You are on page 1of 55

BAB II HAKIKAT KURIKULUM A.

Pengertian Kurikulum Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianut. Kurikulum sebagai istilah berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti berlari. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Kurikulum diartikan dalam banyak pandangan. Tergantung dari falsafat yang diyakini, beberapa orang menyatakan pandangannya antara lain: Kurikulum adalah apa yang diajarkan di sekolah Kurikulum adalah penjelas subjek Kurikulum adalah isi Kurikulum adalah program studi Kurikulum adalah satuan materi Kurikulum adalah rangkaian pembelajaran Kurikulum adalah satu kesatuan tampilan objek Kurikulum adalah ilmu pembelajaran Kurikulum adalah semua yang ada di sekolah, termasuk aktivitas extrakulikuler, bimbingan, dan hubungan antara personal Kurikulum adalah apa yang diajarkan di dalam dan di luar sekolah Kurikulum adalah semua hal yang direncanakan oleh anggota sekolah Kurikulum adalah seri pengalaman yang diberikan melalui pembelajaran di sekolah Kurikulum adalah pengalaman yang diperoleh setiap individu sebagai hasil dari persekolahan. Pada definisi ini bisa dilihat bahwa kurikulum dapat diartikan secara khusus (sebagai subjek pembelajaran) atau secara umum (sebagai pengalaman 1

pembelajaran, di dalam dan di luar sekolah, yang diajarkan di sekolah (Oliva, 1992). Dalam pandangan tradisional kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran atau bahan ajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Di samping itu kurikulum juga diartikan sebagai suatu rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan (Nurgiyantoro, 1988). Itu pula yang menyebabkan orang pada waktu lalu menyebut kurikulum dengan sebutan Rencana Pelajaran yang merupakan terjemahan dari Leerplan. Menurut Nurgiyantoro (1988) konsep kurikulum yang tradisional itu memiliki kecenderungan memfokuskan diri pada rencana pelajaran untuk menyampaikan mata-mata pelajaran ( subject matter) kepada anak didik yang biasanya berisi kebudayaan masa lampau atau sejumlah ilmu pengetahuan. Pandangan tradisional itu menjadikan kurikulum yang dijalankan berpusat pada guru atau disebut Teacher Centered Curriculum. Pada perkembangannnya orang berkeinginan mengubah pandangan tradisional terhadap kurikulum yang memandang guru sebagai pusat. Pandangan baru itu menginginkan adanya perhatian yang lebih pada minat dan kebutuhan anak. Dalam pandangan itu anak adalah subjek didik sebenarnya. Anak bukan merupakan objek yang statis, diam dan tanpa rasa, melainkan subjek didik yang harus diperhatikan kebutuhan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu terjadi pergeseran dalam dunia pendidikan dari subject centered atau teacher centered ke student centered. Berdasarkan padangan itu Beauchamp dalam Sukmadinata (2009) berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang terjadi di dalam kelas. Lebih kanjut Beauchamp dalam Sukmadinata (2009) menyatakan bahwa kurikulum sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana pengajaran, kurikulum berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan diajarkan, proses pembelajaran, media pembelajaran dan jadwal pengajaran. Sebagai suatu sistem, kurikulum merupakan bagian dari keseluruhan kerangka organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem menyangkut penentuan segala kebijaksanaan tentang kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangan kurikulum, 2

penerapan,

evaluasi

dan

penyempurnaan.

Pendapat

Beauchamp

itu

memperlihatkan kurikulum bukan hanya menunjukkan fungsi, tetapi juga struktur dari suatu sistem kurikulum, yang secara garis besar menyangkut pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Senada dengan itu dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional); Pasal 1 Butir 19 dinyatakan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Seiring dengan perkembangan masyarakat, pengertian kurikulum akan selalu mengalami perubahan. Salah satu faktor penyebab perubahan itu adalah ketidakpuasan masyarakat dengan hasil pendidikan sekolah dan adanya keinginan untuk selalu memperbaikinya (Nasution, 1980). Lebih lanjut Nasution menyatakan bahwa tak mungkin menyusun sebuah kurikulum yang mantap untuk sepanjang zaman. Suatu kurikulum mungkin hanya dapat baik untuk suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu dan sangat mungkin tak sesuai lagi untuk masa yang berbeda. Oleh karena zaman selalu berubah dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang berubah pula, dengan sendirinya kurikulum pun harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Selain itu adanya pandangan baru yang timbul kemudian tentang anak didik, masyarakat, dan ilmu pengetahuan juga memaksa adanya perubahan kurikulum. Dengan kata lain pengembangan kurikulum yang berakibat pada perubahan kurikulum tidak akan berkesudahan. B. FUNGSI KURIKULUM Kurikulum mempunyai beberapa fungsi. Menurut Surahmad (1977) kurikulum memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi bagi sekolah yang bersangkutan, fungsi bagi sekolah tingkat atasnya, dan fungsi kurikulum bagi masyarakat. Fungsi kurikulum bagi sekolah yang bersangkutan ada dua macam. Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dimunginkan. Kedua, kurikulum dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatankegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Di samping itu, kurikulum juga mengatur hal-hal yang berhubungan dengan jenis program, cara penyelenggaraan, strategi pelaksanaan, penanggungjawab, sarana dan prasarana. 3

Fungsi kurikulum bagi sekolah di atasnya digunakan untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, kurikulum pada tingkat di atasnya dapat disesuiakan. Penyesuaian itu dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang bisa berakibat pemborosan waktu dan untuk menjaga keseimbangan bahan pengajaran. Fungsi kurikulum bagi masyarakat adalah untuk memberi bekal kepada anak didik agar kelak ketika lulus dapat bekerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila kurikulum dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu dalam hal pembenahan kurikulum diperlukan kerja sama antarpihak sekolah dengan masyarakat selaku pemakai lulusan. Dengan demikian masyarakat dapat memberi masukan guna penyempurnaan program pendidikan di sekolah. Namun penyiapan keterampilan tamatan sekolah untuk terjun ke masyarakat kerja juga ditentukan oleh misi sekolah. Misi sekolah ada yang mempersiapkan tamatannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (jalur akademis) dan ada juga sekolah yang bermisi untuk bekerja (jalur vokasional). C. KOMPONEN KURIKULUM Kurikulum sebagai program pendidikan yang direncanakan mempunyai komponen-komponen pokok, yaitu tujuan, isi, organisasi, dan strategi (Sukmadinata, 2009). 1. Tujuan Kurikulum merupakan program yang dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujuan. Tujuan itulah yang akan menjadi acuan dan dasar kegiatan pendidikan. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum juga akan diukur dari keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Dalam kaitan itu ada dua tujuan yang terdapat dalam kurikulum sekolah, yaitu tujuan sekolah dan tujuan bidang studi. Tujuan sekolah meliputi semua aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diharapkan dimiliki oleh para lulusannya. Selanjutnya tujuan ini dikenal dengan tujuan institusional atau tujuan kelembagaan. Tujuan bidang studi adalah penjabaran tujuan institusional yang meliputi tujuan kurikulum dan tujuan instruksional yang terdapat dalam setiap bidang studi. Jabaran tujaun bidang studi akan tampak dengan jelas dalam dokumen 4

kurikulum seperti Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) atau Standar Isi. Dokumen inilah yang memberi jabaran dan arah tujuan bindang studi. 2. Isi Isi progran kurikulum adalah segala materi yang akan diberikan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Isi kurikulum ini mencakup jenis-jenis bidang studi dan isi program masing-masing bidang studi. Penentuan jenis bidang studi berdasarkan tujuan instruksional sekolah. Oleh karena itu bidang studi yang akan diberikan pada suatu sekolah, misalnya SMA berbeda dengan sekolah yang lain, misalnya SMK. Namun perlu diingat bahwa isi kurikulum atau pengajaran bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan ataupun kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih yang bermakna baik makna dalam pengetahuan itu maupun bagi siswa dan lingkungan (Sukmadinata, 1988). Oleh karena itu isi kurikulum bukan saja didasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan tetapi juga disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak dan konsep-konsep modern tentang hakikat belajar. 3. Organisasi Organisasi kurikulum merupakan struktur program kurikulum yang berupa kerangka program pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Organisasi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur horisontal dan struktur vertikal. Struktur horisontal berhubungan dengan pengorganisasian kurikulum dalam bentuk penyusunan bahan pengajaran. Penyusunan bahan pengajaran itu dapat secara terpisah (separate subject), kelompok mata pelajaran (correlated) atau penyatuan seluruh pelajaran (integrated). Struktur vertikal berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum sekolah. Misalnya apakah kurikulum dilaksanakan dengan sistem kelas atau tanpa kelas, dengan sistem semester atau catur wulan, termasuk pembagian waktu untuk setiap mata pelajaran untuk tiap tingkat. 4. Strategi Strategi yang dimaksud dalam hal ini adalah strategi pelaksanaan kurikulum di sekolah. Strategi pelaksanan kurikulum berkaitan dengan cara 5

yang ditempuh dalam melaksanakan pengajaran penilaian, bimbingan dan konseling, pengaturan kegiatan sekolah secara keseluruhan, pemilihan metode pengajaran, dan media pengajaran yang dipilih.

D. ORGANISASI KURIKULUM Desain kurikulum berkaitan dengan pola pengorganisasan dari komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dlihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horisontal dan vertikal sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Dalam kaitan itu Nasution (1980) dan Sukamadinata (2009) menyatakan bahwa desain kurikulum ada tiga jenis, yaitu Separate-Subject-Curriculum, Correlated Subject Curriculum, dan Integrated Curriculum. 1. Separate-Subject-Curriculum Kurikulum dengan organisasi Separate-Subject-Curriculum berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah. Masing-masing mata pelajaran berdiri sendiri dan tidak dikaitkan dengan mata pelajaran lain. Kurikulum yang menggunakan pola organisasi ini umumnya mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan (Sukmadinata, 2009). Selain itu, bentuk kurikulum itu memudahkan para siswa untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Bentuk kurikulum itu juga tepat sebagai instrumen untuk melestarikan dan mewariskan budaya masa lampau, karena isi mata pelajaran umumnya berupa pengetahuan masa lampau. Kurikulum model ini menekankan pada isi atau materi yang akan diajarkan kepada siswa. Oleh karena itu, kurikulum jenis ini menggunakan pendekatan subject sentered. Dengan pendekatan ini para siswa dituntut untuk menguasai semua pengetahuan yang diberikan, tanpa mempertimbangkan keterkaitannya dengan kepentingan dan kebutuhan siswa. Siswa dipandang sebagai obyek yang statis dan tanpa pilihan, kecuali menerima materi yang disampaikan oleh guru. 2. Correlated-Subject-Curriculum Kurikulum model ini merupakan reaksi atas kurikuklum model sebelumnya. Kurikulum model Separate Subject Curriculum dipandang sebagai model yang tidak memandang anak didik sebagai subjek didik yang dapat 6

berkembang, tetapi memandang sebagai objek yang statis yang hanya dapat menerima informasi dari guru. Kurikulum dengan model Correlated Subject Curriculum itu bertolak dari anak dan bukan dari isi. Selain itu kurikulum itu bersifat not preplanned (tak direncanakan) (Sukmadinata, 2009). Artinya kurikulum dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian tugas-tugas pendidikan, Organisasi kurikulum didasarkan atas pokok permasalahan yang diminati dan dibutuhkan oleh siswa. Dalam kurikulum jenis ini siswa mendapat tempat utama. Guru dan pendidikan hanya berperan menciptakan situasi belajar mengajar, mendorong, dan memberi bimbingan sesuai dengan kebutuhan anak. Anak dipandang sebagai organisme yang berpotensi untuk berbuat, berpikir, berperilaku, belajar dan berkembang sendiri. Dalam kurikulum model tersebut mata pelajaran yang satu diusahakan untuk dihubungkan dengan mata pelajaran lain dengan tetap mempertahankan batas batas yang ada pada tiap-tiap mata pelajaran. Hubungan antarmata pelajaran dapat dilakukan dengan tiga model. Pertama, menghubungkan antara dua mata pelajaran atau lebih secara insidental. Kedua, menghubungkan secara lebih erat jika terdapat suatu pokok bahasan atau masalah tertentu yang dibicarakan dalam berbagai mata pelajaran. Ketiga, menghubungkan beberapa mata pelajaran dengan menghilangkan batas-batas yang ada. Dengan adanya penghilangan batas itu berarti dua mata pelajaran atau lebih telah dipadukan menjadi satu mata pelajaran dengan satu nama. Misalnya, mata pelajaran aljabar dan ilmu ukur digabung menjadi matematika. 3. Integrated Curriculum Dalam kurikulum dengan bentuk Correlated Subject Curriculum berusaha menghubungkan antara mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lain dengan tetap memperhatikan batas-batas di antara mata pelajara tersebut. . Hal itu berbeda dengan kurikulum dengan bentuk Integrated Curriculum. Kurikulum dengan bentuk ini beberapa mata pelajaran benar-benar digabungkan dengan menghilangkan batas-batas di antara berbagai mata pelajaran yang digabungkan menjadi satu dan disajikan dalam bentuk unit atau keseluruhan. Dengan adanya keutuhan dan kebulatan bahan pelajaran diharapkan dapat terbentuk kebulatan kepribadian anak yang sesuai dengan lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, kurikulum dengan bentuk ini tidak

