Professional Documents
Culture Documents
Kualitas Udara
Desember 2007
Diterbitkan oleh
Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Sector Programme Phase 1
Pengantar
Penyelenggaraan sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) di Indonesia masih membutuhkan berbagai penyempurnaan. Baik itu penyempurnaan pada aspek peraturan, aspek kelembagaan, maupun aspek sumber daya manusia pelaksana AMDAL. Selain aspek-aspek tersebut, KLH juga masih menjumpai berbagai kekurangan pada aspek teknik pengerjaaan AMDAL. Sorotan khusus diberikan banyak pihak terhadap lemahnya proses prakiraan dampak lingkungan dalam kajian ANDAL. Banyak konsultan penyusun AMDAL mengerjakannya dengan menggunakan metodologi prakiraan dampak yang kurang tepat. Buku Memprakirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara ini diterbitkan sebagai salah satu wujud upaya KLH untuk meningkatkan kualitas proses prakiraan dampak. Sebagaimana tercermin dari judulnya, buku ini memang khusus membahas prakiraan dampak terhadap kualitas udara. Penekanan khusus diberikan pada urutan langkah kerja dan output yang sebaiknya dihasilkan dari proses prakiraan dampak kualitas udara. Sebagai edisi pertama, buku ini tentunya masih ada kekurangan. Tanggapan dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan agar KLH dapat terus menyempurnakan buku ini di edisi-edisi selanjutnya. Menyusul buku ini, KLH akan segera menerbitkan buku-buku panduan penggunaan metodologi prakiraan dampak untuk komponenkomponen sosial, ekonomi, dan biofisik lainnya. Sebagai penutup, KLH mengucapkan rasa penghargaan dan terima kasih kepada Pemerintah Kerajaan Denmark (melalui Danish International Development Agency atau DANIDA) atas dukungannya dalam penyusunan, pencetakan, dan penyebarluasan buku ini. Jakarta, Desember 2007
Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Ir. Hermien Roosita, MM
Foto: Koleksi Qipra
Daftar Isi
1 MEMAHAMI PRAKIRAAN DAMPAK KUALITAS UDARA ...... 1 Perubahan Kualitas Udara ........................................... 2 Prakiraan Dampak Kualitas Udara ............................ 7 Tahapan Prakiraan Dampak Kualitas Udara .......... 13 2 MEMPELAJARI KARAKTERISTIK EMISI ..................................... 15 Identifikasi Sumber Emisi ............................................ 16 Karakterisasi Emisi ......................................................... 21 Menyeleksi Polutan Penting ....................................... 26 3 MELENGKAPI LINGKUP PRAKIRAAN DAMPAK ..................... 29 Membatasi Wilayah Studi ............................................ 30 Identifikasi Objek Penerima Dampak .................... 32 Mengarahkan Prakiraan Dampak ............................. 37 4 MENCERMATI WILAYAH STUDI .................................................. 41 Mengukur Kualitas Udara Ambien ........................... 42 Mengenali Karakteristik Fisik Wilayah Studi .......... 44 Mempelajari Kondisi Meteorologis .......................... 47 5 SIMULASI PENYEBARAN POLUTAN .......................................... 53 Memilih Teknik Simulasi ............................................... 54 Menghitung Konsentrasi Sebaran Polutan ........... 62 Membuat Peta Isopleth ................................................ 65 Menghitung Konsentrasi Ambien Polutan ............ 70
Pengarah
Hermin Roosita, Ary Sudijanto, Harni Sulistyowati, Widhi Handoyo (Kantor Asisten Deputi Kajian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Tata Lingkungan, KLH)
Penyusun
Qipra Galang Kualita, yang terdiri dari: Rudy Yuwono, Sri Listyarini , Laksmi Wardhani (konsep & tulisan), M. Taufik Sugandi, E. Sunandar, Zarkoni (tata letak & desain grafis), Isna Marifa, Nuraman Sjach (dukungan editorial)
Apresiasi
Unt uk Pendanaan : Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Sector Program (ESP) Phase 1. Untuk Masukan dan Substansi: Arief Sabdo Yuwono (Institut Pertanian Bogor), Driejana (Institut Teknologi Bandung), Kardono (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Yeremiah RT (Universitas Nasional), Yana Mariska, Taufik Affif (Institut Teknologi Bandung) Untuk Foto: Winarko Hadi (IATPI), Bayu R. Tribuwono (Qipra), Taufik Ismail (Qipra), Rio Marantika (Qipra), Deasy (Qipra), Yuyun Mulyani, Eka Jatnika, Indar Atmoko, Heri Wibowo, Sulaiman (Green Planet Indonesia)
Disclaimer
Panduan ini adalah panduan lepas mengenai metodologi prakiraan dampak lingkungan terhadap kualitas udara. Isi dari panduan ini bukan merupakan satu-satunya metodologi yang boleh diberlakukan. Panduan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang sama sebagaimana produk hukum Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Diterbitkan Oleh
Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Gedung A Lantai 6 Jl. D.I. Panjaitan Kav 24, Kebun Nanas, Jakarta 13410 Telp/Faks (021) 85904925 PO BOX 7777 JAT 13000 e-mail: amdal@menlh.go.id Website: http:\\www.menlh.go.id
Susunan Buku
Buku ini diawali dengan bagian Memahami Prakiraan Dampak Kualitas Udara yang memuat maksud, tujuan, batasan, tingkat kedalaman, dan output dari suatu proses prakiraan dampak kualitas udara. Diharapkan pembaca nantinya dapat memiliki kesamaan pemahaman tentang proses prakiraan dampak tersebut sebelum melangkah ke bagian-bagian lainnya. Bagian ini ditutup dengan uraian mengenai langkah-langkah kerja dari proses prakiraan dampak kualitas udara. Bagian selanjutnya, Mempelajari Karakteristik Emisi, mengulas langkah pertama dalam proses prakiraan dampak. Di sini dijelaskan cara mengidentifikasi sumber-sumber emisi dan mengenali karakteristik polutan yang diemisikan. Bagian ini diakhiri dengan uraian mengenai penentuan jenis polutan penting yang perlu diprakirakan sebarannya. Bagian Melengkapi Lingkup Prakiraan Dampak menjelaskan bagaimana tatacara menyusun lingkup prakiraan dampak kualitas udara. Termasuk dalam uraiannya adalah bagaimana membatasi wilayah studi, mengidentifkasi objek-objek penerima dampak, dan menentukan waktu kajian. Sebagai penutup, bagian ini menguraikan beberapa hal yang dapat digunakan sebagai kriteria penilaian sifat penting dampak. Jenis data dan informasi yang dibutuhkan untuk simulasi sebaran polutan akan diuraikan pada bagian Mencermati Wilayah Studi. Termasuk di dalamnya adalah data dan informasi mengenai kualitas udara ambien, kondisi permukaan lahan, dan kondisi meteorologis wilayah studi. Bagian selanjutnya, Simulasi Penyebaran Polutan, mengulas berbagai pilihan teknik yang dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi sebaran polutan yang diemisikan suatu sumber. Selain perhitungan secara manual, bagian ini juga akan memperkenalkan beberapa perangkat lunak (software) dispersi polutan yang dapat digunakan.
PRAKIRAAN DAMPAK KUALITAS UDARA .......................................... 7 Output Prakiraan Dampak ................................................................. 7 Boks: Kedalaman Prakiraan Dampak ......................................... 9
Kegiatan Wajib Prakiraan Dampak .................................................10 Dampak Penting Hipotetik................................................................ 10 Penilaian Dampak ................................................................................ 11
POLUTAN UDARA
Polutan primer yang diemisikan oleh suatu sumber emisi akan mengalami berbagai reaksi fisik dan kimia dengan adanya faktor meteorologi seperti sinar matahari, kelembaban dan temperatur. Berbagai reaksi yang terjadi juga dapat menyebabkan terbentuknya beberapa jenis polu-
Polutan NOx dan SO2 bercampur dengan air di udara untuk menjadi hujan asam
Polutan ringan terbawa ke tempat-tempat yang sangat jauh dan menyebabkan pencemaran regional
Ilustrasi: Toppeaks
Polutan digolongkan sebagai polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutanpolutan yang diemisikan langsung dari sumbernya, baik itu berasal dari a) sumber alamiah seperti badai, letusan gunung berapi, semburan gas alam dari tanah, dan b) kegiatan-kegiatan manusia. Contoh dari polutan primer adalah CO, SO2, Cl2, dan debu. Di dalam udara ambien, sebagian polutan primer akan mempertahankan bentuk senyawa aslinya. Sementara itu sebagian lagi akan berubah bentuk sebagai akibat adanya interaksi dengan sesama polutan atau dengan unsur atmosfer. Polutanpolutan yang terjadi akibat interaksi dan reaksi itu dinamakan polutan sekunder. Contohnya adalah O3 (ozon) dan PAN (peroxyacetyl nitrate) yang terbentuk dari reaksi HC, NOx, dan oksigen.
Ilustrasi: Toppeaks
sekunder. Walau demikian, Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) nasional hanya menyebutkan 9 (sembilan) jenis polutan umum, yaitu sulfur-dioksida (SO2), karbonmonoksida (CO), nitrogen-dioksida (NO2), ozon (O3), hidrokarbon (HC), PM10, PM2,5, TSP (debu), Pb (timah hitam), dustfall (debu jatuh). Kesembilan polutan ini dianggap sebagai polutan-polutan yang memiliki pengaruh langsung dan signifikan pada kesehatan manusia.
pencemaran udara baru terjadi jika masukan polutan menyebabkan mutu udara turun sampai ke tingkatan yang menyebabkan fungsinya terhambat. Misalnya, sampai ke tingkatan di mana kesehatan manusia terganggu, atau lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mempermudah penilaian atas tercemar-tidaknya udara, kita dapat membandingkan kualitas udara dengan BMUA. Jika konsentrasi suatu polutan dalam udara ambien sudah melampaui nilai baku mutunya, kita dapat menyatakan bahwa udara sudah tercemar. Sebagai contoh, udara yang memiliki kandungan SO2 (1 jam) = 1.250 g/Nm3 dapat dianggap sudah tercemar karena nilai itu sudah melebihi nilai BMUA dari SO2 (1 jam) yang nilainya 900 g/Nm3. 3
PENCEMARAN UDARA
Masuknya polutan ke dalam udara selalu menyebabkan perubahan kualitas udara. Walau demikian, masukan polutan tersebut tidak selalu dapat menyebabkan pencemaran udara. Mengacu pada definisi resminya,
NITROGEN DIOKSIDA SULFURDIOKSIDA Gas tidak berwarna, berbau dalam konsentrasi pekat. Banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur, misalnya solar dan batubara. Menyebabkan sesak nafas bahkan kematian pada manusia dan juga pada hewan. Pada tumbuhan, menghambat fotosintesis, proses asimilasi dan respirasi. Merusak cat pada bangunan akibat reaksinya dengan bahan dasar cat dan timbal oksida (PbO). Gas SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Gas ini berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam. Terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas alam. NO2 bisa berasal dari oksidasi dengan kandungan N dalam bahan bakar dan juga oksidasi dengan N udara karena panas. NO2 bersifat racun terutama terhadap paru. Paru-paru yang terkontaminasi dengan gas NOx akan mengalami pembengkakan. Pada konsentrasi NO2 > 100 ppm kebanyakan hewan akan mati.
Boks
KARBON MONOKSIDA Senyawa tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas tidak berwarna. Dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna, seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Juga diproduksi dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Konsentrasi rendah dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian.
FLUORIDA Golongan gas Halogen, berwarna coklat, sangat reaktif, dan beracun. Berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, reduksi fosfat dari tanaman, industri penghasil aluminium dan lainlain. Inhibitor yang dapat mencegah kerja berbagai enzim manusia, merusak sel tanaman. Konsentrasi cukup besar di atmosfir akan mencemari air dan tanah.
