You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN

Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar. Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk, berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan tidak mau dibawa berobat. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan. Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus. Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

BAB II STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1 Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario. 1. Ronkhi basah : Gerakan udara melalui nada rendah, sekret durasi tipis lama,

bronkus/bronkiolus,

intensitas keras. Klinis pada bronkitis, bronkiektasis, bronkopneumonia, gagal jantung kongestif. 2. Apatis : Kesadaran dimana GCS 12-13, pasien tampak acuh tak acuh, tidak bicara, pandangan hampa. 3. Skor Norton : Skor untuk mengukur resiko dekubitus, terdiri dari 5 komponen yaitu kondisi fisik umum, kesadaran, aktivitas, mobilitas, dan inkotinensia. 4. Kasur dekubitus : Kasur yang digunakan untuk mengelola dekubitus, berisi air/udara yang tekanan bisa diubah-ubah. 5. Rehabilitasi medik : Salah satu penatalaksanaan atau terapi yang

berfungsi untuk meminimalisasi kecacatan dan mencegah kecacatan.

Jump 2 Menentukan/mendefinisikan permasalahan. 1. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 80 tahun dengan gejala klinis yang dialami pasien ? 2. Bagaimana patofisiologi dari gejala klinis yang dialami pasien pada skenario ? 3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien ? 4. Apakah yang dimaksud dengan imobilisasi dan komplikasinya ? 5. Bagaimana penatalaksanaan imobilisasi ?

6. Bagaimana dekubitus ?

patofisiologi,

komplikasi,

dan

penatalaksanaan

ulkus

7. Bagaimana patofisiologi pneumonia dan sepsis ? 8. Bagaimana patofisiologi dari penurunan kesadaran ? 9. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario ini?

Jump 3 Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2).

A. MOBILISASI DAN IMOBILISASI

Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup seharihari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non verbal. Imobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse). Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau

kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Faktor yang mempengaruhi mobilisasi: 1. 2. 3. 4. 5. Sistem neuromuscular Gaya hidup Ketidakmampuan Tingkat energi Tingkat perkembangan

(Leahy dan Kizilay, 1998). Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih dengan gerakan anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalahadanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsimental seperti depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orang lanjut usia terus-menerus berbaring ditempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien

dneganmelakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan

pembuatanrencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi bila terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, sertasuplementasi vitamin dan mineral. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latiahan penguat otototot (iosotonik, isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yangkompeten. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen. (Carpenito, 1999) Komplikasi pada pasien pasien imobilisasi antara lain: 1. Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan,sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestive, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai. 2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru

disebabkan oleh karena trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan penyebab kesakitan dankematian pada pasien lanjut usia. 3. Kelemahan Otot Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dankekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahanotot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. 4 .Kontraktur Otot dan Sendi Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. 5. Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara reabsorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi tulang,

meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan massatulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. 6. Ulkus Dekubitus Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadipada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan. 7. Hipotensi Postural Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800

ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkanpenurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun.Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia. 8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK) Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi padapasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkenapneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadipada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkanketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih. 9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia) Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin yang akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia. 10. Konstipasi dan Skibala Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. (Craven dan Hirnle, 2000).

B. Dekubitus

a) Definisi Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Potter & Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan.

b) Faktor Risiko Dekubitus Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu: 1. Gangguan Input Sensorik Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar, sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005). 2. Gangguan Fungsi Motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan

sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry, 2005). 3. Perubahan Tingkat Kesadaran Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005). 4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005). 5. Nutrisi Buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status

nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005). Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005). Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005). c) Patogenesis Dekubitus Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu: 1) Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler 2) Durasi dan besarnya tekanan 3) Toleransi jaringan Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Potter dan Perry, 2005). Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan (Potter & Perry, 2005). d) Klasifikasi Luka Dekubitus Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan: 1) Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator. 2) Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. 3) Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan

atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. 4) Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005). e) Komplikasi luka Dekubitus Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 1) Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik 2) Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis 3) Septikimia 4) .Animea 5) Hipoalbuminea 6) Kematian f) Tempat terjadinya luka Dekubitus Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial. Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus adalah: 1) Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit. 2) Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki. 3) Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut. g) Penatalaksanaan Dekubitus Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya

dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi mental, aktifitas, mobilitas dan inkontinensia. Maksimum skore yang dapat dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih dari 18 berarti risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk kategori sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi dengan menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda. Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya.Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al, 2009). Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah: 1) Meningkatkan status kesehatan penderita. Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi,

hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/mengobati penyakitpenyakit yang ada pada penderita, misalnya DM. 2) Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah. a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang

mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.

b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain: 3) Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau duduk dikursi. 4) Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita. 5) Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita (Hidayat et al, 2009). Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khususnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usaha diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringan upaya penyembuhan akan lebih rumit.Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi: a. Dekubitus derajat I Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari. b. Dekubitus derajat II Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan. karena malahan dapat

c. Dekubitus derajat III Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi selsel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan. d. Dekubitus derajat IV Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% (Hidayat et al, 2009).

C. INFEKSI PADA LANSIA 1. Definisi Infeksi Infeksi berarti keberadaan mikroorganisme di dalam jaringan tubuh host, dan mengalami replikasi. Infeksi merupakan interaksi antara kuman (agent), host (pejamu, dalam hal ini adalah lansia) dan lingkungan. Pada usia lanjut terdapat beberapa faktor predisposisi/faktor resiko yang menyebabkan seorang usia lanjut mudah terkena infeksi, antara lain : a. Faktor hospes meliputi : - Penyakit utama - Prosedur invasif

- Malnutrisi - Gangguan mobilitas - Keadaan imunitas tubuh - Berbagai proses patologik (co-morbid) yang terdapat pada penderita tersebut b. Faktor agent meliputi: - Jumlah kuman yang masuk dan ber-replikasi - Virulensi dari kuman c. Faktor lingkungan meliputi: - Apakah infeksi didapat di masyarakat, rumah sakit atau panti werdha

2. Faktor Pada Penderita a. Faktor Nutrisi Keadaan nutrisi, yang pada usia lanjut seringkali tidak baik dapat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akibat akhir (outcome) dari infeksi. Secara klinik keadaan ini dapat dilihat dari keadaan hidrasi, kadar hemoglobin, albumin, beberapa mikronutrien yang penting, misalnya kadar Cu maupun Zn. Juga beberapa vitamin yang penting pada proses pertahanan tubuh. b. Faktor Imunitas Tubuh Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk

mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Beberapa faktor imunitas tubuh, antara lain imunitas alamiah (inate immunity), misalnya kulit, silia, lendir mukosa dan lain lain sudah berkurang kualitas maupun kuantitasnya, demikian pula dengan faktor imunitas humoral (berbagai imunoglobulin, sitokin) dan selular (netrofil, makrofag, limfosit T). Sistem imun alamiah merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberi respons imun langsung terhadap antigen dan tanpa waktu untuk mengenalnya terlebih dahulu.

c. Faktor Perubahan Fisiologik Beberapa organ pada usia lanjut sudah menurun secara fisiologik, sehingga juga sangat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akhir infeksi. Penurunan fungsi paru, ginjal, hati dan pembuluh darah akan sangat mempengaruhi berbagai proses infeksi dan pengobatannya. Fungsi orofaring pada usia lanjut sudah menurun sedemikian sehingga seringkali terjadi gerakan kontra peristaltik (terutama saat tidur), yang menyebabkan terjadinya aspirasi spontan dari flora kuman di daerah tersebut kedalam saluran nafas bawah dan menyebabkan terjadinya aspirasi pneumonia Berbagai obat obatan yang aman diberikan pada usia muda harus secara hati hati diberikan pada usia lanjut, karena dapat lebih memperburuk berbagai fungsi organ, antara lain hati dan ginjal. d. Faktor Terdapatnya Berbagai Proses Patologik Salah satu karakteristik pada usia lanjut adalah adanya multi-patologi. Berbagai penyakit antara lain diabetes melitus, PPOM, keganasan atau abnormalitas pembuluh darah akan sangat mempermudah terjadinya infeksi, mempersulit pengobatannya dan menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk.