hanya mementingkan dari sisi bentuk saja, melainkan juga memperhatikan tujuan yang akan dicapainya (Nasution, 1980). Kurikulum dengan bentuk memiliki beberapa ciri. Pertama, unit merupakan satu kesatuan bulat dari keseluruhan bahan pelajaran. Faktor yang menyatukan adalah permasalah yang akan dikaji oleh anak didik. Aktivitas siswa harus diarahkan agar selalu terkait dengan pokok masalah tersebut. Kedua, unit didasarkan pada kebutuhan anak baik yang bersifat pribadi maupun sosial, baik yang berkaitan dengan kejasmanian maupun kerohaniaan. Ketiga, dalam unit anak dihadapkan pada berbagai situasi yang mengandung permasalahan yang umumnya berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari yang dikaitkan dengan pelajaran di sekolah sesuai dengan tingkat kemampuan anak. Dalam hal ini anak dilatih untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan metode berfikir ilmiah. Keempat, unit mempergunakan dorongan-dorongan sewajarnya pada diri anak dengan melandaskan diri pada teori-teori belajar. Anak diberi kesempatan untuk menentukan pokok permasalah yang akan diselidiki. Kelima, pelaksanaan unit kadang kala memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan pelajaran biasa di kelas. Pemecahan suatu masalah saja membutuhkan waktu sekitar satu jam.

BAB III KURIKULUM SMP SEBELUM KEMERDEKAAN (1860 sampai dengan 1945)

A. KURIKULUM MASA PENJAJAHAN BELANDA 1. Kurikulum Gymnasium (1860-1900) a. Pendahuluan Perjalanan kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dapat kita runut dari sejarah berdirinya sekolah setingkat SMP pada zaman Belanda. SMP yang kita kenal sekarang ini merupakan jenjang sekolah yang kita kenal melalui kurikulum 1947. Sekolah Menengah Pertama mulai ada pada zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1860 yang bernama Gymnasium. Sekolah itu didirikan di Jakarta sebagai buntut desakan kebutuhan orang-orang Belanda yang ada di Indonesia (Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988). Lama pendidikan di tingkat Gyimnasium sama dengan SMP sekarang ini, yaitu tiga tahun. Hanya saja siswa yang belajar di Gymnasium berbeda dengan siswa yang belajar di SMP. Bila peserta didik di SMP adalah semua warga negara Indonesia, tidak memandang kelas sosial dan ras, peserta didik di Gymnasium tidak demikian. Siswa yang dapat belajar di Gymnasium adalah orang-orang barat. Apabila ada orang pribumi yang belajar di sana, mereka dapat dipastikan dari golongan ningrat. 9

Pendidikan Gymnasium dari tahun ke tahun terus disempurnakan, termasuk kurikulum yang berlaku. 2. Tujuan Kurikulum Tujuan kurikulum pada jenjang Gymnasium tidak terlepas dari tujuan didirikannya sekolah Gymnasium. Tujuan Pemerintah Belanda mendirikan sekolah Gymnasium adalah untuk mencetak tenaga terdidik guna memenuhi kebutuhan pegawai-pegawai yang terdidik, baik untuk jawatan pemeritahan maupun untuk organisasi-organisasi (Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988). Keinginan Belanda untuk mendirikan Gymnasium didasarkan atas tiga alasan. Pertama, kebutuhan pemerintah Belanda akan pegawai yang terdidik. Kedua, pertimbangan ekonomis, yaitu biaya pegawai menjadi lebih murah dibanding dengan mendatangkan pegawai dari negeri Belanda yang harus dibayar mahal. Ketiga, adanya desakan dari orang-orang Belanda yang memiliki anak dan hidup di Indonesia juga memperkuat didirikannya sekolah Gymnasium. Bagi mereka dengan adanya sekolah Gymnasium mereka. Tujuan kurikulum yang berlaku saat itu pun disesuaikan dengan tujuan didirikannya Gymnasium, yaitu mencetak anak didik agar memiliki pengetahuan dasar yang diperlukan bagi seorang pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan. Tujuan kurikulum ini akan terlihat dengan jelas melalui isi kurikulum yang berlaku. c. Isi dan Struktur Kurikulum Isi kurikulum yang berlaku pun diarahkan untuk mencapai tujun tersebut, yaitu penyiapan siswa agar dapat menjadi pegawai terdidik, yang dapat mengabdi kepada kepentingan Belanda. Isi kurikulum pendidikan Gymnasium pada awalnya mencakup sebelas mata pelajaran. Kesebelas mata pelajaran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988). mereka tidak kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak

. 10

GYMNASIUM WILHELM III Learpalan


No . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 Vahhen Nederlandse Taal Engeische Taal Rekenkunde En Algebra Meethunde Naturkende/Scheidkende Biologie Aardrkshunde Geschiedenis Staatkunde Boekhounden Mata Pelajaran Bahasa Belanda Bahasa Inggris Ilmu Hitung Aljabar Ilmu Ukur Ilmu hayat Ilmu Hayat Ilmu Bumi Sejarah Sejarah Tata Buku

(Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988) Dalam perkembangannya isi kurikulum di Gymnasium mengalami perubahan seiring dengan berdirinya sekolah yang khusus menyiapkan pegawai pamong praja, yaitu OSVIA dan HBS (Hogere Burgere School). Isi kurikulum Gymnasium disesuaikan dengan isi kurikulum yang setingkat SMP yang ada di Belanda saat itu. Isi kurikulum tidak lagi berisi sebelas mata pelajaran, tetapi menjadi enam belas mata pelajaran. Keenam belas mata pelajar yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Nederlandse Taal 2. Engeische Taal 3. Fraache Taal 4. Duitsche 5. Rekenkunde En 6. Algebra 7. Meethunde 8. Naturhnde/en Scheidkunde 9. Biologie 10. Andryshunde 11. Geschiedemis/Staathunde 12. Boekhunden 13. Tehenan 14. Muziek 15. Handaebeid 16. Gymmastaat (Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988) Struktur kurikulum yang berlaku di Gymnasium terbagi menjadi tiga, yaitu untuk kelas 1, 2, dan kelas 3. Pelajaran yang ditempuh untuk masing-masing jenjang kelas berbeda-beda. Secara rinci struktur kurikulum di Gymnasium dapat dilihat pada tabel berikut ini.

11

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Vahhen Nederlandse Taal Engeische Taal Fraache Taal * Duitsche * Rekenkunde En Algebra Meethunde Naturhnde/en Scheidkunde Biologie Andryshunde Geschiedemis/Staathunde Boekhunden Tehenan Muziek Handaebeid Gymmastaat

Per Week Voor Klas I II III 6 6 6 3 2 2 2 2 2 2 2 2 5 5 5 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2

(Wiryokusuko dan Mulyadi, 1988) Isi mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi berpusat pada negeri Belanda. Mereka mempelajari sejarah Belanda dan negeri Belanda. Kebudayaan yang dipelajari juga merupakan kebudayaan barat. Adapun mata pelajaran Nederlandse Taal, Rekenkunde En dan Algebra merupakan pelajaran inti yang menitikberatkan pada kemampuan intelektual. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatanjabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.

12

2. Kurikulum MULO 1914-1945 a. Pendahuluan MULO (Meer Uitgebeed Lager Underwijs) merupakan jenjang pendidikan setara SMP (Sekolah Menengah Pertama). MULO lahir sebagai dampak perubahan situasi politik pada akhir abad ke-19. Pada akhir abad itu telah terjadi revolusi sosial dan revolusi industri, serta berkembangnya paham humanisme yang melanda Eropa. Paham Humanisme juga melanda berkembang dan berpengaruh di Belanda. Sebagai akibatnya Belanda didesak untuk memperhatikan rakyat jajahannya. Sebagai wujud kepedulian Belanda terhadap Indonesia sebagai negara terjajah, Belanda melakukan politik Ethis atau Ereschuld. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi: 1. 2. 3. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi; dan Edukasi, yaitu memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan. dan bendungan untuk keperluan pertanian;

Salah satu dampak politik Ethis adalah didirikannya sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi penduduk bumi putra. Sekolah yang pertama kali didirikan Belanda yang diperuntukan bagi penduduk bumi putra adalah HIS (Holands Inlandsche School). HIS merupakan jenjang sekolah setingkat SD. Namun berdirinya HIS telah memaksa pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah lanjutan tersendiri yang diperuntukan bagi anak-anak bumi putra. Sebagai konsekuensinya pada tahun 1914 Belanda mendirikan sekolah menengah yang bernama MULO dengan lama belajar 4 tahun. Hal itu dilakukan oleh Belanda, karena mereka menganggap anak-anak bumi putra tidak begitu pintar. Sementara Gymnasium sebagai sekolah menengah untuk anak-anak peranakan Belanda tetap berjalan. Dalam perjalanannya MULO mengalami berbagai perubahan. Pada tahun 1935 MULO mengalami perubahan struktur dan organisasi. Kelas tiga dibagi menjadi tiga jurusan, yaitu jurusan bahasa dan sastra (afdeling A) , jurusan ilmu pasti (afdeling B), 13

dan jurusan sosial ekonomi (afdeling C). Perubahan itu sebagai akibat desakan pada kaum pelajar bumi putra terhadap pemerintah Belanda yang mendesak agar bahasa Indonesia yang dulunya bahasa Melayu tidak hanya merupakan pelajaran fakultatif, tetapi harus menjadi pelajaran inti atau vak (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988). Desakan itu sekaligus merupakan wujud kesadaran pelajar bumi putra tentang hakhaknya sebagai pemilik negeri, dan sebagai simbol bangkitnya MULO. Pada awal perang dunai II, MULO mengalami perubahan kembali. Pada awal perang dunia II pemerintah Belanda mencoba menarik perhatian rakyat Indonesia dalam rangka menghadapi Jepang. Salah satunya adalah memberi keleluasaan pada pihak swasta untuk mendirikan MULO. Hal itu tidak disia-siakan oleh Muhammadiyah. Organisasi ini mendirikan Inheemesche MULO di Yogyakarta pada tahun 1937. MULO yang didirikan Muhammadiyah merupakan MULO yang benarbenar diperuntukan bagi anak-anak bumi putra. MULO ini juga yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Tujuan pendirian MULO sebagai lembaga pendidikan buatan Belanda memang tidak dinyatakan secara tegas (Soemanto dan Soetarno, 1983). Pendirian sekolah semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan Belanda. Namun dari sisi kepentingan itu tujuan pendidikan mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan dan perkembangan politik saat itu. Pada awalnya tujuan pendidikan di MULO tidak berbeda dengan pendirian sekolah yang diperuntukan bagi peranakan Belanda, yaitu untuk memberi bekal pengetahuan kepada anak-anak bumi putra agar kelak dapat dijadikan pegawai Belanda, selain itu itu pendidikan juga ditujukan untuk membentuk kelas elit (Gunawan, 1986). Namun demikian, tujuan utama penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda adalah untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatanjabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian, terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda. Dengan kata lain kepentingan Belanda tetap menjadi yang utama. Dalam perkembangannya tujuan pendidikan di MULO tidak lagi sematamata sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan Belanda untuk memenuhi tenaga terdidik, tapi tujuan MULO oleh para kaum bumi putra juga menjadi sarana untuk 14 nasionalisme. Perubahan ini membawa dampak pada perubahan struktur kurikulum yang berlaku di

memperjuangkan hak-hak anak pribumi. Hal itu terjadi ketika Belanda memandang perlunya pengetahuan bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) dalam memperlancar pekerjaan dan melihat adanya tanda-tanda pemerintah Jepang akan menyerang Indonesia. Belanda memandang penting untuk memikat warga bumi putra. Salah satu caranya adalah memberi kesempatan swasta untuk mendirikan sekolah dan memberi kesempatan warga bumi putra untuk mempelajari bahasa Melayu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh pihak swasta untuk mendirikan sekolah dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. b. Tujuan Kurikulum Tujuan kurikulum tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui kurikulum. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ada perubahan tujuan pendidikan dari MULO ciptaan Belanda dan MULO ketika Jepang menguasai Indonesia. Tujuan pendidikan MULO pada awal berdirinya hingga masuknya Jepang 1942 adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga terdidik yang dapat mendukung pemerintahan Belanda. Meskipun MULO lahir sebagai dampak dari politik Etis, pendidikan yang diselenggarakan bukan bertujuan untuk mencerdaskan pelajar bumi putra dan menyadarkan arti kebangsaan, serta memahami haknya sebagai pemilik negeri. Tujuan pendidikan lebih diarahkan untuk membentuk manusia yang mampu mendukung terselenggaranya pemerintahan Belanda di Indonesia. Kurikulum pendidikan masa Belanda pun didesain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia. Dalam isi kurikulum pun dikenalkan kebudayaan Belanda. Penekanan akhir lebih ditekankan pada penguasaan menulis, membaca, dan berhitung karena ketiga aspek itu sangat bermanfaat bagi calon pegawai yang akan diperbantukan pada pemerintah Belanda dengan gaji yang sangat rendah. Anak-anak Indonesia pada zaman itu tidak diperkenalkan dengan budaya dan potensi bangsa sendiri. c. Isi dan Struktur Kurikulum Isi Kurikulum MULO 1914 dan MULO 1935 berbeda. Isi kurikulum MULO tahun 1914 berisi tujuh belas mata pelajaran. Bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) masih menjadi mata pelajaran fakulktatif. Adapun mata pelajaran bahasa Belanda, berhitung,