HIDROKARBON
Jika berbentuk gas di udara umumnya tergolong sebagai Volatile Organic Compounds (VOC). Bentuk cair menjadi semacam kabut minyak. Jika padatan akan membentuk debu. Berasal dari industri plastik, resin, pigmen, zat warna, pestisida, karet, aktivitas geothermal, pembuangan sampah, kebakaran hutan serta transportasi. Di udara akan bereaksi dengan bahan lain dan membentuk Polycyclic Aromatic Hidrocarbon (PAH), bila masuk dalam paruparu menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. TIMBAL Logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan. Sangat beracun dan menyebabkan berbagai dampak kesehatan terutama pada anak-anak. Dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf dan pencernaan, sedangkan berbagai bahan kimia yang mengandung timbal dapat menyebabkan kanker.
OZON Pada lapisan troposfer terbentuknya O3 akibat adanya reaksi fotokimia pada senyawa oksida nitrogen (NOx) dengan bantuan sinar matahari. Konsentrasi ozon yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan, serangan jantung dan kematian. Sebaliknya, di lapisan stratosfer keberadaan ozon sangat dibutuhkan untuk menyelimuti permukaan bumi dari radiasi sinar ultraviolet.
TOTAL SUSPENDED PARTICULATE Partikulat adalah padatan atau cairan di udara dalam bentuk asap, debu dan uap. Komposisi dan ukuran partikulat sangat berperan dalam menentukan pajanan. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar 0,1 mikron - 10 mikron. Partikulat juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. PM10 berukuran 10 mikron. Mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. PM2,5 berukuran 2,5 mikron. Langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. DEBU JATUH Partikel berukuran diatas 500 mikron. Secara alamiah dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Juga pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung senyawa karbon murni atau bercampur dengan gas-gas organik seperti halnya penggunaan mesin disel yang tidak terpelihara dengan baik.
KLORIDA Gas berwarna hijau, bau sangat menyengat. Efek samping dari proses pemutihan (bleaching) dan produksi zat/ senyawa organik yang mengandung klor. Menyebabkan iritasi mata. Jika masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan membentuk asam klorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan saluran pernafasan.
perbedaan kondisi operasi dari suatu rencana kegiatan, skenario operasi musim hujan dan musim kemarau, dan sebagainya.
dah ditentukan sebelumnya. Output prakiraan dampak kemudian perlu dinilai sifat penting-nya (significancy) untuk menentukan apakah suatu dampak penting hipotetik memang benar-benar dapat digolongkan sebagai dampak penting (lihat bahasan mengenai Penilaian Sifat Dampak). Output prakiraan dampak ditampilkan sebagai: 1. Tabel Output Prakiraan Dampak Kualitas Udara; Tabel ini berisi nilai konsentrasi sebaran polutan maksimal (CMAX) dan nilai konsentrasi ambien polutan maksimal (CMAX) yang kemungkinan terjadi di lokasi-lokasi objek penerima dampak. Perlu-tidaknya tabel itu mencantumkan kedua jenis nilai konsentrasi tersebut ditentukan oleh tingkat kedalaman prakiraan dampak yang dipilih (lihat Boks mengenai Kedalaman Prakiraan Dampak). Nilai-nilai konsentrasi dihitung berdasarkan kondisi kejadian terburuk (lihat bahasan mengenai Skenario Prakiraan Dampak di Bagian 3). Tiap jenis polutan penting yang diemisikan harus memiliki tabelnya sendiri. Tabel juga dibuat untuk tiap tahun prakiraan (lihat bahasan mengenai Waktu Kajian di Bagian 3). 2. Peta Isopleth Semburan; Peta ini dibuat untuk menunjukkan peningkatan konsentrasi polutan (C) di wilayah sekitar sumber emisi sebagai akibat adanya emisi polutan yang bergerak mengikuti tiupan angin dominan. Garis-garis isopleth nantinya akan memiliki wujud seperti bola semburan (plume). Nilai-nilai peningkatan konsentrasi dihitung berdasarkan kondisi kejadian rata-rata (lihat bahasan mengenai Skenario Prakiraan Dampak di Bagian 3). Tiap jenis polutan penting yang diemisikan harus memiliki peta isoplethnya sendiri. Cara pembuatan peta isopleth ini dapat dilihat pada Bagian 5 buku ini. 3. Peta Isopleth Wilayah Sebaran; Peta ini dibuat untuk menunjukkan pola peningkatan sebaran polutan dalam kondisi rata-rata di seluruh wilayah sebaran dampak. Gradasi peningkatan konsentrasi rata-rata
Peta isopleth berisi garis-garis yang menghubungkan titik-titik lokasi yang akan memiliki kesamaan konsentrasi sebaran polutan. Output prakiraan dampak setidaknya terdiri dari peta Isopleth Semburan (gambar atas) dan Peta Isopleth Wilayah Sebaran (gambar bawah). Peta-peta ini harus dibuat untuk tiap jenis polutan penting.
Foto: Koleksi Qipra
Boks
Penentuan tingkat kedalaman yang dibutuhkan dapat dipengaruhi oleh tingkat prioritas dari suatu dampak penting hipotetik (lihat bahasan terkait). Dalam beberapa kasus, kita mungkin cukup membutuhkan prakiraan Tingkat 1 (Prakiraan Penyebaran Polutan). Misalnya saat kita ingn memprakirakan pengaruh dari sumber emisi yang bersifat sementara seperti kegiatan konstruksi. Sedangkan untuk kasus lainya, kita mungkin perlu melakukan prakiraan Tingkat 2 (Prakiraan Kualitas Udara Ambien). Misalnya saat kita ingin memprakirakan pengaruh dari sumber emisi yang bersifat kontinyu dan terus menerus. Sementara itu, dalam dokumen-dokumen ANDAL yang ada, prakiraan Tingkat 3 (Prakiraan Dampak Lanjutan) masih jarang sekali dilakukan secara kuantitatif. Jenis dampak lanjutan yang diprakirakan akan terjadi berikut besarannya lebih banyak dinilai secara kualitatif di bagian Evaluasi Dampak dokumen ANDAL. Perlu tidaknya kita melakukan prakiraan Tingkat 3 sebaiknya dikonfirmasikan ke Komisi Penilai AMDAL yang berwenang.
yang mungkin terjadi akan tervisualisasikan di peta isopleth ini. Nilai-nilai peningkatan konsentrasi dihitung berdasarkan kondisi kejadian rata-rata. Tiap jenis polutan penting yang diemisikan harus memiliki peta isopleth-nya sendiri. Tergantung kepada kedalaman prakiraan yang dipilih, peta Isopleth Wilayah Sebaran juga dapat dibuat untuk menunjukkan gradasi konsentrasi ambien polutan. Cara pembuatan peta isopleth ini dapat dilihat pada Bagian 5 buku ini. Perlu diingat bahwa nilai konsentrasi polutan perlu disampaikan dalam suatu waktu rata-rata (averaging times). Lebih baik lagi, kalau waktu rata-rata yang digunakan sesuai dengan waktu rata-rata dalam kriteria penilaian sifat pentingnya. Output prakiraan dampak juga perlu disertai dengan informasi mengenai frekuensi, durasi, dan kontinuitas dari dampak yang akan terjadi. Informasi tersebut dibutuhkan agar pihak-pihak berkepentingan mengetahui bahwa suatu output prakiraan dampak hanya terjadi dalam rentang waktu dan kondisi tertentu saja.
atau lebih komponen kegiatan yang akan mengemisikan polutan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk mempengaruhi kualitas udara secara signifikan. Jika rencana kegiatan kita tidak mengemisikan polutan yang dapat menimbulkan dampak penting, berdasarkan hasil evaluasi dampak pada proses pelingkupan, prakiraan dampak kualitas udara tidak perlu kita lakukan. Prakiraan dampak kualitas udara seringkali juga tetap perlu dilakukan untuk suatu sumber komponen kegiatan walau emisinya diduga akan berada di bawah nilai BMEnya. Walau konsentrasinya kecil, komponen kegiatan itu mungkin saja akan mengemisikan polutan dalam jumlah yang besar. Dengan laju emisi yang tinggi, emisi polutan tersebut tetap mungkin mempengaruhi kualitas udara ambien secara signifikan.
10
an prakiraan dampak kualitas udara, sumber dampak adalah emisi polutan yang dikeluarkan dari suatu sumber emisi. 2) Komponen lingkungan terkena dampak; Yaitu kualitas udara ambien dari suatu wilayah. Untuk prakiraan dampak Tingkat 3, kita perlu menyebutkan objek terkena dampak dari berubahnya kualitas udara sebagai komponen lingkungan yang terkena dampak. Kedua komponen di atas perlu disampaikan sespesifik mungkin agar proses prakiraan dampak dapat dilakukan dengan tepat-sasaran dan efisien. Misalnya dengan membatasi komponen lingkungan terkena dampak (kualitas udara ambien) hanya untuk beberapa jenis polutan tertentu saja. Sumber dampak juga harus dilengkapi dengan informasi mengenai lokasi sumber emisi dan waktu pemunculannya (lihat bahasan mengenai Pola Pemunculan Emisi di Bagian 2). Kedalaman prakiraan dampak yang akan digunakan juga perlu tercermin dari pernyataan dampak penting hipotetik. Untuk prakiraan Tingkat 3, komponen lingkungan terkena dampak harus menyebutkan jenis dampak lanjutan yang dapat terjadi pada objek penerima dampak. Misalnya, kesehatan penduduk desa khususnya menyangkut penyakit ISPA. Atau, produktivitas tanaman kentang di daerah pertanian di suatu desa.
Dampak penting hipotetik, sesuai Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Peraturan Menteri LH No. 08 Tahun 2006), perlu diklasifikasikan dan diberikan tingkat prioritasnya. Tingkat prioritas tersebut akan mempengaruhi penentuan kedalaman prakiraan dampak dari suatu dampak penting hipotetik. Dampak penting hipotetik dengan prioritas rendah dapat saja menggunakan prakiraan Tingkat 1. Sebaliknya, dampak penting hipotetik dengan prioritas tinggi sebaiknya menggunakan prakiraan Tingkat 3.
PENILAIAN DAMPAK
Seperti disebutkan sebelumnya, output prakiraan dampak perlu dipelajari untuk dinilai penting atau tidaknya dampak tersebut. Penilaian sifat penting dampak dilakukan terhadap kriteria penilaian yang disepakati sebelumnya. Beberapa kriteria penilaian yang dapat digunakan antara lain adalah BMUA, nilai Tambahan Polutan Maksimal (lihat bahasan terkait di Bagian 3), nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), luas wilayah yang kualitas udaranya akan berubah secara signifikan, jumlah manusia terkena dampak, dan sebagainya. Penyimpulan penting-tidaknya suatu dampak juga mempertimbangkan besaran dampak yang dapat terjadi. Besaran dampak tersebut dihitung dengan membandingkan hasil prakiraan kualitas udara (jika komponen
Contoh dari salah satu pernyataan dampak penting hipotetik adalah sumber dampak: emisi SO2 dan HC dari alat berat yang digunakan di lokasi pertambangan, komponen lingkungan terkena dampak: kualitas udara ambien desa Sugiharjo (khususnya menyangkut SO2 dan HC), dengan obyek penerima dampaknya adalah penduduk desa tersebut.. Komponen Lingkungan Terkena Dampak: KUALITAS UDARA AMBIEN
ilustrasi: Topppeaks
11
kegiatan jadi dilaksanakan) dengan rona dasar kualitas udara (background concentration) di tahun prakiraan yang sama. Untuk mendapatkan rona dasar kualitas udara di suatu tahun prakiraan, perlu dilakukan prakiraan kualitas udara dengan asumsi bahwa komponen kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (prakiraan nir-kegiatan). Output prakiraan dampak juga perlu dinilai untuk sifat pengaruh dampak-nya. Sederhananya adalah untuk penilaian positif atau negatifnya dampak penting tersebut. Suatu komponen kegiatan dinilai dapat membawa dampak negatif, jika emisi polutannya diduga akan me-
nyebabkan kualitas udara menjadi lebih buruk. Sebaliknya, komponen kegiatan itu dinilai dapat berdampak positif, jika emisi polutannya diduga akan menyebabkan kualitas udara menjadi lebih baik. Tentunya jika dibandingkan dengan kualitas udara nir-kegiatan di waktu kajian (tahun prakiraan) yang sama. Banyak penyusun AMDAL saat ini tidak melakukan prakiraan kualitas udara nir-kegiatan. Jadi, penilaian besar-kecilnya dampak dinilai dengan mengacu kepada kualitas udara saat ini (rona lingkungan awal). Hal ini dapat dibenarkan selama kita yakin bahwa kualitas udara nir-kegiatan akan tetap sama (statis) untuk tahun prakiraan yang kita pilih.
