You are on page 1of 4

REHABILITASI PADA CEDERA OLAHRAGA.

Summary of the effect of immobilization on muscle Decrease in muscle fiber size. Change in muscle resting length Decrease in size and number of mitochondria Decrease in total muscle weight. Increase in muscle contraction time. Decrease in muscle tension produced Decrease in resting levels of glycogen and adenosine triphosphate (ATP) More rapid decrease in ATP level with exercise Increase in lactate concentration with exercise Decrease in protein synthesis Summary of respon of ligament to immobilization Significant decrease in linear stress, maximum stress and stiffness Decrease in cross-se

PENDAHULUAN Setiap individu yang melakukan kegiatan olahraga harus menyadari adanya resiko cedera. Derajat cedera dalam olahraga dapat bervariasi, mulai dari cedera ringan seperti luka lecet, hingga cedera berat seperti cedera kepala/kontusio otak. Banyak kejadian cedera yang dialami oleh seorang atlet tidak ditangani dengan tepat, karena tidak jarang atlet menangani kasus cederanya sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pelatih atau konsultasi dengan para seniornya; bahkan tidak jarang kasus cedera ditangani melalui terapi alternative. Akibatnya penyembuhan cedera tidak sempurna dan atlet mudah mengalami cedera kembali. Cedera olahraga dapat disebabkan oleh factor INTERNAL, EKSTERNAL dan OVERUSE : Factor internal antara lain : a. Pemanasan tidak cukup. b. Teknik yang salah. c. Istirahat yang tidak memadai. d. Kondisi yang tidak fit saat bertanding. Factor eksternal antara lain : a. Alat-alat yang digunakan tidak tepat/tidak sesuai ukuran. b. Proteksi yang buruk/tidak memadai. c. Kondisi cuaca. d. Kondisi lapangan yang tidak memadai. Factor overuse adalah pemakaian berlebihan yang melebihi kapasitas kemampuan si atlet. Sebelum seorang atlet melakukan latihan atau terjun dalam suatu pertandingan, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara bertahap. Pada tahap awal akan

diakukan pemeriksaan untuk mencatat data dasar atlet sekaligus menentukan taraf aman dalam memberikan dosis latihan. Data-data dasar yang diperukan meliputi : Tinggi Badan & Berat Badan. Tanda-tanda vital; tekanan darah, denyut nadi. Pemeriksaan fisik umum dan rehabilitasi, termasuk pemeriksaan fungsional. Pemeriksaan laboratorium dan rontgent thorax. Pengukuran kapasitas aerobic dan anaerobic. Flexibilitas. Muscle endurance. Muscle Strength. Koordinasi. Keseimbangan. Kelincahan (agiity). Power (daya ledak). Pemeriksaan diameter otot secara bilateral, diatas dan dibawah sendi yang terkait. Pengukuran data-data awal ini diperlukan untuk proses seleksi, pemberian program latihan dan proses rehabilitasi. Cedera olahraga dapat terjadi secara sewaktu-waktu, sekalipun factor-faktor internal telah diukur secara cermat. Berdasarkan waktunya, proses cedera dibagi dua fase, yaitu fase akut dan fase kronik. Pada fase akut, umunya cedera telah langsung ditangani melalui pertolongan pertama dari dokter tim, atau bahkan oleh pelatih dilapangan. Proses penanganan cedera akut umumnya meliputi: pengistirahatan segmen yang cedera (Rest), pemberian terapi dingin (Ice), kompresi/penekanan segmen untuk mengurangi edema dan memberikan stabilisasi (compress), serta elevasi segmen yang terkena (elevation). Proses ini disingkat dengan metode RICE. Segera setelah penanganan cedera dilapangan, seorang atlet memerlukan penanganan rehabilitasi untuk pemulihan fungsi segmen yang terkait dan fungsi tubuh secara keseluruhan dan mempertahankan kebugaran jasmani. Secara umum program rehabilitasi meliputi : Penanganan bagian yang cedera. Modalitas dan manipulative terapi. Terapi latihan untuk mempertahankan kebugaran. Terapi modalitas merupakan ajuvan dalam proses rehabilitasi secara keseluruhan, karena itu TERAPI MODALITAS SAJA tidak cukup untuk memastikan terjadinya penyembuhan dan pemulihan fungsi, terapi modalitas tidak dirancang sebagai terapi yang bersifat kuratif, melainkan terapi simtomatik dengan tujuan antara lain mengurangi nyeri, spasme otot, menyebabkan vasodilatasi, dan mencapai relaksasi, sehingga harus dilanjutkan dengan terapi manipulative. Dalam proses rehabilatasi PROGRAM LATIHAN merupakan komponen yang lebih penting. Manfaat program terapi latihan adalah untuk : Mencapai terjadinya pemulihan fungsi. Mempertahankan kebugaran jasmani, agar atlet saat bertanding kembali dengan kebugaran yang prima, sama dengan sebeum terjadinya cedera. Mencegah sindroma dekondisi. Bila penanganan hanya terpusat pada segmen yang terkait tanpa memperhatikan kebugaran secara keseluruhan, dapat terjadi