3. Manifestasi Infeksi Pada Usia Lanjut a. Demam Seringkali tidak mencolok banyak penderita lansia yang jelas menderita infeksi tidak menunjukkan gejala demam. Walaupun demikian untuk diagnosis infeksi tanda adanya demam masih penting, adapun batasan sebagai berikut : 1). Terdapat peningkatan suhu menetap > 2F 2). Terdapat peningkatan suhu oral > 37,2C atau rektal > 37,5C b. Gejala tidak khas c. Gejala akibat penyakit penyerta (co-morbid)

4. Penatalaksanaan Infeksi Pada Usia Lanjut a. Diagnosis Mengingat gejala dan tanda infeksi pada usia lanjut yang tidak khas dan sering menyelinap, maka diagnosis merupakan tonggak penting pada

penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut. Untuk hal tersebut asessmen geriatri merupakan tata cara baku yang dianjurkan. Pemeriksaan fisik, psikis dan lingkungan dan pemeriksaan tambahan yang penting secara menyeluruh sesuai form baku perlu dilaksanakan dengan baik, sehingga kemungkinan mis- atau under diagnosis bisa dihindari sekecil mungkin dengan asessmen geriatri ini juga dapat ditegakkan : Penyakit infeksi yang terdapat Penyakit ko-morbid yang menyertai, antara lain gangguan imunologik,

penyakit jantung, ginjal PPOM, penyakit hati dll. Gangguan mental/kognitif yang mungkin mempersulit pengobatan b. Terapi Antibiotika Terapi antibiotika harus segera dilakukan bila semua spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologis sudah dikirimkan. Secara empiris antibiotika berspektrum luas, antara lain golongan beta-laktam atau kuinolon dapat diberikan. Antibiotika berspektrum sempit baru bisa apabila hasil kultur dan sensitivitasnya mendukung (Hadi Martono, 1996). Pada usia lanjut, pemakaian antibiotika harus langsung diberikan dengan menggunakan dosis penuh, akan tetapi tetap memperhatikan kemungkinan efek samping yang terjadi. c. Terapi Suportif Harus selalu diingat bahwa sebagian besar usia lanjut sudah dalam keadaan status gizi yang kurang baik sebelum sakit (keadaan ini pula yang menyebabkan lansia mudah terserang infeksi). Pemberian diet dengan kalori dan protein yang cukup harus diupayakan, bila perlu dengan pemberian nutrisi enteral/parenteral. Hidrasi yang cukup juga seringkali diperlukan untuk membantu penyembuhan penderita. Pemberian vitamin dan mineral (Cu, Zn) seringkali diperlukan pada keadaan gizi yang kurang baik.

5. Pneumonia Infeksi Yang Sering Terjadi Pada Lanjut Usia Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi : Peningkatan diameter anteroposterior dada Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta Penurunan efisiensi otot pernapasan Peningkatan rigiditas paru Penurunan luas permukaan alveoli

a. Etiologi dari pneumonia adalah : 1) Bakteri Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime gram positif seperti Streptococcus pneumonia, S. aureus dan S. pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa. 2) Virus Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama pneumonia virus. 3) Jamur Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos. 4) Protozoa Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi

b. Manifestasi klinis 1) Kesulitan dan sakit pada saat bernafas 2) Nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea 3) Bunyi nafas di atas area yang mengalami konsolidasi

4) Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi, egofoni 5) Gerakan dada tidak simetris 6) Menggigil dan demam 38,8-41,1C, delirium 7) Batuk kental, produktif 8) Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan/berkarat c. Pemeriksaan penunjang 1) Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infilrat, emfiema (staphylococcus); infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar X dada mungkin bersih 2) GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada 3) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi fiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab 4) JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial 5) Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin

d. Penatalaksanaan 1) Kemoterapi Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis 2) Pengobatan umum 3) Terapi oksigen

4) Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral. 5) Fisioterapi 6) Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.