Suatu jalan pintas bawah-tanah (underpass) akan dibuat untuk memperlancar arus kendaraan bermotor di suatu kawasan yang kondisi lalulintasnya sudah sangat padat. Konsentrasi CO (rata-rata 24 jam) di kawasan itu saat ini sudah mencapai nilai 7.000 g/Nm3. Saat underpass beroperasi di tahun 2010, jumlah kendaraan bermotor yang melintasi kawasan itu diprakirakan akan meningkat 50 persen dari jumlahnya saat ini. Akibatnya, walau jalan underpass sudah beroperasi, konsentrasi CO di kawasan itu diprakirakan tetap akan meningkat menjadi 10.000 g/ Nm3. Untuk menilai positif-negatifnya dampak penting dari pembangunan underpass tersebut, prakiraan dampak nir-kegiatan di tahun 2010 juga dilakukan. Dengan asumsi underpass tidak jadi didirikan, maka diprakirakan kemacetan jalan akan sering terjadi. Laju kendaraan akan tersendat sehingga emisi CO akan lebih besar untuk jumlah kendaraan di tahun 2010 yang sama. Oleh karena itu, hasilnya menunjukkan konsentrasi CO di kawasan itu diprakirakan akan meningkat menjadi 13.000 g/Nm3. Perbandingan konsentrasi CO di tahun 2010 antara kedua kondisi itu (dengan dan tanpa underpass) menunjukkan adanya jalan underpass justru akan membuat kualitas udara di kawasan tersebut menjadi lebih baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan underpass akan membawa dampak positif.
12
Mengukur Kualitas Udara Ambien Mengenali Karakteristik Fisik Wilayah Studi Mempelajari Kondisi Meteorologis
Membatasi Wilayah Studi Identifikasi Obyek Penerima Dampak Mengarahkan Prakiraan Dampak
Memilih Teknik Simulasi Menghitung Konsentrasi Sebaran Polutan Membuat Peta Isopleth Menghitung Konsentrasi Ambien Polutan
13
15
Suatu rencana kegiatan dapat saja memiliki lebih dari satu sumber emisi (multiple sources). Operasi kegiatan pertambangan, misalnya, memiliki beberapa aktivitas sumber emisi. Contohnya, komponen kegiatan peledakan guna menyingkirkan lapisan tanah permukaan, komponen kegiatan pengangkutan batuan (ore) dengan menggunakan alat berat dan truk pengangkut, komponen kegiatan penggerusan batuan, dan komponen kegiatan ekstraksi mineral dari batuan tersebut.
Memprakirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara
16
polutan dari aktivitas konstruksi, tangki penyimpanan cairan (storage tanks) terbuka, timbunan bahan baku (stockpile) terbuka, lokasi penurunan dan pemuatan barang (loading area), pelapisan aspal, instalasi pengolahan air limbah, menara pendingin (cooling towers), kebocoran alat, lahan terbuka yang tererosi oleh angin (open area wind erosion), dan sebagainya. Keberadaan perangkat pengendali polusi udara di suatu sumber emisi juga sebaiknya diinformasikan karena nantinya sangat mempengaruhi perhitungan estimasi jumlah polutan. Saat ini umumnya cerobong sudah direncanakan lengkap dengan perangkat pengendali polusi udara. Perangkat tersebut bertugas untuk mengurangi jumlah emisi polutan sampai ke tingkat kualitas yang diinginkan.
Dalam rencana pengembangan jalan raya, sumber emisi penting di tahap operasi adalah kendaraan-kendaraan bermotor yang melintasi jalan tersebut. Sumber emisi ini dapat digolongkan sebagai sumber emisi bergerak, sekaligus juga sumber garis.
17
18
Posisi sumber emisi sebaiknya dinyatakan dalam koordinat 3 dimensi X, Y, Z. Ada baiknya nilai X dan Y menggunakan acuan sistem koordinat universal, seperti UTM (Universal Transverse Mercator). Untuk nilai sumbu Z, kita bisa menggunakan elevasi muka-laut sebagai acuan. Dalam banyak kasus, posisi sumber emisi seringkali dianggap sebagai titik acuan dan diberikan kordinat lokal 0,0. Demikian pula dalam sistem kordinat relatif yang diperhitungkan berdasarkan arah mata angin.
Elevasi sumber emisi menunjukkan jarak vertikal (atau beda tinggi) antara sumber emisi, khususnya titik lepasannya, dengan suatu bidang acuan atau elevasi + 0,0 meter. Sebagai bidang acuan dapat digunakan elevasi permukaan tanah atau elevasi muka-laut. Informasi mengenai elevasi sumber emisi sangat perlu diperhatikan terutama jika beda tingginya dengan penerima dampak dianggap siginifikan. Misalnya, sumber emisi ada di puncak bukit sementara penerima dampak ada di kaki bukit. Atau, misalnya sumber emisi merupakan cerobong yang tingginya mencapai puluhan meter.
lubang atas (bagian lepasan). Untuk sumber wilayah: luas wilayah tersebut. Untuk sumber garis: panjang dan lebar ruas jalan. Ada baiknya informasi tentang dimensi sumber emisi disampaikan bersama diagram teknisnya.
19
Foto: Sulaiman
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan salah satu contoh dari sumber ruang (volume source), khususnya jika TPA tersebut memiliki timbunan yang tinggi. Hasil dari identifikasi sumber emisi harus menyebutkan bentuk, luas, tinggi, atau volume dari TPA tersebut. Emisi TPA merupakan salah satu contoh emisi fugitive atau emisi polutan yang tidak terkendali melalui cerobong atau sistem ventilasi udara.
Jika waktu keberadaannya bersamaan, ada kemungkinan emisi dari sumber-sumber itu nantinya perlu diakumulasikan. Informasi waktu keberadaan sumber emisi dan informasi waktu pemunculan emisi (lihat bahasan mengenai Pola Pemunculan Emisi) diperlukan untuk memastikan apakah sumber-sumber emisi yang ada di suatu rencana kegiatan dapat dianggap sebagai sumber majemuk (multiple sources).
Hasil identifikasi sumber emisi cerobong harus mencakup lokasi dan elevasi dasar cerobong, tinggi cerobong, diameter cerobong, dan keberadaan perangkat pengendali polusi udara. Kapan cerobong itu mulai dioperasikan juga merupakan salah satu informasi yang perlu kita ketahui.
20
KARAKTERISASI EMISI
Karakteristik emisi ditunjukkan oleh jenis dan jumlah polutan yang dikandungnya, selain juga pola pemunculan emisinya. Berikut ini adalah uraian mengenai karakteristik emisi dan cara-cara untuk mengestimasinya. rus memastikan dulu bahwa sumber emisi sejenis itu memiliki rincian proses dan bahan baku yang serupa dengan sumber emisi kita. Beda skala kegiatan juga harus diperhatikan guna menghindari perhitungan yang tidak tepat (underestimation atau overestimation).
Jumlah polutan umumnya dinyatakan sebagai laju emisi (emission rate) yang menunjukkan berat polutan yang diemisikan dalam satu unit waktu. Misalnya, laju emisi SO2 dari suatu pembangkit listrik tenaga uap besarnya adalah 40 ton/tahun.
21
Boks
Faktor Emisi
Faktor Emisi (emission factor) menunjukkan perkiraan jumlah polutan yang akan diemisikan oleh tiap unit komponen kegiatan dari suatu sumber emisi. Nilai Faktor Emisi ditampilkan dalam satuan berat polutan per unit berat, volume, jarak, atau durasi dari komponen kegiatan yang mengemisikan polutan tersebut. Beberapa contoh nilai Faktor Emisi berikut satuannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Nilai Faktor Emisi banyak digunakan sebagai dasar perhitungan laju emisi dengan menggunakan rumus berikut: Q = EF x A x (1 ER/100) Dimana, Q (emission rate atau laju emisi) adalah jumlah polutan yang diemisikan per satuan waktu; EF (emission factor) atau faktor emisi; A (rate of activity) adalah intensitas kegiatan per satuan waktu; dan ER (emission reduction efficiency, dalam %) adalah efisiensi pengurangan polutan dari sistem pengendali emisi yang digunakan. Ilustrasi berikut menunjukkan penggunaan Faktor Emisi untuk menghitung besaran emisi. Kegiatan konstruksi apartemen menggunakan genset 35 kW yang digunakan 10 jam per hari. Genset ini menggunakan bensin tanpa timbal. Dengan angka rata-rata konsumsi bensin 315 g/kWH, maka genset itu diperkirakan akan membutuhkan 13,5 liter/jam. Jika genset dioperasikan selama 40 hari, maka emisi genset itu diprakirakan akan memiliki karakteristik sebagai berikut. - Intensitas kegiatan (A) = (35 kW) x (10 jam/hari) x (40 hari) = 14.000 kW-jam atau 14.000 kWH - Efisiensi pengurangan polutan (ER) = 0 % - Untuk PM10, dengan faktor emisi (EF) = 4,38 x 10-4 kg PM10/kWH, maka Q = (4,38 x 10-4 kg PM10/kWH) x 14.000 kWH = 6,132 kg PM10 Tabel di samping menunjukkan hasil lengkap prakiraan laju emisi Genset termasuk polutan-polutan lain.
22
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak (KEP13/MENLH/3/1995) menyediakan BME yang dikhususkan untuk industri besi dan baja, industri pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, dan industri semen. Selain itu, Kepmen ini juga menyediakan BME untuk jenis kegiatan lainnya. Untuk sumber bergerak, KLH menyediakan BME-nya dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor (KEP-35/MENLH/10/1993).
industri logam, dan kendaraan bermotor. Kelemahan dari perhitungan cara ini adalah akurasi nilai Faktor Emisi-nya sendiri. Tidak semua nilai sudah diuji dengan menggunakan metode uji yang sahih. Beberapa referensi faktor emisi juga sudah tersedia untuk emisi liar. Salah satunya adalah buku Fugitive Emission di Area Kegiatan Industri (2005) yang dikeluarkan oleh KLH.
Q = CBME x qvol Kelemahannya, cara ini hanya dapat digunakan untuk jenis-jenis polutan yang tercantum di BME, seperti Amoniak (NH3), Sulfur-Dioksida (SO2), Nitrogen-Dioksida (NO2), dan Partikulat.
23
tan dalam kondisi minimal dapat memberikan kita hasil prakiraan yang mungkin menyesatkan. Juga perlu diingat bahwa prakiraan dampak akan dilakukan guna mendapatkan nilai konsentrasi di waktu ratarata (averaging times) tertentu. Untuk itu, nilai jumlah polutan yang digunakan juga harus merupakan nilai untuk waktu rata-rata yang sama.