15

dan ilmu pasti merupakan pelajaran yang bersifat inti. Berikut ini adalah isi kurikulum MULO yang dimaksud (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988). MULO (Meer Uitgebeed Lager Underwijs Lerplan) 1914: 1. Nederlandse Taal 2. Malaise Taal * 3. Engeische Taal 4. Transe Taal * 5. Duitsche * 6. Rekenkunde En 7. Algebra 8. Meethunde 9. Naturhnde/en Scheidkunde 10. Biologie 11. Andryshunde 12. Geschiedemis/Staathunde 13. Boekhunden 14. Gimmanastiek 15. Tehenan 16. Muziek 17. Handaebeid MULO Lerplan 1935 Isi kurikulum MULO 1935 merupakan reaksi atas perubahan kebutuhan Belanda dan perkembangan politik saat itu. Wujud perubahan itu tampak dari perubahan status bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) dari yang semula merupakan mata pelajaran fakultatif berubah menjadi mata pelajaran vak. Perubahan yang kedua adalah diadakannya deferensiasi pada kelas tiga yang sebelumnya tidak ada, yaitu Afdeling A (jurusan bahasa sastra), Afedeling B (jurusan ilmu alam), dan Afdeling C ( jurusan sosial ekonomi). Berikut ini adalah deskripsi isi kurikulum MULO yang dimaksud. 1. Nederlandse Taal 2. Malaise Taal 3. Engeische Taal 4. Franche Taal * 5. Duitsche 6. Rekenkunde En 7. Algebra 8. Meethunde 9. Naturhnde/en Scheidkunde 10. Biologie 11. Andryshunde 12. Geschiedemis/Staathunde 13. Boekhunden 16

14. Gimmanastiek 15. Tehenan 16. Muziek 17. Handaebeid (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988) Struktur kurikulum MULO 1914 berbeda staruktur kurikulum MULO 1935. Pada struktur kurikulum MULO 1914 terbagi atas tiga jenjang kelas, yaitu kelas 1, 2, dan 3. Jumlah jam perminggu untuk masing-masing kelas pun berbeda. Untuk jenjang kelas 1, jumlah jam pelajaran perminggu ada 38, kelas 2 berjumlah 39 jam, sedangkan jam pelajaran untuk kelas 3 ada 40 jam. Berikut ini adalah struktur kurikulum MULO 1914.

17

MULO (Meer Uitgebeed Lager Underwijs Lerplan) 1914


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Vahhen Nederlandse Taal Malaise Taal * Engeische Taal Transe Taal * Duitsche * Rekenkunde En Algebra Meethunde Naturhnde/en Scheidkunde Biologie Andryshunde Geschiedemis/Staathunde Boekhunden Gimmanastiek Tehenan Muziek Handaebeid Per Week Voor Klass I II III 6 6 6 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 5 5 5 3 3 4 3 3 4 2 2 2 2 2 3 3 3 3 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 38 39 40

(Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988) Pada struktur kurikulum MULO 1935 terdapat perubahan dari sisi isi dan bentuk. Perubahan isi terlihat dari perubahan mata pelajaran bahasa Melayu yang sebelumnya bersifat fakultatif berubah menjadi vak. Perubahan isi kedua adalah dari jumlah jam pelajaran. Pada kurikulum MULO 1914 jumlah jam pelajaran kelas 1 dan 2 berbeda, masing masing berjumlah 38 dan 39, sedangkan dalam kurikulum MULO 1935 jumlah jam pelajaran untuk kelas 1 dan 2 sama, yaitu 37 jam. Perubahan bentuk terjadi karena adanya deferensiasi pada kelas 3, yaitu jurusan bahasa sastra, jurusan ilmu pasti alam, dan jurusan sosial ekonomi. Hal itu berdampak pada perubahan struktur kurikulum yang harus menyesuaikan dengan ketiga jurusan tersebut. Namun jumlah jam pelajaran untuk kelas 3 sama, yaitu 39 jam. Berikut ini adalah deskripsi struktur kurikulum MULO 1935.

18

MULO Lerplan 1935


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Vahhen I Nederlandse Taal Malaise Taal Engeische Taal Franche Taal * Duitsche Rekenkunde En Algebra Meethunde Naturhnde/en Scheidkunde Biologie Andryshunde Geschiedemis/Staathunde Boekhunden Gimmanastiek Tehenan Muziek Handaebeid 6 1 3 2 2 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 37 Per Week Voor Klass II III A III B 6 6 5 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 3 3 4 3 4 3 4 2 2 2 2 3 2 2 2 3 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 37 39 39

III C 5 2 2 2 2 3 3 1 2 2 2 4 2 1 1 1 39

(Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988) d. Pelaksanaan Proses Pengajaran Pelaksanaan proses belajar mengajar di MULO dapat dibagi dua, yaitu MULO tahun 1914 dan MULO 1935. Berdasarkan kurikulum MULO 1914 pendidikan di tingkat MULO dilaksanakan selama 4 tahun yang terbagi atas tiga kelas. Seorang siswa akan dinyatakan lulus MULO bila telah menempuh 4 tahun. Dalam satu minggu proses belajar mengajar (PBM) dilaksanakan selama enam hari, yaitu hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap jam pelajaran adalah 45 menit, sedangkan waktu istirahat dilaksanakan dua kali masing-masing 5 menit (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988. PBM berdasarkan kurikulum MULO 1935 mengalami perubahan ketika siswa naik ke kelas tiga. Untuk kelas 1 dan 2, siswa belum dikelompokkan dalam jurusanjurusan tertentu. Pada waktu siswa naik ke kelas 3, siswa harus memilih salah satu jurusan yang telah disediakan. Ada tiga jurusan, yaitu Bagian A untuk jurusan bahasa sastra, Bagian B untuk jurusan jurusan ilmu pasti alam, dan Bagian C untuk jurusan sosial ekonomi.

19

Bahasa pengantar yang digunakan pada MULO tahn 1935 sebagian sudah menggunakan bahasa Melayu. Bahkan bahasa Melayu telah menjadi mata pelajaran Vak, tidak lagi sebagai mata pelajaran pilihan (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988:111). Hari efektif pembelajaran ada enam hari. Pembagian jumlah jam belajar hampir sama dengan yang ada di MULO 1914. Untuk kelas 1 dan 2 ada lima hari dengan jumlah jam pelajaran 6 jam, dan ada satu hari sejumlah tujuh jam pelajaran.

B. KURIKULUM MASA PENJAJAHAN JEPANG 1942 a. Pendahuluan Kekalahan Belanda atas Jepang dengan tanpa syarat pada tanggal 18 Maret 1942 menjadikan Jepang sebagai penjajah baru di Indonesia. Berkuasanya Jepang di Indonesia membawa angin segar bagi dunia pendidikan saat itu. Dunia pendidikan mengalami perubahan yang radikal. Semua yang berbau Belanda dihilangkan, termasuk bahasa pengantar pendidikan dan kantor-kantor pemerintahan tidak lagi bahasa Belanda tetapi bahasa Indonesia. Hampir di semua jenjang sekolah menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Jepang menjadi bahasa kedua (H. Gunawan, 1986:24). Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar merupakan wujud perubahan yang secara langsung dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia. Pada saat itu sistem pendidikan, baik pendidikan sekolah dasar, pendidikan sekolah menengah mengalami perubahan. Pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, yaitu MULO yang merupakan pendidikan buatan Belanda dengan lama belajar 4 tahun diubah menjadi 3 tahun. Selanjutnya pendidikan SMP itu disebut Shoto Chu Gakko (H. Gunawan, 1986:51). Peserta didik di jenjang itu tidak dibatasi golongan atau status sosial. Semua penduduk yang telah memiliki ijazah Sekolah Rakyat dapat meneruskan ke SMP. Siswa yang telah lulus SMP juga dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yaitu sekolah menengah tinggi. Perubahan juga terjadi pada struktur kurikulum, penjurusan yang dilakukan pada kelas tiga atas bagian A, B, dan C yang ada pada MULO 1935 dihapuskan. Penyederhaan sistem pendidikan dan persekolahan yang dilakukan oleh Jepang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi semua golongan penduduk bumi putra.

20

Tidak ada lagi pendidikan yang didasarkan atas status sosial atau asal keturunan. Hal itu tidak pernah terjadi ketika Belanda menguasai Indonesia. b. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang memang tidak begitu tegas rumusannya. Namun, tujuan pendidikan masa itu dapat dilihat dari tujuan Jepang menguasai Indonesia. Menurut Gunawan (1986) landasan idiil pendidikan masa itu tercantum dalam semboyan Jepang yang terkenal, yaitu Hakko Ichiu atau Kemakmuran Bersama di Asia Raya. Hal itu yang menjadi dasar dan pendorong Jepang mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia, termasuk penduduknya. Wujud parktik eksploitasi sumber daya manusia adalah dilaksanakannya program romusha dan pembentukan prajurit untuk kepentingan Jepang. Oleh karena itu, menurut Gunawan (1986) tujuan pendidikan zaman Jepang di Indonesia adalah menyediakan tenaga kerja cuma-cuma yang disebut romusha dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang. Untuk mewujudkan maksud itu Jepang melakukan beberapa langkah yang terkait dengan bidang pendidikan untuk men-Jepang-kan Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari apa yang harus dilakukan oleh guru dan siswa. Para perwakilan guru dari berbagai daerah dikumpulkan di Jakarta selama tiga bulan untuk mendapat pelatihan yang berupa indoktrinasi idiologi Jepang. Sekembali dari Jakarta mereka harus melatih guru-guru lain yang ada di daerahnya masing-masing. Ada lima pokok materi yang dilatihkan (Gunawan, 1986). 1. 2. 3. 4. 5. Indoktrinasi mental dan idiologi mengenai Hakko Ichiu Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon Seisyin) Bahasa dan sejarah Jepang beserta adat istiadatnya Ilmu Bumi ditinjau dari segi geopolitis Olahraga dan lagu-lagu berbahasa Jepang

Jepang juga melakukan indoktrinasi kepada para siswa. Bahkan indoktrinasi kepada siswa jauh lebih ketat, karena mereka adalah masa depan bangsa Indonesia. Kepada mereka diwajibkan melakukan beberapa tindakan yang harus dilakukan setiap pagi. 1. 2. Mereka harus menyayikan lagu kebangsaan Jepang, yaitu Kimigayo Mereka juga harus mengibarkan bendera Jepang Hino-Maru 21

3.