D. GANGGUAN KESADARAN PADA LANSIA 1. Definisi Konfusio Konfusio adalah sebuah sindrom yang dicirikan dengan kerusakan kognitif global dengan awitan tiba-tiba yang biasanya berdurasi kurang dari satu bulan. Kemampuan lansia untuk memperoleh stimulus yang datang dengan cara yang bermakna sudah hilang. Kemampuan untuk berfikir mengikuti perintah berespon terhadap stimulus dan berkonsentrasi mengalami perubahan. Siklus bangun tidur orang tersebut terganggu, ingatan tentang hal - hal yang baru saja terjadi hilang dan terjadi prilaku verbal dan motorik yang tidak tepat. Konfusio adalah suatu akibat gangguan fungsi menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewa spadaan dan terganggunya proses berpikir yang berakibat terjadinya diorientasi. Konfusio adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. konfusio biasanya disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk

menginduksi/mendapatkan konfusio. Meskipun sebelumnya konfusio dipercaya sebagai kondisi self limiting (sembuh sendiri).

2. Epidemiologi Konfusio Konfusio sering ditemukan pada lansia. Menurut data Depkes pada tahun 2005 didapatkan bahwa 23,75 % dari keseluruhan jumlah penduduk lansia di Indonesia mengalami konfusio. Dalam kurun waktu usia 65-75 tahun didapatkan

kemunduran pada beberapa kemampuan dan kemampuan kesadaran serta intelektual baru menurun di usia 80 tahun. 3. Etiologi a. Respon terhadap perubahan metabolisme oksidatif serebral, terdapat penurunan sintesis atau gangguan pelepasan satu zat neurotransmitter atau lebih (dopamin otak dan asetil kolin). Ketidakseimbangan zat

neorotransmiter mempengaruhi pengaturan tidur, tekanan darah, suhu tubuh, pembelajaran dan afek. b. Reaksi stress yang dimediasi oleh peningkatan kortisol plasma dan efeknya pada otak, berbagai kondisi menghasilkan gejala gejala konfusio, semua kondisi ini berpotensi sama menimbulkan gangguan pada keseimbangan yang diperlukan oleh otak lansia agar dapat berfungsi secara efektif. Tiga penyebab utama dari konfusio pada lansia yaitu keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral, dan penyebab iatrogenetik. Depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio. Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik intraserebral antara lain : odema serebral, hidrosefalus, defisiensi vitamin B12, meningitis, dan serangan iskemik otak yang bisa disebabkan akibat adanya penurunan pasokan nutrisi serebral. Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik ekstraserebral antara lain : penyebab toksik (endokarditis, bakterialis subakut, alkoholisme), kegagalan mekanisme homeostatic (DM, gagal hati, gagal ginjal, dehidrasi, gangguan elekrolit), depresi dan gangguan sensori persepsi (pendengaran dan penglihatan). Konfusio yang disebabkan oleh penyebab iatrogenic terdiri atas obatobatan yang dihubungkan dengan gangguan memori seperti : anti kolinergik, anti konvulsan tertentu, kortikosteroid, benzo-diazepin, fenotiazin, obat psikotropik dan sedative.

4. Patofisiologi Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat terjadi karena penurunan metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna tetap tidak jelas. Hal lain konfusio dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat pada otak akibat diinduksi stress dan depresi.

5. Klasifikasi a. Bentuk hiperaktif Pasien dengan bentuk ini dapat mencabut infus dan balutan, mengambil sesuatu diudara, memanjat penghalang tempat tidur dan memanggil nama orang yang dicintai yang sudah meninggal. Dapat terlihat respon soistem saraf otonom seperti takikardia, dilatasi pupil, diaphoresis. b. Bentuk hipoaktif Hipoaktif dicirikan dengan keletihan berlebihan, hipersomnolens yang berkembang menjadi hilang kesadaran. c. Bentuk campuran Agitasi sering memburuk di malam hari dan bergantian dengan interval yang jelas disiang hari.