sindroma dekondisi. Komponen-komponen kebugaran jasmani yang perlu dilatih : Kapasitas aerobic (vo2max) target nadi harus sesuai dengan hasil stress test. Kelenturan otot. Kekuatan otot. Daya tahan otot. Koordinasi dan keseimbangan. Daya ledak otot. Kelincahan. Kecepatan. Kecepatan reaksi. Factor-faktor anaerobic. Program latihan harus bersifat INDIVIDUAL sesuai dengan kondisi cedera, cabang olahraga, kontra indikasi dan dengan prinsip OVER LOAD. Dosis latihan yang diberikan dokter Rehabilitasi Medik, harus tepat dan terukur, tidak boleh terjadi UNDERTRAINING dan OVERTRAINING. Oleh karena itu, setiap program harus dicacat, JENIS LATIHAN, DOSIS, RESPON latihan harus selalu dicacat. Bila program latihan bersifat undertraining, maka program ini tidak akan bermanfaat dan hanya membuang waktu saja, karena tidak akan terjadi peningkatan atau pencapaian pemulihan fungsi. Di lain pihak bila program latihan bersifat overtraining, maka akan berisiko menambah cedera lebih lanjut. Tanda-tanda undertraing : Dengan pembebanan yang sama, tidak terjadi penurunan nadi. Fase pemulihan (recovery) memanjang. Kondisi overtraining merupakan kondisi yang harus dicermati saat pemberian program latihan, secara umum tanda-tanda dan gejala overtraining, meliputi : Keluhan subjektif seperti ; pusing, lemas, mudah lelah, mual-mual. Adanya gangguan tidur. Nafsu makan menurun. Gelisah. Nadi dan tekanan darah istirahat meningkat. Bila terjadi masalah overtraining, maka dosis latihan harus segera dikurangi, serta dilakukan monitor tanda-tanda overtraining setiap hari. Pada kondisi ini umumnya bentuk latihan berupa latihan peregangan dan dosis latihan diturunkan. Seorang atlet yang bisa bertanding kembali menunjukan program latihan rehabilitasi yang telah selesai. Criteria seorang atlet untuk bisa bertnding kembali setelah rehabilitasi adalah ; Subjektif tidak ada keluhan. Pemeriksaan fisik tidak ada kelainan. Bisa melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan cabang olahraganya dengan pembebanan. Contoh untuk cedera ekstrimitas bawah, tes umum yang diberikan meliputi : o Loncat di tempat dengan 2 kaki. o Loncat 2 kaki sambil berputar, searah jarum jam dan berlawanan jarum jam. o Loncat dengan 1 kaki yang sehat.

o Loncat dengan 1 kaki yang sehat sambil berputar; searah dan berlawanan jarum jam. o Loncat dengan 1 kaki yang sakit/cedera. o Loncat dengan 1 kaki yang sakit/cedera sambil berputar; searah dan berlawanan jarum jam. o Lari membentuk angka 8, dari lingkaran kecil hingga besar, kemudian balik arah. Bila dibandingkan dengan data awal atlet hasilnya sama, berarti program rehabilitasi berhasil. Hal juga yang penting dalam penanganan cedera adalah pencegahan cedera berulang. Untuk itu perlu dianalisa factor-faktor mana yang menjadi penyebab cedera, baik internal maupun eksternal, kemudian factor-faktor ini fiintervensi. Pencegahan cedera dapat pula dengan proteksi segmen yang cedera, misanya dengan metode taping dan bandaging. Kesimpulan ; Pemulihan fungsi setelah terjadinya cedera merupakan factor yang amat penting, karena dapat menentukan masa depan seorang atlet. Pemulihan fungsi yang optimal memerlukan penanganan yang tepat, agar tidak terjadi cedera sekunder atau cedera kronik yang malah mempersulit penyembuhan jaringan dan pencapaian pemulihan fungsional. Kepustakaan 1. Roy Steven MD, Sport Medicine Prevention, evelation Management and Rehabilitation, Prentice Hall Inc, 1983. 2. Wilmore JH, Costili DL, Physiology of Sport & Exercise, Champaign, IL; Human Kinetic 1994 Diposkan oleh Muhammad Arief Setiawan di 07:25

You might also like