Mereka harus menghadap ke arah negara Jepang sambil menghormat

dengan membungkukkan badan yang disebut Saikeirei kepada kaisar Jepang Tenno Heika 4. 5. 6. 7. Mereka harus mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia Mereka harus melakukan senam pagi (taiso) untuk memelihara dalam rangka Asia Raya, yaitu Dai Toa semangat Jepang. Mereka harus melakukan latihan fisik dan kemiliteran (kyoren) Mereka melakukan kerja bakti (kinrohosyi) seperti membersihkan

asrama militer, jalan raya, menanam pohon jarak, atau menebang hutan jati. Perlakuan yang mengacu pada tujuan pendidikan itu akan berpengaruh pada kurikulum yang diberlakukan di sekolah-sekolah. c. Tujuan Kurikulum Tujuan kurikulum tidak terlepas dari tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kurikulum yang berlaku saat itu dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan yang dirancang oleh Jepang sebagaimana dijelaskan di atas. Melalui kurikulum siswa diarahkan dan dibimbing untuk menguasai berbagai pengetahuan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud. Dengan mengetahui tujuan pendidikan yang diinginkan Jepang di atas dapat dikatakan bahwa tujuan kurikulum di sekolah adalah untuk menyiapkan anak didik agar memiliki ketahanan fisik dan keterampilan dalam rangka membantu Jepang dalam bidang kemiliteran dan administrasi pemerintahan. d. Isi dan Struktur Kurikulum Isi kurikulum pada masa pendudukan Jepang mengalami perubahan yang sangat nyata, baik dari sisi isi maupun bentuk. Dari sisi isi kurikulum yang saat itu disebut sebagai Rencana Pelajaran untuk sekolah menengah berbeda dengan yang ada pada sekolah menengah sebelumnya. Mata pelajaran vak atau inti yang mengalami perubahan kedudukan. Perubahan itu semata-mata untuk mendukung eksistensi Jepang sebagai penjajah menggantikan Belanda. Sebagai contoh, mata pelajaran bahasa Belanda diganti dengan bahasa Jepang. Bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran inti, 22

sekaligus bahasa pengantar pendidikan. Mata-mata pelajaran yang pada awalnya hanya diberikan pada jurusan ilmu pasti alam, yaitu mata pelajaran ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu hayat diubah menjadi pengetahuan dasar, yang harus ditempuh oleh semua siswa. Mata pelajaran ilmu bumi, sejara, dan tatanegara yang pada awalnya berorientasi ke Belanda sekarang berubah terpusat ke Jepang. Selain itu mata pelajaran Gymnastiek atau Pendidikan Jasmani diberikan setiap pagi sebelum masuk sekolah, termasuk memberi latihan dasar kemiliteran (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988). Dengan kata lain isi kurikulum lebih berorientasi kepada kepentingan Jepang daripada kepentingan Indonesia. Perubahan isi kurikulum lebih ditujukan untuk mendukung dan memperkuat posisi Jepang di Indonesia dengan segala idiologinya. Dari sisi bentuk ada perubahan yang berkaitan dengan penjurusan pada kelas tiga. Kurikulum sekolah menengah pertama zaman Belanda mengenal tiga penjurusan ketika siswa menginjak kelas tiga. Namun, pada masa Jepang pembedaan jurusan itu di hilangkan dan masa belajar di sekolah menengah juga diubah dari 4 tahun menjadi tiga tahun. Berikut ini adalah nama mata pelajaran yang diberikan pada sekolah menengah zaman Jepang. 1. Bahasa Jepang 2. Bahasa Indonesia 3. Bahasa Inggris 4. Berhitung Aljabar 5. Ilmu Ukur 6. Ilmu Alam/Kimia 7. Ilmu Bumi 8. Ilmu Hayat 9. Sejarah/Tatanegara 10. Pengetahuan Dagang 11. Seni Suara 12. Kerajinan Tangan 13. Gerak Badan (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988) Adapun struktur kurikulum SMP pada masa penjajahan Jepang adalah seperti tertera pada tabel berikut ini.

23

Rencana Pelajaran Sekolah Pertama 1942


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Mata Pelajaran Bahasa Jepang Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Berhitung Aljabar Ilmu Ukur Ilmu Alam/Kimia Ilmu Bumi Ilmu Hayat Sejarah/Tatanegara Pengetahuan Dagang Seni Suara Kerajinan Tangan Gerak Badan Jumlah Jam dalam Seminggu I II III 6 6 6 6 5 5 4 3 3 4 4 5 3 3 4 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 38 38 40

(Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988) C. RANGKUMAN Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan dan pemberlakukan kurikulum sebelum kemerdekaan belum ada. Pendidikan diadakan dan diciptakan oleh bangsa penjajah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Landasan yuridis sebagai dasar pelaksanaan pendidikan dan kurikulum belum ada. Pendidikan lebih didasarkan pada imperialisme dan kolonialisme Tujuan pendidikan dan tujuan persekolahan ditentukan oleh Penjajah. Oleh karena pendirian dan pelaksanan pendidikan ditentukan oleh bangsa penjajah, tujuan pendidikannya pun ditentukan oleh pemerintah penjajah. Tujuan pendidikan diarahkan pada kepentingan mereka sebagai bangsa penjajah. Tujuan Pendidikan pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan penjajah dan dalam rangka memperkuat posisinya sebagai penjajah. Dalam hal ini pemerintah penjajah memiliki kewenangan yang kuat menentukan arah tujuan pendidikan. Struktur kurikulum di tentukan oleh penjajah (Belanda dan Jepang). Pada masa penjajahan Belanda, struktur kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Belanda, demikian juga ketika zaman Jepang. Pemerintahan penjajah memiliki kewenangan yang kuat untuk menentukan struktur kurikulum yang akan digunakan pada sekolah yang mereka dirikan dan sekolah yang ada di wilayah jajahannya. Jenis mata pelajaran dan isi setiap materi pelajaran di tentukan oleh penjajah. Pemerintah Belanda dan Jepang sebagai penjajah akan menentukan jenis mata 24

pelajaran yang akan diberikan di sekolah. Penentuan jenis dan nama mata pelajaran akan dikaitkan dengan kepentingannya sebagai penjajah. Sebagai contoh pada awalnya bahasa Melayu (bahasa Indonesia) tidak diajarkan, apalagi menjadi bahasa pengantar pendidikan. Isi materi pelajaran yang menyangkut ketatanegaraan dan kewilayahan berkiblat pada bangsa penajajah Belanda dan Jepang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi jiwa dan pikiran pelajar bumi putra. Oleh karena itu, isi materi selalu dikaitkan dengan keadaan negara dan kebudayaan penjajah. Bahkan ketika Jepang berkuasa semua yang berbau Belanda dihapuskan dalam semua jenjang pendidikan. Hal ini juga berlaku ketika Indonesia merdeka. Semua materi yang berkaitan dengan ke-Belanda-an dan ke-Jepang-an akan dihilangkan dan diganti dengan ke-Indonesiaan.

25

BAB IV KURIKULUM 1947

anak anak membawa sabak

Sabak sebagai alat tulis

A. PENDAHULUAN Lahirnya kurikulum SMP 1947 -yang pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran- tidak terlepas dari perubahan situasi politik saat itu. Deklarasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 berdampak langsung pada dunia pendidikan. Sistem pendidikan yang pada awalnya berbasis pada penjajah, baik Belanda maupun Jepang, berubah menjadi sistem pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan Bangsa Indonesia. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut landasan idiil, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar bagi rakyat Indonesia. Untuk menyusun menuju pembaharuan pendidikan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagai badan yang bertanggungjawab atas pendidikan mengusulkan sembilan butir pemikiran pendidikan (Gunawan, 1986). Berikut ini adalah butir-butir yang dimaksud. 1. Untuk menyusun masyarakat diperlukan adanya perubahan pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusian. Pendidikan pengajaran harrus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai tanggung jawab. kepada kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1945

26

2. Pendirian semacam sekolah untuk segala lapisan, yang tidak memandang status sosial dan jenis kelamin, sangat diperlukan guna memperkuat persatuan. 3. Metodik yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasarkan sekolah kerja agar aktivitasnya kepada pekerjaan dapat berkembang. Selain itu diperlukan perguruan yang diperuntukan bagi orang dewasa yang bertujuan memberantas buta huruf dan seterusnya hingga bersifat Taman Ilmu Rakyat dengan tetap memperhatikan isi pada butir 1. Di samping perguruan semacam itu, diperlukan juga perguruan pemimpin masyarakat (semacam Pusat Pelatihan di setiap Departemen) untuk tiap-tiap lapangan usaha yang penting. Pelaksanaan perguruan seperti itu hendaknya diadakan oleh kantor pusat masing-masing. 4. Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur dan seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Tentang cara melakukan ini sebaiknya Kementerian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. Selain itu Madrasah dan pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat jelata hendaknya mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah. 5. Pengajaran tinggi hendaknya seluas-luasnya dan jika perlu dengan menggunakan bantuan bangsa asing sebagai guru besar. Selain itu diusahakan pula pengiriman pelajar ke luar negeri untuk keperluan negara. 6. Kewajiban belajar dengan lambar laun dijalankan dengan ketentuan bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun dapat berlaku. 7. Pengajaran dan ekonomi terutama pengajaran pertanian, industri, dan perikanan hendaklah mendapat perhatian khusus. 8. Pengajaran kesehatan dan olahraga hendaknya diatur sebaik-baiknya untuk menciptakan kecerdasan rakyat yang seimbang. 9. Di sekolah rendah tidak dipungut uang sekolah. Untuk sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi hendanya diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang luas sehingga persoalan itu tidak menjadi penghalang bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu Selanjutnya atas desakan BPKNIP itu tanggal 29 Desember 1945, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Suwandi mengeluarkan keputusan menteri

27

No 104//Bhg-0/1946 tanggal 1 Maret 1946 untuk membentuk suatu panitia pendidikan yang disebut Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran kepada badan itu adalah sebagai berikut: 1. merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah; 2. menetapkan bahan pengajaran dengan mempertimbangkan keperluan yang praktis dan tidak terlalu berat; dan 3. menyiapkan rencana pelajaran (kurikulum) untuk tiap jenis sekolah termasuk fakultas. Ada beberapa hasil yang dapat dicapai oleh badan tersebut, yaitu perumusan tujuan pendidikan. Perumusan tujuan pendidikan ini sangat istimewa karena tidak lagi berdasarkan kepentingan penjajah, tetapi berdasarkan landasan hukum yang dimiliki oleh Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan saat itu merupakan pertama kalinya dunia pendidikan di Indonesia menggunakan dasar hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945. B. LANDASAN YURIDIS KURIKULUM 1947 Istilah kurikulum saat itu disebut dengan rencana pelajaran. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 disebut sebagai Kurikulum 1947. Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama yang diciptakan oleh bangsa Indonesia dengan dasar landasan hukum yang berlaku di Indonesia. Pendidikan sebelumnya berdasarkan kepentingan penjajah. Dasar dan tujuan pendidikan dirumuskan oleh penjajah. Namun, mulai kurikulum 1947 dasar hukumnya mengikuti dasar hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang merdeka. Landasan idiil pendidikan di Indonesia yang dianut dalam kurikulum 1947 adalah Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Gunawan, 1986) dan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991). Pancasilan tidak hanya sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, tetapi juga sebagai landasan idiil pendidikan di Indonesia. Meskipun pada perkembangannya terjadi perubahan Undang-Undang Dasar, Pancasila tetap menjadi landasan idiil pendidikan Indonesia. Dasar konstitusional Pendidikan nasional yang juga sebagai dasar konstitusional kurikulum 1947 adalah adalah UUD 1945 (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991). Berlakunya UUD 1945 di negara Indonesia menjadi acuan semua produk yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan sekretaris Soeganda Purbakawatja. Tugas yang dibebankan

28

hukum yang ada pada saat itu, tak terkecuali semua peraturan yang ada kaitannya dengan pendidiikan. Berlakunya kurikulum 1947 tidak diiringi landasan operasional yang berupa undang-undang pendidikan. Saat itu yang paling penting adalah mengubah landasan dasar pendidikan. Jangan sampai landasan pendidikan di negara Indonesia yang sudah merdeka masih menggunakan dasar pendidikan yang dirumuskan oleh penjajah. Namun pada saat itu bukan berarti tidak ada usaha yang dilakukan oleh Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran untuk membuat undang-undang pendidikan sebagai landasan operasional pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hanya saja terkendala oleh faktor politik. Saat itu belum sempat merumuskan undangundang pendidikan karena pada tanggal 1 Juli 1947 terjadi class pertama. Saat itu Belanda bermaksud menduduki wilayah negara RI. Pada akhir 1947, saat itu menteri pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dijabat oleh Mr Alisatrohamidjojo yang menggantikan Mr Suwandi mencoba meneruskan usaha yang telah dilakukan oleh Mr Suwandi bersama BPKNIP. Mr Alisatrohamidjojo membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran pada akhir tahun 1947. Tugas badan itu adalah menyusun RUUPP dengan mempergunakan bahan yang pernah diperbincangkan dalam kongres Pendidikan Nasional. Pada tahun 1948 Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan diganti oleh S Mangunsarkoro. Pada saat itu pembahasan RUUPP dibicarakan kembali oleh panitia yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Pada tahun itu juga RUUPP dapat diselesaikan dan diajukan ke Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat (BPKNIP), yaitu badan yang saat ini setara dengan DPR. Akan tetapi RUUPP itu belum sempat dibahas di BPKNIP karena terjadi class II dan Yogyakarta sebagai ibu kota saat itu diduduki oleh Belanda (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991). Selanjutnya RUUPP ini akan dibicarakan kembali tahun 1950 dan disahkan tahun 1954. Undang-undang ini selanjutnya akan menjadi dasar landasan operasional kurikukulum 1952 sebagai pembaruan dari kurikulum 1947. Dengan kata lain kurikulum 1947 tidak memiliki dasar hukum operasional yang berupa undang-undang pendidikan.