Emisi kendaraan motor hanya akan keluar di saat mesin motor hidup. Saat mesin motor mati, tidak lama kemudian biasanya emisi knalpot juga terhenti. Polutan penting dalam emisi motor, sebagaimana emisi kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin lainnya, terdiri dari CO, HC, dan NOx.
Foto: Taufik Ismail
24
dimulainya suatu kegiatan sumber emisi. Saat kegiatan itu dihentikan, tidak lama kemudian biasanya emisi juga terhenti. Informasi mengenai waktu pemunculan emisi juga sangat dibutuhkan dalam memastikan apakah sumbersumber emisi yang ada di suatu rencana kegiatan dapat dianggap sebagai sumber majemuk (multiple sources). Durasi pemunculan emisi akan mempengaruhi jumlah polutan yang diemisikan. Semakin lama durasi emisi, semakin banyak juga polutan yang diemisikan. Durasi pemunculan emisi juga hampir selalu mengikuti durasi keberadaan sumber emisi. Informasi ini juga dibutuhkan sebagai salah satu bahan pertimbangan saat kita melakukan penilaian sifat penting dari suatu dugaan dampak. Kontinuitas pemunculan emisi akan mempengaruhi pola penyebaran dari polutan yang diemisikan. Sebagai contoh, emisi CO dari sumber lalu-lintas jalan raya akan memiliki pola penyebaran yang berbeda dengan emisi CO dari sumber pabrik yang beroperasi secara kontinu. Kontinuitas pemunculan emisi tentunya juga mempengaruhi potensi dampak yang dapat ditimbulkannya.
Emisi polutan yang tidak kontinyu seringkali dianggap memiliki potensi dampak yang lebih kecil dibandingkan emisi polutan yang kontinu. Kecepatan lepasan emisi (stack exit velocity) menunjukkan cepat atau lambatnya emisi polutan keluar dari sumbernya. Informasi kecepatan lepasan emisi lebih banyak dibutuhkan dalam prakiraan dampak dari sumber cerobong. Khususnya untuk menghitung tinggi kepulan (plume rise) emisi yang dikeluarkan dari suatu cerobong. Debit emisi (volumetric emission flowrate) menunjukkan volume emisi yang dikeluarkan per satuan waktu. Untuk suatu cerobong, debit emisi merupakan hasil perkalian antara kecepatan lepasan emisi dengan luas penampang cerobong. Suhu lepasan emisi (exit temperature) menunjukkan suhu dari aliran emisi saat meninggalkan sumbernya. Tingginya suhu lepasan emisi, sama halnya dengan kecepatan lepasan emisi, akan mempengaruhi tinggi kepulan emisi dari suatu cerobong. Dalam penggunaannya, suhu emisi lebih banyak dinyatakan dalam derajat Kelvin (0K).
Emisi dari suatu TPA akan terus ada walau operasinya sudah dihentikan. Durasi pemunculan emisi gas metana dan karbondioksida bisa mencapai waktu 30 tahun setelah TPA itu berhenti beroperasi.
25
lutan penting perlu disampaikan kepada Komisi Penilai AMDAL untuk disepakati.
26
nanggapi kekhawatiran itu dan kemudian melakukan prakiraan dampak dari polutan itu. Hasilnya mungkin saja dapat digunakan untuk meyakinkan masyarakat sekitar bahwa dampak yang mereka khawatirkan tidak akan pernah ada.
Foto: Koleksi Qipra
Kekhawatiran masyarakat terhadap emisi dioksin dari suatu insinerator selalu saja ada. Walau jumlahnya kecil, kita tetap perlu melakukan prakiraan penyebaran polutan itu. Hasilnya diharapkan dapat lebih meyakinkan masyarakat tentang besar-kecilnya dampak emisi dioksin di tempat mereka bermukim.
27
29
Nilai Tambahan Polutan Maksimal (TPM) untuk suatu polutan di suatu wilayah ditentukan dengan mempertimbangkan selisih antara konsentrasi ambien polutan saat ini (CO) di wilayah tersebut dengan nilai batas konsentrasi maksimalnya, misalnya sebagaimana diatur di Baku Mutu Udara Ambien (CBMUA).
30
sentrasi ambien polutan di suatu wilayah sudah tinggi (mendekati nilai BMUA) maka nilai TPM untuk polutan itu seharusnya rendah. Sebaliknya, jika konsentrasi ambien polutan di suatu wilayah masih rendah (jauh di bawah nilai BMUA) maka nilai TPM-nya dapat saja lebih besar. Oleh karena pemerintah daerah umumnya belum memiliki nilai TPM untuk daerahnya, maka Pemrakarsa bisa saja mengusulkan besaran nilai TPM tersebut. Tentunya setelah mempertimbangkan data dari konsentrasi ambien polutan penting di sekitar tapak rencana kegiatannya. Usulan nilai TPM perlu disetujui terlebih dahulu oleh Komisi Penilai AMDAL sebelum digunakan dalam penentuan batas wilayah studi. Jika data konsentrasi ambien polutan belum ada maka Pemrakarsa dapat saja mengusulkan nilai TPM yang besarnya proporsional terhadap nilai BMUA untuk suatu polutan. Sebagai contoh, nilai TPM sama dengan 20% dari nilai BMUA. Jadi, jika nilai BMUA CO (1 jam) 6000 g/Nm3 maka nilai TPM CO adalah 1200 g/Nm (1 jam). Di negara
3
lain, khususnya untuk daerah yang kualitas udaranya sangat dilindungi, nilai TPM dapat mencapai seperduapuluh (5%) dari nilai BMUA. Simulasi untuk menentukan jarak, setelah nilai TPM disepakati, dapat dilakukan secara manual maupun dengan berbagi permodelan seperti model dispersi Gauss dan model kotak (box model) tergantung pada jenis sumber emisi (titik, garis atau area), ketersediaan data meteorologi dan sumber emisi. Program ini dapat digunakan apabila data yang digunakan sebagai input (terutama data karakteristik emisi dan sumber serta data meteorologi) tersedia dengan lengkap. Program komputer SCREEN3 banyak digunakan untuk kepentingan ini (lihat bahasan terkait di Bagian 5). Sebagaimana nanti akan dibahas lebih lanjut, program SCREEN3 merupakan salah satu program yang sangat praktis. Dengan mengasumsikan kondisi udara sangat stabil (kelas stabilitas atmosfer F), kita dapat memperoleh jarak terjauh yang cenderung konservatif sehingga aman untuk digunakan sebagai jarak batas TPM .
Titik TPM terjauh didapat setelah kita melakukan simulasi sebaran dari polutan penting yang memiliki laju emisi terbesar. Simulasi dilakukan berdasarkan asumsi kondisi terburuk (worst case). Artinya, simulasi dilakukan untuk kondisi atmosfer stabil (kelas stabilitas F) dengan menggunakan kecepatan angin tertinggi yang dijumpai. Wilayah studi kemudian dibuat dengan membuat lingkaran dimana lokasi sumber emisi merupakan titik pusatnya dan jarak titik TPM terjauh merupakan radiusnya.
31
SUMBER INFORMASI
Objek-objek penerima dampak dapat teridentifikasi dengan mengamati peta-peta wilayah yang mencakup wilayah studi kita. Salah satunya adalah peta tataguna lahan yang menunjukkan keberadaan kawasan pemuki-
Candi dan bangunan kuno lainnya merupakan salah satu jenis objek penerima dampak yang perlu dicermati. Contoh objek-objek penerima dampak lainnya kawasan pemukiman, lahan budidaya (pertanian, perkebunan, peternakan), industri, hotel atau tempat penginapan lainnya, obyek wisata, sarana pendidikan, perpustakaan, perkantoran, pertokoan, sarana olahraga, sarana budaya, rumah sakit, bandar udara, sarana ibadah, tumbuhan dan hewan langka.
32
man, perkebunan, persawahan, kawasan industri, bandara, pelabuhan laut, tempat wisata, dan lain-lainnya. Biasanya peta berskala 1:10.000 sudah cukup dapat diandalkan. Sumber informasi lain yang cukup baik adalah laporan status kondisi wilayah yang dibuat oleh kantor kelurahan atau kecamatan setempat. Laporan-laporan demikian biasanya bersifat tahunan. Informasi yang ada di dalamnya cukup lengkap. Selain data demografi, informasi geografis dan lingkungan biasanya juga tersedia. Ada baiknya, dalam proses konsultasi masyarakat di tahap pelingkupan ini, kita juga menanyakan ke masyarakat sekitar tentang keberadaan suatu jenis objek yang dikhawatirkan dapat terpengaruh oleh sebaran emisi nantinya. Masyarakat setempat merupakan sumber informasi yang dapat diandalkan. Mereka biasanya memiliki pengetahuan lebih akurat tentang keberadaan objek-objek di sekitar tempat tinggalnya. Keberadaan rencana objek-objek baru di masa datang dapat diperoleh dari instansi perencanaan pembangunan atau penanaman modal di suatu daerah. Dokumen rencana perkembangan wilayah dan peta rencana umum tataruang juga dapat membantu.
Proses konsultasi masyarakat di tahap pelingkupan, sebagaimana diatur dalam aturan Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL, dapat kita manfaatkan untuk mendapatkan informasi dari masyarakat setempat tentang keberadaan objek-objek di wilayah mereka.
33
Lokasi objek penerima dampak sebaiknya dinyatakan dalam sistem koordinat yang sama dengan sumber emisi. Jarak objek antara keduanya kemudian dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematis sederhana. Ilustrasi di atas juga menunjukkan arah mata angin dari lokasi objek penerima dampak relatif terhadap lokasi sumber emisi.
Koordinat Relatif
Dalam perhitungan konsentrasi sebaran polutan, terutama untuk sumber tunggal, kita seringkali perlu menggunakan sistem koordinat relatif. Dalam sistem koordinat relatif, garis sumbu absis-nya (sumbu x) harus selalu paralel dengan garis arah mata angin. Cara mengkonversi
Memprakirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara
nilai koordinat lokal ke nilai koordinat relatif dapat dilihat pada ilustrasi berikut.
Koordinat Polar
Selain pola koordinat Cartesian, kita juga dapat menggunakan sistem koordinat polar. Sistem koordinat ini
34
Suatu objek penerima dampak yang dinyatakan dalam sistem koordinat lokal dapat dikonversi ke sistem kordinat relatif sebagai berikut. - Pindahkan titik x = 0 dan y = 0 ke posisi sumber emisi. Dengan demikian, sekarang sumber emisi memiliki kordinat x = 0 dan y = 0. - Putar garis sumbu x searah jarum jam sampai garis itu paralel garis arah angin.
memiliki serangkaian garis konsentris yang berjarak sama. Sumber emisi diletakkan di titik pusat lingkaran. Beberapa perangkat lunak pemodelan dispersi polutan mendukung penggunaan sistem koordinat polar ini.
antara keduanya sangat penting untuk diketahui. Walau berjarak sama, objek-objek penerima dampak yang berbeda elevasi akan memiliki nilai hasil prakiraan sebaran polutan yang berbeda. Semakin besar beda elevasinya, semakin berbeda nilai hasil prakiraannya.
Elevasi
Suatu objek penerima dampak dapat saja memiliki elevasi yang berbeda dengan sumber emisi. Perbedaan elevasi
Terkadang untuk suatu objek penerima dampak kita perlu memprakirakan konsentrasi sebaran polutan di beberapa titik yang berbeda elevasi. Tiap titik penerima dampak 35
Sistem koordinat polar dapat juga digunakan sebagai pengganti sistem koordinat Cartesian. Walau demikian, sistem ini lebih baik digunakan jika sumber emisi hanya satu. Jika sumber emisinya lebih dari satu, kita akan memiliki beberapa lingkaran dengan titik pusat yang berbeda. Penggambarannya akan terlalu rumit.
yang memiliki ketinggian dari muka tanah ini (flagpole receptors) harus diketahui elevasinya. Konsentrasi sebaran polutan kemudian akan dihitung untuk elevasi titik penerima dampak tersebut. Dan, bukan elevasi dasar dari objek penerima dampak.
dari suatu objek penerima dampak. Misalnya, nama komplek pemukiman, nama bangunan, nama objek wisata. Pencantuman identitas ini dibutuhkan guna mencegah kesalahpahaman dalam proses prakiraan dampak.