6. Manifestasi Klinis Adapun manifestasi klinis dari konfusio yaitu: a. Insomnia b. Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara c. Mengantuk d. Ansietas

7. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum klien seperti : - Adanya penurunan derajat kesadaran

- Tensi menurun - Takikardia

8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan konfusio di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis awal, pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus, tindakan suportif dan, bila perlu, pengobatan. Secara garis besar obat-obatan yang dapat diberikan untuk mengurangi konfusio akut pada lansia adalah : amantadin, anti depresan, anti histamin, anti parkinsoniasme, anti kolinergik, anti konvulsan, fikogsin, opiat, dan obat penenang. Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik konfusio untuk mengurangi kecemasan dan agitasi mungkin diperlukan untuk meyakinkan keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan konfusio hipoaktif biasanya tidak membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik mungkin diperlukan apabila ada bukti distres halusinasi. Meskipun terdapat banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan konfusio, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua obat. Obat-obat diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan pemberian dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis multipel hendaklah diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur untuk pengobatan seringkali perlu meninjau kembali respon pasien, efek samping, dan kelanjutan kebutuhan pengobatan.

E. SEPSIS 1. Definisi Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan tersebut. Septikemia adalah penyakit sistemik yang

berhubungan dengan adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah. Sepsis berbeda dengan bakterimia dan viremia.

Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah. Viremia adalah adanya virus di dalam darah (Imboden, 2001).

2. Patofisiologi Sepsis Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian (Imboden, 2001). Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus). Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya

lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponenkomponen antigen seluler. Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi

peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul antitrombotik. Kaskade sepsis ini menghasilkan kebocoran kapiler dan vasodilatasi yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi disfungsi organ dan

syok. Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS) dapat terjadi ketika syok, kebocoran kapiler, dan vasodilatasi tidak distabilkan, dan dapat menyebabkan kematian. Patofsiologi sepsis mencakup aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan fibrinolisis yang terganggu. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam homeostasis yang normal antara mekanisme prekoagulan dan antikoagulan (Anonim, 2004).

(Sumber: http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp) a. Respon Inflamasi Pada orang dewasa, tumor necrosis factor alpha (TNF-) merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL8, platelet activating factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediatormediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel.

Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsurunsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non kardiogenik. Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen yang esensial pada imunitas bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk dari aktivasi komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari mast cells dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam rongga ke-tiga yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. Data-data yang menggambarkan mediator-mediator sepsis dan

antagonisnya pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada anak-anak. Perkembangan mediator-mediator sepsis dan aktivitas agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas. Pada neonatus, didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi sel-T. Neonatus, terutama bayi

yang lahir prematur memiliki sistem komplemen yang terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya (Imboden, 2001). b. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator-mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi. Pelepasan TNF-, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF-. Respon sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.

Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung. Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF- menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat. Walaupun bukan dalam keadaan sepsis, neonatus dan bayi-bayi prematur memiliki predisposisi terhadap hiperkoagulasi. Kadar protein C dan protein S dalam plasma neonatus tereduksi. Sebaliknya, kadar trombomodulin reseptor endotel meningkat pada periode neonatal. Selama sepsis, hiperkoagulasi ini dapat bereksaserbasi dengan

meningkatkan jumlah factor-faktor inhibisi koagulasi (antithrombin [AT], protein C, protein S, reduced thrombomodulin, dan inhibisi fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1]) (Imboden, 2001).

3. Fibrinolisis yang terganggu Fibrinolisis merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen activator (t-PA)

atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF- mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediatormediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu. Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi meningokokus (Behrman, 2003).

