You are on page 1of 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Definisi Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

II.2

Penyebab Tuberkulosis Paru Pada manusia, tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium

Tuberculosis. Basil ini ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. Basil TB berbentuk batang berukuran kira-kira 0,4x3m dan bersifat tahan asam (Basil Tahan Asam) karena sebagian tubuhnya terdiri dari asam lemak (lipid). Teknik pewarnaan Ziehl Neelsen dipergunakan untuk identifikasi basil tahan asam.

II.3

Patogenesis Tuberkulosis merupakan penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas

yang diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Rspon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang

terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.

11.4

Gejala-Gejala dan Tanda-Tanda fisik Tuberkulosis Paru

Gejala-gejala tuberkulosis paru antara lain; Umum : a. Demam b. Berkeringat terutama pada malam hari c. Rasa lelah d. Hilang nafsu makan Pernapasan :

a. Batuk selama lebih dari 3 minggu yang sifatnya makin meningkat b. Dahak c. Batuk berdarah d. Nyeri dada e. Sesak napas f. Mengi (wheeze) setempat

II.5

Faktor Risiko Tuberkulosis Paru

1. Faktor Umur. Kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Faktor Jenis Kelamin. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

4. Pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran

pernafasan.

Paparan

kronis

udara

yang tercemar

dapat

meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.

5. Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.

6. Kepadatan hunian kamar tidur Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

7. Pencahayaan Pencahaya sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

8. Ventilasi Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

9. Kondisi rumah Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.

10. Kelembaban udara Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

11. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

12. Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

13. Perilaku Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

II.6

Klasifikasi Tuberkulosis

A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1. Tuberkulosis paru BTA positif. a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif ( Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif). Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan pengobatan. (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu: a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

D. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya : 1. Kasus baru: pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan

pengobatannya. 6. Kasus lain: semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

II.7

Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: o Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat bagan alur) o Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. o Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma)

Bagan 1. Alur Standar Diagnosis Tuberkulosis Paru


Tersangka Penderita TB (Suspek TB )

Periksa sputum SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu)

Hasil BTA +++ ++-

Hasil BTA +--

Hasil BTA ---

PeriksaRontgen dada

Beri Antibiotik Spektrum Luas

Hasil Mendukung TBC

Hasil Tidak Mendukung TBC

Tidak ada Perbaikan

Ada perbaikan

Penderita TBC BTA Positif

Ulangi periksa dahak SPS

Hasil BTA +++ +++--

Hasil BTA - - -

Periksa Rontgen Dada

Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2002

Hasil Mendukung TBC

Hasil Rontgen negatif

TBC BTA Negatif Rontgen Positif

Bukan TBC Penyakit Lain

II.8

Pengobatan Tuberkulosis Paru

II.8.1 Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Beberapa jenis obat yang digunakan antara lain :

a. Isoniasid ( H ) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

b. Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.

c. Pirazinamid ( Z ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

d. Streptomisin ( S ) Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.

e. Etambutol ( E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.

II.8.2Prinsip Pengobatan Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Hal ini dimaksudkan agar semua kuman, termasuk kuman persisten dapat dimusnahkan. Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap intensif Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif

b. Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama

II.8.3 Paduan OAT di Indonesia

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT 1. Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3 2. Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 3. Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3 4. Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan ( HRZE )

Panduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.

1. Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 ) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H 3R3). Obat ini diberikan untuk : a) Penderita baru TBC Paru BTA Positif b) Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat dan c) Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel.1. Paduan OAT Kategori 1


Tahap pengobatan Lamanya Dosis Per hari / Kali Pengobatan Tablet Kaplet Isoniasid Rifampisin @ 300 @ 450 mg mg 2 Bulan 1 1 2 Bulan 2 1 Tablet Pirasinamid @ 500 mg 3 Tablet Etambutol @ 250 mg 3 Jumlah hari / kali menelan obat 60 54

Tahap Intensif (Dosis harian) Tahap lanjutan ( Dosis 3 X seminggu )

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan B antara 33-50 kg 2. Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 ) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid ( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z), dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah pemderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita Gagal (failure) c) Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

Tabel.2. Paduan OAT Kategori 2


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Pengobata Isoniasid Rifampisin n @ 300 @ 450 mg mg 1 1 1 1 Tablet Pirasinami d @ 500 mg 3 3 Etambutol Streptomis Jumlah Hari / Tablet Tablet in Injeksi Kali @ @ Menelan 250 500 Obat mg mg 3 0,75 gr 60 3 30

Tahap 2 bulan Intensif 1 bulan (dosis harian) Tahap 5 bulan Lanjutan (dosis 3 x seminggu)

66

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg 3. Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 ) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk : a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan b) Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit, tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar aderenal.