29

C. TUJUAN PENDIDIKAN Sebelum tahun 1945 atau sebelum Indonesia merdeka tujuan pendidikan di Indonesia dirumuskan oleh penjajah. Sistem pendidikan diarahkan untuk mempertahankan kedudukannya di tanah jajahan. Bahkan pada zaman Jepang, terjadi indoktrinasi yang cukup ketat yang dilakukan oleh Jepang. Mereka berusaha menJepang-kan Indonesia terutama pemuda-pemudanya. Oleh karena itu pada saat kemerdekaan diraih sangat dibutuhkan penanaman semangat patriotisme dan membangkitkan kesadaran nasional di kalangan remaja dan pemuda. Berkaca dari situasi seperti itu tujuan pendidikan nasional 1945 pun tidak jauh dari situasi saat itu. Menurut Gunawan (1986) tujuan pendidikan nasional pada tahun 1945 adalah pembentukan warga negara yang sejati yang sanggup menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan bangsa Indonesia. Dari rumusan itu sangat jelas bahwa tujuan pendidikan nasional saat itu diarahkan pada penanaman semangat patriotisme dan kesadaran nasional. Dalam usaha Kementerian mencapai tujuan pendidikan nasional, pada tahun 1946 Pengajaran dan Kebudayaan Rebuplik Indonesia Pendidikan,

mengeluarkan suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Republik Indonesia. Selanjutkan jabaran sifatsifat itu akan menjadi dasar tujuan kurikulum 1947. Sifat-sifat kemanusian yang dimaksud adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa Perasaan cinta kepada alam Perasaan cinta kepada negara Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak Perasaan cinta kepada Bangsa dan Kebudayaan Nasional Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang harus tunduk pada tata tertib Keyakinan bahwa pada dasarnya menusia itu sama harganya, sebab itu hubungan sesama anggota masyarakat harus bersifat hormat-menghormati, berdasarkan atas rasa keadilan, dengan berpegang teguh atas harga diri sendiri Keyakinan bahwa negera memerlukan warga negara yang rajin bekerja, tahu pada kewajibannya, jujur dalam pikiran dan tindakannya (Gunawan, 1986).

j.

30

Tujuan kurikulum SMP 1947 tidak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pada tahun 1947 landasan operasional pendidikan belum ada. Dari undang-undang itu akan diketahui apa tujuan diberlakukannya sebuah kurikulum. Meskipun belum ada undang-undang pendidikan, tujuan kurikulum dapat dirumuskan dari tujuan pendidikan nasional dan jabaran sifatsifat kemanusiaan dan kewarganegaraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Republik Indonesia (10 sifat) yang sekaligus merupakan perwujudan sifatsifat warga negara sejati. Dengan dasar itu tujuan kurikulum diarah pada pembentukan anak didik yang berwatak patriotisme dan nasionalisme yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbakti kepada orang tua, bekerja keras, menghormati orang lain, bersikap adil dan jujur.

D. ISI DAN STRUKTUR KURIKULUM SMP 1947 Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa lahirnya kurikulum 1947 tidak terlepas dari perang kemerdekaan. Kemerdekaan yang diraih tahun 1945 menjadi dasar untuk mengubah sistem pendidikan yang telah berlangsung selama itu, termasuk kurikulumnya. Semua yang berkiblat pada penjajah diubah haluannya untuk berpusat pada negera sendiri, Indonesia. Isi kurikulum yang berlaku pada saat Jepang menjajah tahun 1942 diubah dan disesuaikan dengan perjuangan bangsa Indionsia dalam mempertahankan kemerdekaan. Beberapa perubahan dilakukan, di antaranya bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib, bahasa daerah mulai diajarkan, pendidikan agama yang sebelumnya tidak ada dimunculkan sebagai konsekuensi sifat bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, isi materi mata pelajaran ilmu bumi, sejarah berpusat pada negara Indonesia. Berikut ini isi kurikulum yang dimaksud. 1. Bahasa Indonesia 2. Bahasa Daerah 3. Bahasa Inggris 4. Berhitung 5. Ilmu Ukur 6. Ilmu Alam 7. Ilmu Hayat 8. Ilmu Bumi 9. Sejarah Tatanegara 10. Pengetahuan Dagang 11. Seni Suara 12. Menggambar 31

13. Pekerjaan Tangan 14. Pendidikan Jasmani 15. Budi Pekerti 16. Agama Struktur kurikulum SMP tahun 1947 mengalami perubahan jika dibandingkan dengan strukltur kurikulu SMP yang berlaku pada zaman Jepang tahun 1942. Perubahan itu terjadi adalah Sekolah menengah hasil ciptaan Jepang diubah menjadi SMP dengan masa studi tiga tahun. Mereka yang telah menempuh 3 tahun dan lulus berhak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Perubahan kedua adalah pada kelas 3 diadakan deferensiasi lagi menjadi dua jurusan, yaitu bagian A bagi jurusan Bahasa dan Pengetahuan Sosial dan bagian B untuk jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Berikut ini adalah struktur kurikulum SMP 1947 yang disebut sebagai Rencana Pelajaran 1947.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Bahasa Daerah Bahasa Inggris Berhitung Ilmu Ukur Ilmu Alam Ilmu Hayat Ilmu Bumi Sejarah Tatanegara Pengetahuan Dagang Seni Suara Menggambar Pekerjaan Tangan Pendidikan Jasmani Budi Pekerti Agama I 6 2 3 4 3 2 2 2 2 1 1 1 3 2 Jumlah Jam Pelajaran dalam Seminggu II IIIA IIIB 6 6 5 2 3 2 3 4 3 4 2 4 3 3 3 2 5 2 2 2 2 3 2 2 3 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 3 3 3 2 2 2

E. PROSES PEMBELAJARAN Proses pembelajaran yang dilakukan saat itu lebih ditekankan pada pemahaman materi yang berpusat pada wilayah Indonesia. Materi-materi pelajaran yang sebelumnya berkiblat pada penjajah diubah menjadi berpusat pada Indonesia. Proses belajar mengajar sebagai pelaksanaan kurikulum tahun 1957 harus mengacu pada usaha terwujudnya tujuan pendidikan nasional, yaitu pembentukan warga negara yang sejati yang sanggup menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan

32

bangsa Indonesia. Untuk itu kegiatan belajar melangar hendaknya juga mengacu pada uasaha pembentukan warga negara yang sejati. Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar memperhatikan prinsip-prinsip yang mengarah pada tujuan yang dimaksud. Prinsip-prinsip itu adalah bahwa proses belajar hendaknya: a. b. c. d. e. f. g. h. Dapat meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; Dapat menimbulkan perasaan cinta kepada alam; Membangkitkan nasionalisme; Memupuk perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak; Membangkitkan perasaan cinta kepada Bangsa dan Kebuyaan Menimbulkan kesadaran akan kewajiban dan peran serta warga Menimbulkan kesadaran warga negara untuk tunduk pada hukum Membakitkan keyakinan dan kesadaran bahwa pada dasarnya

Nasional; negara dalam memajukan negara; yang berlaku; menusia itu sama harganya, sebab itu hubungan sesama anggota masyarakat harus bersifat hormat-menghormati, berdasarkan atas rasa keadilan, dengan berpegang teguh atas harga diri sendiri; dan i. Membangkitkan kesadaran bahwa negera memerlukan warga negara yang rajin bekerja, tahu pada kewajibannya, jujur dalam pikiran dan tindakannya. F. PENILAIAN Penilaian atas hasil belajar siswa berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran. Proses penilain akan dilakukan setahun sekali. Siswa akan memperoleh hasil belajar satu tahun sekali. Pada saat itu belum dikenal sistem semester. Hasil belajar itu sekaligus sebagai penentu kenaikan kelas. G. RANGKUMAN Kurikulum 1947 merupakan kurikulum yang lahir sebagai respon atas diraihnya kemerdekaan RI tahun 1945. Oleh karena itu kurikulum ini masih mengadopsi kurikulum yang ada sebelumnya, meskipun dengan perubahan isi materi pada beberapa pelajaran. 33

Tujuan pendidikan sebagai dasar tujuan kurikulum tidak lagi dikaitkan dengan kepentingan penjajah. Tujuan pendidikan berdasarkan kepentingan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.Kurikulum 1947 sudah berdasarkan landasan hukum yang berlaku di negara Indonesia, yaitu UUD 1945. Berdasarkan desain kurikulum dan melihat isi kurikulumnya secara teoritis dapat dikatakan bahwa kurikulum 1947 termasuk kurikulum yang bersifat separatesubject-curriculum. Hal itu dapat dilihat dari mata-mata pelajaran yang disajikan kepada siswa berisi pengetahuan yang telah disusun secara logis dan sistematis. Mata pelajaran yang satu dengan lain bersifat terpisah-pisah. Setiap bahan dalam setiap mata pelajaran akan disesuaikan dengan tingkat sekolah, kelas, bahkan jenis sekolah. Isi materi untuk beberapa mata pelajaran diubah. Mata pelajaran sejarah ketatanegaraan, ilmu bumi tidak lagi dipusatkan pada keadaan negara penjajah. Isi materi pelajaran berpusat pada keadaan Idonesia sebagai negara yang merdeka. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahaa pengantar, tetapi juga sebagai mata pelajaran yang harus ditempuh oleh setiap siswa. Selain bahasa Indonesia, diajarkan pula bahasa daerah sesuai dengan daerahnya masing-masing. Struktur Program dalam kurikulum 1947 tidak dikelompokkan atas bagianbagian, tetapi berupa urutan sejumlah mata pelajaran. Struktur kurikulumnya terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas 1, 2, dan 3. Pada kelas 3 dilakukan penjurusan, yaitu kelas A untuk jurusan Bahasa dan Pengetahuan Sosial dan kelas B untuk jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Jenis dan jumlah jam setiap mata pelajaran disesuaikan dengan jurusan yang diambil.

34

BAB V KURIKULUM SMP 1952

A. PENDAHULUAN Lahirnya kurikulum 1952 tidak terlepas dari sejarah kelahiran kurikulum 1947. Bahkan dapat dikatakan bahwa kurikulum 1947 adalah pembaruan dari kurikulum 1947. Dikatakan demikian karena saat kurikulum 1947 berlaku belum ada undangundang pendidikan yang berlaku sebagai landasan operasionalnya. Hal itu terjadi sampai tahun 1949. Baru setelah tahun 1950 undang-undang pendidikan dapat dirampungkan dengan yang dikenal dengan undang-undang No 4 tahun 1950. Selanjutnya undang-undang itu disahkan pada tahun 1954 dengan no 12 tahun 1954. Dari situlah dikenal undang-undang pendidikan yang pertama kali No 2 tahun 1950 jo No 12 tahun 1954. yang kemudian ditetapkan berlakukanya tahun 1954. Namun undang-undang itu tidak memberlakukan pelaksanaan kurikulum 1947. Seiring dengan berlakuknya undang-undang pendidikan No 2 tahun 1950 yang baru dilaksanakan tahun 1954 kurikulum yang berlaku tidak lagi kurikulum 1947 tetapi kurikulum tahun 1952. Dengan kata lain kurikulum 1952 merupakan kurikulum pertama yang memiliki dasar hukum operasional. B. LANDASAN YURIDIS KURIKULUM 1952 35

