You are on page 1of 6

ADHD ( Attention deficit/hiperactivity disorder) Oleh: Anglia Febrina Pendahuluan

Attention deficit/hiperactivity disorder atau ADHD dikonseptualisasi utamanya sebagai gangguan dimasa kanak-kanak. Namun demikian, gangguan tersebut dapat pula berlanjut hingga anak beranjak dewasa. Gangguan dimasa kanak-kanak yang lebih tinggi pravelensinya sering kali dikelompokkan dalam dua kelompok yang lebih luas, yang disebut gangguan eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang lebih diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan impulsivitas, dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD, gangguan tingkah laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi dtandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan kecemasan, termasuk gangguan anxietas atau kecemasan dan mood dimasa kanak-kanak. Anak-anak dan remaja dapat menunjukkan simtom-simtom dari kedua kelompok tersebut. Perilaku eksternalisasi dan internalisasi banyak terjadi di berbagai negara, termasuk Swiss (Steinhausen & Metzke, 1998), Australia (Achenbach dkk., 1990), Puerto Rico (Achenbach dkk., 1990), Kenya (Weisz dkk., 1993), Yunani (MacDonald dkk., 1995). Di berbagai budaya perilaku ekternalisasi secara konsisten lebih sering di temukan pada anak laki-laki dan perilaku internalisasi lebih sering terjadi pada anak-anak perempuan, setidaknya di masa remaja (Weisz dkk., 1987). Salah satu gangguan eksternalisasi adalah gangguan pemusatan

perhatian/hiperaktivitas (ADHD). Istilah hiperaktif tidak asing bagi sebagian besar orang, terutama para orang tua atau guru. Seorang anak yang selalu bergerak, mengetuk-ngetukkan jari, menggoyang-goyangkan kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicara tanpa henti, dan bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut sulit sekali untuk dapat berkonsentrasi dengan apa yang sedang ia lakukan dalam waktu tertentu yang wajar. Apa yang membedakan tingkat perilaku hiperaktif normal dengan gangguan yang dapat didiagnosis? Bila perilaku tersebut bersifat ektrem dalam periode perkembangan

tertentu, kemudian terjadi dalam berbagai situasi yang berbeda dan berhubungan dengan disabilitas parah dalam fungsi, diagnosis ADHD dapat ditegakkan (NIH Consensus Statement, 1998). Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang ribut, aktif atau agak mudah teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berprilaku demikian (Whalen, 1983). Label tersebut diberikan hanya karena seorang anak lebih aktif dam lebih sulit dikendalikan dari yang diharapkan orang tua atau guru mencerminkan penyalahgunaan istilah tersebut. Diagnosis ADHD ditegakkan hanya pada kasus yang benarbenar ektrem dan terus menerus. Anak-anak yang mengalami ADHD tampak mengalami kesulitan untuk

mengendalikan aktivitas mereka pada berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang, seperti di dalam kelas atau pada saat mereka akan makan. Bila disuruh untuk tenang, mereka tampaknya tidak akan berhenti berbicara atau bergerak. Mereka terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, keras kepala, dan bossy. Aktivitas dan gerakan mereka tampak tidak teratur dan tidak terarah. Mereka membuat pakaian atau sepatu mereka cepat rusak, merusak mainan, dan menghabiskan tenaga orang tua dan guruguru mereka. Meskipun demikian, mereka sulit dibedakan dari anak-anak yang tidak mengalami ADHD ketika sedang bermain bebas, dimana hanya terdapat sedikit pembatasan perilaku. Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak yang tidak mengalami ADHD juga dapat sama ributnya dan sama luar batasnya dengan anak-anak yang mengalami ADHD bila tidak ada batasan-batasan dari orang dewasa. Banyak anak yang mengalami ADHD mengalami kesulitan besar untuk bermain bersama anak-anak seusia mereka dan menjalin persahabatan (Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985), mungkin karena perilaku mereka sering kali agresif dan secara umum tidak menyenangkan serta mengganggu bagi yang lain. Meskipun anak-anak tersebut biasanya ramah dan banyak bicara, mereka sering kali tidak mampu memahami tanda-tanda sosial yang halus seperti memperhatikan bahwa teman-teman mereka merasa lelah dengan perilaku mereka yang tidak bisa tenang. Mereka juga sering kali salah menginterpretasikan keinginan dan maksud teman-teman sebaya mereka dan melakukan berbagai kesalahan sosial tanpa sengaja, seperti bereaksi secara agresif karena mereka berasumsi bahwa suatu tindakan netral yang dilakukan seorang teman sebaya merupakan tindakan agresif. Sebuah studi yang melibatkan pengamatan terhadap anak-anak yang bermain football meja menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami ADHD, terutama juga agresif,

