You are on page 1of 33

BAB I PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi. Prevalensi LES adalah 5 berbanding 100 per 100,000 individu, tergantung dari populasi studi. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 1540 tahun, dengan rasio wanita dan laki-laki 5 : 1. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi di Negara Cina dan Asia Tenggara.Sedangkan Indonesia, RS Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 April 2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA DR3. Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerotik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan Loup,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam bahasa Inggris. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.

2.2 Epidemiologi Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya. Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih. SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras AfrikaAmerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras AfrikaAmerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.

2.3 Etiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.

Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam

pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin) Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Faktor Resiko terjadinya SLE 1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut 2. Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 3. Sinar UV Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah 4. Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T 5. Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin 6. Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadangkadang penyakit ini kambuh setelah infeksi 7. Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini. Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001) Ultraviolet B light Hormon sex rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1 Faktor diet Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats. Faktor Infeksi DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a.

2.4 Manifestasi Klinis Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. A. Gejala Konstitusional Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Manifestasi yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. B. Gejala Muskuloskeletal Pada penderita gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% penderita LES, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.

C. Gejala Mukokutan Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE. 1). Lesi Kulit Akut Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

2).

Lesi Kulit Sub Akut Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3).

Lesi Diskoid Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4). Livido Retikularis Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. 5). Urtikaria Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada Ginjal Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis. (1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis (2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis (3) Kelas III: focal lupus nephritis (4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis (5) Kelas V: membranous lupus nephritis (6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis) Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. F. Pneuminitis Interstitial Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut. G. Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi

immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan. H. Hati dan Limpa Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. J. Susunan Saraf Tepi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara.

K. Susunan Saraf Pusat Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis biasanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. L. Hematologi Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis

trombositopenia, dan lekopenia. M. Fenomena Raynaud Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 2.5 Pemeriksaan penunjang dan Diagnosis Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM,

IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada. Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA. Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut. Tabel 2. Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology). (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005) No 1 Kriteria Bercak malar (butterfly rash) Bercak diskoid Definisi Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.

Fotosensitif

4 5

Ulkus mulut Artritis

Serositif

Gangguan ginjal

atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

Gangguan saraf

10

11

Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya. Tabel 3. Autoantibody pada penderita SLE.
Incidence Antigen % detected Antinuclear antibodies 98 Multiple nuclear Clinical importance

Substrat sel manusia lebih sensitive dari murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-turut menyingkirkan SLE. Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.

Anti-DNA

70

DNA(ds)

Anti-Sm

30

Protein Spesifik untuk SLE. complexed to 6 species or small nuclear RNA Protein complexed to U1RNA Titer tinggi pada sindrom dengan manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed connective tissue disease.Jika + tanpa antiDNA,resiko untuk nephritis rendah. Berhubungan dengan Sjorgens Syndrome,subacute cutaneus lupus,inherited C deficiencies,ANAnegative lupus,lupus in eldery,neonatal lupus,congenital heart block.Dapat

Anti-RNP

40

Anti-Ro(SS-A)

30

Protein complexed to y1-y5 RNA.

menyebabkan nephritis. Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan antiRo.Resiko nephritis rendah bila +.Berhubungan dengan Sjorgens Synd. Histones Lebih banyak pada drug induced lupus(95%) daripada spontaneous lupus. 3 tipe- lupus anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan false-positive test for syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal loss,thrombocytopenia,valvular heart disease.Antibodi pada 2-glycoprotein I bagian dari grup ini. Jumlah sedikit dari antibody ini dapat mrnnyebabkan hemolisis.

Antihistone

70

Antiphospholipid 50

Phospholipid

Antierythrocyte

60

Erythrocyte

Antiplatelet

30

Platelet surface Berhubungan dengan thrombocytopenia + cytoplasma pada 15% penderita. Lymphocyte surface Ribosomal P protein Kemungkinan berhubungan dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T. Berhubungan dengan psikosis atau depresi dengan CNS SLE.

Antilymphocyte 70

Antiribosomal

20

2.6 Patogenesis SLE Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin

(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun. 2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel

makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis. Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus. Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan

LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan. 2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum : 1. Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang berbeda-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.

2. Kelelahan Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan

manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. 3. Merokok Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok. 4. Cuaca

Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan

mempengaruhi proses inflamasi. 5. Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya. 6. Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal. 7. Sinar ultra violet Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut. 8. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

Penatalaksanaan Medikamentosa : Untuk SLE derajat Ringan; Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan. Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata. Untuk SLE derajat berat; Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena. Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada

kortikosteroid dosis tinggi. Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID) NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik. 2. Antimalaria Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu

pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek samping antimalaria. 3. Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam

manifestasi klinis SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari.

Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

4. Terapi Imunomodulator A. Cyclophosphamide Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu. Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia. Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian

cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika urinaria juga perlu dilakukan.

B. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya adalah

leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 5001000 mg, 2 kali per hari. C. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk

pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5

mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan neutrofil > 1000/mm3. Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.

D. Leflunomide Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari. E. Methotrexate Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer. E. Cyclosporine Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin. 5 Agen Biologis Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan mengurangi

antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS. 6. Terapi Hormon Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 4001200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause. 7. Terapi Lain Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya. Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan immunosuppressive telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang kronis. Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan

dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES 1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal 400 mg/hari) 2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu. 3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari. 4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs) Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari Diclofenac < 12 tahun : tak dianjurkan > 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari 5. Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari 6-12 bulan : 540 mg/hari 1-10 bulan : 800 mg/hari 11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol

< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu 6. Anti-hipertensi Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam. Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

2.8 Komplikasi Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan. Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis

membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik. 2.9 Prognosis Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus

saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit kompleks. LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

BAB IV KESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuclear. Komplikasi LES pada meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan, gangguan paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen, gejala neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi gonad. Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org 2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009. Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com. 3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com. 4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia. 2003. p810-813. 5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007. Available at htttp://www.emedicine.com. 6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007. 7. Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : FKUI 8. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2004. Patofisiologi. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC 9. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Volume 2 Jakarta : EGC 10. Albar, Zuljasri. 2004. Ilmu Penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta : FKUI 11. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214. 12. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober 2004; hal201-213. 13. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and Musculosceletal disorder ; page 805-807. 14. Harrissons Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 19221928. 15. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30. Patofisiologi Edisi 6.

16. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12th ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 2001: 329-334 17. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997; 40: 1725 18. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96 19. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of rheumatology. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997 20. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal, neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann Intern Med 1995; 122 : 94050. 21. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 243-263. 22. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199

You might also like