Landasan hukum kurikulum 1952 tidak berbeda jauh. Landasan idiil adalah Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945. Landasan operasional kurikulum 1952 adalah UU No 4 tahun 1950. Sebenarnya UU itu telah dirancang sebelum tahun 1950. Rancangan undang-undang itu yang awalnya dibahas oleh BPKNIP tahun 1948 tidak dapat dilakukan karena terjadinya class II. Belanda menyerang dan menguasai Yogyakarta. Setelah Yogyakarta dikuasai pembicaraan RUU itu bergulir kembali. Dengan beberapa amandemen dan setelah melalui tujuh kali persidangan, akhirnya RUU itu diterima oleh BPKINP tanggal 29 Oktober 1949. Selanjutnya kurikulum itu disahkan oleh pemerintah RI tanggal 2 April 1950. Undang-undang pokok pendidikan ini selajutnya dikenal dengan Undang-undang No 4 tahun 1950. Dengan terbentuknya kembali negara kesatuan RI, diadakanlah piagam persetujuan pemerintah RIS dan RI. Dalam perkembangannya pada tanggal 30 Juni 1950 diadakan pengumuman bersama Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayan RI dengan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayan RIS. Pengumuman itu berisi tentang berlakunya Undang-undang No 4 tahun 1950 di daerah negara Kesatuan RI sambil menunggu Undang-undang Pokok Pendidikan yang baru dan lebih sempurna. Pada tanggal 23 Desember 1953 Undang-Undang No 4 tahun 1950 akhirnya diterima oleh DPR dan disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954, yang selanjutnya UU No 4 tahun 1950 dikenal sebagai UU No 12 tahun 1954 (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991:210) Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa UU pendidikan No 12 tahun 1954 sebenarnya dasar hukum berlakunya UU pendidikan No 4 tahun 1950. Oleh karena itu landasan operasional kurikulum 1952 adalah No 4 tahun 1950 dan UU No 12 tahun 1954. C. TUJUAN PENDIDIKAN Dalam UU nomor 4 tahun 1950 ada beberapa rumusan tujuan pendidikan. Pertama tujuan pendidikan dalam skup nasional yang disebut tujuan pendidikan nasional. Kedua, tujuan pendidikan setiap jenjang yang mencakup tujuan pendidikan sekalah rendah, tujuan pendidik sekolah menengah, dan tujuan pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU nomor 4 tahun 1950 BAB II pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk 36

manusia yang susila dan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, Tujuan pendidikan sekolah menengah berdasarkan undang-undang nomor 4 tahun 1950 Bab V pasal 7 disebutkan bahwa pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan kejuruan) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid menjadi anggaota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkan bagi pendidikan dan pengajaran tinggi. Konsep pendidikan menengah dalam undang-undang ini mencakup Sekolah Menengah Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sebagaimana dikemukan dalam tujuan pendidikan di atas bahwa tujuan pendidikan nasional untuk jenjang sekolah menengah adalah bahwa pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan kejuruan) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid menjadi anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkan bagi pendidikan dan pengajaran tinggi. Berdasarkan tujuan itu, tujuan kurikulum pendidikan menengah adalah untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat. D. ISI DAN STRUKTUR KURIKULUM Isi kurikulum merupakan penjabaran arah dan tujuan pedidikan sekolah tujuan penyiapan menengah dan tujuan kurikulum. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pendidikan sekolah menengah dan tujuan kurikulum diarahkan pada

pelajar ke pendidikan tinggi serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat. Hal itu didasarkan pada kesadaran akan corak pendidikan masa lampau. Penjelasan itu dapat diperoleh pada penjelasan UU nomor 4 tahun 1950 Bab V Pasal 7 ayat 3. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa pada pendidikan di masa lampau 37

ada perbedaan yang dibedakan antara pendidikan menengah kejuruan dan umum. Sekolah menengah umum yang mementingkan pelajaran-pelajaran bagi perguruan tinggi, dan sekolah menengah kejuruan mendidik tenaga-tenaga untuk bermacammacam pekerjaan kepandaian dan keahlian. Akibatnya adalah sebagian besar dari anak-anak kita memilih pendidikan menengah umum, dengan maksud supaya dapat meneruskan pelajaran ke sekolah yang lebih tinggi. Sementara, sekolah-sekolah vak kurang mendapat perhatian. Hal itu yang ingin ditinggalkan. Sistem pendidikan harus mengutamakan pendidikan orang-orang yang dapat bekerja. Baik sekolah menengah umum maupun sekolah menengah vak kedua-duanya bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga ahli yang dapat menunaikan kewajibannya kepada negara. Dengan dasar itu isi kurikulum 1950 pun menyesuaikan. Hasilnya dalam kurikulum 1950 terbagi atas enam kelompok pengetahuan, yaitu kelompok bahasa, kelompok ilmu pasti, kelompok pengetahuan alam, kelompok pengetahuan sosial, kelopok ekonomi, dan kelompok ekspresi. Selain itu sebagai wujud penyiapan tenaga terampil dan terdidik pada kelas tiga diadakan deferensiasi menjadi dua jurusan, yaitu A bagi jurusan Bahasa dan Pengetahuan Sosial dan bagian B untuk jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Isi kurikulum ini jauh lebih rinci dibandingkan dengan kurikulum tahun 1947. Oleh karena itu kurikulum 1952 disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. rincian isi kurikulum 1952 itu. Kel.Bahasa 1.B.Indonesia 2.B.Inggris 3.B.Daerah Kel.Ilmu Pasti 1.Berhitung dan aljabar 2.Ilmu Ukur Kel.Penget.Alam 1.Ilmu Alam/Kimia 2.Ilmu Hayat Kel.Penget.Sosial 1.Ilmu Buni 2.Sejarah Kel.Pel.Ekonomi 1.Hitung Dagang 2.Peng.Dagang Kel.Pel.Ekspresi 1.Seni suara 2.Menggambar 3.Pek.Tangan/Ker.Wnt Pend.Jasmani 38 Berikut ini

Budi Peketi 1) Agama 2) Struktur kurikulum SMP tahun 1952 mengacu pada tujuan pendidikan dan tujuan kurikulum yang tercantum dalam UU nomor 4 tahun 1950. Beberapa hal yang perlu mencapat perhatian adalah terkait dengan mata pelajaran bahasa dan agama. Sebagaimana dicantumkan dalam UU nomor 4 tahun 1950 Bab IV pasal 5 ayat 1dan 2 dikemukakan : 1 Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolahsekolah di seluruh Indononesia 2. Di taman kanak-kanak dan tiga kelas yang terendah di sekolah rendah bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Dari kedua ayat itu bahasa Indonesia dan bahasa daerah merupakan bahasa yang harus dipelajari dan menjadi pelajaran inti. Berkaitan dengan pelajaran agama, dalam struktur kurikulum pelajaran agama memang diberi jam khusus namun dalam pelaksanaannya diserahkan pada masingmasing orang tua. Hal itu dipertegas pada UU nomor 4 tahun 1950 Bab XII pasal 20 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: Ayat 1 : Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Ayat 2 : Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah Negeri di atur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama Menteri Agama. Dari petikan dua ayat itu tersirat maksud bahwa pelajaran agama merupakan pilihan. Apabila si murid masih kanak-kanak keikutsertaan murid ditentukan atas seizin orang tua. Orang tua memiliki hak untuk membolehkan atau melarang ikut pelajaran agama. Apabila siswa telah dewasa, dia boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran agama. Hal itu diperkuat dalam penjelasan yang terkait dengan pasal 5 UU nomor 4 tahun 1950 Bab XII yang menyatakan bahwa murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran agama. Berikut ini struktur kurikulum yang dimaksud.

39

Kelas Kelompok I Mata pelajaran Kel.Bahasa 1.B.Indonesia 2.B.Inggris 3.B.Daerah Subjumlah Kel.Ilmu Pasti 1.Berhitung dan Aljabar 2.Ilmu Ukur Subjumlah Kel.Penget.Alam 1.Ilmu Alam/Kimia 2.Ilmu Hayat Subjumlah Kel.Penget.Sosial 1.Ilmu Bumi 2.Sejarah Subjumlah Kel.Pel.Ekonomi 1.Hitung Dagang 2.Peng.Dagang Subjumlah Kel.Pel.Ekspresi 1.Seni suara 2.Menggambar 3.Pek.Tangan/Ker.Wnt Subjumlah Pend.Jasmani Budi Peketi 1) Agama 2) Jumlah 2 37 2 37 2 37 2 37 I 5 4 2 11 4 4 8 2 2 4 2 2 4 II 5 4 2 11 3 3 6 3 2 5 2 2 4 1 1 1 2 2 5 3 1 2 2 5 3 IIIA 6 4 2 12 2 2 2 2 4 3 2 5 2 2 4 1 2 2 5 3 1 2 2 5 3 IIIB 5 4 1 10 4 4 8 2 2 4 3 2 5

II

III

IV

VI

VII VIII IX

E. PROSES PEMBELAJARAN Proses kegiatan belajar mengajar sebagai pelaksanaan kurikulum harus mencerminkan usaha pencapain tujuan pendidikan nasional. Dengan mempertimbangkan hal itu proses belajar mengajar diarahkan untuk membentuk manusia yang susila dan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

40

F. PENILAIAN Penilaian dilakukan berdasarkan prestasi siswa dalam memahami materi pelajaran. Penilaian hasil belajar dilakukan satu tahun sekali. Pada akhir tahun guru melakukan penilaian atas hasil belajar yang diwujudkan dalam rapor. Hasil nilai belajar ini sekaligus sebagai penentu kenaikan kelas. G. RANGKUMAN Berdasarkan pengorganisasian kurikulum, kurikulum 1952 merupakan kurikulumn yang bersifat separate-subject-curriculum. Dalam kurikulum 1952 setiap pelajaran bersifat terpisah. Kurikulum yang bersifat separate-subject-curriculum mata pelajaran yang satu dengan lain bersifat terpisah-pisah. Setiap bahan dalam setiap mata pelajaran akan disesuiakan dengan tingkat sekolah, bahkan jenis sekolah. Memang dalam kurikulum 1952 ada pengelompokkan mata pelajaran, tetapi pengelompokkan itu hanya sebagai penanda kelompok pelajaran. Yang digunakan tetap berupa mata pelajaran yang ada pada masing-masing kelompok mata pelajaran. Hal itu berbeda bila dalam kurikulum itu hanya mecantumkan mata pelajaran matematika, IPA, tanpa harus merinci bahasan aljabar, sebagai mata pelajaran. Struktur Program dalam kurikulum 1952 dikelompokkan atas sembilan bagian, yakni 1) kelaompok bahasa yang teridiri atas bahasa Inggris, bahasa Daerah, dan bahasa Indonesia; 2) kelompok ilmu pasti yang mencakup mata pelajaran berhitung dan aljabar dan mata pelajaran ilmu ukur; 3) kelompok pengetahuan alam yang meliputi mata pelajaran ilmu alam dan ilmu hayat; 4) kelompok pengetahuan sosial yang terdiri dari mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah; 5) kelompok pelajaran ekonomi yang meliputi mata pelajaran hitung dagang dan pengetahuan dagang; 6) kelompok pelajaran ekspresi yang mencakup pelajaran seni suara, menggambar, dan pelajaran pekerjaan tangan; 7) pendidikan jasmani; 8) budai pekerti, dan 9) agama. Struktur kurikulum 1957 terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas 1, 2, dan 3. Pada kelas 3 dilakukan penjurusan, yaitu kelas A untuk jurusan Bahasa dan Pengetahuan Sosial dan kelas B untuk jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Jenis dan jumlah jam setiap mata pelajaran disesuaikan dengan jurusan yang diambil. Setiap mata pelajaran akan diuraikan secara detil dalam bentuk silabus. Silabus yang disusun tidak hanya berisi jabaran materi lengkap, tetapi juga tahapan waktu 41

penyampaiannya dan sasaran yang hendak dicapai. Oleh karena itu kuriklum 1952 disebut rencana pelajaran terurai. Dalam kurikulum 1952, setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini terkait dengan tujuan pendidikan sekolah menengah, yaitu mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat. Ini dapat dipahami karena saat itu di masyarakat dibutuhkan tenaga terampil yang terididik. Pendidikan sangat diarahkan pada pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan. Pelajaran agama sudah dimasukkan dalam kurikulum dan sekolah negeri sudah diberi mandat untuk melaksanakan pendidikan agama, meskipun pendidikan agama masih bersifat pilihan. Artinya pendidikan agama akan diberikan sepanjang ada izin dari orang tua siswa. Diselengarakannya pendidikan agama di sekolah- sekolah negeri juga menunjukkan keikutsertaan pemerintah dalam pendidikan agama. Pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan moral sudah diangkat sebagai mata pelajaran di kurikulum 1952. Namun, mata pelajaran pendidikan budi pekerti yang berisi pendidikan moral itu masih menjadi mata pelajaran yang bersifat pilihan. Oleh karena itu dalam struktur kurikulum belum disediakan jumlah jam pelajaran yang secara khusus diperuntukan bagi pendidikan budi pekerti.