F. IMUNODEFISIENSI PADA LANSIA 1. Definisi Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada

umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi) (Novian, 2010). Lansia sering mengalami imunodefisiensi, sebagian karena penurunan progresif fungsi timus seiring dengan penuaan, tetapi juga karena buruknya aliran darah dan penurunan penyaluuran perantara imunitas dan peradangan yang dialami oleh banyak lansia akibat arterosklerosis. Penyakit sistemik lain misalnya DM yang meningkatkan insidennya seiring dengan perkebangan usia, ikut berperan menekan respon imun. Gizi yang buruk, akibat kemiskinan, isolasi, atau gigi yang buruk juga berpengaruh terhadap penurunan sistem imun pada lansia (Corwin, 2005).

Jump 4 Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3.

Penyebab
Gangguan Psikologis

Gangguan Fisik Nyeri Kekakuan gerak Malnutrisi IMOBILISASI Komplikasi

Depresi Demensia

Ulkus Dekubitus

Pneumonia

Perawatan Khusus Ruang Geriatri dan Jump Dekubitus 5 Kasur

Terapi

Rehabilitasi Medik

Merumuskan tujuan pembelajaran 1.Menjelaskan macam-macam komplikasi imobilisasi 2.Mampu menjelaskan ulkus dekubitus 3.Mampu mengenali gejala gejala infeksi 4.Mampu mengusulkan pemeriksaan klinis penunjang sesuai kebutuhan pasien 5.Mampu melakukan pengelolaan dengan rehabilitasi medik 6.Mampu merancang tindakan preventif, promotif, dan rehabilitatif

Jump 6 Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

\ Jump 7 Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah diperoleh

Mbah Suro dalam skenario berusia 80 tahun. Usia 80 tahun telah tergolong dalam lanjut usia. Pasien dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Tidak mau makan atau sulit makan pada lansia dapat dpengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) kondisi traktus digestivus yang mulai menurun baik secara anatomis maupun fisiologis, misalnya papil lidah atrofi sehingga menyebabkan menurunnya nafsu makan, berkurangnya jumlah gigi sehingga kemampuan mengunyah makanan berkurang, menurunnya peristaltik usus sehingga lama transit makanan meningkat dan mengurangi rasa lapar, 2) depresi yang mengurangi motivasi makan. Penurunan nafsu makan pasien dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan rangsang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya sedikit. 3) Faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggal, kurangnya perhatian dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut. 4)

Keadaan penyakit yang diderita berpengaruh terhadap kondisi pasien. Keadaan tidak mau makan menyebabkan asupan gizi pasien menjadi tidak adekuat menyebabkan pasien tampak semakin lemas. Gelisah yang dialami pasien dapat merupakan salah satu tanda depresi karena depresi pada lansia sering tidak khas gejalanya. Depresi pada lansia sering memiliki keluhan hipokondriasis dominan, gangguan memori, apatis, kehilangan motivasi, anxietas, dan agitasi serta sedih/murung tampak kurang. Gelisah juga dapat menjadi tanda penurunan kesadaran yakni gelisah atau delirium hiperaktif lansia. Pasien sudah 5 hari tidak buang air besar. Kesulitan BAB dapat disebabkan lamanya transit feses di kolon karena disfungsi pleksus mientericus yang menginervasi kolon dalam gerak peristaltik diperkuat dengan adanya imobilisasi. Akibatnya penyerapan air meningkat dan feses menjadi keras sehingga sulit dikeluarkan. Hampir 2 minggu mbah Suro tiduran terus, karena lemas dan batuk, berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Pasien selama 2 minggu hanya tiduran saja. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis yang terjadi akibat proses menua dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien tersebut. Imobilisasi dapat menyebabkan komplikasi pada lansia, seperti dekubitus, pneumonia, serta yang lainnya, Batuk ialah keluhan yang paling sering dari penyakit saluran napas. Batuk juga merupakan mekanisme fisiologis untuk bersihkan dan mengeluarkan benda asing dalam saluran pernapasan. Batuk dengan dahak menunjukkan adanya eksudat bebas dalam saluran pernapasan. Tidak demam pada lansia dapat terjadi karena penurunan respons inflamasi (penurunan IL-1, faktor nekrosis tumor, dan IL-6) terhadap adanya pirogen sehingga tidak menyebakan reaksi inflamasi. Tidak didapatkan nyeri dada karena sedikitnya jumlah reseptor nyeri di paru-paru dan pleura. Pasien tidak mau dibawa berobat dapat memperburuk keadaan dan penyakit yang diderita.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit, T 36C, HR 108x/menit. Kesadaran apatis dalam Glaslow Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-13, berada di antara compos mentis dan somnolen. Tekanan darah 120/70 dalam batas normal. Respiration Rate terdapat peningkatan (normal 14-20x/menit), temperatur dalam batas normal (suhu oral rata-rata usia lanjut 36C) , Heart Rate terdapat peningkatan (normal 60-100x/menit). Berbagai studi menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi, penyakit, dan obatobatan. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia) maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda konsolidasi paru meliputi perkusi redup/pekak pada daerah paru dengan kelainan, ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga peningkatan frekuensi nafas 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi ulkus dekubitus pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi ulkus dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat dilakukan dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat I), dermis/subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan sudah terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor 12 menunjukkan bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan risiko 50x lebih besar.

Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (400011.000/mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi, sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat. Untuk pasien pneumoni yang dirawat dirumah sakit dapat diberikan klindamisin dan seftazidim. Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat, selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka. Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan

minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan sekresi. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan pembahasan tersebut, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pasien mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus derajat II, pneumonia atipikal, dan gangguan buang air besar. 2. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya imobilisasi pada lansia. 3. Selain dekubitus, pneumonia, dan gangguan buang air besar, komplikasi yang ditimbulkan imobilisasi dapat berupa thrombosis, emboli paru, kelemahan otot, kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta gangguan nutrisi (hipoalbuminemia).

B. SARAN Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan materi namun ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal tersebut bukanlah kendala yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber sumber yang lebih terbaru dan mempersiapkan materi secara matang.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2004). Linking the Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation, and Suppressed Fibrinolysis to Infants.

http://www.medscape.com/viewarticle/493246. Diakses 8 April 2012. Anonim, (2001). Kaskades sepsis.

http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp. Diakses 8 April 2012. Behrman R. E., Kliegman R.M., Jenson H.B, (2003). Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17. China: Saunders. Boedhi, Darmojo, (2009). Geriatri. Edisi ke 2 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Carpenito LJ (1999). Nursing care plans and documentation: Nursing diagnoses and collaborative problems. Edisi ke 3. Philadelphia: Lippincott. Corwin, Elizabeth J, (2005). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Craven, RF, Hirnle CJ, (2000). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice. Edisi ke 5. California: Addison, Wesley Publishing Co. Gallo, Joseph J, (1998). Buku Saku Gerontologi. Edisi ke 2. Jakarta: EGC. Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H, (2009). Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Imboden JB, (2001). Lymphocytes & Natural Killer Cells. In Basic an Clinical Imunology. Edisi ke 18. London: Appleton & Lange. Leahy JM, Kizilay PE. (1998). Foundation of nursing practice: A nursing approach. USA: WB Saunders Company. Maryam, Siti R, (2008). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika. Novian A., Siti Putrini DP., Robby S., Nani S, (2010). Imunodefisiensi. http://www.scribd.com/doc/30849008/askep-Imunodefisiensi. Diakses 8 April 2012. Nugroho, Wahjudi, (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi ke 2. Jakarta : EGC Potter PA, Perry A, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, proses, dan praktik. edisi ke 4. Jakarta: EGC

Sabandar AO, (2008). Ulkus Dekubitus. Available from: http://Alfonso de Oncrotte.Ulkus Dekubitus.mht. Diakses 05 April 2012. Stockslager, Jaime L, (2007). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik. Edisi ke 2. Jakarta: EGC. Tamer S, (2009). Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. . .

You might also like