memiliki tujuan sosial yang berbeda dengan anak-anak yang menjadi pembanding. Anakanak ADHD yang agresif bermain dengan tujuan mencari sensasi, seperti membuat keributan, berusaha mendominasi, dan pamer, sedangkan anak-anak pembanding lebih mungkin memiliki tujuan untuk bermain secara sportif (Melnick & Hinshaw, 1996). Anak-anak dengan ADHD dapat mengetahui tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak mampu untuk mempraktikkan pengetahuan tersebut kedalam perilaku yang sesuai dalam interaksi sosial yang nyata (Whalen & Henker, 1985, 1999). Anak-anak dengan ADHD sering kali cepat dijauhi dan ditolak atau diabaikan oleh teman-teman seusia mereka. Sekitar 15 hingga 30 persen anak-anak dengan ADHD mengalami disabilitas belajar dalam membaca,matematika atau mengeja (Barkley, DuPaul, & McMurray, 1990); Cassey, Rouke, & DelDotto, 1996; Semrud-Clikeman dkk., 1992), dan sekitar separuh anak dengan ADHD dimasukkan dalam berbagai program pendidikan khusus karena mereka sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan kelas yang normal (Barkley dkk., 1990). Karena simtom-simtom ADHD berbeda-beda, DSM-IV-TR mecantumkan tiga

subkategori, yaitu sebagai berikut : 1. Tipe Predominan Inatentif : Anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi. 2. Tipe Predominan Hiperaktif-Impulsif : Anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif. 3. Tipe Kombinasi : Anak-anak yang mengalami kedua rangkaian yang diatas.

Tipe kombinasi adalah tipe yang paling banyak dialami oleh anak-anak ADHD. Anakanak tersebut lebih mungkin mengalami berbagai masalah tingakah laku dan menunjukkan perilaku oposisi, dimasukkan dalam berbagai kelas khusus untuk anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, dan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan anak-anak seusia mereka (Barkley dkk., 1990; Feraone dkk., 1998). Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya tampak lebih sulit memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam memproses informasi ( Barkley, Grodzinsky, & DuPaul., 1992) mungkin berhubungan dengan masalah pada daerah frontal dan striatal otak (Tannock, 1998).

Kesulitan dalam membedakan diagnosis adalah antara ADHD dan gangguan tingkah laku (GTL), yang mencakup pelanggaran besar terhadap norma-norma sosial. Adanya kesamaan sebanyak 30 hingga 90 persen diantara dua kategori tersebut (Hinshaw, 1987) menyebabkan beberapa peniliti berpendapat bahwa kedua tipe gangguan eksternalisasi tersebut pada dasarnya meruapakan gangguan yang sama (Quay, 1979). Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara keduanya. ADHD lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas disekolah, kelemahan kognitif dan rendahnya prestasi dan prognosis jangka panjang lebih baik. Anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku bertingkah di sekolah dan dimanapun dan kemungkinan jauh lebih agresig atau serta mungkin memiliki orang tua yang antisosial. Kehidupan dalam keluarga mereka juga ditandai dengan kekerasan dalam keluarga dan penyalahgunaan zat dimasa remaja (Faraone dkk., 1997; Hinshaw, 1987; Jensen, Martin, & Cantwell, 1997). Gangguan internalisasi seperti gangguan kecemasan dan depresi, juga sering kali dialami bersamaan dengan anak ADHD. Estimasi belum lama ini menunjukkan kemungkinan bahwa sebanyak 30 persen anak-anak dengan ADHD juga mengalami simtom-simtom atau gangguan internalisasi (a.l., Jensen dkk., 1997; MTA Cooperative Group, 1999b). Pravalensi ADHD sulit dipastikan karena bervariasinya definisi gangguan tersebut dari waktu kewaktu dan perbedaan dalam populasi yang dijadikan sampel. Sangat banyak bukti yang mengindikasikan bahwa ADHD lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, namun angka pastinya tergantung apakah sampel tersebut diambil dari rujukan klinis atau dari populasi umum. Anak-anak laki-alaki lebih mengkin dirujuk ke klinik karena lebih tingginya kemungkinan perilaku agresif dan antisosial pada mereka. Hinshaw dan para koleganya meniliti sampel besar anak-anak perempuan yang berasal dari berbagai etnis, baik yang mengalami ADHD maupun yang tidak dan melaporkan sejumlah temuan penting sebagai berikut ini : Anak perempuan yang mengalami ADHD lebih mungkin berstatus sebagai anak adopsi daripada anak-anak dalam kelompok pembanding. Sama dengan temuan pada sampel anak laki-laki, anak-anak perempuan yang mengalami tipe kombinasi menunjukkan simtom-simtom perilaku yang lebih mengganggu daripada anak-anak perempuan yang mengalami tipe inatentif.