Foto: Taufik
INFORMASI PELENGKAP
Informasi lain mengenai objek penerima dampak yang juga dibutuhkan adalah: Besaran objek; Misalnya luas lahan untuk objek wilayah, jumlah penduduk di suatu permukiman, atau jumlah bangunan di suatu perkampungan. Informasi besaran objek ini seringkali dibutuhkan sebagai salah satu bahan pertimbangan saat kita melakukan penilaian sifat penting dampak. Waktu keberadaan objek; Biasanya dinyatakan dalam tahun di mana suatu objek ada. Hal ini sangat penting khususnya jika objek kita merupakan objek masa datang. Dengan kata lain, objek itu belum ada saat kajian AMDAL dilakukan. Informasi pelengkap lainnya adalah nama atau identitas
Objek yang sedang dalam tahap konstruksi perlu diwaspadai kemungkinannya nanti menjadi salah satu obyek terkena dampak.
36
WAKTU KAJIAN
Waktu kajian merupakan waktu yang dampak dan kondisi lingkungannya ingin diprakirakan. Waktu kajian sering juga disebut sebagai tahun prakiraan (assessment year) karena selama ini kebanyakan pihak menggunakan tahun sebagai dasar satuan waktu dalam melakukan prakiraan dampak. Hasil prakiraan dampak nantinya hanya berlaku spesifik untuk waktu-waktu kajian yang sudah ditentukan saja. Pada prinsipnya, waktu kajian ditentukan dengan mem-
Prakiraan dampak dari perubahan kualitas udara perlu dilakukan di tahun dimana akan ada suatu kegiatan lain yang diduga akan terpengaruh oleh emisi polutan. Sebagai contoh, keberadaan bangunan apartemen yang mungkin baru ada beberapa tahun setelah kegiatan kita beroperasi.
Foto: Bayu Rizky
37
Skenario kondisi terburuk (worst-case scenario); memberikan hasil prakiraan konsentrasi polutan maksimal yang kemungkinan dapat terjadi di lokasi objek penerima dampak. Kalkulasi sebaran dampak untuk skenario kondisi terburuk ini dilakukan dengan menggunakan (1) laju emisi polutan maksimal (QMAX) dan (2) kombinasi pasangan nilai kecepatan angin rata-rata dengan kelas stabilitas atmosfer. Perlu dipahami bahwa konsentrasi polutan maksimal di lokasi-lokasi yang berbeda akan diperoleh pada kombinasi kecepatan angin dan stabilitas yang berbeda-beda (lihat bahasan mengenai Stabilitas Atmosfer di Bagian 4). Simulasi dengan menggunakan skenario ini dibutuhkan dalam pembuatan Tabel Output Prakiraan Dampak Kualitas Udara (untuk Konsentrasi Maksimal) yang merupakan salah satu output prakiraan dampak (lihat bahasan terkait di Bagian 1). Skenario kondisi rata-rata; memberikan hasil prakiraan kualitas udara ambien yang menunjukkan nilai konsentrasi rata-rata di lokasi-lokasi yang ditentukan.
Objek penerima dampak 2 Perumahan Bunga Swarga
Simulasi sebaran dampak dilakukan dengan menggunakan (1) laju emisi polutan rata-rata (QAVE), (2) nilai kecepatan angin rata-rata (untuk masing-masing arah) dan kelas stabilitas atmosfernya. Simulasi dengan menggunakan skenario ini dibutuhkan dalam pembuatan Peta Isopleth Sebaran Polutan yang merupakan salah satu output prakiraan dampak (lihat bahasan terkait di Bagian 1). Pada prakiraan Tingkat 3, hasil prakiraan kualitas udara untuk skenario kondisi umum dan skenario kondisi terburuk perlu diikuti dengan kalkulasi untuk mengkonfirmasi berbagai dampak lanjutannya.
Sumber Emisi
Ilustrasi: Toppeaks
Dengan adanya informasi mengenai waktu kajian, kita sudah memiliki lingkup prakiraan dampak yang lengkap. Contohnya adalah sumber dampak: emisi partikulat dan SO2 dari pabrik kertas, komponen lingkungan terkena dampak: kualitas udara, khususnya menyangkut konsentrasi TSP dan SO2, di wilayah 1) candi Tunggadewo, 2) perumahan Bunga Swarga; waktu kajian: 1) tahun 2015 saat pabrik mulai beroperasi, dan 2) tahun 2020 saat kapasitas pabrik akan ditingkatkan.
38
Luas dari suatu wilayah, atau jumlah rumah dan penduduk di dalamnya, merupakan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kriteria sifat penting.
Tingkat 2, Batas maksimal peningkatan konsentrasi polutan, atau nilai Tambahan Polutan Maksimal yang sebaiknya ditetapkan dalam kebijakan pengendalian kualitas udara di suatu daerah. Batas konsentrasi pemaparan Indeks Standar Pencemaran Udara atau ISPU (sebagaimana diatur dalam Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997). Nilai batas konsentrasi ambien polutan sebagaimana tercantum dalam 1) referensi ilmiah tentang dampakdampak lanjutan terhadap manusia, flora, fauna, bangunan, iklim global dapat terjadi, 2) standar kualitas udara ambien dari negara-negara lain; khususnya untuk jenis-jenis polutan yang tidak tercantum dalam BMUA Indonesia, dan 3) kajian-kajian ANDAL yang sudah dilakukan untuk daerah tersebut. Luas wilayah yang kualitas udaranya akan berubah secara signifikan, jumlah manusia yang tinggal di wilayah
tersebut, atau tingkat kerusakan yang dapat terjadi terhadap flora, fauna, dan bangunan, dan panjangpendeknya rentang waktu perubahan kualitas udara. Perlu diingatkan kembali bahwa nilai-nilai konsentrasi maksimal dalam BMUA selalu disertai dengan waktu ukur rata-ratanya (lihat boks mengenai Baku Mutu Udara Ambien di Bagian 1). Oleh karena itu, jika BMUA digunakan sebagai kriteria penilaian sifat penting dampak, kita harus memastikan bahwa nilai hasil prakiraan dampak diperoleh untuk waktu rata-rata yang sama. Misalnya, jika nilai baku mutu NO2 (1 jam) digunakan sebagai kriteria penilaian sifat penting dampak, seluruh prakiraan dampak harus dilakukan untuk waktu rata-rata 1 jam. Juga perlu diingatkan bahwa kriteria penilaian yang akan digunakan harus disepakati terlebih dahulu oleh Komisi Penilai AMDAL yang berwenang. Dan, ada baiknya kriteria penilaian sifat penting ini perlu disebutkan dalam dokumen KA-ANDAL.
39
41
POLUTAN SASARAN
Pengukuran kualitas udara hanya perlu dilakukan untuk jenis-jenis polutan penting saja. Itulah keuntungan dari penyusunan dampak penting hipotetik yang rinci sehingga jenis-jenis polutan pentingnya sudah disebutkan secara spesifik sejak awal. Polutan-polutan lain, walaupun termasuk sebagai polutan yang ditentukan BMUA, tidak selalu perlu diukur jika memang tidak termasuk sebagai polutan penting yang dihasilkan sumber emisinya. Penentuan jenis polutan yang akan diukur tentunya perlu disepakati dulu oleh Komisi Penilai AMDAL. Tiap jenis polutan membutuhkan metode analisis yang berbeda. Metode yang layak digunakan sudah tercantum
42
di BMUA (lihat tabel berikut). Misalnya SO2 (Sulfur-Dioksida) menggunakan metode analisis pararosanilin dengan peralatan spektrofotometer. Hidrokarbon (HC) menggunakan analisis dengan alat flame ionization detector dengan peralatan gas chromatograph. Analisis tentu harus dilakukan di laboratorium yang sudah terakreditasi.
permukaan tanah (groundlevel concentration), tidak jarang kita juga membutuhkan data kualitas udara ambien di elevasi lainnya. Misalnya, saat ingin menilai pengaruh emisi terhadap kualitas udara dari bagian atas bangunan tinggi. Waktu Sampling. Untuk kepentingan AMDAL, sampling perlu dilakukan guna mendapatkan nilai konsentrasi ambien polutan yang maksimal. Misalnya, saat kondisi lalu-lintas di suatu wilayah sedang ramai, atau di saat kecepatan angin sedang rendah. Dengan demikian, dapat diketahui pengaruh paling ekstrim dari suatu sumber emisi terhadap objek penerima dampak. Waktu sampling harus dicatat berikut kondisi iklim saat sampling dilakukan. Perlu dipahami bahwa penentuan waktu rata-rata (averaging times) akan mempengaruhi durasi pelaksanaan sampling. Seperti disebutkan sebelumnya, pemilihan waktu rata-rata untuk tiap jenis polutan sebaiknya mengikuti waktu yang tercantum dalam BMUA.
PENGAMBILAN SAMPEL
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan rencana pengambilan sampel (sampling) adalah lokasi, waktu, metode, dan alat sampling. Lokasi Sampling. Sampling perlu dilakukan di lokasilokasi objek penerima dampak yang sudah disebutkan dalam dampak penting hipotetik. Lokasi sampling harus dapat mewakili (representatif ) luas dan kondisi objek penerima dampak. Ketinggian lokasi sampling juga harus disesuaikan dengan elevasi dari titik amatan kita di suatu objek penerima dampak. Selain konsentrasi ambien di
Perencanaan sampling harus dilakukan sebaik-baiknya agar kita dapat terhindar dari pengeluaran biaya yang tidak perlu.
43
KONDISI GEOGRAFIS
Keberadaan laut atau badan air luas lainnya, dan tanah dengan kontur berbeda akan menimbulkan variasi kondisi meteorologis di dalam wilayah studi. Permukaan air yang luas, seperti laut dan danau, akan menyebabkan suhu udara di atasnya berbeda dengan suhu udara di permukaan tanah. Di siang hari, suhu udara di atas permukaan air akan terlambat memanas dibandingkan
Ilustrasi: Toppeaks
44
Perubahan arah angin ini tentu akan diikuti dengan perubahan arah sebaran polutan. Di siang hari, keberadaan laut dan lereng gunung akan menghambat pergerakan polutan ke arahnya. Sebaliknya di malam hari, pergerakan polutan ke arah laut dan lereng gunung akan semakin cepat. terpengaruh. Hal demikian tentu juga diikuti dengan Tanah dengan kontur tinggi biasa disebut sebagai wilayah dengan elevated terrain. Jika konturnya melebihi titik lepasan emisi, tanah tersebut dapat digolongkan sebagai wilayah dengan complex terrain. Sebaliknya, wilayah yang kontur tanahnya rata dapat disebut sebagai wilayah dengan flat terrain. penurunan laju perjalanan polutan. Beberapa kriteria penentu apakah wilayah studi kita termasuk daerah rural atau urban antara lain adalah: Tutupan vegetasi: wilayah dianggap rural jika tutupan vegetasinya lebih besar dari 35 %. Untuk kepentingan pemodelan, wilayah seperti perumahan dengan lahan luas, lapangan golf, taman kota yang luas, daerah pertanian, lahan terbuka, dan permukaan air seringkali dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan rural. Jumlah penduduk: wilayah dianggap rural jika popu-
TATAGUNA LAHAN
Wilayah studi digolongkan sebagai wilayah perkotaan (urban) dan wilayah pedesaan (rural). Wilayah urban diasumsikan selalu memiliki lebih banyak bangunan. Akibatnya, laju angin akan terhambat dan arahnya juga akan
45
Foto: Sulaiman
Wilayah urban (foto kiri) memiliki jumlah bangunan yang lebih rapat, sedangkan wilayah rural (foto kanan) memiliki kerapatan vegetasi yang lebih tinggi
lasi penduduknya lebih kecil dari 750 orang per kilometer persegi. Dan, dianggap urban jika populasinya lebih besar dari 750 orang per kilometer persegi. Untuk suatu wilayah studi yang setengah lebih wilayahnya tergolong sebagai wilayah urban, maka keseluruhan wilayah studi tersebut dapat dianggap sebagai wilayah urban. Begitu juga sebaliknya untuk wilayah rural. Keberadaan gedung tinggi dapat mempengaruhi arah dan kecepatan angin. Angin pasti akan mengitari ba-
ngunan yang berdiri di jalur perlintasannya, baik secara horizontal maupun vertikal. Setelah melewati gedung tinggi, angin akan tertarik kembali ke jalur semulanya. Hal ini akan menimbulkan efek tarikan-gedung (building downwash) yang dapat meningkatkan konsentrasi sebaran polutan di bagian hilir bawah gedung. Sementara itu, gedung-gedung tinggi yang saling berdekatan dapat menimbulkan efek lorong-angin (windtunelling) yang akan meningkatkan kecepatan angin.