42

BAB VI KURIKULUM SMP 1968 A. PENDAHULUAN Kelahiran kurikulum SMP 1968 tidak terlepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Arah dan kebijakan pendidikan Indonesia sangat banyak ditentukan oleh paham dan ideologi yang berkuasa saat itu. Keadaan politik yang masih bergejolak sejak kemerdekaan membawa dampak pada sistem dan arah kebijakan pendidikan nasional. Hal itu sangat dirasakan pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965. Sebelum terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pendidikan nasional berdasarkan landasaan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam UU nomor 4 tahun 1950 yang diperkuat UU nomor 12 tahun 1954. Dalam undang-undang yang menjadi dasar operasional pendidikan saat itu dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang susila dan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Namun dalam perjalanannya tujuan pendidikan mengalami berubahan sesuai dengan perjalanan sejarah saat itu. Sejak terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kebijakan pendidikan nasional mengalami perubahan yang cukup besar. Saat itu Indonesia berada di bawah pengaruh Manipol USDEK yang merupkan kependekan dari Manifesto Politik (Manipol) dan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia (USDEK). Prinsip Manipol-USDEK menjadi acuan dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk acuan dalam bidang pendidikan. Keluarnya Dekrit Presiden memacu Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Priyono, mengeluarkan instruksi Menteri nomor 1 tahun 1959 tentang tindakan-tindakan jangka pendek dalam lingkungan kementerian PP dan K. Tindakan-tindakan itu selanjutnya disebut SAPTA USAHA TAMA yang berisi 7 butir (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991). Berikut ini butir butir SAPTA USAHA TAMA yang dimaksud. 1. Penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian PP dan K 2. Menggiatkan kesenian dan olahraga 3. Mengharuskan usaha halaman 43

4. Mengharuskan penabungan 5. Mewajibkan usaha-usaha koperasi 6. Mengadakan kelas masyarakat 7. Membentuk regu kerja di kalangan SLA dan Universitas Terbitnya SAPTA USAHA TAMA disusul dengan instruksi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan nomor 1 tahun 1959 tentang sistem pendidikan yang terkenal dengan nama Pancawardana (Indrakusuka, 1973). Pancawardana ini menjadi acuan sistem pendidikan pada saat itu. Pancawardana ini berisi lima butir, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan. Perkembangan inteligensi Perkembangan emosional-artistik atau rasa kehalusan dan keindahan lahir dan batin. Perkembangan keprigelas (kerajinan tangan) Perkembangan jasmani

Sistem pendidikan yang dikenal dengan Pancawardana itu menjadi acuan seluruh kegiatan di sekolah. Seluruh kegiatan sekolah baik yang kurikuler maupun ekstrakurikuler mengalami perubahan dan penyesuaian agar dapat sesuai dengan Pancawardana tersebut. Instruksi Menteri itu selanjutnya diperkuat dengan ketetapan MPRS No II tahun 1960 lampiran A pasal 29 dinyatakan bahwa penting bagi negara dikeluarkannya Undang-undang Pokok Pendidikan yang baru, yang sesuai dengan Manifesto Politik dan Amanat Pembangunan Semesta Berencana. Tap MPRS ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan undang-undang pendidikan yang baru untuk menggantikan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu undang-undang nomor 4 tahun 1950. Untuk memberi arah pada pembuatan undang-undang pendidikan yang baru, Tap MPRS nomor II tahun 1960 itu juga merumuskan tujuan pendidikan yang berbeda dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam undang-undang nomor 4 tahun 1950. Menurut Tap MPRS nomor II tahun 1960 tujuan pendidikan adalah mendidik anak ke arah terbentuknya manusia yang berjiwa Pancasila dan bertangung jawab atas

44

terselenggaranya masyarakat sosial Indonesia yang adil dan makmur material dan spiritual. Selanjutnya untuk memperjelas arah undang-undang pendidikan, dengan mengacu pada tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Tap MPRS nomor II tahun 1960, Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 145 tahun 1965. Keputusan itu berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang pada dasarkan memperkuat rumusan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Tap MPRS nomor II tahun 1960. Dalam Keputusan Presiden itu dinyatakan bahwa Tujuan pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Perguruan Tinggi, supaya melahirkan warga negarawarga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosial Indonesia, adil dan makmur, baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila, yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Perikemanusiaan yang adil dan berdap 3. Kebangsaan 4. Kerakyatan 5. Keadilan sosial, seperti yang dijelaskan dalam Manipol/USDEK. Sebagai tindak lanjut atas ketetapan MRPRS itu pemerintah membentuk Panitia Perumus Sisitem Pendidikan Nasional yang diketuai oleh Soyono Hadinoto dan berhasil merumuskan sistem pendidikan nasional yang diberi nama Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991). Sistem pendidikan itu selanjutnya disahkan melalui Penetapan Presiden No. 19 tahun 1965 tanggal 25 Agustus 1965. Kurikulum yang berlaku saat itu disebut kurikulum Gaya Baru. Akan tetapi sistem pendidikan yang telah ditetapkan dan kurikulum yang ada saat itu belum sempat diberlakukan. Hal itu terjadi karena daya upaya yang dilakukan oleh PKI melalui pendidikan terbongkar dengan meletusnya peristiwa gerakan G 30 S PKI. Sebagai gambaran berikut ini adalah struktur kurikulum Gaya Baru yang belum sempat diberlakukan secara nasional.

45

Kurikulum Gaya Baru Tahun 1962


Kel A Mata Pelajaran Kel.Dasar 1.Civics (KWn) 2.B.Indonesia 3.Sejarah Kebangsaan 4.Ilmu Bumi Indonesia 5.Pend.Agama/Budipekerti 6.Pend.Jasmani/Kesehatan Subjumlah Ke.Cipta 1.B.Daerah 2.B.Inggris 3.Ilmu Aljabar 4.Ilmu Ukur 5.Ilmu Alam 6.Ilmu Hayat 7.Ilmu Bumi Dunia 8.Sejarah Dunia 9.Ilmu Administrasi Sub Jumlah Kel.Rasa/Karsa 1.Menggambar 2.Kesenian 3.Prakarya 4.Kesejahteraan keluarga Subjumlah Krida Jumlah I 2 5 1 1 2 2 13 2 4 3 3 2 2 1 1 1 19 2 1 2 1 6 2 40 Kelas II 2 5 1 1 2 2 13 2 4 3 3 2 2 1 1 1 19 2 1 2 1 6 2 40 III 2 5 1 1 2 2 13 2 4 3 3 2 2 1 1 1 19 2 1 2 1 6 2 40

B.

Setelah pemberontakan PKI tahun 1965 berhasil diatasi, pemerintah saat itu melakukan tindakan-tindakan rehabilitasi dan stabilitasi dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Bentuk nyata usaha pemerintah dalam bindang pendidikan adalah pelurusan kembali tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang pendidikan nomor 4 tahun 1950. Melalui ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966, Bab II pasal 3. Ketetapan ini selanjutnya menjadi dasar dikeluarkannya kurikulum baru yang sesuai dengan tujuan yang termaktub dalam ketetapan MPRS itu, yaitu kurikulum 1968. Selain dasar yuridis di atas lahirnya kurikulum 1968 juga didasarkan atas beberap aspek yang melingkupinya. Pertama aspek politik, keadaan politik menghendaki supaya pendidikan dan kurikulum menjadi alat yang ampuh untuk

46

membina manusia Pancasila yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berkeperimanusiaan, patriotik, demokratis dan berkeadilan sosial. Kedua aspek sosial, keadaan sosial saat itu menuntut supaya pendidikan dan kurikulum ditujukan kepada pemupukan hidup gotong royong antara semua golongan, hormat-menghormati satu sama lain tanpa perjuangan kelas. Ketiga aspek ekonomi, keadaan ekonomi saat itu menuntut supaya pendidikan dan kurikulum menekankan juga pembinaan insan pembangunan, khususnya tenaga kerja di segala bidang. Keempat aspek kulturil, keadaan kulturil menghendaki supaya pendidikan dan kurikulum menjadi alat untuk membina kepribadian dan kebudayaan nasional dengan menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudyaan kita. Dalam penyusunan kurikulum 1968 ada beberapa prinsip yang harus diikuti. Prinsip itu diturunkan dari prinsip umum Pendidikan Nasional Pancasila. Maksud dan tujuannya adalah kurikulum yang akan dihasilkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1950 dan Ketetatpan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966. Prinsip umum pelakasanaan Pendidikan Nasional Pancasila yang dimaksud ada tiga, yaitu prinsip integritas, prinsip kontinuitas, dan prinsip sinkronisasi (Hasibuan, 1978). Prinsip integratas mengandung arti bahwa pendidikan di semua tingkat dan jenis persekolahan dari Taman Kanan-kanank sampai perguruan tingi, merupakan keseluruhan yang integral dari proses pendidikan dalam mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Demikian juga hubungan pendidikan merupakan bagian yang integral pula dalam pola dan proses pembangunan, yaitu dalam usaha pembinan tenaga kerja di segala bidang. Prinsip kontinuitas mengandung arti bahwa proses pendidikan adalah proses yang kontinu, dari sejak lahir sampai dewasa. Oleh karena itu, pendidikan dalam hubungan sekolah pun harus berkesinambungan; pendidikan Taman Kanank-kanank merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam lingkungan keluarga; pendidikan SD merupakan kelanjutan dari pada pendidikan TK. Pendidikan Sekolah Menengah merupakan kelanjutan dari pendidikan SD, demikian seterusnya. Atas dasar prinsip itu, isi pendidikan atau kurikulum tiap tingkat dan jenis persekolahan harus menggambarkan kontinuitas tersebut dalam usaha mencapai tujuan Pendidikan Nasional. 47

Perinsip sinkronisasi mengandung arti bahwa terdapat kesatuan arah, irama dan gerak menuju kepada tujuan Pendidikan Naional. Atas dasar prinsip Sinkronisasi, ditambah prinsip Integritas dan prinsip kontinuitas, semua kegiatan dan usaha pendidikan pada semua tingkat dan jenis persekolahan harus saling berhubungan satu dengan yang lain secara harmonis. Saling hubungan itu bukan saja antara tingkat dan jenis persekolahan, tetapi juga dengan pola proses pembangunan yang menggunakan tenaga kerja yang dihasilkan oleh sekolah B. LANDASAN YURIDIS Landasan idiil kurikulum tahun 1968 tidak mengalami perubahan dari tahun 1950, yaitu Pancasila. Kurikulum yang belum sempat diberlakukan pada tahn 1965 juga menggunakan landasan idiil Pancasila. Landasan konstitusional yang digunakan dalam kurikulum 1968 juga tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, yaitu Undang-Undan Dasar 1945. Selain itu, Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 juga merupakan landasan hukum bagi pelurusan tujuan pendidikan nasional. Ketetapan ini merupakan reaksi dari ketetapan MRPS Nomor II/MPRS/ tahun 1960. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 dengan UUD 1945. Landasan operasional berlakunya kurikulum 1968 yang berupa undang-undang pendidikan memang tidak dilahirkan dalam kurun waktu itu. Undang-undang pendidikan baru ada tahun 1975 dan itu mejadi dasar operasional kurikulum 1975. Namun bila dilihat dari tujuan pendidikan nasional yang di tetapkan oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 tidak berbeda dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Undang-Undang Pendidikan nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan nomor 12 tahun 1954. Dengan kata lain Undang-Undang Pendidikan nomor 4 tahun 1950 masih menjadi dasar operasional kurikulum 1968. Namun ada hal yang diubah, yaitu berkaitan dengan pelajaran agama. Berdasarkan undang-undang nomor 4 tahun 1950 pelajaran agama diadakan di sekolah-sekolah negeri, tetapi pelajaran itu merupakan pelajaran yang tidak bersifat wajib dan hanya akan diikuti oleh siswa apabila orang tua siswa mengijinkannya. Oleh karena pemerintah berpendapat bahwa agama merupakan sumber moral dan membentuk manusia yang bermoral, pemerintah mengambil langkah yang tegas dengan mamasukkan pelajaran agama sebagai pelajaran wajid di semua jenjang sekolah. Hal 48 ingin mengembalikan arah pendidikan sesuai

itu tercantum dalam Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 bab I pasal 1. yang berbunyi menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri. C. TUJUAN PENDIDIKAN Tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum 1968 mengacu pada tujuan pendidikan yang tercantum dalam ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966, Bab II pasal 3. Dalam ketetapan MPRS itu dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional dimaksudkan untuk membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Rumusan tujuan pendidikan nasional itu merupakan bentuk pelurusan tujuan pendidikan nasional yang pernah mengalami penyimpangan pada tahun 1960 sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPRS nomor II/MPRS/1960. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut perlu diatur isi pendidikan. Pemerintah melalui Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 pasal 4 menetapkan isi pendidikan yang mencakup tiga butir, yaitu Pendidikan harus : 1. mempertinggi mental, moral, budiperkerti dan memperkuat keyakinan agama; 2. mempertinggi kecerdasan dan keterampilan; 3. membina/mengembangkan fisik yang kaut dan sehat Tujuan kurikulum Sekolah Menengah Pertama tidak terlepas dari tujuan Pendidikan Nasional yang dirumuskan dalam MPRS No. XXVII/MPRS/1966. Tujuan kurikulum SMP adalah : a. Supaya anak didik memiliki pengetahuan dan pengertian dasar mengenai kewajiban dan haknya sebagai manusia Pancasila sesuai dengan maksud ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 dan berbuat selaras dengan pengetahuan dan pengertian itu; b. Supaya anak tamatan SMP memiliki salah satu keterampilan atau kecakapan khusus yang merupakan bekal hidupnya dalam masyarakat dan dengan demikian dapat berdiri sendiri dan menyumbangkan kecakapannya bagi pembinaan masyarakat yang adil dan makmur; c. Supaya anak-anak tamatan SMP memiliki dasar ilmu pengetahuan yang kokoh dan keprigelan penggunaannya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi. 49