Anak-anak perempuan dengan tipe kombinasi lebih mungkin mendapatkan diagnosis komorbid, yaitu gangguan tingkah laku atau gangguan sikap menentang daripada anak-anak yang tidak mengalami ADHD.

Anak-anak perempuan dengan ADHD lebih mungkin mengalami kecemasan dan depresi yang meningkat daripada anak-anak perempuan dalam kelompok pembanding.

Anak-anak perempuan dengan tipe kombinasi dinilai secara lebih negatif oleh teman teman seusia daripada anak-anak perempuan dengan tipe inatentif dan yang tidak mengalami ADHD; anak-anak perempuan dengan tipe inatentif dinilai lebih negatif daripada anak-anak perempuan kelompok pembanding.

Anak-anak perempuan dengan ADHD menunjukkan sejumlah defisit neuropsikologis, terutama dalam fungsi pelaksanaan.

Teori Biologis ADHD Faktor Genetik Penelitian menunjukkan bahwa predisposisi genetik terhadap ADHD kemungkinan berperan. Bila orang tua mengalami ADHD , sebagian anak mereka memiliki kemungkinan mengalami gangguan tersebut (Biederman dkk., 1995). Faktor-faktor Perinatal dan Pranatal Faktor resiko biologis lainnya bagi ADHD mencakup sejumlah komplikasi perinatal dan pranatal. Berat lahir rendah, contohnya merupakan prediktor yang cukup spesifik bagi perkembangan ADHD (a.l., Breslau dkk., 1996; Whitaker dkk., 1997). Racun Lingkungan Beberapa teori ADHD terdahulu yang cukup populer pada tahun 1970-an menyangkut peran berbagai racun lingkungan dalam terjadinya hiperaktivitas. Sebuah teori biokimia mengenai hiperaktivitas yang dikemukakan oleh Feingold (1973) mendapatkan banyak perhatian dalam media populer selama bertahun-tahun. Ia mengemukakan bahwa zat-zat adiktif pada makanan mempangaruhi kerja sistem saraf pusat pada anak-anak hiperaktif dan ia meresepkan diet tanpa zat aditif.

Teori Psikologis ADHD Psikoanalisis anak Bruno Bettelheim (1973) mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD, yang menyatakan bahwa hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan tersebut diapasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian. Jika seorang anak memiliki disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah berubah moodnya mengalami stres karena orang tua yang mudah menjadi tidak sabar dan marah, si anak dapat menjadi tidak mampu menghadapi tuntutan orang tuanya untuk selalu patuh. Penanganan ADHD ADHD umumnya ditangani dengan pemberian obat dan berbagai metode behavioral berdasarkan pengondisian operant. Pemberian Obat Stimulan Obat-obat stimulan, khususnya metilfenidat, atau Retalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak awal tahun 1960-an (Sprague & Gadow, 1976). Obat-obat lain yang diresepkan untuk ADHD termasuk Amfetamin atau Adderall, dan Pemolin, atau Cylert; namun, Ritalin merupakan obat yang paling umum diresepkan. Penanganan Psikologis Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi oarang tua dan perubahan manajemen kelas berdasarkan prinsipprinsip pengondisian operant. Dalam berbagai penanganan tersebut anak-anak dipantau dirumah dan di sekolah, dan mereka diberi penguatan untuk berprilaku sesuai dengan harapan, contohnya, tetap duduk dikursi dan mengerjakan tugas mereka. Sistem poin dan papan bintang merupakan komponen umun dalam program-program tersebut.

You might also like