Efek tarikan-gedung (building downwash) akan timbul jika aliran polutan bertemu dengan gedung tinggi.
ilustrasi: Toppeaks
46
Kecepatan angin biasanya diukur pada ketinggian standar, yaitu 10 meter (U 10). Untuk kepentingan pemodelan, kita butuh kecepatan angin pada ketinggian lepasan emisi (Zem). Misalnya, pemodelan sumber cerobong membutuhkan kecepatan angin di ujung cerobong. Untuk mendapatkan nilai kecepatan angin pada ketinggian lepasan emisi (Uem), kita dapat menggunakan rumus di ilustrasi ini. Konstanta p dalam rumus tersebut mencerminkan tingkat kekasaran permukaan lahan sesuai kondisi tataguna lahan (lihat tabel di halaman selanjutnya).
Info Grafis: Koleksi Qipra
47
Boks
Membaca Windrose
Windrose merupakan diagram yang mengilustrasikan fluktuasi arah dan kecepatan angin di suatu daerah. Masing-masing cabang pada windrose melambangkan arah datangnya angin. Angin dari arah utara (angin utara) digambarkan sebagai batang utara di bagian atas diagram. Suatu windrose dapat memiliki 8 cabang, 16 cabang, maupun 32 cabang arah angin. Kebanyakan windrose di Indonesia dibuat untuk 16 cabang arah angin dimana tiap cabang arah angin memiliki perbedaan sudut 22,50. Kecepatan angin dalam suatu windrose dapat dinyatakan dalam m/detik, km/jam, atau knot. Panjang tiap cabang menunjukkan persentase dari frekuensi angin yang bertiup ke suatu arah. Cabang terpanjang dianggap sebagai angin dominan di wilayah tersebut. Tiap cabang dibagi menjadi beberapa segmen dengan ketebalan atau warna berbeda. Panjang masingmasing segmen menunjukkan frekuensi pemunculan suatu rentang kecepatan angin di arah tersebut. Suatu diagram windrose memiliki lingkaran tengah yang menggambarkan frekuensi pemunculan angin tenang (kecepatan angin < 1 m/detik). Semakin besar ukuran lingkaran tengahnya, semakin sering angin bertiup perlahan di wilayah tersebut. Diagram windrose juga ada yang dilengkapi dengan diagram frekuensi kecepatan angin keseluruhan di wilayah tersebut. Pola arah angin sering ditentukan oleh musim karena itu dianjurkan membagi data angin menjadi angin musim kemarau dan angin musim hujan. Bila tersedia data resolusi jam, dapat juga dibuat windrose siang dan malam hari. Data lengkap mengenai arah dan kecepatan angin dibutuhkan untuk membuat Peta Isopleth Wilayah Sebaran. Semua arah angin harus diperhitungkan dalam pembuatan peta tersebut, demikian juga dengan kecepatan rata-rata di tiap arah angin. Sementara itu, Peta Isopleth Semburan hanya membutuhkan data arah dan kecepatan angin dominan saja (lihat bahasan terkait di Bagian 5).
48
bedaan tekanan udara. Dan, perbedaan tekanan udara akan mempengaruhi arah dan kecepatan angin di suatu wilayah. Pada prinsipnya, angin bertiup dari wilayah bertekanan tinggi ke wilayah bertekanan rendah. Semakin tinggi udara berada maka semakin rendah juga suhu ambiennya. Walau demikian, akibat adanya aliran udara yang lebih panas, suhu udara dapat memanas kembali pada ketinggian tertentu. Lapisan dimana suhu udara mulai memanas kembali disebut lapisan inversi. Lapisan inversi seringkali terbentuk pada malam hari di saat udara lebih dipengaruhi oleh radiasi panas dari permukaan bumi. Keberadaan lapisan inversi akan menentukan tinggi ruang pencampuran di suatu wilayah (lihat bahasan selanjutnya). Dalam perhitungan konsentrasi sebaran polutan, data mengenai suhu dan tekanan udara ambien umumnya hanya dibutuhkan untuk menghitung tinggi kepulan emisi cerobong (lihat bahasan mengenai Menghitung Konsentrasi Sebaran Polutan di Bagian 5). Dalam perhitungannya, suhu udara biasanya disampaikan dalam
derajat Kelvin (OK). Sedangkan tekanan udara disampaikan dalam satuan Bar.
STABILITAS ATMOSFER
Stabilitas atmosfer menunjukkan tingkat turbulensi udara di arah vertikal. Atmosfer yang stabil memiliki tingkat turbulensi vertikal yang rendah. Artinya, polutan tidak akan banyak terdispersi ke arah vertikal. Sebaliknya, atmosfer yang tidak stabil akan mendispersikan lebih banyak polutan ke arah vertikal. Ilustrasi berikut menunjukkan pengaruh kestabilan atmosfer terhadap penyebaran polutan. Stabilitas atmosfer sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin dan tingkat radiasi sinar matahari (incoming solar radiation atau insolation). Kedua faktor itu menimbulkan variasi tekanan udara antara lapisan udara di dekat permukaan tanah dengan lapisan udara yang lebih tinggi. Saat perbedaan tekanan udara di antara kedua lapisan itu besar, sebagaimana sering terjadi di siang hari maka atmosfer menjadi tidak stabil. Oleh karena tidak ada ra-
Ilustrasi: Toppeaks
Kondisi udara yang stabil (kelas F) cenderung membuat polutan bergerak lebih jauh. Sebaliknya, kondisi udara yang sangat tidak stabil (kelas A) cenderung membuat polutan akan teraduk dan tercampur sejak keluar dari titik lepasannya.
49
diasi matahari, variasi tekanan udara di malam hari umumnya tidak terlalu besar. Hal ini menyebabkan atmosfer memiliki kondisi yang lebih stabil di malam hari. Kecepatan angin dan tingkat radiasi sinar matahari di
suatu wilayah umumnya berfluktuasi. Oleh karena itu, suatu wilayah umumnya akan memiliki stabilitas atmosfer yang juga berfluktuasi. Di suatu saat, wilayah tersebut mungkin saja memiliki kondisi udara yang stabil, tapi di lain waktu wilayah tersebut akan memiliki kondisi udara yang tidak stabil. Dengan sendirinya konsentrasi sebaran polutan di suatu titik juga akan berfluktuasi mengikuti fluktuasi stabilitas atmosfer. Untuk sederhananya, stabilitas atmosfer digolongkan ke dalam 6 (enam) kelas, yaitu kelas A sampai kelas F. Ada juga yang menyebutnya sebagai kelas 1 sampai kelas 6. Kelas A ditujukan untuk kondisi udara yang paling tidak stabil. Sebagaimana terlihat dalam tabel berikut, kelas stabilitas atmosfer di siang hari lebih ditentukan oleh kecepatan angin dan tingkat radiasi sinar matahari (insolation). Sedangkan kelas stabilitas atmosfer di malam hari lebih ditentukan oleh kecepatan angin dan tutupan
Konsentrasi sebaran polutan ( C) di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh tingkat stabilitas atmosfernya. Walau demikian, nilai konsentrasi sebaran polutan maksimal (CMAX) di suatu wilayah akan didapat pada kondisi stabilitas yang berbeda dengan nilai CMAX di wilayah lain. Seperti terlihat di ilustrasi di atas, nilai CMAX di titik A diperoleh saat kondisi atmosfer sedang tidak stabil. Sedangkan, nilai CMAX di titik B diperoleh saat kondisi atmosfer sedang stabil.
awan (cloudiness). Dalam formula dispersi Gaussian, kelas stabilitas atmosfer nantinya akan digunakan dalam menghitung nilai standar dispersi (y dan z) dari kepulan emisi (plume). Untuk jelasnya, lihat Boks: Memahami Persamaan Gaussian di Bagian 5.
50
TINGGI CAMPURAN
Tinggi campuran (mixing height) menunjukkan ketinggian ruang pencampuran dari permukaan bumi dimana dispersi polutan masih mungkin terjadi. Seperti disebutkan sebelumnya, ruang pencampuran terbentuk akibat adanya lapisan inversi suhu di udara. Polutan akan lebih terdispersi ke arah vertikal di suatu wilayah yang ruang pencampurannya lebih tinggi. Tinggi campuran suatu wilayah dipengaruhi antara lain oleh suhu udara ambien, kecepatan angin, karakterstik fisik wilayah studi (khususnya tataguna lahan). Sama dengan suhu udara, tinggi campuran di suatu wilayah juga bervariasi dari waktu ke waktu. Tinggi campuran bukan sesuatu yang mudah kita ukur sendiri. Nilai tinggi campuran untuk suatu wilayah bisa diperoleh dari kantor BMG terdekat.
meteorologis untuk seluruh wilayah di Indonesia. Untuk wilayah Indonesia, BMG baru memiliki 37 stasiun pemantauan kualitas udara yang tersebar di 31 kota. Enam stasiun berada di ibukota Jakarta dan semakin ke timur semakin jarang ada stasiun pemantau BMG. Belum lagi masalah rentang waktu rekaman data yang tersedia. Sangat sulit untuk mendapatkan data meteorologis dalam rentang waktu yang panjang dari BMG. Untuk mengatasi masalah itu, kita terpaksa perlu mengandalkan sumber-sumber alternatif lain, seperti: bandara, yang umumnya memiliki data mengenai arah dan kecepatan angin, suhu, dan tekanan udara, hasil pemantauan udara dari kegiatan lain yang berdekatan dengan wilayah studi, misalnya dari industri-industri besar yang biasanya melakukan pemantauan emisi dan kualitas udara ambien di sekitarnya, rekaman stasiun meteorologis dari daerah lain yang karakteristik geografis dan topografisnya mirip. Alternatif lainnya adalah dengan melakukan pengukuran sendiri. Stasiun cuaca kecil (portable weather station) dapat saja didirikan di lokasi wilayah studi untuk melakukan pemantauan cuaca dalam jangka waktu tertentu, misalnya 3 (tiga) bulan.
Udara Dingin
Keberadaan lapisan inversi akan membatasi dispersi polutan ke arah vertikal. Keberadaan lapisan inversi menentukan tinggi dari ruang campuran di suatu wilayah.
