendah dari sebelumnya sebagai usaha kompensasi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Terapi 60 menit kemudian terjadi kenaikan pH karena banyak urin telah selesai diproduksi dan karena asupan yang berupa teh tawar tersebut tidak mengandung zat-zat yang mengganggu keseimbangan cairan tubuh maka keseimbangan cairan tubuh tetaplah terjaga, ion-ion dijaga tetap berada di dalam tubuh dan urinpun memiliki pH yang lebih tinggi dari sebelumnya.

9. Protein
Pada naracoba 1 yang tidak menerima asupan cairan, pada urin awalnya tidak mengandung protein tetapi pada urin yang diambil pada menit ke 30 dan 60 mengandung protein. Hal tersebut terjadi karena untuk menjaga keseimbangan cairan maka H2O berusaha diserap tubuh sebanyak-banyaknya dan ion-ion bahkan protein pun dibuang dan tidak direasorbsi kembali dan akhirnya protein pun terdapat di dalam urin. Pada naracoba II dan IV didapatkan hasil protein yang tadinya terdapat di dalam tubuh ,setelah diberi perlakuan meminum air mineral dan teh tawar, pada urinya menjadi tidak terdapat protein. Hal tersebutdapat terjadi karena tubuh mengalami kelebihan cairan setelah diberikan perlakuan sehingga ion-ion di dalam tubuh pun dipertahankan, begitu juga protein (bahkan potein di urin pun direasorbsi kembali), tetap berada di dalam tubuh dan sisa H2O-nya dibuang lewat urin. Dengan begitu tidak ditemukan protein pada urin. Pada naracoba III yang meminum minuman isotonik didapatkan hasil protein yang awalnya ada sebelum diberi perlakuan lalu menjadi tidak ada protein di urin setelah diberi perlakuan. Padahal minuman isotonik mengandung banyak garam atau disebut juga elektrolit yang dapat meningkatkan produksi Tamm Horsefall Protein (THP), suatu protein yang berfungsi mencegah infeksi kuman, dan mempunyai efek samping dapat menginduksi agregasi atau pengumpulan zat-zat lain
13

dalam urin (kalsium,dll). Hal ini menyatakan bahwa minuman isotonik tidak selalu menyebabkan peningkatan produksi protein. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut seberapa banyak larutan isotonik yang diperlukan untuk meningkatkan protein di dalam urin.

BAB V KESIMPULAN

Berbagai asupan cairan dapat mengubah karak fisik di dalam urin tergantung kandungan apa yang terdapat di dalam cairan tersebut. Karakter fisik urin yang dapat dipengaruhi oleh asupan cairan seseorang adalah volume, penampakan, berat jenis, glukosa, pH, dan protein urin.

14

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

Abreu, N. P., dkk. 2005. Effect of An Isotonic Rehydration Sports Drink and Exercise On Urolithiasis in Rats. Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2005) 38: 577-582 Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.

15

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI


KARAKTER FISIK URIN

Nama NIM Hari/Tanggal Pembimbing

: Clara Sita Rahmi Sekundarini : 41100084 : Jumat, 13 April 2012 : dr. Yanti Ivana, M. Sc

16

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2012

17

You might also like