D. ISI DAN STRUKTUR KURIKULUM Isi kurikulum harus mencerminkan usaha untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan di sekolah menengah pertama. Untuk itu penyusunan isi kurikulum hendaknya memperhatikan beberapa prinsip berikut ini. Prinsip-prinsip ini harus diikuti agar isi kurikulum tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966. Menurut Hasibuan (1978) prinsip-prinsp tersebut ada sepuluh, yakni sebagai berikut. a. Kurikulum harus mencerminkan jiwa mukadimah UUD 1945 dan isi UUD 1945. Dengan demikian Kurikulum harus menjadi alat pelaksanaan UUD 1945 di bidang dan melalui pendidikan. b. Kurikulum harus diintegrasikan dalam Nation dan Character building, khusuunya sebagai alat pembinaan manusia Pancasila sejati dan tenaga pembangunan c. Kurikulum harus memberikan kemungkinan perkembangangn maksimal daripada budi cipta, rasa, karsa dan karya yang sedang berkembang menjadi manusia yang bermental murni budi pekerti luhur dan kuat keyakinan agamanya, yang tinggi kecerdasan dan keterampilan dalam pembangunan yang memiliki fisik yang sehat dan kuat. d. Kurikulum harus mempersipakan setiap anak didik untuk dapat berdiri sendiri dalam masyarakat, sebagai manusia Pancasila sejati. e. Kurikulum harus memadukan teori dan praktik. Segala pengetahuan yang diajarkan di sekolah hendaknya dihubungkan dengan kehidupan konkrit di dalam masyarakat dan kerja produktif sesuai dengan lingkungan sekolah yang bersangkutan. f. Isi kurikulum harus disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya integrasi antarlembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya g. Kurikulum harus disusun sedemikian ruga hingga memungkinkan diadakannya kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti pramuka dan oraganisasi pendidikan lainnya. h. Kurikulm harus merupakan rangkaian yang harmonis yang memungkinkan adanya kontinuitas antara lembaga pendidikan yang satu dengan yang lain 50

i. Kurikulum harus fleksibel, untuk dapat disesuiakan dengan kondisi-kondisi setempat. Komponen evaluasi pada lingkup nasional tidak ada sehingga yang ada hanya tiga komponen, yaitu tujuan materi dan metode. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dan dengan memperhatikan tujuan pendidikan nasional, kurikulum SMP tahun 1968 disusun dalam bentuk. Pengelompokkan ini tidak hanya mencerminkan keinginan politik saat itu yang mengharuskan pemahaman Pancasila sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, tetapi juga mencerminkan usaha untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk membentuk manusia Pancasila sejati. Isi kurikulum bagian kurikuler dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Masing masing kelompok terdiri atas mata pelajaran-mata pelajaran. Isi kurikulum 1968 tidak lagi melakukan deferensiasi pada kelas tiga sebagaimana yang terjadi pada kurikulum 1947 dan 1952 (kurikulum sebelum 1962). Berikut ini isi kurikulum SMP 1968. Mata Pelajaran Kel.Pemb.Jiwa Pancasila 1. Pendidikan Agama 2. Pend.Kewargaan Negara 3. B.Indonesia(1) 4. Olahraga Kel.Pemb. Pengetahuan Dasar 1. B.Indonesia (2) 2. B.Daerah 3. B.Inggris 4. Ilmu Aljabar 5. Ilmu Ukur 6. Ilmu Alam 7. Ilmu Hayat 8. Ilmu Bumi 9. Sejarah 10. Menggambar Kel.Pemb.Kecakapan Khusus 1. Administrasi 2. Kesenian 3. Prakarya 4. PKK

51

Struktur kurikulum SMP 1968 terdiri atas nama mata pelajaran, jumlah jam tiap mata pelajaran, dan sebaran mata pelajaran untuk setiap jenjang kelas. Hal yang cukup menarik dari struktur kurikulum ini adalah tidak adanya perbedaan nama mata kuliah baik untuk kelas 1, 2 dan kelas 3. Namun, tidak berarti isi pelajaran untuk setiap jenjang kelas sama. Isi materi pada pelajaran kelas 2 merupakan kelanjutan dari isi materi kelas 1 pada mata pelajaran yang sama. Jumlah keseluruhan jam pelajaran untuk satu minggu juga sama, yaitu 41 jam. Berikut ini struktur kurikulum yang dimaksud. SUSUNAN MATA PELAJARAN SMP TAHUN 1968
Kel A Mata Pelajaran Kel.Pemb.Jiwa Pancasila 1.Pendidikan Agama 2.Pend.Kewargaan Negara 3.B.Indonesia(1) 4.Olahraga Subjumlah Kel.Pemb. Pengetahuan Dasar 1.B.Indonesia (2) 2.B.Daerah 3.B.Inggris 4.Ilmu Aljabar 5.Ilmu Ukur 6.Ilmu Alam 7.Ilmu Hayat 8.Ilmu Bumi 9.Sejarah 10.Menggambar Subjumlah Kel.Pemb.Kecakapan Khusus 1.Administrasi 2.Kesenian 3.Prakarya 4.PKK Subjumlah Jumlah I 3 3 3 2 11 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 24 1 2 2 1 6 41 Kelas II 3 3 3 2 11 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 24 1 2 2 1 6 41 III 3 3 3 2 11 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 24 1 2 2 1 6 41

Menonjolnya pembinaan jiwa Pancasila dalam kurikulum ini tampak dari jumlah jam pelajaran yang bertambah dibandingkan dengan pada kurikulum sebelumnya, yaitu masing-masing 3 jam per minggu. Hal ini dapat dipahami, setelah bangsa Indonesia mengalami peristiwa yang traumatik menyusul terjadinya G-30S/PKI. Gerakan ini memunculkan reaksi balik berupa kehendak yang kuat untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen

52

E. PROSES PEMBELAJARAN Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan perwujudan pelaksanaan kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Menurut Hasibuan (1978:) ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan adalah prinsip-prinsip yang dimaksud. a. b. c. d. Semua pengetahuan dan kegiatan yang dilancarkan harus fungsional Pengetahuan dan kegiatan harus diselaraskan dengan taraf pemahaman Pendidikan harus membangkitkan dan memupuk minat perhatian dan praktis. dan perkembangan anak kemampuan anak Penyajian bahan pendidikan harus berbentuk jalinan teori dan praktik. e. f. g. Anak didik harus ditingkatkan pemahamannya sehingga konkritisasi Pendidikan harus berbentuk perpaduan antara belajar/kegiatan sendiri Dalam penyajian bahan pendidikan, dalam semua mata pelajaran kegiatan mereka berbentuk belajar, bekerja, dan berjuang. dengan belajar/kegiatan gotong royong haruslah dipupuk sikap bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah asal daripada segala-galanya dan kepadanya kita akan kembali. h. Dalam penyajian bahan hendaknya digunakan metode pemecahan masalah atas asar pemikiran yang ilmiah. F. PENILAIAN Penilaian hasil belajar dilakukan dua kali dalam satu tahun dalam bentuk satuan semester. Dalam setiap semester siswa akan memperoleh hasil belajar dalam bentuk raport. Untuk memberi nilai pada hasil belajar siswa, kurikulum 1968 menggunakan tiga prinsip. Pertama, prinsip keseluruhan, obyek penilaian pendidikan yang utama adalah anak sebagai keseluruhan bukan hanya dari sisi kecerdasan dan ingatan saja. Kedua, prinsip kontinuitas artinya penilaian tidak boleh dilakukan sacara insidental, karena pendidikan adalah proses yang berkelanjutan, penilaian pun harus dalam pelaksanaan KBM yang sesuai dengan kurikulum 1968 dan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Berikut ini

53

dilakukan secara berkelanjutan/kontinu. Ketiga, prinsip obyektivitas artinya penilaian harus dilakukan seobyektif mungkin dan dinyatakan berdasarkan keadaan sebenarnya. G. RANGKUMAN Berdasarkan struktur pengorganisasian kurikulum, Kurikulum 1968 merupakan kurikulumn dengan yang bersifat separate-subject-curriculum. Dalam

kurikulum 1968 setiap pelajaran bersifat terpisah. Menurut Nasution (1980) dan Nurgiyantoro (1988) dan dalam kurikulum yang menggunakan struktur organisasi yang bersifat separate-subject-curriculum Mata-mata pelajaran yang disajikan kepada siswa berisi pengetahuan yang telah disusun secara logis dan sistematis. Mata pelajaran yang satu dengan lain bersifat terpisah-pisah. Setiap bahan dalam setiap mata pelajaran akan disesuaikan dengan tingkat sekolah, bahkan jenis sekolah. Materi pelajaran yang sama untuk SD dibedakan dengan SMP. Materi pelajaran itupun akan dibedakan lagi dalam kelompok kelas dan kelompok semester. Tiap tingkat, tiap kelas, dan tiap semester telah memiliki satuan materi yang harus diselesaikan. Meskipun berbeda-beda materi untuk SMP pada pelajaran yang sama merupakan kelanjutan dari materi yang telah diajarkan di SD, begitu seturusnya. Namun bahan pelajaran yang akan diberikan kepada anak didik biasnya telah disusun dan ditentukan oleh tim pengembang kurikulum yang teridri dari pada ahli. Oleh karena itu kurikulum yang disusun dalam bentuk ini sangat dimungkinan keseragamannya di seluruh negara. Kurikulum yang demikian lebih memusatkan pada bahan pelajaran daripada minat dan kebutuhan siswa. Oleh kerena itu disebut juga kurikulum subject centered. Kurikulum yang subject centered disusun berdasarkan pandangan ilmu jiwa asosiasi, yang mengharapkan terjadinya kepribadian yang bulat berdasarkan potongan-potongan pengetahuan. Dengan subject centered bahan pelajaran dapat disajikan secara logis, sistematis, dan berkesinambungan. Selain itu kurikulum dengan bentuk ini menjadi sangat sederhana, mudah direncanakan, dilaksanakan, dan dapat dengan mudah untuk diadakan perubahan jika diperluakan. Struktur Program dalam kurikulum 1968 dikelompokkan atas tiga bagian, yakni kelompok pembinaan Jiwa pancasila, Kelompok pembinaan Pengetahuan dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Struktur kurikulumnya terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas 1, 2, dan 3. Jumlah mata pelajaran dan nama mata pelajaran, termasuk jumlah jam setiap minggunya sama. 54

Selanjutnya, kurikulum itu dilaksanakan dalam satuan waktu semester, bukan catur wulan. Mata pelajaran agama merupakan mata pelajaran yang diselenggarakan disemua sekolah negeri dan semua jenjang. Mata pelajaran bukan merupakan pilihan, tetapi merupakan mata pelajaran yang harus diberikan dari jenjang SD hingga perguruan tinggi. Kebijakan ini menandakan pemerintan ikut campur tangan dalam pendidikan agama. Hal ini berbeda dengan kurikulum tahun 1952. Dalam kurikulum itu pelajaran agama memang sudah diadakan untuk sekolah negeri, tetapi masih sebatas pilihan, belum merupakan mata pelajaran wajib. Sistem evaluasi masih bersifat umum, kurang spesifik, bahkan masih berciri spekulatif. Sebagaimana dinyatakan dalam prinsip penilaian bahwa penilaian pendidikan yang utama adalah anak sebagai keseluruhan bukan hanya dari sisi kecerdasan dan ingatan saja. Hal ini menjadikan guru untuk menilai unsur lain yang sangat mungkin bersifat subjektif selain hasil belajar yang diukur dari kemampuan mengerjakan soal-soal ujian.

55

You might also like