Lapisan Inversi
Ilustrasi: Toppeaks
Udara Dingin
51
53
Boks
PERHITUNGAN MANUAL
Walau formula dispersi Gaussian terkesan rumit, perhitungan secara manual sebenarnya masih dimungkinkan. Artinya, nilai C masih bisa dihitung tanpa bantuan komputer dan perangkat lunak (software) pemodelan dispersi polutan. Boks di halaman selanjutnya menunjukkan langkah kerja perhitungan manual saat kita ingin mendapatkan satu nilai konsentrasi polutan yang akan digunakan untuk pembuatan Peta Isopleth Semburan. Kelemahan utama dari perhitungan manual ini adalah lamanya waktu untuk menyelesaikan satu hitungan. Perhitungan manual sangat sulit diandalkan saat kita perlu melakukan perhitungan berulang sebagaimana dibutuhkan dalam penentuan batas wilayah studi dan pembuatan peta-peta isopleth (lihat bahasan mengenai Output Prakiraan Dampak di Bagian 1). Untuk mempercepat Pola penyebaran polutan di bidang datar melintang arah angin (crosswind) dan vertikal akan mengikuti pola distribusi normal (Gauss). Pengaruh dispersi crosswind
54
Semakin jauh dari garis pusat semburan (plume axis), nilai C akan semakin mengecil.
Semakin menjauh dari sumbernya, bentuk plume ke arah crosswind dan vertikal akan semakin melebar. Dengan kata lain, standar deviasinya akan semakin besar. Besarnya standar deviasi di arah crosswind dan vertikal sangat dipengaruhi oleh stabilitas atmosfer dan jarak objek penerima dampak terhadap sumber emisi.
sum
bu
ro y (c
ssw
ind
55
Boks
Berdasarkan perhitungan manual, di titik koordinat lokal (500, 1000) diperoleh konsentrasi sebaran polutan rata-rata sebesar 0,06 g/m3. 56
Memprakirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara
waktu perhitungan dan mengurangi volume pekerjaan, banyak pihak sekarang sudah memanfaatkan program spreadsheet, seperti Microsoft Excel. Kelemahan lain dari perhitungan manual adalah sulitnya untuk memperhitungkan pengaruh dari kondisi wilayah studi yang relatif kompleks. Misalnya, wilayah studi yang permukaan lahannya berbukit, kasar, dan memiliki banyak bangunan.
dalam perhitungan dispersi Gaussian yang dilakukan secara manual. Berdasarkan kepentingan penggunaannya, software dispersi polutan dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1. Model penyaring (screening models); yang tepat digunakan untuk mendapatkan nilai-nilai konsentrasi sebaran polutan maksimal (CMAX) sebagaimana dibutuhkan untuk pengembangan Tabel Output Prakiraan Dampak Kualitas Udara (lihat bahasan terkait di Bagian 1). Simulasi penyebaran polutan dilakukan dengan menggunakan data meteorologis yang konservatif. Di negara-negara lain, model screening banyak digunakan untuk memilih polutan-polutan penting yang membutuhkan pemodelan rinci (lihat bahasan mengenai Menseleksi Polutan Penting di Bagian 2). Jika hasil pemodelan screening menyimpulkan bahwa sebaran dari suatu polutan tidak akan melampaui tolok ukurnya, maka pemodelan rinci tidak perlu lagi dilakukan. Model screening umumnya memberikan hasil perhitungan CMAX dalam waktu rata-rata 1 jam. 2. Model rinci (refined models); yang lebih banyak digunakan untuk mendapatkan nilai C di lokasi objek penerima dampak dengan lebih akurat. Model rinci membutuhkan input data meteorologis yang ekstensif (setidaknya data satu tahun) dan lebih rinci dibandingkan model screening. Pengoperasiannya juga lebih rumit daripada pemodelan screening. Oleh karena itu, penggunaan seringkali dibatasi hanya untuk mengkonfirmasi nilai C di lokasi objek penerima dampak yang menurut pemodelan screening akan melampaui nilai tolok-ukurnya. Perlu dipahami bahwa tiap software memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Dan, tidak semua software tepat dan layak digunakan untuk mengkonfirmasi dampak penting hipotetik kita. Beberapa software (lihat tabel) yang dapat digunakan untuk kepentingan simulasi penyebaran polutan antara lain adalah:
57
lalu dianggap bersifat konservatif. Artinya, penilaian sifat penting akan dilakukan terhadap nilai konsentrasi polutan yang lebih besar dari nilai sesungguhnya. Dengan demikian, kajian AMDAL akan memberikan hasil yang lebih aman. CAL3QHC; atau CALINE3 with Queing and Hotspot Calculations merupakan model screening untuk emisi polutan dari sumber lalu-lintas kendaraan bermotor (ranmor). Seperti terlihat dari namanya, model ini merupakan penambahan kemampuan model CALINE 3, khususnya dalam menghitung CMAX di persimpangan jalan dan sekitarnya. CAL3QHC biasanya digunakan sebagai model pendahuluan bagi CAL3QHCR (lihat bahasan selanjutnya). Sama dengan SCREEN3, model ini akan mengkombinasikan data kecepatan angin dan kelas stabilitas atmosfer untuk mendapatkan nilai SCREEN3; merupakan model sumber emisi tunggal (single source) yang dikembangkan USEPA untuk mendapatkan konsentrasi maksimal dari sebaran polutan. SCREEN3 biasanya digunakan sebagai model pendahuluan bagi ISC3 (lihat bahasan selanjutnya). Model ini tidak membutuhkan data meteorologis yang ekstensif. Cukup hanya dengan satu set data masingmasing untuk kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan suhu udara ambien di sekitar titik lepasan emisi. Bahkan guna mendapatkan nilai konsentrasi maksimal yang mungkin terjadi di jarak-jarak tertentu, model ini tidak membutuhkan data meteorologis apapun. Model ini akan melakukan perhitungan sendiri dengan mengkombinasikan berbagai kecepatan angin dan kelas stabilitas atmosfer yang mungkin terjadi. Hasil hitungan SCREEN3 umumnya merupakan angka untuk waktu rata-rata 1 jam. Model ini juga dilengkapi dengan kemampuan untuk memperhitungkan pengaruh lapisan inversi, fumigasi, tarikan bangunan (buliding downwash). Model ini dapat di-download dari www.epa.gov/ scram001/dispersion_screening.htm. Penggunaan SCREEN3 di dalam kajian AMDAL dalam batasan tertentu dapat dibenarkan. Hasil simulasi model ini seCMAX. Model ini membutuhkan data rancangan jalan, lokasi objek penerima dampak, laju emisi ranmor (termasuk saat idle), pengaturan waktu lampu lalu-lintas, konfigurasi persimpangan jalan, jumlah jalur ranmor, dan lainnya. Hasil hitungan CAL3QHC merupakan angka untuk waktu rata-rata 1 jam. CAL3QHC dapat di-download dari www.epa.gov/scram001/dispersion_ prefrec.htm. CAL3QHCR; merupakan model versi rinci (refined model) dari CAL3QHC. Penggunaannya dikhususkan untuk emisi polutan lalu-lintas ranmor, khususnya untuk polutan CO dan partikulat. Hasilnya bisa memiliki resolusi yang lebih halus karena model ini menggunakan data meteorologis 1 tahun (on-site) atau 5 tahun (stasiun pengukuran terdekat). Data tinggi pencampuran (2 data per hari) juga diperhitungkan dalam model ini. Selain data meteorologis, model ini membutuhkan data lebih rinci yang terkait dengan wilayah sebaran dampak. Model ini dapat mengerjakan perhitungan untuk mendapatkan nilai C untuk waktu rata-rata 1 jam sampai 24 jam. Software CAL3QHCR dapat didownload dari www.epa.gov/scram001/dispersion_ prefrec.htm. Saat ini, software CALINE4 yang merupa-
58
Software SCREEN3 sudah diperbaiki tampilan input dan outputnya dalam SCREENVIEW.
kan pengembangan CAL3QHCR sudah diterbitkan oleh USEPA. ISC3; merupakan versi ketiga dari seri model Industrial Source Complex yang dikembangkan USEPA. Model ini mampu mensimulasi sebaran polutan yang berasal dari sumber majemuk (multiple source), baik itu sumber titik, sumber area, dan sumber volume. Dengan beberapa kiat khusus, model ISC3 sebenarnya dapat digunakan untuk mensimulasi sebaran polutan dari sumber garis. Model ISC3 membutuhkan data meteorologis yang ekstensif berupa data tiap jam (hourly condition data) untuk jangka waktu setahun. Data yang dibutuhkan termasuk arah angin, kecepatan angin,
suhu, dan kelas stabilitas atmosfer. Tinggi campuran (mixing heights) setidaknya harus tersedia 2 data untuk tiap hari prakiraan. Data meteorologis harus terlebih dahulu diolah oleh subprogram PCRAMMET sebelum di-input ke dalam model ISC3. Model ISC3 terdiri dari 3 jenis, yaitu ISC3-ST (short term) untuk simulasi jangka waktu pendek (skala prakiraan dampak dalam AMDAL), ISC3-LT (long term) untuk simulasi jangka waktu panjang (skala regional), dan ISC3-PRIME (Plume Rise Model Enhancements). Sampai November 2005, model ISC3 merupakan model yang direkomendasikan USEPA untuk digunakan dalam kajian prakiraan dampak kualitas udara. Setelah waktu itu, USEPA merekomendasikan
59
model AERMOD yang lebih akurat (lihat bahasan berikut). Model ISC3 dan panduannya dapat di-download dari www.epa.gov/scram001/dispersion_alt.htm. AERMOD; atau AMS/EPA Regulatory Model merupakan salah satu model sumber majemuk tercanggih saat ini yang dikembangkan USEPA bersama AMS (American Meteorology Society). Oleh karena akurasinya yang tinggi, USEPA sekarang lebih merekomendasikan penggunaan model ini ketimbang model ISC3. Penggunaan AERMOD sangat rumit. Selain membutuhkan data meteorologis yang sangat kompleks, AERMOD juga membutuhkan data rinci dari karakteristik permukaan tanah dan tataguna lahan wilayah studi. Data tersebut harus terlebih dahulu diolah oleh beberapa subprogram yang dibuat untuk menyertai AERMOD, seperti AERSURFACE untuk data karakteristik permukaan tanah, AERMET untuk data meteorologis, dan AERMAP untuk data tataguna lahan. AERMOD juga dilengkapi subprogram
AERSCREEN yang dibutuhkan untuk menyeleksi polutan penting. AERMOD jarang sekali digunakan di Indonesia karena keterbatasan data meteorologis. Model ini dapat di-download dari www.epa.gov/scram001/ dispersion_prefrec.htm. Software model dispersi polutan yang dikeluarkan USEPA biasanya memiliki interface yang kurang user-friendly. Untuk memudahkannya, beberapa perusahaan kemudian mengembangkan interface yang lebih menarik. Salah satunya adalah ScreenVIEW dari Lakes Environment Software (Canada) yang dibuat untuk mempermudah penggunaan SCREEN3.
Beberapa software yang dikeluarkan produsen-produsan komersial dapat memberikan tampilan output yang lebih menarik dan mudah dicerna.
Info Grafis: Koleksi Qipra
60
Beberapa faktor yang perlu kita pertimbangkan dalam memilih software dispersi polutan. Kesesuaian dengan jenis sumber emisi dan karakteristik emisinya. Sebagian sofware seperti SCREEN3, ISC3, dan AERMOD dapat digunakan untuk berbagai jenis sumber emisi (lihat bahasan mengenai Jenis Sumber Emisi di Bagian 2). Namun, software CAL3QHC, CAL3QHCR, dan CALINE4 hanya dibuat untuk kepentingan simulasi penyebaran polutan dari sumber lalulintas ranmor (sumber garis dan bergerak). Berbagai keterbatasan software perlu dipahami khususnya yang menyangkut keterbatasan dari aspek jenis sumber emisi, jenis polutan penting, dan pola pemunculan emisi. Kesesuaian dengan output prakiraan dampak. Setidaknya ada 2 jenis konsentrasi sebaran polutan yang harus dihitung untuk memenuhi tuntutan output prakiraan dampak (lihat bahasan terkait di Bagian 1), yaitu CMAX dan CAVE. Penggunaan program screening dirasakan cukup layak untuk menghitung nilai CMAX. Ketersediaan data meteorologis. Umumnya, semakin banyak data yang diminta oleh suatu software maka semakin rincilah hasil perhitungannya. Misalnya, software rinci seperti ISC3 dan CAL3QHCR membutuhkan data meteorologis tiap jam selama jangka waktu setahun.