Tabel.3. Paduan OAT Kategori 3


Tahap Pengobatan Lamanya Pengobatan Tablet Isoniadid @ 300 mg 1 Kaplet Rifampisin @ 450 mg 1 Tablet Pirasinamid @ 500 mg 3 Jumlah hari menelan obat 60

Tahap 2 bulan intensif ( dosis harian ) Tahap 4 bulan Lanjutan ( dosis 3x seminggu )

54

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 Kg

4. OAT SISIPAN ( HRZE ) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan

Tabel .4. Paduan OAT Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Pengobatan Pengobatan Isponiasid @ 300 mg Tahap 1 bulan 1 Intensif (dosis harian) Kaplet Rifampisin @ 450 mg 1 Tablet Pirasnandi @ 500 mg 3 Tablet Etambutol @ 250 mg 3 Jumlah hari/kali menelan obat 30

Keterangan dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 50 kg

II.8.4 Pengawasan Menelan Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

a. Persyaratan PMO 1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. 2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. 4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Tugas seorang PMO 1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. 3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. 4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

c. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: 1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur 3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) 5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur 6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

II.8.5 Pemantauan Kemajuan Hasil Pengobatan pada Orang Dewasa

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : 1. Akhir tahap Intensif a. Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori-1, b. atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori-2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak yaitu perubahan dari BTA positif menjadi negatif. 2. Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 : a. Akhir bulan ke-2 pengobatan sebagian besar ( seharusnya > 80 % ) dari penderita dahaknya sudah BTA negatif ( konversi ). b. Penderita ini dapat meneruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke-2 hasilnya masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Setelah paket sisipan satu bulan selesai, dahak diperiksa kembali. c. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak BTA masih tetap positif.

3. Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2 : a. Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke-3 masih positif, tahap intensif harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan. b. Setelah satu bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali. c. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. d. Bila hasil uji kepekaan obat menunjukan bahwa kuman sudah resisten tehadap dua atau lebih jenis OAT,maka penderita tersebut dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus resisten. e. Bila tidak mungkin, maka pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.

4. Pengobatan penderita BTA negatif rontgen positif dengan kategori-3 (ringan) atau kategori-1 (berat) : a. Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan kategori-3 ( ringan ) atau kategori-1 (berat ) tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan kedua . b. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA, positif maka ada dua kemungkinan: 1) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat diagnsis sebenarnya adalah BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA negatif). 2) Penderita berobat tidak teratur

5. Seorang penderita yang diagnosis sebagai penderita BTA negatif dan diobati dengan kategori-3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan kedua adalah BTA positif a. Harus didaftar kembali sebagai penderita gagal BTA positif dan mendapat pengobatan dengan kategori-2 mulai dari awal.

b. Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita baru dan penderita pengobatan ulang BTA positif, dahak menjadi BTA negatif pengobatan diteruskan ketahap lamjutan. c. Bila pada pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap akhir intensif penderita BTA negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif, penderita dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan dengan kategori-2.

6. Sebulan sebelum akhir pengobatan a. Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan kelima pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori-1, b. Atau seminggu sebelum akhir bulan ketujuh pengobatan ulang menderita BTA positif dengan kategori-2

7. Akhir pengobatan a. Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan keenam pengobatan pada penderita baru BTA positif dengan kategori-1, b. atau seminggu sebelum akhir bulan kedelapan pengobatan ulang BTA positif, dengan kategori-2. c. Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk menilai hasil pengobatan Sembuh atau gagal. d. Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak ( follow up paling sedikit 2 ( dua ) kali berturut-turut hasilnya negatif.

II.8.6 Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut

a. Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit dua kali berturut-turut

hasilnya negatif. Penderita diberi tahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan prosedur tetap.

b. Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak dua kali berturut-turut negatif. Penderita hatus diberi tahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua penderita BTA positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak

c. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

d. Pindah Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah Kabupaten / Kota lain. Tindak lanjut Penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan penderita dikirim kembali ke UPK asal.

e. Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Sebaiknya lacak penderita dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur.

f. Gagal 1. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir atau pada akhir pengobatan. 2. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif

DAFTAR PUSTAKA

1. Medicastore, Informasi Lengkap Tentang TBC Yang Perlu Anda Tahu. Available from URL: HYPERLINK http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm 2. WHO. Global Tuberculosis Control 2009. Epidemiology, Strategy, Financing : Switzerland. 2009 3. WHO. Global Tuberculosis Control 2008. Survailance, planning, Financing : Switzerland. 2008 4. Sub Direktorat Tb Departemen Kesehatan RI dan WHO, 2008. Hari Tb Sedunia.URL: HYPERLINK http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/tb240307.htm 5. Crofton, John, dkk. Tuberkulosis Klinis.Edisi 2. Jakarta. : Widya Medika. 2002. 6. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta : EMS. 2005. 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Avaible from: URL : HYPERLINK http:id.search.yahoo.com/search?p=pencegahan+tuberkulosis&fr=slv7xarg s=0&pstart=1&b=51 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Avaible from: URL : HYPERLINK http:id.search.yahoo.com/search?p=pencegahan+tuberkulosis&fr=slv7xarg s=0&pstart=1&b=51 9. Gitawati, Retno. 2002. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 puskesmas di DKI Jakarta 1996-1999. Avaible from: URL: HYPERLINK http:www.kalbe.co.id/files/cdk/files08_Studi Kasus Hasil Pengobatan.pdf/08_Stusi Kasus Hasil Pengobatan.html 10. Jawetz, Ernest, dkk. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta : EGC. 1996. 11. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2005

12. WHO. Implementing The Stop TB Strategy: a handbook for national tuberculosis control programmes. Spanyol : WHO. 2008

You might also like