Tanpa ketersediaan data tersebut, hasil dari software rinci akan menyesatkan. Masalah ketersediaan data meteorologis ini merupakan hambatan utama bagi kita di Indonesia untuk menggunakan software rinci. Tidak heran jika akhirnya simulasi-simulasi penyebaran polutan yang dijumpai dalam dokumen-dokumen ANDAL lebih banyak menggunakan software screening khususnya SCREEN3. Kemudahan pengoperasiannya. Software screening, seperti SCREEN3 mudah dioperasikan, sedangkan pengoperasian software rinci sangat sulit. Jika kita tidak memahami teknik penggunaan suatu software, perhitungan C dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Perlu diingatkan sekali lagi bahwa software komputer merupakan perangkat yang menuntut input data yang benar dan lengkap. Tanpa adanya data yang menunjang maka penggunaan software yang canggih tidak akan ada gunanya. Hasilnya dapat berbeda jauh dengan kenyataannya nanti. Jika kita tidak bisa memperoleh data yang dibutuhkan maka hindarilah penggunaan software tersebut. Jenis software dispersi polutan yang akan digunakan sebaiknya disepakati dulu dengan para anggota Komisi Penilai AMDAL.
61
62
patan angin tersebut dan kondisi-kondisi meteorologis lainnya. Boks berikut diharapkan dapat memperjelas perolehan CAVE dengan perhitungan manual. Penggunaan SCREEN3 dengan opsi Single Stability Class and Wind Speed dapat mempermudah kita dalam menghitung nilai CAVE tersebut.
Ada banyak rumus perhitungan yang dapat kita gunakan untuk menghitung tinggi kepulan dari emisi cerobong. Salah satunya adalah formula Holland. Rumus perhitungan lain yang banyak digunakan adalah rumus Briggs.
Info Grafis: Koleksi Qipra
63
Boks
Sebelumnya juga ditetapkan bahwa emisi PLTU tidak boleh menyebabkan adanya peningkatan konsentrasi melebihi 10% dari konsentrasi polutan di Baku Mutu Udara Ambien. Untuk CO yang nilai BMUA-nya 30.000 g/Nm3 maka nilai Tambahan Polutan Maksimal (TPM) adalah 3000 g/Nm3. Sesuai kebutuhan Output Prakiraan Dampak (Tingkat 1), kita diminta untuk membuat perhitungan konsentrasi sebaran polutan maksimal (CMAX).Menggunakan SCREEN 3 dengan pilihan full meteorology, kita dapat menghitung nilai CMAX untuk lokasi-lokasi yang disebutkan dalam uraian dampak penting hipotetik di atas.
Keempat nilai CMAX masih lebih rendah dari nilai TPM yang sudah disepakati sebelumnya, yaitu 3.000 g/Nm3. Dengan demikian, emisi CO (1 jam) PLTU disimpulkan BUKAN merupakan dampak penting untuk keempat objek penerima dampak.
64
Ada 2 peta isopleth yang setidaknya harus dibuat sebagai output prakiraan dampak kualitas udara, yaitu Peta Isopleth Semburan dan Peta Isopleth Wilayah Sebaran. Untuk membuat peta-peta tersebut, kita perlu melakukan perhitungan nilai CAVE sampai ratusan kali. Mengingat banyaknya jumlah hitungan yang harus dilakukan, kita perlu mengandalkan bantuan software dispersi polutan. Atau setidaknya menggunakan program spreadsheet Excel sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa contoh perhitungan berikut. Penggambaran garis-garis isokonsentrasi dapat dilakukan dengan bantuan software pemetaan seperti Surfer. Program dalam software ini dapat secara otomatis melakukan interpolasi terhadap nilai-nilai di jarakjarak yang berdekatan. sebaran dampak. Nilai-nilai CAVE dihitung berdasarkan kondisi kejadian tersering. Perlu dipahami bahwa peta Isopleth Wilayah Sebaran bukan menggambarkan pola penyebaran polutan yang akan terjadi di suatu saat secara sekaligus. Sebaiknya di dalam peta Isopleth Wilayah Sebaran, kita juga membuat garis isokontur yang menunjukkan konsentrasi TPM. Dengan adanya garis itu, kita dapat menunjukkan wilayah yang kemungkinan akan terkena dampak penting. Kita kemudian dapat memprakirakan jumlah orang atau komponen-komponen lingkungan yag berpotensi terkena dampak. Garis isokonsentrasi TPM itu sekaligus akan merevisi garis batas wilayah studi yang kita tentukan sebelumnya (lihat bahasan mengenai Membatasi Wilayah Studi di Bagian 3).
Contoh peta isopleth wilayah sebaran dari hasil prakiraan dampak kualitas udara di negara lain.
65
Boks
66
Hubungkan titik-titik hasil interpolasi dengan garis lurus. Lalu, kurangi kekakuan garis lurus tersebut sehingga membentuk elips-elips konsentris ke arah angin dominan.
67
Boks
68
69
C= CO + CMAX
Ilustrasi: Toppeaks
70
Boks
Tabel berikut menunjukkan prakiraan konsentrasi ambien CO (rona dasar) di tahun 2015 jika diasumsikan tiap tahun konsentrasi ambien akan meningkat 5%.
Nilai-nilai dalam tabel di atas juga dapat dianggap sebagai nilai prakiraan nir-kegiatan. Dengan menggunakan hasil simulasi penyebaran polutan sebelumnya (lihat Boks: Perhitungan CMAX dengan SCREEN3), kita dapat memperoleh tabel Output Prakiraan Dampak yang lebih lengkap sebagai berikut.
Keseluruhan nilai konsentrasi CO, baik CMAX maupun CMAX masih lebih rendah dari pada nilai dari kriteria penilaian sifat pentingnya. Dengan demikian, emisi CO (1 jam) PLTU disimpulkan BUKAN merupakan dampak penting untuk ke-4 obyek penerima dampak.
71
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
Amdal = Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup AMS = American Meteorology Society Andal = Analisis Dampak Lingkungan Hidup ASR = Air Sensitive Receptor B3 = Bahan Beracun dan Berbahaya BME = Baku Mutu Emisi BMUA = Baku Mutu Udara Ambien CAL3QHC = Caline 3 with Queing and Hotspot Calculations CAL3QHCR = Caline 3 with Queing and Hotspot Calculations Refined CFC = Chlorofluorocarbon CO = Karbon Monoksida EF = Emission Factor ER = Emission Reduction HC = Hidrokarbon ISC3 = Industrial Source Complex 3 ISC3-LT = Industrial Source Complex 3 - Long Term ISC3-PRIME = Industrial Source Complex 3 - Plume Rise Model Enhancements ISC3-ST = Industrial Source Complex 3 - Short Term ISPA = Infeksi Saluran Pernapasan Atas ISPU = Indeks Standar Pencemaran Udara KA = Kerangka Acuan KBPP = Kriteria Batas Polutan Penting
KLH = Kementerian Lingkungan Hidup LNG = Liquefied Natural Gas LPG = Liquefied Petroleum Gas NO2 = Nitrogen Dioksida Pb = Plumbum PLTD = Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTU = Pembangkit Listrik Tenaga Uap RKL = Rencana Pengelolaan Lingkungan RPL = Rencana Pemantauan Lingkungan SO2 = Sulfur Dioksida TPA = Tempat Pembuangan Akhir TPM = Tambahan Polutan Maksimal TSP = Total Suspended Particulate USEPA = United States Environmental Protection Agency UTM = Universal Transverse Mercator UV = Ultra Violet VOC = Volatile Organic Compounds
DAFTAR PUSTAKA
Air Quality Forecasting: A Review of Federal Programs and Research Needs. NOAA Aeronomy Laboratory. Colorado: USA. June 2001. Air Quality Impact Analysis for the Proposed Second Street Crossing Project, City of Davis. Raney Planning & Management. California: USA. January 2005. Air Quality Impact Assessment: Vic Park Tunnel Project, Auckland. Beca Infrastructure Ltd. New Zealand. 7 June 2006. Aplication of Numerical Models to the Environtmental Impact Assessment (EIA) for Thermal Power Plants. Japan: Central Research Institute of Electric Power Industry. Criepi News 362. July 2002. Atlas Kualitas Udara Nasional. 22 November 2006. Proyek Kerjasama Teknis Pemerintah Indonesia Asian Development Bank. Budirahardjo, E. 2000. Prediksi Dampak Penurunan Kualitas Udara dengan Modeling Matematika. Jakarta: t.p. Cabral, Brenda. Review of Air Quality Impact Analysis Prevention of Significant Deterioration (PSD) for ConocoPhillips Rodeo Refinery Clean Fuels Expansion and Hydrogen Plant Projects. Bay Area Quality Management District. California: USA. March 2007. Citizens Guide to Air Dispersion Modelling. Minnesota: Minnesota Pollution Control Agency. Air Quality/#1.06/August 2002. Cooper and F.C. Alley, David. 1994. Air Pollution Control: A Design Approach. USA: Waveland Press, Inc. Country Synthesis Report On Urban Air Quality of Management: Indonesia (Discussion Draft, December 2006). Asian Development Bank the Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center. Curtis, Dean. Assessment of Air Quality M6 Toll Road - Nitrogen Dioxide and Particulate Matter (PM10). Pollution Control Walsall Metropolitan Borough Council. Walsall: UK. May 2007. De Nevers, Noel. 1995. Air Pollutan Control Engineering. Singapore: Mc Graw Hill, Inc. Draft Environmental Impact Report for the Bay Area Air Quality Management Districts Air Toxics NSR
Rule. Bay Area Air Quality Management District 939 Ellis Street San Francisco, CA. California: USA. April 20, 2005. http://www.epa.qld.gov.au/environmental_management/air/air_quality_monitoring/air_ pollutants/airborne_particulates/#Environmental_effects_particulate#Environmental_ effects_particulate. http://www.tva.com/environment/air/ontheair/index.htm. Kiely, G. 1998. Environmental Engineering. McGraw-Hill International Editions. Singapore. LaGrega, M., Buckingham, P., and Evans, J.C. 2001. Hazardous Waste Management. McGraw-Hill International Edition. McGraw-Hill Co, Inc. Singapore. Misra and S.D. Tiwari, S.G. 1992. Air and Atmosperic Pollutants. New Delhi: Venus Publishing House. Muhayatun (et al). Penentuan Sumber Cemaran Partikulat Udara Daerah Bandung dan Lembang 2004. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknik Nuklir Tema : Peran Sains dan Teknologi dalam P3TkN BATAN Bandung, 14 15 Juni 2005. National Pollutan Inventory. Chemical Transport Modelling for Air Quality Forecasting and Policy Development: Linking to Access. Environtment Australia. December 1999. Peavy, H.S., Rowe, D.R., dan Tchobanoglous, G. 1985. Environmental Engineering. McGraw - Hill International Editions. Mc Graw Hill, Inc. Singapore. Technical Manual 1002: Guidance On Preparing An Air Quality Modeling Protocol. Bureau of Air Quality Evaluation Air Quality Permitting Program New Jersey Departement of Environtmental Protection. August 1997. Tjasyono HK, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung: Penerbit ITB.